Anda di halaman 1dari 3

Nama : Muhammad Abdul Habib

NIM : 16/398755/PN/14726
Tugas Epidemiologi
“PENYAKIT MONOSIKLIK DAN POLISIKLIK SERTA CARA PENGENDALIANNYA
DAN DIKAITKAN DENGAN RUMUS MATEMATIS EPIDEMIOLOGI”
Berdasarkan kemampuan berkembangbiak menghasilkan keturunannya,
memencarkan, dan menginfeksi tanaman/jaringan tanaman, serta menimbulkan
jaringan/tanaman sakit baru dalam satu siklus tanaman, patogen dibedakan menjadi patogen
monosiklik dan patogen polisiklik. Patogen monosiklik adalah patogen yang hanya mampu
menyelesaikan sebagian atau seluruh patogenesisnya (mulai dari proses infeksi, pertumbuhan
dalam jaringan tanaman inang, reproduksi menghasilkan propagul berupa spora hingga
proses pemencaran spora) dalam satu musim tanam, sehingga maksimum hanya mempunyai
satu generasi per musim tanam. Sedangkan patogen polisiklik adalah patogen yang
mempunyai kemampuan menghasilkan lebih dari satu generasi pada setiap musim tanam,
bahkan beberapa patogen mampu memproduksi banyak generasi atau menghasilkan propagul
secara terus menerus, sepanjang faktor lingkungan memungkinkan (Abadi, 2000).
Salah satu contoh patogen monosiklik adalah Ganoderma boninense penyebab
penyakit busuk pangkal batang pada tanaman kelapa sawit. Tanaman yang telah terinfeksi
patogen ini cepat atau lambat akan segera mati yang sebelumnya ditandai dengan gejala khas
berupa pembusukan pada pangkal batang yang menyebabkan busuk kering pada jaringan
dalam. Setelah itu akan terbentuk tubuh buah jamur Ganoderma boninense. Ganoderma
boninense merupakan patogen soil borne, yang artinya patogen dapat menyebar dan
menyebabkan infeksi pada tanaman melalui media tanah. Sifat soil borne tersebut
menyebabkan tunggul-tunggul kelapa sawit yang masih tersisa dalam tanah merupakan
sumber infeksi yang paling kuat di kebun peremajaan (Semangun, 2008).
Pada penyakit yang disebabkan oleh patogen monosiklik, jumlah tanaman sakit pada
saat t (Xt) adalah sama dengan jumlah tanaman sakit mula-mula (X0) ditambah dengan laju
infeksi r kali X0, dikalikan t.
Xt = Xo (1 + rt)
Dari persamaan tersebut, dapat disimpulkan bahwasanya untuk menurunkan jumlah
tanaman sakit dilapangan maka perlu menurunkan jumlah tanaman yang terinfeksi diawal
serta mengurangi jumlah inoculum awal dilapangan. Selain itu perlu adanya modifikasi
lingkungan sedemikian rupa sehingga dapat menghambat laju infeksi dan penyebaran
pathogen.
Terdapat beberapa cara pengendalian yang dapat dilakukan untuk mengendalikan
penyakit ini, diantaranya penggunaan biofungisida ganofend (Trichoderma virens) pada
kecambah dan bibit kelapa sawit. Dalam penelitian Rizky dkk., (2015), pemberian Ganofend
efektif dalam menurunkan tingkat kematian kecambah, sehingga pada bibit tidak terjadi
kematian. Beberapa kecambah dan bibit kelapa sawit dapat tetap tumbuh tanpa mengalami
gejala penyakit hingga minggu ke-30. Sanitasi sumber inokulum juga dapat meminimalkan
kontak antara akar sehat dan sisa-sisa akar terinfeksi yang merupakan salah satu mekanisme
utama penyebaran Ganoderma di lapangan. Selain itu, penggunaan tanaman tanaman toleran
Ganoderma dianggap salah satu pengendalian yang ideal yang dapat dilakukan (Idris et.al.,
2004).
Selanjutnya terdapat pathogen Colletotrichum spp. penyebab penyakit antraknose
pada cabai yang merupakan pathogen polisiklik. Dikatakan polisiklik karena patogen tersebut
mampu menyelesaikan beberapa siklus hidupnya dalam satu musim tanam cabai, sehingga
dapat menyebabkan serangan yang semakin luas dan parah dalam waktu cepat. Untuk
epidemi patogen polisiklik dapat dirumuskan sebagai berikut :
Xt = X0 X ert
Keterangan :
Xt = banyaknya tanaman sakit setelah waktu t
Xo = banyaknya tanaman sakit mula-mula (t=o)
e = bilangan alam (2,7182)
r = laju infeksi, tambahan tanaman sakit per satuan waktu
t = jangka waktu berlangsungnya epidemi.
Dari persamaan tersebut dapat disimpulkan bahwa jumlah tanaman yang sakit
dilapangan dipengaruhi oleh adanya tanaman awal atau bibit yang telah terinfeksi patogen,
laju infeksi patogen serta jangka waktu berlangsungnya epidemi.
Untuk mengurangi inoculum awal dilapangan, terdapat beberapa cara pengendalian
yang dapat dilakukan antara lain dengan menggunakan paparan gelombang mikro yang
diaplikasikan pada benih cabai untuk membunuh patogen terbawa benih. Berdasarkan
penelitian Najah dkk., (2016), paparan gelombang mikro selama 40 detik pada benih cabai
efektif menurunkan tingkat infeksi Colletotrichum spp. dengan tingkat efikasi sebesar 64.3%
dan tetap mempertahankan viabilitas benih. Nelson (2011) menyatakan bahwa benih yang
terinfeksi penyakit ketika dipapar dengan gelombang mikro akan terjadi peningkatan suhu
secara cepat yang mengakibatkan rusaknya dinding sel cendawan, degradasi protein,
inaktivasi enzim, penurunan viabilitas konidia dan kematian sel-sel hifa cendawan. Selain
dengan paparan gelombang mikro, pengendalian juga dapat dilakukan dengan cara
menggunakan pestisida nabati seperti minyak atsiri cengkeh dan sereh dapur, serta
penggunaan bahan tanam yang tahan terhadap serangan patogen.

Daftar Pustaka
Abadi, A. L. 2000. dan Strategi Pengelolaan Penyakit Epidemiologi Tumbuhan. Lembaga
Penerbitan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang.
Idris AS, Kushairi A, Ismail S, Ariffin D. 2004. Selection for partial tolerance in oil palm
progenies to Ganoderma basal stem rot. J Oil Palm Res. 16(2):12–18.
Najah L. N., Suhartanto M. R, Widodo. 2016 .Pengendalian Colletotrichum spp. Terbawa
Benih Cabai dengan Paparan Gelombang Mikro. Jurnal Fitopatologi Indonesia Vol
12 (4) : 115–123.
Nelson S. 2011. A half century of research on agricultural applications for RF and microwave
dielectric heating. ASABE Journal. Paper No. 1110849.
Rizky A., Atria M., Wahyu L. 2015. Pengendalian Ganoderma boninese oleh Trichoderma sp.
SBJ8 pada Kecambah dan Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di Tanah
Gambut. JOM FMIPA Vol 2 (1) : 99 – 107.
Semangun H. 2008. Penyakit-penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia. Yogyakarta. UGM.

Anda mungkin juga menyukai