PEMBIMBING:
DISUSUN OLEH:
2014730092
Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam bidang
kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju. Dari data SEAMIC
Health Statistic 2001 influenza dan pneumonia merupakan penyebab kematian nomor 6 di
Indonesia, nomor 9 di Brunei, nomor 7 di Malaysia, nomor 3 di Singapura, nomor 6 di Thailand
dan nomor 3 di Vietnam. Laporan WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi
akibat penyakit infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk pneumonia dan
influenza. Insidensi pneumonia komuniti di Amerika adalah 12 kasus per 1000 orang per tahun
dan merupakan penyebab kematian utama akibat infeksi pada orang dewasa di negara itu. Angka
kematian akibat pneumonia di Amerika adalah 10 %.
Di Amerika dengan cara invasif pun penyebab pneumonia hanya ditemukan 50%.
Penyebab pneumonia sulit ditemukan dan memerlukan waktu beberapa hari untuk mendapatkan
hasilnya, sedangkan pneumonia dapat menyebabkan kematian bila tidak segera diobati, maka pada
pengobatan awal pneumonia diberikan antibiotika secara empiris.
Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes tahun 2001, penyakit infeksi saluran napas
bawah menempati urutan ke-2 sebagai penyebab kematian di Indonesia. Di SMF Paru RSUP
Persahabatan tahun 2001 infeksi juga merupakan penyakit paru utama, 58 % diantara penderita
rawat jalan adalah kasus infeksi dan 11,6 % diantaranya kasus nontuberkulosis, pada penderita
rawat inap 58,8 % kasus infeksi dan 14,6 % diantaranya kasus nontuberkulosis. Di RSUP H. Adam
Malik Medan 53,8 % kasus infeksi dan 28,6 % diantaranya infeksi nontuberkulosis. Di RSUD Dr.
Soetomo Surabaya didapatkan data sekitar 180 pneumonia komuniti dengan angka kematian antara
20 - 35 %. Pneumonia komuniti menduduki peringkat keempat dan sepuluh penyakit terbanyak
yang dirawat per tahun.
BAB I
IDENTITAS PASIEN
I. Identitas Pasien
Nama : Tn. E
Usia : 67 Tahun
Status : Menikah
Agama : Islam
Pekerjaan :
II. Anamnesis
a. Keluhan Utama:
Pusing (+), batuk berdahak (+), mual (+), lemas (+), tidak nafsu makan sejak 1 minggu
SMRS. saat ini rahang bawah terasa sakit saat berbicara, makan, dan minum. Nyeri saat
menelan. Belum BAB, BAK dalam batas normal.
Pasien datang diantar oleh istrinya ke RSIJ Pondok Kopi dengan keluhan demam sejak 3
Hari SMRS, demam dirasa naik turun (tidak menentu). Keluhan ini disertai dengan mual,
pusing, dan lemas, dada terasa sesak disangkal, batuk berdahak + (namun tidak dapat
dikeluarkan), pasien mengatakan tidak nafsu makan sejak 1 minggu SMRS. Keluhan ini
disertai dengan rahang bawah terasa sakit saat berbicara, makan, dan minum, serta nyeri
saat menelan. Belum BAB, BAK dalam batas normal.
e. Riwayat Pengobatan :
Mengkonsumsi obat untuk Diabetes Melitus tipe II dan obat hipertensi, namun pasien
lupa nama obat.
f. Riwayat Penyakit Keluarga:
g. Riwayat Alergi:
h. Riwayat Kebiasaan:
pasien tidak nafsu makan , karena terasa sakit saat menggerakkan mulut.
GCS : E4V5M6 = 15
Status Generalisata :
Kepala : normocephal
Thorax
Paru
Auskultasi : rhonki di pulmo apex dextra dan sinistra +/+, wheezing -/-
Jantung
Abdomen :
Inspeksi : cembung, tidak tampak massa, tidak ada bekas luka, distensi -
Palpasi : supel, nyeri tekan pada regio epigastrium, turgor normal, tidak
teraba massa, hepatomegali -, splenomegali -
Genitalia :
Hematologi Rutin
MCH 29 27 - 33 pg
MCV 84 82 - 98 fL
Hematokrit 30 L 40-50 %
Diff Count
Liver Function
Diabetes
Renal Function
Elektrolit
Natrium 139 136 - 145 mmol/L
Fecal Analysis
Konsistensi Soft
Warna Brown
pH 7.0
Glukosa Negative
Epitel 1-2
Bakteri Positive Negative
Diabetes
GDS
Hematologi Rutin
Hematokrit 45 40-50 %
Renal Function
Urinalysis
Blood 3 Negative
S. Hyalin 2-3
Others ..
Diabetes
V. Resume
Laki-laki 67 tahun, Pasien datang diantar oleh istrinya ke RSIJ Pondok Kopi dengan
keluhan demam sejak 3 Hari SMRS, demam naik turun (tidak menentu). Keluhan ini
disertai dengan mual, pusing, dan lemas, pasien mengatakan tidak nafsu makan sejak 1
minggu SMRS. Keluhan ini disertai dengan rahang bawah terasa sakit saat berbicara,
makan, dan minum, serta nyeri saat menelan. Dada terasa sesak disangkal, batuk
berdahak + (namun tidak dapat dikeluarkan). Belum BAB, BAK dalam batas normal. Pasien
memiliki riwayat Diabetes Melitus tipe II dan hipertensi terkontrol. Pasien mengkonsumsi
obat rutin namun lupa nama obat.
Pemeriksaan fisik:
GCS : E4V5M6 = 15
- Laboratorium :
o Hb menurun
o Eritrosit menurun
o Hematokrit menurun
o ESR meningkat
o Eosinofil menurun
o Monosit meningkat
o Ureum meningkat
o Kreatinin meningkat
o GDS meningkat
- Rontegn Thorax
o kardiomegali konfigurasi aorta
o Pulmo dengan tanda bronkopenumonia
DM tipe 2
Dyspepsia
Anemia ec AKI
VII. Assesment
Subjektif :
✓ Pemeriksaan fisik :
• Suhu 38.3
✓ Pemeriksaan Penunjang :
Laboratorium :
▪ ESR meningkat
▪ Eosinofil menurun
▪ Monosit meningkat
Rontegn Thorax :
Pulmo dengan tanda bronkopenumonia
Assessment : Pneumonia ec susp infeksi bakteri dd/ infeksi fungal
Pentalaksanaan:
Rencana pemeriksaan :
Terapi Farmakologis :
Terapi Non-farmakologis :
Edukasi :
Tirah baring
Subyektif
Penatalaksanaan
terapi farmakologis
▪ Fg Throces 3 x 1
▪ Aloclair 1 x 1
III. DM tipe 2
Subyektif
Obyektif :
Laboratorium :
• GDS meningkat
Assesment : DM tipe II
Penatalaksanaan :
planning :
- HbA1c
Terapi farmakologis
Novorapide 3 x 7 IU
Terapi Non-farmakologis :
IV. Dyspepsia
Subyektif : mual
Assesment : Dyspepsia
Penatalaksanaan :
Farmakologis :
• Sucralfat 3 x 15 ml
• Omeprazole 1 x 1
Non farmakologis :
V. Anemia ec AKI
Subyektif : -
Obyektif :
o Hb menurun
o Eritrosit menurun
o Hematokrit menurun
o Ureum meningkat
o Kreatinin meningkat
Assesment : Anemia ec CKD
Penatalaksanaan :
Planning
VIII. Prognosis
FOLLOW UP
S demam menurun, mual (+), pusing (+), Sesak (-), lemas(+), nyeri saat menelan
dan lemas(+), tidak nafsu makan, berkurang, batuk berdahak + (namun
rahang bawah terasa sakit (+), nyeri tidak dapat dikeluarkan), nafsu makan
menelan(+). batuk berdahak + (namun Masih rendah.
tidak dapat dikeluarkan).
O TD : 120/80 mmhg TD : 130/80 mmhg
S : 37,3 oC S : 36,8 oC
RR : 18x/menit RR : 18 x/menit
N : 98 x / menit N : 82 x / menit
Rhonki +/+ Rhonki +/+
Nyeri tekan epigastrium (+) Nyeri tekan epigastrium (-)
hiperemis dan edema pada mukosa hiperemis dan edema pada mukosa
mulut sinistra mulut sinistra
A Pneumonia ec susp infeksi bakteri dd/ Pneumonia ec susp infeksi bakteri dd/
infeksi fungal infeksi fungal
Susp abses mandibula -> konsul tht Susp abses mandibula -> konsul tht
DM tipe 2 DM tipe 2
Dyspepsia Dyspepsia
Anemia ec CKD Anemia ec CKD
S Sesak (-), nyeri saat menelan Sesak (-), batuk berdahak + (namun
berkurang, batuk berdahak + (namun tidak dapat dikeluarkan)
tidak dapat dikeluarkan), nafsu makan
membaik
TINJAUAN PUSTAKA
A. PNEUMONIA
1. Definisi
Secara kinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang disebabkan oleh
mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Pneumonia yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk. Sedangkan peradangan paru yang disebabkan
oleh nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik, obat-obatan dan lain-
lain) disebut pneumonitis. Meskipun pneumonia merupakan penyebab morbiditas dan
mortalitas yang tinggi, pneumonia sering kali salah didiagnosis, serta salah ditangani dan
juga diremehkan.
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme, yaitu bakteri, virus,
jamur dan protozoa.
2. Patofisiologi
Aspirasi dari oropharing adalah rute yang paling sering dari infeksi saluran nafas bagian
bawah seperti pada pneumonia. Rute lain yang dapat menyebabkan pneumonia adalah
inhalasi dari mikroorganisme yang dilepaskan ke udara oleh seorang penderita yang
terinfeksi ketika penderita tersebut batuk, bersin dan bahakan berbicara atau bisa juga
berasal dari air yang telah terkontaminasi oleh peralatan yang digunakan untuk terapi
penyakit respirasi. Pneumonia juga dapat terjadi ketika terjadi penyebaran bakteri di dalam
paru-paru melalui darah yang mengalami bakterimia oleh sebab suatu infeksi di bagian
organ tubuh yang lain atau berasal dari penggunaan obat-obatan intravenous.
Pada individu yang sehat, patogen yang masuk ke dalam paru-paru dapat dikeluarkan oleh
sistem mekanisme pertahanan tubuh. Jika mikroorganisme dapat melalui sistem pertahanan
tubuh pada saluran nafas bagian atas, seperti refleks batuk dan pembersihan oleh
mukosiliari, maka sistem pertahanan tubuh selanjutnya adalah makrofag di alveolar.
Kemampuan makrofag untuk memfagositosis dapat menghilangkan sebagian besar
mikroorganisme tanpa adanya proses inflamasi yang signifikan atau respon imun. Apabila
mikroorganisme tersebut memiliki daya virulen yang tinggi atau terdapat dalam jumlah
yang banyak dapat menyebabkan makrofag alveolar kewalahan sehingga mengakibatkan
perangsangan sistem pertahanan tubuh yang maksimal, seperti pelepasan dari mediator
inflamasi yang multiple, infiltrasi seluler dan aktivasi dari sistem imun. Mediator inflamsi
dan kompleks imun ini dapat meyebabkan kerusakan dari membran mukosa bronkial dan
membran alveollokapiler, sehingga acini dan bronkiolus terminalis terisi oleh debris dan
eksudat. Terdapat beberapa mikroorganisme yang melepaskan toksin dari dinding selnya
yang dapat memperparah kerusakan dari paru-paru. Akumulasi dari eksudat dalam acinus
dapat menyebakan terjadinya sesak nafas dan V/Q missmatching dan hipoksemia.
Pneumonia dihasilkan dari proliferasi pathogen mikroba pada tingkat alveolar dan respons
inang terhadap pathogen tersebut. Mikroorganisme mendapatkan akses ke saluran
pernapasan bagian bawah dengan beberapa cara. Yang tersering adalah dengan aspirasi
dari orofaring. Aspirasi dengan volume yang kecil sering terjadi selama tidur (terutama
pada orang tua) dan pada pasien dengan penurunan tingkat kesadaran. Banyak pathogen
yang dihirup yang telah terkontaminasi droplet. Jarang pneumonia terjadi melalui
penyebaran hematogen.
Faktor mekanik sangat penting dalam pertahanan host. Rambut-rambut dan turbinet dari
nares menangkap partikel yang lebih besar sebelum partikel tersebut mencapai saluran
pernapasan bawah. Percabangan pohon trakeobronkial menjebak mikroba di saluran udara,
dimana pembersihan mukosiliar dan faktor antibakteri baik yang membersihkan atau
membunuh pathogen potensial. Reflex Gag dan mekanisme batuk merupakan bentuk
perlindungan dari aspirasi. Selain itu, flora normal yang menempel pada sel mukosa
orofaring, yang komponennya sangat konstan, mencegah bakteri pathogen untuk mengikat
dan dengan demikian mengurangi risiko pneumonia yang disebabkan oleh bakteri yang
lebih ganas ini.
3. Klasifikasi
1. Berdasarkan klinis dan epideologis :
a.Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia)
b.Pneumonia nosokomial (hospital-acqiured pneumonia / nosocomial pneumonia)
c.Pneumonia aspirasi
d.Pneumonia pada penderita Immunocompromised pembagian ini penting untuk
memudahkan penatalaksanaan.
A. Pneumonia bakterial / tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri
mempunyai tendensi menyerang sesorang yang peka, misalnya Klebsiella pada
penderita alkoholik, Staphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza.
C. Pneumonia virus
a. Pneumonia lobaris. Sering pada pneumania bakterial, jarang pada bayi dan orang
tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen kemungkinan sekunder
disebabkan oleh obstruksi bronkus misalnya : pada aspirasi benda asing atau
proses keganasan
c. Pneumonia interstisial
Etiologi
Etiologi dari CAP termasuk bakteri, jamur, virus, dan protozoa. Pathogen yang baru
diidentifikasi termasuk metapneumoviruse, koronavirus yang bertanggung jawab atas
sindrom pernafasan akut yang parah dan sindom pernafasan di Timur Tengan, dan
strain yang diperoleh dari komunitas methicillin-resis Staphylococcus aureus (MRSA).
Bagaimanapun, CAP disebabkan oleh beberapa pathogen namun yang tersering yakni
Streptococcus pneumoniae, penyebab pneumonia bergantung pada faktor risiko dari
pasien dan keparahan penyakitnya.
Diketahui berbagai pathogen yang cenderung dijumpai pada faktor risiko tertentu
misalnya H. influenza pada pasien perokok, pathogen atipikal pada lansia, gram
negative pada rumah jompo, dengan adanya PPOK, penyakit penyerta
kardiopulmunal/jamak, atau paska terapi antibiotika sprektrum luas.
Diagnostik
1) Anamnesa
Pneumonia seringkali menunjukkan gejala seperti penyakit sistemik akut seperti
demam, lemas, gemetar, dan muntah. Nafsu makan menghilang dan sakit kepala.
Gejala pulmonal seperti sesak napas dan batuk, dimana pada karakteristik awal
batuk pendek, terasa nyeri dan kering, namun lama kelamaan diikuti dengan sputum
mukopurulen. Sputum berwarna rust (kuning tua) mungkin dapat terlihat pada
pasien dengan infeksi Strep. Pneumonia, dan beberapa pasien dapat mengeluhkan
hemoptisis. Nyeri dada pleuritic dapat ditemukan dan dapat menjalar ke pundak
atau dinding anterior abdomen. Abdomen bagian atas teraba lunak kadangkala
terjadi pada pasien dengan pneumonia lobus bagian bawah atau jika terdapat
hubungan dengan hepatitis.
Riwayat penyakit pasien harus fokus pada mendeteksi gejala yang berhubungan
dengan CAP. Seseorang dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) memiliki
insidensi yang tinggi pada CAP. Pasien harus ditanyakan terkait pekerjaannya,
paparan terhadap binatang, dan riwayat seksual untuk mengidentifikasi agen
penyebab infeksi. Riwayat bepergian (dalam 2 minggu) dapat membantu
mengidentifikasi pneumonia Legionella, yang berkaitan dengan menginap di hotel
ataupun di kapal.
2) Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan demam, pekak pada perkusi paru, egofoni,
takikardi, dan takipnea. Suara nafas asimetris, pleural rub, egofoni dan fremitus
yang meningkat secara relative jarang ditemukan, namun sangat spesifik pada
pneumonia; tanda-tanda ini membantu menegakkan diagnose pneumonia jika
ditemukan namun tidak membantu jika tidak ada. Rales ataupun suara napas
bronkial juga dapat membantu, namun tidak lebih akurat dari rontgen dada.
Takipnea sering ditemukan pada pasien tua dengan CAP, mencapai 70% pada
pasien dengan usia lebih dari 65 tahun. Skrining dengan pulse oximetry harus
dilakukan pada seluruh pasien dengan suspek CAP.
3) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Radiologi
Gambaran infiltrat paru, pada rontgen thoraks, diperlukan untuk mendiagnosis
CAP, oleh karena itu, di pemeriksaan harus terlihat gambaran tersebut pada pasien
dengan klinis suspek CAP. Luasnya gambaran infiltrate pada pemeriksaan
radiografi dapat mengidentifikasi keparahan penyakit dan dapat membantu
memutuskan perawatan penyakit. Konsolidasi lobus, kavitas, dan efusi pleura
mengarahkan etiologi pada bakteri. Parenkim diffuse sering kali berhubungan
dengan Legionella atau viral pneumonia. Karena penggunaan antibiotik pada
penatalaksanaan infeksi respiratori bagian atas mengarahkan pada resistensi obat
dan dapat memiliki efek buruk maka mengidentifikasi pasien yang akan
diuntungkan dalam pemberian terapi antimikrobia sangat penting.
Pemeriksaan Laboratorium
Leukositosis umumnya menandai adanya infeksi bakteri; leukosit normal/rendah
dapat disebabkan oleh infeksi virus/mikoplasma atau pada infeksi yang berat
sehingga tidak terjadi respons leukosit. Leukopenia menunjukkan depresi imunitas,
misalnya neutropenia pada infeksi kuman Gram negative atau S. aureus pada pasien
dengan keganasan dan gangguan kekebalan. Faal hati mungkin terganggu.
Semua Pasien
Terapi
Komplikasi
Seperti pada infeksi berat lainnya, komplikasi umum dari CAP yang parah meliputi gagal
napas, syok dan kegagalan multiorgan, kuagulopati, dan eksaserbasi penyakit penyerta.
Tiga kondisi yang sangat penting adalah infeksi metastasis, abses paru, dan efusi pleura.
Infeksi metastasis (mis., Abses otak atau endokartidit) sangat tidak biasa dan akan
membutuhkan tingkat kecurigaan yang tinggi serta pemeriksaan yang terperinci untuk
mendapatkan perawatan yang tepat. Abses paru dapat terjadi, berhubungan dengan aspirasi
atau infeksi yang disebabkan oleh pathogen CAP tunggal, seperti CA-MRSA, P.
aeruginosa, atau (jarang) S. pneumonia. Pneumonia aspirasi biasanya merupakan infeksi
polimikroba yang melibatkan aerob dan anaerob.
Pencegahan
Di luar negeri dianjurkan pemberian vaksinasi influensza dan pneumokokus pada orang
dengan risiko tinggi, dengan gangguan imunologis, penyakit berat termasuk penyakit paru
kronik, hati, ginjal dan jantung. Di samping itu vaksinasi juga perlu diberikan untuk
penghuni rumah jompo atau rumah penampungan penyakit kronik, dan usia di atas 65
tahun.
Prognosis
Kejadian CAP di USA adalah 3.4 – 4 juta kasus pertahun, dan 20% di antaranya perlu
dirawat di RS. Secara umum angka kematian pneumonia oleh pneumokokkus adalah
sebesar 5%, namun dapat meningkat pada orang tua dengna kondisi yang buruk.
Pneumonia dengan influenza di USA merupakan penyebab kematian no.6 dengan kejadian
sebesar 59%. Sebagian besar pada usia lanjut usia. Mortalitas pada pasien CAP yang
dirawat di ICU adalah sebesar 20%.
Etiologi
Ketika HAP terjadi dalam 4-5 hari sejak masuknya kuma (onset dini), organisme yang
terlibat serupa dengan yang terlibat pada CAP, namun onset lambat HAP lebih sering
dikaitkan dengan bakteri Gram negative (seperti Eschericia, Pseudomonas dan
Klebsiella spesies), Staph. Aureus (termasuk methicillin-resistant Staph. Aureus
(MRSA)) dan anaerob.
Diagnostik
1) Anamnesis
Gejala dan tanda yang berkaitan dengan HAP tidak spesifik, namun HAP harus
dipertimbangkan pada pasien rawat inap atau yang mengeluhkan dahak purulent
(atau sekresi endotrakeal). Penting juga digali informasi dari pasien terkait faktor
risiko HAP yaitu konsumsi antibotik dalam 90 hari sebelumnya, melakukan terapi
hemodialisa dalam 30 hari terakhir, tinggal di panti jompo atau fasilitas kesehatan
lainnya, adanya anggota keluarga dengan infeksi yang melibatkan beberapa
pathogen yang resisten terhadap obat, dan pasien yang memiliki penyakit
immunosupresan.
2) Pemeriksaan Fisik
Gejala dan tanda yang berkaitan dengan HAP tidak spesifik, namun 2 atau lebih
temuan klinis dapat berupa demam, dan sputum purulent.
3) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pasien dengan HAP dapat ditemukan leukositosis ataupun leukopenia.
Evaluasi diagnostik pada suspek HAP meliputi kultur darah dari dua lokasi yang
berbeda. Biakan darah dapat mengidentifikasi patogen hingga 20% dari semua
pasien dengan HAP; hasil positif dikaitkan dengan peningkatan risiko komplikasi
dan tempat terjadinya infeksi. Blood count dan uji kimia klinis tidak dapat
menegakkan diagnosis HAP secara spesifik; namun dapat membantu menentukan
tingkat keparahan penyakit dan mengidentifikasi komplikasi.
Pemeriksaan sputum dengan pewarnaan gram ataupun biakan, keduanya tidak
sensitive dan tidak spesifik dalam diagnosis HAP.
Pemeriksaan Radiologi
Temuan radiografi dalam HAP / VAP tidak spesifik dan sering dikacaukan oleh
proses lain yang pada awalnya mengarah ke rawat inap atau masuk ICU. Pada
pemeriskaan radiografi dapat ditemukan adanya gambaran infiltrate.
4) Diagnosis Banding
Diagnosis banding HAP yakni gagal jantung, atelectasis, ARDS, pulmonary
thromboembolism, perdarahan paru, dan reaksi obat.
Terapi
DAFTAR PUSTAKA
1. McPhee, Stephen J. 2015. Current Medical Diagnosis & Treatment International Edition.
Lange.
2. Colledge, N.R., Walker, B.R. and Ralston, S.H. 2011. Davidson’s Principles and Practise
of Medicine. 21th Ed. Edinburgh : Churchill Livingstone
3. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, dkk. 2015. Harrison’s Principles of Internal
Medicine, 19th Edition. United States of America: Mcgraw-hill; 2015
5. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2014.