Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN KASUS POLI UMUM DERMATOLOGI

PITIRIASIS VERSIKOLOR
PENDEKATAN DIAGNOSA SECARA KLINIS

Disusun Oleh :
Anggi Thalita Adelia Simatupang
1765050404
Dosen Pembimbing : dr. Syahfori Widiyani, MSc, Sp.KK

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


PERIODE 22 JULI – 24 AGUSTUS 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
2019
PITRIASIS VERSIKOLOR
PENDEKATAN DIAGNOSA SECARA KLINIS
Angg Thalita Adelia Simatupang, S.Ked
Dokter Muda Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSU UKI
Periode 22 Juli – 24 Agustus 2019

PENDAHULUAN
PITRIASIS VERSICOLOR
Pitiriasis versikolor atau dikenal dengan panu adalah infeksi jamur superfisial ditandai
dengan perubahan pigmen kulit akibat kolonisasi stratum korneum oleh ragi lipofilik dari genus
Malassezia, Malassezia furfur (dikenal juga sebagai Pityrosporum orbiculare, Pityrosporum
ovale). Malassezia furfur merupakan flora normal pada kulit yang dapat berubah menjadi
bentuk patogen dalam kondisi tertentu, seperti lingkungan dengan suhu dan kelembaban tinggi,
produksi kelenjar sebum dan keringat, genetik, keadaan imunokompromais, dan keadaan
malnutrisi. Malassezia menghasilkan berbagai senyawa yang mengganggu melanisasi kulit
sehingga menyebabkan perubahan pigmentasi kulit.1,2
Pitiriasis versikolor banyak dijumpai di daerah tropis dikarenakan tingginya suhu dan
kelembaban lingkungan, diperkirakan 40-50% dari populasi di negara tropis terkena penyakit
ini. Penyakit ini dapat menyerang semua usia, namun paling banyak pada usia 16-30 tahun. Di
Indonesia sendiri belum ada data mengenai angka kejadian pitiriasis versikolor, namun di Asia
dan Australia pernah dilakukan percobaan secara umum pada tahun 2008 dan didapatkan angka
yang cukup tinggi karena mendukungnya iklim di daerah Asia.3
Lesi khas pitiriasis versikolor dapat berupa makula, plak, atau papul folikular dengan
beragam warna, hipopigmentasi, hiperpigmentasi, sampai eritematosa, berskuama halus di
atasnya, dikelilingi kulit normal. Lokasinya dapat ditemukan di bagian dada, meluas ke lengan
atas, leher, punggung, dan tungkai atas atau bawah. Umumnya, penderita merasakan gatal
ringan saat berkeringat.2,3
Flora normal kulit yang berhubungan dengan timbulnya pitiriasis versikolor adalah
Pityrosporum orbiculare atau Pityrosporum ovale. Keduanya dapat berubah menjadi patogen
apabila terjadi perubahan pada lingkungan hidupnya. Pitiriasis versikolor dapat terjadi jika
keadaan antara host dan flora jamur tak seimbang. Terdapat beberapa faktor yang berkontribusi
dalam mengganggu keseimbangan tersebut, yaitu faktor endogen dan eksogen.
1. Endogen: produksi kelenjar sebasea dan keringat, genetik, malnutrisi, faktor
immunologi dan pemakaian obat-obatan,
2. Eksogen: suhu dan kelembaban kulit
Peningkatan sekresi sebum oleh kelenjar sebasea akan mempengaruhi pertumbuhan
berlebih dan organisme yang bersifat lipofilik ini. Insidensi terjadi pada saat kelenjar sebasea
paling aktif yaitu masa pubertas dan dewasa awal. Pada orang dengan produksi keringat yang
berlebih juga memiliki kecenderungan untuk terjadi pertumbuhan jamur ini, stratum korneum
akan melunak pada keadaan basah dan lembab sehingga mudah dimasuki jamur. Pada keadaan
malnutrisi dan pada penderita dengan penekanan sistem imun akan memudahkan pertumbuhan
jamur oportunis. Faktor terakhir, yaitu suhu dan kelembaban yang tinggi akan meningkatkan
produksi kelenjar sebum dan keringat sehingga pertumbuhan M. furfur meningkat.3,4
Di pitiriasis versicolor, organisme dapat beralih ke patogennya bentuk miselia dan
menyerang stratum korneum. Perubahan pigmen yang diproduksi di kulit, diyakini dapat
dicapai melalui beberapa mekanisme. Hipopigmentasi terlihat terutama pada kulit yang lebih
gelap, sebagai hasil produksi asam azelaic, asam dikarboksilat yang menghambat tirosinase
(enzim yang mengkatalisasi langkah dalam melanin sintesis) dan juga dapat secara langsung
bersifat sitotoksik terhadap melanosit. Asam azelaic dan asam dikarbosilat memproduksi
metabolit yang dinamakan pityriacitrin yang mempunyai kemampuan absorbs sinar ultraviolet
sehingga menyebabkan lesi hipopigmentasi.5
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis, pemeriksaan mikroskopis dan
kultur. Beberapa pemeriksaan penunjang lain juga dapat dilakukan untuk membantu diagnosis
seperti pemeriksaan dengan lampu wood.6
Pada pemeriksaan kulit dapat ditemukan makula dalam berbagai ukuran dan warna,
ditutupi sisik halus dapat muncul dengan rasa gatal atau tanpa keluhan dan hanya gangguan
kosmetik saja. Makula yang timbul dapat berupa hipopigmentasi, kecokelatan, keabuan, atau
kehitam-hitaman dalam berbagai ukuran dan skuama halus di atasnya. Lokasi lesi dapat terjadi
dimana saja di permukaan kulit, lipat paha, ketiak, leher, punggung, dada, lengan, wajah, dan
tempattempat tak tertutup pakaian.6
Bahan yang digunakan untuk pemeriksaan mikroskopis adalah kerokan kulit dari pusat
lesi. Kerokan kulit diratakan pada kaca preparat, pertama dilarutkan dengan kalium hidroksida
10-20% kemudian diwarnai dengan pewarnaan biru metilen, tinta parker atau biru laktofenol.
Ciri khas dari pemeriksaan mikroskopik pitiriasis versikolor adalah gambaran “spaghetti and
meat balls”. Sementara itu, morfologi koloni yang tumbuh pada media kultur bervariasi
tergantung pada spesies Malassezia. Permukaannya bisa kusam atau berkilau, halus atau kasar,
cembung atau rata dengan tepi yang sedikit berlipat atau beralur. Teksturnya bisa gembur,
kasar ataupun keras. Warnanya pun bervariasi dari krem hingga putih. Pemeriksaan
mikroskopis dari kultur jamur juga menunjukkan gambaran yang bervariasi tergantung dari
spesies Malassezia. Sel biasanya unipolar, bisa besar atau kecil, bulat atau silindris.7
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis pitiriasis versikolor
adalah pemeriksaan dengan lampu wood. Pada pemeriksaan menggunakan sinar wood tampak
fluoresensi tembaga-jingga atau juga keemasan (coppery-orange). Pemeriksaan dengan lampu
wood tidak dapat mengkonfirmasi diagnosis pitiriasis versikolor, pemeriksaan ini hanya
sebagai penunjang dalam diagnosis. Cahaya wood diproduksi oleh lampu merkuri bertekanan
tinggi yang memancarkan ultraviolet A. Cahaya ini akan diserap oleh melanin dan
menghasilkan fluoresensi karakteristik dalam kondisi patologis.6,7
Terapi pitiriasis versikolor menggunakan agen antifungal dapat dilakukan secara
topikal maupun sistemik. Pengobatan harus berdasarkan beberapa peritimbangan, antara lain
luas lesi, biaya, kepatuhan pasien, kontra indikasi, dan efek samping.5
Untuk pitiriasis versicolor, lini pertama perawatan topikal adalah shampo (pyrithione
seng atau selenium sulfida), propilen glikol dalam air solusi, dan krim antijamur azole
(ketoconazole adalah yang paling banyak dipelajari). Untuk keterlibatan yang sangat luas atau
penyakit yang sulit disembuhkan dengan topikal, antijamur oral dapat diberikan. Terapi oral
yang efektif dalam menyambuhkan pitiriasis versicolor adalah flukonazol (300 mg untuk 2
dosis 7 hari terpisah) atau itrakonazol (200 mg setiap hari selama 7 hari). Namun, flukonazol
mungkin lebih disukai karena bioavailabilitasnya lebih bervariasi.5
Untuk menghindari kambuhan pada pasien, pengobatan rumutan dapat
dipertimbangkan. Dengan menggunakan sampo selenium sulfida atau sampo ketoconazole 2%
secara periodis atau dengan menggunakan obat sistemik itraconazole 200 mg 2 kali dalam
sehari, 1 kali dalam 1 bulan selama 6 bulan.5
KASUS
Seorang peremepuan, berinisail M, berusia 30 tahun, merupakan seorang ibu rumah
tanggan, beralamat Jl. Serca 6 RT 05 RW 09 Datang ke poli Kulit dan Kelamin RSU UKI
Jakarta pada tanggal 15 Juli 2019 dengan keluhan adanya bercak putih yang terdapat pada
daerah punggung, lengan atas dan bawah hingga paha.
Pasien mengatakan bahwa bercak putih tersebut sudah ada sejak 4 bulan yang lalu.
Awalnya bercak putih tersebut terdapat dipunggung di daerah punggung bagian bawah,
semangkin lama bercak tersebut menyebar sampai seluruh punggung dan ke kedua lengan atas
dan bawah hingga paha. Pasien mengakatan bercak putih tersebut terasa gatal terutama pada
saat berkeringat dan bercak putih terasa kering dan sedikit bersisik. Bercak putih tersebut tidak
terasa nyeri atau perih. Pasien belum menggunakan obat topikal sebelumnya. Dalam kegiatan
sahari-hari pasien, pasien sering kerumah temanya dengan berjalan kaki, pasien sering malas
berganti baju setelah berjalan karena terasa lelah. Pasien belum pernah mengalami hal ini
sebelumnya, dan dalam keluarga pasien tidak ada yang mengeluhkan hal yang sama. Karena
merasa terganggu pasien pun memeriksakan diri ke poli kulit dan kelamin RS UKI.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien baik, status gizi pasien baik,
kesadaran composmentis, tanda-tanda vital dalam batas normal, kelenjar getih bening pasien
tidak teraba membesar. Pada pemeriksaan dermatologis didapatkan pasien memiliki warna
kulit tipe IV menurut klasifikasi Fitzpatrik, rambut kepala dan alis berwarna hitam dengan
persebaran merata, tidak mudah dicabut. Iris mata pasien berwarna cokelat tua. Pada status
dermatologis ditemukan pada regio thorakal-lumbal posterior, lengan atas dan bawah hingga
paha, tampak patch hipopigmentasi multiple, bentuk tidak teratur, batas tidak tegas, berukuran
milier sampai lentikuler, diatasnya terdapat skuama.
Untuk menyingkirkan diagnosis banding dilakukan pemeriksaan fisik sensibilitas,
motorik dan system saraf tepi. Dari hasil yang didapatkan, tidak terdapat adanya pembesaran
saraf-saraf perifer dan kelemahan kekuatan motorik pada pasien. Dilakukan juga
pemeriksaan rangsang raba, suhu, dan nyeri tidak ada perbedaan sensasi pada kulit pasien.
Untuk pemeriksaan penunjang dilakukan kerokan kulit dengan KOH 10% dan untuk hasilnya
negatif. Sayangnya tidak dilakukan pemeriksaan Lampu Wood dan BTA (Basil Tahan Asam).
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien didiagnosa sementara sebagai
Pitriasis Versikolor. Pada kasus, keluhan didiagnosis banding dengan Morbus Hansen, vitiligo,
dan Pitiriasis Alba.
PEMBAHASAN
Pitiriasis versikolor adalah infeksi jamur superfisial yang disebabkan oleh kolonisasi
jamur lipofilik Malasezzia furfur yang merupakan flora normal yang terdapat pada permukaan
kulit manusia. Pitiriasis versikolor paling banyak terjadi di daerah beriklim tropis dengan
tingkat kelembaban yang tinggi.8
Pendekatan diagnosa sementara dari kasus ini dilakukan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik klinis. Pasien in merupakan seorang perempuan berusia 30 tahun, dengan
kulit tipe IV menurut klasifikasi Fitzpatrick, bermata cokelat tua, seorang ibu rumah tangga,
mengeluh terdapat bercak warna putih bercak putih ditemukan di punggung. Bercak putih
pada awalnya berjumlah sedikit lalu bertambah banyak. Bercak putih tersebut menyebar
sampai lengan atas dan paha, sesekali terasa gatal, dan tidak terasa sakit ataupun baal. Pasien
mengeluhkan masalah kosmetik pada bercak putih tersebut.
Pasien mengatakan bercak putih tersebut timbul sejak 4 bulan yang lalu. Penyataan ini
sesuai dengan literaur yang menyatakan durasi lesi pitiriasis versikolor bisa memakan waktu
bulanan hingga tahunan. Lesi bisa berlangsung sangat lama karena biasanya lesi tidak
menimbulkan kekhawatiran yang bersifat darurat.9
Pasien mengatakan bercak putih tersebut terasa gatal terutama pada saat pasien
berkeringat, namun tidak terasa nyeri. Bercak putih tersebut juga tidak pernah terluka atau
berdarah. Hal ini sesuai dengan hipotesis bahwa lingkungan yang lembab dan basah
meningkatkan virulensi jamur sehingga muncul rasa gatal segera setelah paparan sinar
matahari, berkeringat, maupun mandi. Akan tetapi, belum ada penjelasan yang pasti mengenai
gatal yang muncul pada lesi.10
Pasien juga mengatakan sering berpergian ke rumah temannya dengan berjalan kaki
dan memiliki kebiasaan tidak segera mengganti pakaian setelah bepergian. Beberapa
literatur mengatakan gaya hidup seperti ini merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan perubahan malassezia furfur dari flora normal menjadi flora yang patogen.
Faktor-faktor yang memicu perubahan malassezia furfur antara lain adalah iklim tropis,
kondisi hiperhidrosis, kulit yang berminyak, konsumsi kortikosteroid sistemik,
imunodefisiensi, serta keadaan malnutrisi.11
Pada pemeriksaan penunjang yang dilakukan terdapat hasil pemeriksaan kerokan kulit
dengan KOH negatif. Diagnosis pityriasis biasanya dikonfirmasi dengan dengan pemeriksaan
kerokan kulit dengan kalium hidroksida (KOH). Hasil pemeriksaan dengan KOH tampak spora
dengan miselium pendek telah disebut sebagai spaghetti and meatballs. Dalam pemeriksaan
lab, tidak menutup kemungkinan terjadinya kesalah dalam pemeriksaan. Hal ini sesuai dengan
litertur yang menyatakan hasil negatif palsu dari uji KOH mungkin karena elemen jamur yang
rendah dalam sampel atau kurang pengalaman teknisi laboratorium, sedangkan hasil false
positive dapat disebabkan karena pengambilan sampel yang tidak tepat, atau organisme jamur
yang mati. Sensitivitas dan spesifisitas dari uji KOH adalah 77% dan 62%.12 Terdapat juga
literatur yang menyatakan bila pemeriksaan KOH menunjukan hasil yang negatuf, ada
kemungkinan cukup baik bahwa kultur jamur akan menunjukan keberadaan jamur.25
Morbus Hansen merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah
Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama,
lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali
susunan saraf pusat.13
Mycobacterium leprae merupakan bakteri yang tidak dapat dikultur, Gram-positif,
bersifat intra selular dan tahan asam. Bakteri M. leprae tidak dapat dikultur dan membutuhkan
keadaan intraselular untuk berkembang karena mempunyai beberapa enzim pernapasan untuk
bertahan. Selain itu, M. leprae juga menyerang lamina basal dari unit akson sel Schwann
sehingga saraf yang terkena adalah sistem saraf perifer.14
Klasifikasi penyakit Morbus Hansen didasarkan pada gambaran klinis, bakterioskopik,
dan histopatologis. Ridley - Jopling mengklasifikasikan morbus Hansen menjadi; Tuberkuloid
polar (TT) yang merupakan bentuk stabil, Borderline tuberculoid (Bt), Mid Borderline (BB),
Borderline lepromatous (Bl), Lepromatosa polar (LL) yang merupakan bentuk yang stabil.15
WHO membagi klasifikasi Morbus Hansen berdasarkan jumlah lesi dan hasil
pemeriksaan bakterioskopik pada kulit, yaitu Pausi Basiler (PB) dengan jumlah satu – lima lesi
dan hasil pemeriksaan bakteri negatif. Sedangkan Multi Basiler (MB) dengan jumlah lebih dari
lima lesi dan hasil pemeriksaan bakteri positif.16
Morbus Hansen mempunyai tiga gejala klinis yang utama disebut Cardinal sign, yaitu
lesi hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar (makula) atau meninggi (plakat) yang bersifat
kurang atau hilangnya sensasi rasa, penebalan saraf perifer antara lain n.ulnaris, n.medianus,
n.auricularis magnus, n.poplitea lateralis, n.tibialis posterior, ditemukan basil tahan asam
pada pemeriksaan bakterioskopik hapusan kulit cuping telinga dan lesi kulit yang aktif..7,8,9
Untuk menegakkan penyakit kusta, paling sedikit harus ditemukan satu tanda kardinal.1,9 Bila
tidak atau belum dapat ditemukan, maka penderita perlu diamati dan diperiksa ulang setelah 3-
6 bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau disingkirkan.15,17
Pada pemeriksaan fisik, dilakukan pemeriksaan neurologis yang mendukung
untuk gejala klinis morbus Hansen yaitu pemeriksaan pembesaran saraf -saraf perifer,
kekuatan motorik dan pemeriksaan sensorik.18 Dari hasil yang didapatkan, tidak terdapat
adanya pembesaran saraf-saraf perifer, dan kelemahan kekuatan motorik pada pasien.
Dilakukan juga pemeriksaan rangsang raba, suhu, dan nyeri. Penemuan klinis ini tidak
mengarah pada diagnosis morbus hansen.
Pada kasus ini, Morbus Hansen padat diajukan sebagai diagnosis banding karena
memiliki bentuk lesi berupa makula hipopgimentasi, dengan tidak bentuk teratur dan batas
tidak tegas. Namun, diagnosis ini dapat disingkirkan karena berdasarkan pemeriksaan fisiknya
tidak mendukung diagnosis Morbus Hansen.
Vitiligo ialah penyakit kulit dan membran mukosa kronis yang terjadi akibat destruksi
melanosit, dengan karakteristik makula depigmentasi, faktor predisposisi multifaktorial, dan
faktor pencetus seperti trauma, terbakar matahari, stres, serta penyakit sistemik. 14
Vitiligo mempunyai beberapa predileksi, antara lain periorifisial, wajah, genital,
membran mukosa, daerah ekstensor, tangan, dan kaki. Vitiligo generalisata merupakan jenis
yang paling banyak ditemukan. Patogenesis pasti belum diketahui, tetapi diduga terjadi
gangguan neurogenik simpatetik, stres oksidatif, dan autoimun. Lesi vitiligo dapat terasa gatal
dan sering terjadi fenomena Koebner.19
Pada pasien vitiligo tampak beberapa manifestasi klinik berupa makula amelanotik
berwarna putih susu atau seperti kapur, biasanya berbatas tegas dan tepi dapat berlekuk. Lesi
dapat dilihat dengan pemeriksaan menggunakan Lampu Wood. Lesi meluas secara sentrifugal
dan dapat timbul di semua area tubuh, termasuk membran mukosa.20
Klasifikasi vitiligo antara lain segmental, akrofasial, generalisata, dan universal, atau
berdasarkan pola daerah yang terkena yaitu jenis fokal, campuran, dan mukosa Pada vitiligo
fokal, lesi biasanya berupa makula soliter atau beberapa makula tersebar pada satu area,
distribusi lesi ini paling sering di daerah saraf trigeminus, tetapi dapat juga timbul di leher dan
badan. Pada vitiligo segmental, makula unilateral dengan distribusi dermatomal atau kuasi
dermatomal, vitiligo jenis ini diduga akibat disfungsi simpatetik dan terbanyak pada
dermatomal trigeminus.14
Vitiligo generalisata, vitiligo jenis ini disebut juga vitiligo vulgaris dan merupakan jenis
vitiligo yang paling banyak ditemukan. Lesi berupa patches depigmentasi luas dengan
distribusi yang biasanya simetris. Lesi sering terdapat pada daerah sensitif atau tekanan,
gesekan, dan/ atau trauma, serta sering terjadi secara progresif. Vitiligo generalisata sering
berkaitan dengan riwayat kelainan autoimun personal atau keluarga. Vitiligo universal, lesi
berupa makula dan patches depigmentasi di hampir seluruh tubuh, sering berkaitan dengan
sindrom endokrinopati multiple. Vitiligo universal merupakan gambaran akhir vitiligo
generalisata.14,21
Pada kasus ini, Vitiligo padat diajukan sebagai diagnosis banding karena memiliki
bentuk lesi berupa patch hipopgimentasi. Namun, diagnosis ini dapat disingkirkan karena
vitiligo sering berkembang secara simetris, sedangkan pityriasis versikolor tidak. Kulit yang
terkena vitiligo biasanya memiliki tekstur normal, sedangkan daerah yang terkena pityriasis
versicolor biasanya sedikit bersisik.14
Pitiriasis Alba merupakan suatu bentuk dermatitis tidak spesifik dan belum
diketahui penyebabnya yang ditandai dengan adanya bercak kemerahan dan skuama halus yang
akan menghilang serta meninggalkan daerah depigmentasi. Penyebab dari pitiriasis alba
sampai saat ini masih belum banyak diketahui. Beberapa peneliti beranggapan bahwa pitiriasis
alba diakibatkan oleh bakteri streptococcus namun belum dapat dibuktikan. Sampai saat ini
dipercaya bahwa pitiriasis alba dihubungkan dengan kebiasaan mandi yang berlebihan, ekpose
dengan sinar matahari, kerusakan melanosit, dan kekurangan gizi.22
Penyakit ini dapat mengenai semua usia namun paling sering pada anak- anak yang
berumur 3-16 tahun (30-40%) dengan 90% insiden terjadi pada anak < 12 tahun. Pitiriasis alba
mengenai pria dan wanita dengan jumlah yang sama banyak. Pitiriasis alba dapat mengenai
semua ras.23
Gejala klinis dari pitiriasis alba seringkali diabaikan oleh pasien karena bersifat
asimtomatik. Seringkali pasien datang ke dokter dengan keluhan perubahan warna pada kulit
yang tidak menghilang. Gejala yang umum terjadi pada pitiriasis alba adalah lesi berbentuk
bulat, oval atau plakat yang tidak teratur. Pada saat awal lesi warna merah muda dengan batas
yang meninggi kemudian lama kelaman menghilang dan muncul lesi hipopigmentasi dengan
skuama yang halus. Bercak biasanya multiple 4-20 dengan diameter antara ½ - 2 cm. Lokasi
kelainan pada muka (50-60%), paling sering di sekitar mulut, dagu, pipi, serta dahi. Lesi
hipopigmentasi ini natinya akan bertahan berbulan-bulan hingga tahunan.24
Pada kasus ini, Pityriasis Alba padat diajukan sebagai diagnosis banding karena
memiliki bentuk lesi berupa lesi hipopigmentasi yang berbentuk tidak teratur. Namun,
diagnosis ini dapat disingkirkan karena predileksi pada pitiriasis alba paling sering terdapat di
daerah muka, dan secara epidemiologi lebih sering terjadi pada anak-anak.
RANGKUMAN
Dilaporkan suatu kasus Pitiriasis verikolor pada seorang perempuan berusia 30
tahun. Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesis ada keluhan timbulnya bercak putih pada
punggung, lengan atas dan bawah hingga paha. Bercak putih tersebut gatal terutama pada saat
berkeringat. Manifestasi klinis berupa patch hipopigmentasi multiple, bentuk tidak teratur,
batas tidak tegas, berukuran milier sampai lentikuler, diatasnya terdapat skuama. Kekurangan
terdapatnya hasil kerokan kulit dengan KOH 10 % negatif. Dimana kerokan kulit adalah salah
satu pemeriksaan penunjang yang dapat mengakan diagnosis pitiriais versokolor. Selain itu
tidak dilakukannya pemeriksaan penunjang lebih lanjut seperti tidak dilakukannya
pemeriksaan dengan lampu wood sehingga tidak terlihat fluoresensi tembaga-jingga atau juga
keemasan (coppery-orange). Selain itu,
GAMBAR

Gambar 1.0
Daftar Pustaka

1. Mahmoud YAG, Metwally MA, Mubarak HH, Zewawy NE. Treatment of tinea
versicolor caused by Malassezia furfur with dill seed extract: an experimental study. J
Pharm Pharmaceut Sci. 2014;7(2):975-1491.
2. Han A, Calcara DA, Stoecker WV, Daly J, Siegel DM, Shell A, et al. Evoked scale sign
of tineaversicolor. J Arch Dermatol. 2009;145(9):1078.
3. Rai MK, Wankhade s. Tinea versicolor - an epidemiology. J Microbial Biochem
Technol. 2009;1(1):51-6.
4. Partogi D. Pityriasis versikolor dan diagnosis bandingnya [tesis]. Medan: Universitas
Sumatera Utara; 2008.
5. Ahronowitz I, Leslie K. Candidiasis. Fitzpatrick’s Dermatologi 9th Ed. United States:
McGraw-Hill Education, 2019: 2959-63.
6. Siregar RS. Atlas berwarna saripati penyakit kulit. Jakarta: EGC; 2005.
7. Ibekwe P. Correlation of Malassezia species with clinical characteristics of pityriasis
versicolor [tesis]. Munich: Ludwig-Maximilians-Universitat; 2014.
8. Janik MP, Heffernan MP. Yeast infection : Candidiasis and Tinea (pityriasis)
Versicolor. In : Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS,
Leffell DJ, eds. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th Edition. New York
: McGraw-Hill. 2008; Hal.1828-30
9. Burkhart CG, Dvorak N, Stockard H. An unusual case of tinea versicolor in an
immunosuppressed patient. Cutis. 1981. 27(1):56-8
10. Mayser PA, Lang SK, Hort W. Pathogenicity of Malassezia Yeasts. In: Brakhage AA,
Zipfel PF. editors. The Mycota VI. 2nd ed. Berlin: Springer; 2008:115-54.
11. Janik MP, Heffernan MP. Yeast infection : Candidiasis and Tinea (pityriasis)
Versicolor. In : Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS,
Leffell DJ, eds. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th Edition. New York
: McGraw-Hill. 2008:1828-30
12. Ardakasi ME, Ghaderi N, Kafaei P. The Diagnostic Accuracy of Potassium Hydroxide
Test in Dermatophytosis. In 2016.
13. I Made D, Sri M. Kusta. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Ketujuh. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016: 87-102.
14. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA. Fitzpatrick’s Dermatology In General
Medicine. Volume 1 & 2 Seventh Edition. United States of America: McGraw-Hill
Companies, Inc; 2008:1787-1796.
15. Claudio G, Brito A, et al. Leprosy. Fitzpatrick’s Dermatologi 9th Ed. United States:
McGraw-Hill Education, 2019: 2893-2919.
16. The World Health Organization. Diagnosis of Leprosy. Leprosy Elimination. Available
at http://www.who.int/lep/diagnosis/en/.
17. Program Pengendalian Penyakit Kusta di Indonesia. Available at
http://pppl.depkes.go.id/berita?id=948
18. Menaldi L, Bramon K, Indriatmi W, et al. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin : Edisi 7.
Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: 2015. hal. 103-105
19. Alikhan A, Felsten LM, Daly M, Petronic- Rosic V. Vitiligo: a comprehensive
overview introduction, epidemilology, quality of life, diagnosis, associations,
histopathology, etiology, and work-up. J Am Acad Dermatol. 2011; 65(3):473-91.)
20. Anstey AV. Disorders of skin colour. Dalam: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths
C, editor. Rook’s textbook of dermatology. Edisi ke-8. Chichester: Blackwell
Publishing Ltd.; 2010.
21. Ezzedine K, Gauthier Y, Leaute-Labreze C, Marquez S, Bouchtnei S, Jouary T, et al.
Segmental vitiligo associated with generalized vitiligo (mixed vitiligo): a retrospective
case series of 19 patiens. J Am Acad Dermatol. 2011; 65(5):965-71.
22. Bechelli LM, Haddad N, Pimenta WP, et al. Epidemiological survey of skin diseases
in schoolchildren living in the Purus Valley (Acre State, Amazonia, Brazil).
Dermatologica. 1981;163(1):78-93.
23. Soepardiman L. Pitiriasis Alba. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Ketujuh.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016: 87-102.
24. Sori T, Nath AK, Thappa DM, Jaisankar TJ. Hypopigmentary disorders in children in
South India. Indian J Dermatol. Sep-Oct 2011;56(5):546-9.
25. Salomon, R. J. The Sensitivity and Specificity of the Potassium Hydroxide Smear.
Archives of Dermatology, 129(10), 1342.

Anda mungkin juga menyukai