LAPORAN KASUS
I. ANAMNESIS
A. Identitas Penderita
Nama : Ny. SW
Umur : 36 tahun
Alamat : Ngrangkah RT/RW 9/02 Guli, Nogosari,
Boyolali
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Tanggal masuk : 05/03/2016
Tanggal pemeriksaan : 05/03/2016
No RM : 013318xx
B. Data Dasar
1. Keluhan Utama
Tensi tinggi
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RS UKI dengan keluhan perut terasa
mulas tidak tertahankan sejak 6 jam SMRS sekitar pukul 02:00 WIB.
Mulas dirasakan hilang timbul dengan frekuensi mulas yang
semangkin lama semangakin sering, dengan durasi setiap kali mulas
selama 10-15 detik dan dirasakan semangkin lama semangkin kuat.
Pasien merasa mulas seperti ingin BAB. Selain itu pasien juga
mengaluhakn mual +, muntah + isi air semenjak tadi malam. Pasien
sehabis dirawat di RS Budi Asih selama 2 hari atas indikasi tekanan
darah meningkat dan trombosit yang turun. Pasien menyatakan bahwa
tekanan darah sudah meningkat sejak 10 hari SMRS namun pasien
tidak menginat berapa tekanan darahnya. Pasien juga mengeluhkan
tangan dan kaki mulai bengkak sejak 5 hari SMRS. Pasien juga
menyatakan adanya rasa pusing. Pasien menyangkal adanya
pandangan kabur. Untuk hipertesi pasien pernah diberikan MgSO4.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit serupa : disangkal
Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal
Riwayat diabetes melitus : disangkal
Riwayat sakit jantung : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat abortus : disangkal
Riwayat operasi : disangkal
5. Riwayat Kebiasaan
Merokok : disangkal
Minuman beralkohol : disangkal
Ketergantungan obat : disangkal
2
81x/menit irama teratur, isi cukup, CRT <2 detik, akral dingin
(-).
Disability : GCS E4V5M6, pupil isokor dengan diameter 3mm/3mm,
reflek cahaya +/+.
Exposure : suhu 36,80C
B. Secondary Survey
Status gizi :
Berat badan : 75 kg
Tinggi badan : 156 cm
BMI : 30 (kehamilan 33-34 minggu)
Kulit : sawo matang, turgor menurun (-), lembab (+),
ikterik(-)
Kepala : bentuk normocephali, rambut warna hitam
Mata : konjungtiva pucat (+/+), sklera ikterik (-/-),
Telinga : sekret (-), nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan tragus
(-)
Hidung : nafas cuping hidung (-), sekret (-)
Mulut : sianosis (-), mukosa basah (+), papil lidah atrofi (-)
stomatitis (-)
Leher : trakhea di tengah, simetris, massa/ pembesaran
limfonodi (-)
Abdomen : dinding perut lebih tinggi dari dinding dada, distensi
gravida, bising usus (+) normal, timpani, supel, hepar
dan lien tidak teraba, teraba janin tunggal, intrauterin,
memanjang, puka, preskep, HIS(-) DJJ(+) 130x/menit
reguler, TFU 25 cm
Ekstremitas :
akral dingin oedem
- - + +
3
HEMATOLOGI
Hematokrit 41.7 % 37 - 47
KIMIA KLINIK
URINALISA
PH 27 detik 27-42
HEMATOLOGI
Hematokrit 31.7 % 37 - 47
4
Trombosit 94 Ribu/ul 150 – 400
KIMIA KLINIK
HEMOSTASIS
HEMATOLOGI
Hematokrit 30.6 % 37 - 47
V. DIAGNOSIS ANESTESI
Wanita 36 tahun, G3P2A0 hamil preterm dengan impending
eklampsia, belum dalam persalinan pro SC plan Regional Anestesi Sub
Arachnoid Block (RASAB) dengan status fisik ASA III.
5
Eklampsia
Perdarahan
Nyeri Post Op
B. Secondary survey
Kulit : turgor menurun (-), lembab (+), ikterik(-)
Mata : konjungtiva pucat (+/+), sklera ikterik (-/-)
Telinga : sekret (-) nyeri
Hidung : nafas cuping hidung (-), sekret (-)
Mulut : sianosis (-), mukosa basah (+), papil lidah atrofi (-)
stomatitis (-)
Leher : trakhea di tengah, massa/pembesaran limfonodi (-)
Abdomen :dinding perut lebih tinggi dari dinding dada,distensi,
bising usus(+) normal, timpani, supel, hepar dan lien
tidak teraba, teraba janin tunggal, intrauterin,
memanjang, puki, preskep, HIS(-), DJJ (+).
Ekstremitas : motorik dan sensori dalam batas normal
akral dingin oedem
- - +- -+
- - -+ -+ 6
Anestesi dimulai pukul 17.30, berlangsung 90 menit, sampai
pukul 19.00. Tindakan bedah dilakukan mulai pukul 17.38-18.50 WIB.
Dilakukan regional anestesi sub arachnoid blok dengan Bunascan 5 mg
dan secara intratekal. Analgetik juga diberikan kepada pasien dengan
Fentanyl 134 mcg secara intravena. Setelah menunggu beberapa saat,
perlahan pasien teranestesi. Kemudian dilakukan tindakan sectio
caesaria dengan posisi supine pada pasien.
Pada tindakan operasi, ada beberapa obat diberikan sealam sectio
ceasaria berjalan. Obat-obat yang diberikan adalah; Ondansentron 8 mg,
Ephedrin 20 mg, Furosemide 20 mg, Pethidine 1 amp, Oxytocin 2 amp,
Methylergometrine 2amp, Misoprostol 1 tab, dan Protofen supp
7
tekanan darah 140/80 mmHg, nadi 90 x/menit, frekuensi napas 20 x/menit, Sp0 2
100% dengan nasal kanul 4 lpm.
BAB IV
8
PEMBAHASAN
9
Pemberian obat-obat anestesi yang sesuai :
1. Anestesi spinal : Bupivakain 10 mg dan Fentanyl 25 mcg.
2. Maintenance : Oksigen 3 liter/menit.
Pada kasus ini, saat dilakukan anestesi spinal, saat operasi tidak terjadi
penurunan tekanan darah yang berarti. Tekanan darah yang turun setelah anestesi
spinal biasanya sering terjadi. Hipotensi dapat terjadi pada sepertiga pasien yang
menjalani anestesi spinal. Hipotensi terjadi karena :
1. Penurunan venous return ke jantung dan penurunan cardiac output.
Penurunan venous return juga dapat menyebabkan bradikardi. Untuk
mengatasi bradikardi yang terjadi diberikan sulfas atropin 0,25 mg IV.
2. Penurunan resistensi perifer
Jika tekanan darah sistolik turun di bawah 60 mmHg atau terdapat gejala-
gejala penurunan tekanan darah, maka harus cepat diatasi untuk menghindari
cedera ginjal, jantung dan otak. Empat alternatif cara pencegahan hipotensi pada
anestesia spinal adalah pemberian vasopresor, modifikasi teknik regional
anestesia, modifikasi posisi dan kompresi tungkai pasien, serta pemberian cairan
intravena. Usaha meningkatkan volume cairan sentral dengan pemberian cairan
intravena merupakan cara yang mudah dilakukan untuk mencegah hipotensi pada
anestesia spinal. Cairan yang diberikan dapat berupa kristaloid atau koloid.
Teknik pemberian cairan dapat dilakukan dengan preloading atau coloading.
Preloading adalah pemberian cairan 20 menit sebelum dilakukan anestesia spinal,
sedangkan coloading adalah pemberian cairan selama 10 menit saat dilakukan
anestesia spinal. Pemberian cairan kristaloid sebagai preloading tidak
memperlihatkan manfaat untuk mencegah hipotensi.
Coloading kristaloid dapat menjadi pilihan untuk mencegah efek samping
hipotensi pada anestesia spinal namun tidak menurunkan angka kejadian
hipotensi. Hal ini ditunjukkan pada penelitian Mojika dkk. yang membandingkan
pemberian RL sebagai preloading dan coloading pada operasi non-obstetrik.
Koloid memiliki keunggulan dibanding kristaloid karena bertahan lebih lama
intravaskular. Keuntungan lain adalah jumlah volume koloid yang diperlukan
untuk mencegah hipotensi lebih sedikit dibanding kristaloid.
10
Pada tindakan-tindakan bedah sesar umumnya dipilih anestesi regional
sub arachnoid block/spinal karena mempunyai banyak keuntungan seperti
kesederhanaan teknik, onset yang cepat, resiko keracunan sistemik yang kecil,
blok anestesi yang baik, pencegahan perubahan fisiologi dan penanggulangannya
sudah diketahui dengan baik, analgesia dapat diandalkan, sterilitas dijamin,
pengaruh terhadap bayi sangat minimal, dapat mengurangi kemungkinan
terjadinya aspirasi, dan ibu dapat kontak langsung dengan bayinya segera setelah
melahirkan. Tetapi anestesi spinal juga bukan tanpa risiko, risiko yang dapat
terjadi seperti mual dan muntah bisa terjadi pada anestesi spinal. Bradikardi,
disritmia atau bahkan cardiac arrest merupakan komplikasi yang bisa terjadi.
Anestesi spinal terutama yang berdosis tinggi dapat menyebabkan
paralisis otot pernafasan, abdominal, intercostal. Oleh karena itu, pasien dapat
mengalami kesulitan bernafas. Untuk mencegah hal tersebut, perlu pemberian
oksigen yang adekuat dan pengawasan terhadap depresi pernafasan yang
mungkin terjadi.
Premedikasi jarang diberikan terutama pada penderita dengan keadaan
umum yang buruk, atau karena keterbatasan waktu. Namun pada beberapa kasus
dapat diberikan premedikasi secara intravena atau intramuskular dengan
antikolinergik disertai pemberian antasida, antagonis reseptor H2 atau
metoclopramide. Pemberian obat anti mual dan muntah sangat diperlukan dalam
operasi sectio caesaria emergensi dimana merupakan usaha untuk mencegah
adanya aspirasi dari asam lambung. Namun, pada pasien ini tidak diberikan
premedikasi.
Induksi menggunakan Bupivacaine HCL merupakan anestesi lokal
golongan amida. Obat anestesi regional bekerja dengan menghilangkan rasa sakit
atau sensasi pada daerah tertentu dari tubuh. Cara kerjanya yaitu memblok proses
konduksi syaraf perifer jaringan tubuh, bersifat reversibel. Onset kerja lambat
jika dibandingkan dengan lidokain. Durasi kerja obat 8 jam. Setelah itu posisi
pasien dalam keadaan terlentang (supine). Anestesi spinal mulai dilakukan, posisi
pasien duduk tegak dengan kepala menunduk hingga prossesus spinosus mudah
11
teraba. Dicari perpotongan garis yang menghubungkan kedua crista illiaca
dengan tulang punggung yaitu antara vertebra lumbal 3-4, lalu ditentukan tempat
tusukan pada garis tengah. Kemudian disterilkan tempat tusukan dengan alkohol
dan betadin. Jarum spinal nomor 27-gauge ditusukkan dengan arah median,
barbutase positif dengan keluarnya LCS (jernih) kemudian dipasang spuit yang
berisi obat anestesi dan dimasukkan secara perlahan-lahan.
Monitor tekanan darah setiap 5 menit sekali untuk mengetahui penurunan
tekanan darah yang bermakna. Hipotensi terjadi bila terjadi penurunan tekanan
darah sebesar 20-30% atau sistol kurang dari 100 mmHg. Hipotensi merupakan
salah satu efek dari pemberian obat anestesi spinal, karena penurunan kerja
syaraf simpatis.Bila keadaan ini terjadi maka cairan intravena dicepatkan, bolus
ephedrin 5-15 mg secara intravena, dan pemberian oksigen. Pada pasien ini
terjadi hipotensi.
Sesaat setelah bayi lahir dan plasenta diklem diberikan oxytocin 10 IU (1
ampul), diberikan per drip. Pemberian oksitosin bertujuan untuk mencegah
perdarahan dengan merangsang kontraksi uterus secara ritmik atau untuk
mempertahankan tonus uterus post partum, dengan waktu partus 3-5 menit. Pada
pasien ini lahir bayi berjumlah 1. Bayi lahir berjenis kelamin perempuan, lahir
pada pukul 12.35 WIB, dengan BB 2700 gram, lahir hidup tanpa kelainan
congenital dengan APGAR score 7-8-9. Total perdarahan durante operasi
sebanyak 200 cc dan masuk transfusi Packed Red Cell (PRC) 1 kolf setelah
operasi berlangsung.
Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke HCU Obsgyn. Pasien berbaring
dengan posisi kepala lebih tinggi untuk mencegah spinal headache, dikarenakan
efek obat anestesi masih ada. Observasi post sectio caesaria dilakukan selama 2
jam, dan dilakukan pemantauan secara ketat meliputi vital sign (tekanan darah,
nadi, suhu dan respiratory rate), dan memperhatikan banyaknya darah yang
keluar dari jalan lahir. Oksigen tetap diberikan 3 liter/menit. Setelah keadaan
umum stabil, maka pasien dibawa ke ruangan bangsal.
12
BAB V
KESIMPULAN
13
DAFTAR PUSTAKA
Glosten B. 2006. Anestesia for Obstetric. In: Miller RD (Ed). Anesthesia. 5th ed.
Churchill Livingstone. USA: 2053-2055
14
Latief SA. 2002. Petunjuk praktis anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 34-7, 72-80
Manuaba, I.B. 1999. Operasi Kebidanan Kandungan Dan Keluarga Berencana Untuk
Dokter Umum. Jakarta : EGC
Martohoesodo,S., Hariadi,R. 2002. Distokia karena kelainan letak serta bentuk janin,
dalam Ilmu Kebidanan Edisi III, Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, Jakarta: 595-636.
Morgan, GE. 2006. Critical care. In: Clinical Anesthesiology. 3rd ed. Lange Medical
Books/Mc Graw-Hill. USA: 951-994.
National Institute for Health and Clinical Excellence. 2011. Multiple Pregnancy.
(Diakses pada September, 2011).
Rustam Mochtar. 1998. Seksio Sesarea. Sinopsis Obstetri Jilid II Editor: Delfi Lutan,
EGC, Jakarta.
15
Sarwono Prawirohardjo dan Wiknjosastro. 2002. Ilmu kandungan. FK UI, Jakarta.
16