Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

STEMI (ST-ELEVASI MIOKARD INFARK)

A. Definisi
IMA diklasifikasikan berdasarkan EKG 12 lead dalam dua
kategori, yaitu ST-elevation infark miocard (STEMI) dan non ST
elevation infark miocard (NSTEMI). STEMI merupakan sindroma
klinis koroner akut yang paling berat. Sindroma koroner akut
merupakan satu subset akut dari Penyakit Jantung Koroner, STEMI
terjadi sebagian besar disebabkan karena oklusi total trombus kaya
fibrin di pembuluh koroner epikardial. Oklusi ini akan mengakibatkan
berhentinya aliran darah (perfusi) ke jaringan miokard (Firdaus, 2012).
ST Elevasi Miokard Infark (STEMI) didefinisikan sebagai nekrosis
miokardium yang disebabkan oleh tidak adekuatnya pasokan darah
akibat sumbatan akut arteri koroner yang ditandai dengan adanya
segmen ST Elevasi pada EKG. Sumbatan ini disebabkan oleh rupture
plak, ateroma pada arteri koroner yang kemudian diikuti oleh
terjadinya trombosis, vasokontriksi, reaksi inflamsi, dan
mikroembolisasi distal (Oktavianus & Sari, 2014).
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa STEMI umumnya
terjadi jika aliran darah koroner menurun secara tiba tiba atau
mendadak setelah oklusi trombus pada plak atersklerosis yang sudah
ada sebelumnya. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi
secara cepat pada lokasi injuri vaskuler dimana injuri ini dicetuskan
oleh faktor faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid.
STEMI Anterior yaitu adanya perubahan EKG ST elevasi pada
lead V3 - V. Infark anterior terjadi bila adanya oklusi pada left anterior
desending (LAD) (Darliana, 2010).
a) Gambaran EKG Jantung Normal

b) Gambaran EKG Jantung STEMI

B. Klasifikasi
STEMI (ST elevasi miokard infark) merupakan bagian dari
spectrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri dari angina pectoris
tak stabil. STEMI dibedakan menjadi 2 menurut (Cipta Sudoyo, 2009)
yaitu:
1) AMI tanpa ST elevasi (NSTEMI), disebabkan oleh penurunan
suplai oksigen dan peningkatan kebutuhan oksigen miokard oleh
obstruksi koroner. Terjadi karena trombosis vasokontriksi korona.
Trombosis akut diawali dengan adanya rupture plak yang tidak
stabil sehingga memicu inflamasi.
2) AMI dengan ST elevasi (STEMI), rusaknya otot jantung secara
permanen akibat insufisiensi aliran darah koroner sehingga
miokard tidak mendapat nutrisi dan oksigen, aliran darah menurun
secara cepat dan mendadak bahkan berhenti setelah oklusi trombus
pada plak aterosklerosis di lokasi injuri vaskuler, ditandai nyeri
dada spontan >30 menit, peningkatan enzim jantung dan terdapat
ST elevasi pada pemeriksaan EKG.
C. Etiologi
(Nurarif, Huda, & Kusuma, 2015) menyebutkan bahwa ada
beberapa etiologi/penyebab terjadinya infark miokard akut yaitu :
1. Faktor penyebab
a. Berkurangnya suplai oksigen ke miokard yang disebabkan oleh
tiga faktor:
1) Faktor pembuluh darah : Aterosklerosis, Spasme, Arteritis
2) Faktor sirkulasi: Hipotensi, Stenosis aorta, Insufisiensi
3) Faktor darah: Anemia, Hipoksemia, Polisitemia
b. Curah jantung yang meningkat:
1) Aktivitas yang berlebihan
2) Makan terlalu banyak
3) Emosi
4) Hipertiroidisme
c. Kebutuhan oksigen miokard meningkat
1) Kerusakan miokard
2) Hipertropimiokard
3) Hipertensi diastolik
2. Faktor predisposisi
a. Faktor resiko biologis yang tidak dapat dirubah:
1) Usia lebih dari 40 tahun
2) Jenis kelamin: insiden pada pria tinggi, sedangkan pada
wanita meningkat setelah menopause
3) Hereditas Ras: insiden pada kulit hitam lebih tinggi
b. Faktor resiko yang dapat dirubah:
1) Mayor: Hipertensi, Hiperlipidemia, Obesitas, Diabetes,
Merokok, Diet, tinggi lemak jenuh, tinggi kalori.
2) Minor: Kepribadian tipe A (agresif, ambisius, emosional,
kompetitif), Stress psikologis
D. Pathway
E. Patofisiologi
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara
mendadak setelah oklusi thrombus pada plak aterosklerotik yang sudah
ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner derajat tinggi yang
berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena
berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika
thrombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vascular.
Pada sebagian kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami
fissure, rupture atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik
memicu trombogenesis, sehingga terjadi thrombus mural pada lokasi
ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histology
menunjukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur jika
mempunyai vibrous cap yang tipis dan intinya kaya lipid (Cooper,
2015).
Infark miokard yang disebabkan thrombus arteri koroner dapat
mengenai endokardium sampai epikardium, disebut infark transmural.
Namun bisa juga hanya mengenai daerah subendokardial, disebut
infark subendokardial. Setelah 20menit terjadinya sumbatan, infark
sudah dapat terjadi pada subendokardium, dan bila berlanjut terus rata
– rata dalam 4 jam telah terjadi infark transmural. Kerusakan miokard
ini dari endokardium ke epikardium menjadi komplit dan ireversibel
dalam 3 – 4 jam. Meskipun nekrosis miokard sudah komplit, proses
remodeling miokard yang mengalami injury terus berlanjut sampai
beberapa minggu atau bulan karena daerah infark meluas dan daerah
non infark mengalami dilatasi (Cooper, 2015).
F. Tanda dan Gejala
Gambaran klinis Infark miokard biasanya dikenal dengan TRIAS
INFARK (Sudoyo, Setiyohadi, & Alwi, 2010).
Gejala Gejala Khas
Riwayat nyeri dada yang khas a. Nyeri dada bagian depan
(bawah sternum) dengan
tanpa penjalaran, kadang
berupa nyeri dagu,leher /
seperti sakit gigi, pasien
tidak bisa menunjukkan rasa
nyeri dengan satu jari tetapi
dengan tangan.
b. Kualitas nyeri seperti
ditusuk, rasa panas terbakar,
ditekan.
c. Durasi 15 – 30 detik.
d. Kadang disertai mual,
keringat dingin,
berdebar/sesak.
e. Nyeri tidak hilang dengan
istirahat.
Adanya perubahan EKG a. Gelombang Q (signifikan
infark) / Q patologis
b. Segmen ST elevasi
c. Gelombang T
meninggi/menurun
Kenaikan enzim otot jantung a. CKMB merupakan enzim
yang spesifik sebagai
penanda terjadinya
kerusakan jantung, enzim
ini meningkat 6-10 jam
setelah nyeri dada &
kembali normal dalam 48 –
72 jam.
b. Pasien Aspartate Amino
Transferase (AST) pasien
datang setelah hari ke 3
nyeri dada / LDH (Laktat
Dehydrogenase) meningkat
sesudah hari ke 4 & normal
pada hari ke 10.
G. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sebagai bagian
dalam tatalaksana pasien STEMI tetapi tidak boleh menghambat
implementasi terapi reperfusi.Pemeriksaan petanda kerusakan
jantung yang dianjurkan adalah creatinin kinase (CK) MB dan
cardiac specific troponin (cTn) T atau cTn I yang dilakukan secara
serial.cTn digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI
yang disertai kerusakan otot skeletal karena pada keadaan ini juga
akan diikuti peningkatan CKMB.
Terapi reperfusi diberikan segera mungkin pada pasien
dengan elevasi ST dan gejala IMA serta tidak tergantung pada
pemeriksaan biomarker.Peningkatan nilai enzim diatas dua kali
nilai batas atas normal menunjukkan adanya nekrosis jantung
(Sudoyo, Setiyohadi, & Alwi, 2010).
1. CKMB meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan
mencapai puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4
hari. Operasi jantung, miokarditis, dan kardioversi elektrik dapat
meningkatkan CKMB.
2. cTn : ada dua jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat
setelah 2 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam
10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari
sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.
3. Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu mioglobin, creatinine
kinase (CK), Lactic dehydrogenase (LDH). Reaksi non spesifik
terhadap injuri miokard adalah leukositosis polimorfonuklear yang
dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap
selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai 12.000-15.000/ul.
b. EKG
Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada
semua pasien dengan nyeri dada atau keluhan yang dicurigai
STEMI, dalam waktu 10 menit sejak kedatangan di IGD sebagai
landasan dalam menentukan keputusan terapi reperfusi. Jika
pemeriksaan EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI tetapi
pasien tetap simptomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI,
EKG serian dengan interval 5-10menit atau pemantauan EKG 12
sandapan secara kontinyu harus dilakukan untuk mendeteksi
potensi perkembangan elevasi segmen ST. EKG sisi kiri harus
diambil pada pasien dengan STEMI anterior, untuk mendeteksi
kemungkinan infark ventrikel kiri.
Lokasi infark miokard berdasarkan gambaran EKG :
1) Lead II, III, aVF : Infark inferior
2) Lead V1-V3 : Infark anteroseptal
3) Lead V2-V4 : Infark anterior
4) Lead 1, aV L, V5-V6 : Infark anterolateral
5) Lead I, aVL : Infark high lateral
6) Lead I, aVL, V1-V6 : Infark anterolateral luas
7) Lead II, III, aVF, V5-V6 : Infark inferolateral
c. Echocardiography
Abnormalitas pergerakan dinding pada two-dimentional
echocardiography hampir selalu ditemukan pada pasien STEMI.
Walaupun STEMI akut tidak dapat dibedakan dari scar miokardial
sebelumnya atau dari iskemia berat akut dengan echocardiography,
prosedur ini masih digunakan karena keamanannya. Ketika tidak
terdapat ECG untuk metode diagnostic STEMI, deteksi awal akan
ada atau tidaknya abnormalitas pergerakan dinding dengan
echocardiography dapat digunakan untuk mengambil keputusan,
seperti apakah pasien harus mendapatkan terapi reperfusi.Estimasi
echocardiographic untuk fungsi ventrikel kiri sangat berguna dalam
segi prognosis, deteksi penurunan fungsi ventrikel kiri
menunjukkan indikasi terapi dengan inhibitor RAAS.
Echocardiography juga dapat mengidentifikasi infark pada
ventrikel kanan, aneurisma ventrikuler, efusi pericardial, dan
thrombus pada ventrikel kiri.Selain itu, Doppler echocardiography
juga dapat mendeteksi dan kuantifikasi VSD dan regurgitasi mitral,
dua komplikasi STEMI.
d. High resolution MRI
Infark miokard dapat dideteksi secara akurat dengan high
resolution cardiac MRI.
e. Angiografi
Tes diagnostik invasif dengan memasukan katerterisasi
jantung yang memungkinkan visualisasi langsung terhadap arteri
koroner besar dan pengukuran langsung terhadap ventrikel kiri.
H. Penatalaksanaan
Menurut (Sudoyo, Setiyohadi, & Alwi, 2010) tujuan utama
penatalaksanaan adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri dada,
penilaian dan implementasi strategi reperfusi yang mungkin dilakukan,
pemberian antitrombolitik dan terapi antiplatelet, pemberian obat
penunjang dan tatalaksana komplikasi STEMI.
1. Oksigen
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi
oksigen arteri <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi
dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama.
2. Nitrogliserin (NTG)
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis
0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan Intervensi 5
menit. Selain mengurangi nyeri dada, NTG juga dapat menurunkan
kebutuhan oksigen miokard dengan menurunkan preload dan
meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi
pembuluh koroner yang terkena infark atau pembuluh kolateral.
Jika nyeri dada terus berlangsung dapat diberikan NGT intravena.
NGT intravena juga diberikan untuk mngendalikan hipertensi atau
edema paru. Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan
tekanan darah sistolik <90mmHg atau pasien yang dicurigai
menderita infark ventrikel kanan (infark inferior pada EKG, JVP
meningkat, paru bersih dan hipotensi). Nitrat juga harus dihindari
pada pasien yang menggunakan phosphodiesterase-5 inhibitor
sildenafil dalam 24 jam sebelumnya karena dapat memicu efek
hipotensi nitrat.
3. Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan
analgesic pilihan dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI.
Morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan
interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. Efek samping yang
perlu diwaspadai pada pemberian morfin adalah konstriksi vena
dan arteriolar melalui penurunan simpatis, sehingga terjadi pooling
vena yang akan mengurangi curah jantung dan tekanan arteri. Efek
hemodinamik ini dapat diatasi dengan elevasi tungkai pada kondisi
tertentu diperlukan penambahan cairan IV dengan NaCl 0,9%.
Morfin juga dapat menyebabkan efek vagotonik yang
menyebabkan bradikardia atau blok jantung derajat tinggi,
terutama pasien dengan infark posterior. Efek ini biasanya dapat
diatasi dengan pemberian atropine 0,5 mgIV.
4. Aspirin
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai
STEMI dan efektif pada spectrum sindrom koroner akut. Inhibisi
cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar
tromboksan A2 dicapai dengan absorbsi aspirin bukkal dengan
dosis 160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya aspirin
diberikan oral dengan dosis 75-162 mg.
5. Penyekat Beta
Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian
penyekat beta IV, selain nitrat mungkin efektif. Regimen yang bias
adiberikan adalah metoprolol 5 mg setiap 2-5 menit sampai total 3
dosis, dengan syarat frekuensi jantung >60 menit, tekanan darah
sistolik >100 mmHg, interval PR <0,24 detik dan ronchi tidak lebih
dari 10 cm dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV
terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis IV
terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg
tiap 6 jam dan dilanjutkan 100 mg tiap 12 jam.
6. Terapi Reperfusi
Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner,
meminimalkan derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan
mengurangi kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi
pump failure atau takiaritmia ventricular yang maligna. Sasaran
terapi perfusi pada pasien STEMI adalah door-to-needle (atau
medical contact-to-needle) time untuk memulai terapi fibrinolitik
dapat dicapai dalam 30 menit atau door-to-ballon) time untuk PCI
dapat dicapai dalam 90 menit.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Pengkajian
Pengkaijian pada pasein infark miocard akut dengan STEMI
merupakan salah satu aspek yang penting dalam proses keperawatan.
Hal ini penting untuk merencanakan tindakan selanjutnya. Perawat
mengumpulkan data dasar informasi status terkini pasien mengenai
pengkajian system kardiovaskular sebagai prioritas pengkajian.
Pengkajian sistematis pasien mencakup riwayat yang berhubungan
dengan gambaran gejala berupa nyeri dada, sulit bernapas, palpitasi,
pingsan dan keringat dingin. Masing-masing gejala harus dievaluasi
waktu dan durasinya serta faktor yang mencetuskan dan
meringankannya. Pengkajian pada pasein dengan infark miokard akut
menurut Muttaqin (2009) dijelaskan bahwa pengkajian meliputi:
a. Keluhan Utama
Keluhan utama biasanya nyeri dada, perasaan sulit bernapas serta
pingsan.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pengkajian RPS yang mendukung keluhan utama dengan
melakukan serangkaian pertanyaan tentang nyeri dada klien secara
PQRST adalah sebagi berikut:
1) Provocing Incident
Nyeri setelah aktivitas dan tidak berkurang dengan istirahat dan
setelah diberikan nitrogliserin.
2) Quality of Pain
Seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien,
sifat keluhan nyeri seperti tertekan.
3) Region
Lokasi nyeri di daerah substernal atau nyeri di atas
pericardium. Penyebaran dapat meluas di dada. Dapat terjadi
nyeri serta ketidakmampuan bahu dan tangan.
4) Severity (Scale) of Pain
Klien bisa ditanya dengan menggunakan rentang skala nyeri.
5) Time
Sifat mula timbulnya (onset), gejala timbul mendadak. Lama
timbulnya (durasi) nyeri dada dikeluhkan lebih dari 15 menit.
Nyeri oleh infark miokardium dapat timbul pada waktu
istirahat, biasanya lebih parah dan berlangsung lebih lama.
Gejala-gejala yang menyertai infark miokardium meliputi
dispnea, berkeringat, ansietas, dan pingsan.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian riwayat kesehatan dahulu yang mendukung dengan
mengkaji apakah klien sebelumnya pernah menderita nyeri dada,
darah tinggi, DM, dan hiperlipidemia. Tanyakan mengenai obat-
obatan yang biasa diminum oleh klien pada masa lalu yang masih
relevan. Obat-obat ini meliputi obat antiangina nitrat dan
penghambat beta serta obat-obatan antihipertensi. Catat adanya
efek samping yang terjadi dimasa lalu. Tanyakan juga mengenai
alergi obat dan reaksi alergi apa yang timbul. Seringkali pasien
tidak dapat membedakan antara reaksi alergi obat dan efek
samping dari obat.
d. Riwayat Keluarga
Perawat menanyakan penyakit yang pernah diderita keluarga serta
apabila ada anggota keluarga yang meninggal, maka penyebab
kematiannya juga ditanyakan. Penyakit jantung iskemik pada orang
tua yang timbulnya pada usia muda merupakan faktor resiko utama
untuk penyakit jantung iskemik pada keturunannya.
e. Pemeriksaan Sistem
Pemeriksaan Sistem klien terdiri atas keadaan umum dan B1-B6.
1) Keadaan Umum
Pada pemeriksaan keadaan umum pasien dengan IMA biasanya
didapatkan kesadaran baik atau composmentis dan akan
berubah sesuai tingkat gangguan yang melibatkan perfusi
system saraf pusat.
2) B1 (Breathing)
Terlihat sesak, frekuensi napas melebihi normal dan keluhan
napas seperti tercekik. Biasanya juga terdapat dispnea kardia.
Sesak napas ini terjadi akibat pengerahan tenaga dan
disebabkan oleh kenaikan tekanan akhir diastolic dari ventrikel
kiri yang meningkatkan tekanan vena pulmonalis. Hal ini
terjadi karena terdapat kegagalan peningkatan curah darah
ventrikel kiri pada waktu melakukan kegiatan fisik, dispnea
kardia dapat timbul pada waktu istirahat bila keadaannya sudah
parah.
3) B2 (Bleeding)
Pemeriksaan ini dilakukan dengan inspeksi adanya parut,
denyut nadi perifer melemah, tekanan darah biasanya menurun
akibat penurunan volume sekuncup pada IMA.
4) B3 (Brain)
Kesadaran biasanya CM, tidak didapatkan sianosis perifer.
Pengkajian objektif klien berupa adanya wajah meringis,
perubahan postur tubuh, menangis, merintih, mengerang dan
menggeliat.
5) B4 (Bladder)
Pengukuran volume pengeluaran urin berhubungan dengan
asupan cairan, oleh karena itu perawat perlu memantau adanya
oliguria pada klien IMA karena merupakan tanda awal dari
syok kardiogenik.
6) B5 (Bowel)
Kaji pola makan klien apakah sebelumnya terdapat peningkatan
konsumsi garam dan lemak. Adanya nyeri akan memberikan
respon mual dan muntah. Palpasi abdomen didapatkan nyeri
tekan pada keempat kuadran. Penurunan peristaltic usus
merupakan tanda kardial pada IMA.
7) B6 (Bone)
Pada pemeriksaan ini hasil yang biasanya didapatkan adalah
pada aktivitas didapatkan gejala kelemahan, kelelahan, tidak
dapat tidur, gerak statis, dan jadwal olahraga yang tidak teratur.
Sehingga timbul tanda takikardi, dispnea pada saat istirahat
atau aktivitas, dan kesulitan melakukan tugas perawatan diri.
f. Pemeriksaan Fisik
1) Pemakaian otot pernafasan tambahan.
2) Nyeri dada.
3) Peningkatan frekuensi pernafasan, nafas sesak, bunyi nafas
(bersih, krekels, mengi), sputum.
4) Pelebaran batas jantung.
5) Bunyi jantung ekstra; S3 atau S4 mungkin menunjukkan gagal
jantung/ penurunan kontraktilitas atau komplain ventrikel.
6) Odem ekstremitas.
g. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Laboratorium
a) CKMB, Troponin I
b) Elektrolit, ketidak seimbangan (hipokalemi)
c) Sel darah putih (10.000-20.000)
d) GDA (hipoksia)
2) Pemeriksaan rontgen mungkin normal atau menunjukkan
pembesaran jantung.
3) Pemeriksaan EKG T inverted, ST elevasi, Q patologis.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan Perfusi jaringan perifer berhubungan dengan iskemik,
kerusakan otot jantung, penyempitan / penyumbatan pembuluh darah
arteri koronaria.
2. Nyeri akut berhubungan dengan iskemia jaringan sekunder terhadap
oklusi arteri koroner.
3. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan frekuensi,
irama, konduksi elektri, penurunan preload/peningkatan tahanan
vaskuler sistemik, otot infark, kerusakan struktural.
4. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan aliran darah
ke alveoli.
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbanga antara
suplai oksigen miokard dengan kebutuhan, adanya iskemia/nekrotik
jaringan miokard, efek obat depresan jantung.
DAFTAR PUSTAKA
Cipta Sudoyo, W. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakiit Dalam Jilid 1 . Jakarta:
Interna Publishing.
Cooper, D. (2015). The use of primary PCI for the treatment of STEMI. . British
Journal of Cardiac Nursing Vol. 10 No 7 .
Corwin, E. J. (2009). Handbook of Pathophysiology. Alih bahasa: pendit,BU.
Jakarta: EGC.
Darliana, D. (2010). Manajemen Pasien ST Elevasi Miokardial Infark (STEMI).
Idea Nursing Jurnal ISSN: 2087-2879. , 14-20.
Firdaus, I. (2012). Strategi Farmako-Invasif pada STEMI Akut. Jurnal Kardiologi
Indonesia , 266-271.
Nurarif, Huda, A., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Yogyakarta: Mediaction.
Oktavianus, & Sari, F. S. (2014). Asuhan Keperawatan Pada Sistem
Kardiovaskuler Dewasa. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sudoyo, A., Setiyohadi, B., & Alwi, I. (2010). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing.
Udjianti, W. J. (2010). Keperawatan Kardiovaskuler. Jakarta: Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai