Anda di halaman 1dari 25

DINAS PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN KABUPATEN PATI

SATUAN UNIT KERJA NON STRUKTURAL


KOORDINATOR WILAYAH KECAMATAN BIDANG PENDIDIKAN
KECAMATAN TAYU
PANITIA LOMBA TINGKAT KECAMATAN TAYU
Sekretariat: Jalan R.A. Kartini No.50-A Telepon: 085225931644 Kode Pos 59155

Nomor : 004/PLTKT/X/2019
Lampiran : Satu Bendel
Hal : Pemberitahuan Lomba Apresiasi Sastra

Yth. : Kepala SD Negeri/ Swasta


Se -Kecamatan Tayu

Dengan hormat kami beritahukan bahwa dalam rangka meningkatkan kompetensi kebahasaan bagi
peserta didik jenjang Sekolah Dasar se-Kecamatan Tayu, Panitia Lomba Tingkat Kecamatan Tayu
akan menyelenggarakan Lomba Apresiasi Sastra bagi peserta didik SD tingkat Kecamatan Tayu
Tahun 2019.
Sehubungan dengan hal tersebut, perlu kami sampaikan hal-hal sebagai berikut:

1. Jenis Lomba
a. Baca Puisi Putra
b. Baca Puisi Putri
c. Bercerita Bahasa Indonesia Putra
d. Bercerita Bahasa Indonesia Putri
e. Bercerita Bahasa Jawa Putra
f. Bercerita Bahasa Jawa Putri

2. Waktu dan Tempat Lomba


Hari : Sabtu
Tanggal : 26 Oktober 2019
Pukul : 07.00 s.d. selesai
Tempat : SDIT Salman Alfarisi_Tayu Kulon

3. Ketentuan Lomba
Ketentuan Umum
a. Lomba dilaksanakan dalam rangkaian pembinaan bahasa melalui jalur pendidikan oleh Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Pati
b. Lomba tidak terbuka untuk umum dan diikuti oleh peserta didik pada jenjang pendidikan SD
sebagai wakil dari masing-masing SD Se-Kecamatan Tayu, selanjutnya juara I Tingkat
Kecamatan Tayu mewakili Maju ke Tingkat Kabupaten Pati.
c. Setiap sekolah hanya diperkenankan mengirimkan 1 (satu) peserta pada masing-masing jenis
lomba.

Ketentuan Khusus
Baca Puisi
a. Ketentuan Teknis
 Setiap peserta hanya membacakan satu puisi dari 3 (tiga) judul yang disediakan oleh
Panitia berdasarkan pilihan peserta.
 Tanpa alat pengiring baik yang dimainkan sendiri maupun oleh orang lain.
 Memakai seragam merah putih.
 Kriteria penilaian :
 Penjiwaan (interpretasi teks) (18-30)
 Vokal (12-20)
(artikulasi, intonasi, karakter suara, tempo, dan kekuatan /power suara)
 Gerak (mimik dan gesture) (12-20)
 Totalitas ( penyajian secara lisan, ekspresi, fisik,keutuhan (18-30)
b. Materi Puisi
 Pahlawan terbaik_ Chairil Anwar
 Puisi Di Taman Pahlawan_ Gus Mus
 Puisi Kembalikan Indonesia Padaku _Taufik Ismail.

Bercerita Bahasa Indonesia


a. Ketentuan Teknis
 Setiap peserta hanya menceritakan satu cerita dari 3 (tiga) judul yang disediakan oleh
panitia berdasarkan pilihan peserta.
 Tanpa pengeras suara.
 Wajib membawakan cerita sesuai materi cerita dalam durasi waktu selama 7-10 menit.
 Pakaian dan perlengkapan disesuaikan dengan tema cerita.
 Kriteria Penilaian :
 Sikap (20-25)
- Pakaian dan alat bantu menggunakan bahan –bahan yang ramah lingkungan
dan sesuai dengan tema cerita.
- Mimik wajah dan bahasa tubuh mencerminkan nilai dan karakter yang diusung
oleh tema cerita.
 Pengetahuan kebahasaan (20-40)
- Tata bahasa, kosa kota, dan ungkapan dipilih dan digunakan dengan baik dan
benar
- Kalimat disampaikan dengan ucapan, tekanan kata, dan intonasi yang baik dan
benar
- Komunikasi dengan audien dan juri terjalin secara komunikatif, runtut, dan
lancar.
 Keterampilan berkreasi (20-35)
- Kreativitas tampak dalam menafsikan isi cerita
- Kreativitas tampak dalam mengembangkan isi cerita
- Kreativitas tampak dalam cara menampaikan isi cerita
b. Materi Cerita
 Sangkuriang Sakti
 Timun Emas
 Si Keong Emas

Bercerita Bahasa Jawa


a. Ketentuan Teknis
 Setiap peserta hanya menceritakan satu cerita dari 3 (tiga) judul yang disediakan oleh
panitia berdasarkan pilihan peserta.
 Tanpa pengeras suara
 Wajib membawakan cerita sesuai materi cerita dalam durasi waktu selama 7-10 menit.
 Pakaian dan perlengkapan disesuaikan dengan tema cerita.
 Kriteria penilaian :
 Sikap (20-25)
- Pakaian dan alat bantu menggunakan bahan- bahan yang ramah lingkungan dan
sesuai dengan tema cerita
- Mimik wajah dan bahasa tubuh mencerminkan nilai dan karakter yang diusung
tema cerita.
 Pengetahuan Kebahasaan (20-40)
- Tata bahasa, kosa kata, dan ungkapan dipilih dan digunakan dengan baik dan
benar
- Kalimat disampaikan dengan ucapan, tekanan kata, dan intonasi yang baik dan
benar
- Komunikasi dengan audien dan juriterjalin secara komunikatif, runtut, dan lancar.
 Ketrampilan berkreasi (20-35)
- Kreativitas tampak dalam menafsikan isi cerita
- Kreativitas tampak dalam mengembangkan isi cerita
- Kreativitas tampak dalam cara menyampaikan isi cerita
b. Materi Cerita
 Asal Usulipun Rawa Pening
 Pandhawa Kembar
 Kancil Lan Merak

4. Kejuaraan
 Setiap jenis lomba akan diambil Juara I, Juara II, dan Juara III
 Setiap Juara akan mendapatkan piala dan piagam.

5. Temu Teknik Lomba


 Tingkat Kec. Tayu
(Tidak ada temu teknik, dianggap sudah jelas, atau bisa konfirmasi pada Panitia)
 Tingkat Kabupaten Pati, Temu teknik dilaksanakan besok pada :
Hari : Menyusul
Tanggal : Menyusul
Waktu : Menyusul
Tempat : Menyusul
Keterangan : Menyusul (Temu teknik diwakili Panitia Kecamatan)

6. Pendaftaran Lomba
Pendaftaran peserta lomba dilaksanakan dengan mengisi format pendaftaran yang dikirim
Panitia melalui file (excel) via WA paling lambat Sabtu, 19 Oktober 2019 dan mohon disertai
dengan surat keterangan dari Kepala Sekolah tentang lomba yang diikuti yang dikumpulkan ke
Panitia Pendaftaran sebelum lomba dimulai.

5. Lain-lain
a. Pengumuman hasil lomba disampaikan oleh Panitia setelah lomba.
b. Keputusan Juri tidak dapat diganggu gugat.
c. Masing-masing peserta tampil sesuai dengan urutan nomor undi.
d. Setiap sekolah hanya mengambil satu nomor undian peserta untuk 6 (enam) cabang lomba
pada saat pendaftaran ulang (penyerahan surat keterangan KS)

Demikian edaran lomba ini disampaikan untuk diikuti dan atas partisipasinya kami ucapkan
terima kasih.

7 Oktober 2019
Panitia Lomba Tingkat Kecamatan Tayu

K e t u a, Sekretaris,

Rusmadi, S. Pd. Sutiarso, S.Pd.


NIP --- NIP 19700412 199303 1 007

Mengetahui
Korwilcam Bidang Pendidikan Kecamatan Tayu

DIYONO, S.Pd., M.Pd.


NIP 19630212 198405 1 001
Pahlawan Terbaik
Chairil Anwar

Salam pahlawan besar!


Pahlawan pemberani!
Kami memuji Engkau pahlawan!

Aku budakmu
Sepatutnya jatuh
Memberikan lutut
Dalam ibadah kepadamu
Pahlawan!

Sekarang kau penyelamat dunia kita


Yang terbungkus jubah klasik
Dan apakah itu mengalir seperti darah memerah
Dalam pertempuran yang berkecamuk di bidang lumpur?

Oh, pahlawan ceritakan ketenaranmu


Apakah ular menggeliat dalam pertempuranmu?
Apakah kamu menembus jantung naga
Pahlawan pemberani; mainkan peranmu

Ketika tirani dibunuh dalam perjuanganmu


Pada tanah yang gemetar karena pertempuran itu?
Dan apakah kamu mendatuk jahat?
Menjadi limbah bagi para pelayan iblis?

Oh pahlawan gagah berani, apakah pedangmu


Bersinar dari usaha mendalami keberanian?
Pedangmu oh pahlawan, memicu kilatan petir
Dari pengisian baja untuk memberikan petunjuk terang

Sepertinya aku jatuh


Dalam memerah malu
Aku berbicara kepada aku

Cermin ini membantu untuk berfantasi


Bahwa aku menjadi pahlawan duniawi yang bijaksana
Tapi lemah lembut dan ringan adalah diriku
Pahlawan sia-sia; penipu yang tak terkendali.
Di Taman Pahlawan
Gus Mus

Di Taman Pahlawan beberapa pahlawan sedang berbincang-


bincang tentang keberanian dan perjuangan.
Mereka bertanya-tanya apakah ada yang mewariskan semangat
perjuangan dan pembelaan kepada yang
ditinggalkan.
Ataukah patriotisme dan keberanian di zaman pembangunan ini
sudah tinggal menjadi dongeng dan slogan?
Banyak sekali tokoh di situ yang diam-diam ikut mendengarkan
dengan perasan malu dan sungkan.
Tokoh-tokoh ini menyesali pihak-pihak yang membawa mereka
kemari karena menyangka mereka juga pejuang-
pejuang pemberani. Lalu menyesali diri mereka sendiri yang dulu
terlalu baik memerankan tokoh-tokoh gagah
berani tanpa mengindahkan nurani.
(Bunga-bunga yang setiap kali ditaburkan justru membuat mereka
lebih tertekan)
Apakah ini yang namanya siksa kubur?
Tanya seseorang di antara mereka yang dulu terkenal takabur
Tapi kalau kita tak disemayamkan di sini, makam pahlawan ini
akan sepi penghuni, kata yang lain menghibur.
Tiba-tiba mereka mendengar Marsinah.
Tiba-tiba mereka semua yang di Taman Pahlawan,
yang betul-betul pahlawan atau yang keliru dianggap pahlawan,
begitu girang menunggu salvo ditembakkan dan genderang
penghormatan ditabuh lirih mengiringi kedatangan
wanita muda yang gagah perkasa itu.
Di atas, Marsinah yang berkerudung awan putih
berselendang pelangi tersenyum manis sekali:
Maaf kawan-kawan, jasadku masih dibutuhkan
untuk menyingkapkan kebusukan dan membantu mereka
yang mencari muka.
Kalau sudah tak diperlukan lagi
biarlah mereka menanamkannya di mana saja di persada ini
sebagai tumbal keadilan atau sekedar bangkai tak berarti.
Kembalikan Indonesia Padaku
Taufik Ismail
Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat,
sebagian berwarna putih dan sebagian hitam,
yang menyala bergantian,
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam
dengan bolayang bentuknya seperti telur angsa,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam
karena seratus juta penduduknya,
Kembalikan
Indonesia
padaku
Hari depan Indonesia adalah satu juta orang main pingpong siang malam
dengan bola telur angsa di bawah sinar lampu 15 wat,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang pelan-pelan tenggelam
lantaran berat bebannya kemudian angsa-angsa berenang-renang di atasnya,
Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,
dan di dalam mulut itu ada bola-bola lampu 15 wat,
sebagian putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,
Hari depan Indonesia adalah angsa-angsa putih yang berenang-renang
sambil main pingpong di atas pulau Jawa yang tenggelam
dan membawa seratus juta bola lampu 15 wat ke dasar lautan,
Kembalikan
Indonesia
padaku
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam
dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam
karena seratus juta penduduknya,
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat,
sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,
Kembalikan
Indonesia
padaku
1. ASAL-USULIPUN RAWA PENING

Ngasem menika nami dhusun ingkang kalebet wewengkon Kecamatan Ambarawa, Kabupaten
Semarang. Kacariyos ing Ngasem wonten padhepokan kondhang. Sedaya puthut lan endhang sebatan
kangge murid jaler lan estri sami mongkog manahipun pikantuk tuladha saking guru ingkang asma Ki
Hajar Salokantara. Ki Hajar kagungan budi wicaksana. Dene muridipun nama Ni Endhang Ariwulan
ingkang elok lan ayu.

Satunggaling dinten Ni Endhang bingung pados peso ingkang biyasanipun kangge nyigar pinang
ingkang badhe dipuncawisake kangge sesajen wayah dalu. Kanthi ati kapeksa, piyambakipun matur
dhateng Ki Hajar supados kersa ngampili peso. Ki Hajar kaget, nanging amargi sampun mepet
wekdalipun, peso wau dipunparingaken kanthi wanti-wanti supados ngatos-atos lan sampun ngantos
peso kaselehaken ing pangkon.

Nanging Ni Endhang kesupen. Peso kaselehaken wonten pangkonipun. Sanalika peso ical. Ni
Endhang ngadhep Ki Hajar rumaos lepat, nanging ingkang dipunlapuri boten duka.

Sawetawis dinten, Ngasem geger amargi Ni Endhang Ariwulan nggarbeni. Ki Hajar Salokantara
banjur dhawuh Ni Endhang ngadhep. Ki Hajar badhe tapa brata ing Redi Telamaya lan maringi
pirantiawujud gentha utawa klinthingan ingkang badhe migunani kangge jabang bayi.

Boten dangu jabang bayi lair awujud naga. Nanging polahipun kados jabang bayi sanes, saged nangis
lan ngucap. Wingka katon kencana, jabang bayi wau tetep dipunopeni kanthi asih tresna ngantos
dewasa. Warga ingkang sumerep naga menika boten telas-telas anggenipun ngawon-awon.

Naga ingkang sampun dewasa kalawau ing satunggaling dinten nyuwun priksa dhumateng Ni
Endhang, sinten sejatosipun bapakipun, Ni Endhang maringi priksa menawi Ki Hajar menika
bapakipun ingkang saweg tapa brata ing Redi Telamaya.

Naga lajeng mbekta klinthingan, nusul ing Telamaya. Ni Endhang saking katebihan ngetutaken. Naga
wau medal lepen ingkang dawa, leren ing ngandhap selo, ingkang samenika dipunwastani selo sisik
lan nerasaken lampah ngambah rawa, salajengipun liwat Kaligung, lerem malih ing satunggaling selo
ingkang nama Sela Gombak.

Boten kesupen naga wau ngginakaken klinthinganipun.Ingkang sami sumerep lan mireng
klinthinganipun naga ingkang ngangge sumping menika lajeng marabi Baru Klinthingan utawi Baru
Klinthing.

Saking dinten, wulan lan taun sampun dipunlangkungi, Baru Klinthing dereng saged manggihaken
panggenanipun Ki hajar Salokantara. Malah samenika kendha boten gadhah daya. Nanging saking
katebihan mireng kidung lamat-lamat kados kidungipun Ni Endhang Ariwulan.

Saking ketebihan Ni Endhang ngetutaken Baru Klinthing ingkang sampun manggihaken papanipun Ki
Hajar Salokantara, lajeng manggen ing Sepakung. Ni Endhang mapan ing celak sendhang. Sendhang
menika lajeng kasebat Sendhang Ari Wulana.

Ing pertapaan Telamaya, Ki hajar kaget mriksani naga ingkang dumugi lajeng manthuk-manthuk
ngormati ing sangajengipun. Ki hajar pirsa menawi naga kalawau sanes naga ingkang ala, nanging
naga ingkang gadhah manah becik. Naga wau lajeng matur dhumateng Ki hajar Salokantara. Saya
kaget Ki Hajar, amargi boten nginten menawi naga wau saged wicanten.

Naga lajeng nyuwun pirsa, menapa leres menika dhusun Telamaya, pertapanipun Ki Hajar
Salokantara. Ki hajar ngleresaken. Baru Klinthing bingah, lajeng matur menawi Ki hajar menika
tiyang sepuhipun ingkang sampun dangu dipunpadosi ing paran. Boten kesupen Baru Klinthing lajeng
sujud. Ki Hajar dereng pitados saestu, mila lajeng maringi pitakenan dhumateng Baru Klinthing sinten
ibunipunlan saking pundi papan dunungipun. Baru Klinthing caos wangsulan menawi ibunipun asma
Ni Endhang Ariwulan saking Ngasem. Ugi boten kesupen Baru Klinthing nedahaken klinthingan
tilaranipun Ki hajar Salokantara.

Ki Hajar ngendika menawi klinthingan menika dereng cekap, amarga ing donya menika boten wonten
ingkang gampil, nanging kedah wonten lelabetan lan kedah wonten panebusanipu. Supados saged
dipunanggep putranipun Ki hajar, Baru Klinthing kedah nglampahi laku tarak brata. Laku tarak brata
menika mlungkeri Redi Kendhil ngantos tepung galang.Tanpa dipunmangertosi Baru Klinthing, Ki
hajar ngetutaken saking wingking.Baru klinthing lajeng mlungkeri Gunung Kendhil ingkang
dipundhawuhaken Ki Hajar, nanging sirah lan buntutipun boten tempuk, kirang sakilan.
Pungkasanipun Baru Klinthing nyambung ngangge ilatipun. Ki Hajar lajeng medal mlumpat mungkes
ilat menika.

Baru Klinthing kelaran nanging lajeng lerem manahipun. Ki Hajar maringi priksa menawi
kekiranganipun boten saged dipuntutupi ngangge ilat, amargi ilat menika pusaka ingkang ampuh
boten wonten tandhingipun. Ilat, jembare mung sawelat, nanging darbe khasiyat. Yen pinuju nuju
prana, bisa amemikat, yen tan pener, bisa gawe getering jagad, “pratelane Ki hajar.

Baru Klinthing lajeng nerasaken tarak brata lan ilatipun kedamel pusaka ingkang awujud tombak Kyai
Baru Klinthing

Dinten, wulan, lan taun sampun kawuri, badanipun Baru Klinthing ingkang mlukeri redi sampun
boten ketingal. Ingkang ketingal namung suket lan wit-witan ingkang ageng ing wana. Ki Hajar lajeng
manggihi Ni Endhang, maringi priksa supados Ni Endhang mapakaken putranipun Baru Klinthing ing
Dhusun Pathok menika kanthi laku ngrame.Pathok dhusun ingkang gemah ripah loh jinawi, nanging
warganipun boten gadhah raos syukur.

Wekdal menika warga Pathok nembe ngawontenaken pista panen raya. Salah satunggalipun warga
ingkang badhe mecah woh pinang kangge campuran susur, anggenipun mecah dipuntataki wit ingkang
sepuh lan cemeng sanget. Jebul kajeng wau badanipun naga ingkang nama Baru Klinthing.

Naga lajeng dipunkethok-kethok kangge pista. Boten kanyana-nyana sukma Baru Klinthing
ngetutaken warga ingkang mantuk sarana njilma dados pemudha bagus, gagah nanging reged.
Namanipun Jaka bandung. Nalika pista pemudha wau nyuwun pangan nanging dipunsingkang-
singkang. Pungkasanipun pemudha wau malah dipunsukani piwulang dening mbok randha ingkang
asma Ni Endhang Ariwulana. Sasampunipun nedha lan criyos, jaka kalawau nilar pesen menawi
mangke wonten swanten gumuruh simbok kedah mlebet lesung mbekta enthong lan sangu
saprelunipun

Jaka Bandung lajeng wangsul malih ing salebeting pistanipun para warga lan nyobi nyuwun tedhan
malih.Nanging malah dipuntampik lan dipunisin-isin. Mila jaka nantang sinten ingkang saged njabut
sada wau badhe dipunsembah ping pitu. Nanging boten wonten setunggal-setunggala ingkang saged.

Jaka bandung ingkang lajeng njabut sada wau. Sakala toya nyembur saking siti sakathah-kathahipun,
njalari banjir bandhang ngelebaken dhusun saisinipun.

Siti ingkang katut amargi sada dipunjabut dipununcalaken mengaler lan malih rupi dados redi alit
ingkang aran Gunung Kendhalisada. Semanten ugi dhusun ingkang keleb amargi lumebering toya tilas
sada, lajeng dados tlaga ingkang bening toyanipun, ingkang katelah Rawa bening ingkan samenika
kasebat Rawa Pening.
2. Pandhawa Kembar
Hmmm… Kakang Kurupati menyang Ngamarta nggawa prajurit sagelar sapa-pan ana parigawe apa?”
pitakone Wrekudara marang keng raka.

“Lhoh..! Kok sajak mejanani temen. Apa netra panduluku sing pancen wis blawur. Wrekudara iki!?”
pitakone Prabu Duryudana sajak kurang precaya.

“Isih pana kowe Kakang, aku Wrekudara kang ana ngarepmu. Baliya menyang Ngastina, undurna
kabeh wadyabalamu.”

“Waa wis kebacut tumeka kene je! Ora susah ngenteni Baratayuda. Ora idhep kowe kuwi Wrekudara
apa iblis, bakune dina iki kudu sirna saka tanganku.”

“Majuwa, bakal dak ajangi apa kang dadi karepmu.”

Tetandhingan antarane Prabu Duryudana lan Dyan Wrekudara datan kena den selaki. Bledug
ngampak-ampak sumundhul ngawiyat. Alun-alun Ngamarta kang dadi ajanging paprangan bosah-
baseh ora karuwan. Suwarane wadyabala Kuru Kancana lan Ngamarta kang padha andon yuda
sangsaya gawe horeging suwasana. Mulat sang Wisanggeni marang lumampahing paprangan. Gya
mateg mantram sakti. Eling-eling Wisanggeni mono titah kang kinacek ing sesamane, mula gampang
katrima kang dadi panyuwune. Eloking kahanan, prajurit saka Kuru Kancana cacah ewon kang
ndherekake Prabu Duryudana nggecak perang Ngamarta sakala malih dadi roning waringin.

Kagyat Sang Duryudana, Dursasana, Tirtanata, Kartamarma apadene Patih Sangkuni. Legeg nyipati
kahanan. Gya sinawat ing angin sindhung riwut dening Raden Bratasena temah kabur kontal kongsi
tumekan dhatulaya praja Kuru Kancana. Ngreti Prabu Kurupati kendhang, Wisanggeni banjur
mrayogakake para kadang nglurug menyang Kuru Kancana ngluwari para pepundhen.

Prabu Duryudana sapendherek kang tiba gumebrug aneng dhatulaya tuhu gawe kagyate Prabu Darma
Lelana sakadang. Prabu Duryudana ngendika sarwi nandukaken deduka merga rumangsa kena ing
apus karma.

“Paduka sampun mirsani piyambak, bilih wekdal samenika Pandhawa taksih wonten ing pakunjaran.
Mokal menawi wekdal samenika sampun wonten Ngamarta,” ngedikane Prabu Darma Lelana sareh.
“Nanging nyatanipun sareng dumugi Ngamarta kula dipun papagaken dening Werkudara. Pramila
kula suwun Prabu Darma Lelana sakadang kemawon ingkang ngrampungi prekawis menika. Mangke
sasampunipun sembada mbedhah Ngamarta merjaya pranakanipun, bumi Ngamarta didum sasigar
semangka kemawon. Kula sepalih, dene Paduka ugi sepalih.”
“Yayi Guna Lelana, jeneng sira Yayi dak dhawuhi niliki kang sabanjure nyowanake Pandhawa sing
wektu dinane iki isih ana pakunjaran. Yen wus kasowanake ayo padha ditigas janggane ana alun-alun
Kuru Kancana, murih enggal ilang kliliping ingkang sinuwun Duryudana.”

Kang kadhawuhan datan suwaleng kayun, gya nyuwun pamit mring pakunjaran nganthi Pandhawa
banjur kairit mring dhatulaya. Kedhep tesmak pandulune Prabu Duryudana nalika uninga para Pan-
dhawa kang kasowanake isih kanthi kahanan dibanda astane.

“Waaa kahanan kok kaya mangkene, angel anggonku mikir. Sinuwun Darma Lelana, prekawis menika
kula pasrahaken sawetahe dhateng Paduka. Kula pun mboten badhe tumut-tumut malih. Ingkang
baken tumrap kula sakadang, Pandhawa dalah anak-anake kudu modar!”

“Menika dhawah gampil Sinuwun. Paduka mboten sisah rumagang ing karya. Pejahipun Pandhawa
sakukuban kapasrahaken kewala dhateng kula sakadang,” dhawuhe Prabu Darma Lelana agawe lejar
penggalih Prabu Kurupati.

Nanging kedadak Raden Puja Lelana munggah ing sitinggil asung palapuran menawa Pandhawa Lima
ngamuk punggung ing Kuru Kancana sarwi nyumbari Prabu Darma Lelana sakadang.
“Lhadalah, pripun yen ngaten niki? Estu ta ingkang dados ngendikanipun anak prabu Kurupati?”
sumelane Patih Sengkuni. “Pandhawa ngamuk punggung ing alun-alun, lha lajeng sing dibanda niki
sinten?”

“Paman Patih mboten sisah tumut-tumut, pun kersane dirampungi piyambak kaliyan Prabu Darma
Lelana sakadang. Ingkang baken icaling klilip kula nenggih Pandhawa sakpranakane,” sumelane Pra-
bu Duryudana.

“Para kadang kabeh, ayo bebarengan padha dipapagake kang lagi sesumbar ana alun-alun. Aja lali
pandhawa kang wus dadi bandan iki digawa menyang palagan pisan!” dhawuhe Prabu Dharma Lelana
kanthi trewaca. Kang ana dhatulaya Kuru Kancana sigra metu njaba mapagake tekane mungsuh.
Sedaya datan ana kang katinggalan.

Tekan nGaluhn-alun kawistara Pandhawa lima lagya mbegagah nyranti tekane Prabu Dharma Lelana
sakadang.

“Para kadang kabeh,” Raden Wisanggeni bisik-bisik. “Eling-elingen kang dadi piwelingku, mangko
kalamunta Pandhawa sing dikongkon maju mapagake awake dhewe, aja padha diladeni…”
“Lho, Wisanggeni ki piye? Yen ora oleh diladeni rak padha karo nyorohake patine para kadang,”
panyelane Antareja.

“Mengko dhisik ta. Durung rampung anggonku kandha. Bakune aja diladeni, mengko yen nganti para
kadang tumekeng lalis, Wisanggeni kang bakal nanggung sakabehe. Cukup sembahen kaping telu
sinambi ngeningake netra batin nyenyuwun mring Hyang Manon kanggo miyak warana sapa sejatine
kang kok adhepi. Wis, ngono kakang kang dadi piwelingku. Aku tak ngawat-awati saka kadohan wae
kakang,” Raden Wisanggeni banjur nggeblas lunga saka papan kono.

Tan pantara lama Prabu Darma Lelana sakadang wus prapta ing papan kono nganthi Pandhawa miwah
Prabu Duryudana, Dursasana, Tirtanata uga Patih Sengkuni. Pirsa ing nGaluhn-alun uga ana
Pandhawa cacah lima rumangsa gumun sang Duryudana.

“Sarehne sing mbarang amuk iku tetirone Pandhawa, mula kareben Pandhawa iki wae sing ngadhepi.
Yayi Guna Lelana, enggal luwarana bandane Pandhawa, banjur dhawuhana maju pabaratan ngadhepi
tetirone kae,” dhawuhe Prabu Darma Lelana marang keng rayi. “Pun Kakang bakal bali hange-dhaton,
mangko samangsa-mangsa ana bebaya kang banget mutawatiri pun kakang aturana pirsa ya Yayi.”

Kang dhinawuhan sigra ngluwari bandane Pandhawa. Sabanjure Pandhawa kadhawuhan maju ing
pupuh ngadhepi tetirone. Para putra Pandhawa kang lagi namur laku maksih eling marang pitungkase
Wisanggeni, mula majune Pandhawa babar pisan ora digape. Sawise caket sigra kasembah kaping
telu, sinartan donga panyuwun mring Hyang Manon murih lebdeng karya. Kaelokaning jagad,
Pandhawa kang nembe diluwari saka bebandane iku ilang wewujudane malih dadi gegaman
kadewatan. Prabu Punta babar dadi Jamus Kalima Sada, Raden Wrekudara dadi Gada Rujak Pala,
Dyan Janaka babar dadi Saratama, semono uga satriya kembar kemanikan dadiya sanjatanira sowang-
sowang.

Prabu Duryudana nggragap mulat kaelokaning lelakon, sigra nggemprang mring kedhaton ngupadi
Prabu Darma Lelana sakadang. Caos palapuran kedadeyan ing alun-alun.

Ing alun-alun, Raden Wisanggeni banjur mrepegi kadang-kadange maneh.

“ Para kadang, sanjata iku padha pundhinen. Kanggonen sangu ngadhepi Prabu Darma Lelana
sakadang. Wis enggal majua maneh!”

Pandhawa tiron kang wus mandhe gegaman banjur nyumbari Prabu Darma Lelana sakadang. Panas
talingane midhanget swara panantang, wusanane Prabu Dharma Lelana sakadang kabiyantu Prabu
Duryudana maju ing palagan. Saka papane sesingid, Wisanggeni bali mateg mantram sakti.
Dumadakan ana mega mangampak-ampak nglurupi praja Kuru Kancana. Ilanging mega bebarengan
kalawan musnane praja Kuru Kancana kang pan-cen dumadi mung karana cipta. Kraton saisine bali
kadya sakawit dadi ara-ara Kurusetra kang jembar hangilak-ilak.

Tetandhingan antarane Pandhawa tiron mungsuh Darma Lelana sakadang lumaku imbang. Yen
ditimbang padha abote. Durung ana tandha-tandha sapa sing bakal unggul lan sapa sing kasoran.
Nanging suwe-suwe Prabu Darma Lelana sakadang keseser yudane. Mulat mungsuhe karoban lawan,
ponang sanjata kang cinekel Pandhawa tiron arsa katamakake mring anggane Prabu Darma Lelana
sakadang. Ing kahanan kang mutawatiri mau Wisanggeni malumpat saka papane singidan niyat misah
marang para kang lagi bandayuda. Mlumpate Wisanggeni bebarengan kalawan praptane jawata Suduk
Pangudal-Udal, Resi Kaneka Putra kang nunggal niyat kalawan Wisanggeni nedya misah kang lagi
rog bandawalapati.

“Bregenjong-bregenjong pak-pak pong waru dhoyong ditegor uwong. Waaaa…. padha kurang
gaweyan iki. Bapak kok gelut mungsuh anak, ora lucu. Hayo bubar-bubaaar. Kuwi sing padha
memba-memba gage lukar busana,” Dhawuhe Resi Narada karo gumujeng.

“Weh kedhisikan Bathara Narada, mangka sakjane sutradharane aku he he he. Ya wis ora dadi ngapa.
Para kadang, cukupna semene anggonmu namur laku. Sajake wis kewiyak mungguh warananing
lakon.”

Para Pandawa kang nyekel senjata mau banjur badhar sejatining wujud dadi para putra Pandhawa.
“Darma Lelana sakadang barang kuwi gage padha rucata! Apa dikira jeneng ulun ora pirsa sapa
sejatine Darma Lelana sakadang kuwi?” ngendikane Bathara Narada.

“Iya Mbah, tuturana para pepundhen Pandhawa kuwi. Padha murca reka-reka dadi Prabu Darma
Lelana sakadang mung gawe bingunging para garwa putra,” sumelane Raden Wisanggeni.
Sanalika badhar sejatining wujud Prabu Darma Lelana sakadang dadi Pandhawa lima. Prabu
Duryudana sapendherek kang rumangsa kewirangan banjur nggeblas ninggalke Tegal Kuru tanpa
pamit.

“Sarawuh Paduka Pukulun Bathara Narada, sembah pangabekti kula konjuk,” ature Prabu Punta
makili para kadang lan putra.

“Hiya Kaki Prabu Punta wus ulun tampa. Balik pudyastawaning Ulun muga rumenthah mring Kaki
Prabu sakadang lan para putra. Iki mau lagi ngapa, lha kok bisa pak karo anak padha gelut?”
“Nuwun sewu Pukulun, lekas kula sakadang namung badhe murungaken Baratayuda. Menawi
Ngamarta kula pasrahaken dhateng kaka prabu Duryudana lan kula sakadang cekap wonten Kuru
Kancana, tartemtu perang ageng jangkaning jagad badhe wurung.”
“Sapa sing kandha? Bharatayuda tetep bakal dumadi, awit iku uga winastan perang suci. Perange
watak sura mungsuh asura. Sanajan disrananana kaya ngapa tetep bakal kelakon. Mung pitungkas
Ulun, Pandhawa lima iku endhog sapetarangan ngibarate, mukti siji mukti kabeh, mati siji liyane
hangemasi. Mula raketing kekadangan kudu den jaga. Aja padha kemba nindakake saliring kadarman
kang anjog marang katentremane kawula dasih sawegung. Iki kang dadi pitungkas Ulun, raharja kang
samya pinanggya, Ulun kondur kahyangan ngger,” Bathara Naradha gya cumalorot ing akasa kondur
mring Suduk Pangudal-Udal.

Para Pandhawa uga banjur kondur mring Ngamarta kadherekake para putra. Prapteng Ngamarta
Raden Wrekudara gya njoget tayungan minangka tandha syukur konjuk mring Gusti Kang Maha-
linangkung.
3. Dongeng Bahasa Jawa - Kancil Lan Merak
Merak pancen seneng macak. Mula tansah nengsemake. Wulune katon edi, gawe resep kang padha
nyawang. Mula ora sithik tangga-teparo padha mara nyang omahe Merak saperlu sinau ngadi busana
lan ngadi salira.“Aku pengin supaya bisa nduweni sandhangan wulu kaya kowe, Rak,” ujare Kancil
marang Merak.“Sandhangan wulu kang tememplek ing awakku iki paringane Gusti Kang Akarya
Jagad. Aku mung tinanggenah ngrumat lan njaga supaya tetep katon endah,” wangsulane Merak
kanthi sareh. “Anggonku seneng dandan lan ngupakara kaendahan iki mung wujud rasa syukurku
marang Gusti!” bacute tanpa linandhesan rasa umuk.“Supaya wuluku bisa dadi kaya wulumu, piye
carane?” pitakone Kancil.

“Tangeh lamun, Cil! Aku-kowe ki mung saderma nglakoni. Apa kang dadi peparinganing Pangeran
kudu tinampa kanthi ati segara,” wangsulane Merak. “Karo maneh kabeh sing tememplek ana
saranduning badan iki, mesthi piguna marang awake dhewe. Kang ana ing aku ora durung mesthi ana
ing kowe, semono uga kosok baline, Cil. Wulu soklatmu kuwi mesthi piguna tumrapmu!”

Nanging Kancil sajak kemeren nyawang kaendahan wulune Merak. “Piguna apa?” Sawise megeng
napas sawetara banjur nggrundel, “Senajan piguna, nyatane wuluku letheg! Aku luwih bungah yen
wuluku bisa kaya wulumu! Saben kewan ora sebah nyawang!”“Kuwi rak mung saka panggraitamu
dhewe. Nanging ora kok, Cil!” sahute Merak. “Sebab saben kewan ginaris dhewe-dhewe! Uga bab
wulu! Wulu-wuluku kaya ngene, wulu-wulumu kaya ngono, wulune Macan, wulune Gajah, lan sato
kewan liyane ora ana sing padha!”

Senajan akeh-akeh Merak anggone ngandhani, nanging ora bisa mbendung pepenginane Kancil
nduweni wulu kaya wulu Merak. “Sakarepmu anggonmu kandha, Rak! Mung aku njaluk tulung
supaya aku bisa nduweni wulu kaya kowe!” kandhane Kancil setengah meksa.

Merak gedheg-gedheg gumun karo kekarepane Kancil. “Saupama bisa, terus mengko kowe dadi
kewan apa?” pitakone Merak.“Kewan apa wae terserah sing arep ngarani! Mung kira-kira bisa ta,
Rak?” pitakone Kancil ngoyak, ora sabar.“Bisa wae, nanging mung imitasi! Pasangan!”“Ora
masalah!” Kancil bungah. “Ndang dipasang!” panjaluke kesusu.“Ya sabar, Cil! Aku kudu
nglumpukake bodholane wuluku lan wulu-wulune wargaku.”“Terus kapan?”“Udakara rong
mingguan.”“Tak tunggu, Rak, ujare Kancil banjur nerusake lakune. Merak mung nyawang kanthi
mesem, “Cil, Kancil. Yen duwe kekarepan kok ngudung, tanpa metung tuna lan bathine. Kudu tak
udaneni kekarepane, ngiras kanggo menehi piwulang marang dheweke.”Tekan dina sing dijanjekake,
esuk uthuk-uthuk Kancil wis tekan omahe Merak. “Piye, Rak? Iki wis rong minggu!” “Beres!” jawabe
Merak karo nata wulu-wulu sing wis diklumpukake, “Gilo! Wulu-wulu wis mlumpuk, malah wis
dakdhewek-dhewekake! Wulu awak, wulu swiwi, wulu buntut, aku uga wis golek tlutuh wit karet
barang minangka kanggo nemplekake ing badanmu!”
“Wis gek ndang dipasang nyang awakku!” ujare Kancil karo lungguh dhingklik sacedhake
Merak.Merak banjur ngoser-oseri kabeh kulite Kancil nganggo tlutuh karet.

Bareng kawawas wis ora ana sing keri, baka siji Merak nemplekake wulu-wulu nut karo kebutuhane.
Wulu gulu ditemplekake ing gulu, wulu awak ing awak, wulu sikil ing sikil, dene wulu buntut uga
dipasang ing buntute Kancil.Sedina natas, kabeh wulu wis kapasang ing kulite Kancil.“Rampung,
Cil,” ujare Merak mesem. “Kae ana pengilon, ndang ngiloa!”Kancil banjur ngilo. Weruh kahanan
awake, dheweke mongkog, “Iki sing dakkarepake!” celathune. “Aku bakal dadi salah sijining kewan
kang paling endah!”“Bener kandhamu, Cil. Tur ora ana sing madhani!” Merak mbombong. “Mung aja
nganti kaendahan mau malah ngreridhu lakumu,” bacute ngelingake.“Ngreridhu piye? Wong apike
kaya ngene kok ngreridhu.”“Lho, wulu-wulu kuwi mung templekan. Cetha bakal ngebot-eboti
awakmu!”Kancil ora nggagas, malah gage pamitan. “

Wis, Rak. Aku pamit! Lan nedha nrima awit saka kabecikanmu, aku selak pengin mamerke
kahananing awakku saiki!”“Sing ati-ati, Cil,” kandhane Merak karo nguntapake Kancil metu saka
omahe.Metu saka platarane Merak, Kancil mlaku lon-lonan. Bokonge digidal-gidulake, pamrihe
supaya bisa mamerake wulune kang apik tur edi. Saben ketemu sato, Kancil tansah mesem karo aruh-
aruh sombong. Dene sing diaruhi uga genti mesem, mung eseme esem geli. Geli amarga weruh
kahanan kang ora lumrah. Nanging tumrap Kancil esem mau tinampa beda, “Kabeh kewan padha
kesengsem lan kepincut karo aku,” ujare jroning ati.Nanging sengsem, edi, lan endah mau ora suwe.
Bareng tlutuh karet mau garing, kulite Kancil dadi kaku nyekengkeng. Akibate sikil, gulu, lan buntute
angel diobah-obahake. Kancil mung bisa njegreg ngececer, ora bisa lumaku.“Tulung! Tulung!
Tuluuung!” pambengoke sabisa-bisane.“Ana apa, Cil?” pitakone Merak krungu pambengoke
Kancil.“Gage tulungana aku, saranduning badanku angel diobahake!”“Kabeh wulu sing nemplek ing
awakmu kudu dicopot kabeh, kowe gelem?”“Gelem, Rak!” ujare Kancil nglenggana marang apa sing
wis dilakoni. Dheweke eling menawa kabeh paringane Gusti mono kudu tansah disyukuri. Apik, edi,
lan endah tumraping sesawangan kadhang bisa ngganggu utawa mbilaheni.

Alon-alon, Merak mbubuti wulu sing wis kebacut kraket ing awake Kancil. Senajan ngrasakake perih
amarga sebagian kulite ana sing katut thethel, Kancil mung mringis-mringis karo ngempet lara. Ora
sambat. Ndhadha tumindake kang salah merga mung nuruti karepe dhewe, tanpa metung tuna lan
bathine.
CERITA RAKYAT INDONESIA DONGENG KEONG MAS DARI JAWA TIMUR

Pada zaman dahulu kala.Hiduplah seorang Raja yang bernama Kertamarta.Ia memimpin sebuah
kerajaan yang sangat indah dan megah, kerajaan tersebut adalah kerajaan Daha. Raja Kertamarta
mempunyai dua orang Putri yang cantik, Dewi Galuhh dan Candra Kirana.Kehidupan mereka sangat
bahagia dan berkecukupan.

Pada suatu hari, datanglah seorang Pangeran tampan dari kerajaan Kahuripan.Pangeran tersebut
bernama Raden Inu Kertapati.Kedatangan Pangeran ke kerajaan Daha adalah untuk melamar salah
satu Putri Raja, yaitu Candra Kirana.Kedatangan dan maksud Pangeran sangat di sambut baik oleh
Raja Kertamarta.Putri Candra Kirana pun menerima lamaran Pangeran Raden Inu Kertapati.

Karena pertunangan itu lah membuat Dewi Galuhh merasa sangat iri.Ia menaruh hati pada Raden Inu
Kertapati dan merasa dirinyalah yang lebih cocok menjadi tunangannya. Dari perasaan irilah
kemudian berkembang menjadi perasaan benci.Dewi Galuhh mulai merencanakan untuk
menyingkirkan Candra Kirana dari kerajaan.

Suatu hari, secara diam-diam Putri Dewi Galuhh pergi menemui sorang penyihir jahat.Ia meminta
bantuan kepada Penyihir untuk menyihir Candra Kiran menjadi sesuatu yang menjijikan dan Pangeran
Raden Inu menjauhinya. Ia pun berharap menjadi pengganti Candra Kirana sebagai tunangannya.
Penyihir pun menyetujui permintaan Dewi Galuhh. Namun, Penyihir tidak dapat masuk istana karena
akan menimbulkan sebuah kecurigaan. Akhirnya, Dewi Galuh mempunyai siasat untuk memfitnah
Candra Kirana, sehingga ia di usir dari kerajaan. Candra Kirana meninggalkan kerajaan dengan
perasaan sedih. Di tengah perjalanan ia bertemu dengan penyihir jahat dan menyihir Candra Kirana
menjadi Keong Mas. Setelah berhasil menyihir Candra Kirana, penyihir langsug membuangnya ke
sungai.

” Kutukanmu akan hilang, jika kamu dapat bertemu dengan tunanganmu Pangeran Raden Inu.” Ujar
Penyihir.

Suatu hari, seorang Nenek sedang mencari ikan dengan menggunakan jala.Akhirnya, Keong Mas ikut
tersangkut oleh jala tersebut. Melihat betapa indahnya Keong Mas yang ia dapatkan. Si Nenek
langsung membawanya pulang dan di simpannya Keong Mas di tempayan.Nenek tersebut memelihara
Keong Mas dengan baik dan memberikan makan, agar tidak mati.

Keesokan harinya, sang Nenek kembali ke sungai untuk mencari Ikan. Namun, tidak satu pun yang ia
dapatkan. Karena sudah terlalu lama tapi tidak mendaptkan hasil.Ia pun segera memutuskan untuk
pulang kerumah.

Ketika Nenek sampai di rumah.Ia sangat terkejut. Ia melihat makanan yang sangat enak sudah tersedi
di atas mejanya. Ia merasa sangat heran dan bertanya-tanya siapa yang sudah membuatkan makanan
ini.

Setiap hari kejadian serupa terus terjadi.Karena merasa penasaran.Sang Nenek memutuskan untuk
pura-pura pergi ke laut. Sebenarnya ia ingin tahun dan mengintip siapa yang sudah membuatkan
makanan setiap hari.

Sang nenek sangat terkejut. Melihat Keong Mas yang ia simpan di tempayan berubah menjadi seorang
gadis yang cantik jelita. Gadis cantik tersebut langsung meniapkan makanan di atas meja. Karena rasa
penasarannya, Sang Nenek langsung menghampiri Gadis cantik tersebut,

“ Siapa kamu Putri yang cantik? Dan dari manakah asalmu?”. Tanya sang Nenek

Keong Mas yang berubah menjadi wujud aslinya yaitu Candra Kirana.Sangat terkejut melihat
kedatangan Sang Nenek yang tiba-tiba. Akhirnya, Candra Kirana menjelaskan siapa ia sebenarnya.
Dan menceritakan kenapa ia berubah menjadi Keong Mas. Setelah menjelaskan kepada Sang Nenek,
Candra Kirana pun kembali berubah wujud menjadi Keong Mas.

Keong Emas penjelmaan candra kirana tertangkap jala nenek nelayan. Sementara, Pangeran Raden In
uterus mencari Putri Candra Kirana yang mendadak hilang entah kemana. Namun, kabar dari Candra
Kirana pun tidak dapat ia dapatkan. Pangeran Raden Inu kertapati sangat yakin bahwaCandra Kirana
masih hidup.karena kenyakinan itu membuat Raden Inu tidak berhenti mencari. Ia pun berjanji, tidak
akan kembali ke kerajaan sebelum menemukan tunangannya Candra Kirana.
Akhirnya, Penyihir jahat mengetahui bahwa Pangeran Raden sedang mencari Candra Kirana.Ia
mencari cara agar Pangeran tidak dapat menemukan Candra Kirana. Ia pun menyamar menjadi seekor
Burung Gagak.

Di tengah perjalanan, Raden Inu di kejutkan oleh Burug Gagak yang dapat bicara.Burung Gagak
tersebut mengetahui tujuannya.Pangeran yang merasa senang dan menganggap Burung tersbut tahu
dimana keberadaan candra Kirana.Ia pun mengiikuti petunjuk yang di berikan Burung Gagak. Padahal
petunjuk jalan tersebut salah.

Pangeran Raden, mulai kebingungan dengan petunjuk yang di berikan Burung Gagak. Di tengah
perjalanan, ia bertemu dengan seorang Kakek tua yang sedang kelaparan. Ia segera memberikan
makanan. Ternyata, Kakek tersebut adalah seorang Kakek yang sakti dan menolong Raden Inu dari
Burung Gagak. Kakek memukul Burung Gagak dengan tongkatnya dan tiba-tiba burung Gagak
berubah menjadi asap.

Kakek tersebut memberikan petunjuk jalan.Pangeran Raden Inu Kertapati segeran menuju Desa
Dadapan. Berhari-hari, ia menempuh perjalanan. Namun, di tengah perjalanan bekalnya telah habis. Ia
merasa sangat kehausan .ia pun melihat sebuah Rumah dan segera menuju ke rumah tersebut. Ia
berniat untuk meminta segelas air. Namun, bukannya hanya air yang ia dapatkan. Tetapi candra Kira
yang ia cari. Ia melihat tunangannya dari jendela sedang memasak.

Akhirnya, Pangeran Raden dapat menemukan Candra Kirana.Ia merasa sangat senang. Begitu pula
dengan Candra Kirana yang berhasil menghilangkan kutukannya, apabila bertemu dengan
tunangannya.Candra Kirana menjadi gadis cantik jelita.

Raden Inu Kertapti segera membawa Candra Kirana ke kerajaan Daha.Ia pun mengajak Nenek yang
sudah menolongnya. Candra Kirana pun menjelaskan perbuatan Dewi Galuh selama ini kepada
Baginda Raja.Akhirnya, kejahatan Dewi Galuh terbongkar.

Dewi Galuh mendapat hukuman atas perbuatannya itu. Namun, karena maerasa takut akan hukuman.
ia melarikan diri ke hutan. Sementara Baginda minta maaf kepada Candra.
Akhirnya, Pangeran Raden Inu dan Candra Kirana memutuskan untuk menikah.Mereka hidup
behagia.
KISAH TIMUN MAS DAN RAKSASA

Timun Mas adalah seorang gadis cantik yang baik hati, cerdas, dan pemberani. Itulah sebabnya, ia
sangat disayangi oleh ibunya yang bernama Mbok Srini. Suatu ketika, sesosok raksasa jahat ingin
menyantap Timun Mas. Berkat keberaniannya, ia bersama ibunya berhasil melumpuhkan raksasa jahat
itu. Kenapa raksasa itu hendak memangsa Timun Mas?Lalu, bagaimana Timun Mas dan ibunya
mengalahkan raksasa itu?Kisah menarik ini dapat Anda ikuti dalam cerita Timun Mas berikut ini.

Alkisah, di sebuah kampung di daerah Jawa Tengah, hiduplah seorang janda paruh baya yang
bernama Mbok Srini. Sejak ditinggal mati oleh suaminya beberapa tahun silam, ia hidup sebatang
kara, karena tidak mempunyai anak. Ia sangat mengharapkan kehadiran seorang anak untuk mengisi
kesepiannya. Namun, harapan itu telah pupus, karena suaminya telah meninggal dunia.Ia hanya
menunggu keajaiban untuk bisa mendapatkan seorang anak. Ia sangat berharap keajaiban itu akan
terjadi padanya. Untuk meraih harapan itu, siang malam ia selalu berdoa kepada Tuhan Yang
Mahakuasa agar diberi anak.

Pada suatu malam, harapan itu datang melalui mimpinya. Dalam mimpinya, ia didatangi oleh sesosok
makhluk raksasa yang menyuruhnya pergi ke hutan tempat biasanya ia mencari kayu bakar untuk
mengambil sebuah bungkusan di bawah sebuah pohon besar. Saat terbangun di pagi hari, Mbok Srini
hampir tidak percaya dengan mimpinya semalam.

“Mungkinkah keajaiban itu benar-benar akan terjadi padaku?” tanyanya dalam hati dengan ragu.

Namun, perempuan paruh baya itu berusaha menepis keraguan hatinya. Dengan penuh harapan, ia
bergegas menuju ke tempat yang ditunjuk oleh raksasa itu. Setibanya di hutan, ia segera mencari
bungkusan itu di bawah pohon besar. Betapa terkejutnya ia ketika menemukan bungkusan yang
dikiranya berisi seorang bayi, tapi ternyata hanyalah sebutir biji timun. Hatinya pun kembali bertanya-
tanya.

“Apa maksud raksasa itu memberiku sebutir biji timun?” gumam janda itu dengan bingung.
Di tengah kebingungannya, tanpa ia sadari tiba-tiba sesosok makhluk raksasa berdiri di belakangnya
sambil tertawa terbahak-bahak.

“Ha… ha… ha…!” demikian suara tawa raksasa itu.

Mbok Srini pun tersentak kaget seraya membalikkan badannya. Betapa terkejutnya ia karena raksasa
itulah yang hadir dalam mimpinya. Ia pun menjadi ketakutan.
“Ampun, Tuan Raksasa! Jangan memakanku! Aku masih ingin hidup,” pinta Mbok Srini dengan
muka pucat.

“Jangan takut, hai perempuan tua! Aku tidak akan memakanmu. Bukankah kamu menginginkan
seorang anak?” tanya raksasa itu.

“Be… benar, Tuan Raksasa!” jawab Mbok Srini dengan gugup.

“Kalau begitu, segera tanam biji timun itu! Kelak kamu akan mendapatkan seorang anak perempuan.
Tapi, ingat! Kamu harus menyerahkan anak itu kepadaku saat ia sudah dewasa. Anak itu akan
kujadikan santapanku,” ujar raksasa itu.

Karena begitu besar keinginannya untuk memiliki anak, tanpa sadar Mbok Srini menjawab, “Baiklah,
Raksasa!Aku bersedia menyerahkan anak itu kepadamu.”

Begitu Mbok Srini selesai menyatakan kesediaannya, raksasa itu pun menghilang.Perempuan itu
segera menanam biji timun itu di ladangnya. Dengan penuh harapan, setiap hari ia merawat tanaman
itu dengan baik. Dua bulan kemudian, tanaman itu pun mulai berbuah.Namun anehnya, tanaman
timun itu hanya berbuah satu.Semakin hari buah timun semakin besar melebihi buah timun pada
umumnya.Warnanya pun sangat berbeda, yaitu berwarna kuning keemasan. Ketika buah timun masak,
Mbok Srini memetiknya, lalu membawanya pulang ke gubuknya dengan susah payah, karena berat.
Betapa terkejutnya ia setelah membelah buah timun itu. Ia mendapati seorang bayi perempuan yang
sangat cantik. Saat akan menggendongnya, bayi itu tiba-tiba menangis.

“Ngoa… ngoa… ngoa… !!!” demikian suara bayi itu.


Alangkah bahagianya hati Mbok Srini mendengar suara tangisan bayi yang sudah lama dirindukannya
itu.Ia pun memberi nama bayi itu Timun Mas.

“Cup… cup… cup..!!! Jangan menangis anakku sayang… Timun Mas!” hibur Mbok Srini.

Perempuan paruh baya itu tak mampu lagi menyembuyikan kebahagiaannya.Tak terasa, air matanya
menetes membasahi kedua pipinya yang sudah mulai keriput. Perasaan bahagia itu membuatnya lupa
kepada janjinya bahwa dia akan menyerahkan bayi itu kepada raksasa itu suatu saat kelak. Ia merawat
dan mendidik Timun Mas dengan penuh kasih sayang hingga tumbuh menjadi gadis yang cantik jelita.
Janda tua itu sangat bangga, karena selaing cantik, putrinya juga memiliki kecerdasan yang luar biasa
dan perangai yang baik. Oleh karena itu, ia sangat sayang kepadanya.

Suatu malam, Mbok Srini kembali bermimpi didatangi oleh raksasa itu dan berpesan kepadanya
bahwa seminggu lagi ia akan datang menjemput Timun Mas. Sejak itu, ia selalu duduk termenung
seorang diri. Hatinya sedih, karena ia akan berpisah dengan anak yang sangat disayanginya itu. Ia baru
menyadari bahwa raksasa itu ternyata jahat, karena Timun Mas akan dijadikan santapannya.

Melihat ibunya sering duduk termenung, Timun Mas pun bertanya-tanya dalam hati. Suatu sore,
Timun Emas memberanikan diri untuk menanyakan kegundahan hati ibunya.

“Bu, mengapa akhir-akhir ini Ibu selalu tampak sedih?” tanya Timun Mas.

Sebenarnya Mbok Srini tidak ingin menceritakan penyebab kegundahan hatinya, karena dia tidak
ingin anak semata wayangnya itu ikut bersedih. Namun, karena terus didesak, akhirnya ia pun
menceritakan perihal asal-usul Timun Mas yang selama ini ia rahasiakan.

“Maafkan Ibu, Anakku! Selama ini Ibu merahasiakan sesuatu kepadamu,” kata Mbok Srini dengan
wajah sedih.
“Rahasia apa, Bu?” tanya Timun Mas penasaran.
“Ketahuilah, Timun Mas!Sebenarnya, kamu bukanlah anak kandung Ibu yang lahir dari rahim Ibu.”
Belum selesai ibunya bicara, Timun Mas tiba-tiba menyela.
“Apa maksud, Ibu?” tanya Timun Mas.
Mbok Srini pun menceritakan semua rahasia tersebut hingga mimpinya semalam bahwa sesosok
raksasa akan datang menjemput anaknya itu untuk dijadikan santapan. Mendengar cerita itu, Timun
Mas tersentak kaget seolah-olah tidak percaya.

“Timun tidak mau ikut bersama raksasa itu.Timun sangat sayang kepada Ibu yang telah mendidik dan
membesarkan Timun,” kata Timun Mas.

Mendengar perkataan Timun Mas, Mbok Srini kembali termenung.Ia bingung mencari cara agar
anaknya selamat dari santapan raksasa itu. Sampai pada hari yang telah dijanjikan oleh raksasa itu,
Mbok Srini belum juga menemukan jalan keluar.Hatinya pun mulai cemas. Dalam kecemasannya,
tiba-tiba ia menemukan sebuah akal. Ia menyuruh Timun Mas berpura-pura sakit. Dengan begitu,
tentu raksasa itu tidak akan mau menyantapnya. Saat matahari mulai senja, raksasa itu pun
mendatangi gubuk Mbok Srini.

“Hai, Perempuan Tua! Mana anak itu?Aku akan membawanya sekarang,” pinta raksasa itu.

“Maaf, Tuan Raksasa! Anak itu sedang sakit keras.Jika kamu menyantapnya sekarang, tentu
dagingnya tidak enak.Bagaimana kalau tiga hari lagi kamu datang kemari? Saya akan menyembuhkan
penyakitnya terlebih dahulu,” bujuk Mbok Srini mengulur-ulur waktu hingga ia menemukan cara agar
Timur Mas bisa selamat.

“Baiklah, kalau begitu!Tapi, kamu harus berjanji akan menyerahkan anak itu kepadaku,” kata raksasa
itu.

Setelah Mbok Srini menyatakan berjanji, raksasa itu pun menghilang. Mbok Srini kembali bingung
mencari cara lain. Setelah berpikir keras, akhirnya ia menemukan cara yang menurutnya dapat
menyelamatkan anaknya dari santapan raksasa itu. Ia akan meminta bantuan kepada seorang pertapa
yang tinggal di sebuah gunung.

“Anakku! Besok pagi-pagi sekali Ibu akan pergi ke gunung untuk menemui seorang pertapa. Dia
adalah teman almarhum suami Ibu.Barangkali dia bisa membantu kita untuk menghentikan niat jahat
raksasa itu,” ungkap Mbok Srini.

“Benar, Bu! Kita harus membinasakan raksasa itu.Timun tidak mau menjadi santapannya,” imbuh
Timun Mas.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, berangkatlah Mbok Srini ke gunung itu. Sesampainya di sana, ia
langsung menemui pertapa itu dan menyampaikan maksud kedatangannya.

“Maaf, Tuan Pertapa! Maksud kedatangan saya kemari ingin meminta bantuan kepada Tuan,” kata
Mbok Srini.

“Apa yang bisa kubantu, Mbok Srini?” tanya pertapa itu.

Mbok Srini pun menceritakan masalah yang sedang dihadapi anaknya.Mendengar cerita Mbok Srini,
pertapa itu pun bersedia membantu.

“Baiklah, kamu tunggu di sini sebentar!” seru pertapa itu seraya berjalan masuk ke dalam ruang
rahasianya.

Tak berapa lama, pertapa itu kembali sambil membawa empat buah bungkusan kecil, lalu
menyerahkannya kepada Mbok Srini.
“Berikanlah bungkusan ini kepada anakmu.Keempat bungkusan ini masing-masing berisi biji timun,
jarum, garam dan terasi.Jika raksasa itu mengejarnya, suruh sebarkan isi bungkusan ini!” jelas pertapa
itu.
Setelah mendapat penjelasan itu, Mbok Srini pulang membawa keempat bungkusan tersebut.Setiba di
gubuknya, Mbok Srini menyerahkan keempat bungkusan itu dan menjelaskan tujuannya kepada
Timun Mas.Kini, hati Mbok Srini mulai agak tenang, karena anaknya sudah mempunyai senjata untuk
melawan raksasa itu.

Dua hari kemudian, Raksasa itu pun datang untuk menagih janjinya kepada Mbok Srini.Ia sudah tidak
sabar lagi ingin membawa dan menyantap daging Timun Mas.

“Hai, perempuan tua!Kali ini kamu harus menepati janjimu.Jika tidak, kamu juga akan kujadikan
santapanku!” ancam raksasa itu.

Mbok Srini tidak gentar lagi menghadapi ancaman itu. Dengan tenang, ia memanggil Timun Mas agar
keluar dari dalam gubuk. Tak berapa lama, Timun Emas pun keluar lalu berdiri di samping ibunya.
“Jangan takut, Anakku!Jika raksasa itu akan menangkapmu, segera lari dan ikuti petunjuk yang telah
kusamapaikan kepadamu,” Mbok Srini membisik Timun Mas.

“Baik, Bu!” jawab Timun Mas.

Melihat Timun Mas yang benar-benar sudah dewasa, rakasasa itu semakin tidak sabar ingin segera
menyantapnya. Ketika ia hendak menangkapnya, Timun Mas segera berlari sekencang-kencangnya.
Raksasa itu pun mengejarnya.Tak ayal lagi, terjadilah kejar-kerajaan antara makhluk raksasa itu
dengan Timun Mas.Setelah berlari jauh, Timun Mas mulai kecapaian, sementara raksasa itu semakin
mendekat. Akhirnya, ia pun mengeluarkan bungkusan pemberian pertapa itu.

Pertama-tama Timun Mas menebar biji timun yang diberikan oleh ibunya.Sungguh ajaib, hutan di
sekelilingnya tiba-tiba berubah menjadi ladang timun.Dalam sekejap, batang timun tersebut menjalar
dan melilit seluruh tubuh raksasa itu.Namun, raksasa itu mampu melepaskan diri dan kembali
mengejar Timun Mas.

Timun Emas pun segera melemparkan bungkusan yang berisi jarum. Dalam sekejap, jarum-jarum
tersebut berubah menjadi rerumbunan pohon bambu yang tinggi dan runcing.Namun, raksasa itu
mampu melewatinya dan terus mengejar Timun Mas, walaupun kakinya berdarah-darah karena
tertusuk bambu tersebut.

Melihat usahanya belum berhasil, Timun Mas membuka bungkusan ketiga yang berisi garam lalu
menebarkannya.Seketika itu pula, hutan yang telah dilewatinya tiba-tiba berubah menjadi lautan luas
dan dalam, namun raksasa itu tetap berhasil melaluinya dengan mudah. Timun Emas pun mulai
cemas, karena senjatanya hanya tersisa satu. Jika senjata tersebut tidak berhasil melumpuhkan raksasa
itu, maka tamatlah riwayatnya. Dengan penuh keyakinan, ia pun melemparkan bungkusan terakhir
yang berisi terasi. Seketika itu pula, tempat jatuhnya terasi itu tiba-tiba menjelma menjadi lautan
lumpur yang mendidih. Alhasil, raksasa itu pun tercebur ke dalamnya dan tewas seketika. Maka
selamatlah Timun Emas dari kejaran dan santapan raksasa itu.

Dengan sekuat tenaga, Timun Emas berjalan menuju ke gubuknya untuk menemui ibunya.Melihat
anaknya selamat, Mbok Srini pun langsung berucap syukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa.Sejak itu,
Mbok Srini dan Timun Mas hidup berbahagia.

Demikian dongeng Timun Mas dari daerah Jawa Tengah, Indonesia. Cerita di atas memberikan
pelajaran bahwa orang yang selalu berniat jahat terhadap orang lain seperti raksasa itu, pada akhirnya
akan celaka. Selain itu, cerita di atas juga mengandung pelajaran bahwa dengan usaha dan kerja keras
segala rintangan dan cobaan dalam hidup ini dapat diselesaikan dengan baik.Hal ini ditunjukkan oleh
Mbok Srini dan Timun Mas. Berkat usaha dan kerja kerasnya, mereka dapat membinasakan raksasa
jahat yang hendak memangsa Timun Mas.
CERITA RAKYAT SANGKURIANG
DARI JAWA BARAT

Cerita Rakyat Sangkuriang : Asal Muasa Tangkuban Perahu


Dongeng Tangkuban Perahu – Legenda Jawa Barat

Dahulu kala di sebuah Khayangan. Ada seorang Dewa dan Dewi membuat kesalahan di Khayangan.
Mereka harus menjalani hukuman di Bumi. Dan harus berbuat kebaikan. Keduanya berubah bentuk
menjadi seekor Babi dan seekor Anjing.

Babi hutan jelmaan Dewi bernama Wayung Hyang, dan seekor Anjing jelmaan bernama Tumang.
Babi hutan harus melakukan berbagai kebaikan di dalam hutan. Dan anjing jelmaan Dewa itu
mengabdi di sebuah kerajaan sebagai Anjing pemburu pada seorang Raja bernama Sungging
Perbangkara.

Suatu hari, Raja Sungging Perbangkara sedang berburu kehutan di tepi kerajaan. Seusai berburu Raja
Sumbing Perbangkara buang air kecil pada sebuah Daun Caring. Ia langsung meninggalkan Daun
Caring yang di dalamnya ada air kencingnya yang tergenang. Setelah meninggalkan tempat itu, tiba-
tiba datanglah seekor Babi yang sedang kehausan. Kemudian meminum air kencing sang Raja
tersebut. Tidak di sangka Wayung Hyang hamil. Ternyata, air kencing Raja Sumbing Perbangkara
mengandung Sperma yang dapat menyebabkan Wayung Hyang hamil.

Beberapa bulan kemudian, Wayung Hyang melahirkan seorang Putri yang sangat cantik jelita. Ia
membersihkan tubuh Bayi itu dengan cara menjilatinya. Kemudian, Wayung Hyang langsung
meletakkan Bayi itu di atas batu yang sangat besar di balik semak-semak. Dan berharap Raja Sumbing
Perbangkara dapat menemukannya.

Sumbing Perbangkara sangat suka berburu dan kembali ke dalam hutan. Sungging Perbangkara yang
sedang memburu Kijang, mendengar suara tangisan Bayi. Ia mencari asal suara tersebut dan di temani
oleh Anjingnya bernama Tumang. Akhirnya, ia menemukan Bayi perempuan itu. Ia sangat terkejut
dan membawanya ke istana. Ia mengangkat Bayi Perempuan tersebut sebagai anaknya dan diberi
nama Dayang Sumbi
Waktu berjalan dengan cepat. Dayang Sumbi tumbuh menjadi seorang putri yang sangat cantik jelita.
Dayang Sumbi sangat pandai menenun. Sehingga banyak pria yang berdatangan ke istana untuk
meminangnya. Namun, tidak satupun lamaran dari mereka di terima.

Dayang Sumbi tidak ingin ada pertumpahan darah jika salah satu dari mereka di terima lamarannya.
Akhirnya, ia meminta ijin kepada ayahnya untuk mengasingkan diri dari kerajaan. Awalnya, Sumbing
Perbangkara tidak mengijinkan. Namun, akhirnya mengijinkan dan di bawalah Anjing itu bersama
putrinya.
Sang Raja, membuatkan sebuah gubuk di pinggir hutan. Dayang Sumbi menghabiskan waktunya
untuk menenun.

Pada suatu malam, ketika Dayang Sumbi sedang menenun, tiba-tiba gulungan benang terjatuh ke luar
pondok. Karena sudah malam, ia takut untuk mengambil gulungan benang tersebut. Tanpa ia sadari, ia
bersumpah. ‘’ Siapapun yang mengambilkan gulungan benang itu untukku, jika perempuan akan aku
jadikan sebagai saudara, sedangkan jika laki-laki akan ku jadikan suami.’’

Tanpa ia sadari sebelumnya, tiba-tiba datang seekor Anjing jantan berwarna hitam yang di tugaskan
Raja untuk menemani Dayang Sumbi menghampirinya, dan membawa gulungan benang tersebut. Ia
sangat terkejut. Namun, apa mau di kata, ia sudah bersumpah dan harus menepati janjinya.

”Baiklah, Tumang, aku sudah berjanji dan aku harus menepatinya. Meskipun kamu seekor Anjing,
aku tetap mau menjadi istrimu.” Ujarnya.

Mendengar ucapan Dayang Sumbi, Anjing hitam itu berubah menjadi Pemuda yang sangat tampan.
Dayang Sumbi sangat terkejut melihat pemuda tampan di depannya.

”Hei, siapa kamu? Mengapa tiba-tiba ada di gubukku?’’


”Maaf, tuan putri. Saya adalah jelmaan Dewa.’’ Jawab pemuda itu.

Dayang Sumbi dan Pemuda tampan itu. Akhirnya menikah, keduanya sepakat untuk merahasiakan
pernikahan mereka kepada Raja Sungging Perbangkara. Kemanapun ia pergi, ia selalu di temani oleh
suaminya si Tumang. Tidak ada satu orangpun yang tahu bahwa si Tumang adalah jelmaan Dewa,
setiap malam purnama, Tumang berubah menjadi Pemuda tampan.

Akhirnya, setelah satu tahun mereka menikah. Dayang Sumbi melahirkan seorang anak laki-laki yang
sangat tampan. Dayang Sumbi akhirnya memberikan nama Sangkuriang. Dengan berjalannya waktu
Sangkurian tumbuh menjadi anak yang tampan, pandai, rajin dan ia mulai mahir memanah dengan
sangat baik. Sangkuriang sangat suka berburu ke dalam hutan.

Suatu hari, Dayang Sumbi menyuruh Sangkuriang untuk berburu Rusa ke hutan. Dayang Sumbi ingin
sekali memaka hati Rusa. Sangkuriang sangat berharap bisa mendapatkan hati seekor Rusa untuk di
berikan kepada ibunya. Sudah seharian ia berburu. Namun, tidak ada satu ekor pun yang ia dapatkan.
Tiba-tiba, ketika ia hendak pulang. Ia melihat seekor Babi hutan Wayung Hyang melintas di
depannya. Sangkuriang segera mengarahkan panahnya. Namun, Wayunh Hyang berlari sangat gesit.
Sangkuriang sangat marah dan kesal dan memerintahkan Tumang untuk mengejarnya.
”Tumang, Cepat kejar Babi itu?’’ ujarnya dengan marah.

Tumang yang mengetahui bahwa Babi buruannya tersebut adalah Wayung Hyang. Ia diam saja tidak
menuruti perintah Sangkuriang. Beberapa kali Sangkuriang berteriak. Namun, tumang tetap tidak
bergerak. Ia tambah kesal melihat tingkah si Tomang.

Sangkuriang sangat marah kepada Tumang, dan mengarahkan anak panahnya. Tanpa sengaja. Ia
melepaskan anak panah itu dan mengenai kepala si Tumang. Anjing itu pun langsung mati seketika.
Sangkuriang merasa takut dan merasa bersalah. Lalu, ia mengambil hatinya. Ia langsung membawa
hati tersebut pulang ke rumah dan dberikan kepada ibunya. Dayang Sumbi sangat gembira, ia mengira
hati yang di berikan anaknya adalah hati seekor rusa. Setelah di masak dan makan bersama, Dayang
Sumbi tidak melihat si Tumang dan menanyakannya.

”Anakku, di mana Tumang? Bukankah ia ikut pergi berburu bersamamu?’’ Tanya Dayang Sumbi.

Sangkuriang sangat bingung dan tidak bisa berbohong. Akhirnya ia mengatakan dengan jujur.
”Maaf bu, aku tidak sengaja membunuhnya! Hati yang kita makan itu adalah hati si Tumang.’’
Jawabnya dengan gelisah
Dayang Sumbi sangat marah. Karena Sangkuriang sudah membunuh ayah kandungnya sendiri.
”Apa yang kamu katakan? Kamu sudah membunuhnya? Dasar anak tidak tahu diri kau!’’ seru Dayang
Sumbi sambil memukul kepalanya dengan sendok nasi dan mengeluarkan darah, lukanya membekas
dan tidak dapat hilang. Sangkuriang sangat sedih dan pergi dari gubuk itu.

Dayang Sumbi, selalu menunggu kedatangan putranya. Namun, ia tak kunjung datang. Ia merasa
sangat menyesal telah memukulnya dan membiarkan ia pergi dari rumah. Setiap hari ia selalu berdoa
untuk bertemu anaknya. Tuhan mengabulkan doanya. Ia di berikan kecantikan yang abadi.

Sangkuriang berjalan di tengah hutan dengan luka di kepalanya. Karena tidak kuat menahan rasa sakit.
Ia langsung pingsan. Ketika ia sadar, ia sangat terkejut dan melihat seorang Kakek tua.

”Kakek, siapa ? aku ada dimana.” Tanyanya.


”Tenanglah anak muda, aku seorang petapa. Kakek menemukanmu pingsan dan terluka parah. Kamu
sekarang ada di dalam gua pertapaanku.’’ Jawabnya.

Perlahan Kakek tua itu bertanya asal usul Sangkuriang. Namun, Sangkuriang tidak dapat mengingat
masa lalunya. Bahkan namanya sendiri. Ki Ageng memanggilnya dengan nama Jaka. Ki Ageng
merawat Sangkuriang sampai sembuh, dan mengajarinya ilmu bela diri dan kesaktian mandraguna.
Setelah beberapa tahun Sangkuriang belajar ilmu kesaktian dan tumbuh menjadi Pemuda yang sangat
tampan. Dengan kesaktiannya, ia dapat memanggil mahluk-mahluk halus (gaib)

Suatu hari, ia pergi ke dalam hutan. Ia berjalan mengikuti langkah kakinya, hingga ia sampai di
sebuah gubuk di tepi hutan. Karena ia merasa haus, ia meberanikan diri untuk datang ke gubuk itu
untuk meminta minum. Tak di sangka, penghuni gubuk itu adalah gadis yang sangat cantik jelita.
Gadis cantik itu adalah Dayang Sumbi ibunya sendiri. Saat pertama kali melihat pemuda yang datang
kerumahnya ia tidak menyangka bahwa Jaka adalah anaknya Sangkuriang. Sangkuriang jatuh cinta
melihat Dayang sumbi yang sangat cantik itu. Dan ingin menjadikannya sebagai istrinya.

Keesokan harinya. Jaka pergi untuk berburu. Namun, sebelum ia berburu ia mampir ke gubuk untuk
bertemu Dayang Sumbi. Tanpa sengaja ikat kepalanya sedikit naik ke atas dan terlihatlah bekas luka
Jaka. Bekas luka itu sangat mirip dengan bekas luka yang dimiliki putranya. Dayang Sumbi pun
menanyakan bekas luka tersebut.

”Kenapa ada bekas luka di kepalamu Jaka?’’ Tanya Dayang Sumbi.


Namun, Jaka tidak dapat mengingat masa lalunya. Ia hanya menceritakan pertemuannya dengan
pertapa dan ia di selamatkan saat terluka parah. Mendengar cerita tersebut, Dayang Sumbi sangat
terkejut. Dia yakinlah bahwa Jaka adalah anaknya sendiri Sangkuriang.

Dayang Sumbi pun merasa sangat bingung, ia tidak mungkin menikah dengan anaknya sendiri. Ia
berusaha menyakinkan Sangkuriang bahwa ia adalah ibunya. Namun, Sangkuriang tidak percaya apa
yang di ucapkan Dayang Sumbi. Melihat sikap putranya itu Dayang Sumbi sangat bingung. Setiap
hari ia berpikir bagaimana cara membatalkan pernikahannya.

Akhirnya, ia pun menemukan caranya, ia akan mengajukkan dua syarat. Jika kedua syarat dapat di
penuhi oleh Sangkuriang, ia akan menikah dengannya. Namun, sebaliknya, jika gagal pernikahannya
di batalkan. Suatu malam Dayang Sumbi menyampaikan kedua syaratnya tersebut.
“Jika kamu tetap ingin menikah denganku, kamu harus memenuhi dua syarat.’’
”Apakah syaratmu itu Dayang Sumbi?’’
”Kamu harus membuatkan sebuah Danau dan perahu. Namun, danau dan perahu itu harus selesai
sebelum matahari terbit.’’ Jawabnya.

”Baiklah, Dayang Sumbi, kedua syarat mu akan aku penuhi.”

Dengan menggunakan kesaktiannya, Sangkuriang segera memanggil pasukkan mahluk-mahluk halus


untuk membantunya. Setelah mereka siap. Mereka mulai menggali tanah,dan menyusun batu-batu
besar untuk membendung aliran sungai. Kemudian mereka menebang kayu-kayu yang sangat besar
untuk membuat perahu.

Pada saat tengah malah, secara diam-diam Dayang Sumbi melihat pekerjaan Sangkuriang dan
pasukannya. Ia sangat terkejut melihat danau dan perahu hampir selesai. Dayang Sumbi pun sangat
gelisah. Ia langsung berlari ke desa untuk meminta bantuan kepada seluruh masyarakat. Akhirnya ia
menggelar kain merah ke arah sebelah timur. Setelah bebera saat ia menggelar kain tenun buatanya
itu. Muncullah cahaya kemerahan dari arah timur, seakan fajar mulai datang. Suara ayam jantan
berkokok. Mahluk halus melihat fajar kemerahan akan datang dan mendengar suara Ayam berkokok
mengira hati mulai pagi. Mereka pun pergi melarikan diri dan meninggalkan danau dan perahu yang
hampir selesai itu.

Saat mengetahui Dayang Sumbi membohonginya, Sangkuriang sangat marah dan murka. Dengan
kesaktianya ia menjebol bendungan yang di buatnya bersama pasukannya. Sehingga terjadi banjir
yang sangat besar. Kemudian ia menendang perahu yang sudah hampir selesai itu terbang dan jatuh
menelungkep. Perahu itu kini menjelma menjadi sebuah gunung yang di kenal dengan
nama Tangkuban Perahu, yang artinya perahu terbalik.

Pesan moral dari Cerita Rakyat Sangkuriang adalah jangan memaksakan kehendak kita kepada
orang lain, saling menghargai dan mau menerima pendapat orang lain merupakan sifat yang terpuji.

Anda mungkin juga menyukai