Anda di halaman 1dari 135

Pengembangan pariwisata di keraton kasunanan surakarta dan

pengaruhnya bagi masyarakat sekitar

Skripsi

Oleh :

Stefani Sari Respati

K 4406040

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2010

1
PENGEMBANGAN PARIWISATA DI KERATON KASUNANAN
SURAKARTA DAN PENGARUHNYA BAGI MASYARAKAT SEKITAR

Oleh:

STEFANI SARI RESPATI

NIM. K4406040

Skripsi

Ditulis dan Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mendapatkan Gelar

Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Sejarah

Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2010

2
3
4
ABSTRAK

Stefani Sari Respati. PENGEMBANGAN PARIWISATA DI KERATON


KASUNANAN SURAKARTA DAN PENGARUHNYA BAGI
MASYARAKAT SEKITAR. Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, Juli 2010

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk: (1) Sejarah Keraton Kasunanan
Surakarta. (2) Keadaan geografis dan keadaan fisik Keraton. (3) Pengembangan
pariwisata yang dilakukan di Keraton Kasunanan. (4) Dampak pengembangan
wisata keratin bagi masyarakat sekitar.

Bentuk penelitian ini deskriptif kualitatif, yaitu suatu cara dalam


meneliti suatu peristiwa pada masa sekarang dengan menghasilkan data-data
deskriptif yang berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang tertentu atau
perilaku yang dapat diamati dengan menggunakan langkah-langkah tertentu.
Dalam penelitian ini digunakan strategi studi kasus terpancang tunggal yaitu
sasaran yang akan diteliti sudah dibatasi dan ditentukan serta terpusat pada satu
lokasi yang mempunyai karakteristik tersendiri yang tidak dimiliki oleh daerah
lain yaitu Keraton Surakarta. Sumber data yang digunakan adalah sumber benda,
tempat, peristiwa, informan, dan dokumen. Tehnik pengumpulan data yang
digunakan adalah dengan observasi, wawancara, dan analisis dokumen. Tehnik
sampling yang digunakan adalah purposive sampling yaitu pengambilan sampel
berdasarkan tujuan penelitian, dimana peneliti memilih informan yang dipandang
mengetahui permasalahan secara mendalam serta dapat dipercaya. Dalam
penelitian ini, untuk mencari validitas data digunakan dua tehnik trianggulasi
yaitu trianggulasi data dan trianggulasi metode. Tehnik analisis data yang
digunakan adalah analisis interaktif, yaitu proses analisis yang bergerak diantara
tiga komponen yang meliputi reduksi data, penyajian data, verifikasi/penarikan
kesimpulan, yang berlangsung secara siklus.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) faktor-faktor yang


melatarbelakangi Keraton Kasunanan Surakarta dijadikan sebagai obyek wisata,
diantaranya adalah : Keraton Kasunanan Surakarta merupakan suatu tempat atau
pusat dari Kebudayaan Jawa Mataram, sarana transportasi yang sangat mudah,
Keraton Kasunanan Surakarta tidak lagi mempunyai kekuasaan administratif
setelah Indonesia merdeka. (2) Peninggalan-peninggalan Keraton Kasunanan
Surakarta yang dapat dijadikan wisata Keraton berupa bangunan-bangunan dan
benda-benda peninggalan yang ada di komplek Keraton Surakarta. Bangunan-

5
bangunan tersebut dibagi berdasarkan konsep empat konsentris (empat lingkaran).
Lingkaran pertama yaitu kedhaton, lingkaran kedua yaitu baluwarti, lingkaran
ketiga paseban, dan lingkaran keempat yaitu alun-alun. (3) Perkembangan obyek
wisata Keraton Kasunanan Surakarta meliputi tahap pengembangan saja. Tahap
pengembangan ini mengarah pada perbaikan, baik perbaikan fisik maupun non
fisik. (4) Dampak yang ditimbulkan dari adanya Wisata Keraton Kasunanan
Surakarta terhadap kehidupan masyarakat yaitu :di bidang ekonomi dan sosial.

6
MOTTO

Q.S AL ` ASHR :2

We learn history that we may be wise before the event

Sir John Seeley (2004:60)

7
PERSEMBAHAN

Karya ini dipersembahkan kepada:

Bapak dan Mama yang memberikan kasih sayang, doa, dan support

Pondra, adikku tercinta.

Bhandenx yang memberikan aku banyak pengalaman dan selalu menemani dalam

suka dan duka

Teman-teman History ‘06

Almamater

8
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur Kami haturkan kepada Allah S.W.T atas
segala limpahan rahmat, hidayah dan inayah-Nya, sehingga proses
penelitian dan penyusunan skripsi ini berjalan dengan cukup baik.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah dan terlimpahkan
pada junjungan Kita Rasullulah SAW. Skripsi ini ditulis untuk memenuhi
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Program
Pendidikan Sejarah Jurusan Imu Pengetahuan Sosial, Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Selama masa penyelesaian skripsi ini, cukup banyak hambatan


yang menimbulkan kesulitan, dan berkat karunia Allah S.W.T dan peran
berbagai pihak, kesulitan yang pernah timbul dapat diatasi. Tidak lupa,
ucapan terima kasih diucapkan kepada yang terhormat:

1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas


Maret Surakarta, yang telah memberikan ijin penelitian,
2. Ketua Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial,
3. Ketua Program Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah
memberikan ijin penelitian,
4. Drs. A.Arif Musadad, M.Pd, selaku Pembimbing I yang telah
memberikan motivasi, masukan dan saran,
5. Musa Pelu, S.Pd, M.Pd, selaku Pembimbing II yang telah memberikan
arahan, masukan dan saran,
6. Pihak Keraton yang telah menjadi tempat penelitian,
7. Berbagai pihak yang tidak bisa disebutkan satu-persatu.
Semoga segala amal baik dan keikhlasan membantu penulis
tersebut mendapatkan imbalan dari Allah S.W.T dan semoga hasil
penelitian yang sederhana ini dapat bermanfaat.

9
Surakarta, 5 Mei 2010

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL............................................................................................................... i

PENGAJUAN SKRIPSI ...................................................................................... ii

PERSETUJUAN.................................................................................................. iii

PENGESAHAN ................................................................................................. iv

ABSTRAK .......................................................................................................... v

MOTTO............................................................................................................. vi

PERSEMBAHAN ............................................................................................... vii

KATA PENGANTAR ......................................................................................... viii

DAFTAR ISI ....................................................................................................... ix

DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1


B. Perumusan Masalah .................................................................. 6
C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 7
D. Manfaat Penelitian .................................................................... 7

10
BAB II LANDASAN TEORI ................................................................................ 9

A. Kajian Teori
1. Konsep Kebudayaan Jawa
a. Pengertian Kebudayaan ............................................. 9
b. Unsur-unsur Kebudayaan ............................................. 10
c. Sifat dan Hakekat Kebudayaan ................................. 11
d. Wujud Kebudayaan ..................................................... 12
e. Kebudayaan Jawa ....................................................... 13
2. Konsep Pariwisata
a. Pengertian Pariwisata ................................................... 17
b. Jenis dan Macam Pariwisata ...................................... 19
c. Manfaat Pariwisata ...................................................... 22
d. Obyek Wisata ................................................................ 24
e. Wisatawan ..................................................................... 25
3. Konsep Keraton
a. Pengertian Keraton ....................................................... 27
b. Fungsi Keraton .............................................................. 29
B. Kerangka Pemikiran ................................................................... 31

BAB III METODOLOGI ..................................................................................... 33

A. Tempat Dan Waktu Penelitian ................................................. 33


B. Bentuk dan Strategi Penelitian ................................................. 34
C. Sumber Data ............................................................................... 35
D. Teknik Pengumpulan Data ....................................................... 37
E. Tehnik Sampling .......................................................................... 39
F. Validitas Data ............................................................................. 40
G. Teknik Analisis Data .................................................................... 41
H. Prosedur Penelitian .................................................................... 43

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................................ 45

11
A. Sejarah Keraton Kasunanan Surakarta ................................... 45
B. Deskripsi Keraton Surakarta
1. Keadaan Geografis ............................................................. 50
2. Keadaan Fisik Keraton Surakarta ....................................... 52
C. Pengembangan Pariwisata Keraton Kasunanan ..................
1. Daya Tarik Keraton ............................................................... 73

2. Perkembangan Wisata Keraton .......................................... 89

3. Upaya Promosi Keraton ........................................................ 91

D. Dampak Wisata Keraton ........................................................... 96

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN ............................................... 100

A. Kesimpulan Penelitian ............................................................... 100


B. Implikasi Hasil Penelitian ............................................................ 101
C. Saran ............................................................................................ 102
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 104

LAMPIRAN ....................................................................................................... 107

12
DAFTAR LAMPIRAN

13
Lampiran 1 : Dokumentasi dari Keraton Surakarta ……………………
101

Foto 1 : Gapura Gladhag

Foto 2 : Gapura Pamarukan

Foto 3 : Bangsal Sewayana

Foto 4 : Bangsal Pangrawit

Foto 5 : Bangsal Manguntur Tangkil

Foto 6 : Panggung Sanggabuwana

Foto 7 : Pagelaran Sitinggil

Foto 8 : Bangsal Smarakata

Foto 9 : Bangsal Marcukunda

Foto 10 : Kori Brajanala

Foto 11 : Kori Kamandhungan

Foto 12 : Sasana Sewaka

Foto 13 : Meriam Pancawara

Foto 14 : Meriam Kumbarawi

Foto 15 : Meriam Kyai Alus

Foto 16 : Meriam Kyai Pamecut

Foto 17 : Meriam Kadal Buntung

Foto 18 : Meriam Kyai Soewebrasta

Foto 19 : Meriam Mahesa Komali

Foto 20 : Meriam Kyai Sadewa

14
Foto 21 : Meriam Kyai Bagus

Foto 22 : Meriam Segarawana

Foto 23 : Meriam Kyai Nakula

Foto 24 : Arca Dwarapala

Foto 25 : Kereta Kyai Groeda

Foto 26 : Kereta Garuda Putra

Foto 27 : Kereta Kyai Maraseba

Foto 28 : Relief Upacara Wilujengan

Foto 29 : Al-Quran dan terjemahannya

Foto 30 : Upacara Grebeg Maulud Nabi

Foto 31 : Koleksi Keris

Foto 32 : Patung kayu, kyai Raja Mala

Foto 33 : Alat masak pada saat perang ; dandang

Foto 34 : Kunjungan siswa-siswi di Keraton Surakarta

Foto 35 : Siswa-siswi observasi di Keraton

Foto 36 : Siswa-siswi berkumpul di pagelaran

15
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia Bagaikan untaian “Ratna Mutu Manikam” yang melingkar di
garis khatulistiwa, ungkapan tersebut sangat cocok dengan keadaan geografis
yang dimiliki Indonesia, keadaan alam yang sangat indah. Keindahan alam,yang
dihuni oleh berbagai etnik dan keragaman budaya yang sangat khas mendukung
pengembangan di sektor kepariwisataan, akan tetapi sampai saat ini semua potensi
belum dapat dimanfaatkan secara maksimal. Hal ini disebabkan karena kurangnya
pengetahuan yang dimiliki oleh Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia sendiri,
maupn ketiadaan dana dalam mengembangkan suatu daerah menjadi potensi
wisata.
Citra pariwisata Indonesia masih belum bisa menyamai keharuman yang
ditaburkan oleh negara-negara yang telah mengembangkan dan memperoleh
manfaat yang besar dari sektor ini. Bila ditilik dari segi potensi alam Indonesia
memiliki kualitas yang bagus dan indah. Untuk membangun citra yang akan
melicinkan jalan untuk menarik wisatawan berkunjung ke Indonesia, para pelaku
wisata, akademis, dan masyarakat umum harus mengetahui apa yang harus
dilakukan.
Pemerintah juga memiliki peranan penting dalam mengembangkan citra
pariwisata Indonesia. Pemerintah sadar bahwa sektor pariwisata biasa menjadi
sumber pendapatan bagi negara, oleh karena itu pemerintah juga membuat
peraturan-peraturan tentang pariwisata. Peraturan-peraturan tersebut bisa terkait
dengan penataan tempat pariwisata, kewenangan Pemerintah Daerah dalam
mengelolanya, dan juga tentang perolehan pendapatan yang dihasilkan dari sektor
pariwisata tersebut.

16
Salah satu contoh peraturan yang mengatur tentang kewenangan
pemerintah daerah adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang diarahkan
untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan,
pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya
saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,
keistimewaan dan kekhususan suatu daerah sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Berkenaan dengan hal tersebut, daerah diberikan kewenangan yang
seluas-luasnya disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan
otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaran pemerintahan negara.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, pemerintah daerah
mempunyai kewenangan dalam urusan wajib dan urusan pilihan. Berdasarkan
kewenangan tersebut, maka pemerintah daerah dapat melaksanakan fungsinya
dalam rangka mencapai tujuan pembangunan daerah. Selain itu, daerah otonom
memiliki kewenangan dalam mengatur daerahnya sendiri tanpa campur tangan
dari Pemerintah Pusat dalam rangka mengambangan seluruh potensi yang ada di
wilayahnya.
Berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
dilaksanakan pula perubahan pola pembagian sumber-sumber keuangan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah secara lebih adil, artinya seiring adanya
transfer kewenangan yang semakin besar ke daerah/kota secara bertahap akan
diikuti dengan transfer sumber-sumber fiskal yang diperlukan untuk menjalankan
kewenangan tersebut. Adanya otonomi daerah maka setiap daerah otonom
memiliki hak-hak dasar. Salah satu hak dasar adalah kebebasan memiliki,
mengelola, dan memanfaatkan sumber keuangannya sendiri. Setiap daerah
otonom akan mulai mengembangkan inisiatif dan kreatifitas daerah untuk
membangun daerahnya, berkompetisi dengan daerah-daerah otonom lainnya,
dengan memiliki kebebasan untuk menyusun pembangunan sendiri,
mendayagunakan potensinya untuk kesejahteraan masyarakat, serta menambah
Pendapatan Asli daerah (PAD). Pendapatan Asli Daerah ini sendiri dapat
diperoleh dari pajak, retribusi, serta hasil pengelolaan kekayaan daerah.

17
Dalam upaya meningkatkan dan mendayagunakan potensi pariwisata,
Pemerintah Kota Surakarta mulai menata kembali semua ruang dan tata kota
Solo. Kepariwisataan Indonesia belakangan ini berkembang menjadi salah satu
industri andalan yang biasa disebut dengan industri pariwisata. R.S Damarjadi
mengatakan, “Industri pariwisata merupakan rangkuman daripada berbagai
macam bidang usaha yang secara bersama-sama menghasilkan produk-produk
maupun jasa-jasa/layanan-layanan atau service, yang nantinya baik secara
langsung ataupun tidak langsung akan dibutuhkan oleh wisatawan selama
perawatannya”.
Pariwisata sebagai suatu industri baru dikenal di Indonesia setelah
dikeluarkannya Instruksi Presiden RI No. 9 Tahun 1969 pada tanggal 6 Agustus
1969, yang dalam Bab II pasal 3 disebutkan bahwa “Usaha-usaha pengembangan
pariwisata di Indonesia bersifat suatu pengembangan dan pembangunan “industri
pariwisata” dan merupakan bagian dari usaha pengembangan dan pembangunan
serta kesejahteraan masyarakat dan negara”. Instruksi presiden ini juga berisi
tentang tujuan pengembangan pariwisata di Indonesia untuk meningkatkan
pendapatan devisa pada khususnya dan pendapatan Negara dan masyarakat pada
umumnya, perluasaan kesempatan kerja dan mendorong kegiatan industri
penunjang, memperkenalkan dan mendayagunakan keindahan alam dan
kebudayaan Indonesia, meningkatkan persaudaraan serta persahabatan nasional
dan internasional (Oka. A. Yoeti, 1983:138). Dalam mengembangkan potensi
pariwisatanya, telah berupaya memberdayakan segala potensi yang ada baik dari
aneka obyek wisata dan kehidupan masyarakat kota yang mengalir ke arah
metropolitan maupun dari keadaan tata kota yang indah dna nyaman yang menjadi
daya tarik wisata baru.
Warisan budaya kota atau Urban Heritage adalah obyek-obyek dan
kegiatan di perkotaan yang memberi karakter budaya yang khas bagi kota yang
bersangkutan. Keberadaan bangunan kuno dan aktifitas masyarakat yang memiliki
nilai sejarah, estetika, dan kelangkaan biasanya sangat dikenal dan diakrabi oleh
masyarakat dan secara langsung menunjuk pada suatu lokasi dan karakter
kebudayaan suatu kota. Bangunan-bangunan kuno yang memiliki nilai historis di

18
Kota Solo adalah Keraton Kasunanan Surakarta, Kadipaten Puro Mangkunegaran,
Museum Radyapustaka dan masih banyak lagi bangunan-bangunan kuno yang
terdapat di Kota Solo. Selain bangunan kuno tersebut, Solo yang merupakan pusat
kota juga memiliki tempat-tempat wisata modern yang menonjolkan keindahan
alamnya, seperti Taman Balekambang, City Walk, Galabo, Gelora Manahan.
Semua itu sebagai aset yang melambangkan Solo sebagai Kota Budaya.
Salah satu obyek yang dikembangkan adalah keberadaan Keraton
Kasunanan Surakarta yang menunjuk pada sebuah lokasi dan karakter kebudayaan
dari Kota Surakarta atau yang lebih dikenal dengan Kota Solo. Keraton
Kasunanan Surakarta adalah salah satu bentuk peninggalan sejarah Bangsa
Indonesia dan merupakan hasil karya budaya yang sangat tinggi nilainya,
khususnya berkaitan dengan kebudayaan Jawa. Keraton Kasunanan Surakarta
perlu mendapat perhatian lebih lanjut, sehingga sekarang pemerintah setempat
mulai memperhatikan agar bisa menjadi obyek wisata unggulan. Hal ini
diharapkan dapat menambah Pendapatan Asli Daerah dan sebagai upaya
pelestarian peninggalan hasil budaya. Saat ini pemerintah sudah merevitalisasi
salah satu pojok bangunan bersejarah juga menjadi terminal bus wisata yang
terletak di utara Beteng Trade Center (BTC) dan Pusat Grosir Solo (PGS). Hal ini
sebagai salah satu upaya dalam meningkatkan sarana dan prasarana di sektor
pariwisata.
Keraton Kasunanan Surakarta yang dulu menjadi pusat pemerintahan di
Kota Solo zaman kerajaan, dan Kasultanan Yogyakarta di Kota YOgya
merupakan bagian dari Mataram. Sepeninggal Sultan Agung, Mataram mengalami
gejolak politik yang mempengaruhi stabilitas dan keamanan, baik dalam bentuk
pemberontakan, perpindahan keraton, pengungsian, pergeseran kekuasaan, pusaka
hilang, dan masuknya budaya barat. Intrik dan gejolak antar fraksi yang di
provokasi oleh kompeni berakibat pecahnya wilayah Mataram menajdai empat
bagian yaitu Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Kadipaten
Mangkunegaran, dan Kadipaten Pakualaman. Keempat wilayah ini dalam tata
Negara Kolonial disebut Vorstenlanden. Wilayah Vorstenlanden ini saling
berkomunikasi tentang perkembangan masing-masing wilayah, tapi tidak hanya

19
dengan wilayah-wilayah Vorstenlanden karena pada saat itu sudah ada hubungan
perdagangan antara Kota Solo dan Surabaya.
Hubungan perdagangan ini berjalan baik karena sejak awal abad XVI
jalur transportasi sungai antara Kota Solo dan Surabaya sudah terbentuk.
Surabaya merupakan Bandar pertama, sedangkan Solo merupakan Bandar terakhir
yang terletak di Semanggi (Babad Sala, 1984:15). Aktifitas utamanya adalah
perdagangan yang kemudian melahirkan kontak kebudayaan lintas etnik dan lintas
bangsa. Kebudayaan yang tertinggal dan dapat diamati dewasa ini adalah
Kampung Arab di Pasar Kliwon, Kampung Cina di Pasar Gede, Kampung Etnik
Bali di Kebalen, Kampung Madura di Sampangan, Kampung Etnik Banjar dan
Flores di dekat Kepatihan, Kampung Batik di Laweyan, Kauman, Keprabon , dan
Kampung dagang Jawa di Kampung Sewu.
Kemerosotan politik yang dihadapi kerajaan-kerajaan vorstenlanden
sebagai akibat tekanan kolonial, tidak mempengaruhi aktifitas perdagangan dan
industri rumah tangga. Marjinalisasi kelompok sosial yang memiliki potensi
kekuatan ekonomi maupun kekuatan massa akan memacu poses penyadaran
organik, serta membangkitkan perlawanan terhadap diskriminasi, penindasan, dan
ketidakadilan. Pengasingan putra mahkota mengundang simpati elit nasionalis,
serta memantapkan dinamika politik kebangsaan di Kota Solo. Berdasarkan
gambaran di atas, sejarah telah menyebutkan bahwa Kota Solo sebagai pusat
budaya Jawa maupun kota yang mengembangkan budaya kehidupan politik yang
mendasarkan pada keberagaman (Reflex, Agustus 2008: 16-17).
Sehubungan dengan upaya pengembangan pariwisata Keraton
Kasunanan Surakarta, maka peran Pemerintah Kota Solo harus ditingkatkan,
khususnya dalam membangun infrastruktur pendukung, baik yang bersifat fisik,
seperti sarana dan prasarana transportasi dan telekomunikasi, maupun yang non
fisik seperti penyederhanaan proses investasi di bidang pariwisata yang menjadi
tugas Pemerintah Kota. Upaya pengembangan juga dilakukan dengan melengkapi
fasilitas umum seperti mushola, toilet, dan tempat parkir. Dilengkapi lagi dengan
tempat penelitian bangunan bersejarah Keraton Kasunanan Surakarta. Selain
upaya tersebut, perlu adanya promosi wisata melalui berbagai sarana dan jalur

20
informasi di semua kesempatan baik melalui pameran, festival, media cetak, situs
internet, dan kerja keras duta wisata yang mengenalkan produk wisata Kota
Surakarta, termasuk Keraton Kasunanan Surakarta.
Keindahan Kota Solo tidak bisa terlepas dari elemen penting dalam
perancangan kota agar tertata rapi dan teratur. Elemen yang tidak bisa dipisahkan
tentu saja nilai dan kadar budaya yang kental dalam setiap program pembangunan
yang dilakukan . Hal ini mengingat adanya jargon yang menempel pada Kota Solo
itu sendiri, “Solo The Spirit Of Java”. Salah satu yang menggambarkan penataan
kota yang indah dan menarik perhatian dapat dilihat dalam program pembangunan
City Walk. Dimana nantinya City Walk juga akan menuju ke Keraton Kasunanan
Surakarta. Pariwisata di Solo sengaja dibuat berangkai, hal ini dimaksudkan agar
pengunjung tidak merasa jenuh dan tetap dapat menikmati keindahan Kota
Budaya. Meski pada tahun 1998 banyak bangunan dan fasilitas umum yang ada di
Kota Solo hancur baik itu bangunan pemerintah, mall, jalan, lampu lalu lintas,
maupun taman-taman yang ada, karena adanya kerusuhan pernah rusak, sekarang
tidak terlihat kalau Solo pernah hancur lebur akibat kerusuhan massa. Solo yang
terkenal dengan Kota Sumbu pendek, sangat mudah tersulut pertikaian.
Untuk mengetahui lebih jelas tentang upaya pelestarian dan
pengembangan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Surakarta terhadap Keraton
Kasunanan Surakarta agar menjadi objek wisata yang menarik sehingga nilai-nilai
kesejarahannya tetap teraga dan seklaigus mampu meningkatkan kesejahteraan
masyarakatnya, maka penulis mengangkat judul, “Pengembangan Pariwisata di
Keraton Kasunanan Surakarta dan Pengaruhnya Bagi Masyarakat Sekitar”.

B. Rumusan Masalah

Perumusan masalah ini berguna untuk mempermudah dalam


melaksanakan penelitian. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka
dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah latar belakang sejarah Keraton Kasunanan Surakarta ?

21
2. Bagaimanakah deskripsi tentang keadaan geografis dan keadaan fisik Keraton
Kasunanan Surakarta ?
3. Bagaimanakah pengembangan pariwisata yang dilakukan di Keraton
Kasunanan Surakarta ?
4. Apakah dampak dari adanya Wisata Keraton Kasunanan Surakarta bagi
masyarakat sekitar?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai didalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui latar belakang sejarah Keraton Kasunanan Surakarta.


2. Untuk mengetahui deskripsi tentang keadaan geografis dan keadaan fisik
Keraton Kasunanan Surakarta.
3. Untuk mengetahui pengembangan pariwisata yang dilakukan di Keraton
Kasunanan Surakarta.
4. Untuk mengetahui dampak dari adanya Wisata Keraton Kasunanan Surakarta
bagi masyarakat sekitar.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini antara lain :

1. Manfaat Teoritis
a. Menambah pengetahuan dan wawasan ilmiah tentang upaya pengembangan
yang ditempuh oleh Pemerintah Daerah terhadap potensi wisata di
daerahnya.
b. Dengan penelitian membrikan masukan dan sumbangan kepada pembaca
supaya dapat digunakan sebagai tambahan bacaan dan sumber data dalam
bidang kepariwisataan.

2. Manfaat Praktis

22
Manfaat praktis dalam penelitian ini sebagai berikut ;
a. Untuk memberikan bahan masukan dan sumbangan kepada pihak terkait
dalam mengembangkan potensi yang dimiliki obyek wisata Keraton
Kasunanan Surakarta.
b. Sebagai titik tolak untuk melaksanakan penelitian sejenis secara
mendalam.

23
BAB II

KAJIAN TEORI

A. TINJAUAN PUSTAKA
1. Kebudayaan Jawa
a. Pengertian Kebudayaan
Dalam pengertian sehari-hari, istilah kebudayaan sering diartikan
sama dengan kesenian, terutama seni suara dan seni tari. Koentjaraningrat
dalam bukunya kebudayaan, mentalitas dan pembangunan (2004:19)
berpendapat bahwa kata budaya berasal dari bahasa sansekerta buddhayah,
ialah bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Jadi kebudayaan
itu dapat diartikan “hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal”.
“Budaya” dibedakan dari “kebudayaan”, karena “budaya” adalah “daya dari
budi” yang berupa cipta, rasa, dan karsa, sedangkan “kebudayaan” adalah
hasil dari cipta, rasa, dan karsa itu sendiri. Dalam istilah “antropologi
budaya” perbedaan itu ditiadakan. Kata budaya dipakai sebagai suatu
singkatan saja dari “kebudayaan” dengan arti yang sama.

Antropolog E.B Taylor dalam Soerjono Soekanto (1990: 188)


mendefinisikan kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, dan kemampuan-
kemampuan lain serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan manusia sebagai
anggota masyarakat. Kebudayaan terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari
dari pola-pola perilaku yang normatif. Artinya, mencakup segala cara atau
pola berfikir, merasakan, dan bertindak. Seorang peneliti kebudayaan akan
sangat tertarik oleh obyek-obyek kebudayaan seperti rumah, sandang,

24
jembatan, dan alat-alat komunikasi. Mereka juga akan meneliti pada perilaku
sosial, yaitu pola-pola perilaku yang membentuk struktur sosial masyarakat.
Perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh peralatan yang dihasilkannya serta
ilmu pengetahuan yang dimilikinya atau didapatkannya.

Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi merumuskan kebudayaan


sebagai semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Karya masyarakat

menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan


jasmaniah (material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai
alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan untuk keperluan
masyarakat. Rasa yang meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala kaidah dan
nilai sosial yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan
dalam arti luas, termasuk di dalamnya agama, ideologi, kebatinan, kesenian,
dan semua unsur yang merupakan hasil ekspresi jiwa manusia yang hidup
sebagai anggota masyarakat. Selanjutnya, cipta merupakan kemampuan
mental, kemampuan berfikir orang-orang yang hidup bermasyarakat dan yang
menghasilkan filsafat serta ilmu pengetahuan (Soerjono Soekanto, 1990:189).

Menurut ilmu antropologi, kebudayaan adalah keseluruhan sistem


gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan
masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar
(Koentjoroningrat, 1990: 180). Dari beberapa pendapat di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan total dari pikiran, karya,
dan hasil karyanya oleh manusia yang berasal dari proses belajar selanjutnya
menjadi suatu kebiasaan dan pada akhirnya membentuk suatu peradaban.

b. Unsur-unsur Kebudayaan

Kebudayaan setiap bangsa atau masyarakat terdiri dari unsur-unsur


besar dan unsur-unsur kecil yang merupakan bagian dari suatu kebulatan yang

25
bersifat sebagai kesatuan. Ada tujuh unsur kebudayaan yang dianggap sebagai
cultural universal, yaitu :

1) Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat-alat


rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, dan transportasi),
2) Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian,
peternakan, sistem produksi, dan sistem distribusi),
3) Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem
hukum, dan sistem perkawinan),
4) Bahasa (lisan maupun tertulis),
5) Kesenian (seni rupa, seni suara, dan seni gerak),
6) Sistem pengetahuan,
7) Religi (sistem kepercayaan) (Soerjono Soekanto, 1990:191).
Cultural Universal dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang
lebih kecil lagi yang biasa disebut cultural activity (Ralph Linton 1936: 397).
Misalnya kesenian, meliputi kegiatan seni tari, seni suara, dan seni rupa.
Ralph Linton juga merinci kegiatan-kegiatan kebudayaan tersebut menjadi
unsur yang lebih kecil lagi yang disebut trait-compleks. Misalnya kegiatan
pertanian menetap, meliputi unsur-unsur irigasi, sistem mengolah tanah
dengan bajak, dan sistem hak milik atas tanah. Selanjutnya trait-compleks
mengolah tanah dengan bajak dapat dipecah-pecah lagi ke dalam unsur-unsur
yang lebih kecil lagi, misalnya hewan-hewan yang menarik bajak dan tehnik
mengendalikan bajak. Akhirnya sebagai unsur terkecil yang membentuk traits
adalah items.

c. Sifat Hakikat Kebudayaan

Setiap masyarakat mempunyai kebudayaan yang berbeda satu


dengan yang lainnya, tetapi setiap kebudayaan mempunyai sifat hakikat yang
berlaku umum bagi semua kebudayaan dimanapun mereka berada. Sifat
hakikat kebudayaan adalah sebagai berikut :

26
1) Kebudayaan terwujud dan tersalurkan lewat perilaku manusia.
2) Kebudayaan telah ada terlebih dahulu mendahului lahirnya suatu generasi
tertentu, dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang
bersangkutan.
3) Kebudayaan diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah
lakunya. Kebudayaan mencakup aturan-aturan yang berisikan kewajiban-
kewajiban, tindakan-tindakan yang diterima dan ditolak, tindakan-
tindakan yang dilarang dan tindakan yang diizinkan (Soerjono Soekanto,
1990:199).
Sifat hakikat kebudayaan adalah ciri setiap kebudayaan, akan tetapi
bila seseorang akan memahami sifat hakikatnya yang esensial, terlebih dahulu
harus memecahkan pertentangan-pertentangan yang ada di dalamnya, yaitu :

1) Di dalam pengalaman manusia, kebudayaan bersifat universal, akan tetapi


perwujudan kebudayaan mempunyai ciri-ciri khusus yang sesuai dengan
situasi maupun lokasinya. Masyarakat dan kebudayaan adalah dwitunggal
yang tidak dapat dipisahkan, yang mengakibatkan setiap masyarakat
mempunyai kebudayaan atau kebudayaan bersifat inversal: atribut dari
setiap masyarakat di dunia ini.
2) Kebudayaan bersifat stabil tetapi juga dinamis, dan setiap kebudayaan
mengalami perubahan-perubahan yang kontinyu. Setiap kebudayaan pasti
mengalami perubahan atau perkembangan, hanya kebudayaan yang mati
saja yang bersifat statis. Sering kali perubahan dalam kebudayaan tidak
terasa oleh anggota-anggota masyarakatnya.
3) Kebudayaan mengisi serta menentukan jalannya kehidupan manusia,
walaupun hal itu jarang disadari oleh manusia itu sendiri. Gejala tersebut
dapat dijelaskan secara singkat bahwa walaupun kebudayaan merupakan
atribut manusia, namun tidak mungkin seseorang mengetahui dan
menyakini seluruh unsur kebudayaanya (Soerjono Soekanto, 1990:123).

d. Wujud Kebudayaan

27
Kebudayaan itu paling sedikit memiliki tiga wujud kebudayaan yaitu :

1) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-


nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya
2) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktifitas kelakuan berpola dari
manusia dalam masyarakat,
3) Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Wujud pertama adalah wujud ide dari kebudayaan. Sifatnya abstrak,
tak dapat diraba atau di foto, dan dalam alam pikiran dari warga masyarakat
dimana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup. Kebudayaan ide ini biasa
disebut tata-kelakuan, maksudnya menunjukkan bahwa kebudayaan ide itu
biasanya juga berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendalikan,
dan memberi arah pada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat.
Wujud yang kedua dari kebudayaan biasa disebut sistem sosial, mengenai
kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktifitas-
aktifitas manusia yang saling berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu
dengan yang lainnya selalu mengikuti pola-pola tertentu berdasarkan adat tata
kelakuan. Sebagai rangkaian akifitas manusia dalam suatu masyarakat, maka
sistem sosial ini bersifat konkret. Wujud yang ketiga dari kebudayaan disebut
kebudayaan fisik dan memerlukan keterangan banyak, karena merupakan
aktifitas perbuatan dan karya semua manusia dalam masyarakat, maka sifatnya
paling konkret dan berupa benda-benda atau hal-hal yang sifatnya dapat diraba,
dilihat dan di foto.

Ketiga wujud kebudayaan terurai di atas, dalam kenyataan kehidupan


masyarakat tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Kebudayaan ide dan
adat istiadat mengatur dan memberi arah pada perbuatan dan karya manusia.
Baik pikiran-pikiran dan ide-ide maupun perbuatan dan karya manusia,
menghasilkan benda-benda kebudayaan fisiknya. Sebaliknya, kebudayaan fisik
itu membentuk suatu lingkungan hidup tertentu yang makin lama makin
menjauhkan manusia dari lingkungan alamiahnya, sehingga mempengaruhi pula

28
pola-pola perbuatannya, bahkan juga mempengaruhi cara berfikirnya
(Koentjoroningrat, 2004: 5).

e. Kebudayaan Jawa

Uraian-uraian di atas merupakan gambaran kebudayaan, dimana


kebudayaan merupakan suatu hasil keseluruhan dari cipta, rasa, dan karsa yang
akan membentuk suatu peradaban tertentu di tempat tertentu. Hal ini
mengakibatkan kebudayaan nantinya akan menjadi suatu identitas diri, karena
kebudayaan satu daerah pasti akan berbeda dari daerah lain. Definisi tersebut
dapat menjelaskan tentang kebudayaan Jawa. Kebudayaan Jawa adalah segala
sesuatu yang bersangkutan atau berhubungan dengan budi dan akal pikiran yang
menciptakan suatu peradaban yang berkembang di Jawa.

Kebudayaan itu menjadi cermin besar yang menggambarkan


peradaban suatu bangsa, yang juga tercermin dalam pepatah Jawa Budaya iku
dadi kaca diri ning bangsa. Setiap bangsa atau suku bangsa memiliki
kabudayan (kebudayaan) sendiri yang berbeda dengan kebudayaan bangsa atau
suku bangsa lainya. Hal ini membuktikan bahwa peradaban suatu suku bangsa
atau bangsa yang bersangkutan memiliki pengetahuan, dasar-dasar pemikiran,
dan sejarah peradaban yang tidak sama antara satu dengan yang lainnya.
Demikian pula dengan suku bangsa Jawa. Suku Jawa memiliki pengetahuan
yang menjadi dasar pemikiran dan sejarah kebudayaannya yang khas, dimana
dalam epistemologi dan kebudayaannya digunakan simbol-simbol atau
lambang-lambang sebagai sarana atau media untuk menitipkan pesan-pesan atau
nasehat-nasehat bagi bangsanya. Dari data sejarah Jawa memang menunjukan
tentang penggunaan simbol-simbol itu dalam tindakan bahasa dan religi orang
Jawa, yang telah digunakan sejak zaman prasejarah (Ageng Pangestu Rama,
2007: 256).

29
C.A. Van Peursen dalam Budiono Herusatoto (2008: 19) menguraikan
tentang pengertian dan proses terwujudnya simbol dalam kebudayaan manusia,
antara lain sebagai berikut :

1) Sejumlah pengarang membedakan antara simbol dan tanda atau lambang.


Tanda mempunyai pertalian tertentu dan tetap dengan apa yang ditandai
misalnya, pada ungkapan “dimana ada asap, disana ada api”, asap
merupakan tanda adanya api.
2) Terdapat juga simbol-simbol yang terbina selama berabad-abad. Lambang-
lambang purba seperti api, air, matahari, dan ikan yang memiliki beberapa
fungsi yang berbeda yaitu religius, seni, dan teknis semata-mata alat
komunikasi. Dimana aspek-aspek tersebut tak dapat dipisahkan dalam
lingkungan kebudayaan kuno yang selalu berjalan bersama-sama.
3) Lambang-lambang menafsirkankan proses berjalan sehingga kita seolah-
olah dapat naik menara dan memandang daerah-daerah yang luas yang
dulu tidak dikenal.
4) Lambang-lambang memperlihatkan sesuatu dari kaidah yang berlaku yang
berkaitan dengan perbuatan manusiawi, pengertian dalam ekspresi.
Kaidah-kaidah tersebut tidak hanya bertalian dengan akal budi dan
pengertian manusia, tetapi juga dengan seluruh pola kehidupa, seluruh
perbuatan, dan harapan manusia.
5) Lambang-lambang terdapat di luar badan manusia dan tidak terikat oleh
naluri jasmaniah.
Simbol-simbol tersebut mempengaruhi semua aspek kehidupan
masyarakat Jawa pada waktu itu, termasuk kehidupan religi. Koentjaraningrat,
pada bagian terakhir dari bukunya, kebudayaan, mentalitet dan pembangunan,
menyebutkan bahwa setiap religi merupakan sistem yang terdiri dari empat
komponen yaitu :

1) Emosi keagamaan yang bisa menimbulkan manusia menjadi religius.


Emosi keagamaan merupakan suatu getaran yang menggerakkan jiwa
manusia.

30
2) Sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan dan bayangan-bayangan
manusia tentang sifat-sifat Tuhan, wujud dari alam gaib, serta supranatural
yaitu tentang hakekat hidup dan mati, dan tentang wujud dewa-dewi dan
makhluk-mahkluk halus lainnya yang mendiami alam gaib.
3) Sistem upacara religius yang bertujuan mencari hubungan manusia dengan
Tuhan, dewa-dewi, atau makhluk halus yang mendiami alam gaib. Sistem
upacara religius melambangkan konsep-konsep yang terkandung dalam
sistem kepercayaan. Sistem uapacara merupakan wujud kelakuan atau
behavioral manifestation dari religius.
4) Kelompok-kelompok religius atau kesatuan-kesatuan sosial yang
menganut sistem kepercayaan tersebut. Kelompok-kelompok religius ini
bisa berupa : a) Keluarga inti atau kelompok-kelompok kekerabatan kecil
yang lain, b) Kelompok-kelompok kekerabatan yang lebih besar seperti
keluarga luas, keluarga unilineal seperti klian, suku, dan marga dada, c)
Kesatuan komuniti seperti desa, gabungan desa dan orang lain, d)
Organisasi-organisasi sangaka penyinaran agama, organisasi sangha,
organisasi gereja, partai politik yang berdasarkan ideologi religius,
gerakan religius, orde-orde rahasia, dan sebagainya (Budiono Herusatoto,
2008:45).
Kelompok-kelompok dan kesatuan sosial seperti itu biasanya
beorientasi terhadap sistem kepercayaan dan religi yang bersangkutan, dan
upacara berulang untuk sebagian atau keseluruhan, berkumpul untuk melakukan
sistem upacaranya.

Usaha memahami kebudayaan Jawa akan mengarah pada pemahaman


nilai-nilai, konsepsi-konsepsi dan paham-paham yang membimbing tindakan-
tindakan dalam hidupnya di lingkungan masyarakat Jawa. Nilai-nilai dan
konsepsi-konsepsi itu akan memperlihatkan pandangan dunia masyarakat Jawa
baik secara vertikal maupun horizontal. Pandangan dunia bagi orang Jawa
adalah nilai pragmatism untuk mencapai keadaan psikis tertentu yaitu
ketenangan, ketentraman, dan keseimbangan batin (Suseno, 1988: 83).

31
Kebudayaan Jawa mempunyai ciri tersendiri dibandingkan dengan
masyarakat lain. Untuk mendapatkan gambaran serta untuk dapat
mengidentifikasi harus dapat menemukan gagasan-gagasan tersebut yang
diejawantahkan ke dalam berbagai aktifitas yang berkaitan dengan kehidupan
adikodrati, kemasyarakatan, dan dalam kesenian. Aspek-aspek penting dalam
budaya Jawa. dapat menjadi acuan bagi masyarakat pendukung kebudayaan
Jawa, dan nilai-nilai itu tersirat dan tersurat dalam pitutur atau nasehat
kehidupan yang ebrupa tembang. Gagasan. nilai, keyakinan, dan sikap sering
disajikan dalam bentuk karya seni baik seni sastra maupun seni pertunjukkan,
dan menurut pandangan masyarakat Jawa bahwa nilai sosial budaya dianggap
dapat membentuk bangunan dasar struktur sosial.

Kebudayaan Jawa mendapat gelar adihulung, sehingga sangat


berpengaruh di seluruh pelosok nusantara. Bahkan di kawasan regional Asia
Tenggara, kebudayaan Jawa menempati posisi yang sangat vital. Penyebaran
orang Jawa di berbagai benua pasti membawa tradisi dan adat istiadatnya. Oleh
karena itu, kebudayaan Jawa secara aktif menyesuaikan diri dengan arus
globalisasi. Hal ini ditandai dengan adanya pergaulan yang kosmopolit dalam
percaturan internasional (Suseno, 1988: 94).

Tanah Jawa yang terkenal sebagai negeri yang gemah ripah loh jinawi
didukung oleh tanahnya yang sangat subur. Topografi yang relatif datar dan
penduduknya yang terdidik, serta seni Jawa yang edi peni membuat tanah Jawa
senantiasa menjadi impian bagi seluruh penduduk dunia. Dalam konteks histori
ini, tanah Jawa menjadi pusat diplomasi luar negeri bagi seluruh penduduk
nusantara. Dari interaksi lokal ini merambah kawasan nasional, regional dan
internasional. Benua Eropa, Australia, Amerika, Afrika, dan Asia, semuanya
terpesona dengan keelokan tanah Jawi. Ketika nusantara dipersatukan kembali
dalam Kesatuan Republik Indonesia, orang-orang Jawa terdepan dalam
kepemimpinan nasional. Ciri keterpimpinan Kesatuan Republik Indonesia
terpengaruh dengan gaya kepemimpinan Jawa.

32
Dalam rangka memajukan kebudayaan nasional, budaya Jawa
memberikan sumbangsih yang sangat besar sekali maknanya. Misalnya saja
semboyan Negara Bhinneka Tunggal Ika, dirangkai oleh Empu Tantular,
seorang pujangga Istana Majapahit pada abad ke-13 M.

Kebudayaan Jawa juga terbentuk di Surakarta karena merupakan


daerah Kerajaan Keraton Kasunanan Surakarta, dimana berlaku nilai-nilai yang
berbeda. Sebagian dari nilai-nilai sosial tersebut tercantum dalam Serat
Wulangreh. Serat Wulangreh merupakan sekar macapat, yang terdiri dari 13
sekar. Dalam sekar tersebut dapat dibagi menjadi berbagai masalah pokok
seperti: soal guru dan berguru, soal pergaulan dan perbuatan, kaprayitan
(kewaspadaan), soal kebaktian, soal pantangan yang bersifat umum, hubungan
keluarga, soal menerima kodrat, soal mengenal diri, dan ambeng kautaman
(Ageng Pangestu Rama, 2007: 359).

2. Pariwisata

a. Pengertian Pariwisata

Ditinjau secara etimologi kata “pariwisata” berasal dari bahasa


sansekerta yaitu “pari” yang berarti banyak dan “wisata” yang berarti
perjalanan atau berpergian. Atas dasar itulah kata “pariwisata” diartikan
sebagai perjalanan yang dilakukan berkali-kali atau berputar-putar dari suatu
tempat ke tempat lainnya yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan kata
“tour”.

Menurut Salah Wahab pariwisata merupakan salah satu jenis industri


baru yang mampu mempercepat pertumbuhan ekonomi dan penyediaan
lapangan kerja, peningkatan penghasilan, standar hidup serta menstimulasi
sektor-sektor produktif lainnya. Selanjutnya, sebagai sektor yang komplek,
pariwisata juga merealisasi industri-industri klasik seperti industri kerajinan

33
tangan dan cinderamata, penginapan, dan transportasi (Salah Wahab, 1975:
55).

Pengertian Kepariwisataan menurut Undang-undang Nomor 9 Tahun


1990 pada bab I pasal 1, bahwa kepariwisataan adalah segala sesuatu yang
berhubungan dengan penyelenggaraan pariwisata, artinya semua kegiatan dan
urusan yang ada kaitannya dengan perencanaan, pengaturan, pelaksanaan, dan
pengawasan pariwisata, baik yang dilakukan oleh pemerintah, pihak swasta,
dan masyarakat.

Para ahli pariwisata memberikan pengertian pariwisata adalah


sejumlah hubungan-hubungan dan gejala-gejala yang dihasilkan dari
tinggalnya orang-orang asing, asalkan tinggalnya mereka ini tidak
menyebabkan timbulnya tempat tinggal serta usaha-usaha yang bersifat
sementara atau permanen sebagai usaha mencari kerja penuh. Pariwisata juga
bisa diartikan sebagai perjalanan dari suatu tempat ke tempat lain, bersifat
sementara, dilakukan secara perorangan maupun kelompok, sebagai usaha
untuk mencari keseimbangan atau keserasian dan kebahagiaan dengan
lingkungan hidup dalam dimensi sosial, budaya, alam, dan ilmu
(http://www.kesimpulan.co.cc/2009/04/kebijakan kepariwisataan, 3 Juli ’09:
12.45).

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulan bahwa pariwisata


adalah suatu perjalanan yang dilakukan untuk sementara waktu, yang
diselenggarakan dari suatu tempat ke tempat lain, dengan maksud bukan untuk
berusaha (bussines) atau mencari nafkah di tempat yang dikunjungi, tetapi
semata-mata untuk menikmati perjalanan tersebut guna pertamasyaan dan
rekreasi atau untuk memenuhi keinginan yang beraneka ragam.

b. Jenis dan macam pariwisata

34
Sesuai dengan potensi yang dimiliki atau warisan yang ditinggalkan
nenek moyang pada suatu negara, maka timbullah bermacam-macam jenis
pariwisata yang dikembangkan sebagai kegiatan, yang lama-kelamaan
mempunyai cirinya sendiri. Untuk keperluan perencanaan dan pengembangan
kepariwisataan itu sendiri, perlu pula dibedakan antara pariwisata dengan jenis
pariwisata jenis lainnya, karena dengan demikian akan dapat ditentukan
kebijakan apa yang akan dapat mendukung, sehingga jenis dan macam
pariwisata yang dikembangkan dapat terwujud seperti apa yang diharapkan.

Ditinjau dari segi ekonomi, pengelompokan tentang jenis pariwisata


dianggap penting, karena dengan cara itu dapat menentukan berapa penghasilan
devisa yang diterima dari suatu macam pariwisata yang dikembangkan di suatu
tempat atau daerah tertentu. Di lain pihak, pengelompokan ini juga sangat
berguna untuk menyusun statistik kepariwisataan atau untuk mendapatkan data
penelitian yang diperlukan dalam perencanaan selanjutnya di masa yang akan
datang. Jenis dan macam pariwisata antara lain :

1) Menurut letak geografis, dimana kegiatan pariwisata itu berkembang :


a) Pariwisata Lokal (Local Tourism)
Adalah pariwisata setempat, yang mempunyai ruang lingkup relatif
sempit dan terbatas dalam tempat-tempat tertentu saja.

b) Pariwisata Regional (Regional Tourism)


Yaitu kegiatan kepariwisataan yang berkembang di suatu tempat atau
daerah yang ruang lingkupnya lebih luas bila dibandingkan dengan
local tourism, tetapi lebih sempit jika dibandingkan dengan national
tourism.

c) Kepariwisataan Nasional (National Tourism)


(1) Kepariwisataan dalam arti sempit
Yaitu kegiatan kepariwisataan yang berkembang dalam wilayah
suatu negara atau dengan kata lain pariwisata dalam negeri, dimana

35
titik beratnya orang melakukan perjalanan wisata adalah warga
sendiri dan orang-orang asing yang berdomisili di negara tersebut.

(2) Kepariwisataan dalam arti luas

Yaitu kegiatan kepariwisataan yang berkembang di suatu wilayah


negara, selain kegiatan domestic tourism juga dikembangkan
foreign tourism. Jadi selain adanya lalu lintas wisatawan di dalam
negeri sendiri, juga ada lalu lintas wisatawan dari luar negeri.

d) Regional-international Tourism
Yaitu kegiatan kepariwisataan yang berkembang di suatu wilayah
internasional yang terbatas, tetapi melewati batas-batas lebih dari dua
atau tiga negara dalam wilayah tersebut. Misalnya kepariwisataan
ASEAN.

e) International Tourism
Pengertian ini sinonim dengan kepariwisataan dunia (world tourism),
yaitu kegiatan kepariwisataan yang berkembang di seluruh negara di
dunia.

2) Menurut pengaruhnya terhadap Neraca Pembayaran, dapat dibagi atas dua


jenis penting :
a) In Tourism atau pariwisata aktif
Yaitu kegiatan kepariwisataan yang ditandai dengan gejala pariwisata
aktif, berarti dapat memasukkan devisa bagi negara yang dikunjungi
karena akan memperkuat posisi neraca pembayaran negara yang
dikunjungi wisatawan tersebut.

b) Out Going atau pariwisata pasif


Yaitu kegiatan kepariwisataan yang ditandai dengan gejala keluarnya
warga negara sendiri bepergian ke luar negeri sebagai wisatawan.
Disebut sebagai pariwisata pasif, karena ditinjau dari segi pemasukkan
devisa negara, kegiatan ini merugikan negara asal wisatawan, karena

36
uang yang seharusnya dibelanjakan di dalam negeri dibawa ke luar
negeri. Pariwisata semacam ini jarang dikembangkan oleh suatu
negara.

3) Menurut alasan/tujuan perjalanan


a) Businnes Tourism
Yaitu jenis pariwisata dimana pengunjungnya datang untuk tujuan
dinas, usaha dagang, atau yang berhubungan dengan pekerjaannya,
kongres, seminar, conversation, dan musyawarah kerja.

b) Vacational Tourism
Yaitu jenis pariwisata dimana orang-orang yang melakukan perjalanan
wisata terdiri dari orang-orang yang sedang berlibur dan cuti.

c) Educational Tourism
Yaitu jenis pariwisata dimana pengunjung atau orang yang melakukan
perjalanan untuk tujuan studi atau mempelajari suatu bidang ilmu
pengetahuan.

4) Menurut saat atau waktu berkunjung


a) Seasonal Tourism
Yaitu jenis pariwisata yang kegiatannya berlangsung pada musim-
musim tertentu, termasuk di dalamnya adalah Summer Tourism atau
Wimter Tourism, yang biasanya ditandai dengan kegiatan olah raga.

b) Occational Tourism
Yaitu jenis pariwisata dimana perjalanan wisatanya dihubungkan
dengan kejadian (occusion) atau suatu event, misalnya Sekaten di
Solo.

5) Pembagian menurut obyeknya


a) Cultural Tourism
Yaitu jenis pariwisata dimana motivasi orang-orang untuk melakukan
perjalanan disebabkan karena adanya daya tarik atau seni budaya suatu

37
tempat atau daerah. Jadi, obyek kunjungannya adalah warisan nenek
moyang, benda-benda kuno.

b) Recuperational Tourism
Yaitu biasa disebut dengan pariwisata kesehatan, tujuannya adalah
untuk menyembuhkan suatu penyakit. Misalnya mandi di suatu sumber
air panas.

c) Commercial Tourism
Disebut dengan pariwisata perdagangan, karena perjalanan wisata ini
dikaitkan dengan kegiatan perdagangan nasional ataupun internasional.

d) Sport Tourism
Yaitu perjalanan orang-orang yang bertujuan untuk melihat atau
menyaksikan suatu pesta olah raga di suatu negara.

e) Political Tourism
Biasa disebut dengan pariwisata politik, yaitu suatu perjalanan yang
tujuannya melihat suatu peristiwa yang berhubungan dengan kejadian
suatu negara.

f) Social Tourism
Pariwisata sosial hendaknya jangan diasosiasikan sebagai suatu
pariwisata yang berdiri sendiri. Pengertian ini hanya dilihat dari segi
penyelenggaraannya yang tidak menekankan pada mencari keuntungan
saja.

g) Religion Tourism
Jenis pariwisata dimana tujuan perjalanan yang dilakukan adalah untuk
melihat atau menyaksikan upacara-upacara keagamaan. Misalnya naik
haji bagi yang beragama Islam (Oka A. Yoeti, 1996: 120).

Dari jenis dan macam pariwisata diatas dapat disimpulkan bahwa


pariwisata Keraton Kasunanan Surakarta merupakan jenis pariwisata budaya
(cultural tourism), di mana bila pengunjung datang pada saat yang pas atau

38
sedang ada event misalnya sekaten di Solo pariwisata ini bisa menjadi
occational tourism. Pariwisata di Keraton Kasunanan merupakan jenis
pariwisata aktif, karena mendatangkan devisa bagi pemerintah setempat.
Keraton Kasunanan selain dijadikan tempat berlibur, juga bisa menambah
pengetahuan tentang kesejarahannya sehingga bersifat education.

c. Manfaat Pariwisata

Pariwisata merupakan suatu industri yang terus berkembang dengan


baik di Indonesia maupun di dunia. Bagi negara-negara yang telah maju,
kepariwisataan merupakan bagian dari kebutuhan hidup. Kegiatan
kepariwisataan bahkan sudah merupakan aktivitas dan permintaan yang wajar
untuk dipenuhi. Adapun manfaat pariwisata antara lain :

1) Manfaat Ekonomi
a) Memperluas kesempatan kerja dan kesempatan berusaha. Usaha
kepariwisataan dengan segala kaitannya membutuhkann tenaga kerja
yang banyak sehingga bersifat padat karya sehingga sangat membantu
dalam memecahkan masalah pengangguran.
b) Memperbesar penerimaan devisa negara yang bersumber dari
pengeluaran wisatawan luar negeri karena itu dapat memperbaiki neraca
pembayaran negara.
c) Meningkatkan pendapatan masyarakat di daerah tujuan wisata (DTW)
yang berasal dari pengeluaran-pengeluaran yang dibelanjakan oleh para
wisatawan mancanegara maupun wisatawan nusantara.
d) Memperbesar pendapatan pemerintah pusat maupun daerah berupa pajak
termasuk bea cukai.
e) Memperbesar penanaman modal baik oleh pemerintah maupun oleh
swasta di berbagai sektor yang langsung berhubungan dengan
pembangunan sarana dan fasilitas kepariwisataan maupun yang
mendukung pembangunan kepariwisataan.

39
f) Meningkatkan produksi serta transaksi barang-barang guna memenuhi
kebutuhan yang timbul karena perjalanan dan kunjungan.
g) Meningkatkan kepariwisataan dan menumbuhkan usaha-usaha ekonomi
dalam kerangka pembangunan ekonomi nasional.
h) Mendorong pembangunan prasarana dan sarana terutama di daerah yang
tidak memiliki potensi ekonomi kecuali dengan diselenggarakannya
kegiatan kepariwisataan.
2) Manfaat sosial-budaya dan lingkungan hidup
a) Mendorong pemeliharaan pembangunan nilai-nilai budaya bangsa,
menghidupkan kembali seni tradisional yang hampir punah serta
meningkatkan mutu seni, baik seni tari, seni ukir, seni lukis maupun
seni budaya lainnya.
b) Menumbuhkan rasa kesatuan dan persatuan bangsa sebagai akibat
dikembangkannya pengenalan terhadap kekayaan budaya bangsa dan
tanah air.
c) Meningkatkan rasa penghargaan terhadap seni budaya sendiri.
d) Kontak-kontak langsung yang terjadi antara wisatawan dan masyarakat
yang dikunjunginya, sedikit banyak akan menghembuskan nilai hidup
baru dalam arti memperluas cakrawala pandangan pribadi terhadap nilai-
nilai kehidupan lain. Manusia akan belajar menghargai nilai-nilai orang
lain dan memperluas nilai-nilai pribadi, karena nilai pribadi yang ramah
merupakan daya tarik yang dihargai orang asing.
e) Pariwisata dapat mendorong terciptanya lingkungan hidup yang serasi
dan harmonis, oleh karena itu wisatawan yang mempunyai tujuan pokok
untuk rekreasi, menginginkan suatu lingkungan yang menimbulkan
suasana baru dari kejenuhan kehidupan mereka sehari-hari (Oka A.
Yoeti, 1996: 79).

d. Obyek Wisata

40
Obyek wisata yaitu segala sesuatu yang menjadi daya tarik bagi orang
untuk mengunjungi suatu daerah tertentu. Menurut Marriotti seperti dikutip
Oka A. Yoeti (1996 : 174) ada hal-hal yang dapat menarik orang untuk
berkunjung ke suatu tempat daerah tujuan wisata, diantaranya adalah :

1) Benda-benda yang tersedia dan terdapat di alam semesta yang bersifat


alamiah. Misalnya iklim, bentuk tanah dan pemandangan, hutan belukar,
flora dan fauna, kawah, sungai, karang dan ikan di bawah laut, gua-gua,
tebing, lembah, dan gunung
2) Hasil cipta manusia meliputi :
a) Monumen bersejarah dan sisa peradapan masa lampau. Keraton
kasunanan merupakan jenis ini.
b) Museum, galeri seni, perpustakaan, kesenian rakyat.
c) Acara tradisional, pameran, festival, upacara naik haji, dan upacara
perkawinan.
d) Rumah-rumah beribadah seperti masjid, kuil, candi dan pura.
3) Tata cara hidup masyarakat misalnya bagaimana kebiasaan hidup suatu
masyarakat dan adat-istiadatnya.

e. Wisatawan

Suatu daerah pariwisata akan hidup atau mengalami perkembangan


jika di daerah wisata tersebut terdapat wisatawan. Banyak atau sedikitnya
wisatawan yang berkunjung dapat menjadi indikator bagus tidaknya suatu
tempat wisata. Wisatawan merupakan pengunjung sementara yang tinggal
sekurang-kurangnya 24 jam di negara yang dikunjungi dan tujuan
perjalanannya dapat digolongkan sebagai berikut :

1) Pesiar yaitu untuk keperluan rekreasi, liburan, kesehatan, studi,


keagamaan, dan olah raga.
2) Hubungan dagang, sanak keluarga, handai taulan, konferensi- konferensi,
dan misi.

41
Pelancong ialah pengunjung sementara yang tinggal di negara yang
dikunjungi kurang dari 24 jam (termasuk pelancong dalam perjalanan kapal
pesiar) (Oka . A yoeti, 1996: 134). Dalam prakteknya terdapat banyak batasan
mengenai apa yang dimaksud dengan “wisatawan”. Dalam Intruksi Presiden
No. 9/1969 dinyatakan bahwa wisatawan adalah setiap orang yang berpergian
dari tempat tinggalnya untuk berkunjung ke tempat lain dengan menikmati
perjalanan dari kunjungan itu.

Dari sudut pandang ekonomi negara penerima wisatawan, wisatawan


internasional dapat dibagi menjadi 2 kategori :

1) Yang benar-benar wisatawan (holiday makers) yang mengadakan perjalanan


untuk kesenangan,
2) Yang datang untuk keperluan usaha atau pekerjaan (business), studi, dan
misi.
Dalam prakteknya, keduanya adalah konsumen dan pembawa devisa.
Yang perlu diperhatikan ialah bahwa mereka tidak melakukan kegiatan
yang bersifat produktif di negara yang dikunjunginya, serta tidak pula
melakukan pekerjaan yang mendapatkan bayaran. Dengan kata lain, uang yang
mereka belanjakan tidak diperoleh dan bukan berasal dari negara yang
dikunjungi (Oka . A yoeti, 1996: 185).

Banyak orang asing yang berdatangan ke suatu negara, tapi mereka


belum tentu sedang dalam keadaan wisata. Sebagian dari mereka ada yang
bekerja dan yang berwisata. Orang asing yang bisa dianggap sebagai
wisatawan, mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

1) Mereka yang mengadakan perjalanan untuk kesenangan karena alasan


keluarga, kesehatan, dan rekreasi.
2) Mereka yang mengadakan perjalanan untuk keperluan perternuan-
perternuan atau karena tugas-tugas tertentu (ilrnu pengetahuan, tugas
pemerintahan, diplomasi, agama, dan olah raga)
3) Mereka yang mengadakan perjalanan dengan tujuan usaha.

42
4) Mereka yang datang dalam rangka perjalanan dengan kapal laut walaupun
tinggal di suatu negara kurang dari 24 jam (Oka A. Yoeti, 1985: 147).
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa wisatawan adalah
setiap orang yang melakukan perjalanan dari tempat tinggalnya ke tempat lain
dengan menikmati perjalanan dan kunjungannya itu, baik dengan tujuan
berwisata ataupun bekerja.

Berdasarkan sifat perjalanannya dan lokasi di mana perjalanan wisata


dilakukan, wisatawan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1) Wisatawan Asing (Foreign Tourist) adalah orang asing yang melakukan


perjalanan wisata, yang datang memasuki suatu negara lain yang bukan
merupakan negara di mana biasanya tinggal. Wisatawan asing disebut juga
wisatawan mancanegara atau disingkat Wisman.
2) Domestic Foreign Tourist adalah orang asing yang berdiam atau bertempat
tinggal di suatu negara karena tugas, dan melakukan perjalanan wisata di
wilayah negara di mana ia tinggal. Misalnya, staf kedutaan Belanda yang
mendapat cuti tahunan dan tidak pulang ke Belanda, melainkan melakukan
perjalanan wisata di Indonesia (tempat bertugas).
3) Wisatawan Domestik (Domestic Tourist) ialah seorang waga negara suatu
negara yang melakukan perjalanan wisata dalam batas wilayah negaranya
sendiri tanpa melewati perbatasan negaranya. Misalnya, warga negara
Indonesia yang melakukan perjalanan ke Bali atau Danau Toba. Wisatawan
ini disebut juga wisatawan dalam negeri atau wisatawan nusantara (Wisnu).
4) Indigenous Foreign Tourist merupakan warga negara suatu negara tertentu
yang karena tugasnya atau jabatannya berada di luar negara asalnya dan
melakukan perjalanan wisata di wilayah negaranya sendiri. Misalnya, warga
negara Perancis yang bertugas sebagai konsultan di perusahaan asing di
Indonesia, ketika liburan ia kembali ke Perancis dan melakukan perjalanan
wisata di sana. Jenis wisatawan ini merupakan kebalikan dari Domestic
Foreign Tourist.

43
5) Transit Tourist adalah wisatawan yang sedang melakukan perjalanan ke
suatu negara tertentu, yang terpaksa mampir atau singgah pada suatu
peiabuhan/airport/stasiun bukan atas kemauannya sendiri.
6) Business Tourist adalah orang yang melakukan perjalanan untuk tujuan
bisnis, bukan wisata, tetapi perjalanan wisata dilakukannya setelah tujuan
utamanya selesai. Jadi, perjalanan wisata merupakan tujuan sekunder, yaitu
setelah tujuan primer (bisnis) selesai (Oka .A Yoeti, 1996: 143).

3. Keraton

a. Pengertian Keraton

Menurut Purwodarminto (1976: 489) dalam Kamus Besar Bahasa


Indonesia Keraton diartikan sebagai istana raja, kerajaan. Kata keraton berasal
dari kata dasar ( Jawa : Lingga ) “Ratu” ditambah awalan “Ka” dan akhiran “an”
menjadi “Ka-ra-tu-an”. Kemudian dipercepat pengucapanya menjadi karaton
yang berarti tempat tinggal atau kediaman resmi ratu atau raja dengan
keluarganya (Sri Winarni, 2004 : 26).

Berdasarkan istilah tersebut Sri Winarni menjelaskan keraton menjadi


dua pengertian yaitu :

1) Keraton berarti rumah atau tempat tinggal ratu. Dalam pengertian ini keraton
sama dengan istana (Palace)
2) Keraton berarti negara (nagari) yaitu daerah atau wilayah tertentu yang
diperintahkan oleh ratu. Dalam pengertian ini kraton sama denngan kerajaan
(Kingdom)
Berdasarkan pandangan Orang Jawa, kraton berasal dari kata
“karatyan” atau “keraton” yang umum disebut sebagai kedhaton, pura, atau puri
yang merupakan tempat raja bermukim (W.D. Miranti, 2003 : 13). Menurut
Darsiti Soeratman (1989 : 1) istilah keraton menunjukan tempat kediaman ratu
atau raja, yang mempunyai beberapa makna : (1) Berarti negara atau kerajaan,

44
(2) Berarti pekarangan raja yang meliputi wilayah dalam ceputi (tembok yang
mengelilingi halaman) Baluwarti, (3) Pekarangan raja meliputi wilayah di dalam
ceputi ditambah alun-alun.

Keraton merupakan bangunan yang unik berukuran luas dengan


struktur bangunan yang bersifat khusus. Keraton adalah tempat suci raja, oleh
karena itu penguasa tradisional lainnya, misalnya Kadipaten tidak diperkenakan
duduk di “dhampar” atau singgasana raja, jadi keraton merupakan tempat
kedudukan khusus raja (Darsiti Soeratman,1989: 1). K.M Tanjung (2005 : 10)
juga mengatakan bahwa istilah keraton merupakan kediaman ratu atau raja yang
meliputi tempat tinggal (kedhaton) dengan halaman atau pekarangan yang
dibatasi pagar atau tembok cepuri Baluwarti.

Beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa keraton adalah


pekarangan raja yang meliputi wilayah di dalam cepuri (tembok yang
mengelilingi keraton) Baluwarti dan alun-alun, yang dihuni oleh raja atau ratu
bersama keluarganya dengan bangunan-bangunan tempat pangeran dan para
bangsawan tinggal dan bekerja.

b. Fungsi Keraton

Dahulu Keraton Surakarta merupakan sebuah negara (nagari) yang


memiliki susunan asli pemerintahan sendiri (otonomi), meliputi daerah atau
wilayah tertentu dan rakyat (kawula alit) tertentu. Keraton Surakarta telah ada
jauh sebelum berdirinya Negara Republik Indonesia yaitu sebagai negara yang
mempunyai pemerintahan sendiri (berdaulat) yang dikepalai oleh seorang raja
dengan sistem pemerintahan yang bersifat turun-temurun. Sebelum Indonesia
merdeka, Keraton Surakarta memiliki pemerintahan sendiri yang sering dikenal
dengan “swapradja” (atau pemerintahan sendiri) atau di dalam Bahasa Belanda

45
dikenal dengan istilah “verstandland” (daerah kekuasaan raja). Dengan
demikian Keraton Surakarta merupakan peninggalan kenegaraan asli Indonesia

Pada tahun 1746 Keraton Surakarta didirikan oleh Pakubuwono II


untuk dijadikan pengganti Keraton Kartasura yang telah hancur karena serangan
musuh yang semula adalah pusat Kerajaan Mataram. Setelah mendiami Keraton
selama 3 tahun Paku Buwono wafat (1749) dan penggantinya memerintah
sebagai raja sampai tahun 1755. Dengan demikian, selama 9 tahun Keraton
Surakarta berkedudukan sebagai pusat Kerajaan Mataram (Darsiti Soeratman,
1989 : 1).

Sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, Keraton


Surakarta merupakan sebuah lembaga masyarakat yang berdasarkan pada ikatan
kekeluargaan dan kekerabatan dari trah Mataram yang memiliki hubungan
darah atau keturunan Susuhunan sebagai pengayom atau pelindung kerabat
Keraton serta pengemban budaya Jawa (Sri Winarti 2004: 52). Setelah merdeka
17 Agustus 1945 maka lahirlah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ikut
mempengaruhi keberadaan Keraton Surakarta. Mulai tanggal 5 Juni 1947 distrik
Surakarta termasuk Keraton Surakarta menjadi bagian dari Republik Indonesia.
Sejak itu Keraton dengan segala aparaturnya sudah tidak lagi memiliki
kekuasaan politik, berbeda dengan yang dahulu bahwa Keraton merupakan
sebuah Negara (Jawa : Nagari) yang bernama Nagari Surakarta Hadiningrat
yang berfungsi layaknya sebuah negara.

Adapun fungsi keraton menurut Sri Winarni (2004 : 28) adalah


sebagai berikut :

1) Sebagai wahyu ratu, sumber budaya Jawa atau peninggalan kebudayaan


leluhur ratu Jawa.
2) Sebagai wujud atau bentuk peninggalan sejarah.
3) Sebagai bentuk asli Negara Indonesia yang memiliki tata susunan asli kultur
Jawa yang diperintah oleh raja Jawa secara turun-temurun dan menjadi pusat
pemerintahan.

46
4) Sebagai tempat tinggal atau kediaman resmi ratu Jawa beserta kerabat atau
keluarganya
Kota Surakarta sebelum perang dunia ke II pernah terbagi menjadi
dua wilayah yang dipisahkan oleh rel kereta api jurusan Wonogiri. Rel tersebut
hingga sekarang masih ada dan terletak di jalan Slamet Riyadi. Di sebelah
selatan rel masuk wilayah Keraton Surakarta dan di sebelah utara rel masuk
daerah Kadipaten Mangkunegaran yang berdiri sejajar dengan Kasunanan (Heru
Suharno, 1994: 15).

Bangunan Keraton sebagai situs budaya dapat digunakan sebagai


sumber pembelajaran sejarah karena kedua bengunan itu mengandung nilai
historis (K.M Tanjung. 2005 : 4). Nilai-nilai historis dapat berupa latar belakang
penelitian sejarah yang berkaitan dengan hal-hal yang nampak sebagai
peninggalan sejarah tersebut (I Gede Widja, 1989: 22). Latar belakang sejarah
juga mendapat perhatian dari guru sejarah karena disinilah unsur-unsur
inspiraktif atau edukatif bisa diungkap. Dalam penelitian ini Keraton berfungsi
sebagai tempat pariwisata budaya atau cultural tourism.

47
B. KERANGKA BERFIKIR

Kerangka berfikir merupakan alur penalaran yang didasarkan pada


masalah penelitian yang digambarkan dengan skema secara holistik dan
sistematik. Kerangka berfikir dalam penilitian ini adalah sebagai berikut :

Kebudayaan
Jawa

Keraton
Kasunanan

Peningkatan
pendapatan asli
Pengemban Wisatawan daerah dan
Pariwisata gan meningkat upaya
pariwisata pelestarian

Gambar 1. Bagan Kerangka Berfikir

Keterangan :
Kebudayaan Jawa adalah segala sesuatu yang bersangkutan atau
berhubungan dengan budi dan akal pikiran yang menciptakan suatu peradaban
yang berkembang di Jawa. Kebudayaan Jawa juga terbentuk di Surakarta karena
daerah ini merupakan daerah Keraton Kasunanan Surakarta, yang merupakan

48
pusat pemerintahan saat Kerajaan Mataram, dari keraton inilah muncul suatu
kebudayaan yang lahir menjadi sebuah peradaban bagi daerah dan masyarakat
sekitar.

Pada era sekarang Keraton Kasunanan Surakarta bukan lagi menjadi


pusat pemerintahan melainkan hanya sebagai simbol kekuasaan raja saja.
Keraton Kasunanan Surakarta memiliki nilai kesejarahan, nilai estetika, nilai
etika dan nilai edukatif yang memadai. Hal itulah yang menyebabkan
Pemerintah Kota Solo mengembangkan Keraton Kasunanan Surakarta bukan
saja hanya sebagai simbol kekuasaan raja tetapi juga dibentuk sebagai tempat
wisata yang memiliki berbagai kelebihan. Hal ini diwujudkan dengan
membangun fasilitas-fasilitas yang mendukung pariwisata keraton. Hal ini
dilakukan agar wisatawan tertarik untuk mengunjungi Keraton Kasunanan
Surakarta.

Kunjungan wisatawan ini akan mengakibatkan beberapa dampak yang


saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya, baik dari segi ekonomi, sosial,
dan budaya. Misalnya, kunjungan wisatawan mempunyai dampak ekonomi
kepada daerah tujuan wisata yang didatangi, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Dampak langsung adalah dengan adanya kunjungan wisatawan, maka
akan menciptakan permintaan terhadap fasilitas-fasilitas yang berkaitan dengan
jasa industri pariwisata seperti hotel/losmen, rumah makan, sarana
angkutan/travel biro dan jenis hiburan lainnya. Dampak tidak langsung adalah
perkembangan di bidang pariwisata akan meningkatkan juga bidang-bidang
lainnya. Kehidupan sosial daerah sekitar wisata Keraton Kasunanan akan terasa
kental norma-norma yang berlaku. Dalam kehidupan budaya, masyarakat sekitar
lebih open minded terhadap karakteristik manusia, karena karakteristik setiap
wisatawan berbeda-beda

Pariwisata Keraton dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah


(PAD) Kota Solo secara otomatis. Apabila PAD tinggi maka kesejahteraan
warga Solo juga akan mengalami peningkatan, selain itu juga pariwisata ini

49
menjadi salah satu cara untuk menjaga kelestarian budaya, karena dengan PAD
yang meningkat maka pemerintah juga akan memiliki anggaran tersendiri untuk
melakukan perbaikan di Keraton Kasunanan Surakarta.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Pelaksanaan


1. Tempat Penelitian
Tempat atau lokasi pelaksanaan yang berkaitan dengan sasaran atau
permasalahan penelitian juga merupakan salah satu jenis sumber data yang bisa
dimanfaatkan oleh peneliti (H.B. Sutopo, 2002 : 52). Sumber tempat yang
dimaksud adalah tempat dimana penelitian dilaksanakan. Dalam penelitian ini
peneliti mengambil lokasi di sekitar lingkungan Keraton Kasunanan Surakarta.
Dari pemahaman lokasi dan lingkungannya peneliti bisa secara cermat mencoba
mengkaji dan secara krirtis menarik kemungkinan kesimpulan yang berkaitan
dengan permasalahan penelitian
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan sejak disetujuinya judul skripsi ini, yaitu
November 2008 sampai dengan November 2009.
Tabel 1. Waktu Penelitian
No Jenis Kegiatan Bulan
2008 2009
Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Juli Agus Okt Nov
1 Persiapan
a.Pengajuan judul x
b. Penyusunan Prop. x

50
c. Permohonan izin X
d.Membuat instrumen X
2 Pelaksanan Penelitian
a. Pengumpulan data x x x x x
b. Analisis data x x x x x
c. kesimpulan x
3 Penyusunan laporan x x

B. Bentuk dan Strategi Penelitian


1. Bentuk penelitian
Bentuk penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif.
Penelitian kualitatif yaitu penelitian yang menghasilkan karya ilmiah yang
menggunakan data deskriptif yang berupa kata-kata tertulis atau lisan dengan
orang-orang atau perilaku yang dapat diamati terhadap status kelompok orang
atau manusia, suatu obyek, dan suatu kelompok kebudayaan (Lexy J. Moleong
1991:3). Metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah
yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subyek atau
obyek penelitian (seseorang, lembaga, dan masyarakat) pada saat sekarang
berdasarkan pada fakta-fakta yang tampak (Hadari Nawawi, 1995:63).
Adapun ciri-ciri pokok dari metode deskriptif adalah (a) memusatkan
perhatian pada masalah-masalah yang ada pada saat penelitian dilakukan (saat
sekarang) atau masalah-masalah yang aktual, (b) menggambarkan fakta-fakta
tentang masalah yang diselidiki, diiringi dengan interpretasi nasional (Hadari
Nawawi, 1995:64). Pada penelitian kualitatif, teori dibatasi pada pengertian: suatu
pernyataan sistematis yang berkaitan dengan seperangkat proporsi yang berasal
dari data dan diuji kembali secara empiris (Lexy J. .Moelong, 1991: 9). Dari
pernyataan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa penelitian deskriptif
kualitatif merupakan suatu cara dalam meneliti peristiwa masa sekarang dengan
mendasarkan pada suatu teori yang diujikan kembali dan menghasilkan data-data
deskriptif yang berupa kata-kata tertulis atau lisan orang-orang tertentu atau
perilaku yang diamati dengan menggunakan langkah-langkah tertentu.

51
2. Strategi penelitian
Ditinjau dari inti masalah yang diselidiki, teknik, alat yang digunakan,
serta tempat dan waktu penelitian yang dilakukan, penelitian deskriptif kualitatif
terdiri atas beberapa jenis dan diantaranya adalah studi kasus. Studi kasus
merupakan strategi penelitian yang fokus permasalahanya terletak pada fenomena
kontemporer (masa kini) di dalam konteks kehidupan nyata, dimana batasan
antara fenomena dengan konteks tersebut tidak jelas, sehingga perlu banyak
sumber-sumber fakta (Robert.K.Yin, 2000)
Moh.Nazir (1983:66) berpendapat studi kasus atau penelitian kasus (case
study) adalah penelitian tentang status subyek penelitian dan yang dimaksud
dengan etnografis adalah usaha untuk menguraikan kebudayaan atau aspek-aspek
kebudayaan.
Strategi peneltian yang digunakan adalah studi kasus terpancang tunggal.
Menurut Yin penelitian studi kasus adalah suatu penelitian yang menyelidiki
sebuah fenomena aktual yang terjadi dalam konteks kehidupan, sehingga
diperlukan banyak sumber-sumber fakta (Robert.K.Yin, 1987 : 23). Penelitian ini
menggunakan studi kasus karena penelitian ini mengkaji mengenai
pengembangan pariwisata yang dilakukan terhadap Keraton Kasunanan Surakarta,
serta pengaruh atau manfaat yang ditimbulkan dari pengembangan pariwisata
tersebut terhadap masyarakat di sekitarnya. Menurut Hermawan Wasito (1993:70)
dalam studi kasus, penelitian dilakukan terhadap satu aspek tertentu yang telah
ditentukan. Menggunakan studi kasus terpancang karena variabel yang menjadi
permasalahan telah ditentukan terlebih dahulu oleh peneliti. Terpancang tunggal
karena dalam penelitian ini peneliti terarah pada satu karakteristik, artinya
penelitian ini hanya dilakukan pada satu sasaran. Sasaran penelitian adalah
meneliti kegiatan kepariwisataan di Keraton Kasunanan Surakarta. Menurut
Sutopo pada penelitian terpancang peneliti sudah memilih dan menentukan
variabel yang menjadi fokus utamanya sebelum memasuki lapangan studinya
(Sutopo, 2002:112). Dalam penelitian ini sasaran yang akan diteliti sudah
ditentukan sebelum peneliti terjun ke lapangan dengan mengambil aspek yaitu

52
lingkungan Keraton Kasunanan Surakarta yang terletak di Kelurahan Baluwarti,
Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Surakarta, Propinsi Jawa Tengah.

C. Sumber Data
Sumber data merupakan bagian yang sangat penting bagi peneliti karena
ketepatan memilih dan menentukan jenis sumber data akan menentukan ketepatan
dan kekayaan data atau informasi yang diperoleh (H.B Sutopo, 2002:102).
Menurut Suharsini Arikunto (1993:102) yang dimaksud dengan sumber data
dalam peneltian adalah subyek dari mana data diperoleh. Adapun sumber data
yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :

1. Informan
Informan merupakan sumber data yang sangat penting karena bisa
menjadi sumber data primer dengan segala informasi yang dimilikinya. Informan
adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan
kondisi penelitian (Lexy J. Moloeng, 2002:62). Informan-informan yang menjadi
sumber data dalam penelitian ini adalah :
a. Pengelola Keraton Kasunanan Surakarta.
b. Pejabat terkait di lingkungan Dinas Pariwisata dan BAPPEDA Kota Surakarta.
c. Pejabat terkait di lingkungan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Propinsi
Jawa Tengah.
d. Masyarakat sekitar keraton.
e. Wisatawan yang terdiri dari domestik dan foreign.

2. Tempat dan Peristiwa


Informan merupakan sumber data penting, tetapi tempat dan peristiwa
yang terjadi di dalam dan di sekitarnya juga mempunyai peran yang sangat
penting. Tempat dalam penelitian ini adalah bangunan Keraton Kasunanan
Surakarta dan benda-benda yang ada di dalamnya, sedang peristiwa yang
dimaksud merupakan peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam Keraton Surakarta

53
dan sekitarnya yang ada kaitannya dengan permasalahan penelitian, misalnya ada
acara Grebeg Maulud dan Tingalan Jumenengan PB XII.

3. Dokumen
Dokumen atau arsip merupakan bahan tertulis yang dapat digunakan
sebagai sumber data untuk memperoleh informasi tentang situasi dan kondisi pada
masa lampau yang sangat berkaitan erat dengan kondisi peristiwa yang saat ini
sedang dipelajari. Menurut Lexy J. Moloeng (2002:178) dokumen resmi terbagi
dalam dokumen internal dan dokumen eksternal. Dokumen internal berupa memo,
pengumuman, instruksi, aturan suatu lembaga masyarakat tertentu yang
digunakan dalam kalangan sendiri. Dokumen eksternal berisi bahan-bahan
informasi yang dihasilkan oleh suatu lembaga sosial, misalnya majalah, buletin,
berita yang disiarkan kepada media massa. Dalam dokumen juga terdapat
beragam gambar yang berkaitan dengan aktifitas dan kondisi yang diperlukan
sehingga bisa dimanfaatkan sebagai sumber data. Gambar bisa berupa gambar apa
saja yang memang berkaitan dengan masalah yang dikaji.
Dalam penelitian ini dokumen dan arsip yang akan digunakan adalah
berupa dokumen dan arsip yang ada di Dinas Pariwisata, BAPPEDA Kota
Surakarta, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Propinsi Jawa Tengah serta
buku-buku yang ada kaitannya dengan permasalahan penelitian ini yang diperoleh
dari perpustakaan. Gambar digunakan sebagai sumber data adalah gambar peta
Kota Surakarta dan gambar berupa foto-foto dari Keraton Kasunanan Surakarta
serta foto dari lingkungan di sekitar Keraton Kasunanan Surakarta.

D. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini merupakan cara-cara
yang ditempuh peneliti untuk memperoleh data yang diperlukan sehingga data-
data yang dipergunakan menjadi sempurna dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan adalah :
1. Observasi

54
Teknik observasi digunakan untuk mendapatkan data-data dari sumber
data berupa peristiwa, tempat atau lokasi, benda, dan rekaman gambar. Menurut
Hadari Nawawi (1995:100), observasi adalah pengamatan dan pencatatan secara
sistematik terhadap gejala yang tampak terhadap obyek penelitian. Spradly (1980)
dalam H.B Sutopo (2002:65) menjelaskan bahwa pelaksanaan teknik dalam
observasi dibagi menjadi dua yaitu : (1) Observasi tak berperan sama sekali,
dimana kehadiran peneliti sama sekali tidak diketahui oleh subyek yang diamati,
(2) Observasi berperan, dimana peneliti mendatangi tempat atau lokasi penelitian
dan kehadirannya diketahui oleh yang diamati. Observasi berperan dibedakan lagi
menjadi tiga yaitu : (1) Observasi berperan pasif, dimana peneliti hanya
mendatangi lokasi tetapi sama sekali tidak berperan sebagai apapun selain sebagai
pengamat pasif namun hadir dalam konteksnya, (2) Observasi berperan aktif,
peneliti mengambil studi di lokasi dan juga mengambil bagian nyata dalam
kegiatan yang ditelitinya disamping terlibat dalam percakapan atau menyimak apa
yang dibicarakan oleh sasaran pengamatan, (3) Observasi berperan penuh, peneliti
memiliki peran penuh, peneliti benar-benar terlibat dalam kegiatan yang
ditelitinya.
Dari berbagai teknik yang ada, dalam penelitian ini digunakan teknik
observasi berperan aktif, karena peneliti terlibat dalam percakapan, menyimak apa
yang dibicarakan mengenai sasaran pengamatan, serta mencatat dan
mengumpulkan keterangan-keterangan yang diperoleh dalam obyek penelitian.

2. Wawancara
Teknik wawancara merupakan teknik yang paling banyak digunakan
dalam penelitian kualitatif, terutama di lapangan. Menurut Lexy .J. Moleong
(2002:135) wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan
oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan
dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan
tersebut. Wawancara harus dilakukan dengan efektif, artinya dalam waktu
sesingkat-singkatnya dapat diperoleh data sebanyak-banyaknya (Suharsimi,
Arikunto 1993:198).

55
Sebelum mengadakan wawancara, maka diadakan persiapan dengan
menghubungi informan dan menyusun sejumlah pertanyaan atau yang disebut
teknik wawancara terencana yaitu teknik wawancara dengan terlebih dahulu
mempersiapkan daftar pertanyaan dengan menggunakan bantuan alat tulis
(Koentjoroningrat 1983:138).
Hal tersebut bertolak belakang dengan anggapan H.B Sutopo wawancara
dalam penelitian kualitatif dilakukan secara tidak terstruktur atau sering disebut
dengan teknik wawancara mendalam, sehingga wawancara bersifat “open-ended”
dan mengarah kedalaman informasi, serta dilakukan dengan cara yang tidak
secara formal terstruktur, guna menggali pandangan subyek yang diteliti tentang
banyak hal yang sangat bermanfaat untuk menjadi dasar bagi penggalian
informasinya secara lebih jauh dan mendalam. Dalam hal ini posisi subjek lebih
berperan sebagai informan daripada responden (H.B Sutopo 2002:59).
Peneliti memutuskan untuk menggunakan teknik wawancara bebas
terbuka sehingga informan dengan sukarela memberikan keterangan-keterangan
sesuai dengan masalah yang diteliti. Tanpa harus kehilangan benang merah antara
judul penelitian dengan hasil wawancara.

3. Analisis Dokumen
Analisis dokumen adalah suatu penelitian yang bermaksud untuk
mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan bermacam-macam materi
yang terdapat dalam arsip dan dokumen. Menurut Yin (1987) dalam H.B Sutopo
(2002:70) analisis dokumen disebut sebagai content analysis, yaitu bahwa peneliti
bukan sekedar mencatat isi penting yang tersurat dalam dokumen atau arsip, tetapi
juga maknanya yang tersirat.
Oleh karena itu dalam hal ini peneliti harus bersikap lebih kritis dan
teliti. Teknik analisis arsip dan dokumen ini dilakukan paling awal guna melihat
dan menghimpun pengetahuan tentang sumber yang menuliskan dan membahas
mengenai upaya pengembangan yang dilakukan terhadap kepariwisataan Keraton
Kasunanan Surakarta, hal ini dimaksudkan agar dalam penyajian laporan akhir
tidak mengalami kesulitan karena apa yang tercantum dalam dokumen atau arsip

56
yang ada setidaknya tidak menyimpang jauh dari peristiwa yang menjadi obyek
penelitian.
Dalam penelitian ini analisis dokumen dilakukan dengan mneganalisa
peta, data-data dari dinas yang terkait dengan penelitian ini, serta buku-buku yang
berhubungan dengan masalah yang sedang diteliti.

E. Teknik Sampling
Dalam penelitian yang berjudul Pengembangan Pariwisata di Keraton
Kasunanan Surakarta Dan Pengaruhnya Bagi Masyarakat Sekitar
menggunakan teknik sampling yaitu suatu teknik yang digunakan untuk memilih
orang yang akan dijadikan informan. Menurut H.B Sutopo (2002:55) teknik
sampling adalah suatu bentuk khusus atau suatu proses yang umum dalam
memfokuskan atau pemilihan dalam riset yang mengarah pada seleksi.

Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini bersifat purposive


sampling atau sampling bertujuan. Dalam hal ini peneliti memilih informan yang
dianggap tahu dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang memiliki
kebenaran dan pengetahuan yang mendalam. Namun demikian, informan yang
dipilih dapat menunjukkan informan lain yang dipandang lebih tahu. Maka pilihan
informan dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan dan kemantapan peneliti
dalam memperoleh data. (H.B Sutopo 2002:56). Teknik purposive sampling juga
digunakan atas dasar teknik ini dipandang mampu menangkap kedalaman data
dalam menhadapi realitas jamak dan tidak dimaksudkan untuk membuat
generalisasi tetapi untuk kedalaman penelitian dalam konteks tertentu. Oleh
karena itu, penentuan sampel dalam penelitian ini adalah orang-orang yang
terlibat langsung maupun tidak langsung dalam Pengembangan Pariwisata di
Keraton Kasunanan Surakarta, baik pengelola Keraton Kasunanan Surakarta,
wisatawan, maupun masyarakat di sekitarnya.

F. Validitas Data

57
Dalam penelitian, validitas data berguna untuk menentukan valid dan
tidaknya suatu data yang akan digunakan sebagai sumber penelitian. Data yang
diperoleh perlu diuji untuk menghasilkan data yang valid. Menurut Kartini
Kartono (1990:111) validitas data adalah alat ukur yang berfungsi untuk
mengukur dengan tepat dan mengenai gejala-gejala sosial tertentu. Keabsahan
data menunjukkan mutu seluruh proses pengumpulan data saat data diuji
keabsahannya melalui trianggulasi. Menurut Lexy.J. Moleong (2000:178)
Trianggulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan
sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan dan pembanding
terhadap data itu.
Selanjutnya Patton dalam H.B Sutopo (2002:78), menyatakan ada empat
macam trianggulasi yaitu : (1) data triangulation, dimana peneliti menggunakan
beberapa sumber untuk mengumpulkan data semacam, (2) investigator
triangulation, yaitu pengumpulan data semacam dilakukan oleh beberapa peneliti,
(3) methodological triangulation, penelitian dilakukan dengan beberapa metode
yang berbeda, dan (4) theoretical triangulation yaitu melakukan penelitian dan
datanya dengan menggunakan beberapa perspektif yang berbeda. Dalam hal ini
peneliti menggunakan dua teknik trianggulasi dari empat trianggulasi yaitu
trianggulasi data dan trianggulasi metode. Menggunakan trianggulasi data, karena
dalam penelitian ini peneliti mengumpulkan data dari berbagai sumber, baik dari
masyarakat di sekitar keraton maupun pejabat terkait di lingkungan Dinas
Pariwisata, BAPPEDA, serta Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala kemudian
informasi dari narasumber yang lain, sehingga data sejenis bisa teruji kemantapan
dan kebenarannya. Menggunakan tringgulasi metode, karena dalam penelitian ini
pengumpulan data dilakukan dengan metode-metode yang berbeda-beda, ada
yang menggunakan metode wawancara, observasi, maupun metode analisis
dokumen.

G. Teknik Analisis Data


Menurut Patton (1980) yang dikutip oleh Lexy.J. Moleong (2003:103)
mengatakan bahwa analisa data adalah proses mengatur urutan data,

58
mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar.
Menurut Bogdan dan Taylor (1975) dalam Lexy.J. Moleong (2003:103) analisis
data sebagai proses yang mencari usaha secara formal untuk menemukan tema
dan merumuskan hipotesa (ide) seperti yang disarankan oleh data dan sebagai
usaha untuk memberikan bantuan pada tema dan hipotesis itu. Dalam penelitian
kualitatif proses analisis data dilakukan sejak awal bersamaan dengan
pengumpulan data. Dengan demikian proses analisis data dilakukan terus-menerus
dan berkelanjutan selama perjalanan penelitian. Menurut Suharsini Arikunto
(1993:102) menganalisa data membutuhkan ketekunan dan pengertian terhadap
jenis data.

Teknik analisis data merupakan teknik dalam memeriksa dan


menganalisis data sehingga menghasilkan data yang absah dan dapat dipercaya.
Dalam penelitian ini, analisis data yang dipergunakan adalah analisis interaktif.
Miles dan Huberman (1992:16), menyebutkan bahwa analisis dalam penelitian
interaktif yaitu proses analisis yang terdiri dari tiga komponen yang meliputi
reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan dengan verifikasinya.

Dalam bentuk analisis ini, peneliti tetap bergerak dalam empat komponen
yaitu pengumpulan data, reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan atau
verifikasinya, yang dilakukan selama penelitian. Sebagai penjelasan lebih lanjut di
bawah ini peneliti menguraikan sebagai berikut :

1. Pengumpulan data
Merupakan kegiatan dalam penelitian untuk mengumpulkan data di lapangan
dari sumber-sumber data yang telah ditentukan.

2. Reduksi data
Reduksi data yaitu pemilihan, pemusatan dan penyederhanaan, pengabstrakan,
dan transformasi data-data kasar yang muncul dari catatan tertulis di lapangan.
Komponen ini merupakan proses seleksi, memfokuskan, penyederhanaan,
yang dilakukan selama penelitian, baik sebelum, selama, sampai kahir
pengumpulan data. Reduksi data ini dilakukan sejak pengambilan keputusan

59
rancana kerja, pemilihan kasus, penyusunan proposal, membuat pertanyaan
maupun cara pengumpulan data yang akan dilakukan. Hal ini akan berlanjut
selama pengumpulan data berlangsung sampai akhir laporan disusun.

3. Sajian data
Merupakan suatu penyusunan informasi yang memberi kemungkinan adanya
penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.

4. Verifikasi atau penarikan kesimpulan


Dari awal pengumpulan data, peneliti sudah harus memahami apa arti dari
berbagai hal yang ia temukan dengan melakukan pencatatan peraturan-
peraturan, pola-pola, pernyataan-pernyataan, konfigurasi yang mungkin,
arahan sebab akibat dan berbagai proporsi. Simpulan perlu diverifikasi agar
cukup mantap dan benar-benar bisa dipertanggungjawabkan.

Penelitian ini menggunakan teknik analisis data dengan model analisis


interaktif, dimana peneliti bergerak di antara tiga alur kegiatan selama
pengumpulan data, selanjutnya bergerak bolak-balik diantara kegiatan reduksi,
penyajian, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi. Adapun model teknik
analisanya dapat digambarkan dalam bentuk skema sebagai berikut :

Pengumpulan
data

Penyajian
Reduksi data
data

Kesimpulan-kesimpulan:
penarikan/verifkasi

60
Gambar 2. Tehnik Analisa Data

H. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian adalah tahap-tahap dari awal sampai akhir salam
kegiatan penelitian. Hal ini dimaksudkan agar penelitian dapat berjalan teratur,
sehingga hasil penelitian dapat dipertanggungjawabkan. Secara sistematis
prosedur penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini dapat digambarkan
sebagai berikut :
Penulisan
Proposal
Pengumpulan data
Analisis akhir dan
Dan
penarikan kesimpulan

Persiapan
pelaksanaan
penelitian

Penulisan Laporan

Perbanyak laporan

Gambar 3. Prosedur Penelitian

Dari skema diatas dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Penulisan proposal dan persiapan pelaksanaan penelitian

61
Prosedur penelitian yang paling awal dilakukan adalah penulisan proposal.
Pada tahap ini berisi garis-garis besar penelitian yang akan dilaksanakan yang
meliputi perumusan masalah, penyusunan kerangka berfikir, dan pemilihan
lokasi penelitian. Langkah selanjutnya mengadakan persiapan pelaksanaan,
yaitu mengurus perizinan skripsi. Perizinan yang dimaksud adalah perizinan
mengadakan penelitian ke lokasi penelitian untuk mendapatkan data yang
diperlukan.

2. Pengumpulan data dan analisis data awal


Pengumpulan data dilakukan di lapangan penelitian termasuk di dalamnya
mengadakan wawancara dengan para informan dan mengadakan pengamatan
terhadap obyek penelitian. Selain itu juga diadakan studi pustaka terhadap
sumber-sumber tertulis yang ada kaitannya dengan topik dalam penelitian
sebagai data. Data yang terkumpul kemudian di klasifikasikan, dianalisis, dan
diinterprestasikan serta menjawab perumusan masalah data yang sudah
terjaring diadakan analisis awal.

3. Analisis akhir dan penarikan kesimpulan


Pada tahap ini, peneliti menganalisis lagi data yang telah didapat dengan teliti,
jika kurang sesuai diadakan perbaikan, kemudian data tersebut dikelompokkan
sesuai dengan masalah penelitian. Data yang sudah disusun rapi yang
merupakan bagian dari analisis awal, maka kegiata selanjutnya diadakan
analisis akhir dengan mengorganisirkan dan mengurutkan data dalam pola dan
uraian dasar, sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan.

4. Penulisan laporan dan memperbanyak laporan


Data-data yang sudah dikumpulkan disusun dengan rapi berdasarkan pada
pedoman penelitian kualitatif, maka akan dapat sebuah laporan penelitian
sebagai bentuk karya ilmiah. Agar dapat dibaca oleh masyarakat umum yang
ingin menambah wawasan ilmu pengetahuan, maka di perbanyaklah hasil
laporan ini.

62
BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Sejarah Keraton Kasunanan Surakarta

Seorang Panglima Tamtama dalam pasukan khusus milik Kerajaan


Pajang yaitu Ki Pamanahan sangat berjasa kepada kerajaannya, oleh karena itu ia
mendapat tanah yang berupa semak belukar yang kemudian diberi nama Bumi
Mataram. Di Bumi Mataram itu Ki Pemanahan membangun sebuah padepokan
yang kemudian berkembang menjadi sebuah pedesaan yang ramai, aman, dan
tertib, sehingga Ki Pemanahan mendapat julukan Ki Ageng Mataram.

Pada akhir abad ke-16 tepatnya tahun 1586 putra sulung beliau yaitu
Sutawijaya yang bergelar Panembahan Senopati Ing Ngalaga Sayidin Panatagama
mendirikan sebuah kerajaan di daerah tersebut yang kemudian diberi nama
Kerajaan Mataram atau lebih dikenal sebagai Kerajaan Mataram Islam. Sejak saat
itulah Kerajaan Mataram mengalami begitu banyak perubahan dan perkembangan
yang akhirnya mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Agung

63
Hanyokrokusuma (1613 – 1645 ). Pada waktu itu hampir seluruh Pulau Jawa
adalah daerah kekuasaan Kerajaan Mataram . Setelah Sultan Agung wafat tahta
Kerajaan Mataram digantikan oleh Amangkurat I, sejak saat itulah Kerajaan
Mataram mulai lemah.

Pada masa Amangkurat I banyak terjadi pemberontakan dan setelah ia


wafat beliau digantikan oleh Amangkurat II. Pada masa Amangkurat II inilah
Kerajaan Mataram dipindahkan ke daerah Kartasura dan setelah itu Amangkurat
II wafat, digantikan oleh Amangkurat III yang terkenal dengan sebutan Sunan
Mas. Pada masa tersebut bidang pemerintahan dipengaruhi oleh Belanda, pada
saat itu Sunan Mas memihak Untung Suropati seorang pemberontak Belanda dan
oleh karena itu Belanda menurunkan Amangkurat III dari tahta dan digantikan
oleh Pangeran Puger yang kemudian bergelar Pakubuwono I. Setelah wafat beliau
digantikan oleh Pakubuwono II, oleh Pakubuwono II keraton yang semula berada
di Kartasura dipindahkan ke Desa Sala. .

Keraton Surakarta didirikan oleh Susuhunan Paku Buwono II pada


Februari 1745. Tanggal berdirinya Keraton diambil dari hari perpindahan Keraton
Kartasura ke Desa Sala pada hari Rabu tanggal 17 bulan sura tahun 1670 Jawa.
Sinengkalan “ Kombulaning pudya kapyarsing nata “ (Sri Winarti, 2004: 23).

Berdirinya Keraton Surakarta sebagai pengganti Keraton Kartasura yang


telah rusak akibat pemberontakan orang-orang Cina di bawah pimpinan Mas
Garendi (Sunan Kuning) dan pasukan Madura yang dipimpin Cakraningrat IV
yang disebut dengan peristiwa Geger Pecinan atau Boyong Wukir. Pendirian
Keraton Surakarta juga dikisahkan dalam babad Giyanti. Babad ini berisi tentang
Perjanjian Giyanti tahun 1755 yang berisi tentang pembagian Kerajaan Mataram
menjadi dua kerajaan, yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.
Pembagian ini juga diikuti dengan pembagian wilayah vorstenlanden (daerah raja-
raja Jawa Tengah) yang meliputi Wates, Yogyakarta, Wonosari, Wonogiri,
Klaten, Surakarta, Boyolali, Karanganyar, dan Sragen harus dibagi menjadi dua.

64
Kasultanan Yogyakarta menempati wilayah Yogyakarta, Wonosari, dan Wates,
sedang sisanya menjadi wilayah Kasunanan Surakarta. Kasultanan Yogyakarta
memang mendapatkan wilayah yang lebih luas, namun daerahnya termasuk tidak
subur. Selain itu, babad Giyanti berisi tentang awal mula bagaimana Mataram
mengumpulkan para penasehat dan para pembantunya untuk memberitahukan
niatnya angalih Negara (memindahkan ibukota) yang baru saja dihancurkan oleh
gerombolan Cina (sirna binasbi dening kang mangsah Cina) (Imam Baehaqi,
2002:1 ).

Setelah melakukan penelitian terhadap beberapa tempat, akhirnya desa


Sala terpilih sebagai tempat kedudukan Keraton yang baru berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :

1. Desa Sala terletak di dekat tempuran yaitu bertemunya dua buah sungai, yaitu
Sungai Pepe dan Bengawan Sala. Menurut kepercayaan Jawa, tempuran
mempunyai arti magis dan merupakan tempat yang dianggap keramat.
2. Letak Desa Sala dekat dengan Bengawan, sebuah sungai terbesar di Jawa
mempunyai arti penting sebagai penghubung Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Fungsi sebagai penghubung dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan antara
lain: ekonomi, sosial, politik dan militer.
3. Sala telah menjadi desa, maka untuk mendirikan sebuah Keraton tidak
diperlukan tenaga pembabat hutan yang harus didatangkan dari daerah lain.
4. Dihubungkan dengan bangunan suci, Sala atau çala (Sans) yang berarti
ruangan bangsal atau besar yang telah disebut-sebut dalam Oud Javaanshece
Oorkonde (OJO) No.XI.III dari Singasari pada jaman Mpu Sendok (852 S.).
Dalam OJO itu disebutkan nama tempat Kahyunan, ini menguatkan dugaan
Purbatjaraka bahwa çala dalam OJO adalah Kota Surakarta.
5. Dihubungkan dengan kepentingan kompeni Belanda sejak tahun 1705,
sesudah VOC memperoleh keuntungan besar dari PB I (1705-1719). Prinsip
kebijaksanaan yang dilakukan oleh Batavia adalah mendukung dan
mempertahankan Kerajaan Mataram apabila kerajaan itu menghadapi musuh.
Berdasarkan prinsip ini Von Hohendorff yang pada saat itu sebagai pimpinan

65
benteng kompeni di Kartasura berhasil memantau tingkah laku PB II selama
terjadi geger pacinan. Tindakan itu membawa hasil yang gemilang bagi VOC,
termasuk dalam hal pemindahan Keraton.
6. Menggunakan petangan sesuai dengan adat Jawa yang berlaku. Menurut
kepercayaan orang Jawa keadaan tanah akan berpengaruh pada penghuni
rumah kediaman yang didirikan di atas tanah tersebut. Sunan PB II
menginginkan agar Keraton yang baru didirikan di sebuah tempat yang
terletak sebelah timur Kartasura. Sunan memerintahkan kepada kedua orang
patihnya Pringgalaya dan Sindurejo melakukan penelitian bersama komandan
VOC, Mayor Von Hohendroff. Bersama mereka turut pula beberapa ahli
nujum yaitu : Kyai Tumenggung Honggowongso, Raden Tumenggung
Puspanagara, Raden Tumenggung Mangkuyuda. Mereka diperintahkan
mencari tempat terbaik untuk dibangun sebuah istana. Setelah berjalan lama,
mereka menemukan tempat yang cocok untuk tempat membangun istana,
yaitu :

a. Desa Kadipala
Daerah rata, subur, tanahnya bersih. Patih dan mayor Hohendroff
menyetujuinya tetapi para ahli nujum kurang setuju sebab menurut
ramalan mereka walaupun kerajaan nanti dapat adil dan makmur, namun
kerajaan akan cepat rusak, karena banyak perang saudara.

b. Desa Sala
Menurut Tumenggung Honggowongso walaupun daerahnya penuh rawa,
namun sangat baik untuk pusat kerajaan, sebab nantinya akan menjadi
kerajaan besar, panjang umur, aman, dan makmur, tidak ada perang dan
berwibawa. Tetapi Mayor Hohendroff tidak menyetujuinya karena melihat
daerahya tidak rata, penuh rawa serta dekat dengan sungai.

c. Desa Sanasewu

66
Daerahnya rata, namun menurut Raden T. Honggowongso tempat itu
kurang cocok sebab kerajaan akan berumur pendek, banyak perang besar,
dan rakyat akan kembali ke zaman Buddha.

Dari ketiga lokasi tersebut, akhirnya desa Sala terpilih sebagai tempat
pembangunan istana (Restu Gunawan, 1999:74).

Setelah pindah dari Kartasura, Desa Sala kemudian diganti namanya


menjadi Surakarta Hadiningrat. Menurut J. Brandes, nama Surakarta ternyata
merupakan nama varian atau nama alias dari Sala. Surakarta berasal dari
gabungan kata Sura yang berarti berani, dan karta berarti sejahtera. Nama
Surakarta yang dipakai untuk nama keraton yang baru dimaksudkan sebagai
imbangan dari nama Jakarta atau Jayakarta. Sunan PB II memang mendambakan
pusat kerajaan nantinya setara dengan Jakarta yang dapat berkembang dengan
pesat terutama pada saat VOC menjadikan Batavia sebagai pusat pemerintahan.
Berdasarkan alasan itulah Sunan PB II tidak lagi memakai nama Kartasura untuk
keratonnya yang baru, yang ternyata tidak membawa keberuntungan (Depdikbud,
1999: 8).

Nama Sala juga tidak dipakai oleh Sunan, sebab menurut kepercayaan
rakyat konon kata Sala berasal dari kata desa dan ala. Jadi menunjukkan keadaan
yang tidak baik dan tentu saja menunjukkan ketidak beruntungan. Selain itu,
nama Surakarta nampaknya tidak berbeda dengan nama Salakarta yang disebut-
sebut dalam Serat Salasilah Para Leluhur Mataram Ing Kadanurejan Yogya dan
Babad Mataram Salakarta. Dari kedua sumber itu dapat diambil kesimpulan,
bahwa nama asli Keraton dan kediaman PB II yang baru memang Salakarta, dan
baru pada masa pemerintahan Sunan PB II nama ini menjadi Surakarta (Restu
Gunawan, 1999:66).

Awal pemerintahan Pakubuwono II di Keraton Surakarta timbul


pemberontakan yang dipimpin oleh Mas Said. Saat itu beliau menjanjikan kepada
adiknya yaitu Pangeran Mangkubumi, akan diberi sebidang tanah apabila dapat
menundukkan pemberontakan yang dilakukan Mas Said. Singkat cerita, Pangeran

67
Mangkubumi dapat menghentikan pemberontakan maka beliau pun menuntut
janji kepada kakaknya, tetapi Pakubuwono II tidak menepati janjinya. Dilatar
belakangi rasa kecewa itulah akhirnya Pangeran Mangkubumi memilih berpihak
kepada Mas Said untuk memberontak kepada Pemerintahan Belanda, yang pada
saat itu Belanda juga turut campur masalah kerajaan di Keraton Kasunanan
Surakarta. Pada saat perang berkecamuk Pakubuwono II wafat dan pemerintahan
dilanjutkan oleh Pakubuwono III yang diangkat oleh Belanda. Saat Pakubuwono
III berkuasa pemberontakan Pangeran Mangkubumi reda dengan mengadakan
Perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Isi perjanjian tersebut adalah membagi
Kerajaan Mataram menjadi dua yaitu Keraton Kasunanan Surakarta yang tetap
dipimpin oleh Pakubuwono III dan Keraton Yogyakarta diserahkan pada
Pangeran Mangkubumi.

Sementara itu pemberontakan yang dipimpin oleh Mas Said masih tetap
berlangsung, hingga akhirnya pada tahun 1775 diadakan suatu perjanjian
perdamaian lagi yang dinamakan Perjanjian Salatiga yang menetapkan bahwa
Keraton Kasunanan Surakarta dipecah menjadi dua yang dibatasi oleh rel kereta
api. Bagian selatan rel kereta api menjadi Kasunanan yaitu daerah Keraton
Surakarta itu sendiri dan bagian utara rel menjadi daerah kekuasaan Mas Said,
yang kemudian bergelar Mangkunegara I dan daerahnya disebut Mangkunegaran.

Kedua perjanjian tersebut mengakibatkan perubahan pada wilayah


Kerajaan Kasunanan Surakarta. Kehadiran residen Belanda di Surakarta pada
tahun 1755 juga membawa perkembangan baru pada Keraton Surakarta yang
masih bersifat tradisional.

Setelah masa kemerdekaan Republik Indonesia yang tepatnya pada


tanggal 17 Agustus 1945 kekuasaan-kekuasaan tersebut secara perlahan-lahan
mulai dihapus. Pada awalnya yaitu tanggal 17 Agustus 1945 Surakarta dan
Yogyakarta diresmikan sebagai daerah istimewa. Namun oleh Pemerintahan Pusat
pada tahun 1946 istilah daerah Istimewa Surakarta dihapus, hal ini disebabkan

68
karena pemerintah Indonesia menilai Surakarta kurang berperan dalam perjuangan
kemerdekaan Republik Indonesia dan sampai saat ini Surakarta menjadi kota.

Hal inilah yang menyebabkan Keraton Kasunanan Surakarta hanya


mendapat dana subsidi dari pemerintah yang cukup untuk memelihara
kebudayaan Keraton Surakarta tersebut, sehingga Keraton Surakarta harus pandai-
pandai menggunakan dana subsidi bila akan mengadakan upacara-upacara adat
atau tradisional. Berbeda dengan Keraton Kasultanan Yogyakarta yang berada di
wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, dimana Keraton Kasultanan Yogyakarta
selain mendapat subsidi dari pemerintah Indonesia juga mendapat dana tersendiri
dari daerahnya. Dari latar belakang sumber dana tersebut jelas tampak perbedaan
antara Keraton Kasuanan Surakarta dan Keraton Kasultanan Yogyakarta
(wawancara: KGPH Puger, tanggal 15 Desember 2009 08.32 am)

B. Deskripsi Keraton Surakarta

1. Keadaan Geografis

a. Letak

Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat terletak di Kelurahan


Baluwarti, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Surakarta, Propinsi Jawa Tengah
yang memiliki garis lintang dan bujur sebagai berikut :

110°27'0" BB - 111°20'0" BT ;7°4'0" LU - 8°10'0" LS .

Luas Kota Surakarta adalah 24 Km 2 dengan ukuran 6 Km,


membentang dari arah barat ke timur, dan 4 Km dari arah utara ke selatan.
Kota ini berada di tanah dataran rendah di tepi sebelah barat Sungai Bengawan
Solo dan berada di ketinggian tanah ± 92 meter di atas permukaan air laut.
Sedangkan luas wilayah kerajaan Surakarta (sekarang eks Karesidenan
Surakarta) seluruhnya adalah 6.215 Km 2 , yang meliputi Wonogiri, Klaten,
Surakarta, Boyolali, Karanganyar, dan Sragen. Separuh dari daerah itu milik

69
Kasunanan dan separuh lainnya milik Mangkunagaran. Secara administratif,
Karesidenan Surakarta berbatasan dengan Karesidenan Yogyakarta, Kedu,
Semarang dan Madiun. Batas alam berupa Gunung Merapi dan Gunung
Merbabu yang terletak di sebelah barat, Pegunungan Kendeng di sebelah
Utara, dan Gunung Lawu di sebelah Timur. Antara G. Merapi dan G. Merbabu
dengan G. Lawu membentuk dataran rendah yang luas, meliputi daerah
Klaten, Boyolali, dan Kartasura yang kaya akan sedimen vulkanis. Dari lereng
G, Merapi mengalir Sungai Opak ke Selatan menjadi batas antara Karesidenan
Surakarta dan Karesidenan Yogyakarta. Sungai Dengkeng menyatu dengan
Bengawan Solo yang mata airnya berasal dari Distrik Sembuyan, dengan
nama Sungai Penambangan. Di Lereng Barat G. lawu mengalir Sungai Samin,
Colo, Wingko, dan Jenes. Sungai-sungai ini mengalir ke dataran rendah
Karanganyar yang membentuk daerah persawahan (Depdikbud, 1999:11).
Sedangkan Kota Surakarta sekarang dibatasi oleh :

1) Sebelah Utara : Berbatasan dengan Karanganyar dan Boyolali


2) Sebelah Timur : Berbatasan dengan Sukoharjo dan Karanganyar
3) Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Sukoharjo
4) Sebelah Barat : Berbatasan dengan Sukoharjo dan Karanganyar
b. Keadaan Tanah

Menurut kepercayaan Jawa, tanah yang cocok untuk didirikan


sebuah bangunan Keraton adalah tanah yang bagus dan berbau wangi.
Berdasarkan hasil pengamatan dari beberapa ahli nujum dan pejabat
pemerintahan akhirnya ditemukan keadaan tanah yang cocok untuk didirikan
Keraton adalah di Desa Sala.

Dipilihnya Desa Sala dikaitkan dengan fungsi Bengawan sebagai alat


penghubung antara Jawa Tengah dan Jawa Timur. J. Noorduyn
memperkirakan, bahwa Desa Semanggi, yang terletak agak di sebelah
tenggara Desa Sala, pada akhir abad XVIII merupakan bandar penting. Nama
Wulayu terdapat dalam Ferry Charter abad XIV, sebuah piagam berisi

70
keterangan bahwa, Bengawan Semanggi atau Bengawan Sala mempunyai 44
buah bandar. Surabaya merupakan bandar pertama dan Wulayu sebagai
bandar terakhir. Pada peta sekarang nama Wulayu tidak dapat ditemukan,
tetapi nama beberapa bandar sebelum Wulayu masih dicantumkan. Oleh sebab
itu dapat diperkirakan bahwa Wulayu letaknya dekat sekali dengan Desa Sala,
disebabkan karena bandar satu dengan bandar berikutnya sedikitnya berjarak 4
sampai 7 km, atau 13 sampai 15 km. Noorduyn berpendapat bahwa satu-
satunya sungai di antara dua gunung tersebut adalah Bengawan Sala dan
Bandar paling dekat dengan Desa Sala adalah Semanggi. Jika Semanggi sama
dengan Wulayu atau Wuluyu, dapat dimengerti mengapa Desa Sala terpilih
untuk tempat kedudukan keraton baru. Letak Keraton Pajang, Kartasura, dan
Surakarta berdekatan satu dengan yang lainnya dan semuanya didirikan di
sebelah barat Bengawan, dekat dengan Semanggi. Besar kemungkinannya
bahwa jalan raya yang menghubungkan keraton-keraton tersebut di atas
dengan Jawa Timur terletak di dekat Semanggi. Jadi dapat disimpulkan bahwa
Desa Sala itu sekarang terletak di Kecamatan pasar Kliwon. Dilihat dari
wilayah Surakarta maka pemilihan tanah untuk didirikan Keraton sangatlah
cocok dan tepat yang mana bangunan Keraton Kasunanan Surakarta
menempatkan diri di daerah yang strategis untuk wilayah Surakarta (Babad
Sala, 1984:15).

2. Keadaan Fisik Keraton Surakarta

a. Susunan Umum Bangunan Keraton Surakarta

Keraton Surakarta mulai dibangun pada masa pemerintahan


Susuhunan Paku Buwono II sebagai pengganti Keraton Kartasura yang sudah
rusak. Susuhunan Paku Buwono II membangun Keraton secara tergesa-gesa,
dan perpindahan ke Surakarta dilakukan ketika Keraton dalam keadaan belum
selesai. Tiga tahun setelah menempati Keraton baru Susuhunan Paku Buwono
II wafat (1749), sehingga penyelesaian pembangunan Keraton ditangani oleh

71
raja-raja yang memerintah selanjutnya. Pada masa peemrintahan Susuhunan
Paku Buwono X bangunan Keraton mengalami perkembangan pesat.
Meskipun demikian pembagian pelataran atau halaman Keraton tidak
mengalami perubahan. Dalam hal ini konsep konsentris (empat lingkaran)
tetap dipakai sebagai dasar pembagian Keraton. Lingkaran pertama, Kedhaton
dan sekitarnya. Lingkaran kedua, wilayah di antara dua benteng yang disebut
Baluwarti. Lingkaran ketiga, yaitu Paseban yang terletak di halaman luar pintu
masuk kori Brajanala, dan lingkaran keempat adalah alun-alun.

1) Lingkaran I : Kedhaton
Kedhaton merupakan tempat yang paling keramat. Hal ini di
karenakan terdapatnya Prabasuyasa, yaitu tempat menyimpan tanda-tanda
kebesaran kerajaan. Kedhaton luasnya ± 92.230 m 2 , dibatasi oleh dua
pintu yaitu kori Kamandungan di sebelah utara dan selatan, dan jalan
Baluwarti di sebelah timur dan barat. Untuk dapat mencapai Kedhaton dari
arah utara harus melalui lima buah kori, yaitu kori Gladhag, Pamurakan,
Brajanala, Kamandhungan, dan Srimanganti.

Di dalam lingkaran Kedhaton terdapat tiga buah halaman yaitu


halaman Srimanganti, Plataran Kedhaton, dan halaman Magangan.
Halaman Srimanganti terletak di sebelah utara plataran Kedhaton,
memiliki dua buah bangsal yang saling berhadapan, yaitu Bangsal
Marakata di sebelah barat dan Bangsal Marcukundha di sebelah timur.
Kedua bangsal itu berfungsi sebagai tempat abdi dalem yang akan
menghadap raja. Bangsal Marakata untuk abdi dalem lebet, sedangkan
Bangsal Marcukundha untuk abdi dalem prajurit.

Berikutnya halaman Magangan. Di tengah-tengah halaman


Magangan terdapat Bangsal terbuka yang berfungsi untuk menyimpan
berbagai macam barang Keraton, seperti made renggo, yaitu peralatan
khitan putra dan kerabat raja. Juga berfungsi untuk menyiapkan barisan
prajurit yang akan bertugas dan tempat magang bagi calon prajuri Keraton.

72
Selain itu, untuk menyiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan
seremoni religius Keraton seperti pembuatan kenduri gunungan dalam
upacara Grebeg Syawal dan Gerebeg Maulud.

Di seputar pelataran Kedhaton terdapat komplek bangunan yang


bermacam-macam. Halaman yang luas di depan pendhapa Sasana Sewaka
ditanami pohon sawo manila sebagai penyejuk dan memperindah
pandangan. Jumlah pohon sawo manila sebanyak 88 buah yang
mengingatkan angka 1888 sebagai tahun didirikannya bangunan Sasana
Sewaka. Secara jelas bangunan-bangunan yang terdapat di Kompleks
Istana Kedhaton antara lain :

1.1 Di pusat istana


1.1.1 Prabasuyasa
Prabasuyasa adalah sebuah bangunan dalem ageng (rumah
besar) yang terletak di belakang Pendhapa Sasana Sewaka.
Sasana Sewaka merupakan tempat pribadi raja, yaitu tempat
duduk raja saat ulang tahun naik tahta (jumenengan) di
hadapan putra-putranya yang ditampilkan tarian Sakral
Bedhaya Ketawang . Prabasuyasa menghadap ke selatan. Di
dalamnya terdapat empat buah kamar pribadi raja beserta
ranjang kebesarannya (Krobongan) berupa rumah kecil
berpagar kaca. Sebelah timur disebut kamar gading, kamar
besar dan kamar pusaka yang dipakai khusus menyimpan
benda-benda pusaka kerajaan. Di sebelah barat, terdapat kamar
prabasana yaitu tempat untuk menghadap putra raja.
Prabasuyasa dibangun pada tahun 1694 Jawa.

1.1.2 Sasana Parasadya


Sasana Parasadya adalah nama agi paringgitan (tempat
pertunjukkan wayang). Tempat ini merupakan tempat duduk
raja sewaktu menyaksikan pagelaran wayang kulit.

73
1.1.3 Sasana Sewaka
Sasana Sewaka merupakan sebutan bagi pendhapa. Didirikan
pada tahun 1698 Jawa (1888 M), merupakan tempat duduk raja
di hadapan para abdi dalem lebet.

1.1.4 Sasana Handrawina


Sasana Handrawina merupakan tempat pesta atau makan raja
beserta keluarganya. Dibangun pada masa Sunan Paku Buwono
VI.

1.1.5 Paningrat
Paningrat merupakan teras dari pendapa Sasana Sewaka.

1.1.6 Maligi
Maligi merupakan tempat khitan putra raja. Dibangun pada
tahun 1882 M, terletak di sebelah Timur Sasana Sewaka.

1.2 Di sebelah timur halaman istana, terdapat tiga bangsal :


1.2.1 Bangsal Bujana, terletak di bagian selatan. Merupakan tempat
untuk menjamu para tamu kerajaan.
1.2.2 Bangsal Pradangga Kidul, terletak di sebelah utara Bangsal
Bujana. Merupakan tempat gamelan, yang dibunyikan sewaktu
Keraton mempunyai keperluan.
1.2.3 Bangsal Pradangga Lor, letaknya di sebelah utara bangsal
Pradangga Kidul. Merupakan tempat menyinpan alat-alat
musik/ orkestra.
1.3 Sasana Prabu
Merupakan tempat kantor raja. Letaknya di sebelah Selatan Parasadya.
Adapun di sebelah Utara parasadya sebagai tempat kantor wakil raja.

1.4 Bangunan-bangunan yang mengelilingi Istana :

74
1.4.1 Sasana Wilapa (kantor Sekertariatan), terletak di sebelah utara
sasana parasadya. Dahulu digunakan untuk para abdi dalem
carik kasepuhan yang mengerjakan surat-surat saja. Sekarang
berfungsi sebagai bagian muka dari kaputren. Jadi, untuk
memperluas rumah kaputren.
1.4.2 Panti Wardaya, kantor perbendaharaan
1.4.3 Reksa Handana, kantor kas Keraton
1.4.4 Bale Kretarta, kantor perlengkapan

1.5 Panggung Sanggabuwana


Panggung Sanggabuwana merupakan bangunan berbentuk
menara persegi delapan, bertingkat empat, dan tingginya 30 meter.
Menurut kepercayaan tempat ini digunakan untuk pertemuan antara
raja dengan Kanjeng Ratu Selatan ( Kanjeng Ratu Kencana Sari ),
yang beristana di Parang Tritis. Nama Panggung Sanggabuwana
sebenarnya merupakan sengkalan angka tahun saat didirikannya
bangunan itu. Beberapa ahli menjelaskan :

1.5.1 Menurut KRMH Yosodipuro, kata panggung merupakan


gabungan kata pa dan gung. Agung artinya besar, jadi pa
agung berarti pa besar. Dalam huruf atau abjad Jawa ada
aksara yang dinamakan aksara murda (huruf besar). Huruf pa
besar bentuknya sama dengan angka Jawa yang bernilai 8.
Adapun kata songgo terdiri dari song bernilai 9 dan ga (angka
Jawa) bernilai 1. Kemudian buwana bernilai 1. Kalau digabung
mendapat angka 8911. Karena angka ini merupakan sengkalan,
maka membacanya dari belakang (dari kanan ke kiri). Sehingga
menjadi 1198 H atau 1782 M, sama dengan tahun 1708 Jawa,
yaitu pada masa pemerintahan Susuhunan Paku Buwana III.
1.5.2 Menurut Radjiman, Panggung Sanggabuwana mempunyai
nama lengkap Panggung Luhur Sangga Buwana. Panggung

75
merupakan sebuah bangunan tinggi bernilai 8, luhur berarti
tinggi, tidak ada, kosong, bernilai 0. Sangga adalah
perkumpulan masyarakat Budhis 7 dan buwana berarti bumi,
jagad, bernilai 1. Bila digabung akan menunjukkan angka 1708
Jawa.
1.5.3 Menurut RM. Ng. Tiknopranoto dan R. Mardisueignya,
panggung bernilai 8, song (kosong) bernilai 0, ga (huruf Jawa)
bernilai 7, dan buwana bernilai 1. Jadi merupakan tahun 1708
Jawa.
1.5.4 Tahun berdirinya panggung Sanggabuwana dapat juga
dijelaskan melalui sengkalan memet berupa gambar seekor ular
naga yang sedang terbang yang sedang dinaiki oleh manusia.
Apabila dibaca, gambar tersebut berbunyi naga muluk tinitihan
jamna. Naga artinya ular raksasa bernilai 8, muluk artinya
mabul atau hilang nilainya 0, tinitihan artinya dinaiki berarti 7,
dan Jamna artinya manusia bernilai 1. Jadi menunjukkan tahun
1708 Jawa (Depdikbud, 1999: 13).
2) Lingkaran II : Komplek Bangunan di Baluwarti
Wilayah yang disebut Baluwarti (benteng) ini terletak di luar
tembok Kedhaton di kawasan bersisi empat yang luas, yang dikelilingi
oleh tembok berukuran tebal 2 meter dan tinggi 3-6 meter. Ruang
bertembok ini melingkari wilayah seluas 180 hektar berada di antara dua
alun-alun bujur sangkar yang luas, yaitu alun-alun utara dan selatan.
Wilayah ini mempunyai dua buah pintu masuk, yaitu Kori Brajanala Utara
dan Kori Brajanala Selatan.

Komplek bangunan Baluwarti merupakan kediaman para


pangeran, kerabat raja, dan para abdi dalem. Rumah-rumah kediamanyang
berada di komplek Baluwarti dapat diketahui status penghuninya yaitu
dengan cara memperhatikan bentuk atau tipe rumah beserta alat
perlengkapannya. Adapun tipe-tipe rumah dapat diklasifikasikan menjadi

76
tiga kelompok. Pertama, tipe rumah Jawa berbentuk Joglo dengan
pendhopo, paringgitan, dalem, dengan deretan rumah di kanan kiri
bangunan utama. Rumah Jawa di tipe joglo ini biasanya didirikan di
halaman yang cukup luas yang di lengkapi dengan pintu masuk berupa
regol. Kedua, tipe rumah Jawa ini berbentuk Limasa, dan ketiga, tipe
rumah Kampung. Bentuk ketiga ini merupakan bentuk yang paling
sederhana.

Dari ketiga tipe tersebut, untuk tipe yang pertama dan kedua
biasanya dihuni oleh para bangsawan dan priyayi tingkat tinggi.
Jumlahnya tidak banyak, hanya beberapa saja, diantaranya Dalem
Purwodiningratan, untuk Bupati Nayaka Purwadinigrat, Dalem
Mlayakusuman untuk pangeran Mlayakusuma, dan Dalem Mangkuyudan
(menantu Susuhunan Paku BUwana X). Sedangkan, tipe rumah ketiga
dihuni oleh para abdi dalem yang biasanya membentuk satu komplek
hingga membentuk sebuah perkampungan yang ada dalam Baluwarti,
antara lain :

1.1 Wirengan
Letaknya di sebelah barat daya Kedhaton (Istana). Wirengan berasal
dari kata wiring yaitu penari wayang orang atau penari tarian klasik.
Dahulu wirengan merupakan tempat tinggal para abdi dalem dan
sentana dalem yang mengurusi tentang tarian dan wayang orang serta
hiburan lainnya. Wirengan juga bisa diartikan prajurit, sebab berasal
dari kata wira-an (wira berarti prajurit). Oleh karena itu, sejak
pemerintahan Sunan Paku Buwana X, abdi dalem wirengan diberi
tugas untuk menjaga keselamatan raja dan istana. Selain itu, prajurit
wirengan mempunyai tugas dan fungsi khusus menjaga keamanan
jalannya upacara gunungan pada setiap Grebeg yang dibawa dari
Kedhaton ke masjid Agung. Prajurit ini berjalan di kanan kiri
gunungan dan pada saat-saat tertentu, misalnya pada saat menari
tayungan sepanjang perjalanan.

77
1.2 Lumbung
Lumbung adalah tempat menyimpan bahan makanan milik istana.
Letaknya sebelah timur Kedhaton.

1.3 Carangan
Letaknya di sebelah utara lumbung, merupakan tempat tinggal abdi
dalem prajurit carangan yang terdiri dari beberapa pasukan. Biasanya
menggunakan sebutan carangan, misalnya prajurit Carangdiguna,
Carangkartika, dan Carangwijaya. Tugas mereka adalah menjaga
keselamatan raja dan kedhaton dari serangan musuh.

1.4 Tamtaman
Letaknya di sebelah utara carangan, merupakan tempat tinggal abdi
dalem tamtaman, yaitu prajurit pengawal raja. Termasuk dalam
kelompok ini adalah prajurit Jayamantaka, Hankragnyana.

1.5 Ksatriyan
Yaitu tempat sentana dalem yang menjadi abdi dalem prajurit. Tempat
berkumpulnya para putra sentana dalem dan abdi dalem untuk
melakukan kegiatan-kegiatan tertentu. Letaknya di sebelah barat laut
tamtaman.

1.6 Sasanamulya
Letaknya di sebelah barat pintu gerbang utara (pintu gapit supit urang).
Dahulu menjadi tempat berkumpulnya para putra raja beserta
bawahannya untuk mengadakan upacara bersama-sama dengan raja.
Sasanamulya pernah dipakai sebagai kantor Pusat Kesenian Jawa
Tengah (PKJT) dan Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI).

78
1.7 Gedong Kreta
Letaknya di seblah timur sasanamulya. Gedong Kreta merupakan
tempat menyimpan kereta kerajaan. Di dalam Gedong Kreta ini
tersimpan 9 buah kreta, yaitu urut dari timur ke barat, meliputi :

1.1.1 Kyai Retno Juwita, yaitu kereta untuk raja atau wakilnya
sewaktu mewakili undangan rapat.
1.1.2 Kyai Siswanta, yaitu kereta untuk menjemput keluarga raja.
1.1.3 Kyai Maraseba, yaitu kereta yang digunakan untuk menjemput
tamu dalam negeri.
1.1.4 Kyai Retno Pambagya, yaitu kereta yang digunakan untuk
menjemput tamu asing.
1.1.5 Kyai Rajapeni, yaitu kereta yang digunakan oleh raja sewaktu
berkeliling menikmati keindahan kota.
1.1.6 Kyai Retno Sewaka, yaitu kereta raja untuk melayat.
1.1.7 Kyai Garudapura, yaitu jereta untuk menjemput tamu agung
seperti kepala-kepala Negara baik yang dari dalam maupun luar
negeri.
1.1.8 Kyai Garuda Kencana, yaitu kereta yang dipakai khusus untuk
kirab guna memperingati hari ulang tahun bertahtanya raja.
1.1.9 Kyai Manik Kumala, yaitu kereta yang digunakan untuk
memeriksa barisan prajurit. Juga dipakai untuk putra raja
setelah tujuh hari pernikahan dengan berkeliling kota.
1.8 Rumah-rumah tempat tinggal para pangeran
Letaknya di sebelah barat sasanamulya, yang meliputi Suryahamijayan
yaitu tempat kediaman pangeran Suryahamijaya. Dalem
Purwodiningratan yaitu tempat kediaman Pangeran Purwodiningrat,
serta tempat kediaman beberapa orang bangsawan lainnya.

1.9 Gambuhan
Terletak di sebelah barat laut kedhaton. Merupakan tempat ahli
gendhing.

79
1.10 Komplek perumahan para pangeran
Terletak di sebelah barat Kedhaton (Depdikbud, 1999: 18).

3) Lingkaran III : Paseban


Paseban merupakan lingkaran ketiga. Letaknya di sebelah utara
pelataran Kamandhungan. Ada dua tempat paseban, yaitu Sasana Sumewa
atau tatag rambat yang menghadap ke utara dan Sitinggal yang terletak
menyatu di belakang (sebelah selatan) Sasana Sumewa. Sasana Sumewa
dahulu merupakan sebuah bangsal yang besar, beratap anyaman bambu
(bahasa Jawa = gedheg, bertiang bambu), sehingga dinamakan tatag
ranbat. Setelah Sunan Paku Buwana X genap berusia enam windhu atau 48
tahun, yaitu pada tahun 1843 Jawa (1913 M), tatag rambat kemudian
dibangun dan diberi nama baru yaitu Pagelaran atau Sasana Sumewa
sebagai tempat patih, abdi dalem bupati, dan abdi dalem yang lain ketika
menghadap raja (Sumewa atau seba). Pagelaran ini setelah dibangun
beratapkan seng, tiang pilar berjumalh 48 buah sebagai peringatan bahwa
bangunan ini dibangun bertepatan dengan usia Sunan Paku Buwana yang
ke-48 tahun.

Di seputar pagelaran terdapat beberapa bangsal, yaitu :

1.1 Di depan pagelaran terdapat Pamandhangan yang setiap hari besar


agama Islam digunakan untuk kandang kuda milik raja dengan pakaian
lengkap. Di dekatnya terdapat bangsal Paretan, yaitu tempat parkir
kereta raja atau tamu agung. Sekarang bangsal ini telah dibongkar,
sebab terkena pelebaran jalan, di sebelah timur Bangsal Paretan
terdapat Bangsal Patalon tempat memukul gamelan tiap hari sabtu.
1.2 Di sebelah timur pagelaran terdapat Bangsal Pacekaton, tempat para
abdi dalem akan menerima hadiah dari raja. Sebagai imbangan, di
sebelah barat pagelaran terdapat Bangsal Pacikeran, yaitu tempat
pemberhentian abdi dalem yang akan menerima hukuman. Di sebelah
tenggara pagelaran terdapat Bangsal Martalutut tempat abdi dalem

80
yang bertugas mengadili perkara. Sebelah barat daya pagelaran
terdapat Bangsal Singanegara, sebagai tempat abdi dalem yang
bertugas memutuskan perkara.
1.3 Di tengah-tengah pagelaran terdapat Bangsal Pangrawit. Di dalamnya
terdapat damper yaitu tempat duduk raja apabila ingin memberi
hadiah, memutuskan perkara, dan memberi hukuman. Bangsal
Pangrawit ini dibawa langsung dari Istana Kartasura sewaktu
perpindahan Keraton pada tahun 1746 dari Kartasura ke Surakarta.
Selanjutnya Sitinggil, Sitinggil berasal dari kata Siti dan Inggil.
Siti artinya tanah dan Inggil artinya tinggi. Jadi, sitinggil merupakan
tempat yang tinggi dan dianggapnya keramat. Nama lengkapnya Siti
Hinggil Binata Warata, dibangun pada tahun Siti Hinggil Palenggahing
Ratu (Tahun 1701 Jawa atau 1774 M) oleh Susuhunan Paku Buwana III.
Sebagai paseban Sitinggil terletak di sebelah selatan dan menyatu dengan
tatag rambat, tetapi sitinggil letaknya lebih tinggi daripada tatag rambat
(Pagelaran). Antara Pagelaran dengan Sitinggil dihubungkan dengan
tangga berjumlah 8 buah dan 2 buah pintu, yaitu Kori Wijil I dan Kori
Wijil II. Di tengah-tengah antara Pagelaran dengan Sitinggil terdapat
sebuah tempat bernama Sela Pemecat, yang dahulu digunakan untuk
memenggal kepala bagi orang yang mendapat hukuman mati. Sampai
sekarang tempat tersebut masih dianggap keramat.

Bangunan Sitinggil dikelilingi oleh pagar bsi (pancak suji).


Tempat ini merupakan tempat menghadap para pejabat tinggi dan
bangsawan tinggi istana. Di sekitar Sitinggil terdapat beberapa Bangsal,
yaitu :

1.1 Bangsal Sewayana, dibangun oleh Sunan Paku Buwana X tahun


1813 Jawa atau 1913 M. Letaknya di tengah-tengah halaman
Sitinggil, berfungsi sebagai tempat bagi para tamu undangan, para
bangsawan, dan kerabat serta abdi dalem yang hendak menghadap
raja.

81
1.2 Bangsal Manguntur Tangkil, yaitu tempat duduk raja pada hari-hari
besar agama, seperti Grebeg Maulud, Grebeg Idul Fitri, Grebeg Idul
Adha. Sedangkan untuk pertemuan lain, raja duduk di Bangsal
Pangrawit di Pagelaran. Letak Bangsal Manguntur Tangkil di tengah
Bangsal Sewayana.
1.3 Bangsal Witana, yaitu tempat para abdi dalem pembawa benda-
benda upacara pada waktu Idul Fitri, Idul Adha. Letaknya di belakng
(Sebelah Selata) Bangsal Sewayana.
1.4 Bangsal Manguneng, tempat menaruh meriam Nyai Setomi.
Letaknya di dalam Bangsal witana.
1.5 Bangsal Ngangun-angun, yaitu tempat memukul gamelan setiap hari-
hari besar Islam. Letaknya di sisi tenggara Bangsal Sewayana.
1.6 Bangsal Gandhek Tengen, yaitu tempat memukul gamelan dengan
gendhing kodok ngorek setiap hari-hari besar Islam. Letaknya di sisi
timur laut Bangsal Sewayana.
1.7 Bangsal Balebang, yaitu tempat menyimpan gamelan. Letaknya di
sisi barat dayaBangsal Sewayana.
1.8 Bangsal Gandhek kiwo, yaitu tempat untuk menyediakan hidangan
pada hari raya Islam. Letaknya di sisi barat laut Bangsal Sewayana.
Jadi Bangsal Sewayana yang terletak di tengah halaman Sitinggil
dikelilingi oleh empat bangunan yang terletak di sisi barat laut (Bangsal
Gandhek Kiwo), barat daya (Bangsal Balebang), timur laut (Bangsal
Gandhek Tengen), dan tenggara (Bangsal Ngangun-angun) (Depdikbud,
1999: 22).

4) Lingkaran IV : Alun-alun
Alun-alun (lapangan) merupakan lingkaran keempat. Ada dua
buah lapangan yaitu alun-alun lor (utara) dan alun-alun kidul (selatan).
Alun-alun lor merupakan halaman depan Keraton, berebntuk segi empat,
berukuran 300 meter di setiap sisinya. Di tempat masuk alun-alun lor
sebelah utara berdiri dua patung raksasa, Cikrabala dan Balaupata yang

82
dikenal sebagai penjaga pintu masuk kayangan. Di tengah-tengah alun-
alun terdapat dua buah pohon beringin Jayandaru dan Dewandaru, diapit
oleh dua pasang pohon beringin yang lebih kecil yaitu sepasang di depan
kori Pamarukan, dikenal dengan nama ringin Wak dan ringin Jenggot.
Pohon beringin Jayandaru dan Dewandaru diberi pagar besi bersegi
delapan. Oleh karena itu disebut waringin kurung sakembaran. Pohon
beringin itu dibawa dari Kartasura ke Surakarta sewaktu terjadi
perpindahan Keraton.

Di seputar alun-alun lor yaitu di sebelah utara, di sebelah barat


dan timur terdapat deretan bangunan yang disebut dengan Pakepalan.
Fungsinya sebagai tempat istirahat bagi para abdi dalem setelah
melakukan gladen watangan (latihan perang-perangan). Setelah tradisi
gladen watangan tidak ada, yaitu sejak Susuhunan Paku Buwana XI, maka
kapalan digunakan sebagai tempat istirahat para abdi dalem yang akan
menghadap raja ke istana. Oleh karena itu, nama Kapalan kemudian
disebut dengan Paseban.

Sebagai pasangan dari alun-alun lor adalah alun-alun kidul yang


berperan sebagai alun-alun pengkeran (belakang), terletak dalam lingkup
Keraton. Alun-alun kidul ini keadaannya lebih sederhana bila
dibandingkan dengan alun-alun lor. Hal itu, dapat dilihat dengan adanya
bangunan Sitinggil yang tidak dilengkapi dengan Pagelaran. Sepasang
pohon beringin yang berada di alun-alun pun tidak diberi nama dan tidak
diapit oleh pohon beringin lainnya. Adapun pintu terluar sebagai pintu
masuk dari arah selatan hanya terdiri dari satu kori saja, yaitu kori
gadhing. Sedangkan pintu masuk dari arah utara di alun-alun lor, terdapat
dua bawah kori yaitu kori Gladhag dan kori Pamarukan.

Bagian barat alun-alun lor masih ada sebuah bangunan yang


cukup penting yakni Masjid Agung, yang sebenarnya menurut konsep
konsentris pembagian kraton terletak diluar daerah istana yang

83
sebenarnya. Masjid ini terbuat untuk umum dan berada di bawah
wewenang seorang pemuka agama yang relatif mandiri, yaitu seorang
pengulu yang lazim dipilih di antara keluarga daeah kauman. Kauman
adalah daerah pemukiman kaum muslim yang taat beribadah yang terletak
di sekeliling masjid.

Bangunan Keraton Kasunanan Surakarta berkiblat ke arah empat


penjuru mata angina atau “keblat papat lima pancer”. Pintu utama untuk
memasuki pelataran keraton berada di sebelah utara, Pendapa Utama atau
Pendapa Agung untuk menerima tamu kerajaan menghadap di sebelah
timur, sedangkan bangunan utama atau Dalem Ageng menghadap kea rah
selatan, kemudian bagian barat terdapat bangunan baru yang disebut
Keraton Kulon. Bangunan Keraton Kulon ini dibuat menghadap ke barat.
Arah bangunan ini mengingatkan pada “Pradaksina” dalam Agama Hindu
yang berarti perjalanan mengelilingi sesuatu yang ada di sebelah
kanannya.

Keblat papat tersebut menurut kepercayaan orang Jawa Keraton


Surakarta dijaga oleh roh halus dari empat penjuru, yaitu :

· Dari arah timur dijaga oleh Kanjeng Sunan Lawu, keratonnya berada
di Gunung Lawu.
· Dari arah selatan dijaga oleh Kanjeng Ratu Kidul yang bernama
Kanjeng Ratu Kencanasari, keratonnya berada di Dmaudra Hindia di
selatan Pulau Jawa.
· Dari arah barat dijaga oleh Kanjeng Ratu Sekar Kedaton, keratonnya
berada di Gunung Merapi.
· Dari arah utara dijaga oleh Kanjeng Ratu Bathari Kalayuwati,
keratonnya berada di hutan Krendhawahana
Oleh karena itu bangunan Keraton Surakarta disesuaikan dengan
kepercayaan tersebut, antara lain :

· Pendapa Ageng menghadap ke timur

84
· Dalem Ageng menghadap ke selatan
· Di sebelah barat adalah tempat belajar
· Gapura untuk masuk keratin menghadap utara ( wawancara:Gusti
Winarno, 25 Januari 2010).
Demikian tentang lingkungan fisik Keraton Kasunanan
Surakarta, yang di dalamnya terdapat ratusan bangunan dengan aneka
macam bentuk, disesuaikan dengan fungsi bangunan itu. Mengingat
kedudukan Kraton sebagai pusat jagat raya, maka pengaturan bangunan di
dalam Kraton tidak terlepas dari usaha raja untuk menyelaraskan
kehidupan warga komunitas Kraton dengan jagat raya . Dengan demikian
pegaturan bangunan yang didasarkan pada pola konsentris tersebut
menempatkan bangunan yang terletak di pusat (paling tengah) merupakan
bangunan yang paling sakral.

b. Makna Filosofis Bangunan Keraton Surakarta

Pintu masuk Keraton dari arah utara adalah Gapura Gladhag.


Gapura ini berada di mulut alun-alun utara yang luas, di sana terdapat dua
patung raksasa, yaitu Cikrabala dan Balaupata.

1) Patung raksasa membawa gada, disamping kanan dan kiri gapura Gladhag.
Patung raksasa berarti : (a) penghalang yang sangat menakutkan, (b) watak
angkara murka, kekerasan. Hal ini mengandung makna siapapun yang
ingin mencapai keutamaan pastilah akan menghadapi hambatan/ rintangan
yang sangat hebat, menakutkan, bila tidak tahan dan tidak tabah akan
gagal cita-citanya. Untuk mencapai kasampuraning dumadi harus mampu
mengendalikan nafsu keangkara murkaan, emosi, kekerasan, permusuhan,
dan egoisme. Apabila semua itu masih melekat di dalam hidup manusia,
maka cita-citanya untuk mencapai kasampuraning dumadi mustahil akan
tercapai.

85
2) Gapura Gladhag
Gladhag artinya menarik, menjerat, memperdaya hewan buruan, hewan
yang akan disembelih. Biasanya hewan tersebut akan meronta, berusaha
melepaskan diri ketika dijerat/ diperdaya sebelum disembelih. Hal ini
mengandung makna bahwa siapapun yang ingin mencapai keutamaan lahir
dan batin harus mampu mengendalikan diri, ibarat nafsu kebinatangan
yang menguasai hidup harus bisa dikendalikan bahkan dihilangkan.

Bangunan Gapura Gladhag yang terdiri dari pilar-pilar di puncaknya


terdapat plenthon, pilar plenthon tadi jumlahnya 48 nuah. Jumlah itu
merupakan peringatan bahwa pada saat gapura dibangun oleh Susuhunan
PB X. Beliau berusia 48 tahun, juga sebagai peringatan bahwa masa
bertahta Susuhunan PB X telah 48 tahun (1822-1870 J)

3) Gapura Pamurakan
Pamarukan adalah tempat untuk menyembelih hewan buruan yang
kemudian dibagikan kepada masyarakat, abdi dalem, dan kawula dalem.
Pembagian itu berdasarkan pada jumlah daging yang ada dan disesuaikan
hak dari penerimanya. Hal ini mengandung makna bahwa orang hidup
harus mau menerima apa yang diberikan oleh Sang Maha Kuasa (nrima
ing pangdum). Di samping tu terkandung tuntunan bahwa orang hidup
hendaknya mau peduli terhadap sesama, saling menolong, dan saling
memberi.

4) Alun-alun Utara
Merupakan tempat yang luas, bila siang terasa panas dan bila malam terasa
dingin. Hal ini melambangkan keadaan jagat raya/ dunia ada dua hal yang
berlawanan: siang-malam, suka-duka, sehingga dalam menghadapi hidup
itu harus sabar, sareh, nrima. Sabar diambil dari luasnya alun-alun, karena
alun-alun berfungsi sebagai tempat untuk berlatih keprajuritan, olahraga,
dan untuk tempat menyampaikan Undang-undang kerajaan. Hal ini

86
mengandung makna bahwa orang hidup harus sehat dalam arti luas, mau
mendengarkan, dan mentaati aturan hukum yang berlaku.

5) Pohon Beringin
Pohon beringin di Keraton dengan nama Ringin Kurung Sakembaran yang
berada di tengah-tengah kanan kiri jalan alun-alun utara. Di sebelah timur
bernama Jayandaru berarti kemenangan, yang di sebelah barat bernama
Dewandaru berarti keluhuran. Sementara pohon sejenisnya yang berada di
sebelah barat daya disebut waringin Jenggot yang berarti jantan dan di
timur laut Waringin Wok yang berarti betina. Sedangkan yang tumbuh di
timur laut disebut Waringin Gung artinya tinggi, dan di sebelah barat
Waringin Bitur artinya rendah. Semua itu melambangkan kejayaan dan
keagungan kerajaan yang diperintah oleh seorang raja. Pohon beringin
disamping sebagai lambing kejayaan dan keagungan juga sebagai lambing
pengayom, keadilan, dan kewibawaan.

6) Masjid Agung
Di sisi barat alun-alun lor masih ada sebah bangunan yang cukup megah
yaitu masjid agung. Setiap raja senantiasa memperhatikan tempat ibadah
itu, karena semenjak berdiri kerajaan di tanah Jawa mulai Demak-Pajang-
Plered-Kartasura-Surakarta, tidak lepas dukungan dari para wali yang
sudah membawa dan menyebarkan agama Islam. Itu berarti kita harus
selalu beribadah kepada Tuhan sesuai agama dan kepercayaannya masing-
masing.

7) Pagelaran Sasana Sumewa


Merupakan Pasowanan pepatih dalem beserta reh-rehanya, tempat
meyampaikan peraturan-peraturan atau undang-undang, maka tempat ini
mengandung makna bahwa dalam kehidupan sehari-hari atau
bermasyarakat harus ada peraturan-peraturan (Jawa : tata karma).

Bangunan di tengah Sasana Sumewa dinamakan Bnagsal Pangrawit,


dibawa dari Keraton Kartasura, yang berasal dari Majapahit yang

87
diboyong ke Demak berturut-turut sampai Keraton Kasunanan Surakarta.
Sehingga Pagelaran Sasana Sumewa merupakan lambang peraturan dan
tata cara. Karena itu sebuah keraton, ada raja berarti ada undang-undang
dan tata cara. Di dalam Bangsal Pangrawit terdapat Batu Lempeng, yang
dahulu merupakan batu tempat duduk raja Hayam Wuruk di Majapahit.

8) Sitinggil
Sitinggil merupakan tanah yang tinggi. Ketinggian tanah tersebut
merupakan lambang bahwa jika kita sudah melaksanakan tuntunan mulai
dari gapura Gladhag, Pamarukan, Alun-alun dengan pohon beringin
sakembaran, Pagelaran, kemudian samapi tanah yang tinggi dapat
dikatakan bahwa kita sudah naik tingkat yang berarti kita sudah memiliki
kedewasaan jiwa. Siapapun orang yang sudah berjiwa dewasa, maka akan
menemukan sifat “sepuh”, biasanya tidak lagi menjadi pemarah. Sareh,
mudah memberi maaf kepada siapapun.

Jalan menuju sitinggil undhak-undhakan yang ditengahnya terdapat batu


lempeng yang diplester bernama Sela Pamecat, dibawa dari Kartasura.
Batu tersebut pernah digunakan untuk memecah kepala Trunajaya tahun
1680 M. Di akhir undhak-undhakan terdapat pintu yang bernama kori
Wijil, yaitu untuk mengingat nama pujangga besar pendamping
Yosodipura I yang bernama P. Wijil. Juga merupakan ajaran kepada kita
supaya berhati-hatu bila berucap atau wijiling lesa agar tidak menyakitkan
hati orang lain.

9) Bangsal Sewayana
Sewayana berasal dari kata Sewa dan Yana. Sewa berarti lenggah dan
yana berarti pandang. Jadi Sewayana merupakan tempat palenggahan
yang luas sehingga dapat melihat ke arah jauh. Tempat ini untuk
pasowanan para pangeran putra, sentana, abdi dalem, bupati, bupati anom,
ketika Susuhunan miyas sinewaka di Sitinggil utara Keraton Surakarta.
Sebelah Selatan tengah Bangsal terdapat bangunan kecil menghadap utara,

88
dinamakan bangsal Manguntur Tangkil, yaitu tempat duduk raja ketika
sinewaka biasanya setiap senin dan kamis atau ketika raja memutuskan
perkara. Bangsal ini juga dinamakan bangsal pancaniti, artinya ketika
memutuskan perkara dihadiri oleh lima pembesar :

a) Sinuhun sebagai pembesar


b) Pepatih dalem sebagai jaksa
c) Pujangga sebagai Panitra atau pembela
d) Abdi dalem penghulu sebagai anggota
e) Senopati sebagai anggota.
10) Bangsal Witana
Di belakang Bangsal Maguntur Tangkil terdapat bangunan
terbuka yang dinamakan Bangsal Witana yaitu tempat duduk abdi dalem
estri, yang bertugas membawa ampilan keprabon : Sawunggaling, Kuthuk
Emas, Hardawalika, yang semuanya serba emas serta kelengkapan senjata
anatara lain : tombak, pedhang, tameng, panah dll. Semua benda itu
mengandung makna bahwa hidup di dunia ini pasti banyak permasalahan,
banyak perkara yang perlu diselesaikan. Penyelesaian masalah harus
dilaksanakan dengan bijaksana penuh dengan kewibawaan dan tidak pilih
kasih. Di belakang Bangsal Witana terdapat tembok penyekat atau kelir
dan di sebelah timur dan barat tembok terdapat undhak-undhukan yang
terkait dengan kelir tersebut disebut kori Renteng. Setelah undhak-
undhukan terdapat pintu yang bernama kori Mangu makna dari semua itu
adalah :

a) Lambang penutup rahasia kehidupan, artinya bahwa di dalam tubuh itu


terdapat hal yang rahasia dan tidak boleh dijamah siapapun.
b) Sebagai tameng sekat tempaan angin, menurut ajaran Hyang Hendra
dan Hyang Bayu bahwa siapapun yang dapat membuka tabir penyekat
tadi berarti dapat menyatunya umat dan pencipta Manunggaling
Kawula Gusti. Namun demikian untuk mencapai Manunggaling

89
Kawula Gusti harus menghadapi banyak rintangan dan hambatan yang
berat.

11) Kori Brajanala/ Kori Gapit


Brajanala berasal dari kata braja dan nala. Braja artinya senjata
tajam atau api, nala artinya hati atau perasaan. Jadi Brajanala berarti
tajamnya perasaan yang harus ditunjukan apabila seseorang akan masuk
atau keluar dari komplek istana. Di kanan kiri pintu Brajanala terdapat
bangsal Brajanala yang dibangun oleh Susuhunan Pakubuwono III tahun
1708 Jawa 1782 M bersama dengan pembangunan Baluwarti

Kori Brajanala mengandung peringatan bagi yang ingin


mencapai kesempurnaan, harus bijaksana, tajam penglihatan batin
berdasar prihatin. Jadi senjataya adalah hati, dala arti lain harus
melaksanakan laku kebatinan, yaitu ketika manusia mencapai dewasa
dalam arti lahiriah. Adapun wisamarta berarti dapat menghilangkan segala
wisa menghilangkan pikiran jahat, memfitnah, membunuh, dan saling
menjatuhkan.

Di sebelah timur kori Brajanalana terdapat panggung tempat


gentha/loceng besar yang dahulu sebagai tanda jam pada saat istirahat atau
pergantian tugas saja.

Disebut kori gapit karena daun pintu tersebut digapit dengan


besi. Namun sebenarnya kori gapitr tersebut adalah untuk mengingat
permulaan diciptakan pada masa Kanjeng Panembahan Senopati Ing
Ngalaga, lengkapnya lawang Gapit Dalam Wong 1529 Jawa

12) Madherata/ Balerata


Sebuah bangunan terbuka merupakan tempat untuk pemberhentian kereta
atau kendaraan tamu agung kerajaan.

90
13) Kori Kamandhungan
Kamandhungan berasal dari kata Mandhung. Mandhung berarti berhenti
dahulu, secara lahir maupun batin menata diri, anatara lain dengan
merapikan pakaian, tingkah laku, dan sikap. Oleh sebab itu, di sebelah
barat dan timur di pasang kaca yang cukup besar. Mengandung ajaran
bahwa siapapun hendaknya selalu mawas diri, mau melihat kekurangan
sendiri, jangan merasa paling pandai, merasa jujur, padahal masih banyak
kesalahan, kekurangan dan dosa.

Di atas pintu kori Kamandhungan terdapat gambar lambang Keraton


Surakarta, dengan berbagai macam senjata perang, di tengahnya terdapat
gambar daun kapas disebut Makhuta Raja. Di tengah-tengah terdapat
gambar mahkota yang berarti penguasa di bidang kebudayaan, adat. Yang
menjadi pengemban adalah ang memegang tahta/raja, juga para putra
sentana, abdi dan kawula

Di tengah dilingkari garis berbentuk clip yang terdapat gambar Matahari,


Bulan, serta jagad di tancap paku

- Matahari : Surya merupakan nama Hamangkurat IV di Kartasura


- Bulan : Sasongko merupakan nama K. G. P. H. Purubaya di
Kartasura

- Bintang : Sudama merupakan nama K. G. P. H. Blitar di Kartasura


Menyatunya darah ketiga tadi menurunkan Susuhunan Paku
Buwana X, yang tergambar pada jagad raya dengan buwana terpaku.
Adapun pada dan kapas melambangkan pangan, sandang yang terikat pita
merah putih, melambangkan terjadinya keturunan denagn perantara Ibu
dan Bapak

14) Bangsal Smarakata dan Marcukundha


Setelah melewati kori Kamndhungan kemudian akan memasuki
Sri Manganti. Di sebelah barat dan timur terdapat dua bangunan yang

91
saling menghadap dan mirip bentukya. Yang berada di sebelah barat
namanya Bangsal Smarakata dan di sebelah tiur namanya Marcukhunda.
Dua bangunan tersebut mempunyai fungsi yang berlainan. Pada waktu itu
dibuat oleh PB III dan disempurnakan oleh PB IV pada atahun 1714 J /
1814 M serta digunakan sebagai temmpat pisowonan para bupati, serta
digunakan sebagai tempat pemberian hadiah bagi abdi dalem yang berjasa
terhadap Keraton atau untuk memberikan kenaikan pangkat abdi dalem.
Sekarang dipakai untuk latihan tari dan dalang.

Marcukundha artinya tempat api menyala. Bangsal


Marcukundha, dahulu dipakai sebagai tempat untuk menjatuhkan
terhadap putra sentana yang bersalah. Di belakang bangunan tersebut
terdapat sel-sel untuk memenjarakan putra sentana dalem yang terkena
hukuman. Kedua tempat tesebut sebenarnya memberi tuntunan/ajaran
bahwa seorang raja/pemimpin tidak boleh pandang bulu terhadap siapa
saja, yang berjasa akan mendapat hadiah dan yang bersalah akan mendapat
hukuman sesuai dengan tingkat kesalahannya. Jadi raja/pemimpin harus
berlaku adil dan tidak pilih kasih.

15) Sri manganti


Sri Manganti terdiri dari dua kata yaitu Sri dan Manganti.
Manganti artinya menunggu dan Sri artinya Raja, jadi Sri Manganti
artinya menunggu perintah raja. Bangunan ini dibuat oleh Susuhunan PB
IV pada tahun 1718J / 1792M. Pada sisi kanan dan kiri pintu dindingnya
terdapat lambang padi kapas, sebagai lambang dan permohonan bahwa
masyarakat ingin selalu hidup subur tentram dan makmur kecukupan
kebutuhannya. Kemudian di sebelah dinding atas terdapat lambang /
gambar beberapa pusaka serta di atasnya tedapat mahkota, itu berarti
ajaran untuk bisa meredam segala kekerasan, kerusuhan dan supaya terjadi
kerukunan. Bentuk bangunan Sri Manganti disebut Semar Tinandhu. Di
belakang kori pada dinding terdapat kaca besar untuk pengilon, merupakan

92
filsafat bahwa orang yang akan masuk pintu surga, akan bertemu dengnan
diri pribadinya terlebih dahulu

16) Panggung Sanggabuwana


Sebagaimana kita ketahui dan dapat dilihat dari jauh, di keraton
terdapat bangunan tinggi berbentuk menara yang disebut Panggung
Sanggabuwana, yang mempunyai tinggi kurang lebih 30 meter yang terdiri
dari 5 lantai. Dibuat dari zaman PB III dibuat oleh tukang batu yang
bernama Kyai Batuiretna serta tukang kayu bernama Kyai Nayawreksa

Nama lengkapnya disebut Luhur Sinangga Buwana menunjukan


Candrasengkala naga muluk tinitihan jamna = 1708 Jawa. Fungsi
panggung pada zaman dahulu adalah sbb :

a) Untuk melihat ke arah jauh di luar keraton. Untuk mengamati gerak-


gerik orang atau musuh yang akan berbuat jahat
b) Untuk meditasi para raja
c) Melihat timbulnya bulan, guna untuk menentukan tanggal puasa dan
hari raya
17) Pusat bangunan/ Telenging Keraton
Setelah panggung Sanggabuwanan kita berada di suatu halaman
yang luas yang ditanami pohon sawo kecik. Apabila sudah sampai disini
akan terlihat segala sesuatu yang indah, didalamnya terdapat lampu
remang-remang yang menghiasi pendhapa. Sebagai pusat bangunan
terdapat pendhapa Agung Sasana Sewaka, yaitu tempat pisowanan raja.
Setelah pendhapa agung menuju ke dalem agung Prabasuyasa yang di
tengahnya terdapat Krobogan atau keranjang kebesaran raja. Hal ini
mengandung makna bahwa kita sudah berhasil memasuki alam yang serba
tenteram dan tenang. Sampai di sini haus senantiasa waspada, tidak boleh
goyah dan terpengaruh oleh godaan siapapun.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa setiap


bangunan di Keraton Surakarta mengandung falsafah atau ajaran untuk

93
mencapai kesempurnaan hidup / kasampirnaning dumadi (K R M H
Yosodipuro, 1994: 4).

C. Pengembangan Pariwisata Di Keraton Kasunanan Surakarta

1. Daya Tarik Keraton Kasunanan Surakarta

Dalam ingatan kolektif, Kota Solo dikenal sebagai kota Plesiran ( kota
tamasya), kota budaya, dan kota yang tidak pernah tidur. Berbagai kegiatan yang
menarik ditampilkan, terutama melalui berbagai promosi kebudayaan. Promosi
kebudayaan ini beperan secara signifikan dalam membangun ingatan kolektif
tentang Kota Solo, dimana di Solo terdapat : Keraton Kasunanan dan
Mangkunegaran, Taman Sriwedari, Taman Balekambang, Taman Jurug, serta
Bengawan Solo. Berbagai realitas simbolik ini telah mengantarkan Kota Solo
sebagai salah satu kota penting yang memperkaya khasanah kultural bangsa
Indonesia. Dalam ruang imajinasi publik, Kota Solo menjadi kota yang penuh
dengan daya tarik kultural yang mampu menghipnotis orang-orang dari luar kota
Solo maupun manca negara, sehingga banyaknya wisatawan tidak dapat dihindari.
Kota Solo dihadapkan pada berbagai tantangan yang mempengaruhi dinamika
internalnya

Orang-orang Jawa di wilayah pinggiran Kerajaan Surakarta tempo dulu


sering mengatakan hendak pergi ke “Nagari”. Yang dimaksud “Nagari” adalah
ibu kota kerajaan yang kini menjadi wilayah kota Solo. Sebagai pewaris pusat
kerajaan Mataram Surakarta, Kota Solo menunjukkan ciri-ciri kota yang
konsentris. Pola konsentris ini terkait dengan watak yang memusat dari dalam
alam pikiran tradisional Jawa. Di dalam pembagian wilayah kerajaan semuanya
tetap didasarkan pada watak yang memusat, wilayah tanah dikonsepsikan dalam
tiga lingkaran dengan keraton sebagai pusatnya. Pembagian wilayah pada masa
kerajaan tersebut adalah :

94
1) Kutaraga atau Kutanegara dengan keraton raja sebagai titik pusat, jadi boleh
disebut keraton merupakan pusat sedangkan Kutaraga atau Negara adalah
lingkaran wilayah yang pertama.
2) Negara Agung adalah daerah sekitar Kutaraga, yang masih termasuk inti
kerajaan, karena di daerah inilah terdapat tanah lungguh jabatan dari para
bangsawan yang bertempat tinggal di Kutaraga (di daerah Bagelen wilayah
Negaragung Surakarta dan Yogyakarta tumpang paruk).
3) Mancanegara adalah daerah luar Negara Agung, yang meliputi: Mancanegara
Wetan di daerah Bagelen wilayah Negaragung (mulai ponorogo ke timur), dan
Mancanegara Kulon (mulai Banyumas ke Barat).
4) Daerah Pasisiran, terdiri dari : Pasisiran Kulon (Demak ke Barat) dan
Pasisiran Wetan (Demak ke Timur) (G.Moedjanto, 1998 : 112).
Daya tarik yang didominasi oleh pusat ini menjadikan kota Solo sebagai
wilayah migrasi yang hingga kini mengalir terus. Daya tarik tersebut meliputi :

a. Museum Keraton Kasunanan Surakarta


Museum keraton merupakan kelompok bangunan yang denahnya
membentuk empat persegi panjang membujur arah utara-selatan. Di lihat dari
atapnya museum keraton terdiri dari empat komponen bangunan. Untuk
memudahkan uraian maka komponen bangunan tersebut berturut-turut dari
utara disebut bangunan sisi utara, bangunan sisi barat, bangunan sisi selatan,
dan bangunan sisi timur.

1) Bangunan sisi utara


Bangunan sisi utara membujur dari arah timur-barat.
Berdasarkan struktur bangunan atapnya bangunan sisi utara ini berdenah
ukuran 6m x 38 m bangunan berbentuk limas pada ujung timur dan
bentuk kampung pada ujung barat. Penutup atap berupa seng gelombang
dicat dengan warna merah meni. Pada bangunan sisi utara terdapat sebuah

95
pintu utama untuk memasuki museum. Di sisi utara dan selatan bangunan
terdapat selasar/teras masing-masing selebar 4 m. Selasar/teras sisi utara
saat ini difungsikan untuk loket tempat penjualan tiket masuk museum
sedangkan selasar/teras sisi selatan untuk lalu lintas pengunjung museum.
Atap selasar ditutup dengan seng gelombang berwarna merah meni
sedangkan di bawah atap dipasang eternity. Atap tersebut disangga oleh
tiang-tiang dari pipa besi setiap interval 4 m dengan tambahan konsol
untuk menyangga talang-talang. Di antara atap bangunan dan atap selasar
tedapat lubang ventilasi berbentuk bulat berukuran 55 cm pada setiap
interval 3 m. Lubang ventilasi tersebut ditutupi dengan ukiran kerawang
dari kayu.

Bangunan sisi utara terbagi menjadi empat ruang masing-


masing dari timur ke barat adalah lorong pintu masuk/ruang penghubung.
Ruang gamelan 1, ruanng souvenir dan ruang gamelan 2.

1.1. Lorong pintu masuk / ruang penghubung


Lorong pintu masuk berukuran 4 m x 6 m ruang ini pada
sisi timur berbatasan denga kamar mandi/WC dan sisi barat
berbatasan dengan ruang gamelan 1. Pintu masuk utama pada sisi
utara berukura lebar 2.20 m x tinggi 3.90 m dengan sedikit lengkung
pada bagian atas. Kosen maupun daun pintu dibuat dari kayu jati
daun pintu berbentuk lawang kupu (dua inep) dicat dengan warna
kuning muda berpadu dengan warna biru tua pada listnya. Pada sisi
selatan terdapat lubang pintu tanpa daun dengan ambang atas
berbentuk lengkung. Lubang pintu ini diapit oleh dua pilar diberi
hiasan list-list vertikal sedangkan pada bagian atas diberi hiasan
profil pelipit horizontal. Lubang pintu ini berukuran 2.20 m x 3.90
m. Lantai ruanagan berupa keramik berwarna putih berukuran 30 x

96
30 cm sama dengan lantai kamar mandi/WC sedangkan plafon dari
eternity dengan ketinggian ± 7 m dari lantai.

1.2. Ruang Gamelan I


Ruang ini mempunyai denah ukuran 6 m x 12 m berlantai
ubin abu-abu dengan ukuran 20 cm x 20 cm dan hanya mempunyai
satu pintu masuk di sisi selatan berukuran 2 m x 3 m. Daun pintu
berbentuk lawang kupu dibuat dari kayu jati polos tanpa hiasan. Di
dalam ruangan ini terdapat seperangkat gamelan, yang dibuat pada
masa Susuhunan PB IV.

1.3. Ruang Souvenir


Ruang souvenir adalah sebuah ruang semi terbuka yang
memisahkan antara ruang gamelan I dan II. Menurut informasi
tempat ini dahulu digunakan untuk tempat souvenir namun saat ini
tak digunakan lagi sehingga hanya merupakan ruang kosong dengan
sepasang meja dan kursi. Pada dinding utara terdapat sebuah pintu
yang tidak difungsikan lagi. Pintu tersebut berbentuk “lawang kupu“
dengan hiasan ukiran tempel berwarna kuning keemasan. Dinding
sisi utara maupun pintunya diberi cat warna hijau daun. Sedangkan
dinding lainnya diberi cat warna biru muda. Pada sisi selatan terdapat
lubang berbentuk persegi panjang berukuran 4 m x 3 m. Lantai ruang
berupa tegel abu-abu berukuran 30 cm x 30 cm.

1.4. Ruang Gamelan II


Sama seperri ruang gamelan I, ruang gamelan II berisi
seperangkat gamelan. Ruang ini berukuran 6 m x 20 m dengan satu
pintu di dinding selatan.

2) Bangunan sisi barat

97
Berdasarkan struktur atapnya bangunan sisi barat berdenah
berukuran 6 m x 180 m membujur arah utara-selatan bersambung dengan
bangunan Panti Pidana. Atap bangunan berbentuk limasan dengan
penutup dari seng gelombang. Di sisi selatan bangunan ini terdapat
bangunan membujur timur-barat dengan bentang 6 m yang merupakan
lanjutan dari Koken. Atapnya juga berbentuk limasan. Atap bangunan
tersebut dipisahkan oleh talang sedangkan pemisah ruangan antara
bangunan panti pidana museum dan koken adalah lorong pintu atau ruang
penghubung.

Bangunan sisi barat yang saat ini berfungsi sebagai museum


terdiri dari 7 ruang display dan 2 ruang penghubung atau lorong pintu.
Bangunan tersebut dilengkapi dengan emperan atau selasar selebar 4 m
pada sisi barat dan timur. Emperan tersebut mempunyai atap tersendiri
yang berupa seng gelombang yang diletakkan di bawah atap bangunan
dan atap emperan terdapat lubang ventilasi dengan 55 cm setiap interval 3
m dilengkapi semacam teralis dari kayu yang berupa ukiran kerawang
bermotif suluran. Di bawah atap terdapat lisplang dengan tepi berbentuk
deretan segitiga bergerigi dipadu dengan motif lengkung.

Emperan sisi timur disangga oleh deretan tiang besi setiap


interval 4 m diberi cat warna biru. Lantai emperan ditutupi dengan tegel
abu-abu berukuran 30 cm x 30 cm. Menurut informasi atap selasar sisi
selatan sepanjang 36 m pernah runtuh dan kemudian diganti dengan
konstruksi baru dari kayu Kalimantan. Pada saat ini atap selasar tersebut
belum dipasang langit-langit

Emperan sisi barat disangga oleh deretan tiang yang dibuat dari
kayu berjumlah 15 buah setiap interval 4 m. Yang menarik perhatian
bahwa tiang-tiang tersebut mempunyai bentuk yang sangat spesifik
dengan hiasan ukiran yang sangat bagus pada bagan kepala tiang. Tiang-
tiang tersebut dicat dengan warna biru muda dipadu dengan biru tua.

98
Bentuk tiang seperti tersebut mengingatkan kita pada tiang gaya
korinthis yaitu penampang tiang bulat bergaris-garis vertikal kaki tiang
berbentuk cincin dan kepala tiang diberi hiasan berupa motif tumbuhan
Selain itu, yang menarik perhatian adalah bahwa pada kepala tiang
tersebut terdapat ukiran tulisan “PB X”.

Berbeda dengan sisi timur lantai emperan/selasar sisi barat


ditutup dengan peluran atau polesteran halus. Sedangkan langit-langit
emperan dari papan kayu yang dicat warna biru muda dan di tengah-
tengah plafon tersebut pada setiap jarak 4 m terdapat hiasan berupa ukiran
tempel dari kayu. Hiasan tersebut digunakan untuk tempat gantungan
lampu-lampu hias. Saat ini lampu hias asli sudah tidak dijumpai lagi
sedangkan lampu hias yang ada sekarang hanyalah tiruan. Menurut salah
seorang putra Dalem merupakan lampu hias tiruan ini merupakan lampu
yang meniru bentuk lampu lama.

Pada bangunan sisi barat yang menghadap pelataran kraton


terdapat 8 (delapan) buah pintu yang mempunyai bentuk, ukuran dan
hiasan yang sama. Pintu-pintu tersebut saat sekarang tidak berfungsi lagi
sebagai pintu karena ditutup untuk keperluan display museum. Lubang
pintu berukuran 170 cm x 300 cm dengan daun pintu berbentuk lawang
kupu. Diatas gawang pintu terdapat ventilasi berbentuk hiasan ukiran
kerawang dengan motif sulur-suluran, ditengah-tengahnya terdapat ukiran
berbentuk bintang bersudut sepuluh. Di atas kosen pintu terdapat hiasan
ukiran membentuk bintang bersudut segitiga/semacam gunungan yang
ditempelkan pada tembok dan motif sulur-suluran menyerupai hiasan
“naga paksi”. Ditengah-tengah hiasan tersebut terdapat tulisan “PB X”.

Pada tembok sisi timur terdapat empat buah pintu dengan


peletakan yang tidak teratur. Bentuk dan ukran pintu ini sama dengan
pintu-pintu pada bangunan sisi utara dan timur. Menurut informasi pintu
pada tembok sisi timur ini dahulu berjumlah 8 bauh, mempunyai bentuk

99
hiasan dan ukuran yang sama dengan pintu-pintu yang menghadap
pelataran kedhaton. Untuk memenuhi keperluan display museum maka
pintu-pintu tersebat dibongkar, sebagian ditutup tembok dan sebagian
dibuat pintu baru. Bongkaran-bongkaran pintu tersebut saat ini masih
tersimpan di gudang sebelah selatan berjumlah 8 buah.

Berdasarkan foto lama hasil repro foto koleksi kerabat kraton,


pada bangunan museum sisi barat menghadap ke taman (timur) terdapat
kanopi atau bangunan kuncungan yang disangga oleh tiang-tiang dari
pasangan bata. Tampak pada foto tersebut dibelakang kuncungan kanopio
terdapat sebuah pintu diapit oleh dua buah jendela kaca. Sayang sekali
foto tersebut tidak diketahui tahun pembuatannya. Sampai sekarang tiang-
tiang dari pasangan bata tersebut maupun bekas potongan kanopi yang
menempel tembok bangunan masih dapat kita jumpai. Sedangkan pintu
dan kedua jendela yang mengapit pintu saat ini sudah ditutup tembok.
Seperti telah disebutkan di muka bangunan museum sisi barat ini
mempunyai 7 (tujuh) ruang display dengan 4 (empat) pintu yang
menghubungkan dengan selaras timur. Antara ruang display satu dengan
lainya dihubungkan oleh lubang pintu tanpa daun. Lantai ruang display
berupa tegel abu-abu ukuran 20 cm x 20 cm. Sesuai dengan fungsinya
sebagai museum maka ruang-ruang tersebut berisi koleksi benda-benda
kuna milik Keraton Surakarta. Jenis-jenis benda yang dipamerkan antara
lain berupa gambar raja-raja Keraton Surakarta, kursi-kursi raja dan
almari., alat-alat trasportasi seperti kereta Joli, kyai Rajamala (bagian dari
perahu), senjata, benda-benda perunggu seperti arca Budha, Durga,
Avalokiesvara, Siwa, Kuwera dan lain-lain, juga beberapa relief yang
ditempelkan di dinding, maket, alat-alat upacara dan sebagainya. Untuk
memenuhi display koleksi maka ruang-ruang tersebut ditata sedemikian
rupa dimaksudkan untuk memperoleh aspek keindahan dan kenyamanan.
Untuk itu di dalam ruang museum dapat kita saksikan almari fitrin yang
ditempelkan di tembok sehingga deretan pintu sisi barat di tutup tembok

100
dan sebagian dibuat lagi dengan pintu-pintu baru sama dengan pintu-pintu
pada bangunan sisi utara dan timut. Pada ketinggian ± 3,5 m dari lantai
dipasang plafon berupa triplek berukuran 1 m x 2 m.

Ruang display bangunan sisi barat ini diapit oleh dua ruang
penghubung atau lorong pintu yaitu sisi utara menghubungkan museum
dengan peralatan keraton, dan sisi selatan menghubungkan museum
dengan koken, ruang penghubung atau lorong pintu ini mempunyai
bentuk dan ukuran yang sama dengan ruang penghubung bangunan sisi
utara. Lantai pada kedua ruangan ini lebih rendah ± 10 cm dibandingkan
dengan lantai selaras maupun ruang museum. Penutup lantainya adalah
plesteran sedangkan plafonya dari papan kayu jati yang dipasang pada
ketinggian 7 m, berada di atas lubang ventilasi dan di cat dengan warna
kuning atau krem. Ditengah-tengah plafon tersebut ditempel hiasan
ukiran sama dengan ukiran pada plafon selaras sisi barat untuk tempat
gantungan lampu.

3) Bangunan sisi timur


Berdasarkan struktur atapnya bangunan sisi timur berdenah
ukuran 6 m x 140 m. Atap bangunan berbentuk limas pada ujung utara
dan bentuk pelana dalam bentuk selatan. Struktur atap ditopang oleh
pasangan bata setebal 48 cm. Pada tembok sisi timur yang berbatasan
dengan jalan jero benteng wetan setiap 11,5 m diperkuat dengan struktur
tembok setebal 90 cm di bagian bawah dan 30 cm di bagian atas selebar
115 cm sampai ketinggian 4.40 m. Di atasnya pada ketinggian 4,50 m
dari tanah terdapat lubang ventilasi berbentuk lingkaran 55 cm setiap
jarak 3 m. Penutup ventilasi adalah ukiran kerawang dari kayu. Lubang
ventilasi seperti tersebut juga terdapat pada tembok sisi barat. Atap
bangunan ditutup dengan seng gelombang berwarna merah meni. Di
bawah atap bangunan terdapat atap selasar/emperan yang juga ditutup
dengan seng gelombang. Atas emperan tersebut ditopang oleh tiang-tiang
dari pipa besi dicat warna biru setiap interval 3 m. Langit-langit selasar

101
berupa eternity berukuran 1 m x 1 m sedangkan lantainya dari tegel abu-
abu berukuran 30 cm x 30 cm.

Bangunan sisi timur ini terdiri dari 6 ruang dengan ukuran


yang berbeda. Ruang paling utara digunakan untuk kamar mandi/ WC
berukuran 6 m x 6 m. Lantai ruang ini ditutup dengan keramik ukuran
30 cm x 30 cm, sedangkan ruang paling selatan berukuran 6 m x 26 m
digunakan untuk gudang. Adapun empat ruang lainnya digunakan untuk
display koleksi museum. Empat ruang tersebut masing-masing dari utara
berukuran 6 m x 44 m, 6 m x 27.5 m, 6 m x 10 m dan 6 m x 26 m tiga
ruang di sebelah selatan dihubungkan oleh lubang tembok penghubunng,
sedangkan ruang paling utara terpisah. Keempat ruang display koleksi
museum mempunyai pintu dengan bentuk dan ukuran yang sama di sisi
barat menghadap ke taman. Lantai ruang display dan gudang berupa ubin
abu-abu berukuran 20 x 20 cm dan telah dinaikan ± 10 cm dari lantai
semula yang berupa plesteran.

4) Bangunan sisi selatan


Bangunan sisi selatan merupakan bangunan baru yang pernah
digunakan untuk gedung SMEA swasta. Saat ini gedung tersebut tidak
digunakan lagi. Sebagian dibiarkan kosongan dan sebagian digunakan
untuk gudang . Menurut informasi, pada bagian selatan kompleks
museum ini dahulu terdapat bangunan pendopo menghadap ke utara yang
disebut Dalem Kadipaten. Di tempat inilah Pangeran Adipati Anom
tinggal sebelum menjadi raja. Pada denah situasi Keraton Surakarta yang
dibuat oleh Victor Zimmerman yang pernah mengunjungi Keraton
Surakarta pada tahun 1915. Dalem Kadipaten masih terlihat namun
mengetahui kapan Dalem Kadipaten itu dibongkar tidak ditemukan data
yang pasti. Kemungkinan sumur yang masih dapat kita saksikan di
halaman museum sisi selatan adalah sisa-sisa Dalem Kadipaten. Sumur
tersebut saat ini masih dikeramatkan dan dibuatkan bangunan penutup di
atasnya.

102
5) Lain-lain
Di tengah kompleks bangunan museum membentang sebuah
halaman yang luas berukuran 32 m x 144 m membentang arah utara-
selatan. Permukaan tanah halaman lebih rendah 50 cm dari permukaan
lantai selasar yang dihubungkan oleh undakan dengan dua ank tangga. Di
depan bekas kanopi terdapat taman berbentuk lingkaran (bundar) yang
dikelilingi pagar teralis dari besi dipadu dengan pasangan bata diplester
dengan berbentuk segi delapan setiap jarak 1.5 m dengan ketinggian ± 7
cm. Di tengah-tengah taman tersebut, terdapat sebuah patung wanita
gaya Italia berdiri di atas pasangan bata yang diplester benrtuk persegi. Di
sekeliling halaman tersebut selain ditanam jenis tanaman hias, juga
terdapat tanaman buah seperti pohon kelengkeng, jambu, mangga dan
pohon-pohon besar lainnya Tanaman hias selain ditanam langsung di
tanah, banyak juga yang ditanam di pot. Sedangkan pohon besar seperti
pohon kelengkeng di tanam di dekat bangunan sehingga sebagian ranting
dan daunnya berada di atas atap selasar.

Di sebelah selatan taman bundar terdapat sebuah potongan


balok kayu jati yang diberi atap pelindung. Potongan balok kayu jati
tersebut merupakan sisa balok kayu jati dari hutan Donoloyoyang dipakai
untuk membangun kembali keraton setelah terbakar pada tahu 1985 Di
sebelah selatannya lagi terdapat sebuah sumur kuno berbentuk persegi
dan diberi atap pelindung semacam cungkup.

Peninggalan Keraton Surakarta, selain berupa bangunan-


bangunan ada pula yang berupa benda-benda peninggalan yang terdapat
di komplek Keraton Surakarta. Di depan Sasana Sumewa diletakkan tiga
buah meriam. Meriam-meriam tersebut masing-masing bernama Kyai
Pancawarna, Kyai Brasta, Kyai Segarawarna. Meriam Pancawarna dibuat
pada masa pemerintahan Sultan Agung di Mataram , meriam ini
bentuknya paling besar di antara meriam-meriam yang lain. Meriam ini
disebut Kyai Sapujagat.

103
Selain itu di tepi halaman depan Sitinggil terdapat 8 buah
meriam urut dari sebelah barat ke timur adalah sebagai berikut :

a. Kyai Bringsing, pemberian dari Raja Siam


b. Kyai Bagus, pemberian Jenderal Van Der Leen
c. Kyai Nangkula, pemberian dari VOC
d. Kyai Maesa Kumali, dibuat pada zaman Mataram 1545 Jawa 1623 M
e. Kyai Kumbarawi, dibuat pada zaman Mataram 1545 Jawa 1623 M
f. Kyai Sadewa, pemberian dari VOC
g. Kyai Alus, pemberian Jenderal Van Der Leen
h. Kyai Kadhal Buntung / Kyai Pemecut, dibuat pada zaman Mataram
(DepKebPar, 2001 : 7)
Selain meriam, juga terdapat benda-benda peninggalan sejarah
yang tersimpan di Museum Keraton Surakarta, yang terdiri dari beberapa
ruang, berikut ruang-ruang dalam museum Keraton Surakarta beserta
detail isinya :

Ruang I

Gambar-gambar foto raja dan ukiran kursi raja :

a. Gambar Susuhunan Paku Buwana V - XII


b. Gambar Susuhunan Paku Buwana X duduk dengan pakaian kebesaran
c. Satu gambar kanjeng emas permaisuri Susuhunan Paku Buwana X
d. Kursi ukir dadri zaman Susuhunan Paku Buwana IV 1788 – 1820
e. Dua buah kursi ukir dari Gianyar Bali yang dipersembahkan kepada
Susuhunan Paku Buwana X
f. Sebuah kursi tenpat duduk Susuhunan Paku Buwana X
g. Dua buah almari dari zaman Susuhunan Paku Buwana X

104
Ruang II

Dalam almari-almari kaca dipamerkan bermacam-macam benda


dan arca perunggu, antara lain Buddha Awalokiteswara dan beberapa arca
batu dari zaman purbakala :

a. Arca Dewa Kuwera


b. Arca Dewi Durga
c. Arca Dewi Tara
d. Arca Dewa Siwa Mahaguru

Ruang III

Terdapat kuda dari kayu lengkap dengan pakaiannya untuk dinaiki


pengantin laki-laki kerajaan.

Ruang IV

Adegan pengantin perempuan dan laki-laki duduk bersila di depan


Krobogan diapit oleh dua orang patah sakembaran. Satu joli besar sebuah
tempat pakaian ukir-ukiran dibuat pada aman Paku Buwana X.

Pada dinding terdapat relief :

a. Relief keberangkatan calon pengantin kerajaan laki-laki dan


perempuan dari keraton ke kepatihan
b. Relief adegan pengantin menjalankan upacara ijab nikah
c. Relief adegan pengantin panggih yaitu pengantin perempuan
dipertemukan dengan pengantin laki-laki .

Ruang V

105
Terlihat adegan kesenian rakyat :

a. Adegan pergelaran wayang kulit purwo dengan kelir wayang dan


dalang
b. Pada dinding terdapat relief :
1) Klenengan yaitu musik Jawa tanpa penari
2) Pertunjukan wayang kulit
3) Pertunjukan wayang kulit pada upacara perkawinan, supitan,
ruwatan dan bersih desa.
c. Pada dinding sebelah barat dalam almari kaca terdapat adegan :
4) Wayang Kulit Purwa
5) Wayang Kulit Gedhok
6) Wayang Kulit Madya
7) Wayang Golek dari kayu, berbemntuk manusia
8) Wayang Klitik, seperti wayang kulit yang dibuat dari kayu

Ruang VI

Di ruang ini terdapat bermacam-macam topeng yang digunakan khusus


dalam tarian topeng. Ceritanya mengambil dari cerita Panji Inukertapati,
Asmarabangun, Dewi Galuh, Candrakirana, Klana. Pada dinding timur di
perlihatkan lukisan relief :

a. Relief pertunjukan Jaran Kepang


b. Relief pertunjukan tarian Tayub yaitu seorang wanita menari dan
menyanyi diiringi gamelan
c. Relief pertunjukan Lawung : dua orang naik kuda membawa sodor
bertarung diiringi gamelan
d. Relief pande keris atau tukang membuat keris
e. Relief upacara keselamatan

106
Ruang VII

Di ruang ini terdapat beberapa benda alat upacara antara lain :

a. Bokor, Kendil
b. Perhiasan
Di ruang tengah terdapat sebuah payung bersusun tiga untuk upacara
khitanan Susuhunan PB IV.

Ruang VIII

Ruang koleksi tandu, kramun unutuk memikul putri raja / penari srimpi

Ruang IX

Koleksi kereta para raja :

a. Kereta kyai Gruda, dadri zaman Susuhunan PB II di Kartasura tahun


1726, persembahan VOC
b. Kereta kyai Garuda Putra, kereta yang dipakai pada zaman Susuhunan
PB X untuk menjemput tamu agung
c. Kereta kyai Maraseba, yaitu untuk titihan Susuhunan PB III
d. Di sebelah selatan dalam almari kaca terdapat pakaian kusir /
pengemudi kereta dan pakaian kuda

Ruang X

Pada dinding terdapat lukisan Relief :

a. Relief pertemuan antara Susuhunan PB IV dengan pangeran


Diponegoro pada waktu Perang Jawa. Keduanya dilukiskan dengan
naik kuda
b. Relief pengadilan pada zaman kuno

107
Ruang XI

Terdapat beberapa koleksi senjata kuno antara lain : bedil, pistol, pedang,
tameng perisai, keris, panah dan pelana kuda. Di sebelah utara di
perlihatkan drama suatu adegan di masa perang antara Pangeran
Diponegoro dengan Kompeni Belanda di Gua Selarong tahun 1825-1830.

a. Pangeran Diponegoro mengendarai kuda putih


b. Sentot Prawiroredjo

Ruang XII

Tempat Kyai Rojomolo. Di ruang ini terdapat patung kayu, Kyai


Rojomolo yaitu patung kepala raksasa untuk hiasan perahu ,pada zaman
Susuhunan PB IV.

Ruang XIII

a. Keramik dan porselin kuno yang dahulu menjadi perlengkapan rumah


tangga dan dapur
b. Alat untuk memasak nasi untuk keperluan perang

b. Aset-Aset Budaya Yang Dimiliki Oleh Keraton


Keraton Kasunanan Surakarta sebenarnya mempunyai banyak asset
budaya apabila ditangani secara maksimal. Bermacam aset budaya tersebut
dapat meningkatkan daya tarik keraton tersendiri. Adpun aset-aset budaya
yang dapat diandalkan adalah :

1) Kirab Pusaka

108
Kirab pusaka ini dimulai pada tengah malam pada setiap malam
tanggal 1. Suro. Definisi kirap pusaka adalah mengarak atau
mempertontonkan pusaka-pusaka keraton kepada massa dengan cara
berjalan mengelilingi keraton. Pada zaman dahulu pusaka yang dikirab ini
oleh masyarakat mempunyai tujuan untuk melindungi dan menjaga
keselamatan negara dari segala kejahatan dan hal-hal yang tidak baik.
Beberapa pusaka terutama tombak diarak keliling keraton dengan diiringi
kerbau bule milik keraton.

2) Grebeg Maulud ( Bakdha Maulud )


Grebeg Maulud lebih dikenal dengan sebutan “Sekatenan”
diadakan satu tahun sekali. Sebelum Grebeg Maulud diadakan perayaan
sekaten selama tujuh hari yaitu pada tanggal 5 sampai 12 maulud. Selama
tujuh hari tersebut mengalun gamelan sekatenan yang ditabuh di Bangsal
Masjid Agung.

3) Tinggalan Dalem Jumenengan Susuhunan PB XII


Tinggalan Dalem Jumenengan berarti suatu peristiwa atau peringatan
penobatan raja. Pada saat ini masih dilaksanakan setahun sekali tepatnya
pada tanggal 2 ruwah yaitu pada waktu penobatan Sampeyan Dalem
Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan PB XII. Dalam upacara penobatan
tersebut diadakan pasowanan yaitu para kerabat keraton dan abdi dalem
dengan berpakaian Jawa lengkap datang menghadap raja kemudian
disajikan tarian sakral yaitu tarian Bedoyo Ketawang. Keesokan harinya
raja dengan mengendarai Kereta Garuda Kencana mengelilingi wilayah
kerajaan dengan diikuti oleh para kerabat dan abdi dalem keraton

c. Daya Tarik Lainnya Di Sekitar Keraton


Beberapa obyek lain yang berada di sekitar Keraton Kasunanan
Surakarta yang dapat menunjang terhadap daya tarik keraton itu sendiri.
Obyek-obyek tersebut antara lain :

109
1) Makam Kyai Solo
Makam ini terletak di dalam Benteng Baluwarti yang hanya
menempuh 10 menit perjalanan dari Museum Keraton Kasunanan
Surakarta. Kyai Solo adalah seorang pertapa yang sangat sakti dan
daerahnya dijadikan cikal bakal berdirinya Keraton Kasunanan Surakarta.
Setiap malam jumat banyak ziarah datang untuk meminta berkah.

2) Tempat Penyimpanan Kereta Kencana


Tempat ini menyimpan kereta-kereta kuda yang pernah digunakan
oleh putra raja dan putri-putrinya. Di tempat ini juga disimpan Kereta
Garuda Kencana yang dipergunakan oleh Sinuhun Kanjeng Susuhunan PB
XII untuk melakukan kirab mengelilingi keratonnya. Tempat ini terletak di
sebelah barat laut dari Kori Kemandhungan.

3) Penyimpanan Gerbong Kereta Api Susuhunan PB X


Tempat ini berada di alun-alun selatan kurang lebih 15 menit
perjalanan menuju tempat tersebut . Di tempat tersebut terdapat kereta
jenasah PB X yang berhadapan dengan kereta pesiar PB X. Tempat
tersebut mengandung makna bahwa selain hidup di dunia terdapat juga
dunia yang lain yaitu dunia akhirat.

4) Masjid Agung
Masjid ini terletak di sebelah barat alun-alun utara keraton. Masjid
ini dibangun oleh PB II dan dipercantik oleh PB X. Bangunan masjid ini
kebanyakan berwarna biru dan memiliki sebuah gapura yang mempunyai
arti pengampunan.

5) Pasar Klewer
Pasar ini terkenal dengan tempat penjualan bermacam-macam kain
terbesar di kota Solo, dimana pedagang dari luar daerah mengambil barang
daganngnya di Pasar Klewer. Pasar ini terletak di sebelah barat Keraton
Kasunanan Surakarta

110
6) Tempat Persembhayangan Agama Hindu
Tempat ini selain untuk memanjatkan doa bagi para penganut
Agama Hindu juga sebagai tempat meditasi. Tempat ini terletak di sebelah
timur museum Keraton Kasunanan Surakarta

Aset-aset tersebut sangat mendukung kepariwisataan Keraton


Kasunanan Surakarta yang harus dipelihara dan dikenalkan kepada
masyarakat luas. Oleh karena itu, pihak keraton harus mengangkat aset-aset
tersebut sebagai daya tarik wisatawan selain keraton itu sendiri.

2. Perkembangan Wisata Keraton Kasunanan Surakarta


a. Perkembangan Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana yang ada di Obyek Wisata Keraton
Kasunanan Surakarta dari awal dijadikannya Keraton sebagai obyek wisata
sampai sekarang tidak banyak mengalami perkembangan. Hal ini dikarenakan
untuk tetap menjaga unsur estetika dan etika dari suatu Keraton, renovasi yang
dilakukanpun tidak menyimpang dari bentuk aslinya. Perkembangan yang
terjadi hanya di beberapa bangunan untuk tujuan pariwisata. Bangunan yang
dimaksud adalah :

1) Loket/tempat pembelian tiket masuk


Loket ini berada di samping Kori Kamandhungan. Loket ini
selain berfungsi menjual tiket juga menjual barang-barang khas keratin
misalnya: buku-buku yang berhubungan dengan keraton, kain leher
keraton (yang berwarna merah-kuning), minyak wangi.

2) Area parkir
Area parkir merupakan lokasi yang sudah ditentukan untuk
menempatkan kendaraan. Luas area parkir harus proporsional dengan
prediksi jumlah rata-rata kendaraan pada saat pengunjung ramai. Di

111
keraton ada dua tempat parkir, yaitu parkir bus pariwisata yang terletak di
timur Gapura Gladhag dan parkir mobil dan kendaraan roda dua yang
berada di dalam keraton.

3) Loket ke dua
Loket kedua ini berfungsi untuk menyerahkan tiket yang sudah
dibeli di loket yang pertama, tapi di loket yang kedua ini juga menjual
tiket untuk kamera dan handycam. Di loket yang kedua ini juga terdapat
guide, jika pengunjung menginginkan didampingi seorang guide maka
guide akan siap mengantarkan dan menerangkan tentang seluk beluk
keraton.

4) Toilet
Tempat ini untuk membersihkan diri, misalnya buang air kecil
dan cuci kaki, biasanya setelah memasuki halaman keraton tanpa
menggunakan alas. Toilet berada di tepat di pintu masuk museum keraton.
Toilet ini juga selalu dijaga kebersihannya.

5) Tempat ibadah
Pengunjung muslim tentunya memerlukan tempat ibadah saat
mengunjungi Keraton, di Keraton terdapat langgar di depan Kori
Kamandhungan.

6) Perpustakaan
Keraton Kasunanan Surakarta merupakan obyek wisata budaya
dan wisata edukasi, sehingga di dalam keraton juga terdapat perpustakaan.
Bagi pengunjung yang ingin memperdalam pengetahuan tentang keraton
bisa membaca-baca di perpustakaan. Perpustakaan buka setiap senin
sampai jumat dari jam 09.00 samapi 13.00.

b. Perkembangan Pengunjung

112
Keraton Kasunanan Surakarta resmi hanya sebagai simbol kekuasaan
raja pada tahun 1945 setelah Indonesia merdeka. Setelah Indonesia merdeka,
secara otomatis Keraton kasunanan Surakarta menjadi wilayah dari Indonesia.
Awal pertama yang dijadikan tempat wisata hanyalah museumnya saja.
Museum Keraton Kasunanan Surakarta mulai dibuka tahun 1963 (wawancara:
KGPH Poeger, tanggal 27 Desember 2009). Jumlah pengunjung yang
datangpun naik turun. Seperti saat liburan sekolah atau Keraton akan punya
“gawe” maka pengunjung Keraton akan meningkat, tetapi ada kalanya
penurunan yaitu pada saat puasa Ramadhan (wawancara: Bu Darini, tanggal
27 Desember 2009).

c. Perkembangan Tenaga Kerja ( management)


Pada awal berdirinya Keraton sebagai tempat wisata ini, sudah
memiliki tenaga kerja dan pengurus yang jelas yaitu abdi dalem Keraton itu
sendiri, meski dengan upah yang diterima tidak besar, hal ini karena loyalitas
mereka terhadap Keraton yang sangat tinggi. (Wawancara: Bu Darini, tanggal
27 Desember 2009). Tentunya management wisata Keraton Kasunanansudah
mengalami perbaikan yang signifikan, dari keahlian tiap tenaga kerja maupun
dari sistem pengelolaannya.

3. Upaya Membenahi dan Mempromosikan Keraton Kasunanan


Surakarta Sebagai Daerah Tujuan Wisata Yang Baik
a. Upaya Pembenahan Kawasan
Pada dasarnya kawasan wisata budaya ini memerlukan suatu upaya
pembenahan, yang dimaksud dengan upaya pembenahan adalah usaha-usaha
perawatan dan perbaikan baik dari berbagi fasilitas yang terdapat di obyek
wisata tersebut. Hal-hal tersebut adalah :

1) Pemugaran Bangunan Keraton

113
Pelaksanaan pemugaran berdasarkan pada Undang-undang Cagar
Budaya No. 5 tahun 1992 pasal 15 ayat 2 huruf d. Hal ini juga tercermin
dalam ICOMOS CHARTER article 9 yang menyatakan secara jelas bahwa
tujuan pemugaran adalah untuk memelihara dan menumbuhkan nilai-nilai
historis dan estetis suatu monument, berdasarkan bahan-bahan asli dan
sumber-sumber yang otentik. Dengan demikian misi pemugaran Bangunan
Museum Keraton Surakarta merupakan serangkaian kegiatan untuk
memperbaiki bangunan museum yang rusak pada bentuk aslinya.
Pelaksanaan pemugaran Bangunan Museum Keraton Surakarta
dilaksanakan pada tahun anggaran 1998 sampai dengan 2000. Dasar untuk
melaksanakan pemugaran ini diperlukan pengidentifikasian kerusakan
pada elemen-elemen bangunan supaya lebih jelas komponen-komponen
yang dipertahankan, diganti, maupun ditambal sulam.
Dalam pemugaran yang berlangsung selama 2 tahun melibatkan
tenaga ahli, tenaga terdidik dan tenaga terampil. Dana yang diperlukan
untuk membiayai pemugaran museum Keraton Kasunanan Surakarta
adalah sebagai berikut:
1. APBN tahun 1998/1999 = Rp 42.732.000,00
2. APBN tahun 1999/2000 = Rp 121.561.000,00
3. APBN tahun 2000 = Rp 30.000.000,00
Bangunan Museum Keraton Kasunanan Surakarta yang dipugar
meliputi bangunan di sisi timur, sisi selatan, dan sisi barat. Adapun
sasarannya antara lain meliputi perbaikan kusen jendela dan pintu,
dinding, lantai, langit-langit dan atap.
2) Menata Lahan Parkir
Tempat parkir yang tidak tertata dengan baik sering dikeluhkan
oleh para pengunjung. Penyediaan lapangan parker pun dirasa masih
kurang, hal ini disebabkan pasar klewer yang terletak di sebelah barat
keraton ini tidak mampu menampung semua kendaraan para pedagang
sehingga mereka memarkir kendaraan mereka sepanjang alun-alun utara
sehingga mengakibatkan kemacetan lalu-lintas. Selain itu para penarik

114
becak juga turut menyebabkan kemacetan lalu-lintas tersebut. Oleh karena
itu Badan Pengelola Keraton Kasunanan Surakarta menggandeng Pemkot
Surakarta untuk menertibkan pengguna jalan dengan membuat lapangan
parkir serta memasanng rambu-rambu lalu-lintas sepanjang alun-alun
Utara. Penyediaan lapangan parkir dapat di tempatkan di bekas kantor
pemadam kebakaran PEMDA Surakarta atau dapat di tempatkan di Alun-
alun Selatan Keraton Surakarta dan juga bagi bus-bus pariwisata sekarang
di tempatkan di lahan kosong sebelah Benteng Vastenburg. Dengan
adanya tempat parkir yang luas dan memadai diharapkan para wisatawan
Keraton merasa nyaman saat berkunjung ke keraton.

3) Penataan Para Pedagang Kaki Lima


Sebuah obyek wisata diharapkan memiliki sebuah kenang-
kenangan untuk dikenang oleh para wisatawan. Di sekitar Alun-alun
Utara keraton banyak terdapat pedagang kaki lima yang berjualan di
shelter-shelter yang disediakan oleh Pemerintah Kota agar kesan
keindahan dan keasrian Keraton tetap terjaga.

4) Membuat Bak-bak Sampah


Agar tetap terjaga kebersihannya maka disediakan tempat sampah
di setiap meter, di lahan parkir, di dekat pedagang kaki lima.

5) Membersihkan dan Memperbaiki Toilet yang Rusak


Toilet ini bersifat untuk umum, jadi sangat diperhatikan
kebersihannya agar tidak mengganggu kenyamanan di Keraton. Oleh
karena itu, setiap pemakaian toilet membayar Rp 500, 00 uang ini
digunakan untuk membeli peralatan pembersih dan bila ada toilet yang
rusak, petugas memanggil teknisi keraton untuk memperbaikinya.

6) Memperindah Museum Keraton Surakarta


Museum Keraton Surakarta adalah pintu masuk ke keraton selain
Kori Kemandhungan. Oleh sebab itu, pihak keraton harus merawat
museum ini dengan maksimal , misalnya :

115
1.6.1 Membersihkan ruangan beseerta isinya. Membersihakan ruangan
dan barang-barang yang ada di museum secara intensif sehingga
ruangan tersebut tidak pengab sedangkan barang bersejarah di
dalamnya dibersihkan sehingga terpelihara kebersihan.
1.6.2 Menambah penerangan. Memberkan penerangan yang cukup di
dalam museum dengan menggunakan lampu yang mempunyai
betuk kuno sehingga ruangan di dalam museum tidak terlihat
gelap dan bentuk lampu tersebut mendukung suasana keaslian
Keraton Surakarta.
1.6.3 Memakai pakaian adat. Dalam kegiatan sehari-hari pada SDM
yang ada dalam museum ini seperti guide dan abdi dalem
memakai pakaian daerah dalam menjalankan tugasnya atau
menerapkan kembali peraturan-peraturan yang telah dibuat oleh
PB X. Tata cara memasuki Keraton Kasunanan Surakarta yaitu :
1. Tidak boleh memakai topi atau payung ketika di keraton
2. Tidak boleh memaki alas kaki ketika di keraton
3. Memakai pakaian adapt Jawa jika ingin berkunjung ke
Keraton
4. Wanita sedang datang bulan tidak diperbolehkan memasuki
Keraton (Mas Antok, Guide Museum Keraton Kasunanan
Surakarta Hadiningrat wawancara 3 Desember 2009).

b. Usaha-usaha Promosi
Untuk meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan, pengelola pariwisata
Keraton Kasunanan Surakarta berusaha melakukan berbagai macam program
promosi. Menurut KGPH Poeger (wawancara, 27 Desember 2009) kegiatan
promosi yang dilakukan adalah

1) Pihak Keraton bekerja sama dengan pengusaha-pengusaha batik. Misal


dengan mengadakan pentas seni dan workshop-workshop tentang batik,

116
dimana nanti kegiatan berada di wilayah Keraton. Hal ini nantinya dapat
menarik pengunjung untuk mengunjungi Keraton.
2) Pihak Keraton Kasunanan juga akan mengadakan kerjasama dengan
Pemkot, disini yang dimaksud dengan Pemkot adalah Dinas pariwisata.
Karena selama ini dirasa komunikasi antara pihak Keraton Kasunanan
dengan Dinas Pariwisata Surakarta belum maksimal. Hal ini juga
disebabkan Keraton memang berada di dalam wilayah administratif
Solo, tapi tidak dikelola oleh Dinas Pariwisata Surakarta, yang mengelola
wisata Keraton itu pihak Keraton sendiri (wawancara: Bu Erni, tanggal 23
Desember 2009).
3) Selain dengan Pemkot, pihak keraton juga mengadakan kerjasama dengan
biro travel, yaitu dengan memasukkan Keraton Kasunanan Surakarta
menjadi salah satu tujuan wisata di biro travel tersebut.
4) Melalui media baik media cetak maupun elektronik. Media cetak, misalnya
Koran, majalah, dan pamflet melakukan promosi lewat tulisan-tulisan yang
dapat mengundang rasa penasaran pengunjung untuk segera datang
mengunjungi Keraton, sedang media elektronik,misalnya TV dan video
yang menyuguhkan Keraton dalam bentuk visual audio jadi, keindahan dan
keanggunan Keraton dapat dinikmati penikmat media elektronik dan pada
akhirnya mereka akan berkunjung ke Keraton Kasunanan Surakarta.

4. Sifat Kunjungan ke Keraton


Sekedar informasi bahwa tiga tipe pengunjung yang dapat
diinformasikan kepada para pembaca. Adapun sifat kunjungan ke Keraton
Kasunanan Surakarta dapat dipisahkan menjadi beberapa jenis menurut dengan
kebutuhannya yaitu :

a. Kunjungan pelajar SMP dan SMU, dimana kunjungan mereka bertujuan untuk
mengenal tentang sejarah dan budaya keraton. Bagi mahasiswa, tujuannya
lebih spesifik lagi misalnya menganalisa perkembangan wisata di Keraton,

117
b. Kunjungan wisatawan domestik dan asing yang melihat keberadaan Keraton
Kasunanan Surakarta dari dekat. Kebanyakan para pengunjung ini adalah
wisatawan domestik, yang ingin melihat secara langsung kemegahan Keraton
Kasunanan Surakarta. Tapi wisatawan asing juga tidak kalah banyaknya yang
berkunjung ke Keraton Surakarta. Wisatawan asing memiliki beberapa tujuan
saat mengunjungi Keraton, salah satunya adalah ingin mengenal dan
mengetahui tentang Keraton Kasunanan Surakarta, selain itu mereka hanya
sekedar mengunjungi obyek wisata di Surakarta (biro’s travel schedule)
(Wawancara: Ibu Darini, 15 Desember 2009)
c. Kunjungan resmi pejabat pemerintahan yang bertujuan untuk membicarakan
kerjasama dengan pihak keraton. Misalnya Kunjungan dari Balai Pelestarian
Peninggalan Purbakala Jawa Tengah untuk melakukan pemugaran di Keraton.

D. Dampak Wisata Keraton Kasunanan Surakarta Terhadap Sosial


Ekonomi Masyarakat Sekitar

Keberadaan obyek wisata Keraton Kasunanan Surakarta ternyata


berpengaruh terhadap perkembangan sosial ekonomi masyarakat. Perkembangan
wisata Keraton Kasunanan Surakarta akan berpengaruh juga terhadap masyarakat
sekitar. Dengan perkembangan wisata yang bagus atau selalu mengalami
peningkatan setiap tahunnya, maka perkembangan ekonomi masyarakatpun ikut
meningkat. Dengan lancarnya perekonomian, maka akan berpengaruh juga
terhadap peningkatan kehidupan sosial masyarakat.

1. Dampak Sosial
Semakin ditingkatkannya pariwisata Keraton Kasunanan Surakarta
tentunya akan menambah pemasukan yang akan diperoleh Keraton. Pemasukan
yang didapat dari wisata Keraton ini sepenuhnya dikelola oleh pihak keraton
sehingga pemerintah hanya bertindak sebagai badan pelindung saja. Pemasukan
ini digunakan untuk membiayai pemeliharaan dan pengembangan obyek wisata
Keraton Kasunanan serta untuk membayar gaji sejumlah abdi dalem keraton.

118
Sejak tahun 1963, awal mula wisata Keraton ini hanya berupa museum Keraton
Kasunanan saja, tapi seiring bergulirnya waktu fasilitas yang ada di Keraton selalu
diperbarui dan diperbaiki. Hal ini pun memiliki peran yang sangat besar bagi
masyarakat sekitar, seperti penuturan Dwi Hartanto (wawancara, 15 Desember
2009) “….. dengan semakin lengkapnya fasilitas yang ada di obyek wisata
Keraton Kasunanan, sangat membantu masyarakat, terutama dalam hal lapangan
pekerjaan. Misalnya saya sendiri, sebelumnya saya bingung mau bekerja apa
dengan kemampuan yang pas-pasan dan pendidikan yang tidak seberapa,
kemudian saya melihat ada kesempatan untuk bekerja sebagai tukang parkir di
sini….”. Ibu Harsinah menambahkan selain bisa mendapat pekerjaan, Ibu
Harsinah yang sudah berjualan lebih dari 20 tahun juga mendapatkan pengetahuan
tentang budaya Keraton, adat istiadat di Keraton (wawancara, 15 Desember
2009).

Pak Ngadiman, seorang abdi dalem menuturkan “…Nek rame kulo


tansah pareng kathah pahala, hlawong maringi pangertosan kaliyan tiyang-
tiyang..”. Hal ini mengandung makna bahwa dengan dibukanya Keraton sebagai
obyek pariwisata, maka budaya keratonpun menjadi wawasan publik.

Adanya lapangan kerja yang didapatkan masyarakat, berarti akan


meningkatnya pendapatan bagi keluarganya. Pendapatan tersebut mampu untuk
membiayai kebutuhan rumah tangganya dan menyekolahkan anak-anaknya.
Dengan meningkatnya pendidikan masyarakat berarti semakin meningkat pula
status masyarakat.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dengan semakin


ditingkatkannya wisata Keraton Kasunanan Surakarta, mempunyai pengaruh
sosial terhadap masyarakat sekitar. Pengaruh tersebut di antaranya :

a. Mengubah status sosial masyarakat yang tadinya pengangguran menjadi tidak


menganggur.
b. Membuka peluang usaha, yang tadinya tidak punya usaha akhirnya
mempunyai usaha sendiri.

119
c. Meningkatnya pendidikan. Adanya lapangan pekerjaan di Keraton merupakan
penghasilan bagi para pekerja tersebut, dan dengan hal itu anak-anak dai
pekerja tersebut dapat melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.
d. Menambah pengetahuan dan wawasan bagi masyarakat.

2. Dampak Ekonomi
Wisata Keraton Kasunanan sangat berpengaruh terhadap kehidupan
ekonomi masyarakat. Salah satunya membawa peluang kerja bagi masyarakat.
Dengan terbukanya peluang usaha tentunya akan membawa pengaruh terhadap
pendapatan masyarakat yang bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup
dan juga untuk kegiatan sosial dalam masyarakat. Meskipun penghasilan yang
didapat tidak begitu besar tetapi cukup untuk memnuhi kebutuhan. Orang-orang
yang bekerja di Keraton Kasunanan merupakan Abdi Dalem Keraton yang sudah
bekerja lebih dari separuh hidupnya, dan mereka kebanyakan adalah orang-orang
yang tinggal di daerah sekitar Keraton Kasunanan Surakarta.

Ada sekitar 2 orang yang bekerja sebagai tukang parkir di area parkir
kendaraan pribadi. Pelaksanaan perparkiran ini dilakukan oleh masyarakat sekitar
Keraton. Dua orang parkir selalu datang setiap hari, bahkan pada saat liburan
sekolah atau hari raya jumlah tenaga parkir ditambah seperti penuturan Dwi
Hartanto (wawancara, 15 Desember 2009) “pada musim liburan sekolah atau hari
raya, jumlah tenaga parkir ditambah karena jumlah kendaraan yang datang
meningkat”.

Ada sekitar 5 orang yang bekerja di loket tiket yang pertama.


Pengunjung yang ingin memasuki museum Keraton harus membeli tiket terlebih
dahulu, dan 4 orang di loket yang ke dua. Ada dua tempat loket, karena yang
pertama berfungsi untuk menjual tiket dan tempat yang kedua untuk pengecekan
tiket dan pembelian tiket untuk kamera dan handycam. Bila ada pengunjung yang
tidak membeli tiket maka akan disuruh membeli tiket terlebih dahulu. Adapun
dafar harga tiket di loket yang pertama:

120
Domestik : Rp 6000,00

Foreign : Rp 10.000,00

Kamera : Rp 3500,00

Rombongan ( > 40 ) : Rp 5000,00

Pada saat-saat tertentu harga tiket pun mengalami kenaikan seperti saat
Hari Lebaran menjadi Rp 8000,00.

Ada sekitar 6 orang mungkin lebih yang bekerja sebagai guide. Guide ini
bekerja secara bergilir biar semua rata dan guide ini dibayar sukarela oleh
pengguna jasanya. Guide ini biasanya orang-orang sekitar yang mengetahui benar
tentang seluk-beluk keraton.

Ada 6 pedagang akar-akaran yang menjual akar-akaran di tepi jalan atau


di pintu masuk museum. Menurut Pak Darmo Suwito (wawancara, 20 Agustus
2009) …. Saya dari tahun 1965 menjual akar-akaran ini, biasanya souvenir ini
laku keras saat musim-musim liburan sekolah atau hari raya Lebaran. Penghasilan
dari menjual souvenir ini cukup lumayan, karena souvenir dibuat sendiri tidak
mengambil dari tempat lain….”. Pak darmo menambahkan bahwa semakin
banyak pengunjung yang datang akan semakin banyak pula pendapatan yang
diperoleh. Ada 4 atau 5 penarik andong di depan museum Keraton, yang siap
mengantarkan pengunjung untuk mengelilingi Keraton Kasunanan Surakarta
mulau dari Gapura Gladhag sampai Gapura Gading.

Ada 2 atau 3 penjaga Kori Kamandhungan yang akan memeriksa


pengunjung yang memiliki kepentingan untuk penelitian atau ke perpustakaan.
Peraturannya pun berbeda dari museum, misalnya :

a. Bagi wanita tidak boleh mengenakan celana harus mengenakan bawahan atau
rok.
b. Harus memakai sepatu.
c. Harus berpakaian yang sopan.

121
d. Harus menjaga tingkah laku dan ucapan.
Setelah memasuki Keraton, akan tampak banyak sekali abdi dalem yang
mengurusi kebersihan dan keindahan Keraton, yang jumlahnya mencapai puluhan
bahkan ratusan. Ada 5 orang penjaga perpustakaan yang bertugas untuk menjaga
kepustakaan dari Keraton. Perpustakaan dan Sasana Wilopo buka dari jam 10.00 –
13.00, sedangkan museum dari jam 10.00 – 15.00. Belum lagi kerabat-kerabat
Kerajaan yang memegang jabatan di Keraton yang jumlahnya sangat banyak.
Keraton merupakan suatu organisasi sehingga terdapat kepengurusan dalam
Keraton itu sendiri, layaknya sebuah organisasi.

Dengan adanya wisata Keraton Kasunanan Surakarta memberikan


dampak kehidupan ekonomi masyarakat sekitar lokasi Keraton. Masyarakat
sekitar keraton pun membuka lapangan kerja baru untuk memperoleh penghasilan,
misalnya dengan mereka berjualan di sekitar keraton, menawarkan jasa, dan
membantu memberikan keterangan mengenai Keraton. Diperolehnya
penghasilan dari sektor pariwisata berarti memberikan perubahan ekonomi
menjadi lebih baik.

122
BAB V
KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

A. Kesimpulan Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian yang penulis uraikan, maka dapat ditarik


kesimpulan sebagai berikut :

1. Latar belakang atau faktor-faktor yang melatarbelakangi Keraton Kasunanan


Surakarta dijadikan sebagai obyek wisata, diantaranya adalah :
a. Keraton Kasunanan Surakarta merupakan suatu tempat atau pusat dari
Kebudayaan Jawa Mataram. Disinilah awal peradaban Jawa muncul.
b. Sarana transportasi yang sangat mudah, karena terletak di jantung Kota
Solo. Pengunjung bisa menggunakan kendaraan umum ataupun
kendaraan pribadi.
c. Keraton Kasunanan Surakarta tidak lagi mempunyai kekuasaan
administratif setelah Indonesia merdeka, karena Keraton merupakan
bagian dari wilayah Republik Indonesia. Hal ini tidak membuat Keraton
jatuh pamor di mata rakyatnya, karena Keraton tetap memiliki
kewibawaan yang kuat di mata rakyat Jawa. Terlihat Loyalitas rakyat
yang tinggi terhadap Keraton di tengah maraknya modernisasi. Ini
merupakan daya tarik tersendiri bagi Obyek Wisata Keraton Kasunanan
Surakarta
2. Peninggalan-peninggalan Keraton Kasunanan Surakarta yang dapat
dijadikan wisata Keraton berupa bangunan-bangunan dan benda-benda
peninggalan yang ada di komplek Keraton Surakarta. Bangunan-bangunan
tersebut dibagi berdasarkan konsep empat konsentris (empat lingkaran).
Lingkaran pertama yaitu kedhaton, lingkaran kedua yaitu baluwarti,
lingkaran ketiga paseban, dan lingkaran keempat yaitu alun-alun. Setiap

123
bangunan di Keraton Surakarta mengandung ajaran untuk mencapai
kesempurnaan hidup atau kasampuraning dumadi. Benda-benda yang dapat
dijadikan sumber pembelajaran atau edukasi berada di luar bangunan dan
sebagian tersimpan dalam museum.

3. Perkembangan obyek wisata Keraton Kasunanan Surakarta meliputi tahap


pengembangan saja. Pembangunan Keraton Kasunanan awalnya adalah
sebagai pusat pemerintahan atau kerajaan. Tapi pada tahun 1945 Indonesia
merdeka, dan notabene Keraton Kasunanan berada di wilayah Indonesia
maka pemerintahan diserahkan sepenuhnya terhadap Indonesia yang berarti
mulai tahun 1945 Keraton tidak mempunyai kekuasaan apa-apa lagi. Usulan
dibukanya Keraton Kasunanan Surakarta karena ada banyak orang yang
ingin mengetahui kebudayaan keraton, maka pada tahun 1963 dibukalah
Museum Keraton Kasunanan Surakarta. Tahap pengembangan ini mengarah
pada perbaikan, baik fisik maupun non fisik. Disertai dengan usaha
mempromosikan Keraton agar menjadi Daerah Tujuan Wisata.
4. Dampak yang ditimbulkandari adanya Wisata Keraton Kasunanan Surakarta
terhadap kehidupan masyarakat yaitu :
a. Di bidang sosial, adanya perubahan dalam kehidupan sosial masyarakat
diantaranya mengubah status yang tadinya pengangguran menjadi tidak
pengangguran dan membuka peluang usaha di masyarakat,
b. Di bidang ekonomi, sangat berpengaruh yaitu peningkatan kesejahteraan
bagi kehidupan ekonomi masyarakat.
Selain, dampak positif, ada juga dampak negatifnya yaitu dengan adanya
wisatawan yang mengunjungi Keraton di Alun-alun Kidul menjadi tempat
lokalisasi bagi wanita-wanita nakal. Hal ini juga merupakan faktor
penghambat berkembanganya Keraton menjadi Daerah Wisata.

2. Implikasi Hasil Penelitian

124
Saat sekarang ini sektor pariwisata mempunyai peluang yang besar untuk

dijadikan salah satu sumber pendapatan daerah, terutama pengembangan

wisata budaya atau cultural tourism yang sangat jarang ditemukan. Keraton

Surakarta sebagai salah satu aset wisata pemerintah kota Surakarta

merupakan peninggalan sejarah dan kebudayaan Jawa di masa lalu. Keraton

Kasunanan Surakarta layak menjadi daerah wisata karena (1) something to

see, berdasarkan peninggalan-peninggalannya, Keraton Surakarta memiliki

fakta atau bukti sejarah yang otentik, baik itu yang berupa bukti lisan, tertulis

dan kebendaan. Keraton Surakarta adalah sumber kebudayaan Jawa atau

Kejawen sebagai peninggalan leluhur Ratu Jawa semenjak Keraton Mataram.

Peninggalan-peninggalan tersebut berupa adat, tradisi, kultur, spiritual yang

mengandung makna historis, kultural dan religius. (2) something to buy,

kawasan sekitar Keraton terdapat souvenir yang menjadi ciri khas Keraton

Kasunanan, dan (3) something to do, di Keraton juga bisa menikmati kawasan

sekitar keraton dengan menaiki andong.

Keberadaan Keraton Surakarta sebaiknya tidak hanya berfungsi sebagai

tempat rekreasi tetapi juga sebagai tempat penelitian dan pusat pendidikan.

Pusat penelitian, karena Keraton Surakarta dapat dimanfaatkan sebagai tempat

penelitian berbagai disiplin ilmu seperti antropologi, sosiologi, dan historis.

Sedangkan sebagai pusat pendidikan Keraton Surakarta dapat dimanfaatkan

sebagai sumber pembelajaran sejarah.

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberi gambaran kepada pembaca

bahwa keberadaan Keraton Surakarta sangat penting bagi Kota Solo karena

125
selain berfungsi sebagai sumber pembelajaran sejarah, Keraton juga berfungsi

sebagai tempat wisata, yang berarti menjadi sumber pendapatan daerah.

3. Saran

Berdasarkan pengalaman selama penelitian ini penulis mengemukakan saran-


saran sebagai berikut :

1. Pemerintah Kota Surakarta


Diharapkan ada kerjasama dan koordinasi yang lebih baik lagi antara
pengelola objek wisata dengan pemerintah kota. Hal ini merupakan wujud
perhatian lebih dari Pemerintah Kota terhadap potensi wisata Keraton untuk
lebih dikembangkan dan dipromosikan.

2. Untuk pengelola Keraton Kasunanan


Peneliti menyarankan kepada pengelola Keraton Kasunanan untuk
meringankan harga tiket masuk kepada pelajar. Misalnya pelajar
menunjukkan kartu OSIS atau Karmas mendapat potongan harga. Pengelola
Keraton perlu mengadakan peningkatan fasilitas di perpustakaan Sasana
Pustaka. Pengelola Keraton juga sebaiknya melakukan sosialisasi kepada
masyarakat tentang keraton sebagai peninggalan kebudayaan Jawa yang
seharusnya tetap dilestarikan.

3. Penelitian Lebih Lanjut


Adanya penelitian tentang pengembangan pariwisata Keraton
Kasunanan Surakarta dan dampaknya bagi masyarakat sekitar masih
memerlukan perbaikan. Penelitian lebih lanjut sangat diperlukan untuk
memperkuat dan memperdalam pariwisata Keraton Surakarta. Mengingat
adanya kekurangan dan kelemahan dari cara pengumpulan data dengan

126
wawancara dan observasi maka diperlukan cara lain sebagai pelengkap
seperti dokumen dan arsip-arsip Keraton. Penelitian lebih lanjut diperlukan
kesiapan baik materi maupun pedoman wawancara dan pedoman observasi.

Pelaksanaan penelitian yang dilakukan oleh 2 orang (peneliti &


teman) dirasa kurang efektif sebab pengawasan terhadap pembuatan laporan
penelitian dan peta pemikiran kurang terfokus. Oleh karena itu penelitian
lebih lanjut diperlukan adanya tim yang lebih dari 2 orang sehingga untuk
mengatasi jumlah responden yang lebih dari 20 orang bisa lebih efektif dan
efisien. Selain itu diperlukan adanya komitmen dan tanggung jawab dari
seluruh anggota tim untuk mendapatkan hasil penelitian yang berkualitas.

4. Masyarakat sekitar
Wisata Keraton Surakarta merupakan salah satu tujuan wisata bagi
masyarakat luas. Hal ini tentunya membuka peluang usaha bagi masyarakat
sekitar. Sebaiknya masyarakat tersebut semakin kreatif dan inovatif dalam
menghasilkan souvenir yang menjadi ciri khas Keraton, sehingga
pengunjung lebih terkesan. Hal ini secara tidak langsung juga ikut
mempromosikan obyek wisata Keraton Surakarta terhadap masyarakat luas.

127
DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Ageng Pangestu Rama.2007. “Kebudayaan Jawa: Ragam Kehidupan Keraton


dan Masyarakat di Jawa 1222-1998”. Yogyakarta: Cahaya Ningrat.
Azzah Zaimul.1998. “Studi Kelayakan Museum Keraton Kasunanan Surakarta”.
Perpustakaan Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah :
Prambanan.
Budiono Herusatoto.2008. “ Simbolisme Jawa”. Yogyakarta: Ombak.

Darsiti Soeratman.1989. “Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939”.


Yogyakarta : Disertasi Pasca Sarjana UGM.
G. Moedjanto .1998. “Konsep Kekuasaan Jawa”. Yogyakarta : Kanisius.
Hadari Nawawi. 1991. “Metode Penelitian di Bidang Sosial”. Yogyakarta : Gajah
Mada University Press.
Hartono Yudi, dkk. 2002. “Agama dan Relasi Sosial”. Yogyakarta: LKIS.
Hermawan Wasito. 1993. “Pengantar Metodologi Penelitian, Buku Panduan
Mahasiswa. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka.
Heru Suharto. 1994. “Surakarta Hadinigrat dalam Strategi Elit”. Surakarta : PT.
Pabelan.
I Gde Widja. 2002. “Menuju Wajah Baru Pendidikan Sejarah”. Yogyakarta:
Lappera Pustaka Utama.
Kartini Kartono.1983. “Pengantar Metodologi Riset Sosial”. Bandung : Alumni
Gramedia.
Karyono A. Hari, 1997. “Kepariwisataan”. Jakarta : Gramedia Widya Sarana
Indonesia.

Krisnina M. Tanjung.2005. “Mencintai Sejarah Melalui Bangunan Kuno”. Jakarta


: Yayasan Warna Warni Indonesia.
Koentjoroningrat.1986. “Metode-metode Penelitian Masyarakat”. Jakarta : PT
Gramedia
.1990. “Pengantar Ilmu Antropologi”. Jakarta: Rineka Cipta.
.2004. “Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan”. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka
Linton, Ralph.1936. “The Study Of Man”. New York: Appleton-Century
Lombard, Denys. 2000. “Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 3”. Jakarta : Gramedia

128
Muslihah Budiyati. 2006. Skripsi : “Pemanfaatan Keraton Surakarta Sebagai
Media Pembelajaran Sejarah Bagi Siswa SMA Negeri Di Kota
Surakarta”. Surakarta : FKIP UNS.
Moh. Nazir. 1983. “Metode Penelitian”. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Moloeng L. J.2000. “Metode Penelitian Kualitatif”. Bandung : PT Remaja.
Nyoman, S. Pendit .2002. “Ilmu Pariwisata Sebuah Pengantar Pendidikan”.
Jakarta : PT. Pradanya Pramita.
Ramaini. 1992. “Geografi Pariwisata”. Jakarta : Gramedia Indonesia.

Oka A. Yoeti. 1983. “Pengantar Ilmu Pariwisata”. Bandung : Angkasa Offset

Poerwodarminto, W. J. S.1976. “Kamus Besar Bahasa Indonesia”. Jakarta : Balai


Pustaka.

Puspar UGM. 2004. “Wawasan Budaya Untuk Pembangunan: Menoleh Kearifan


Lokal”. Yogyakarta : Pilar Politika.
Sajid, R.M. 1984. “Babad Sala”. Solo : Rekso Pustaka Mangkunegaran.

Schrieke, J.J. 1918. “Atoeran Oendang-oendang Jang Penting-Penting Tentang


Pembagian Kekoeasaan Jaitoe Desentralisasi Tahoen 1903 dan
Tentang Perkampoengan Boemipoetra dan Roekoen-roekoennya”.
Batavia : Landsdrukkerij.
Soerjono Soekanto.1994. “Sosiologi Suatu Pengantar”. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.

Sri Winarti. 2004. “Sekilas Sejarah Keraton Surakarta”. Surakarta :


Cendrawasih.

Suriandjari K.R.M.H, Pusponingrat. 1996. “Tata Cara Adat kirab Pusaka Keraton
Surakarta Hadinigrat”. Sukoharjo : Cendrawasih.
Suseno, Frans Magnis. 1998. “ Etika Jawa”. Jakarta : Gramedia.

Sutopo, H B.2002. “Pengantar Penelitian Kualitatif : Dasar-dasar Teoritis dan


Praktis”. Surakarta : Pusat Penelitian UNS
Winarno K.R.T.H. tanpa tahun. “Filasafat Hidup Dilihat Dari Bangunan Keraton
Surakarta Hadiningrat”.

129
Majalah :

Hermanu Jubagyo. 2008. Agustus “Sejarah Kota Solo”. Reflex. LPM Motivasi
FKIP UNS. 16-17

Internet :

http://www.kesimpulan.co.cc/2009/04/kebijakan kepariwisataan

130
131
Lampiran 1. Dokumentasi dari Keraton Kasunanan Surakarta

Foto1. Gapura Gladhag

Foto 2. Gapura Pamarukan

132
Foto 3. Bangsal Sewayana

133
DAFTAR INFORMAN

1. Nama : KGPH Poeger


Jabatan : Pengageng Museum dan Pariwisata
2. Nama : KRA Winarno Kusumo
Jabatan : Wakil Pengageng Sasano Wilopo
3. Nama : Moelyanto
Jabatan : Petugas Perpustakaan Sasana Pustaka
4. Nama : Ngadiman
Jabatan : Abdi dalem Keraton Kasunanan
5. Nama : Garini
Jabatan : Penjaga Loket Keraton
6. Nama : Putu Danan Jaya
Jabatan : Staf Pemanfaatan BPPP
7. Nama : Drs. Purnomo Subagyo
Jabatan : Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta
8. Nama : Boedi Poerwato, SH
Jabatan : Kasubag Umum dan Kepegawaian
9. Nama : Eni
Jabatan : Kearsipan Dinas Pariwisata
10. Nama : Dwi Hartanto
Jabatan : Tukang Parkir
11. Nama : Darmo Soewito
Jabatan : Penjual Soevenir Akar-akaran
12. Nama : Harsinah
Jabatan : Penjual
13. Nama : Wakiman
Jabatan : Penjual souvenir wayang
14. Nama : Agus
Jabatan : Penjual Batu Akik
15. Nama : Hawindha Ganes

134
Jabatan : Wisatawan domestik
16. Nama : Putri
Jabatan : Wisatawan domestik
17. Nama : Andrean
Jabatan : Siswa SMAN 5 Ska
18. Nama : Robert
Jabatan : Wisatawan Asing
19. Nama : Eko
Jabatan : Mahasiswa

135

Anda mungkin juga menyukai