Anda di halaman 1dari 7

2.

9 Managemen Anestesi pada Impending Eklampsia


Persiapan anestesi pada pasien Impending Ekplamsia harus diawali dengan penilaian
awal yang sangat penting serta mempersiapkan berbagi perencanaa dan peralatan yang
diperlukan untuk melakukan resusitasi, Selaku persiapkan kemungkinan intubasi dan
tatalaksana jalan napas sulit.
Pemilihan teknik obat-obatan pada pasien impending eklampsia harus memperhatikan
penulaian risiko perioperative, menifestaso spesifik preeclampsia dan komplikasi yang harus
diatasi serta antisipasi kemungkinan kesulitan penanganan jalan nafas, target hemodinamik
serta penanganan nyeri pascaoperasi.
- Anestesi umum vs Anestesi Regional
Suatu sumber mengatakan bahwa anestesi umum dianggap relative kurang aman karen
permasalahan potensial dengan jalan nafas yang sulit, respons hipertensi yang berlebihan
terhadap laringoskopi dan intubasi, risiki asporasi dan interaksi obat antara relaksan otot
magnesium.
Kepustakaan lain mengatakan bahwa antestesi regional tampak lebih merupakan pilihan karena
bebagai potensial permasalah diatas dapat dihindari, namun anestesi regiona juga memiliki
kekhawatiran tersendiri karena risiko hipotensi berat tiba-toba, dan yang sulit dihindari adalh
kemungkinan terjadinya hematom epidural terutama dengan penggunaan jarum epidural yang
memang berdiameter besar.

Anestesi regional
Anestesi spinal / sub arachnoid block (SAB) atau epidural / epidural anesthesia (EA) dapat
diberikan dengan aman jika pasien sadar penuh, bebas kejang dengan tanda vital yang stabil
tanpa disertai adanya tanda-tanda TIK yang meningkat. Anestesia spinal dengan menggunakan
bupivakain dosis rendah dengan fentanyl masih direkomendasikan. Penelitian yang dilakukan
secara kohort prospektif oleh Atoni dkk pada pasien PEB, menyimpulakn bahwa pada pasien
PEB yang mendapat tindakan anestesi spinal mengalami lebih sedikit kejadian hipotensi
selama operasi, di banding dengan wanita hamil tanpa PEB.
Bupivakain hiperbarik (7,5 mg) dengan 25 µg fentanyl menghasilkan outcome yang adekuat
pada bedah sesar pasien dengan impending eklmapsia. SAB lebih memiliki keunggulan
dibanding epidural dalam hal potensi terjadinya hematom epidural yang lebih tinggi
kemungkinannya pada epidural.
- Sub arachnoid block
Kekhawatiran akan terhadinya hipotensi berat menyebabkan teknik SAB tidak dilakukan pada
pasien impending eklampsia. Dari beberapa penelitian yang dilakukan di berbagai negara,
ditemukan bahwan angka kejadian hipotensi justru lebih kecil pada pasien impending
eclampsia yang menjalani prosedur bedah sesar dengan SAB dibanding pasien hami lainnya
yang menjalani bedah sesar dengan SAB
- Epidural Anesthesia (EA)

Anestesi Umum
Teknik anestesi umum pada bedah sesar pada pasien dengan impending eklampsia memiliki
resiko yang cukup tinggi. Faktor-faktor yang menyebabkan anestesi umum cukup berisiko
tinggi meliputin: meningkatnya risiko jalan napas dan intubasi yang sulit. Respons pressor
yang terjadi selama laringoskopi, intubasi dan ekstubasi akan mengakibatkan lonjakan tekanan
darah yang berbahaya.
Oleh karena itu pada pasien impending eklampsia yang direncanakan dengan Teknik anestesi
umum, pastikan bahwa tekanan darah dan kejang harus dikendalikan secara maksimal dan
idealnya dan pemantauan invasif dimasukkan sebelum induksi anestesi umum. Sedangkan
pada operasi emergensi, hal-hal tersebut sering kali sukan tercapai kerena kondisi pasien yang
tidak baik dan tuntuntan waktu operasi segera mungkin kerena ancaman gawat janin atau
faktor-fakto lainnya.

Tahapan penatalaksanaan anestesi yang dilaksanakan perioperatif:


1. Pesianpan Pra- Anestsi
Persiapan pra anestesi sangat mempengaruhi keberhasilan anestesi dan pembedahan.
Kunjungan pra anestesi harus dipersiapkan dengan baik, pada bedah elektif umumnya
dilakukan 1-2 hari sebelumnya, sedangkan pada bedah darurat waktu yang tersedia lebih
singkat. Adapun tujuan kunjungan pra anestesi adalah:
- Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
- Merencanakan dan memilih tehnik serta obat–obat anestesi yang sesuai dengan fisik
dan kehendak pasien.
- Menentukan status fisik penderita dengan klasifikasi ASA (American Society of
Anesthesiology).
ASA I Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan faal,
biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.
ASA II Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang sebagai akibat
kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka mortalitas 16%.
ASA III Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian/ live style
terbatas. Angka mortalitas 38%.
ASA IV Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa, tidak selalu
sembuh dengan operasi. Misal: insufisiensi fungsi organ, angina menetap. Angka
mortalitas 68%.
ASA V Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi hampir tak ada
harapan hidup dalam 24 jam, baik dengan operasi maupun tanpa operasi. Angka mortalitas
98%.
Selain itu dibutuhkan juga pemeriksaan praoperasi anestesi yang meliputi:
KOPAS AJA SELEBIHNYA

Terapi Cairan
Pemberian carian intravena dapat digunakan sebagai terapi pemeliharaan atau penggantian
volume intravaskular yang hilang. Terapi perawatan biasanya diberikan secara perlahan
selama 24 jam dan dapat dihitung agar sesuai dengan keluarankencing yang dikobinasikan
dengan keluaran yang tidak wajar. Tingak penggantian adalah diberikan menurut perkiraan
deficit dan biasnaya ditransfusi dengan cepat. Co-morbiditas kerena gagal ginjal
mempersulit pemberian caira intravena karena ginjal mungkin tidak merespons terapi
diuretik yang membuat transfusi berlebihan merupakan penyebab dari komplikasi.
Pemeliharaan cairan pada pasien impending eklampsia dapat diberikan bertahap, perlahan
salaam periode 24 jam dan dapat diberikan sekitar 60-80ml/ kgBB/ jam (dapat
menggunakan kristaloid) atau dapat dititrasi dengan memperhitungkan urin output dan
insensible water loss (IWL) 16,20,29,30. Pemberian cairan harus berhati-hati tehadapt
kemungkinan terhadinya pemberian berlebihan. Hal tersebut dapat diamati dari ada
tidaknya pekembangan edema perifer.
Pasien dengan impending eklampsia tidak menutup kemungkinan tidak adanya edema
perifer, sebgaian besar pasien impending eklampsia dapat mengalami kekurangan volume
dengan resistesi perifer yang tinggi. Resusitasi volume secara agresif dapat menyebabkan
edema paru yang merupakan sa;ah satu penyebab morbiditas dan mortalitas maternal. Maka
harus dilakukan restriksi tatalaksana pemberian cairan pada pasien dengan impending
eklampsia, setidaknya sampai periode diuresis postpartum
Pengukuran central venous catheter (CVC) maupun pemantauan pulmonary artery
pressure wedge pressure (PCWP) dengan menggunakan Swan Ganz Catheter atau monitor
hemodinamik lainnya yang dapat digunakan untuk diagnosis dan penatalaksanaan pada
kasus-kasus yang kritis. Penatalaksanaan caira secara berhati-hati dengan
memperhitungkan cairan masuk dan keluar, terurama sampai dengan periode postpartum.

a. Terapi cairan
Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk mencukupi kebutuhan cairan, elektrolit dan
darah yang hilang selama operasi. Selain itu juga untuk tindakan emergency pemberian
obat.
Pemberian cairan operasi dibagi :
1) Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah, penghisapan isi lambung,
penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti pada ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar
dan lain-lain. Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml/ kgBB/ jam. Bila
terjadi dehidrasi ringan 2% BB, sedang 5% BB, berat 7% BB. Setiap kenaikan suhu 1
0
Celcius kebutuhan cairan bertambah 10 – 15 %.
2) Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan pada dewasa
untuk operasi :
 Ringan = 4 ml / kgBB / jam
 Sedang = 6 ml / kgBB / jam
 Berat = 8 ml / kg BB / jam
Bila terjadi perdarahan selama operasi, dimana perdarahan kurang dari 10% EBV maka
cukup digantikan dengan cairan kristaloid sebanyak 3 kali volume darah yang hilang.
Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma /
koloid/ dekstran dengan dosis 1 – 2 kali darah yang hilang.
3) Setelah operasi
Pemberian Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan selama
operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.

Monitor penggunaan cairan


Temua awal yang terlihat pada kebanyakan kasus adalah CVP rendah dan tekanan pengisian
sisi kiri yang tinggi (PCWP). Jika urin output sudah sesuai target, o,5-1cc/kgBB/jam, maka
tidak ada indikasi untuk melakukan pemantauan invasive yang lebih lanjut seperti yang
diuraikan diatas. Jika output kurang dari 0,5-1cc/kgBB, maka terapi awalk adalah dilakukan
fluid challenge test.
Fuild challenge test dilakukan untuk mengetahui volume pasien. Prinsip yang digunakan pada
fuil challenge test adalag dengan memberikan sedikit cairan dalam waktu singkat, lalu
dilakukan penilai klinis unutk mengetahui, apakah pasien masih memiliki cadangan preload
yang cukup untuk meningkatkan stroke volume dengan cairan lebih lanjut.

PERAWATAN PASCA BEDAH


139

84

MGSO4 dan hipertensi  50 (BENERIN)


Tatalaksana kejang
Penggunaan obat-obatan anti konvulsan diberikan pada pasien dengan kejang. Kejang yang
timbul harus segera diantisipasi dan dikendalikan, berkaitan dengan kejadian kejang pada
pasien eklampsia menimbulkan efek buruk bagi itbu maupun bagi janin. Obat antikonvulsan
yang umum digunakan adalah Benzidiazepin, Phenytion dan Magnesium Suphate.18
- Benzodiazepin
Benzodiazepin adalah garis pertama pengobatan untuk mengndalikan konvulsi pasa pasien
eklmapsia. Dosis Diazepam adalah 5-10 mg bertahan sampai efek yang diinginkan diperoleh.
- Fenitoin
Tingkat terapeitik dari Fenitoin adalah 40-100 mmol yang bisa dicapai dengan dosis pemuatan
10mg/kg dalam 100 ml garan yang diinfuskan secara intravena dengan kecepatan 50 mg/menit,
diikuti oleh pemberian kedua dengan dosis 5 mg/kg yang diberikan 2 jam kemudian. Terapi
pemeliharaan dimuali 12 jam setelah bolus kedua dengan dosis 300 mg/ jam dengan pemberian
IV.
- Magnesium Sulfat (MgSO4)
Pemberian MgSO4 efektif secara terpusat dan perideral. Magnesium Sulfat mempengaruhi
persimpangan neuromuscular dengan menghambat pelepasan bangkitan presimnaptik pada
persarafan. Salah satu efek samping pada pasien yang mendapat MgSO4 adalah menjadi
sensitive terhadap obat pelumpuhan otot terutama yang golongan non depolarisasi, Pengaruh
MgSO 4 terhadap pasien yang mendapat obat pelumpuhan otot berkaitan dengan pengatuh
MgSO4 terhadap penuruanan konsentrasi pseudokolinestase plasma yang sangat berkaitan
dengan mekanisema kerja penghambat kontraksi otot oleh pelimpuh otot kok depolarisais.
MgSO4 juga menyebabkan penurunan resistensi perifer yang dapat menurunkan tekanan darah
yang bermakna.
Efek terapeutik MgSO4 tercapai pada konsentrasi MgSO dalam plasma darah sebanyak 4-6
mEq/L. Pemberian MgSO4 harus dipantau untuk mengantisipasi efek samping akibat
konsentrasi MgSO4 yang melebihi efek terapeutik hal tersebut perlu dilakukan secara cermat.
Melalui reflex tendon bahkan bisa perlu dengan memantau konsentrasi MgSO4 dalam plasma
darah memlalui pemeriksaan laboratorium. Dosis pemberian MgSO4 adalah 40-80 mg/kg
diikuti dengan pemberian infus 2g/jam. Pada pasien PEB (pre-eklampsia berat) dengan tanda-
tanda akan terjadinya eklampsia, obat yang merupakan pilihan utama untuk profilaksis kejang
adalah magnesium sulfat, kerana magnesium merupakan vasodilator efektif, yang bekerja juga
terhadap pembuluh serebral selama vasospasme serebral, sehinggan didapatkan keuntungan
yang ganda. Obat konvulsan lainnya, Phenytoin bertindak terutama dengan menekan aktivitas
listrik pada persarafan, sehinggan tidak mempengaruhi vasospasme pembuluh darah serebral
yang terjadi pada pasien PEB terurama dengan ancaman terjadinya eclampsia.
Efek samping terapi MgSO4 adalah potensi blokade neuromuskular, depresi pernafasan,
hipotensi, serangan jantung, PPH atonik, dan penurunan denyut jantung janin. Oleh karena itu,
penting untuk memantau kejang, laju pernapasan, dan output urin selama terapi MgSO4.
Pengendalian Hipertensi
Pengobatan antihipertensi dimulai saat tekanan darah sistolik lebih dari 160 mmHg atau
tekanan darah diastolic lebih dari 110 mmHg. Pertimbangkan pengobatan di tingkat bawah jika
dicurigai telah terjadi komplikasi atau disetai penyakit penyerta berat misalnya proteinuria
berat atau penurunan hasil tes fungsi hati atau pemeriksaan hematologis yang menunjukan
adalnya profil gangguan koagulasi.
Tambahin lagi kalo perlu
Obat antihipertensi
Labetalol IV 20 mg dapat diberikan sebagai terapi awal, diikuti dengan kelipatannya setiap 10
menit sampai tercapai dosis total 300 mg. Obat ini dapat menyebabkan bradikardi berat.
Disarankan menggunakan infus kontinyu labetalol dengan dosis 0,5 – 2 mg / menit.(11,21)
Hidralazin 5 – 10 mg dapat diberikan setiap 20 menit (maksimum 40 mg) sampai tekanan darah
terkendali. Nifedipin atau nikardipin dapat diberikan, namun harus dipantau secara ketat karena
dapat terjadi penurunan tekanan darah secara tiba – tiba atau terjadi bradikardi.(24,25)
Pemberian nitrogliserin IV dengan dosis 10 – 100 mg / menit atau sodium nitroprussid dengan
dosis 2 – 8 mg / menit bisa merupakan alternatif yang lain. Penggunaan obat – obat tersebut
dalam jangka panjang dapat menyebabkan methemoglobinemia. Toksisitas sianida pada ibu
dan fetus dapat terjadi pada penggunaan sodium nitroprussid, karena itu penggunaannya tidak
boleh lebih dari 4 jam dan hanya merupakan pilihan yang terakhir bila tidak tercapai target
dengan obat–obatan yang lain.(24,25)
Obat Hipertensi
- Hydralazine: untuk mengurangi resistesni arteriolar precapillary. Ini meningkatkan
curah janutng dan menyebabkan takikardia reflex. Aliran darah ginjal juga meningkat.
Dosis adalah 5 mg bolus bertahap sampai efek yang diinginkan diperoleh atau dosis
maksimum 40 mg telah diberikan, diikuti dengan infus kontinyu 5-20 mg / jam (50-350
mikrogram / menit). Efek maksimalnya adalah Dalam 20-30 menit setelah injeksi I.V
dan durasinya 2-3 jam.
- Metildopa: Perbaikan hasil janin telah dilaporkan dalam berbagai penelitian. Ia tidak
beralih dari plasnta ke ibu ke otak tetapi tidak menyebabkan efek buruk pada pola
denyut jantung janin atau resistensi perifer janin. Ini digunakan dalam 1-3 gram / hari
dosis. Over dosis akan menyebabkan kantuk, depresi dan hipotensi postural.
- Antagosin Kalsium
o Nifedipin: Nifedipine adalah agen penghambat saluran kalsium dan efektif
sebagai agen antihipertensi yang aman pada kehamilan terutama pada pasien
impending ekalmpsia Nifedipine adalah agen penghambat saluran kalsium dan
efektif sebagai agen antihipertensi yang aman pada kehamilan terutama pada
pasien dengan impending eklampsia
o Verapamil: Ketika Verapamil diberikan 5-10 mg / jam melalui infus I / V pada
pasien dengan kehamilan yang diinduksi hipertensi, setelah pelepasan cairan ke
tekanan baji paru 14-16 mm Hg, menunjukkan penurunan tekanan darah secara
terkendali. Resistansi sistemik dan pulmonal menurun namun tidak
mempengaruhi curah jantung sehingga cardiac output dapat tetap dipertahankan
dan tanpa efek samping yang signifikan pada ibu maupun janin. (18-20)
- B-Blocker: Penggunaan beta-blocker selama kehamilan merupakan isu kontroversial.
Penggunaan β blocker dikaitkan dengan peningkatan aktivitas rahim, penurunan aliran
darah uterus dan plasenta, penurunan denyut jantung janin dan penurunan toleransi
janin terhadap hipoksia, tingkat retardasi pertumbuhan intrauterine dan mortalitas janin
yang tidak dapat diterima.
- Sodium Nitroprusside dan Nitrogliserin
o Hanya digunakan pada hipertensi berat akut. Dpat digunakan pada saat induksi
dan ekstubasi untuk mengendalikan tekanan darah dengan cepat.

PERAWATAN PASCA BEDAH


Masa perawatan / pemulihan pasien PEB dan eklampsia bisa berlangsung sampai 10 hari
bahkan sampai 2 minggu. Manajemen jalan napas mungkin lebih sulit pada periode pascabedah
karena situasi edema laring yang sudah lebih hebat. Udem pada jalan napas dan kesulitan
tatalaksana jalan napas lebih berat, dan bila terjadi ancaman atau gagal napas pada periode ini,
maka pilihan tindakan airway definitive dengan intubasi endotrakeal adalah pilihan pertama.
Bila diperkirakan akan memerlukan bantuan ventilasi jangka panjang, maka dapat dikonsulkan
untuk dilakukan pemasangan trakeostomi, untuk menjamin jalan napas bebas sepanjang waktu,
serta bantuan ventilasi yang adekwat bila diperlukan.
Obat antihipertensi dan antikonvulsan yang diberikan periode pre dan durante operasi, harus
dilanjutkan pada periode pascaoperasi, sesuai indikasi dan perkembangan pasien. Pascabedah
perlu untuk menjamin agar pasien mendapatkan analgesia yang adekwat, meskipun epidural
dapat merupakan pilihan yang baik. Analgesia pascabedah yang adekwat sangat diperlukan
untuk mengurangi respons stress dan konsekuensi selanjutnya hipertensi akibat nyeri hebat.

Obat-obat yang digunakan Durante Operasi


1. Opiod
Sering digunakan oleh ahli anestesi sebagai tambahan anestesi lokal untuk regional,
sehingga mengurangi kebutuhan dosis anestesi. Kestabilan hemodinamik yang lebih baik
disertai dengan anestesi yang adekuat, dilaporkan tercapai pada penggunaan bupivakain
hiperbarik dosis rendah (7,5- 12 mg bupivakain 0,5%) dengan kombinasi opioid seperti
fentanyl atau sufentanyl.
Preloading dengan kristaloid atau koloid pada parturients normal yang menjalani SAB
untuk bedah sesar tidak selalu efektif. Pemberian cairan masih direkomendasikan pada pasien
yang akan menjalani SAB.American Heart Association merekomendasikan pemberian loading
cairan intravena untuk mengurangi frekuensi terjadinya hipotensi pada pasien yang menjalani
bedah sesar dengan mendapat SAB. Pasien PEB dan eklampsia yang akan direhidrasi,
membutuhkan volume preload yang secukupnya, tidak boleh berlebihan juga, sehingga dapat
mempertahankan kondisi normotensif pasca dilakukan SAB, walaupun masih ada variasi
pasien secara individual. Permberian cairan sekitar 10 ml / kgBB untuk preload PIH pada
pasien PEB, 10-15 menit sebelum dilakukan SAB dilaporkan cukup untuk mengisi volume
pasien sebelum dilakukan regional anestesia.37,38
2. Efedrin
Efedrin telah digunakan dengan aman untuk mempertahankan tekanan darah karena efedrin
tidak mempengaruhi aliran darah uterus. Peneliti lain telah menyimpulkan bahwa pemberian
profilaksis efedrin adalah metode yang aman dan efektif untuk pencegahan dan pengobatan
hipotensi setelah teknik CSE.
3. Diuretik
Hanya dalam kasus yang jarang diuretik dapat digunakan selama kehamilan, misalnya pada
edema paru atau insufisiensi jantung. Pengobatan dapat mengikuti praktik serupa dengan yang
digunakan dalam pasien nonobstetric. Pemantauan saturasi oksigen dan suplementasi oksigen
baik melalui alat ventilasi non-invasif atau intubasi dan ventilasi digunakan tergantung pada
tingkat keparahan gangguan pernapasan bagi pasien dengna edema paru. Furosemide intravena
(bolus 20–40 mg lebih 2 menit) digunakan untuk mempromosikan venodilasi, dengan
pengulangan dosis 40-60 mg setelah sekitar 30 menit, jika ada respons diuretik yang tidak
adekuat (dosis maksimum120 mg.jam)

Anda mungkin juga menyukai