CLURIT BATA PuTIH
CLURIT BATA PuTIH
Pelukis : Sriwidjono
Penerbit/Pencetak : PT. GEMA
Metrokusuman 761 Blok 17/VI Sala
Ijin Penerbitan : No. Pol.5/28/Intel IV/1967
Tgl. 4 April 1967
Cetakan Pertama
Percetakan/Penerbitan C.V. GEMA Sala – 1967
JILID I
PADA suatu hari yang panas, angin timur sedang bertiup dengan hebatnya sehingga
ombak laut memukul-mukul pantai dengan serunya, berlabuhlah sebuah perahu layar
dari pantai seberang di pelabuhan Surabaya. Perahu dari Madura. Perahu itu bukanlah
satu satunya perahu yang berlabuh di situ pada hari itu. Banyak sudah perahu yang
datang menjeberangi selat Madura sebelumnya. Setelah dirapatkan, berloncatanlah
para penumpangnya ke darat. Mereka berjumlah enam-belas orang, terhitung perahu
yang sarat penumpang. Tiga orang diantara penumpang-penumpang yang naik ke
darat itu, berjalan dengan cepat menuju ke selatan. Dua orang pemuda dan seorang
lagi perempuan. Mereka semua berpakaian adat, tidak berbeda dengan penumpang
yang lain. yang laki memakai baju serba hitam, baju tanpa leher dengan dada terbuka,
kaus dalamnya lorek merah dan putih. Tampak sangat tampan. Sedang yang
perempuan memakai kain warna warni, bayunya hijau muda, rambutnya disanggul
tinggi, agak rusak karena dikacau angin. Ketiga orang ini kelihatan gembira. Laki-laki
yang lebih muda agaknya baru sekali itu naik didaratan situ, kentara dari sikapnya
yang tercengang. Ia banyak bertanya kepada yang lebih tua, dan sekaliannya disahut
dengan senyum. Kadang-kadang perempuan muda yang berjalan bersama mereka
mencampuri pembicaraan dengan tertawa-tawa juga.
“Jadi, langkah apa yang harus kutempuh pertama-tama?”
Begini Din. Jika orang tuamu memang menghendaki engkau meneruskan sekolah,
baiklah kau teruskan. Orang seperti awak ini lain pendapatnya. Jika engkau sudah lama
disini, nanti terbuka pikiranmu, bahwa bangsa kita yang telah makan sekolah, menjadi
kurang senang dengan perlakuan orang asing disini. Nanti engkau kukenalkan dengan
Haji Bahrum. Ia lebih bisa menjelaskan sebab musababnya kepadamu," jawab yang
lebih tua.
“Wi, aku kurang setuju sebenarnya dengan maksudmu memperkenalkan Jabodin pada
Haji Bahrum,” sela perempuan muda teman mereka. “Sebab engkau melibatkan
Jabodin pada pertikaian politik. Sedang orang tua Jabodin mengirimkan dia kemari
untuk sekolah."
“Karena itu, aku tadi bilang, dia boleh saja meneruskan sekolahnya, Mah. Aku hanya
mau mengenalkan dia dengan Haji Bahrum jika ia memerlukan, jika ia sudah
terpengaruh dengan orang-orang seperti kita ini."
Apakah salahnya terlibat pertikaian politik, jika begitu pengaruh keadaan disini? Di
kandang kambing kita mengembik, di kerangkerg harimau kita mengaum, bukan?” ujar
Jabodin, pemuda baru itu.
“Jawawi memang tidak salah. Benar, Din. Suasana orang-orang kita disini diliputi
dengan pertikaian politik. Dan politik bagi orang-orang kita berarti bertengkar!
Namun pandang isyarat Cak Tojib yang juga ikut masuk kebilik itu, menghapuskan
keragu-raguannya. Maka ia memikirkan soal lain. Ia memikirkan bahwa orang tua inilah
yang membuat Bahrowi sakti sehingga sepantasnya kakek ini menerima hukumannya
karena mendidik orang yang buruk tingkah lakunya. Bagaimanapun juga Haji Jen ikut
JILID II
KEADAAN sesungguhnya kian bertambah buruk. Perintah penghentian mengajarkan
ilmu pencak yang semula disambut dengan tepuk tangan oleh Burjani, ternyata banyak
menimbulkan kesulitan-kesulitan. Batas gerak Haji Jen kian dipersempit. Untuk
mengawasi kegiatan orang tua itu, tiap hari Minggu sore Bahrowi datang ke
Pandegiling, dengan alasan mempermahir ilmu pencaknya dihadapan gurunya. Tapi
pada hakekatnya ia datang pada waktu-waktu yang tidak teratur dan bahkan lebih
GAMBAR/ILUSTRASI
Begitu timbul tenggelamnya musim, begitu pula silih berganti nama-nama jago pencak,
atau jagoan sakti, muncul dipercaturan. Sebentar di Tuwowo terdengar Kasanali
merajai daerah timur laut Surabaya, lalu muncul di Kedurus Dulkahar Rajah besi
mengalahkan jago pencak pinggiran kota. Begitu seterusnya.
Pada suatu musim, muncullah nama Bandang Wonocolo. Perguruan Wonocolo
sebenarnya telah lama berjalan, tetapi nama itu sangat terkenal akhir ini karena
adanya gelanggang adu kesaktian diselenggarakan pada waktu tertentu. Digelanggang
ini setiap orang sakti boleh masuk mengadu kesaktiannya, sehingga dengan demikian
orang bisa melihat siapa-siapa jago pencak pada suatu musim, yakni orang yang
menang dalam pertarungan adu sakti di Wonocolo. Gelanggang di Wonocolo itu kian
hari kian terkenal, karena pengikutnya kian meluas, merembet sampai daerah Bangil
dan Mojokerto. Dan muncullah Bandang Wonocolo, seorang asal Buduran yang telah
tiga kali berturut-turut menang dalam gelanggang. Ia bersenjatakan golok besar, Pada
musim yang keempat naas baginya. Kabar bahwa di Buduran terdapat gerakan
kebangsaan yang melawan gopermen sungguh tidak menguntungkan baginya. Namun
ia naik juga kegelanggang Wonocolo dan agaknya akan menjadi pemenang empat
musim. Satu demi satu penantangnya ditaklukkan. Ada pula yang sampai pingsan dan
luka parah.
Ketika ditanya-tanya tidak ada lagi orang yang naik gelanggang, maka Bandang
bersumbar : Inilah Bandang Wonocolo! Siapa yang masih meragukan kesaktiannya
silahkan naik !”
GAMBAR/ILUSTRASI
Sekarang nyata benar, bahwa Jabodin musuhnya telah mengalami kemajuan yang
pesat sekali selama dua tahun saja, sehingga selayaknya jika ia berani menantang-
nantang ditempat umum. Bahrowi belum pernah gagal melakukan serangan lebih dari
lima kali berturut turut dalam sejarah pertarungannya. Tapi sekali ini ia menemui
lawannya yang terlalu gesit! Menyesal ia mengapa datang keperabu ini! Mengapa
tidak dicobanya dulu ditempat datar didaratan, dimana ia mahir melaksanakan
ilmunya dan bila perlu melarikan diri secara licik. Sekarang ia tidak bisa melarikan diri.
Ia sendiri memilih gelanggang, dan ternyata terjaring masuk kubu! Pikirannya mulai
goyah. Tapi masih punya harapan sebab sebegitu jauh ia belum luka Belum ada
serangan corit Jabodin yang mengenai dirinya Agaknya Jabodin tidak pandai
mengincarkan jloritnya, justru karena ketangkasan Bahrowi berkelebat. Sekali waktu
dipancingnya Jabodin dengan akal licik. Di tubruknya Burjani dan dipeluknya leher
perempuan itu dengan tangan kirinya, sedang tangan kananajt mengancam hendak
menusuk. Tapi kelicikan ini tidak tepat lagi ditrapkan disini. Burjani begitu jijik terhadap
Bahrowi, dan tahu sudah segala siasat buruknya, Begitu Bahrowi menubruknya,
perempuan itu telah menyerang dengan gigitannya, Aduh!” seru Bahrowi terpaksa
melepaskan dekapannya. Dan pada saat itu juga, Jabodin memutuskan tali layar,
bambu bingkai layar tergoncang keras memukul badan Bahrowi! Setelah bertempur
sambar menyambar beberapa lamanya, perahu pun berhenti meluncur karena
layarnya putus talinya, kedua orang yang bermusuhan itu berdiri berhadapan dengan
senjata masing' ditangan. Napas keduanya mendengus dengus.
TAMAT