Anda di halaman 1dari 2

Algorithm Effect and Echo Chamber Trap

By: Ilmaya Ahsana Sifa/

195120201111041/ C.1 Ilmu Komunikasi


Bagaimana bisa? Hillary Clinton yang setiap saat diberitakan unggul dalam lini masa
media sosial kita, bisa kalah dari Donald Trump saat pengumuman pilpres Amerika tahun
2016? dan bagaimana mungkin? Ketika kita berteman dengan 1000 orang di facebook, namun
nama-nama yang selalu muncul di beranda kita, hanya orang-orang itu saja? Ada apa dengan
media sosial? Apakah media berboohong pada para penggunanya? Maka jawabannya adalah,
selamat datang di algoritma media yang pada akhirnya mendorong kita ke jebakan Echo
Chamber.

Lalu apa itu Echo Chamber?

“Echo Chamber means that you will only seeing ideas from people and media outlets
that agree with you”. Begitulah kiranya penjelasan dati Zach Toombs dalam Newsy mengenai
arti dari Echo Chamber. Atau jika disederhanakan, fenomena Echo Chamber ini
menggambarkan sebuah ruang di dunia maya, tempat kita hanya mendengar apa yang kita
teriakkan tanpa mau tahu kondisi yang sebenarnya. Tentu fenomena ini cukup berbahaya,
mengingat secara perlahan sudut pandang dari tiap orang akan terbunuh, dan hanya
mempercayai satu kebenaran yang dianggap haqiqi.

Bagaimanakah Echo Chamber ini bisa muncul? Munculnya fenomena ini diawali
dengan lahirnya sebuah sistem bernama algoritma media sosial, dimana sistem tersebut akan
mengevaluasi informasi apa saja yang kita sukai, untuk nantinya ditampilkan secara lebih
sering dalam lini masa media sosial kita. Dari mana algoritma ini tahu mengenai apa saja yang
kita minati? Tentu jawabannya dari semua informasi yang sering kita beri tanda “like”
“comment” dan “share”, selain itu juga dari berita yang sering kita “klik” tautan link-nya.
Sehingga tanpa kita sadari, jejaring sosial menganalisa perilaku kita di internet, dan akhirnya
menunjukkan informasi yang menurutnya kita sukai. Itulah mengapa lini masa kita selalu
menampilkan apa yang kita gandrungi.

Melihat bagaimana sistem ini mampu bekerja dan memberi apa yang kita mau, sudah
tentu banyak yang beranggapan bahwa hal ini berdampak positif. Namun secara mengejutkan
seorang aktivis internet bernama Eli Pariser, melihat ada kejanggalan pada sistem ini. Dalam
karyanya yang berjudul “The Filter Bubble: What the Internet is Hiding From You” ia
meneyebutkan bahwa, sistem algoritma media pada akhirnya akan menciptakan “gelembung
besar (filter bubble)” yang membuat seseorang terisolasi secara intelektual. Maksudnya, ketika
seseorang tak pernah mencoba melihat sudut pandang orang lain, maka kemungkinan ia
terpaku pada sudut pandangnya saja akan semakin besar. Dan lahirlah fenomena Echo
Chamber ini. Tom Stafford, Dosen Ilmu Psikologi dan Kognitif, University of Sheffield
mengatakan bahwa, Echo chamber adalah masalah, mereka mengancam percakapan
demokratis kita, memecah landasan asumsi dan kenyataan yang dibutuhkan oleh beragam
orang untuk saling berbicara.
Hal itulah yang menyebabkan mengapa kemenangan Donald Trump dalam pilpres
begitu mengejutkan, dan mengapa hanya nama-nama teman tertentu saja yang muncul dalam
beranda facebook kita. Pastilah alasannya karena fenomena Echo Chamber membuat kita buta
pada apa yang sebenarnya terjadi di dunia nyata. Lalu apa tujuan media sosial menerapkan
sistem algoritma ini jika nyatanya berdampak buruk bagi pola pikir seseorang? Tentu
jawabannya tidak jauh-jauh dengan kebutuhan iklan yang dibuat khusus berdasar selera kita.
Karena dengan data yang dimiliki media sosial mengenai apa yang kita sukai, tentu sebuah
iklan akan lebih tepat sasaran dalam pemasarannya, sehingga mampu menarik minat pembeli.
Dan ending-nya, media sosial mendapat income dari hal tersebut. Betapa beruntungnya pemilik
media sosial bukan?.

Untuk itu, agar kita tidak masuk ke dalam pusaran sistem algoritma dan Echo Chamber,
kita bisa melakukan beberapa hal kecil. Caranya, kita harus rajin menghapus browsing history,
mengaktifkan ad-blocker, membaca artikel dari sumber yang tidak bias, dan sebisa mungkin
perluas topik yang kita konsumsi. Dan satu hal yang paling penting adalah, jadilah seseorang
yang terbuka akan semua yang ada, sehingga bisa menerima segala bentuk perbedaan yang
ada.

Sumber :

Hasfi, Nurul. 2019. Komunikasi Politik di Era Digital. Jurnal Ilmu Politik. Departemen Ilmu
Komunikasi, Universitas Diponegoro.
(https://ejournal.undip.ac.id/index.php/politika/article/download/17500/15048)
Diakses pada tanggal 3 Desember 2019.

Adam, Aulia. 2019. Filter Bubble: Sisi Gelap Algoritma Media Sosial. https://tirto.id/filter-
bubble-sisi-gelap-algoritma-media-sosial-cwSU. Diakses pada tanggal 3 Desember
2019.

Namira, Izza. 2019. 7 Fakta "Ngeri" Filter Bubble, Gelembung Virtual Penyaring
Informasimu. https://www.idntimes.com/tech/trend/izza-namira-1/fakta-filter-
bubble/full. Diakses pada tanggal 3 Desember 2019.

Anda mungkin juga menyukai