Wenna Valentine Puspitasari, Friska Ardiani Putri, Tiara Andini Putri Nastiti, Wahyu Dwi
Purnomo
valentinewenna@yahoo.co.id
Background:
There is growing awareness of the fact that ill-health perpetuates poverty. In order to prevent
the negative downward spiral of poverty and illness, developing countries in recent years are
implementing various models of health insurance to increase access to health care for poor
households.
Methods:
Result:
Discussion and Conclusion:.
Pendahuluan
Tumbuhnya kesadaran bahwa kesehatan yang buruk akan meningkatkan kemiskinan. Untuk
mencegah hubungan yang negatif antara kemiskinan dan penyakit, negara-negara berkembang
dalam beberapa tahun terakhir menerapkan berbagai model asuransi kesehatan untuk meningkatkan
akses terhadap perawatan kesehatan bagi keluarga yang tidak mampu. Meskipun ada bukti bahwa
skema asuransi kesehatan telah menyebabkan peningkatan akses ke kesehatan secara umum, namun
masih ada perdebatan mengenai pelaksanaan asuransi kesehatan (Maximillian KD, 2014).
Asuransi merupakan salah satu elemen penting dalam perencanaan keuangan, namun
dikarenakan rendahnya kesadaran masyarakat dan mitos miring yang beredar di masyarakat seputar
asuransi membuat masyarakat enggan untuk membeli produk asuransi. Asuransi juga dikenal hanya
untuk kalangan menengah keatas. Pada sisi lain terwujudnya masyarakat yang sejahtera, salah
satunya dinilai dari tingkat kesehatan masyarakatnya yang baik. Untuk itu pemerintah
mengeluarkan asuransi sosial wajib dimana seluruh masyarakat atas amanat dari undang-undang
wajib menjadi peserta dari program tersebut (Vandawati Z, et al, 2016).
Di Indonesia, warga negara memiliki hak-hak dasar kesehatan sesuai dengan Pancasila. Hak
untuk hidup dengan sehat juga dinyatakan dalam UUD 1945 Pasal 28H dan Pasal 34 serta diatur
dalam UU 36/2009. UU 36/2009 menegaskan bahwa setiap orang memiliki hak yang sama untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan yang terjangkau dan berkualitas. Akibatnya, setiap warga negara
juga memiliki kewajiban atas hak mereka tersebut. Buku pegangan Program Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) tentang sosialisasi Sistem Jaminan Sosisal Nasional 2014 atau Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN) menyatakan bahwa pemerintah bertanggung jawab untuk menerapkan
asuransi kesehatan publik melalui JKN (Nisa C & Intan Nina Sari, 2019). Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) yang dikembangkan di Indonesia merupakan bagian dari SJSN. Beberapa prinsip
yang dianut pada JKN yakni prinsip gotong royong, nirlaba, keterbukaan, kehatihatian,
akuntabilitas, efisiensi, efektivitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanat dan hasil
pengelolaan Dana Jaminan Sosial (Listiyana I, 2017).
BPJS kesehatan (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan) merupakan badan usaha
milik negara yang ditugaskan khusus oleh pemerintah untuk menyelenggarakan jaminan
pemeliharaan kesehatan bagi seluruh rakat Indonesia. BPJS kesehatan bersama BPJS
ketenagakerjaan (dahulu bernama jamsostek) merupakan program pemerintah dalam kesatuan
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diresmikan pada tanggal 31 Desember 2013. Untuk BPJS
kesehatan mulai beroperasi sejak tanggal 1 Januaru 2013, sedangkan BPJS ketenagakerjaan mulai
beroperasi sejak 1 Juli 2014. Jumlah seluruh peserta JKN terhitung 1 Desember 2017 mencapai
186.602.571 (Rianingsih AK, et al, 2019).
Pemerintah telah membentuk beberapa; bentuk asuransi kesehatan sosial melalui PT Askes
(Persero) dan PT Jamsostek (Persero), yang melayani pegawai negeri sipil, pensiunan, veteran, dan
karyawan swasta. Untuk masyarakat miskin, pemerintah memiliki apa yang Jaminan Sosial
Masyarakat gratis (Jamkesmas), asuransi sosial untuk perawatan bersalin (Jampersal), dan
perawatan kesehatan gratis pemerintah daerah (Jamkesda) (Nisa C & Intan Nina Sari, 2019).
Sejumlah besar literatur telah menyelidiki efek asuransi kesehatan pada penggunaan perawatan
kesehatan. Para ahli telah menyadari bahwa pengeluaran untuk perawatan kesehatan, dan utilitas
yang dihasilkannya, memainkan peran sentral dalam menentukan nilai asuransi kesehatan. Untuk
utilitas yang diharapkan bisa memaksimalkan kepuasaan konsumen, permintaan untuk asuransi
kesehatan dan perawatan kesehatan. Individu yang memerlukan beberapa layanan kesehatan akan
lebih mungkin untuk membeli asuransi kesehatan atau membeli cakupan asuransi kesehatan yang
lebih komprehensif (Arpah AB, et al, 2016).
Statistik menunjukkan banyak orang Amerika masih memiliki masalah kesehatan yang serius karena
banyak dari mereka tidak memiliki cakupan kesehatan. Sebagai hasil dari fakta ini, masalah cakupan
kesehatan adalah salah satu masalah penting di AS, dalam hal besarnya masalah, prevalensi dan biaya untuk
masyarakat. Statistik menunjukkan bahwa sekitar 50 juta orang Amerika harus menghadapi setiap hari
dengan kondisi ini yang berarti tidak ada pemeriksaan medis dan perawatan. Statistik menunjukkan bahwa
Pemerintah AS mengalokasikan lebih banyak dana untuk perawatan kesehatan dibandingkan dengan negara-
negara maju menengah. Namun, kenyataannya adalah bahwa AS tidak dapat menawarkan perawatan yang
lebih baik kepada orang-orang. Beberapa analisis mengungkapkan bahwa jumlah tertinggi orang yang tidak
memiliki cakupan asuransi kesehatan tidak mampu mendapatkan asuransi kesehatan karena kondisi ekonomi
mereka (Yesilbas M 2015).
Findings
Orang Indonesia belum terbiasa dengan yang namanya asuransi. Setiap ada
agen asuransi yang mendekat, maka kebanyakan dari kita akan berusaha menjauh dan
menolaknya. Padahal jika dilihat dengan perspektif yang lebih luas, asuransi merupakan suatu
kebutuhan. Manusia tidak bisa memastikan kalau tubuh ini akan selalu sehat dan
siap digunakan untuk melakukan berbagai aktivitas. Itulah yang membuat asuransi
merupakan suatu keharusan untuk menjamin biaya pengobatan saat sakit. Setiap sakit,
biaya yang harus dikeluarkan kadang tidak bisa diprediksi. Sebenarnya banyak yang mengerti kalau
asuransi merupakan suatu hal yang penting (Vandawati Z, et al, 2016).
Sistem fee for service untuk sistem pelayanan kesehatan menyebabkan masyarakat sulit
menjangkau pelayanan kesehatan yang layak. Namun, apabila hendak ikut asuransi tidak banyak
masyarakat yang mampu membayar biaya premi. Sebagai contoh pada 1995, biaya rawat inap
pasien di rumah sakit selama lima hari menghabiskan 1,4 kali rata-rata pendapatan sebulan
penduduk DKI Jakarta. 1998 biaya ini melonjak menjadi 2,7 kali. Apabila biaya tersebut tidak
ditanggung oleh kantor atau asuransi, berarti biaya rumah tangga orang yang bersangkutan akan
tersedot untuk membayar perawatan di rumah sakit (Kadarisman M, 2015).
Berdasarkan implementasi UU 44/2004 Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bahwa
program Jaminan Kesehatan Nasional yang pelaksanaannya dipercayakan pada BPJS kesehatan
masih jauh dari makna keadilan. Penerapan BPJS kesehatan masih memiliki persoalan dalam
banyak hal. Pertama, persoalan BPJS kesehatan sudah muncul sejak proses aktivasi kartu. BPJS
menerapkan aturan bahwa kartu pengguna BPJS baru bisa aktif sepekan setelah pendaftaran
diterima. Padahal sakit menimpa tanpa terduga dan tak mungkin bisa ditunda. Kedua, rujukan
lembaga jasa kesehatan yang ditunjuk BPJS kesehatan juga terbatas dan tidak fleksibel. Peserta
BPJS hanya boleh memilih satu fasilitas kesehatan untuk memperoleh rujukan dan tak bisa ke
fasilitas kesehatan lain meski sama-sama berkerja sama dengan BPJS. Keterbatasan itu menyulitkan
orang yang sering berpergian dan berkerja di tempat yang jauh. Ketiga, adalah rumitnya alur
pelayanan BPJS kesehatan karena menerapkan alur pelayanan berjenjang. Sebelum ke rumah sakit,
peserta wajib terlebih dahulu ke fasilitas kesehatan tingkat pertama, yaitu puskesmas. Keempat,
banyak peserta BPJS mengeluhkan pembayaran biaya pengobatan yang tidak ditanggung
sepenuhnya oleh BPJS (Kadarisman M, 2015).
Menurut Pertiwi (2016) kepuasaan merupakan hasil evaluasi (penilaian) konsumen terhadap
berbagai aspek kualitas pelayanan. Menyatakan kualitas pelayanan harus dimulai dari kebutuhan
konsumen dan berakhir pada persepsi konsumen. Kepuasan pasien atau peserta asuransi merupakan
salah satu faktor yang dapat digunakan sebagai acuan dalam menentukan keberhasilan program
pelayanan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pertiwi (2016) mengenai analisis perbedaan
kualitas pelayanan pada pasien BPJS dan pasien umum terhadap kepuasan pasien di rawat jalan
RSUD Kota Surakarta didapatkan bahwa dari 3 dimensi yaitu keselamatan pasien, efektifitas dan
efisiensi, berorientasi pada pasien, terdapat perbedaan yang signifikan antara pasien BPJS dengan
pasien umum, hal ini terlihat dari nilai mean ketiga dimensi lebih tinggi pasien umum dibanding
pasien BPJS. Hal ini juga berpengaruh pada hasil kepuasan pasien (Pertiwi,2016).
Penelitian yang dilakukan Listiyana di Semarang tentang kepuasan jaminan kesehatan
nasional pada pengguna BPJS menunjukan bahwa sebagian besar responden tidak puas terhadap
jaminan kesehatan nasional. Responden tidak puas karena jika dibandingkan dengan jaminan
kesehatan sebelumnya yaitu Jamsostek, obat-obatan dan pelayanan Rumah Sakit mengalami
penurunan. Menurut responden harga obat pasien BPJS Kesehatan berbeda dengan harga obat yang
responden dapatkan sewaktu menjadi pesesta Jamsostek. Hal tersebut menunjukkan bahwa
responden berpatokan hanya dari segi harga, bukan manfaat atau kandungan obat di dalamnya,
karena persepsi masyarakat bahwa sesuatu yang mahal lebih berkualitas (Listiyana 2017).
Kepuasan pasien terhadap asuransi kesehatan sangat dipengaruhi oleh status tempat tinggal
mereka, status sosial ekonomi, biaya perawatan mereka, dan cakupan aktual yang diberikan oleh
asuransi kesehatan selama perawatan medis. peningkatan cakupan asuransi akan mendorong
peningkatan probabilitas kepuasan pasien terhadap layanan asuransi kesehatan. Di tempat pertama,
ini mungkin terdengar jelas, dan pembuat kebijakan Vietnam tampaknya berpikiran sama ketika
menetapkan tingkat asuransi 100% (Vuong Q H 2017).
Tetapi kenyataan menunjukkan bahwa tidak mungkin bagi setiap warga negara untuk
bergantung secara eksklusif pada asuransi untuk membayar seluruh perawatan mereka, cakupan
asuransi maksimum dalam kasus-kasus kehidupan nyata hanya mencapai 90% , cakupan minimum
adalah nol, dan cakupan rata-rata tetap hanya 60%. Karena kemungkinan gesekan dalam sistem
administrasi dan kelayakan asuransi berdasarkan status kependudukan, pasien sering terjebak
dengan cakupan asuransi yang tidak memadai. Pada akhirnya, mereka tidak menerima apa yang
dijanjikan akan diberikan (Vuong Q H 2017).
Upaya untuk meningkatkan kepuasan bagi kedua kelas ini dengan meningkatkan cakupan
asuransi tidak akan membuahkan hasil. Sistem asuransi kesehatan saat ini tidak memiliki pilihan
dan menjadi kaku mengingat heterogenitas populasi yang diamati. Oleh karena itu, akan lebih
bermanfaat jika pembuat kebijakan, daripada menjanjikan cakupan universal yang tidak terjangkau,
menargetkan yang rentan dan membangun skema asuransi yang lebih beragam untuk
mengakomodasi kebutuhan mereka, seperti asuransi kesehatan mikro . Ini dapat dilakukan dengan
menurunkan biaya umum - yang akan menjadi jalan panjang - dan memodifikasi kebijakan asuransi
kesehatan - yang merupakan langkah yang lebih layak, dalam jangka waktu yang lebih pendek
(Vuong Q H 2017).
Cakupan asuransi kesehatan, meskipun signifikan, mungkin tidak memadai untuk mencapai
layanan kesehatan yang adil dan dapat diakses. Diskriminasi berbasis asuransi berkontribusi
terhadap kesenjangan dalam perawatan kesehatan dan dapat mengurangi kemampuan orang untuk
mengakses perawatan kesehatan saat dibutuhkan. Mengingat efek negatifnya pada pemanfaatan
layanan kesehatan dan potensi ancaman terhadap hasil kesehatan jangka panjang, pemerintah
negara bagian dan lokal harus mengadopsi kebijakan yang menargetkan pengurangan diskriminasi
berbasis asuransi dalam layanan kesehatan. Karena lebih banyak orang Amerika telah mendapatkan
perlindungan, keberhasilan reformasi perawatan kesehatan tidak boleh dinilai hanya dengan berapa
banyak orang yang dilindungi oleh asuransi, tetapi dengan seberapa baik cakupan memastikan akses
ke perawatan kesehatan yang diperlukan. Satu langkah penting ke depan termasuk mengukur dan
memantau keberadaan dan dampak diskriminasi berbasis asuransi dalam pengaturan perawatan
kesehatan. (Han X 2015).
Conclusion :