RINOSINUSITIS KRONIS
RUANG EDELWIS RSUD BANYUMAS
Di susun Oleh :
NIM : 106115025
D3 KEPERAWATAN
1. Gejala Subjektif
a) Nyeri
Sesuai dengan daerah sinus yang terkena dapat ada atau mungkin tidak.
Secara anatomi, apeks gigi-gigi depan atas (kecuali gigi insisivus)
dipisahkan dari lumen sinus hanya oleh lapisan tipis tulang atau mungkin
tanpa tulang hanya oleh mukosa, karenanya sinusitis maksila sering
menimbulkan nyeri hebat pada gigi-gigi ini
b) Sakit kepala
Merupakan tanda yang paling umum dan paling penting pada sinusitis.
Wolff menyatakan bahwa nyeri kepala yang timbul merupakan akibat
adanya kongesti dan udema di ostium sinus dan sekitarnya. Penyebab sakit
kepala bermacam-macam, oleh karena itu bukanlah suatu tanda khas dari
peradangan atau penyakit pada sinus. Jika sakit kepala akibat kelelahan
dari mata, maka biasanya bilateral dan makin berat pada sore hari,
sedangkan pada penyakit sinus sakit kepala lebih sering unilateral dan
meluas kesisi lainnya. Sakit kepala yang bersumber di sinus akan
meningkat jika membungkukkan badan kedepan dan jika badan tiba-tiba
digerakkan. Sakit kepala ini akan menetap saat menutup mata, saat
istirahat ataupun saat berada dikamar gelap.
Nyeri kepala pada sinusitis kronis biasanya terasa pada pagi hari, dan akan
berkurang atau hilang setelah siang hari. Penyebabnya belum diketahui
dengan pasti, tetapi mungkin karena pada malam hari terjadi penimbunan
ingus dalam rongga hidung dan sinus serta adanya statis vena.
c) Nyeri pada penekanan
Nyeri bila disentuh dan nyeri pada penekanan jari mungkin terjadi pada
penyakit di sinus-sinus yang berhubungan dengan permukaan wajah
d) Gangguan penghindu
Indra penghindu dapat disesatkan (parosmia), pasien mencium bau yang
tidak tercium oleh hidung normal. Keluhan yang lebih sering adalah
hilangnya penghindu (anosmia). Hal ini disebabkan adanya sumbatan
pada fisura olfaktorius didaerah konka media. Oleh karena itu ventilasi
pada meatus superior hidung terhalang, sehingga menyebabkan hilangnya
indra penghindu. Pada kasus kronis, hal ini dapat terjadi akibat degenerasi
filament terminal nervus olfaktorius, meskipun pada kebanyakan kasus,
indra penghindu dapat kembali normal setelah infeksi hilang.
2. Gejala Objektif
a) Pembengkakan dan udem
Jika sinus yang berbatasan dengan kulit terkena secara akut, dapat terjadi
pembengkakan dan udem kulit yang ringan akibat periostitis. Palpasi
dengan jari mendapati sensasi seperti pada penebalan ringan atau seperti
meraba beludru.
b) Sekret nasal
Mukosa hidung jarang merupakan pusat fokus peradangan supuratif,
sinus-sinuslah yang merupakan pusat fokus peradangan semacam ini.
Adanya pus dalam rongga hidung seharusnya sudah menimbulkan
kecurigaan adanya suatu peradangan dalam sinus. Pus di meatus medius
biasanya merupakan tanda terkenanya sinus maksila, sinus frontal atau
sinus etmoid anterior, karena sinus-sinus ini bermuara ke dalam meatus
medius.
D. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi rinosinusitis kronik terkait 3 faktor: patensi ostium, fungsi
silia dan kualitas sekret. Gangguan salah satu faktor tersebut atau kombinasi
faktor-faktor tersebut merubah fisiologi dan menimbulkan sinusitis. Kegagalan
transpor mukus dan menurunnya ventilasi sinus merupakan faktor utama
berkembangnya rinosinusitis kronik.
Patofisiologi rinosinusitis kronik dimulai dari blokade akibat udem hasil
proses radang di area kompleks ostiomeatal. Blokade daerah kompleks
ostiomeatal menyebabkan gangguan drainase dan ventilasi sinus-sinus anterior.
Sumbatan yang berlangsung terus menerus akan mengakibatkan terjadinya
hipoksi dan retensi sekret serta perubahan pH sekret yang merupakan media yang
baik bagi bakteri anaerob untuk berkembang biak. Bakteri juga memproduksi
toksin yang akan merusak silia. Selanjutnya dapat terjadi hipertrofi mukosa yang
memperberat blokade kompleks ostiomeatal. Siklus ini dapat dihentikan dengan
membuka blokade kompleks ostiomeatal untuk memperbaiki drainase dan aerasi
sinus.
Faktor predisposisi rinosinusitis kronik antara lain adanya; obstruksi
mekanik seperti septum deviasi, hipertrofi konkha media, benda asing di hidung,
polip serta tumor di dalam rongga hidung. Faktor sistemik yang mempengaruhi
seperti malnutrisi, terapi steroid jangka panjang, diabetes, kemoterapi dan
defisiensi imun. Faktor lingkungan seperti polusi udara, debu, udara dingin dan
kering dapat mengakibatkan perubahan pada mukosa dan kerusakan silia.
E. PATHWAYS
F. KOMPLIKASI
Kompikasi rinosinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukan antibiotika.
Komplikasi yang dapat terjadi ialah:
1. Osteomielitis dan abses subperiostal
Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada
anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral.
2. Kelainan Orbita
Disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita). Yang
paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila.
Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum.
Variasi yang dapat timbul ialah udema palpebra, selulitis orbita, abses
subperiostal, abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus
kavernosus.
3. Kelainan Intrakranial
Dapat berupa meningitis, abses ektradural, abses otak dan trombosis sinus
kavernosus.
4. Kelainan Paru
Seperti bronkitis kronis dan brokiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal
disertai denga kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu dapat juga
timbul asma bronkial
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan palpasi turut membantu menemukan nyeri tekan pada daerah
sinus yang terkena disamping pemeriksan rinoskopi anterior dan rinoskopi
posterior.
2. Transiluminasi
Transluminasi mempuyai manfaat yang terbatas, hanya dapat dipakai untuk
pemeriksaan sinus maksila dan sinus frontal, bila fasilitas pemeriksaan
radiologik tidak tersedia.
3. Pemeriksaan radiologi
a) Foto rontgen sinus paranasal
Pemeriksaan radiologik yang dapat dibuat antara lain: Waters, PA dan
Lateral. Tepi mukosa sinus yang sehat tidak tampak pada foto rontgen,
tetapi jika ada infeksi tepi mukosa akan tampak karena udema permukaan
mukosa. Permukaan mukosa yang membengkak dan udema tampak
seperti suatu densitas yang paralel dengan dinding sinus.
Pembengkakan permukaan mukosa yang berbatas tegas pada resesus
alveolaris antrum maksila biasanya terjadi akibat infeksi yang berasal dari
gigi atau daerah periodontal.
Jika cairan tidak mengisi seluruh rongga sinus, selalu dapat dilihat adanya
batas cairan (air fluid level) pada foto dengan posisi tegak.
b) CT-Scan (Computer Tomography) sinus paranasal
Sinus maksila, rongga hidung, septum nasi dan konka terlihat pada
penampang CT-Scan aksial dan koronal. Pada sinusitis dengan
komplikasi, CT-Scan adalah cara yang terbaik untuk memperlihatkan sifat
dan sumber masalah.
CT-Scan koronal dari sinus paling baik untuk pembedahan, memberikan
visualisasi yang baik tentang anatomi rongga hidung, komplek
osteomeatal, rongga-rongga sinus dan struktur-struktur yang
mengelilinginya seperti orbita, lamina kribiformis, dan kanalis optikus.
Obstruksi anatomi pada komplek osteomeatal dan kelainan-kelainan gigi
akan terlihat jelas.
CT-Scan dapat menilai tingkat keparahan inflamasi dengan menggunakan
sistem gradasi yaitu staging Lund-Mackay. Sistem ini sangat sederhana
untuk digunakan secara rutin dan didasarkan pada skor angka hasil
gambaran CT scan. Lund-MacKay Radiologic Staging System ditentukan
dari lokasi Gradasi Radiologik sinus maksila, etmoid anterior, etmoid
posterior dan sinus sphenoid, Penilaian Gradasi radiologik dari 0-2,
Gradasi 0 : Tidak ada kelainan, Gradasi 1 : Opasifikasi parsial Gradasi 2 :
Opasifikasi komplit.
4. Nasoendoskopi
Nasoendoskopi ini akan mempermudah dan memperjelas pemeriksaan karena
dapat melihat bagian-bagian rongga hidung yang berhubungan dengan faktor
lokal penyebab sinusitis.
Pemeriksaan nasoendoskopi dapat melihat adanya kelainan septum nasi,
meatus media, konka media dan inferior, juga dapat mengetahui adanya polip
atau tumor.
H. PENATALAKSANAAN
Jika pada pemeriksaan ditemukan adanya faktor predisposisi seperti
deviasi septum, kelainan atau variasi anatomi KOM, hipertrofi adenoid pada anak,
polip, kista, jamur, gigi penyebab sinusitis, dianjurkan untuk melakukan
penatalaksanaan yang sesui dengan kelainan yang ditemukan (Ulusoy, 2007).
Jika tidak ditemukan faktor predisposisi, diduga kelainan adalah bakterial yang
memerlukan pemberian antibiotik dan pengobatan medik lainnya.
1. Medikamentosa
a) Antibiotika
Meskipun tidak memegang peran penting, antibiotika dapat diberikan
sebagai terapi awal. Pilihan antibiotika harus mencakup β-laktamase
seperti pada terapi sinusitis akut lini ke II, yaitu amoksisillin klavulanat
atau ampisillin sulbaktam, sefalosporin generasi kedua, makrolid,
klindamisin. Jika ada perbaikan antibiotik diteruskan mencukupi 10 – 14
atau lebih jika diperlukan.
Jika tidak ada perbaikan dapat dipilih antibiotika alternatif seperti
siprofloksasin, golongan kuinolon atau yang sesuai dengan kultur. Jika
diduga ada bakteri anaerob, dapat diberi metronidazole.
Jika dengan antibiotika alternatif tidak ada perbaikan, maka eveluasi
kembali apakah ada faktor predisposisi yang belum terdiagnosis dengan
pemeriksaan nasoendoskopi maupun CT-Scan.
b) Terapi Medik Tambahan
Dekongestan, Dekongestan berperan penting sebagai terapi awal
mendampingi antibiotik. Dekongestan oral menstimulasi reseptor α-
adrenergik dimukosa hidung dengan efek vasokontriksi yang dapat
mengurang keluhan sumbatan hidung, meningkatkan diameter ostium dan
meningkatkan ventilasi.
Preparat yang umum adalah pseudoefedrine dan phenyl-propanolamine.
Karena efek peningkatan tekanan darah tinggi dan penyakit jantung harus
dilakukan dengan hati-hati.
Dekongestan topikal mempunyai efek yang lebih cepat terhadap sumbatan
hidung, namun efeknya ini sebetulnya tidak fisiologik dan pemakaian
jangka lama (lebih dari 7 hari) akan menyebabkan rinitis medika mentosa.
Antihistamin, Alergi berperan sebagai penyebab sinusitis kronis pada
lebih dari 50% kasus, karenanya penggunaan antihistamin justru
dianjurkan, demikian juga kemungkinan imunoterapi.
Karena antihistamin generasi pertama mempunyai efek antikolinergik
yang tinggi, generasi kedua lebih disukai seperti azelastine, acrivastine,
cetirizine, fexofenadine dan loratadine.
Kortikosteroid, ada 2 jenis kortikosteroid, yaitu kortikosteroid
topikal dan kortikosteroid oral, kortikosteroid topikal mempunyai efek
lokal terhadap bersin, sekresi lendir, sumbatan hidung dan hipo/anosmia.
Penemuannya merupakan perkembangan besar dalam pengobatan rinitis
dan sinusitis.
Penggunaannya kortikosteroid topikal meluas pada kelainan alergi dan
non-alergi. Meskipun obat semprot ini tidak mencapai komplek
osteomeatal, keluhan pasien berkurang karena udema di rongga hidung
dan meatus medius hilang.
Sedangkan kortikosteroid oral dapat mencapai seluruh rongga sinus.
Terapi singkat selama dua minggu sudah efektif menghilangkan beberapa
keluhan. Preparat oral dapat diberikan mendahului yang topikal, obat oral
dapat membuka sumbatan hidung terlebih dahulu sehingga distribusi obat
semprot merata.
2. Penatalaksanaan Operatif
Sinusitis kronis yang tidak sembuh dengan pengobatan medik adekuat dan
optimal serta adanya kelainan mukosa menetap merupakan indikasi tindakan
bedah.
Beberapa macam tindakan bedah mulai dari antrostomi meatus inferior,
Caldwel-Luc, trepanasi sinus frontal, dan Bedah Sinus Endoskopi Fungsional
(BSEF) dapat dilaksanakan.
Bedah sinus konvensional tidak memperlihatkan usaha pemulihan drainase
dan ventilasi sinus melalui ostium alami.
Namun dengan berkembangnya pengetahuan patogenesis sinusitis, maka
berkembang pula modifikasi bedah sinus konvensional misalnya operasi
Caldwel-Luc yang hanya mengangkat jaringan patologik dan meninggalkan
jaringan normal agar tetap berfungsi dan melakukan antrostomi meatus
medius sehingga drainase dapat sembuh kembali.
Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) merupakan kemajuan pesat dalam
bedah sinus. Jenis operasi ini lebih dipilih karena merupakan tindakan
konservatif yang lebih efektif dan fungsional.
Keuntungan BSEF adalah penggunaan endoskop dengan pencahayaan yang
sangat terang, sehingga saat operasi kita dapat melihat lebih jelas dan rinci
adanya kelainan patologi dirongga-rongga sinus.
Jaringan patologik yang diangkat tanpa melukai jaringan normal dan ostium
sinus yang tersumbat diperlebar.
Dengan ini ventilasi sinus lancar secara alami, jaringan normal tetap berfungsi
dan kelainan didalam sinus maksila dan frontal akan sembuh sendiri.
I. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan mucus berlebih.
2. Nyeri sehubungan dengan adanya sumbatan drainase sinus.
3. PK: Infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya daya tahan tubuh.
4. Cemas berhubungan dengan ancaman terhadap atau perubahan dalam status
kesehatan.
5. Gangguan persepsi sensori penghidu berhubungan dengan Sumbatan pada
fisura olfaktorius
RENCANA KEPERAWATAN
DIANGO
SA
KEPERA
NO
WATAN TUJUAN (NOC) INTERVENSI (NIC)
DX
DAN
KOLAB
ORASI
1 Bersihan NOC : NIC :
jalan nafasv Respiratory status : Airway Management
tidak Ventilation § Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau jaw thrust bila perlu
efektif v Respiratory status :§ Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
berhubung Airway patency § Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan
an denganv Aspiration Control § Pasang mayo bila perlu
mucus be Kriteria Hasil : § Lakukan fisioterapi dada jika perlu
rlebih § Mendemonstrasikan § Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
batuk efektif dan§ Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
suara nafas yang§ Lakukan suction pada mayo
bersih, tidak ada§ Berikan bronkodilator bila perlu
sianosis dan dyspneu§ Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab
(mampu § Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
mengeluarkan § Monitor respirasi dan status O2
sputum, mampu
bernafas dengan Airway Suction
mudah, tidak ada§ Pastikan kebutuhan oral / tracheal suctioning
pursed lips) § Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suctioning.
§ Informasikan pada klien dan keluarga tentang suctioning
§ Menunjukkan jalan§ Minta klien nafas dalam sebelum suction dilakukan.
nafas yang paten§ Berikan O2 dengan menggunakan nasal untuk memfasilitasi suksion nasotrak
(klien tidak merasa§ Gunakan alat yang steril sitiap melakukan tindakan
tercekik, irama nafas,§ Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas dalam setelah kateter dikeluarkan d
frekuensi pernafasan§ Monitor status oksigen pasien
dalam rentang§ Ajarkan keluarga bagaimana cara melakukan suksion
normal, tidak ada§ Hentikan suksion dan berikan oksigen apabila pasien menunjukkan bradikard
suara nafas abnormal)
§ Mampu
mengidentifikasikan
dan mencegah factor
yang dapat
menghambat jalan
nafas
2 Nyeri berh NOC : NIC :
v Pain
ubungan
Level, Pain Management
v Pain
dengan
control, § Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, d
v Comfort
adanya level § Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
sumbatan Kriteria Hasil : § Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri p
drainase § Mampu mengontrol§ Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
sinus nyeri (tahu penyebab§ Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
nyeri, mampu§ Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang ketidakefektifan kontr
menggunakan tehnik§ Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan
nonfarmakologi § Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pen
untuk mengurangi§ Kurangi faktor presipitasi nyeri
nyeri, mencari§ Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non farmakologi dan inter p
bantuan) § Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
§ Melaporkan bahwa§ Ajarkan tentang teknik non farmakologi
nyeri berkurang§ Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
dengan menggunakan§ Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
manajemen nyeri § Tingkatkan istirahat
§ Mampu mengenali§ Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhas
nyeri (skala,§ Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri
intensitas, frekuensi
dan tanda nyeri) Analgesic Administration
§ Menyatakan rasa§ Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum pemberian o
nyaman setelah nyeri§ Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis, dan frekuensi
berkurang § Cek riwayat alergi
§ Tanda vital dalam§ Pilih analgesik yang diperlukan atau kombinasi dari analgesik ketika pemberia
rentang normal § Tentukan pilihan analgesik tergantung tipe dan beratnya nyeri
§ Tentukan analgesik pilihan, rute pemberian, dan dosis optimal
§ Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk pengobatan nyeri secara teratur
§ Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali
§ Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat
§ Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan gejala (efek samping)