Tokoh Ilmuwan Muslim Pada Masa Dinasti Umayyah
Tokoh Ilmuwan Muslim Pada Masa Dinasti Umayyah
2. Imam Malik
Imam malik. Ia bernama lengkap Abu Abdullah Malik
bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Haris bin
Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris Al Asbahi, lahir
di Madinah pada tahun 712-796 M. Berasal dari
keluarga Arab yang terhormat dan berstatus sosial
yang tinggi, baik sebelum datangnya islam maupun
sesudahnya, tanah asal leluhurnya adalah Yaman,
namun setelah nenek moyangnya menganut islam
mereka pindah ke Madinah, kakeknya Abu Amir
adalah anggota keluarga pertama yang memeluk
agama islam pada tahun ke dua Hijriah.
Kakek dan ayahnya termasuk ulama hadis terpandang di Madinah, oleh
sebab itu, sejak kecil Imam Malik tak berniat meninggalkan Madinah
untuk mencari ilmu, karena beliau merasa Madinah adalah kota sumber
ilmu yang berlimpah dengan ulama ulama besarnya. Imam Malik
menekuni pelajaran hadis kepada ayah dan paman pamannya juga
pernah berguru pada ulama ulama terkenal seperti Nafi’ bin Abi Nuaim,
Ibnu Syihab Al Zuhri, Abu Zinad, Hasyim bin Urwa, Yahya bin Said Al
Anshari, Muhammad bin Munkadir, Abdurrahman bin Hurmuz dan Imam
Ja’far AsShadiq.
Beliau lahir di masa Khalifah Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu, tepatnya dua
tahun terakhir beliau menjadi khalifah.
Demikian pula kegembiraan itu tampak pada keluarga Zaid bin Tsabit radhiallahu
‘anhu karena al-Yasar adalah orang yang sangat ia cintai.
2. Rabi’ah al-Adawiyah
Rabi’ah al-Adawiyah adalah seorang sufi wanita yang
nama dan ajaran-ajarannya telah memberi inspirasi
bagi para pecinta Ilahi. Rabi’ah adalah seorang sufi
legendaries. Sejarah hidupnya banyak diungkap oleh
berbagai kalangan, baik di dunia sufi maupun
akademisi. Rabi’ah adalah sufi pertama yang
memperkenalkan ajaran Mahabbah (Cinta) Ilahi, sebuah
jenjang (maqam) atau tingkatan yang dilalui oleh
seorang salik (penempuh jalan Ilahi). Selain Rabi’ah al-
Adawiyah, sufi lain yang memperkenalkan ajaran
mahabbah adalah Maulana Jalaluddin Rumi, sufi
penyair yang lahir di Persia tahun 604 H/1207 M dan wafat tahun 672
H/1273 M. Jalaluddin Rumi banyak mengenalkan konsep Mahabbah
melalui syai’ir-sya’irnya, terutama dalam Matsnawi dan Diwan-i Syam-I
Tabriz.
Rabi’ah adalah anak keempat dari empat saudara. Semuanya
perempuan. Ayahnya menamakan Rabi’ah, yang artinya “empat”, tak lain
karena ia merupakan anak keempat dari keempat saudaranya itu. Pernah
suatu ketika ayahnya berdoa agar ia dikaruniai seorang anak laki-laki.
Keinginan untuk memperoleh anak laki-laki ini disebabkan karena
keluarga Rabi’ah bukanlah termasuk keluarga yang kaya raya, tapi
sebaliknya hidup serba kekurangan dan penuh penderitaan. Setiap hari
ayahnya kerap memeras keringat untuk menghidupi keluarganya,
sementara anak-anaknya saat itu masih terbilang kecil-kecil. Apalagi
dengan kehadiran Rabi’ah, beban penderitaan ayahnya pun dirasakan
semakin bertambah berat, sehingga bila kelak dikaruniai anak laki-laki,
diharapkan beban penderitaan itu akan berkurang karena anak laki-laki
bisa melindungi seluruh keluarganya. Atau paling tidak bisa membantu
ayahnya untuk mencari penghidupan.
Dalam Bidang Ilmu Hadits
1. Abu Hurairah
Menurut pendapat mayoritas, nama beliau adalah
'Abdurrahman bin Shakhr ad Dausi. Pada masa
jahiliyyah, beliau bernama Abdu Syams, dan ada pula
yang berpendapat lain. Kunyah-nya Abu Hurairah (inilah
yang masyhur) atau Abu Hir, karena memiliki seekor
kucing kecil yang selalu diajaknya bermain-main pada
siang hari atau saat menggembalakan kambing-kambing
milik keluarga dan kerabatnya, dan beliau simpan di atas
pohon pada malam harinya. Tersebut dalam Shahihul
Bukhari, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memanggilnya,
“Wahai, Abu Hir”.
Ahli hadits telah sepakat, beliau adalah sahabat yang paling banyak
meriwayatkan hadits. Abu Muhammad Ibnu Hazm mengatakan bahwa, dalam
Musnad Baqiy bin Makhlad terdapat lebih dari 5300 hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.
Imam asy Syafi’i berkata,"Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu adalah orang yang
paling hafal dalam meriwayatkan hadits pada zamannya (masa sahabat).”
Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu masuk Islam antara setelah perjanjian
Hudaibiyyah dan sebelum perang Khaibar. Beliau Radhiyallahu 'anhu datang
ke Madinah sebagai muhajir dan tinggal di Shuffah.[4]
Amr bin Ali al Fallas mengatakan, Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu datang ke
Madinah pada tahun terjadinya perang Khaibar pada bulan Muharram tahun
ke-7 H.
Ibnu `Abbas adalah salah satu dari empat orang pemuda bernama `Abdullah yang
mereka semua diberi titel Al-`Abadillah. Tiga rekan yang lain ialah ‘Abdullah bin `Umar
(Ibnu `Umar), `Abdullah bin Zubair (Ibnu Zubair), dan `Abdullah bin Amr. Mereka
termasuk diantara tiga puluh orang yang menghafal dan menguasai Al-Qur’an pada
saat penaklukkan Kota Makkah. Al-`Abadillah juga merupakan bagian dari lingkar
`ulama yang dipercaya oleh kaum muslimin untuk memberi fatwa pada waktu itu.
Beliau senantiasa mengiringi Nabi. Beliau menyiapkan air untuk wudhu` Nabi. Ketika
shalat, beliau berjama`ah bersama Nabi. Apabila Nabi melakukan perjalanan, beliau
turut pergi bersama Nabi. Beliau juga kerap menhadiri majelis-majelis Nabi. Akibat
interaksi yang sedemikian itulah, beliau banyak mengingat dan mengambil pelajaran
dari setiap perkataan dan perbuatan Nabi. Dalam pada itu, Nabi pun mengajari dan
mendo`akan beliau.
Pernah satu hari Rasul memanggil `Abdullah bin `Abbas yang sedang merangkak-
rangkak di atas tanah, menepuk-nepuk bahunya dan mendoakannya, “Ya Allah,
jadikanlah Ia seorang yang mendapat pemahaman mendalam mengenai agama Islam
dan berilah kefahaman kepadanya di dalam ilmu tafsir.”
Guru Pembimbing :
Miftahul Huda, S.Pd