ABSTRAK
PENDAHULUAN
Industri sawit nasional menurut Badan Pusat Statistik (BPS) telah menyumbangkan devisa
sebesar USD 23 milyar, data tersebut adalah laporan BPS pada Januari 2018. Artinya
industri sawit telah ikut serta secara nyata menggerakkan roda ekonomi pembangunan
nasional. Industri kelapa sawit juga akan terus berkembang seiring permintaan minyak
nabati dari pasar global yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data
Fas.USDA.gov.us permintaan minyak nabati dunia telah meningkat sebesar 13% selama 5
tahun. Tercatat tahun 2013 permintaan minyak nabati 175,8 juta MT sementara di tahun
2017 sebesar 202 juta MT.
Industri kelapa sawit nasional terus mencari langkah agar produktivitas kebun kelapa
sawit meningkat. Setiap perusahaan baik yang swasta maupun milik negara telah
menerapkan teknis agronomi terbaik pada kebun masing-masing demi tercapainya kebun
yang efektif dan efisen. Kebun yang efektif dan efisien tentu akan menjadikan setiap
perusahaan mencapai tujuannya yaitu keuntungan. Namun pada praktiknya aktivitas
perkebunan sering tak maksimal sebab masalah teknis, Sumber Daya Manusia
(SDM),Permodalan ataupun konflik sosial. Konflik sosial masih sering terjadi di perkebunan
kelapa sawit. Pada umumnya konflik sosial ini terjadi antara perusahaan dan masyarakat
sekitar tempat perusahaan perkebunan melakukan usaha perkebunan kelapa sawitnya.
Konflik sosial pada masyarakat sekitar perkebunan kelapa sawit umumnya
disebabkan oleh permasalahan status kepemilikan lahan yang sering kali tumpang tindih
dan masyarakat sekitar kebun yang merasa tidak diuntungkan baik secara ekonomi maupun
sosial.
Perusahaan seharusnya mampu menghasilkan kebijakan menyangkut status lahan
yang akan di olah agar tidak terjadi konflik antara perusaaan dan masyarakat selain itu
perusahaan harus memberi nilai manfaat bagi masyarakat sekitar. Dari itu perusahan
hendaknya melakukan praktik Corporate Social Program (CSR) dengan baik dan tepat
sasaran. CSR yang baik dan tepat sasaran akan membuat perusahaan diterima oleh
masyarakat sehingga konflik dapat diminimalisir.
Program Corporate Social Reponsibility (CSR) merupakan salah satu kewajiban yang
harus dilaksanakan oleh perusahaan sesuai dengan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007
danpasal 74 Undang-Undang Perseroan Terbatas (UUPT) tahun 2007. Dengan adanya
Undang-Undang Perseroan Terbatas yang baru, industri atau korporasi-korporasi wajib
untuk melaksanakannya, tetapi kewajiban ini bukan merupakan suatu beban yang
memberatkan. Industri dan korporasi berperan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi
yang sehat dengan mempertimbangkan pula faktor lingkungan hidup. Kini dunia usaha tidak
lagi hanya memperhatikan catatan keuangan perusahaan semata (single bottom line),
melainkan sudah meliputi keuangan, sosial, dan aspek lingkungan biasa disebut Triple
bottom line. Sinergi tiga elemen ini merupakan kunci dari konsep pembangunan
berkelanjutan (Ambadar, 2008).
Hopkins (2004) berpendapat bahwa CSR berhubungan dengan upaya perusahaan
memperlakukan stakeholder dari perusahaan secara etis atau bertanggung jawab. Etis atau
bertanggung jawab berarti memperlakukan stakeholder dengan hormat sebagai masyarakat
beradab. Menurut Kotler dan Lee (2005), CSR merupakan komitmen untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dengan penerapan praktik bisnis yang baik dan sumbangsih
sumberdaya yang dimiliki perusahaan.
Lingkungan kerja yang bebas konflik sosial akan menyebabkan lingkungan tempat
kerja menjadi kondusif. Lingkungan kerja yang kondusif akan membuat segala aktivitas
terkait usaha perkebunan berjalan baik, sehingga tujuan perusahaan untuk mendapatkan
keuntungan akan tercapai. Dari keuntunganlah pemangku kepentingan memperoleh apa
yang diinginkannya, pemodal memperoleh deviden, karyawan mendapatkan gaji,
pemerintah memperoleh pajak untuk membangun negara Indonesia dan masyarakat
meningkat ekonomi serta sosialnya.
CSR yang baik dan tepat sasaran akan menjadi pengendali konflik sosial yang efektif
bagi perusahaan.