KONSEP MEDIS
A. Defenisi
Trepanasi atau craniotomy adalah operasi untuk membuka tengkorak
(tempurung kepala) dengan maksud untuk mengetahui dan memperbaiki kerusakan
otak. Trepanasi/ kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala
yangbertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif (Tanriono,2017)
Kraniotomi merupakan tindakan bedah yang bertujuan untuk membuka
tengkorak sehingga dapat mengetahui dan memperbaiki kerusakan yang ada di dalam
otak. Penelitian terakhir membuktikan bahwa nyeri merupakan masalah yang biasa
timbul setelah tindakan kraniotomi (Amalia, 2014)
Craniotomy merupakan prosedur bedah saraf yang sudah umum. Prosedur ini
dilakukan dengan membuka tulang tengkorak yang bertujuan menghilangkan massa
atau hematom yang terdapat di otak (Sulistyowati, 2015).
B. Klasifikasi
1. Epidural Hematoma (EDH) adalah suatu perdarahan yang terjadi di antara tulang
dan lapisan duramater.
2. Subdural hematoma (SDH) adalah suatu perdarahan yang terdapat pada rongga
diantara lapisan duramater dengan araknoidea
C. Indikasi
Indikasi tindakan kraniotomi atau pembedahan intrakranial adalah sebagai
berikut :
1. Adanya tanda herniasi/lateralisasi
2. Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CT Scan
Kepala tidak bisa dilakukan.
3. Pengangkatan jaringan abnormal baik tumor maupun kanker.
4. Mengurangi tekanan intrakranial.
5. Mengevakuasi bekuan darah .
6. Mengontrol bekuan darah,
7. Pembenahan organ-organ intrakranial,
8. Tumor otak,
9. Perdarahan (hemorrage),
10. Kelemahan dalam pembuluh darah (cerebral aneurysms)
11. Peradangan dalam otak
12. Trauma pada tengkorak (Tanriono,2017).
D. Etiologi
1. Oleh benda tajam
2. Pukulan benda tumpul
3. Pukulan benda tajam
4. Kecelakaan lalu lintas
5. Terjatuh
6. Kecelakaan kerja (Tanriono,2017)
E. Patofisiologi
Patofisiologi dan gejala sisa yang muncul pada trauma kepala melibatkan baik
cedera primer maupun sekunder. Cedera primer disebabkan karena trauma awal yang
mengakibatkan pengaruh fisik pada jaringan otak dari akselerasi ke deselerasi atau
kekuatan perputaran dan mungkin menyebabkan terjadinya retak tengkorak, kontusio
otak, hematom intrakranial (intraparenkim, epidural, dan subdural), atau cedera akson
difus/ diffuse axonal injury (DAI) .DAI merupakan kerusakan akson yang luas yang
disebabkan oleh kekuatan pergeseran karena akselerasi dan deselerasi kepala yang
cepat. Penyebab tersering adalah kecelakaan kendaraan bermotor, selain terjatuh,
karena serangan, dan trauma lain bukan karena kecelakaan. Setelah dilakukannya op
kraniotomi terjadi insisi pada bagian kepala frontalis sehingga timbul luka pada
daerah kepala yang dilakukan operasi. Akibat adanya luka insisi pada kepala timbul
gejala seperti gatal, panas, nyeri, kulit mengelupas atau kemerahan, bahkan terjadi
perdarahan. Dari gejala-gejala tersebut sehingga timbul masalah resiko terjadinya
infeksi, nyeri akut, kerusakan intregitas kulit, terjadi gangguan perfusi jaringan,
bahkan bisa kehilangan atau kekurangan volume cairan (Sudadi, 2014).
Akibat adanya luka insisi pada bagian kepala timbul gejala dan masalah
seperti yang disebutkan diatas. Karena adanya luka insisi supaya keadaan lebih
membaik, biasanya diberikan obat anestesi sesuai indikasi yang diberikan oleh dokter.
Namun pemberian obat anestesi juga menimbulkan efek samping pada tubuh maupun
pada luka yang dialami. Efek pada obat anestesi bisa menimbulkan masalah yang
bermacam-macam. Sebagai contoh pola nafas yang tidak efektif terjadi akibat
diberikannya obat anestesi sehingga bisa timbul penekanan pada pusat pernapasan.
Karena terjadi penekanan sehingga kerja organ pernapasan tidak bisa bekerja secara
efektif sehingga ekspansi paru mengalami penurunan dan suplai O2 untuk tubuh
menjadi berkurang.
Selain ekspansi paru akibat fungsi organ pernapasan tidak bisa bekerja secara
efektif, bisa timbul penumpukan secret pada organ pernapasan sehingga timbul
masalah ketidakbersihan jalan napas.
Selain organ pernapasan yang terganggu, efek obat anestesi juga bisa
mengganggu sistem perkemihan. Efek dari obat-obatan biasanya bisa menimbulkan
masalah pada ginjal kita. Karena terjadi gangguan pada ginjal, reflek berkemih bisa
mengalami penuran sehingga seseorang tidak bisa menahan reflek berkemihnya.
Kemudian timbul masalah perubahan pola eliminasi urin.
Tidak hanya sistem perkemihan, sistem pencernaan juga bisa terganggu akibat
diberikannya obat anestesi. Efek dari obat sendiri biasanya menyebabkan nafsu
makan pada seseorang menjadi menurun. Sehingga menstimulasi medulla kemudian
bisa terjadi reflek muntah atau mual. Karena makanan yang sudah dicerna
dikeluarkan kembali sehingga tubuh bisa menjadi kekurangan nutrisi.
CRANIOTOMY
Luka Insisi
Higiene Luka Buruk Jaringan Kulit Rusak Ujung-Ujung Syaraf Perdarahan Vol darah
Risiko Infeksi
Kerja Organ
Secret
1. Sakit kepala
2. Nausea atau muntah proyektil
3. Pusing
4. Perubahan mental
5. Kejang
Manifestasi klinik lokal (akibat kompresi tumor pada bagian yang spesifik dari otak) :
1. Perubahan penglihatan, misalnya: hemianopsia, nystagmus, diplopia,
kebutaan, tanda-tanda papil edema.
2. Perubahan bicara, msalnya: aphasia
3. Perubahan sensorik, misalnya: hilangnya sensasi nyeri, halusinasi sensorik.
4. Perubahan motorik, misalnya: ataksia, jatuh, kelemahan, dan paralisis.
5. Perubahan bowel atau bladder, misalnya: inkontinensia, retensia urin, dan
konstipasi.
6. Perubahan dalam pendengaran, misalnya : tinnitus, deafness.
7. Perubahan dalam seksual
G. Komplikasi
1. Peningkatan tekanan intrakranial
2. Perdarahan dan syok hipovolemik
3. Ketidakseimbangan cairan dan elekrolit
4. Infeksi
5. Kejang
6. Edema cerebral.
7. Perdarahan subdural, epidural, dan intracerebral.
8. Hypovolemik syok.
9. Hydrocephalus.
10. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit (SIADH atau Diabetes Insipidus).
11. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis.
12. Tromboplebitis postoperasi biasanya timbul 7 – 14 hari setelah operasi.
13. Bahaya besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari dinding
14. pembuluh darah vena dan ikut aliran darah sebagai emboli ke paru-paru, hati dan
otak. Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki post operasi, ambulatif
H. Pemeriksaan Penunjang
Prosedur diagnostik praoperasi dapat meliputi :
1. Tomografi komputer (pemindaian CT)
Untuk menunjukkan lesi dan memperlihatkan derajat edema otak sekitarnya,
ukuran ventrikel, dan perubahan posisinya/pergeseran jaringan otak, hemoragik.
2. Catatan : pemeriksaan berulang mungkin diperlukan karena pada iskemia/infark
mungkin tidak terdeteksi dalam 24-72 jam pasca trauma
3. Pencitraan resonans magnetik (MRI)
Sama dengan skan CT, dengan tambahan keuntungan pemeriksaan lesi di
potongan lain.
4. Electroencephalogram (EEG)
Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis
5. Angiografy Serebral
Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat
edema, perdarahan trauma
6. Sinar-X
Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur
dari garis tengah (karena perdarahan,edema), adanya fragmen tulang
7. Brain Auditory Evoked Respon (BAER) : menentukan fungsi korteks dan batang
otak
8. Positron Emission Tomography (PET) : menunjukkan perubahan aktivitas
metabolisme pada otak
9. Fungsi lumbal, CSS : dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan
subarakhnoid
10. Gas Darah Artery (GDA) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi
yang akan dapat meningkatkan TIK
11. Kimia/elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam
meningkatkan TIK/perubahan mental
12. Pemeriksaan toksikologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab
terhadap penurunan kesadaran
13. Kadar antikonvulsan darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang
cukup efektif untuk mengatasi kejang.
I. Penatalaksanaan
1. Praoperasi
Pada penatalaksaan bedah intrakranial praoperasi pasien diterapi dengan
medikasi antikonvulsan (fenitoin) untuk mengurangi resiko kejang pascaoperasi.
Sebelum pembedahan, steroid (deksametason) dapat diberikan untuk mengurangai
edema serebral. Cairan dapat dibatasi. Agens hiperosmotik (manitol) dan diuretik
(furosemid) dapat diberikan secara intravena segera sebelum dan kadang selama
pembedahan bila pasien cenderung menahan air, yang terjadi pada individu yang
mengalami disfungsi intrakranial. Kateter urinarius menetap di pasang sebelum
pasien dibawa ke ruang operasi untuk mengalirkan kandung kemih selama
pemberian diuretik dan untuk memungkinkan haluaran urinarius dipantau. Pasien
dapat diberikan antibiotik bila serebral sempat terkontaminasi atau deazepam pada
praoperasi untuk menghilangkan ansietas. Kulit kepala di cukur segera sebelum
pembedahan (biasanya di ruang operasi) sehingga adanya abrasi superfisial tidak
semua mengalami infeksi.
2. Pascaoperasi
a. Mengurangi Edema Serebral
Terapi medikasi untuk mengurangi edema serebral meliputi pemberian
manitol, yang meningkatkan osmolalitas serum dan menarik air bebas dari
area otak (dengan sawar darah-otak utuh). Cairan ini kemudian dieksresikan
melalui diuresis osmotik. Deksametason dapat diberikan melalui intravena
setiap 6 jam selama 24 sampai 72 jam ; selanjutnya dosisnya dikurangi secara
bertahap.
b. Meredakan Nyeri dan Mencegah Kejang
Asetaminofen biasanya diberikan selama suhu di atas 37,50C dan
untuk nyeri. Sering kali pasien akan mengalami sakit kepala setelah
kraniotomi, biasanya sebagai akibat syaraf kulit kepala diregangkan dan
diiritasi selama pembedahan. Kodein, diberikan lewat parenteral, biasanya
cukup untuk menghilangkan sakit kepala. Medikasi antikonvulsan (fenitoin,
deazepam) diresepkan untuk pasien yang telah menjalani kraniotomi
supratentorial, karena resiko tinggi epilepsi setelah prosedur bedah neuro
supratentorial. Kadar serum dipantau untuk mempertahankan medikasi dalam
rentang terapeutik.
c. Memantau Tekanan Intrakranial
Kateter ventrikel, atau beberapa tipe drainase, sering dipasang pada
pasien yang menjalani pembedahan untuk tumor fossa posterior. Kateter
disambungkan ke sistem drainase eksternal. Kepatenan kateter diperhatikan
melalui pulsasi cairan dalam selang. TIK dapat di kaji dengan menyusun
sistem dengan sambungan stopkok ke selang bertekanan dan tranduser. TIK
dalam dipantau dengan memutar stopkok. Perawatan diperlukan untuk
menjamin bahwa sistem tersebut kencang pada semua sambungan dan bahwa
stopkok ada pada posisi yang tepat untuk menghindari drainase cairan
serebrospinal, yang dapat mengakibatkan kolaps ventrikel bila cairan terlalu
banyak dikeluarkan. Kateter diangkat ketika tekanan ventrikel normal dan
stabil. Ahli bedah neuro diberi tahu kapanpun kateter tanpak tersumbat. Pirau
ventrikel kadang dilakuakan sebelum prosedur bedah tertentu untuk
mengontrol hipertensi intrakranial, terutama pada pasien tumor fossa posterior
BAB II
KONSEP KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Identitas pasien
2. Identitas orang tua-penanggung jawab
3. Pre operasi
a. Keluhant utama pasien: nyeri kepala, muntah, pusing, perubahan mental,
kejang
b. Riwayat penyakit: Dm, asma, hepatitis, hipertensi, Hiv
c. Riwayat alergi obat
d. Jenis operasi
e. Tanda-tanda vital
f. Tb/Bb
g. Golongan darah
h. Riwayat pikososial spiritual
- Status emosional : tenang, bingung, kooperatif, tidak kooperatif.
Menangis, menark diri
- Tingkat kecemasan : tidak cemas, cemas
- Skala cemas :
0: tidak cemas
1: mengungkapkan kerisauan
2: tingkat perhatian tinggi
3: kerisauan tidak berfokus
4: respin simpate adrenal
5: panik
i. Skala nyeri menurut VAS (visual analog scale)
- 0-1 : tidak nyeri
- 2-3 : nyeri ringan
- 4-5 : nyeri sedang
- 6-7 : nyeri berat
- 8-9 : sangat berat
- 10 : nyeri tidak tertahan
j. survey sekunder lakukan secara head to toe secara prioritas
- kepala
- leher
- dada
- abdomen
- genitalia
- integumen
- ekstremitas
k. Hasil data penunjang
- Laboratorium
- EKG
- Rontgen
- USG
4. Intra operasi
a. Anastesi di mulai jam
b. Pembedahan dimulai jam
c. Jenis anastesi
- Spinal
- umum/generas anastesi
- lokal
- nervus blok
d. Posisi operasi: terlentang, litotomi, tengkurap/knes chees, kanan, kiri
e. Catatan anastesi
f. Pemasangan alat : terpasang EET, LMA, OPA, O2 Nasal
g. Tanda-tanda vital : tekanan darah, pernafasan, suhu, nadi (kuat, lemah,
teratur, tidak teratur), SPO2
h. Survei sekunder lakukan secara head to toe secara prioritas
- kepala
- leher
- dada
- abdomen
- genitalia
- integumen
- ekstremitas
i. Total cairan masuk
- Infus : cc
- Transfusi : cc
j. Total cairan keluar
- Infus :cc
- Transfusi : cc
5. Post operasi
a. Pasien pindah ke : ICU/PICU/NICU, jam ?, RR jam ?
b. Keluhan saat di RR :mual, mutah, pusing, nyeri luka operasi, kaki terasa baal,
menggigil
c. Keadaan umum : baik, sedang, sakit berat
d. Tanda-tanda vital :tekanan darah, nadi, suhu, pernafasan, SPO2
e. kesadaran : composmentis, apatis, samnolen, sopor, coma
f. survey sekunder lakukan secara head to toe secara prioritas
- kepala
- leher
- dada
- abdomen
- genitalia
- integumen
- ekstremitas
g. skala nyeri menurut VAS (visual analog scale)
- 0-1 : tidak nyeri
- 2-3 : nyeri ringan
- 4-5 : nyeri sedang
- 6-7 : nyeri berat
- 8-9 : sangat berat
- 10 : nyeri tidak tertahan
B. Diagnosa Keperawatan
4. Gangguan perfusi jaringan Tujuan: 1. Observasi ekstermitas terhadap pembengkakan, dan eritema.
berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam, 2. Evaluasi status mental. perhatikan terjadinya hemaparalis, afasia,
pendarahan. klien tidak terjadi gangguan perfusi jaringan. kejang, muntah dan peningkatan TD.
Kriteria hasil:
1. Tanda-tanda vital stabil.
2. Kulit klien hangat dan kering
3. Nadi perifer ada dan kuat.
4. Masukan atau haluaran seimbang.
5. Kekurangan volume cairan Tujuan: 1. Awasi intake dan out put cairan.
berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam, 2. Awasi TTV, kaji membrane mukosa, turgor kulit, membrane mukosa,
perdarahan post operasi. klien menunjukkan keseimbangan cairan yang nadi perifer dan pengisian kapiler.
adekuat, dengan KH: 3. Awasi pemeriksaan laboratorium.
1. Tanda-tanda vital stabil. 4. Berikan cairan IV atau produk darah sesuai indikasi
2. Mukosa lembab
3. Turgor kulit/ pengisian kapiler baik.
4. Haluaran urine baik.
6. Pola nafas inefektif Tujuan: 1. Evaluasi frekuensi pernafasan dan kedalaman.
berhubungan dengan efek setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam, 2. Auskultasi bunyi nafas.
anastesi. klien menunjukkan pola nafas yang efektif. 3. Lihat kulit dan membran mukosa untuk melihat adanya sianosis.
Kriteria hasil: 4. Berikan tambahan oksigen sesuai kebutuhan.
1. volume nafas adekuat.
2. klien dapat mempertahankan pola nafas
normal dan efektif dan tidak ada tanda
hipoksia.
7. Bersihan jalan napas Tujuan: 1. Awasi frekuensi, irama, kedalaman pernafasan.
inefektif berhubungan setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam, 2. Auskultasi paru, perhatikan stridordan penurunan bunyi nafas.
dengan penumpukan secret. klien menunjukkan bunyi nafas yang jelas. 3. Dorong batuk atau latihan pernafasan.
Kriteria hasil: 4. Perhatikan adanya warna pucat atau merah pada luka.
1. frekuensi nafas dalam rentang normal.
2. bebas dipsnea.
8. Perubahan pola eliminasi Tujuan: 1. Catat keluaran urine, selidiki penurunan aliran urine secara tiba-tiba.
urin berhubungan dengan setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam, 2. Awasi TTV, kaji nadi perifer, turgor kulit, pengisian kapiler.
efek anastesi. klien menunjukkan aliran urine yang lancar. 3. Dorong peningkatan cairan dan pertahankan pemasukan akurat.
Kriteria hasil:
6. Haluaran urine adekuat.
9. Perubahan nutrisi kurang Tujuan: 1. Timbang BB secara teratur.
dari kebutuhan Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam, 2. Auskultasi bising usus, catat bunyi tak ada atau hiperaktif.
berhubungan dengan mual klien menunjukkan keseimbangan berat badan. 3. Tambahkan diet sesuai toleransi.
muntah. Kriteria hasil:
1. Berat badan klien tetap seimbang.
DAFTAR PUSTAKA
Tanriono.2017. Profil Pasien Pasca Kraniotomi di ICU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou
Manado Periode Juli 2016 - Juni 2017. Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 5, Nomor 2, Juli-
Desember 2017. https://ejournal.unsrat.ac.id › index.php › eclinic › article › download
Caroline, Nancy, Eling, Bob. (2015). Caroline’s Emergency Care in the Street. London:
Jones and Barlett Publisher
PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Defenisi dan Indikator Diagnostik.
Edisi 1. Jakarta : Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Indonesia.