Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Jangan menganggap sepele penyakit diare yang disertai darah. Tidak
menutup kemungkinan itu gejala hematochezia atau pendarahan saluran cema.
Dalam stadium lanjut, hematochezia bisa menyebabkan kematian.
Penyebab utama hematochezia adalah kelainan bawaan pada lambung
(garter) bagian atas. Hematochezia juga bisa disebabkan karena diverticle meckel,
polyp pada usus besar, dan juga karma adanya puntiran (volvulus) pada usus.
"Penyakit ini banyak dialami anak-anak dan juga BBL. Dan tidak jarang
menjadi penyebab kematian. Karena penderita kehabisan darah,".
Meskipun tidak bisa dipastikan berapa lama waktu penderita hematochezia
mampu bertahan. Tetapi kata dia, karma pendarahan yang terjadi pada penderita
adalah pendarahan hebat sebaiknya orang tua segera membawa penderita ke R.S.
"Yang harus diketahui bahwa hematochezia biasanya, pendarahannya terjadi
lewat anus,".
Diperlukan alai khusus endoscopy anak dan scan nuklir untuk mendeteksi
sumber pendarahan pada hematochezia.
Karena itu setiap kali ada pasien hematochezia harus segera merujuk pasien
ke Jakarta. "Makanya jika ada tanda-tanda hematochezia pada anak anda
sebaiknya segera dibawa ke RS. Karena harus dapat penanganan segera. Jika,
tidak, akibatnya bisa fatal karena bisa menyebabkan kematian,".

B. Tujuan Penulisan
Dari uraian Tatar belakang tersebut di atas maka dalam makalah ini penulis
merumuskan masalah yaitu bagaimana konsep dasar permasalahan penyakit
hematokezia ?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hematokezia
Hematochezia adalah bagian dari kotoran merah cerah, darah dari rektum,
juga disebut thusly (darah merah per rektum). Hal ini dibedakan dari melena,
yang kotoran dengan darah yang telah diubah oleh flora usus dan muncul hitam /
"tinggal". Hematochezia umumnya dikaitkan dengan perdarahan gastrointestinal
yang lebih rendah.
Hematochezia adalah buang air besar darah merah segar dari saluran cerna
bagian bawah (SCBB). Pseudomelena adalah buang air besar berwarna hitam,
tapi penyebab perdarahan berasal dari saluran cerna bagian bawah disebabkan
darah terlalu lama di usus. Pseudohematokezia adalah buang air besar merah
segar tapi disebabkan oleh perdarahan masif dari SCBA, dimana darah yang
keluar tidak sempat bercampur dengan asam lambung. Saluran cerna bagian
bawah (SCBB) meliputi jejunum distal dibawah ligamenturn TReitz, ileum,
kolon, rektum dan anus.

B. Gambaran Klinis
Perdarahan SCBB dapat bermanifestasi dalam bentuk hematoskezia,
maroon stool, melena, atau perdarahan tersamar.
Hematoskezia adalah: darah segar yang keluar lewat anus/rektum. Hal ini
merupakan manifestasi klinis perdarahan SCBB yang paling sering. Sumber
perdarahan pada umumnya berasal dari anus, rektum, atau kolon bagian kiri
(sigmoid atau kolon descendens), tetapi juga dapat berasal dari usus kecil atau
saluran cerna bagian atas (SCBA) bila perdarahan tersebut berlangsung masif
(sehingga sebagian volume darah tidak sempat kontak dengan asam lambung) dan
masa transit usus yang cepat.

2
Maroon stool: darah yang berwarna merah hati (kadang bercampur dengan
melena) yang biasanya berasal dari perdarahan di kolon bagian kanan (ileo-
caecal) atau jugs dapat dari SCBA/usus kecil bila waktu transit usus cepat.
Melena adalah buang air besar atau feses yang berwarna hitam seperti kopi
(bubuk kopi) atau seperti ter (aspal), berbau busuk dan hat ini disebabkan
perubahan hemoglobin menjadi hematin.
Perubahan ini dapat terjadi akibat kontak hemoglobin dengan asam
lambung (khas pada perdarahan SCBA) atau akibat degradasi darah oleh bakteri
usus. Misalnya pada perdarahan yang bersumber di kolon bagian kanan yang
disertai waktu transit usus yang lambat. Perdarahan SCBB akan tersamar bila
jumlah darah sedikit sehingga tidak mengubah warns feses yang keluar.
Gambaran klinis lainnya akan sesuai dengan penyebab perdarahan
(misalnya pada tumor rektum, teraba masse pada pemeriksaan colok dubur) dan
dampak hemodinamik yang terjadi akibat perdarahan tersebut (misalnya anemia
atau adanya renjatan). Sebagian besar perdarahan SCBB (lebih kurang 85%)
berlangsung akut, berhenti spontan, dan tidak menimbulkan gangguan
hemodinamik.
Perdarahan SCBB diklasifikasikan sebagai perdarahan akut dan berat bila:
 Telah menimbulkan keadaan hipotensi ortostatik atau renjatan.
 Terdapat penurunan hematokrit minimal 8-10% setelah resusitasi volume
intravaskular dengan cairan kristaloid atau plasma expander, dan
 Terdapat faktor risiko seperti pada usia lanjut atau terdapat penyulit lainnya
yang bermakna.

C. Penyebab
Lokasi lesi sumber perdarahan pada kasus dengan hematoskezia (sebagai
tanda yang paling umum untuk SCBB): 74% berada di kolon, 11% berasal dari
SCBA, 9% usus kecil, dan 6% tidak diketahui sumbernya

3
Perdarahan akut dan hebat pada umumnya disebabkan oleh angiodisplasia
dan divertikulosis. Sedangkan yang kronik intermiten disebabkan oleh hemoroid
dan keganasan kolon. Etiologi perdarahan SCBB yang harus dipertimbangkan dan
cukup sering dihadapi di Indonesia adalah perdarahan di usus kecil pada demam
tifoid.

D. Tata Laksana
Penatalaksanaan perdarahan SCBB tentunya akan bervariasi tergantung
pada penyebab atau lesi sumber perdarahan, dampak hemodinamik yang telah
terjadi pada waktu masuk rumah sakit, pola perdarahan yang bersifat akut atau
telah berlangsung lama/kronik. Algoritme tats laksana perdarahan SCBB dalam
makalah ini, merupakan hasil konsensus dalam beberapa tahapan pertemuan
sidang organisasi profesi Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia.

E. Initial Assessment
Tiap kasus perdarahan saluran cerna, walaupun tampaknya darah yang
keluar berdasarkan anamnesis sedikit, harus diperhatikan diperlakukan secara
cermat, cepat, dan tepat pada waktu awal pemeriksaan. Sebab rongga/lumen
saluran cerna dapat menampung darah cukup banyak sebelum bermanifestasi
sebagai hematoskezia, sehingga dapat mengecohkan kita sehingga pasien dapat
segera masuk ke dalam keadaan gangguan hemodinamik. Pada initial assessment
ini (sesuai dengan Airway Breathing Circulation-nya bidang emergensi) kita
sudah harus segera mendapatkan gambaran apakah kasus perdarahan ini sudah
terdapat atau potensial terjadi gangguan hemodinamik, perlu tidaknya tatas
laksana emergensi atau dapat ditangani secara efektif (terencana). Dan akurasi
penilaian ini sangat mempengaruhi prognosis kasus perdarahan pada umumnya
dan khususnya perdarahan saluran cerna (atas atau bawah).

4
F. Riwayat Penyakit
Nilai dalam anamnesis apakah perdarahan/darah tersebut bercampur dengan
feses (seperti terjadi pada kolitis atau lesi di proksimal rektum) atau
terpisah/menetes (terduga hemoroid), pemakaian antikoagulan, atau terdapat
gejala sistemik lainnya seperti demam lama (tifoid, kolitis infeksi), menurunnya
berat badan (kanker), perubahan pola defekasi (kanker), tanpa rasa sakit
(hemoroid intema, angiodisplasia), nyeri perut (kolitis infeksi, iskemia
mesenterial), tenesmus ani (fisura, disentri). Apakah kejadian ini bersifat akut,
pertama kali atau berulang, atau kronik, akan membantu ke arah dugaan penyebab
atau sumber perdarahan.

G. Pemeriksaan Fisik
Segera nilai tanda vital, terutama ada tidaknya renjatan atau hipotensi
postural (Tilt test). Jangan lupa colok dubur untuk menilai sifat darah yang keluar
dan ada tidaknya kelainan pada anus (hemoroid interns, tumor rekturn).
Pemeriksaan finis abdomen untuk menilai ada tidaknya rasa nyeri tekan (iskemia
mesenterial), rangsang peritoneal (divertikulitis), massa intraabdomen (tumor
kolon, amuboma, penyakit Crohn). Pemeriksaan sistemik lainnya: adanya artritis
(inflammatory bowel disease), demam (kolitis infeksi), gizi buruk (kanker),
penyakit jantung koroner (kolitis iskemia).

H. Laboratorium
Segera harus dinilai adalah kadar hemoglobin, hematokrit, trombosit, dan
kalau sarana lengkap waktu protrombin. Laboratorium lain sesuai indikasi.
Penilaian hasil laboratorium harus disesuaikan dengan keadaan klinis yang ada.
Penilaian kadar hemoglobin dan hematokrit, misalnya pada perdarahan akut dan
masif, akan berdampak pada kebijakan pilihan jenis darah yang akan diberikan
pada proses resusitasi.

5
I. Pemeriksaan Penunjang Diagnostik
Pemeriksaan ini sangat tergantung pada keadaan klinis pasien waktu masuk
rumah sakit, penyebab atau lesi sumber perdarahan, perjalanan penyakit pasien
dan tidak kalah pentingnya adalah sarana diagnostik penunjang yang tersedia.
Secara teori, modalitas sarana pemeriksaan anoskopi, sigmoidoskopi,
kolonoskopi, enteroskopi, barium enema (colon in loop), angiografi/artereriografi,
blood flow scintigraphy, dan operasi laparatomi eksplorasi dapat digunakan untuk
mengidentifikasi lesi sumber perdarahan dan diagnosis penyakitnya. Tidak jarang
modalitas diagnostik ini dapat dipakai sekaligus untuk terapi (endoskopi
terapeutik, embolisasi pada waktu arteriografi).
Masing-masing modalitas diagnostik ini mempunyai kelebihan dan
kekurangan dibandingkan modalitas lainnya. Misalnya pada perdarahan yang
berlangsung masif, peran kolonoskopi akan terhambat oleh sulitnya memperoleh
lapang pandang yang akurat untuk menilai di mana dan apa sumber
perdarahannya. Sedangkan arteriografi lebih mudah untuk mendapatkan lokasi
sumber perdarahan (kalau perlu sekaligus terapinya). Mulai dari diagnostik
(terlebih lagi pada waktu terapi) sudah diperlukan kerja sama tim (internis,
internis konsultan gastroenterologi, ahli bedah, radiologis, radiologis
interventional, dan anestesi) yang optimal sehingga langkah diagnostik (dan
terapi) dapat selaras untuk kepentingan pengobatan pasien seutuhnya. Pada
keadaan tidak adanya gangguan hemodinamik atau keadaan yang masih
memungkinkan kits merencanakan langkah diagnostik yang berencana (elektif),
eksplorasi diagnostik sumber perdarahan relatif tidak menimbulkan
permasalahan. Tetapi bila keadaan pasien tidak stabil, adanya gangguan
hemodinamik, diperlukannya segera pilihan terapi, permasalahan algoritme
diagnostik (jugs berdampak pada algoritme terapi tidak jarang muncul dan terjadi
perbedaan persepsi antara disiplin terkait.
Pemeriksaan penunjang ini akan berbeda pelaksanaannya dan akan berbeda
hasil yang diharapkan dicapai bila menghadapi kasus akutlemergensi atau kasus

6
kronik/elektif Pada makalah ini akan lebih ditekankan pada, prosedur diagnostik
dan terapi pada kasus yang akut dan bersifat emergensi.

Anoskopi/Rektoskopi
Pada umumnya dapat segera, mengetahui sumber perdarahan tersebut bila
berasal dari perdarahan hemoroid interns atau adanya tumor rektum. Dapat
dikerjakan tanpa persiapan yang optimal.

Sigmoidoskopi
Perdarahan dari sigmoid (misalnya tumor sigmoid) masih mungkin dapat
diidentifikasi dengan pemeriksaan ini dengan hanya persiapan laksan enema
(YAL) atau klisma, mengingat darah dalam lumen usus itu sendiri sudah bersifat
laksan.

Kolonoskopi
Pada, keadaan yang bersifat elektif dengan persiapan yang optimal,
pemeriksaan ini dapat dengan relatif mudah mengidentifikasi sumber perdarahan
di seluruh bagian kolon sampai ileum terminal. Tetapi pada, keadaan perdarahan
aktif, lumen usus penuh darah (terutama bekuan darah), maka lapang pandang
kolonoskop akan terhambat. Diperlukan usaha yang berat untuk membersihkan
lumen kolon secara, kolonoskopi. Sering sekali lumen skop tersumbat total
sehingga pemeriksaan harus dihentikan. Tidak jarang hanya dapat
menyumbangkan informasi adanya demarkasi atau batas antara lumen kolon yang
bersih dari darah dan diambil kesimpulan bahwa letak sumber perdarahan di distal
demarkasi tersebut.

Push Enteroskopi
Pemeriksaan ini dilakukan melalui SCBA dan melewati ligamentum Treitz
serta dapat mengidentifikasi perdarahan pada usus kecil. Sarana ini masih sangat
jarang di Indonesia.

7
Barium Enema (colon in loop)
Pada keadaan perdarahan akut dan emergensi, pemeriksaan ini tidak
mempunyai peran. Bahkan kontras yang ada akan memperlambat rencana
pemeriksaan kolonoskopi (kontras barium potensial dapat menyumbat saluran
pada skop) atau skintigrafi (kontras barium akan mengacaukan interpretasi) bila
diperlukan. Serta tidak ada tambahan manfaat terapeutik. Tetapi pada keadaan
yang efektif, pemeriksaan ini mampu mengidentifikasi berbagai lesi yang dapat
diprakirakan sebagai sumber perdarahan (tidak dapat menentukan sumber
perdarahan).

Angiografi/Arteriografi 6
Injeksi zat kontras lewat kanul yang dimasukkad melalui arteri femoralis
dan arteri mesenterika superior atau inferior, memungkinkan visualisasi lokasi
sumber perdarahan. Dengan teknik ini biasanya, perdarahan arterial dapat
terdeteksi bila lebih dari 0,5 ml per menit. Arteriografi dapat dilanjutkan dengan
embolisasi terapeutik pada, pembuluh darah yang menjadi sumber perdarahan.

Blood Flow Scintigraphy (Nuclear Scintigraphy)


Darah pasien diambil dan dilabel dengan zat radioaktif (99m.technitium),
kemudian dimasukkan kembali ke dalam tubuh. Darah yang berlabel tersebut
akan bersirkulasi dan keluar pada daerah/lokasi lesi. Teknik ini dilaporkan dapat
mendeteksi perdarahan yang relatif sedikit (0,1 ml per menit). Scanning diambil
pada jam 1 dan 4 setelah injeksi darah berlabel Berta 24 jam setelah itu atau
sesuai dengan prakiraan terjadinya perdarahan. Sehingga dapat mendeteksi
perdarahan yang bersifat intermiten dengan cara mengambil scanning pada jam-
jam tertentu.

Operasi Laparatomi Eksplorasi


Tentunya proses operasi secara langsung dapat mengidentifikasi sumber
perdarahan. Tetapi masalahnya adalah kapan tindakan ini akan dilakukan sebagai

8
modalitas diagnostik sekaligus terapeutik, bagaimana pertimbangan toleransi
operasi bagi pasien dan sejauh mana kemudahan untuk mengidentifikasi sumber
perdarahan durante operasi. Secara nyata dalam praktek penatalaksanaannya di
rumah sakit, hal ini sering menimbulkan kontroversi. Keadaan ini membutuhkan
koordinasi multidisiplin yang terkait. Pada dasarnya laparatomi eksplorasi
diindikasikan bila perdarahan hebat yang tidak dapat diatasi secara konservatif.
Perdarahan berulang pada keadaan yang sudah teridentifikasi sumber perdarahan
pada pemeriksaan kolonoskopi, arteriografi, atau scanning, juga tidak
memerlukan intervensi operasi. Risiko operasi akan menurun bila pada operasi
tersebut dapat dilakukan identifikasi sumber perdarahan per kolonoskopik, baik
sebelum maupun durante operasi.

J. Terapi pada Keadaan Akut


Resusitasi
Pada prinsipnya proses resusitasi sama dengan perdarahan SCBA atau
perdarahan akut lainnya, yaitu koreksi defisit volume intravaskular dan stabilisasi
hemodinamik. Pemasangan jalur intravena pada pembuluh besar harus dikerjakan
(bukan pada pembuluh versa kecil walaupun diduga perdarahan sedikit). Pada
awalnya larutan fisiologis NaCI dapat dipakai untuk mencukupi defisit volume
intravaskular.
Bila jelas hemodinamik terganggu dan belum ada darah, plasma ekspander
dapat dipakai untuk keperluan ini. Kadar Hb dan Ht dapat dipakai untuk
parameter kebutuhan transfuse darah dan biasanya,transfusi dengan target Hb
10-11 g/dl atau sesuai dengan kondisi sistemik pasien (umur, toleransi
kardiovaskular, dan lain-lain). Dapat dipakai whole blood bila masih
diperhitungkan perlunya resusitasi volume intravaskular atau red packed cell bila
hanya tinggal perlu menaikkan kadar hemoglobin. Bila terdapat defisiensi faktor
pembekuan. Kombinasi red packed cell dan fresh frozen plasma dapat menjadi
pilihan pertama pada proses resusitasi. Bila terdapat proses gangguan faktor

9
koagulasi lainnya, tentunya harus dikoreksi sesuai kebutuhan.
Bila masih diduga adanya perdarahan yang masif berasal dari SCBA, maka
pemasangan NGT untuk proses diagnostik harus dipertimbangkan. Aspirat NGT
yang jernih, belum menyingkirkan perdarahan bukan berasal dari SCBA.

Medikamentosa
Pada keadaan perdarahan akut, adanya gangguan hemodinamik, belum
diketahui sumber perdarahan, tidak ada studi yang dapat memperlihatkan manfaat
yang bermakna dari obat-obatan untuk keadaan ini. Kecuali telah diketahui,
misalnya perdarahan akibat pemberian antikoagulan atau pada kasus yang telah
diketahui adanya koagulopati. Obat-obat hemostatika yang banyak dikenal dan
beredar luas, dapat disepakati saja dipakai (bila jelas tidak ada kontra indikasi
pada tahap ini dengan mempertimbangkan cost-effective). Demikian pula obat
yang tergolong vasoaktif seperti vasopresin, somatostatin, dan okreotid.

Endoskopi Terapeutik
Pada keadaan di mana endoskopi mendapat peluang (keadaan dalam lumen
kolon cukup bersih) dalam segi identifikasi lesi sumber perdarahan, teknik ini
sekaligus dapat dipakai sebagai modalitas terapeutik (bila fasilitas tersedia).
Kauterisasi Pada lesi angiodisplasia atau tumor kolon, akan mengurangi derajat
atau menghentikan proses perdarahan. Polipektomi pada polip kolon yang
berdarah dapat bersifat kuratif.

Radiologi Intervensional
Dengan teridentifikasinya lokasi perdarahan, durante tindakan dapat
diberikan injeksi intraarterial vasopresin yang dilaporkan dapat mengontrol
perdarahan pada sebagian besar kasus perdarahan divertikel dan angiodisplasia.
Hanya harus diwaspadai efek vasokonstriksi obat tersebut pada sirkulasi tubuh
yang lain, terutama sirkulasi koroner jantung. Alternatif lain dari prosedur ini

10
adalah tindakan embolisasi pada pembuluh darah yang menjadi sumber
perdarahan teridentifikasi tersebut. Harus diwaspadai kemungkinan terjadinya
infark segmen usus terkait akibat prosedur embolisasi tersebut.

Surgikal
Pada prinsipnya operasi dapat bersifat emergensi tanpa didahului
identifikasi sumber perdarahan atau elektif setelah sumber perdarahan
teridentifikasi. Tentunya hal ini mempunyai dampak risiko yang berbeda. Operasi
emergensi mempunyai angka kesakitan dan kematian yang tinggi bila dilakukan
pada keadaan yang tidak stabil. Kombinasi antara kolonoskopi pre dan durante
operasi diharapkan dapat mengurangi waktu operasi yang dibutuhkan.

K. Terapi Pilihan
Hemoroid Interns
Penyebab tersering perdarahan SCBB, biasanya ringan, tidak
mempengaruhi hemodinamik dan dapat berhenti spontan. Perdarahan biasanya
terjadi setelah defekasi, menetes, darah terpisah dari feses. Harus dibedakan
dengan tumor atau polip rekturn karena tata laksananya sangat berbeda. Terapi
konservatif, terapi sklerosing/ligasi, atau surgikal dapat dikerjakan sesuai indikasi
yang dikaitkan dengan derajat hemoroidnya. Derajat IV atau adanya trombus
memerlukan peran surgikal.

Angioma/Angiodisplasia kolon
Lokasi terutama di daerah kolon kanan atau sekum, biasanya bersifat
multipel. Bila dapat diidentifikasi pada waktu perdarahan, tindakan kauterisasi
perendoskopik dapat menghentikan perdarahan pada sebagian kasus. Di samping
itu alternatif lain berupa embolisasi selektif waktu dilakukan angiografi.
Vasopresin intraarterial dilaporkan cukup bermanfaat dalam menghentikan
perdarahan.

11
Divertikulosis Kolon
Biasanya perdarahan tanpa rasa nyeri, merah segar atau maroon stool,
sering bersumber dari kolon bagian kanan. Pada umumnya spontan berhenti dan
tidak ada terapi medikamentosa yang spesifik pada sebagian besar kasus.
Kekerapan semakin meningkat sesuai umur.

Divertikulum Meckel
Biasanya teridentifikasi dengan teknik pemeriksaan skintigrafi. Terapi
surgikal merupakan pilihan pertama.

Tumor Kolon
Perdarahan biasanya sedikit, bercampur feses, bersifat kronik. Jarang
menimbulkan permasalahan diagnostik dan terapeutik emergensi.

Kolitis Iskemik
Harus dipertimbangkan sebagai penyebab hematoskezia, terutama pada usia
lanjut atau terdapat gangguan koagulasi atau trombosis. Pada umumnya
bermanifestasi bersamaan dengan nyeri perut, terutama setelah makan. Terapi
pilihan sesuai dengan penyakit dasarnya.

Kolitis Radiasi
Adanya riwayat radiasi (terutama radiasi internal pada karsinoma serviks),
harus dipertimbangkan adanya perdarahan SCBB akibat proktitis radiasi.
Pengobatannya masih mengecewakan. Steroid dan sukralfat enema dapat dipakai
dengan hasil yang bervariasi.

Inflammatory Bowel Disease


Secara medikal diusahakan dengan 5-ASA dan steroid. Bila perdarahan
hebat dapat dilakukan operasi kolektomi.

12
Kolitis Infeksi
Hematoskezia terjadi bersamaan dengan klinis tanda infeksi SCBB, seperti
diare dan nyeri perut. Pengobatannya, baku sesuai dengan penyebab dasar. Jarang
perdarahan ini menimbulkan gangguan hemodinamik.

Algoritme Tata Laksana Perdarahan SCBB


Proses pembuatan algoritme tata laksana perdarahan SCBB dalam bentuk
Konsensus Nasional yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Gastroenterologi
Indonesia, Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia, dan Perhimpunan Endoskopi
Gastrointestinal Indonesia (penulis dalam hal ini sebagai koordinatornya), pada
saat makalah ini dibuat, dalam fase akhir dan akan diuji coba dalam bentuk
lokakarya di Bandung. Pada prinsipnya, bahwa algoritme ini dapat diterapkan di
berbagai tingkat pelayanan kesehatan sesuai dengan konsensus, yang
dibuat.(Lihat lampiran 1, 2, dan 3)

L. Penatalaksanaan Umum atau Suportif


Penatalaksanaan ini memperbaiki keadaan umum dan tanda vital. Yang
paling penting pada pasien perdarahan SCBB atau hematokezia adalah
memberikan resusitasi pada waktu pertama kali datang ke rumah sakit. Kita harus
secepatnya memasang infus untuk pemberian cairan kristaloid (seperti NaCL
0.9% dan lainnya) ataupun koloid (plasma expander) sambil menunggu darah
dengan/tanpa komponen darah lainnya bila diperlukan. Selang nasogastrik perlu
dipasang untuk memonitor apakah perdarahan memang berasal dari SCBB dan
apakah masih aktif berdarah atau tidak dengan melakukan bilasan lambung tiap 6
jam sampai jernih.
Pasien harus diperiksa darah perifer (hemoglobin, hematokrit, leukosit dan
trombosit) tiap 6 jam untuk memonitor aktifitas perdarahan. Sebaiknya bila
dicurigai adanya kelainan pembekuan darah seperti Disseminated Intravascular
Coagullation (DIC) dan lainnya, harus dilakukan pemeriksaan pembekuan darah

13
seperti masa perdarahan, masa pembekuan, masa protrombin, APTT, masa
trombin, Burr Cell, D dimmer dan lainnya. Bila terdapat kelainan pembekuan
darah harus diobati sesuai kelainannya. Pada penderita dengan hipertensi portal
dimana perdarahan disebabkan pecahnya varises esofagus dapat diberikan obat
somatostatin atau oktreotide. Pada perdarahan non varises yang masif, dapat juga
diberikan somatostatin atau oktroetide tetapi jangka pendek 1-2 hari saja. Pada
prinsipnya, urutan penatalaksanaan perdarahan SCBB dapat mengikuti anjuran
algoritme penatalaksanaan dari Konsensus Nasional Indonesia atau Palmer atau
Triadapafilopoulos.
Selain pengobatan pada pasien perdarahan perlu diperhatikan pemberian
nutrisi yang optimal sesegera mungkin bila pasien sudah tidak perlu dipuasakan
lagi, dan mengobati kelainan kejiwaan/psikis bila ada dan memberikan edukasi
mengenai penyakit pada pasien dan keluarga misal memberi tahu mengenai
penyebab perdarahan dan bagaimana cara-cara pencegahaan agar tidak
mengalami perdarahan lagi.

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari uraian Bab Pembahasan sebelumnya dapat diambil kesimpulan bahwa
hematokezia adalah buang air besar darah merah segar dari saluran cema bagian
bawah (SCBB). Pseudomelena adalah buang air besar berwarna hitam, tapi
penyebab perdarahan berasal dari saluran cema bagian bawah disebabkan darah
terlalu lama di uses. Pseudohematokezia adalah buang air besar merah segar tapi
disebabkan oleh perdarahan masif dari SCBA, dimana darah yang keluar tidak
sempat bercampur dengan asam lambung. Saluran cema bagian bawah (SCBB)
meliputi jejunum distal di bawah ligamentum TReitz, ileum, kolon, rektum dan
anus.

B. Saran
 Bagi yang mengalami pendarahan terutama bila buang air besar disertai
dengan darah harus segera dibawa ke RS karena apabila dibiarkan dapat
mengakibatkan kematian.
 Mohon perhatian Pemerintah Kabupaten/Kota/Propinsi untuk melengkapi
peralatan untuk mendeteksi dari penyebab dan kandungan dari pendarahan
hematokezia.

15
DAFTAR PUSTAKA

Budianto, Anang. 2005. Guidance to Anatomy H. Surakarta. : Keluarga Besar


Asisten Anatomi FKUNS.

Chandrasoma dan Taylor. 2006. Ringkasan Patologi Anatomi. Ed: ke-2. Jakarta
EGC.

http://dokmud.wordpress.com/1-0I0/06/03/Perdarahan-saluran=cema-bagian-bawah/

http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=62913

http://drlizakedokteran.blogspot.com/2008-01-01-archive.html

Hadi, Sujono. 1997. Hematokezia. Dalam: Gastroenterologi Hepatologi. Jakarta: CV


Sagung Seto.

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Perdarahan Saluran Cerna. Bagian Bawah


Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia (belum dipublikasi).

16
MAKALAH
HEMATOKEZIA

Disusun Oleh:

ECHIN SURYANI
NPM: 0926010069.P

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


TRI MANDIRI SAKTI
BENGKULU
2010

17
KATA PENGANTAR

Rasa syukur yang dalam kami sampaikan ke hadirat Allah SWT, karena berkat
kemurahanNya makalah ini dapat kami selesaikan sesuai yang diharapkan. Dalam
makalah ini kami membahas tentang “Hematokezia”.
Dalam proses pembuatan makalah ini, tentunya kami mendapatkan
bimbingan, arahan, koreksi dan saran dari berbagai pihak. Untuk itu rasa terima
kasih yang dalam-dalamnya
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih memiliki banyak kekurangan dan
kekeliruan yang mungkin tidak disengaja. Untuk itu kritik dan saran yang
membangun sangat diharapkan untuk perbaikan ke depan.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bengkulu, Juli 2010

Penulis

ii
18
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i


KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................... 1
B. Tujuan Penulisan ........................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Hematokezia ................................................................ 2
B. Gambaran Klinis ............................................................................ 2
C. Penyebab ........................................................................................ 4
D. Tata Laksana .................................................................................. 4
E. Initial Assessment .......................................................................... 4
F. Riwayat Penyakit ........................................................................... 5
G. Pemeriksaan Fisik .......................................................................... 5
H. Laboratorium ................................................................................. 5
I. Pemeriksaan Penunjang Diagnostik .............................................. 6
J. Terapi pada Keadaan Akut ............................................................ 9
K. Terapi Pilihan ................................................................................ 12
L. Penatalaksanaan Umum atau Suportif ........................................... 14

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan .................................................................................... 16
B. Saran .............................................................................................. 16

DAFTAR PUSTAKA

19
iii

Anda mungkin juga menyukai