A. Delima Moral
Dua tipe konflik ini merupakan dua bagian yang tidak dapat dipisahkan.
"Seorang ibu primipara masuk kamar bersalin dalam keadaan inpartu. Sewaktu
dilakukan anamnese dia mengatakan tidak mau di episiotomi. Ternyata selama
kala II kemajuan kala II berlangsung lambat, perineum masih tebal dan kaku.
Keadaan ini dijelaskan kepada ibu oleh bidan, tetapi ibu tetap pada pendiriannya
menolak di episiotomi. Sementara waktu berjalan terus dan denyut jantung janin
menunjukkan keadaan fetaldistress dan hal ini mengharuskan bidan untuk
melakukan tindakan episiotomi, tetapi ibu tetap tidak menyetujuinya. Bidan
berharap bayinya selamat. Sementara itu ada bidan yang memberitahukan bahwa
dia pernah melakukan hal ini tanpa persetujuan pasien, dilakukan karna untuk
melindungi bayinya.
Jika bidan melakukan episiotomi tanpa persetujuan pasien, maka bidan akan
dihadapkan pada suatu tuntutan dari pasien. Sehingga inilah yang merupakan
contoh gambaran dilema moral. Bila bidan melakukan tindakan tanpa persetujuan
pasien, bagaimana tinjau dari segi etik dan moral. Bila tidak dilakukan tindakan,
apa yang akan terjadi pada bayinya?”
B. Konflik Moral
Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977), konflik merupakan warisan
kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada
berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara
dua pihak atau lebih pihak secara berterusan.
Menurut Gibson, etal (1997: 437), hubungan selain dapat menciptakan kerjasama,
hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika
masing – masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri –
sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain.
Menurut Minnery (1985), Konflik organisasi merupakan interaksi antara dua atau
lebih pihak yang satu sama lain berhubungan dan saling tergantung, namun
terpisahkan oleh perbedaan tujuan.
Konflik dalam organisasi sering terjadi tidak simetris terjadi hanya satu pihak
yang sadar dan memberikan respon terhadap konflik tersebut. Atau, satu pihak
mempersepsikan adanya pihak lain yang telah atau akan menyerang secara negatif
(Robbins, 1993).
Interaksi yang disebut komunikasi antara individu yang satu dengan yang lainnya,
tak dapat disangkal akan menimbulkan konflik dalam level yang berbeda – beda
(Devito)
Dua tipe konflik ini merupakan dua bagian yang tidak dapat
dipisahkan. Penyebab Konflik
“Ada seorang bidan yang berpraktik mandiri dirumah. Ada seorang pasien inpartu
datang ke tempat praktinya. Status obstetri pasien adalah G1 P0 AB0. Hasil
pemeriksaan penapisan awal menunjukkan presentasi bokong dengan taksiran
berat janin 3900 gram, dengan kesejahtraan janin dan ibu baik. Maka bidan
tersebut menganjurkan dan memberi konseling pada pasien mengenai kasusnya
dan untuk dilakukan tindakan rujukan. Namun pasien dan keluarganya menolak
dirujuk dan bersikuku untuk tetap melahirkan di bidan tersebut karena
pertimbangan biaya dan kesulitan lainya. Melihat kasus ini maka maka bidan
diharapkan pada konflik moral yang bertentangan dangan prinsip moral dan
otonomi maupun kewenangan dalam pelayanan kebidanan. Bahwa sesuai
Kepmenkes Republik Indonesia 900/Menkes/SK/VII/2002 tentang registrasi dan
praktik bidan, bidan tidak berwenang memberikan pertolongan persalinan pada
primigravida dengan presentasi bokong disisi lain ada prinsip nilai moral dan
mananusiaan yang dihadapi pasien, yiatuketidakmampuan secara sosial ekonomi
dan kesulitan yang lain, maka bagai mana seorang bidan mengambil keputusan
yang terbaik terhadap konflik moral yang dihadapidalam pelayanan kebidanan”.
1. InformedConcent
2. Negosiasi
Proses yang di dalamnya dua pihak atau lebih bertukar barang/jasa dan
berupaya menyepakati tingkat kerjasama tsb.
a) Pertama, melibatkan dua pihak atau lebih. Kedua, terdapat suatu konflik
kepentingan antara pihak-pihak tersebut.
3. Persuasi
4. Komite etik
1. Sukarela (Voluntariness)
2. Informasi (Information)
Jika pasi tidak tahu sulit untuk dapat mendeskripsikan keputusan.
Dalam berbagai kode etik pelayanan kesehatan bahwa informasi yang
lengkap dibutuhkan agar mampu keputusan yang tepat.
3. Kompetensi (Competence)
4. Keputusan (decision)
D. InformedConsent
a. Dimensi informedconsent
Bidan ada dalam posisi baik yaitu memfasilitasi pilihan klien dan
membutuhkan peningkatan pengetahuan tentang etika untuk menetapkan
dalam strategi praktik kebidanan
Informed Choice
Menurut kode etik kebidanan internasionl (1993) bidan harus menghormati hak
informedchoice ibu dan meningkatkan penerimaan ibu tentang pilihan dalam
asuhan dan tanggungjawabnya terhadap hasil dari pilihannya
Definisi informasi dalam konteks ini meliputi : informasi yang sudah lengkap
diberikan dan dipahami ibu, tentang pemahaman resiko, manfaat, keuntungan dan
kemungkinan hasil dari tiap pilihannya.
b. Pilihan atau choice penting dari sudut pandang klien sebagai penerima
jasa asuhan kebidanan, yang memberikan gambaran pemahaman masalah
yang sesungguhnya dan menerapkan aspek otonomi pribadi menentukan “
pilihannya” sendiri.
b) Bidan dan tenaga kesehatan lain perlu belajar untuk membantu ibu
menggunakan haknya dan menerima tanggungjawab keputusan
yang diambil.
c) Hal ini dapat diterima secara etika dan menjamin bahwa tenaga
kesehatan sudah memberikan asuhan yang terbaik dan memastikan
ibu sudah diberikan informsi yang lengkap tentang dampak dari
keputusan mereka
TINGKAT 1-A
3. PAMELYA I. A. RATUKOREH
5. TAMU INA
6. TRISSELA BENU
8. YOTITA TANA