PENDAHULUAN
Diabetes mellitus (DM) secara klinis adalah kumpulan dari gangguan metabolisme
yang ditandai oleh tingginya kadar glukosa darah yang abnormal. Keadaan hiperglikemia
terjadi akibat resistensi sel tubuh terhadap aktivitas insulin, defisiensi insulin, atau keduanya.
Biasanya dalam keadaan ini juga terjadi gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan
protein.Tingkat kesakitan dan kematian adalah akibat dari gangguan metabolisme akut,
komplikasi jangka panjang dapat mempengaruhi aliran darah secara makro maupun mikro
menyebabkan retinopati, nefropati, neuropati, penyakit jantung iskemik, dan obstruksi arteri
yang menyebabkan gangren pada ektremitas bawah.
Pada anak, jenis DM tersering adalah tipe-1. Insidens DM tipe-1 sangat bervariasi baik
antar negara maupun di dalam suatu negara. Di beberapa negara barat kasus DM tipe-1 terjadi
5-10% dari seluruh jumlah penderita diabetes, dan lebih dari 90% penderita diabetes pada anak
dan remaja adalah DM tipe-1. Berdasarkan data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pada
tahun 2018, tercatat 1220 anak penyandang DM tipe-1 di Indonesia. Insiden DM tipe-1 pada
anak dan remaja meningkat sekitar tujuh kali lipat dari 3,88 menjadi 28,19 per 100 juta
penduduk pada tahun 2000 dan 2010.2-4 Data tahun 2003-2009 menunjukkan pada kelompok
usia 10-14 tahun, proporsi perempuan dengan DM tipe 1 (60%) lebih tinggi dibandingkan laki-
laki (28,6%).
DM tipe-1 adalah kelainan sistemik akibat terjadinya gangguan metabolisme glukosa
yang ditandai oleh hiperglikemia kronik dimana terjadi defisiensi insulin absolut akibat
kerusakan sel kelenjar pankreas oleh proses autoimun maupun idiopatik sehingga produksi
insulin berkurang bahkan terhenti. Sekresi insulin yang rendah mengakibatkan gangguan pada
metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. Kerusakan sel B pulau langerhans pankreas ini
menyebabkan ketergantungan individu secara absolut terhadap insulin dari luar( insulin
eksogen ) “insulin dependent diabetes mellitus” ( IDDM ), pengaturan nutrisi, aktivitas fisik,
pemantauan gula darah mandiri dan edukasi untuk mencegah terjadinya komplikasi akut
maupun kronik dan menurunkan morbiditas dan mortalitas dari anak dengan DM tipe -1.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi DM
Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit kronik dengan insiden yang semakin
meningkat di seluruh dunia. Penyakit ini tidak hanya menyerang orang dewasa, tetapi juga pada
anak. Diabetes mellitus ditandai dengan peningkatan kadar gula darah akibat gangguan
produksi insulin, gangguan kerja insulin, atau keduanya. Berdasarkan penyebabnya, DM
dikelompokkan menjadi empat jenis, yaitu DM tipe-1, DM tipe-2, DM tipe lain dan diabetes
pada kehamilan atau gestasional.1,2
Pada anak, jenis DM tersering adalah tipe-1. DM tipe-1 adalah kelainan sistemik akibat
terjadinya gangguan metabolisme glukosa yang ditandai oleh hiperglikemia kronik dimana
terjadi defisiensi insulin absolut akibat kerusakan sel kelenjar pankreas oleh proses autoimun
maupun idiopatik sehingga produksi insulin berkurang bahkan terhenti. Sekresi insulin yang
rendah mengakibatkan gangguan pada metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. 1,2
2
6. DM neonatal persisten (KCNJ11)
7. Mutasi DNA Mitokhondrial
8. Dan lain-lain
b. Defek genetik pada kerja insulin
1. Resisten insulin tipe-A
2. Leprechaunisme
3. Sindrom Rabson-Mendenhall
4. Diabetes Lipoatropik
5. Dan Lain-lain
c. Kelainan eksokrin pankreas
1. Pankreatitis
2. Trauma/pankreatomi
3. Neoplasia
4. Kistik fi brosis
5. Haemokhromatosis
6. Fibrokalkulus pankreatopati
7. Dan lain-lain
d. Gangguan endokrin
1. Akromegali
2. Sindrom Cushing
3. Glukagonoma
4. Paeokromositoma
5. Hipertiroidisme
6. Somatostatinoma
7. Aldosteronoma
8. Dan lain-lain
e. Terinduksi obat dan kimia
1. Vakor
2. Pentamidin
3. Asam Nikotinik
4. Glukokortikoid
5. Hormon tiroid
6. Diazoxid
7. Agonis β-adrenergik
3
8. Tiazid
9. Dilantin
10. α-interferon
11. Dan lain-lain
f. Infeksi
1. Rubela kongenital
2. Sitomegalovirus
3. Coksakie B4
4. Dan lain-lain
g. Diabetes jenis lain bentuk immune-mediated
1. Sindrom Stiff-man
2. Reseptor antibodi insulin
3. Sindrom poliendokrin autoimun defi siensi I dan II
4. Dan lain-lain
h. Sindrom genetik lain yang kadang-kadang berhubungan dengan diabetes
1. Sindrom Down
2. Sindrom Klinefelter
3. Sindrom Turner
4. Sindrom Wolfram
5. Ataksia Friedreich
6. Korea Huntington
7. Sindrom Laurence-Moon-Biedl
8. Distropi miotonik
9. Porpiria
10. Sindrom Prader-Willi
11. Dan lain-lain
IV. DM pada kehamilan (gestasional)
4
Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus ( NIDDM ). Gambaran diabetes mellitus tipe 2 tidak
sejelas diabetes mellitus tipe 1 yang biasanya anak tampak sakit dan lelah diikuti dengan gejala
polidipsi dan polisuria, pada kasus diabetes tipe 2 biasanya pasien anak datang dengan
kelebihan berat badan dan seringkali kelelahan akibat dari kekurangan insulin yang biasanya
dalam pemeriksaan diikuti dengan ditemukannya glikosuria. Riwayat adanya polisuria dan
polydipsia biasanya tidak diketemukan. Dewasa ini menurut beberapa literatur terjadi
peningkatan 10 kali jumlah pasien anak dengan diabetes pada banyak pusat pelayanan
diabetes.
Pada pasien anak diabetes mellitus tipe 2 dengan riwayat herediter diabetes mellitus
biasanya juga diketemukan defisiensi insulin hal ini dikenali dengan (MODY) yang membutuh
koreksi insulin dari luar. Pada tipe ini tidak diketemukan adanya kerusakan sel beta pangkreas
akibat autoimun atau terkait (HLA), namun pada tipe ini diketemukan adanya mutasi dari alel
gen yang membentuk sel Beta, dan glukokinase hati. Mutasi pada gen yang membentuk
transporter glukosa yaitu GLUT-2 juga bertanggung jawab dalam proses perjalanan penyakit
diabetes mellitus tipe 2 ini.4,5,6,7,8
Tabel 2.1 Spektrum homeostasis glukosa dan diabetes mellitus (DM)8
5
Spektrum dari toleransi glukosa normal terhadap diabetes pada DM tipe 1, DM tipe 2,
tipe diabetes spesifik lainnya, dan DM gestasional ditunjukkan dari kiri ke kanan. Pada
sebagian besar tipe DM, individu mengalami perubahan dari toleransi glukosa normal ke
toleransi glukosa terganggu dan pada akhirnya diabetes (hal ini harus dilihat bukan sebagai
sebuah kategori tetapi sebagai spektrum). Panah menunjukkan bahwa perubahan toleransi
glukosa mungkin dua arah dalam beberapa jenis diabetes. Misalnya, individu dengan DM tipe
2 dapat kembali ke kategori toleransi glukosa terganggu dengan penurunan berat badan; pada
DM gestasional, diabetes dapat kembali menjadi gangguan toleransi glukosa atau bahkan
toleransi glukosa normal setelah melahirkan. Gula darah puasa (GDP), glukosa plasma 2-jam
(PG) setelah uptake glukosa, dan A1C untuk berbagai kategori toleransi glukosa ditunjukkan
pada bagian bawah gambar. Nilai-nilai ini tidak berlaku untuk diagnosis DM gestasional. WHO
menggunakan angka 110–125 mg / dL untuk kategori prediabetes pada pemeriksaan GDP.
Beberapa jenis DM mungkin atau mungkin tidak memerlukan insulin untuk bertahan hidup.8
6
faktor genetik diakui berperan dalam patogenesis DM tipe-1. Faktor genetik dikaitkan dengan
pola HLA tertentu, tetapi sistim HLA bukan merupakan faktor satu-satunya ataupun faktor
dominan pada patogenesis DM tipe-1. Sistem HLA berperan sebagai suatu susceptibility gene
atau faktor kerentanan. Diperlukan suatu faktor pemicu yang berasal dari lingkungan (infeksi
virus, toksin dll) untuk menimbulkan gejala klinis DM tipe-1 pada seseorang yang rentan. 1
Dikaitkan dengan HLA, diperkirakan 10% mempunyai riwayat keluarga diabetes.
Risiko pada kembar identik adalah kurang dari 40%, sedangkan pada saudara kandung
diperkirakan 4% pada usia 20 tahun, dan 9,6% pada usia 60 tahun dibandingkan 0,5% pada
seluruh populasi. 1
7
DM tipe-1. Konsumsi susu sapi, konsumsi sereal dini, dan vitamin D maternal diduga
berhubungan dengan kejadian DM tipe-1, tetapi masih dibutuhkan investigasi lebih lanjut.2
Pada beberapa pasien dengan awitan baru DM tipe- 1, sebagian kecil sel β belum
mengalami kerusakan. Dengan pemberian insulin, fungsi sel β yang tersisa membaik sehingga
kebutuhan insulin eksogen berkurang. Periode ini disebut sebagai periode bulan madu atau
honeymoon period di mana kontrol glikemik baik. Umumnya, fase ini diawali pada beberapa
minggu setelah mulai terapi sampai 3-6 bulan setelahnya, pada beberapa pasien dapat mencapai
dua tahun.2
8
Sering terjadi kesalahan dan keterlambatan diagnosis DM tipe-1. Pada beberapa anak
mulai timbulnya gejala sampai menjadi ketoasidosis dapat terjadi sangat cepat, sedangkan pada
anak yang lain dapat timbul secara lambat dapat dalam beberapa bulan. Akibat keterlambatan
diagnosis, penderita DM tipe-1 akan memasuki fase ketoasidosis yang dapat berakibat fatal
bagi penderita. Keterlambatan ini dapat juga terjadi karena penderita disangka menderita
bronkopneumonia dengan asidosis atau syok berat akibat gastroenteritis. 1
Walaupun gejala klinis dari DM tipe-1 tidaklah spesifik, tanda penting yang terlihat
dalam acuan diagnosis adalah poliuria pada anak dengan dehidrasi, kurang berat badan,
hiperglikemia , dan ketonuria yang mungkin ditemukan pada pemeriksaan rutin. Diagnosis
pasti dari diabetes mellitus tipe 1 meliputi kadar gula darah non puasa melebihi 200 mg/dL
(11.1mmol/L) diikuti dengan gejala klinis yang tipikal terhadap T1DM. Bila pasien anak yang
datang obese maka perlu di singkirkan kemungkinan bahwa diabetes yang terjadi adalah tipe
2. Bila keadaan hiperglikemia telah dikonfirmasi maka wajib dilakukan pemeriksaan untuk
DKA terutama bila keadaan ketonuria ditemukan, dilanjutkan dengan pemeriksaan elektrolit
darah serta pengawasan walaupun tanda dehidrasi yang terjadi tidak berat. Pada pasien anak
non obese tidak perlu dilakukan pemeriksaan autoimmunitas untuk sel beta.pemeriksaan
HbA1c perlu dilakukan untuk monitoring dan pengawasan kadar glukosa terkait dengan
keberhasilan terapi yang diberikan4,5,6
Kata kunci untuk mengurangi keterlambatan diagnosis adalah kewaspadaan terhadap
DM tipe-1. Diagnosis DM tipe-1 sebaiknya dipikirkan sebagai diagnosis banding pada anak
dengan enuresis nokturnal (anak besar), atau pada anak dengan dehidrasi sedang sampai berat
tetapi masih ditemukan diuresis (poliuria), terlebih lagi jika disertai dengan pernafasan
Kussmaul dan bau keton. 1
9
Dehidrasi sedang sampai berat.
Muntah berulang dan pada beberapa kasus nyeri perut (menyebabkan kesalahan
diagnosis sebagai gastroenteritis).
Tetap terjadi poliuri meskipun dehidrasi.
Kehilangan berat badan oleh karena kehilangan cairan dan otot serta lemak.
Pipi kemerahan karena ketoasidosis.
Bau pernapasan aseton.
Hiperventilasi pada ketoasidosis diabetik (pernapasan Kussmaul).
Gangguan sensorik (disorientasi, apatis sampai dengan koma)
Syok (nadi cepat, sirkulasi perifer memburuk dengan sianosis perifer).
Hipotensi (tanda paling terlambat dan jarang pada anak ketoasidosis diabetik)
c. Kondisi yang menyebabkan keterlambatan diagnosis
Pada anak yang sangat muda dapat terjadi ketoasidosis yang berat karena defi
siensi insulin terjadi secara cepat dan diagnosis tidak ditegakkan segera.
Hiperventilasi pada ketoasidosis salah diagnosis sebagai pneumonia atau asma.
Nyeri perut berhubungan dengan ketoasidosis dapat menyebabkan akut
abdomen sehingga pasien dirujuk ke bedah.
Poliuria dan enuresis salah diagnosis sebagai infeksi saluran kemih.
Polidipsia diduga sebagai psikogenik
Muntah salah diagnosis sebagai gastroenteritis atau sepsis.
10
2.7 Kriteria Diagnostik DM Tipe 1 pada Anak1
Glukosa plasma puasa dianggap normal bila kadar glukosa darah plasma <126 mg/dL (7
mmol/L). Glukosuria saja tidak spesifi k untuk DM sehingga perlu dikonfi rmasi dengan
pemeriksaan glukosa darah.
Diagnosis DM dapat ditegakkan apabila memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut:
1. Ditemukannya gejala klinis poliuria, polidipsia, nokturia, enuresis, penurunan berat
badan, polifagia, dan kadar glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/ dL (11.1 mmol/L). Atau
2. Kadar glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL (7 mmol/L). Atau
3. Kadar glukasa plasma ≥ 200 mg/ dL (11.1 mmol/L) pada jam ke-2 TTGO (Tes
Tolerasansi Glukosa Oral). Atau
4. HbA1c >6.5% (dengan standar NGSP dan DCCT)
Pada penderita yang asimtomatis dengan peningkatan kadar glukosa plasma sewaktu (>200
mg/dL) harus dikonfi rmasi dengan kadar glukosa plasma puasa atau dengan tes toleransi
glukosa oral yang terganggu. Diagnosis tidak ditegakkan berdasarkan satu kali pemeriksaan.
Tabel 2.2 Kriteria Diagnosis DM (IDAI, diadaptasi dari American Diabetes Association2
11
Setelah dilakukan langkah awal penegakkan diagnosis diabetes, selanjutnya tipe
diabetes perlu untuk diketahui karena berimplikasi pada terapi dan edukasi. Membedakan DM
tipe-1 dan 2 seringkali sulit pada remaja overweight atau obesitas sehingga pada kelompok
pasien ini perlu ditelusuri riwayat keluarga lengkap, pengukuran autoantibodi islet, dan
konsentrasi C-peptida plasma atau urin. Cho dkk melaporkan bahwa kadar C-peptida puasa
dapat membantu klasifikasi tipe DM saat diagnosis pada anak dan remaja.2
Pemeriksaan autoantibodi pada anak dengan DM belum menjadi pemeriksaan yang
rutin dilakukan karena ketersediaan pemeriksaan yang belum luas dan relatif mahal di
Indonesia. Penanda serologi untuk autoimunitas terhadap sel β pankreas, antara lain, (1)
glutamic acid decarboxylase 65 autoantibodies (GAD), (2) Tyrosine phosphatase-like
insulinoma antigen 2 (IA2), (3) insulin autoantibodies (IAA), dan (4) β-cell-specific zinc
transporter 8 autoantibodies (ZnT8). Hasil positif pada salah satu penanda serologi tersebut
memastikan diagnosis DM tipe-1.6 Skrining DM tipe- 1 pada anak asimtomatik dengan panel
antibodi hanya direkomendasikan dalam penelitian dan jika memiliki anggota keluarga derajat
pertama dengan DM tipe-1.2
12
rekombinan, telah dihasilkan insulin rekombinan manusia yang sudah digunakan secara luas
saat ini. Insulin rekombinan ini lebih disukai sebagai pilihan utama karena selain dapat
diproduksi secara luas juga mempunyai imunogenitas yang lebih rendah dibandingkan insulin
babi dan sapi. Tabel 3 memperlihatkan berbagai jenis sediaan yang dapat dipakai sekaligus
profil kerjanya. 1
Tabel 2.3 Jenis Sediaan Insulin dan Profil Kerjanya1
Para ahli sepakat bahwa insulin kerja panjang kurang sesuai untuk anak, kecuali pada
regimen basal bolus. Jenis insulin yang digunakan harus disesuaikan dengan usia anak (proses
tumbuh kembang anak), aspek sosioekonomi (pendidikan dan kemampuan fi nansial),
sosiokultural (sikap Muslim terhadap insulin babi), dan faktor distribusi obat. 1
Dua hal yang perlu penting dikenali pada pemberian insulin adalah efek Somogyi dan
efek Subuh (Dawn effect). Kedua efek tersebut mengakibatkan hiperglikemia pada pagi hari,
namun memerlukan penanganan yang berbeda. Efek Somogyi terjadi sebagai kompensasi
terhadap hipoglikemia yang terjadi sebelumnya (rebound effect), yaitu pemberian insulin yang
berlebihan sehingga terjadi hipoglikemia pada malam hari (jam 02.00-03.00), akibat adanya
hipoglikemia maka tubuh mengkonpensasi dengan peningkatan sekresi hormon kontrainsulin
13
(hormon glikogenik). Sebaliknya efek subuh terjadi akibat kerja hormon hormon kontra insulin
yang lebih dominan pada malam hari. Sehingga efek Somogyi memerlukan penambahan
makanan kecil sebelum tidur atau pengurangan dosis insulin malam hari, sedangkan efek
Subuh memerlukan penambahan dosis insulin malam hari untuk menghindari hiperglikemia
pagi hari. 1
Gambar 2.2 Profi l farmakokinetik insulin kerja cepat (rapid acting).Terlihat lama kerja
relatif 3-5 jam, dengan awitan kerja yang cepat 5-15 menit, dan puncak kerja 30-90 menit1
Dengan sifat-sifat di atas, insulin kerja cepat direkomendasikan untuk digunakan pada
jam makan, atau penatalaksanaan insulin saat sakit. Dapat diberikan dalam regimen 2 kali
14
sehari, atau regimen basal-bolus. Pada beberapa keadaan berikut, insulin kerja cepat sangat
efektif digu nakan:
Sebagai bolus saat dikombinasikan dengan insulin kerja panjang.
Pada saat kudapan sore: akan menurunkan kadar glukosa darah yang biasa terjadi saat
sebelum makan malam pada pengguna regimen 2 kali sehari yang dikombinasi dengan
insulin kerja menengah.
Setelah makan, untuk menurunkan kadar glukosa darah setelah makan pada anak pra-
pubertas dengan kebiasaan makan yang sulit diramalkan (bayi, balita, dan anak
prasekolah).
Pada penggunaan CSII (continuous subcutaneous insulin infusion) atau pompa insulin.
Memberikan efek yang cepat dibandingkan insulin regular saat tatalaksana
hiperglikemia, ketoasidosis, saat sakit, atau tindakan bedah.
Gambar 2.3 Profi l farmakokinetik insulin kerja pendek (short acting). Terlihat lama kerja
relatif 5-8 jam, dengan awitan kerja 30 – 60 menit, dan puncak kerja 2-4 jam. 1
Penderita DM tipe-1 yang berusia balita sebaiknya menggunakan insulin jenis ini untuk
menghindari efek hipoglikemia akibat pola hidup dan pola makan yang seringkali tidak teratur.
15
Fleksibilitas penatalaksanaan pada usia balita menuntut pemakaian insulin kerja pendek atau
digabung dengan insulin kerja menengah.
Gambar 2.4 Profi l farmakokinetik insulin kerja menengah (intermediate acting). Terlihat
lama kerja relatif 12 -24 jam, dengan awitan kerja 2-4 jam, dan puncak kerja 4-12 jam. 1
Dua sediaan insulin kerja menengah yang saat ini tersedia adalah:
Isophane atau insulin NPH (Neutral Protamine Hagedorn).
Insulin Crystalline zinc-acetate (insulin lente).
16
Insulin Isophane paling sering digunakan pada anak, terutama karena memungkinkan untuk
digabung dengan insulin reguler dalam satu syringe tanpa adanya interaksi (insulin reguler bila
dicampur dengan insulin lente dalam satu syringe, akan terjadi reaksi sehingga mengurangi
efek kerja insulin jangka pendek).
Gambar 2.5 Profi l farmakokinetik insulin kerja panjang (long acting). Terlihat lama kerja
relatif 20-30 jam, dengan awitan kerja 4-8 jam, dan puncak kerja 12-24 jam. 1
17
Gambar 2.6 Profi l farmakokinetik insulin basal. Tampak bahwa glargine dan detemir relatif
tidak mempunyai kadar puncak dengan lama kerja 24 jam. 1
18
Gambar 2.7 Profi l farmakokinetik insulin kerja campuran1
19
7. Konsep basal-bolus (misal: insulin pump, kombinasi pemberian insulin basal 1-2 kali
dan insulin kerja cepat atau kerja pendek sebagai bolus saat makan utama/makanan
kecil) menyerupai sekresi insulin fisiologis.
8. Bagi anak-anak sangat dianjurkan paling tidak menggunakan 2 kali injeksi insulin per
hari (campuran insulin kerja cepat/ pendek dengan insulin basal).
9. Pada fase remisi seringkali hanya memerlukan 1 kali suntikan insulin kerja menengah,
panjang atau basal untuk mencapai kontrol metabolik yang baik.
Split-Mix Regimen1
1. Injeksi 1 kali sehari
Sering sekali tidak sesuai digunakan pada penderita DM tipe-1 anak maupun
remaja. Namun dapat diberikan untuk sementara pada saat fase remisi. Regimen insulin
yang dapat digunakan adalah insulin kerja menengah atau kombinasi kerja cepat/pendek
dengan insulin kerja menengah.
2. Injeksi 2 kali sehari
Digunakan campuran insulin kerja cepat/pendek dan kerja menengah yang
diberikan sebelum makan pagi dan sebelum makan malam. Dapat menggunakan insulin
campuran buatan pabrik atau mencampur sendiri. Regimen ini biasa digunakan pada anak-
anak yang lebih muda.
3. Injeksi 3 kali sehari
Insulin campuran kerja cepat/pendek dengan kerja menengah diberikan sebelum
makan pagi, insulin kerja cepat/pendek diberikan sebelum makan siang atau kudapan sore,
dan insulin kerja menengah pada menjelang tidur malam hari. Regimen ini biasa digunakan
pada anak yang lebih tua dan remaja yang kebutuhan insulinnya tidak terpenuhi dengan
regimen 2 kali sehari.
4. Basal-bolus regimen
Menggunakan insulin kerja cepat/pendek diberikan sebelum makan utama, dengan
insulin kerja menengah diberikan pada pagi dan malam hari, atau dengan insulin basal
(glargine, detemir) yang diberikan sekali sehari (pagi atau malam hari).
Regimen ini biasa digunakan pada anak remaja ataupun dewasa. Komponen basal
biasanya berkisar 40-60% dari kebutuhan total insulin, yang dapat diberikan menjelang
tidur malam atau sebelum makan pagi atau siang, atau diberikan dua kali yakni sebelum
makan pagi dan makan malam; sisanya sebagai komponen bolus terbagi yang disuntikkan
20-30 menit sebelum makan bila menggunakan insulin reguler, atau segera sebelum makan
20
atau sesudah makan bila menggunakan analog insulin kerja cepat. Analog insulin kerja
cepat dapat diberikan 15-20 menit sebelum makan untuk mendapatkan efek yang
maksimal.
21
pasien (62,6%) memeriksakan HbA1C tiap tiga bulan, tetapi proporsi pasien yang tidak
memeriksakan HbA1c secara rutin juga masih tinggi, yaitu 32,3%.2
Pemantauan glukosa kontinu menggunakan alat minimal invasif yang dapat mengukur
glukosa cairan interstisial subkutan setiap 1-5 menit. Alat ini dapat memberikan peringatan
kepada pasien jika kadar glukosa diperkirakan akan meningkat atau menurun dari target dalam
10-30 menit.8 Cemeroglu dkk19 mendapatkan dalam studinya bahwa pencegahan hipoglikemi
merupakan manfaat utama dari pemantauan glukosa kontinu yang dirasakan oleh pasien,
diikuti oleh berkurangnya ansietas yang berhubungan dengan hipoglikemi, kemudahan tata
laksana, dan perbaikan kontrol diabetes. Pemeriksaan keton darah dan urin dilakukan pada saat
kondisi hiperglikemia tidak terkontrol, kondisi sakit, dan terdapat tanda-tanda KAD.2
Pemeriksaan keton darah lebih dapat dipercaya dalam penanganan dan diagnosis KAD.
Studi oleh Pulungan dkk di Indonesia menunjukkan bahwa pemeriksaan keton darah β-
hidroksibutirat memiliki korelasi yang lebih baik terhadap pH dan kadar bikarbonat
dibandingkan dengan pemeriksaan keton urin.2
22
timbulnya hipoglikemia. Ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan untuk mencegah
kelebihan berat badan, yaitu dengan menggunakan kurva pertumbuhan, indeks massa tubuh
(IMT), dan lingkar pinggang setiap 3 bulan. Anak berusia 6 sampai 8 tahun disebut obes jika
rasio ukuran lingkar pinggang terhadap tinggi badan ≥ 0,5. Ukuran lingkar pinggang target
pada anak > 16 tahun adalah < 80cm pada wanita dan < 94cm pada lelaki. 1
Jumlah kalori per hari yang dibutuhkan dihitung berdasarkan berat badan ideal.
Penghitungan kalori ini memerlukan data umur, jenis kelamin, tinggi badan dan berat badan
saat penghitungan, serta data kecukupan kalori yang dianjurkan. Komposisi kalori yang
dianjurkan adalah 50-55% dari karbohidrat, 15-20% berasal dari protein, dan 25-35% dari
lemak. Karbohidrat sangat berpengaruh terhadap kadar glukosa darah setelah makan, dalam 1-
2 jam setelah makan 90% karbohidrat akan menjadi glukosa, sehingga jumlah karbohidrat
dalam makanan harus dihitung. Jenis karbohidrat yang dianjurkan ialah yang berserat tinggi
dan memiliki indeks glikemik dan beban glikemik (glycemic load) yang rendah, seperti
golongan buah-buahan, sayuran, dan sereal yang akan membantu mencegah lonjakan kadar
glukosa darah. Kebutuhan serat harian pada anak ≥ 1 tahun adalah 3,3 gram per megajoule (3,3
g/MJ), atau pada anak ≥ 2 tahun dapat dengan menggunakan perhitungan usia (tahun) + 5 =
gram serat perhari. Sedangkan pada anak < 1 tahun tidak ditentukan. 1
Tujuan utama pengaturan asupan lemak adalah dengan membatasi asupan lemak total,
lemak jenuh, dan asam lemak trans. Asam lemak tak jenuh rantai tunggal (Monounsaturate
fatty acids = MUFA) dan asam lemak tak jenuh rantai ganda (polyunsaturated fatty acids=
PUFA) dapat digunakan sebagai pengganti untuk memperbaiki profi l lemak. Asam lemak tak
jenuh merupakan komponen penting pada membran lipid. Energi 10-20% dari MUFA sangat
direkomendasikan untuk mengontrol kadar lemak dan mencegah penyakit kardiovaskular.
Sedangkan energi dari PUFA dianjurkan kurang dari 10%. Konsumsi minyak ikan 80- 120g
seminggu satu sampai dua kali sangat dianjurkan. 1
Asupan protein menurun pada masa anak, dari 2g/kg/hari pada saat bayi menjadi
1g/kg/hari pada usia 10 tahun, dan 0,8-0,9 g/kg/hari pada saat remaja. Diet tinggi proten > 25%
dari energi, tidak dianjurkan pada anak DM tipe-1 karena dapat mempengaruhi pertumbuhan
dan asupan vitamin serta mineral. 1
Kebutuhan vitamin dan mineral pada anak diabetes sama dengan anak sehat lainnya.
Pada beberapa Negara, dianjurkan penambahan vitamin D. Anak dengan diabetes harus
dibatasi asupan garamnya. Pada anak usia 1-3 tahun, asupan garam 1000 mg/hari (2,5g
garam/hari), usia 4-8 tahun 1200 mg/hari (3 g garam/hari), sedangkan pada anak usia 9 tahun
1500 mg/hari (3,8 g garam/hari). 1
23
Pada diabetes, kelebihan alkohol berbahaya karena dapat menekan glukoneogenesis
yang menyebabkan hipoglikemia memanjang (sampai 10-12 jam setelah minum, tergantung
jumlah yang diminum). Karbohidrat harus diberikan sebelum dan/atau selama dan/atau setelah
asupan alkohol. Juga diperlukan pengaturan dosis insulin khususnya jika berolahraga
selama/atau sesudah minum. Perawatan khusus perlu dilakukan untuk mencegah hipoglikemia
pada malam hari, dengan memberikan kudapan karbohidrat, monitoring kadar gula darah lebih
sering pada malam hari, dan keesokan harinya, paling sedikit sampai dengan makan siang. 1
Dalam pemilihan jenis karbohidrat, menggunakan indeks glikemik dapat membantu
mengontrol kadar gula darah. Penelitian pada anak yang diberikan makanan dengan indeks
glikemik rendah memperlihatkan perbaikan kontrol glikemik setelah 12 bulan. Makanan
dengan indeks glikemik rendah dapat menurunkan hiperglikemia setelah makan. Beban
glikemik adalah metode lain untuk memperkirakan reaksi gula darah setelah makan, dilakukan
dengan penghitungan indeks glikemik dalam makanan dan ukuran porsi makanannya. Salah
satu kunci keberhasilan pengaturan makanan ialah asupan makanan dan pola makan yang sama
sebelum maupun sesudah diagnosis, serta makanan yang tidak berbeda dengan teman sebaya
atau dengan makanan keluarga. Fleksibel dalam jumlah makanan dan jenisnya sangat
diperlukan. Pengaturan makan yang optimal biasanya terdiri dari 3 kali makan utama dan 3
kali pemberian kudapan. Keberhasilan kontrol metabolik tergantung kepada frekuensi makan
dan regimen insulin yang digunakan. 1
Penderita DM tipe-1 yang menggunakan regimen insulin basal bolus maka pengaturan
makanannya menggunakan penghitungan kalori yang diubah dalam jumlah gram karbohidrat,
yaitu dalam 1 unit karbohidrat mengandung 15 gram karbohidrat1
24
Pada setiap kunjungan sebaiknya diberikan penjelasan mengenai pengaturan makan
agar dapat disesuaikan dengan umur, aktivitas yang dilakukan, pubertas, dan sebagainya. Pada
masa pubertas, asupan energi dan kebutuhan gizi akan meningkat bersama dengan peningkatan
dosis insulin. Pola makan dan pemberian insulin saling terkait sehingga pemantauan kadar
glukosa darah sangat penting untuk evaluasi pengobatan. 1
25
Diskusikan jenis dan jumlah karbohidrat yang diperlukan untuk olahraga spesifik.
Jika glukosa darah tinggi, glukosa darah > 250 mg/dL (14 mmol/L) dengan ketonuria
/ketonemia (> 0,5 mmol/L) olahraga atau latihan fisik harus dihindari, berikan insulin
kerja cepat (rapid acting) sekitar 0,05 U/kg atau 5% dari dosis total harian, dan tunda
aktivitas fisik sampai keton sudah negatif
Konsumsi 1,0-1,5 gram karbohidrat per kg massa tubuh per jam untuk olahraga yang
lebih lama atau lebih berat jika kadar insulin yang bersirkulasi tinggi atau insulin
sebelum latihan tidak dikurangi.
Makanan yang mengandung tinggi karbohidrat harus dikonsumsi segera setelah latihan
untuk mencegah terjadinya hipoglikemia pasca latihan fisik.
Lakukan pencatatan secara mendetil tentang aktivitas fisik, insulin, makan, dan hasil
pemeriksaan glukosa darah supaya dicapai kontrol diabetik yang baik selama aktivitas
fi sik spontan/latihan.
Hipoglikemia dapat terjadi sampai 24 jam setelah olahraga
Risiko terjadinya hipoglikemia nokturnal pasca olahraga cukup tinggi terutama jika
kadar glukosa darah sebelum tidur < 125 mg/dL (<7,0 mmol/L). Dosis insulin basal
sebelum tidur sebaiknya dikurangi.
Pasien dengan retinopati proliferatif atau nefropati harus menghindari olahraga yang
bersifat anaerobik atau yang membutuhkan ketahanan fisik karena dapat menyebabkan
tekanan darah tinggi.
Kudapan dengan indeks glikemik tinggi harus selalu siap di sekolah
Berikut ini adalah petunjuk-petunjuk mengenai beberapa penyesuaian diet, insulin, dan
cara monitoring gula darah agar aman berolahraga bagi anak dan remaja DM tipe-1 yang dapat
diterapkan dalam praktik sehari-hari: 1
26
Tabel 2.7 Penyesuaian diet, insulin, dan pemantauan gula darah bagi anak dengan DM Tipe-1
2.8.2.3 Edukasi2
Edukasi memiliki peran penting dalam penangan DM tipe-1 karena didapatkan bukti
kuat berpengaruh baik pada kontrol glikemik dan keluaran psikososial. Edukasi dilakukan oleh
tim multidisiplin yang terdiri atas paling tidak dokter anak endokrinologi atau dokter umum
terlatih, perawat atau edukator DM, dan ahli nutrisi. Edukasi tahap pertama dilakukan saat
pasien pertama terdiagnosis atau selama perawatan di rumah sakit yang meliputi pengetahuan
dasar mengenai DM tipe-1, pengaturan makan, insulin (jenis, dosis, cara penyuntikan,
penyimpanan, dan efek samping), serta pertolongan pertama kedaruratan DM tipe-1
(hipoglikemia, pemberian insulin saat sakit), sementara tahap kedua dilakukan saat
berkonsultasi di poliklinik.10,26 Dalam penelitian oleh Pulgaron dkk, kemampuan berhitung
dan kepercayaan diri orang tua dalam menangani diabetes berhubungan signifikan dengan
kadar HbA1c anak.
Edukasi pada masyarakat dan tenaga kesehatan juga tak kalah penting dalam
penatalaksanaan diabetes. Studi oleh Vanelli dkk28,29 menemukan bahwa program
pencegahan KAD pada anak dengan diabetes melalui penyebaran poster bermanfaat dalam
menurunkan angka KAD.
27
dapat diperlambat melalui tata laksana yang optimal. Berdasarkan hasil DCCT, dapat
disimpulkan bahwa komplikasi kronik pada penderita DM tipe-1 dapat dihambat secara
bermakna dengan kontrol metabolik yang baik. Perbedaan HbA1c sebesar 1% sudah
mengurangi risiko komplikasi sebanyak 25-50%.
28
Tabel 2.8 Gejala dan Tanda Hipoglikemia
Menurut berat ringannya hipoglikemia dibagi atas hipoglikemia berat dan hipoglikemia
ringan/sedang. Anak yang dianggap mengalami hipoglikemia berat adalah bila hipoglikemia
disertai gejala neuroglikopenia berat, seperti koma atau kejang, dan membutuhkan terapi
parenteral (glukagon atau infus glukosa). Sedangkan hipoglikemia ringan dan sedang dijadikan
satu dalam pembagiannya karena tidak berbeda dalam penanganannya dan hampir semua
memerlukan penanganan dari orangtua atau pengasuh. 1
Hipoglikemia simptomatik terjadi bila anak atau orangtua menyadari, berespons, dan
menangani hipoglikemia secara oral setelah mendeteksi kadar glukosa darah < 70 mg/ dL (4
mmol/L). Sedangkan hipoglikemia asimptomatik terjadi bila anak tidak menunjukkan gejala
dan tanda hipoglikemia, walau kadar glukosa darah terdeteksi < 70 mg/ dL (4 mmol/L). Hal
ini penting untuk diketahui sehubungan dengan mengenali kejadian hypoglikemia unawareness
atau mengetahui kadar glukosa darah yang berisiko untuk terjadinya hypoglikemia
unawareness. 1
Tujuan tatalaksana hipoglikemia adalah mengembalikan kadar glukosa darah ke nilai
normal (euglikemia) atau ke 100 mg/ dL (5,6 mmol/L). 1
29
Tabel 2.9 Tatalaksana hipoglikemia1
30
2.9.1.2 DKA dan HHS
Komplikasi akut diabetes mellitus adalah Diabetes Keto-Acidosis (DKA) dan
Hiperglikemik Hiperosmolar State (HHS), DKA adalah komplikasi yang sering terjadi pada
DM tipe -1, walaupun begitu keadaan ini dapat terjadi juga pada diabetes mellitus tipe 2 yang
tidak mendapatkan perawatan adekuat, sedangkan HHS lebih sering terjadi pada DM tipe 2.
Kedua keadaan ini berhubungan erat dengan resistensi maupun defisiensi absolut
insulin.(4,5,10,11)
Tabel 2.10 Nilai laboratorium pada DKA dan HHS8
DKA HHS
Glucose,a mmol/L (mg/dL) 13.9–33.3 (250– 33.3–66.6 (600–1200)
600)
Sodium, meq/L 125–135 135–145
Potassiuma,b Normal
Normal to
Creatinine
Slightly Moderately
Osmolality (mOsm/mL) 300–320 330–380
Plasma ketonesa ++++ +/–
31
2.9.2 Komplikasi Jangka Panjang
Komplikasi diabetes pada sistem pembuluh darah dapat menyebabkan morbiditas dan
mortalitas yang berarti. Komplikasi jangka panjang ini terjadi akibat perubahan mikrovaskuler
dan makrovaskular. Komplikasi mikrovaskular meliputi retinopati, nefropati yang diawali
dengan mikroalbuminuria, dan neuropati. Sedangkan yang termasuk komplikasi
makrovaskular adalah penyakit arteri koroner, penyakit serebrovaskular, dan penyakit
pembuluh darah perifer. Masa anak dan remaja merupakan periode yang dapat digunakan untuk
endukasi dan tata laksana intensif untuk mencegah dan menunda komplikasi. 1
32
Prinsip utama untuk mencapai hasil yang baik adalah dengan mengusahakan kontrol
glikemik sedapat mungkin mendekati normal. Penelitian the Diabetes Control and
Complications Trial(DCCT) menemukan penurunan kejadian komplikasi mikrovaskular
secara signifikan pada pasien-pasien yang melakukan terapi intensif dibandingkan dengan yang
menjalani terapi konvensional.
33
Tabel 2.12 Tahapan Pemeriksaan Komplikasi Makrovaskular1
2.10 Prognosis
Diabetes Mellitus tipe 1 adalah penyakit kronis yang serius, menurut beberapa literatur
mengenai penyakit ini disebutkan bahwa umur dari penderita 10 tahun lebih pendek
dibandingkan dengan orang yang bukan penderita. Pada anak yang menderita kemungkinan
akan mengalami penghambatan pertumbuhan sehingga akan menjadi lebih pendek
dibandingkan dengan orang normal. Sedangkan perkembang seksual dari anak penderita
diabetes mellitus tipe 1 juga akan terhambat sehingga pencapaian umur pubertas akan lebih tua
dari anak yang normal. Prognosis akan menjadi buruk bila penyakit tidak dideteksi secara
cepat, hal ini juga akan mengakibatkan komplikasi akut maupun kronis yang cukup berat
sehingga dapat mengancam jiwa penderita. Perubahan pola hidup yang ekstrem seperti
kebutuhan insulin absolut setiap hari juga merupakan sebuah masalah bagi orangtua penderita
maupun penderita itu sendiri terutama bagi penderita dengan umur dibawah 10 tahun.
Prognosis baik akan didapatkan apabila pengelolaan status hiperglikemia dan ketogenesis
terlaksana dengan baik, kecepatan dan ketepatan deteksi dini penyakit serta pendidikan tentang
penyakit T1DM serta pengelolaannya yang jelas kepada orangtua pasien akan membantu
mencegah komplikasi yang mengancam jiwa4,5,6,7,8,9,10
Pada diabetes mellitus tipe 2, prognosis akan sangat baik apabila perbaikan status
diabetes dilakukan secara tepat dan cepat . Pentingnya penyakit dideteksi lebih cepat agar dapat
dilakukan penatalaksanaan maupun perubahan pola hidup sebelum memberikan komplikasi
34
yang berbahaya. Perubahan pola hidup, pola konsumsi serta pengawasan ketat penting dalam
menjaga agar prognosis tidak menjadi buruk. Bagi T2DM dapat dilakukan pencegahan
timbulnya pada anak normal maupun beresiko dengan mengatur asupan kalori serta olahraga
yang cukup untuk menjaga indeks massa tubuh tetap normal sesuai dengan umur serta tinggi
anak. Pada T2DM pencegahan adalah perihal yang sangat krusial, sehingga dibutuhkan
pendidikan tentang pola konsumsi dan olahraga yang tepat bagi anak. Manajemen stress juga
penting diketahui mengingat stress hormon dapat meningkatkan kadar gula darah.4,5,6,7,8
35
BAB III
KESIMPULAN
DM tipe-1 adalah kelainan sistemik akibat terjadinya gangguan metabolisme glukosa
yang sering ditemukan pada anak, ditandai oleh hiperglikemia kronik dimana terjadi defisiensi
insulin absolut akibat kerusakan sel kelenjar pankreas oleh proses autoimun maupun idiopatik
sehingga produksi insulin berkurang bahkan terhenti. Di Indonesia, insidensi DM tipe-1 pada
anak dan remaja meningkat sekitar tujuh kali lipat dari 3,88 menjadi 28,19 per 100 juta
penduduk pada tahun 2000 dan 2010.
Gambaran klinis yang dapat ditemukan pada anak/remaja dengan DM tipe-1 adalah
poliuria, polidipsia, nokturia, enuresis, penurunan berat badan yang cepat dan gejala lainnya
yang lebih jarang seperti kesemutan, lemas, luka yang sukar sembuh, pandangan kabur, dan
gangguan perilaku. Seperti halnya dengan DM tipe-2, diperlukan pemeriksaan GDP, G2PP,
GDS, HbA1c untuk membantu menegakkan diagnosis DM tipe-1
Penatalaksanaan DM tipe-1 meliputi tatalaksana farmakologi dan nonfarmakologi yang
dibagi menjadi 5 pilar utama yaitu penggunaan insulin, pengaturan nutrisi/makanan, aktivitas
fisik/olahraga, pemantauan gula darah, dan edukasi. Diperlukan kerjasama antara dokter, orang
tua, anak untuk dapat menciptakan hasil pengobatan yang baik yaitu tercapainya kontrol
terhadap gula darah. Diagnosis dini dan tatalaksana yang tepat terhadap DM-tipe 1 dapat
mencegah atau memperlambat terjadinya komplikasi akut maupun kronik sehingga dapat
menurunkan morbiditas dan mortalitas dari DM tipe -1.
36
DAFTAR PUSTAKA
[1]. Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 1. UKK Endokrinologi Anak dan
Remaja. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia- World Diabetes Foundation. 2015
[2]. Pulungan AB, Diadra Annisa, Sirma Imada. Diabetes Melitus Tipe-1 pada Anak : Situasi di
Indonesia dan Tatalaksana. Sari Pediatri Vol 20 No.6 2019;20(6):392-400
[3]. Buku Panduan Belajar Koas Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
RSU Pusat Sanglah Denpasar. 2017 p19-34
[4]. Kliegman, M.Robert, :Endocrine System, Endocrine Disease, Diabetes Mellitus Nelson
textbook of pediatric 18th edition, CHTML e-Book , Saunders, an imprint of Elsevier Inc.
Philadelphia,2007
[5]. Hay, W. William et al : Chapter 31 Diabetes Mellitus , Current Diagnosis And Treatment 18th
edition, McGraw-Hill Companies Lange Medical Series, CHTML e-Book, 2007
[6]. Kliegman, M.Robert, : Section XXIII, Endocrinology, Diabetes Mellitus, Nelson’s Pediatric
Secret5th edition, Elseviere Saunders Inc, CHTML e-Book, 2007
[7]. Warrell, David AJ et al : Oxford Textbook of Medicine, 4th Edition. CHTML e-Book , Oxford
University Press.2003
[8]. Longo, L. Longo et al : Harrison’s, Principal Of Internal Medicine 18th edition, McGraw-Hill
Companies , Medical Series,CHTML e-Book s , 2012
[9]. Casares S, Brumeanu TD: Insights into the pathogenesis of T1DM: A hint for novel
immunospecific therapies. Curr Molec Med 2001;1:357–378
[10]. Boon,N.A, Cumming,A. D, John , G : Davidson’s Principal And Practice Of Medicine 20th
edition, CHTML e-Book , Elsevier Inc, 2007
[11]. Simon, Chantal, Everrit, Hazel, Kendrick, Tony : Oxford Handbook Of General Practice 2nd
edition Oxford University Press, CHTML e-Book ,2005
37