Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

RINOSINUSITIS KRONIS
RUANG EDELWIS RSUD BANYUMAS

Di susun Oleh :

Nama : EKO PAMUJI

NIM : 106115025

D3 KEPERAWATAN

STIKES AL-IRSYAD AL-ISLAMIYYAH CILACAP

TAHUN AKADEMIK 2017/2018


A. PENGERTIAN
Rinosinusitis adalah penyakit inflamasi mukosa yang melapisi hidung dan
sinus paranasal. Peradangan ini sering bermula dari infeksi virus, yang karena
keadaan tertentu berkembang menjadi infeksi bakterial dengan penyebab bakteri
pathogen yang terdapat di saluran napas bagian atas. Penyebab lain adalah infeksi
jamur, infeksi gigi, dan dapat pula terjadi akibat fraktur dan tumor (Benninger dan
Gottschall, 2006; Soetjipto dkk, 2006)
Rinosinusitis kronik (RSK) atau sering disebut sinusitis kronik
didefinisikan sebagai gangguan akibat peradangan dan infeksi mukosa sinus
paranasalis dan pada mukosa hidung yang telah mengalami perubahan reversibel
maupun irreversible dengan berbagai etiologi dan faktor predisposisi dan 1,2,3
berlangsung lebih dari 12 minggu RSK masih merupakan tantangan dan masalah
dalam praktek umum maupun spesialis mengingat anatomi, etiologi serta
penanganannya yang kompleks (Harowi dkk, 2011)
Rinosinusitis kronis adalah inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal
yang dapat ditegakkan berdasarkan riwayat gejala yang diderita sudah lebih dari
12 minggu, dan sesuai dengan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor ditambah 2
kriteria minor (Stankiewicz, 2001; Busquets, 2006; Soetjipto, 2006; Setiadi M,
2009).
KLASIFIKASI
Pinheiro et al. (1998) dalam CDK (2010), membagi rinosinusitis ditinjau
dari lima aksis, yaitu:
1. Gambaran klinis (akut, subakut, dan kronik)
Menurut Konsensus International (2004) dalam Soetjipto & Wardani (2007)
membagi rinosinusitis menjadi:
a) Akut dengan batas sampai 4 minggu
b) Sub akut bila terjadi antara 4 minggu sampai 3 bulan atau 12 minggu
c) Kronik bila lebih dari 3 bulan atau 12 minggu
Rinosinusitis kronis adalah peradangan mukosa hidung dan sinus paranasal
yang menetap selama lebih 12 minggu atau 4 kali serangan akut berulang
pertahun yang masing-masing serangan lebih dari 10 hari.

2. Lokasi sinus yang terkena (maksilaris, frontalis, ethmoidalis, dan


sphenoidalis)
3. Organisme yang terlibat (virus, bakteri, atau jamur)
4. Keterlibatan ekstrasinus (komplikasi atau tanpa komplikasi)
5. Modifikasi penyebab spesifik (atopi, obstruksi komplek osteomeatal)
B. ETIOLOGI
1. Faktor Host
a) Umur, Jenis Kelamin dan Ras
Rinosinusitis kronik merupakan penyakit yang dapat mengenai semua
kelompok umur, semua jenis kelamin dan semua ras.
b) Riwayat Rinosinusitis Akut
Rinosinusitis akut biasanya didahului oleh adanya infeksi saluran
pernafasan atas seperti batuk dan influenza. Infeksi saluran pernafasan atas
dapat menyebabkan edema pada mukosa hidung, hipersekresi dan
penurunan aktivitas mukosiliar. Rinosinusitis akut yang tidak diobati
secara adekuat akan menyebabkan regenerasi epitel permukaan bersilia
yang tidak lengkap, akibatnya terjadi kegagalan mengeluarkan sekret
sinus dan menciptakan predisposisi infeksi.
c) Infeksi Gigi
Infeksi gigi merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya
rinosinusitis maksila. Hal ini terjadi karena sinus maksila mempunyai
hubungan yang sangat dekat dengan akar gigi premolar dan molar atas.
Hubungan ini dapat menimbulkan masalah klinis seperti infeksi yang
berasal dari gigi dan fistula oroantral dapat naik ke atas dan menimbulkan
infeksi sinus maksila.
d) Rinitis Alergi
Alergi merupakan suatu penyimpangan reaksi tubuh terhadap paparan
bahan asing yang menimbulkan gejala pada orang yang berbakat atopi
sedangkan pada kebanyakan orang tidak menimbulkan reaksi apapun.39
Rinitis alergi adalah suatu penyakit manifestasi reaksi hipersensitifitas tipe
I (Gell & Comb) yang diperantarai oleh IgE dengan mukosa hidung
sebagai organ sasaran utama. Gejalanya berupa hidung beringus, bersin-
bersin, hidung tersumbat dan gatal.
Peranan alergi pada rinosinusitis kronik adalah akibat reaksi anti gen anti
bodi menimbulkan pembengkakan mukosa sinus dan hipersekresi.
Mukosa sinus yang membengkak dapat menyumbat ostium sinus dan
mengganggu drainase sehingga menyebabkan timbulnya infeksi, yang
selanjutnya menghancurkan epitel permukaan. Kejadian yang berulang
terus-menerus dapat menyebabkan rinosinusitis kronis.
e) Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya
rinosinusitis kronik. Hal ini disebabkan penderita diabetes mellitus berada
dalam kondisi immunocompromised atau turunnya sistem kekebalan
tubuh sehingga lebih rentan terkena penyakit infeksi seperti rinosinusitis.
f) Asma
Asma merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya rinosinusitis
kronik. Sebesar 25-30 % penderita asma dapat berkembang menjadi polip
hidung sehingga mengganggu aliran mukus.
g) Kelainan anatomi hidung
Kelainan anatomi seperti septum deviasi, bula etmoid yang membesar,
hipertrofi atau paradoksal konka media dan konka bulosa dapat
mempengaruhi aliran ostium sinus, menyebabkan penyempitan pada
kompleks osteomeatal dan menggangu clearance mukosilia sehingga
memungkinkan terjadinya rinosinusitis.
h) Kelainan kongenital
Kelainan kongenital seperti sindroma kartagener dan fibrosis kistik
dapatmengganggu transport mukosiliar (sistem pembersih). Sindrom
kartagener atau sindrom silia immortal merupakan penyakit yang
diturunkan secara genetik, dimana terjadi kekurangan/ketiadaan
lengan dynein sehingga menyebabkan terjadinya gangguan pada
koordinasi gerakan silia dan disorientasi arah dari denyut silia. Gangguan
pada transport mukosiliar dan frekuensi denyut silia menyebabkan infeksi
kronis yang berulang sehingga terjadi bronkiektasis dan rinosinusitis. Pada
fibrosis kistik terjadi perubahan sekresi kelenjar yang menghasilkan
mukus yang kental sehingga menyulitkan pembersihan sekret. Hal ini
menimbulkan stase mukus yang selanjutnya akan terjadi kolonisasi kuman
dan timbul infeksi.
2. Faktor Agent
Rinosinusitis kronik dapat disebabkan oleh beberapa bakteri patogen
seperti Streptococcus pneumonia, Haemophillus influenza, Moraxella
catarrhalis, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus, Bacteroides,
Peptostreptococcus, Fusobacterium dan Basil gram (-). Selain bakteri,
rinosinusitis juga dapat disebabkan oleh virus (Rhinovirus, influenza virus,
parainfluenza virus dan Adenovirus) dan jamur (Aspergillus dan Candida).
3. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan yang memengaruhi terjadinya rinosinusitis kronik yaitu
polusi udara dan udara dingin. Paparan dari polusi udara dapat mengiritasi
saluran hidung, menyebabkan perubahan mukosa dan memperlambat gerakan
silia. Apabila berlangsung terus-menerus dapat menyebabkan rinosinusitis
kronik. Udara dingin akan memperparah infeksi karena menyebabkan mukosa
sinus membengkak. Hal ini membuat jalannya mukus terhambat dan terjebak
di dalam sinus, yang kemudian menyebabkan bakteri berkembang di daerah
tersebut
C. TANDA DAN GEJALA
Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 2 atau lebih gejala mayor atau 1 gejala
mayor dan 2 gejala minor. Pemeriksaan fisik THT dengan menggunakan
nasoendoskopi dan foto polos hidung dan sinus paranasal atau SPN (Busquets JM
, 2000 ; Draft , 1995 ; Stankiewicz, 2001)
1. Gejala Mayor :
a) Hidung tersumbat
b) Sekret pada hidung / sekret belakang hidung / PND
c) Sakit kepala
d) Nyeri / rasa tekan pada wajah
e) Kelainan penciuman (hiposmia / anosmia)
2. Gejala Minor :
a) Demam, halitosis
b) Pada anak; batuk, iritabilitas
c) Sakit gigi
d) Sakit telinga / nyeri tekan pada telinga / rasa penuh pada telinga.

Gejala dan Tanda Klinis : (Ballenger, 1997 cit Setiadi 2009)

1. Gejala Subjektif
a) Nyeri
Sesuai dengan daerah sinus yang terkena dapat ada atau mungkin tidak.
Secara anatomi, apeks gigi-gigi depan atas (kecuali gigi insisivus)
dipisahkan dari lumen sinus hanya oleh lapisan tipis tulang atau mungkin
tanpa tulang hanya oleh mukosa, karenanya sinusitis maksila sering
menimbulkan nyeri hebat pada gigi-gigi ini
b) Sakit kepala
Merupakan tanda yang paling umum dan paling penting pada sinusitis.
Wolff menyatakan bahwa nyeri kepala yang timbul merupakan akibat
adanya kongesti dan udema di ostium sinus dan sekitarnya. Penyebab sakit
kepala bermacam-macam, oleh karena itu bukanlah suatu tanda khas dari
peradangan atau penyakit pada sinus. Jika sakit kepala akibat kelelahan
dari mata, maka biasanya bilateral dan makin berat pada sore hari,
sedangkan pada penyakit sinus sakit kepala lebih sering unilateral dan
meluas kesisi lainnya. Sakit kepala yang bersumber di sinus akan
meningkat jika membungkukkan badan kedepan dan jika badan tiba-tiba
digerakkan. Sakit kepala ini akan menetap saat menutup mata, saat
istirahat ataupun saat berada dikamar gelap.
Nyeri kepala pada sinusitis kronis biasanya terasa pada pagi hari, dan akan
berkurang atau hilang setelah siang hari. Penyebabnya belum diketahui
dengan pasti, tetapi mungkin karena pada malam hari terjadi penimbunan
ingus dalam rongga hidung dan sinus serta adanya statis vena.
c) Nyeri pada penekanan
Nyeri bila disentuh dan nyeri pada penekanan jari mungkin terjadi pada
penyakit di sinus-sinus yang berhubungan dengan permukaan wajah
d) Gangguan penghindu
Indra penghindu dapat disesatkan (parosmia), pasien mencium bau yang
tidak tercium oleh hidung normal. Keluhan yang lebih sering adalah
hilangnya penghindu (anosmia). Hal ini disebabkan adanya sumbatan
pada fisura olfaktorius didaerah konka media. Oleh karena itu ventilasi
pada meatus superior hidung terhalang, sehingga menyebabkan hilangnya
indra penghindu. Pada kasus kronis, hal ini dapat terjadi akibat degenerasi
filament terminal nervus olfaktorius, meskipun pada kebanyakan kasus,
indra penghindu dapat kembali normal setelah infeksi hilang.
2. Gejala Objektif
a) Pembengkakan dan udem
Jika sinus yang berbatasan dengan kulit terkena secara akut, dapat terjadi
pembengkakan dan udem kulit yang ringan akibat periostitis. Palpasi
dengan jari mendapati sensasi seperti pada penebalan ringan atau seperti
meraba beludru.
b) Sekret nasal
Mukosa hidung jarang merupakan pusat fokus peradangan supuratif,
sinus-sinuslah yang merupakan pusat fokus peradangan semacam ini.
Adanya pus dalam rongga hidung seharusnya sudah menimbulkan
kecurigaan adanya suatu peradangan dalam sinus. Pus di meatus medius
biasanya merupakan tanda terkenanya sinus maksila, sinus frontal atau
sinus etmoid anterior, karena sinus-sinus ini bermuara ke dalam meatus
medius.

D. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi rinosinusitis kronik terkait 3 faktor: patensi ostium, fungsi
silia dan kualitas sekret. Gangguan salah satu faktor tersebut atau kombinasi
faktor-faktor tersebut merubah fisiologi dan menimbulkan sinusitis. Kegagalan
transpor mukus dan menurunnya ventilasi sinus merupakan faktor utama
berkembangnya rinosinusitis kronik.
Patofisiologi rinosinusitis kronik dimulai dari blokade akibat udem hasil
proses radang di area kompleks ostiomeatal. Blokade daerah kompleks
ostiomeatal menyebabkan gangguan drainase dan ventilasi sinus-sinus anterior.
Sumbatan yang berlangsung terus menerus akan mengakibatkan terjadinya
hipoksi dan retensi sekret serta perubahan pH sekret yang merupakan media yang
baik bagi bakteri anaerob untuk berkembang biak. Bakteri juga memproduksi
toksin yang akan merusak silia. Selanjutnya dapat terjadi hipertrofi mukosa yang
memperberat blokade kompleks ostiomeatal. Siklus ini dapat dihentikan dengan
membuka blokade kompleks ostiomeatal untuk memperbaiki drainase dan aerasi
sinus.
Faktor predisposisi rinosinusitis kronik antara lain adanya; obstruksi
mekanik seperti septum deviasi, hipertrofi konkha media, benda asing di hidung,
polip serta tumor di dalam rongga hidung. Faktor sistemik yang mempengaruhi
seperti malnutrisi, terapi steroid jangka panjang, diabetes, kemoterapi dan
defisiensi imun. Faktor lingkungan seperti polusi udara, debu, udara dingin dan
kering dapat mengakibatkan perubahan pada mukosa dan kerusakan silia.

E. PATHWAYS
F. KOMPLIKASI
Kompikasi rinosinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukan antibiotika.
Komplikasi yang dapat terjadi ialah:
1. Osteomielitis dan abses subperiostal
Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada
anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral.
2. Kelainan Orbita
Disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita). Yang
paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila.
Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum.
Variasi yang dapat timbul ialah udema palpebra, selulitis orbita, abses
subperiostal, abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus
kavernosus.
3. Kelainan Intrakranial
Dapat berupa meningitis, abses ektradural, abses otak dan trombosis sinus
kavernosus.
4. Kelainan Paru
Seperti bronkitis kronis dan brokiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal
disertai denga kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu dapat juga
timbul asma bronkial

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan palpasi turut membantu menemukan nyeri tekan pada daerah
sinus yang terkena disamping pemeriksan rinoskopi anterior dan rinoskopi
posterior.
2. Transiluminasi
Transluminasi mempuyai manfaat yang terbatas, hanya dapat dipakai untuk
pemeriksaan sinus maksila dan sinus frontal, bila fasilitas pemeriksaan
radiologik tidak tersedia.
3. Pemeriksaan radiologi
a) Foto rontgen sinus paranasal
Pemeriksaan radiologik yang dapat dibuat antara lain: Waters, PA dan
Lateral. Tepi mukosa sinus yang sehat tidak tampak pada foto rontgen,
tetapi jika ada infeksi tepi mukosa akan tampak karena udema permukaan
mukosa. Permukaan mukosa yang membengkak dan udema tampak
seperti suatu densitas yang paralel dengan dinding sinus.
Pembengkakan permukaan mukosa yang berbatas tegas pada resesus
alveolaris antrum maksila biasanya terjadi akibat infeksi yang berasal dari
gigi atau daerah periodontal.
Jika cairan tidak mengisi seluruh rongga sinus, selalu dapat dilihat adanya
batas cairan (air fluid level) pada foto dengan posisi tegak.
b) CT-Scan (Computer Tomography) sinus paranasal
Sinus maksila, rongga hidung, septum nasi dan konka terlihat pada
penampang CT-Scan aksial dan koronal. Pada sinusitis dengan
komplikasi, CT-Scan adalah cara yang terbaik untuk memperlihatkan sifat
dan sumber masalah.
CT-Scan koronal dari sinus paling baik untuk pembedahan, memberikan
visualisasi yang baik tentang anatomi rongga hidung, komplek
osteomeatal, rongga-rongga sinus dan struktur-struktur yang
mengelilinginya seperti orbita, lamina kribiformis, dan kanalis optikus.
Obstruksi anatomi pada komplek osteomeatal dan kelainan-kelainan gigi
akan terlihat jelas.
CT-Scan dapat menilai tingkat keparahan inflamasi dengan menggunakan
sistem gradasi yaitu staging Lund-Mackay. Sistem ini sangat sederhana
untuk digunakan secara rutin dan didasarkan pada skor angka hasil
gambaran CT scan. Lund-MacKay Radiologic Staging System ditentukan
dari lokasi Gradasi Radiologik sinus maksila, etmoid anterior, etmoid
posterior dan sinus sphenoid, Penilaian Gradasi radiologik dari 0-2,
Gradasi 0 : Tidak ada kelainan, Gradasi 1 : Opasifikasi parsial Gradasi 2 :
Opasifikasi komplit.
4. Nasoendoskopi
Nasoendoskopi ini akan mempermudah dan memperjelas pemeriksaan karena
dapat melihat bagian-bagian rongga hidung yang berhubungan dengan faktor
lokal penyebab sinusitis.
Pemeriksaan nasoendoskopi dapat melihat adanya kelainan septum nasi,
meatus media, konka media dan inferior, juga dapat mengetahui adanya polip
atau tumor.
H. PENATALAKSANAAN
Jika pada pemeriksaan ditemukan adanya faktor predisposisi seperti
deviasi septum, kelainan atau variasi anatomi KOM, hipertrofi adenoid pada anak,
polip, kista, jamur, gigi penyebab sinusitis, dianjurkan untuk melakukan
penatalaksanaan yang sesui dengan kelainan yang ditemukan (Ulusoy, 2007).
Jika tidak ditemukan faktor predisposisi, diduga kelainan adalah bakterial yang
memerlukan pemberian antibiotik dan pengobatan medik lainnya.
1. Medikamentosa
a) Antibiotika
Meskipun tidak memegang peran penting, antibiotika dapat diberikan
sebagai terapi awal. Pilihan antibiotika harus mencakup β-laktamase
seperti pada terapi sinusitis akut lini ke II, yaitu amoksisillin klavulanat
atau ampisillin sulbaktam, sefalosporin generasi kedua, makrolid,
klindamisin. Jika ada perbaikan antibiotik diteruskan mencukupi 10 – 14
atau lebih jika diperlukan.
Jika tidak ada perbaikan dapat dipilih antibiotika alternatif seperti
siprofloksasin, golongan kuinolon atau yang sesuai dengan kultur. Jika
diduga ada bakteri anaerob, dapat diberi metronidazole.
Jika dengan antibiotika alternatif tidak ada perbaikan, maka eveluasi
kembali apakah ada faktor predisposisi yang belum terdiagnosis dengan
pemeriksaan nasoendoskopi maupun CT-Scan.
b) Terapi Medik Tambahan
Dekongestan, Dekongestan berperan penting sebagai terapi awal
mendampingi antibiotik. Dekongestan oral menstimulasi reseptor α-
adrenergik dimukosa hidung dengan efek vasokontriksi yang dapat
mengurang keluhan sumbatan hidung, meningkatkan diameter ostium dan
meningkatkan ventilasi.
Preparat yang umum adalah pseudoefedrine dan phenyl-propanolamine.
Karena efek peningkatan tekanan darah tinggi dan penyakit jantung harus
dilakukan dengan hati-hati.
Dekongestan topikal mempunyai efek yang lebih cepat terhadap sumbatan
hidung, namun efeknya ini sebetulnya tidak fisiologik dan pemakaian
jangka lama (lebih dari 7 hari) akan menyebabkan rinitis medika mentosa.
Antihistamin, Alergi berperan sebagai penyebab sinusitis kronis pada
lebih dari 50% kasus, karenanya penggunaan antihistamin justru
dianjurkan, demikian juga kemungkinan imunoterapi.
Karena antihistamin generasi pertama mempunyai efek antikolinergik
yang tinggi, generasi kedua lebih disukai seperti azelastine, acrivastine,
cetirizine, fexofenadine dan loratadine.
Kortikosteroid, ada 2 jenis kortikosteroid, yaitu kortikosteroid
topikal dan kortikosteroid oral, kortikosteroid topikal mempunyai efek
lokal terhadap bersin, sekresi lendir, sumbatan hidung dan hipo/anosmia.
Penemuannya merupakan perkembangan besar dalam pengobatan rinitis
dan sinusitis.
Penggunaannya kortikosteroid topikal meluas pada kelainan alergi dan
non-alergi. Meskipun obat semprot ini tidak mencapai komplek
osteomeatal, keluhan pasien berkurang karena udema di rongga hidung
dan meatus medius hilang.
Sedangkan kortikosteroid oral dapat mencapai seluruh rongga sinus.
Terapi singkat selama dua minggu sudah efektif menghilangkan beberapa
keluhan. Preparat oral dapat diberikan mendahului yang topikal, obat oral
dapat membuka sumbatan hidung terlebih dahulu sehingga distribusi obat
semprot merata.
2. Penatalaksanaan Operatif
Sinusitis kronis yang tidak sembuh dengan pengobatan medik adekuat dan
optimal serta adanya kelainan mukosa menetap merupakan indikasi tindakan
bedah.
Beberapa macam tindakan bedah mulai dari antrostomi meatus inferior,
Caldwel-Luc, trepanasi sinus frontal, dan Bedah Sinus Endoskopi Fungsional
(BSEF) dapat dilaksanakan.
Bedah sinus konvensional tidak memperlihatkan usaha pemulihan drainase
dan ventilasi sinus melalui ostium alami.
Namun dengan berkembangnya pengetahuan patogenesis sinusitis, maka
berkembang pula modifikasi bedah sinus konvensional misalnya operasi
Caldwel-Luc yang hanya mengangkat jaringan patologik dan meninggalkan
jaringan normal agar tetap berfungsi dan melakukan antrostomi meatus
medius sehingga drainase dapat sembuh kembali.
Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) merupakan kemajuan pesat dalam
bedah sinus. Jenis operasi ini lebih dipilih karena merupakan tindakan
konservatif yang lebih efektif dan fungsional.
Keuntungan BSEF adalah penggunaan endoskop dengan pencahayaan yang
sangat terang, sehingga saat operasi kita dapat melihat lebih jelas dan rinci
adanya kelainan patologi dirongga-rongga sinus.
Jaringan patologik yang diangkat tanpa melukai jaringan normal dan ostium
sinus yang tersumbat diperlebar.
Dengan ini ventilasi sinus lancar secara alami, jaringan normal tetap berfungsi
dan kelainan didalam sinus maksila dan frontal akan sembuh sendiri.
I. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan mucus berlebih.
2. Nyeri sehubungan dengan adanya sumbatan drainase sinus.
3. PK: Infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya daya tahan tubuh.
4. Cemas berhubungan dengan ancaman terhadap atau perubahan dalam status
kesehatan.
5. Gangguan persepsi sensori penghidu berhubungan dengan Sumbatan pada
fisura olfaktorius
RENCANA KEPERAWATAN

DIANGO
SA
KEPERA
NO
WATAN TUJUAN (NOC) INTERVENSI (NIC)
DX
DAN
KOLAB
ORASI
1 Bersihan NOC : NIC :
jalan nafasv Respiratory status : Airway Management
tidak Ventilation § Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau jaw thrust bila perlu
efektif v Respiratory status :§ Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
berhubung Airway patency § Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan
an denganv Aspiration Control § Pasang mayo bila perlu
mucus be Kriteria Hasil : § Lakukan fisioterapi dada jika perlu
rlebih § Mendemonstrasikan § Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
batuk efektif dan§ Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
suara nafas yang§ Lakukan suction pada mayo
bersih, tidak ada§ Berikan bronkodilator bila perlu
sianosis dan dyspneu§ Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab
(mampu § Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
mengeluarkan § Monitor respirasi dan status O2
sputum, mampu
bernafas dengan Airway Suction
mudah, tidak ada§ Pastikan kebutuhan oral / tracheal suctioning
pursed lips) § Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suctioning.
§ Informasikan pada klien dan keluarga tentang suctioning
§ Menunjukkan jalan§ Minta klien nafas dalam sebelum suction dilakukan.
nafas yang paten§ Berikan O2 dengan menggunakan nasal untuk memfasilitasi suksion nasotrak
(klien tidak merasa§ Gunakan alat yang steril sitiap melakukan tindakan
tercekik, irama nafas,§ Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas dalam setelah kateter dikeluarkan d
frekuensi pernafasan§ Monitor status oksigen pasien
dalam rentang§ Ajarkan keluarga bagaimana cara melakukan suksion
normal, tidak ada§ Hentikan suksion dan berikan oksigen apabila pasien menunjukkan bradikard
suara nafas abnormal)
§ Mampu
mengidentifikasikan
dan mencegah factor
yang dapat
menghambat jalan
nafas
2 Nyeri berh NOC : NIC :
v Pain
ubungan
Level, Pain Management
v Pain
dengan
control, § Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, d
v Comfort
adanya level § Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
sumbatan Kriteria Hasil : § Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri p
drainase § Mampu mengontrol§ Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
sinus nyeri (tahu penyebab§ Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
nyeri, mampu§ Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang ketidakefektifan kontr
menggunakan tehnik§ Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan
nonfarmakologi § Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pen
untuk mengurangi§ Kurangi faktor presipitasi nyeri
nyeri, mencari§ Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non farmakologi dan inter p
bantuan) § Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
§ Melaporkan bahwa§ Ajarkan tentang teknik non farmakologi
nyeri berkurang§ Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
dengan menggunakan§ Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
manajemen nyeri § Tingkatkan istirahat
§ Mampu mengenali§ Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhas
nyeri (skala,§ Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri
intensitas, frekuensi
dan tanda nyeri) Analgesic Administration
§ Menyatakan rasa§ Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum pemberian o
nyaman setelah nyeri§ Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis, dan frekuensi
berkurang § Cek riwayat alergi
§ Tanda vital dalam§ Pilih analgesik yang diperlukan atau kombinasi dari analgesik ketika pemberia
rentang normal § Tentukan pilihan analgesik tergantung tipe dan beratnya nyeri
§ Tentukan analgesik pilihan, rute pemberian, dan dosis optimal
§ Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk pengobatan nyeri secara teratur
§ Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali
§ Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat
§ Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan gejala (efek samping)

3 PK: Setelah § Pantau SDP (neutrofil dan limfosit)


Infeksi dilakukan tindakan as§ Pantau tanda dan gejala infeksi primer dan sekunder
uhan keperawatan § Pantau gejala septicemia
……x 24 jam§ Pantau efek antibiotic
diharapkan perawat§ Pantau tanda dan gejala virus oportunistik (herpes, varicella dll)
akan mencegah, men § Pantau tanda dan gejala infeksi jamur (stomatitis, esofagitis, meningitis)
angani dan§ Kaji dan pantau infeksi bakteri pada pulmonal
meminimalkan infeks§ Anjurkan intake nutrisi ditingkatkan
i dengan gejala: § Kurangi prosedur infasif
§ Suhu meningkat
§ Urine buram/ bau flor
§ Ulser pada sisitem
gastrointestinal
§ Perubahan jumlah
SDP khususnya
neutrofil dan limfosit
§ Adanya nyeri pada
perineum
4 Cemas NOC : NIC :
berhubungv Anxiety control Anxiety Reduction (penurunan kecemasan)
an dengan
v Coping § Gunakan pendekatan yang menenangkan
ancaman v Impulse control § Nyatakan dengan jelas harapan terhadap pelaku pasien
terhadap Kriteria Hasil : § Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur
atau § Klien mampu§ Pahami prespektif pasien terhdap situasi stres
perubahan mengidentifikasi dan§ Temani pasien untuk memberikan keamanan dan mengurangi takut
dalam mengungkapkan § Berikan informasi faktual mengenai diagnosis, tindakan prognosis
status gejala cemas § Dorong keluarga untuk menemani anak
kesehatan§ Mengidentifikasi, § Lakukan back / neck rub
mengungkapkan dan§ Dengarkan dengan penuh perhatian
menunjukkan tehnik§ Identifikasi tingkat kecemasan
untuk mengontol§ Bantu pasien mengenal situasi yang menimbulkan kecemasan
cemas § Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan, persepsi
§ Vital sign dalam batas§ Instruksikan pasien menggunakan teknik relaksasi
normal § Barikan obat untuk mengurangi kecemasan
§ Postur tubuh, ekspresi
wajah, bahasa tubuh
dan tingkat aktivitas
menunjukkan
berkurangnya
kecemasan
5 Gangguan Setelah § Kaji seberapa besar kehilangan sensasi bau pada klien
persepsi dilakukan tindakan as§ Kenalkan pasien dengan berbagai sensasi bau seperti aroma makanan, parfum
sensori pe uhan keperawatan § Jelaskan pada pasien tentang keadaannya dan mekanisme bau sehingga pasien
nghidu ……x 24 jam§ Kolaborasikan pemeriksaan selanjutnya dan terapi
berhubung diharapkan pasien § Memberi helth education kepada pasien mengenai penurunan fungsi pembau
an dengan dapat § Libatkan keluarga dalam pengobatan dan perawaatan
Sumbatan mempertahankan
pada fungsi pembau dan
fisura mencegah kerusakan
olfaktorius yang lebih parah
dengan kriteria hasil:
§ Mempertahankan
fungsi pembau

6 Kurang NOC : NIC :


pengetahu
v Kowlwdge : disease Teaching : Disease Process
an b.d process § Berikan penilaian tentang tingkat pengetahuan pasien tentang proses penyakit
kurangnya
v Kowledge : health§ Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan dengan
informasi Behavior § Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit, dengan cara ya
mengenai Kriteria Hasil : § Gambarkan proses penyakit, dengan cara yang tepat
kondisi,
§ Pasien dan keluarga§ Identifikasi kemungkinan penyebab, dengna cara yang tepat
prognosis menyatakan § Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi, dengan cara yang tepat
dan pemahaman tentang§ Hindari harapan yang kosong
tindakan penyakit, kondisi,§ Sediakan bagi keluarga atau SO informasi tentang kemajuan pasien dengan ca
pengobata prognosis dan§ Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin diperlukan untuk mencegah
n program pengobatan proses pengontrolan penyakit
§ Pasien dan keluarga§ Diskusikan pilihan terapi atau penanganan
mampu § Dukung pasien untuk mengeksplorasi atau mendapatkan second opinion denga
melaksanakan § Eksplorasi kemungkinan sumber atau dukungan, dengan cara yang tepat
prosedur yang§ Rujuk pasien pada grup atau agensi di komunitas lokal, dengan cara yang tepa
dijelaskan secara§ Instruksikan pasien mengenai tanda dan gejala untuk melaporkan pada pember
benar
§ Pasien dan keluarga
mampu menjelaskan
kembali apa yang
dijelaskan
perawat/tim
kesehatan lainnya
DAFTAR PUSTAKA
Mangunkusumo E, Soetjipto D. 2007. Sinusitis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD, eds. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung
tenggorok kepala & leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius
Acala V. 2010. CDK: Validasi Foto Polos Sinus Paranasal 3 Posisi untuk
Diagnosis Rinosinusitis Kronik. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Gadjah Mada/RSUP Dr. Sardjito
Rahmi AD, Punagi Q. 2008. Pola penyakit Subbagian Rinologi di RS Pendidikan
Makassar periode 2003-2007. Makasar: Bagian Ilmu Kesehatan THT FK
Universitas Hasanuddin. Dipresentasikan di PIT IV Bandung
Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006.
Jakarta: Prima Medika

Anda mungkin juga menyukai