Mekanika II Ok PDF
Mekanika II Ok PDF
1 PENDAHULUAN 3
1.1 Diferensial Parsial . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3
1.2 Diferensial Total . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5
3 KOORDINAT UMUM 17
3.1 Kendala (constraint) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 17
3.2 Koordinat Umum . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 19
3.3 Derajat Kebebasan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 23
3.4 Kecepatan Umum . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 24
3.5 Percepatan Umum . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 25
3.6 Energi kinetik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 29
3.7 Momentum Umum . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 31
4 LAGRANGAN 33
4.1 Persamaan Lagrange dari Konsep Gaya Umum . . . . . . . . 33
4.1.1 Gaya Umum . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 33
4.1.2 Penurunan Persamaan Lagrange
dari Konsep Gaya Umum . . . . . . . . . . . . . . . . 36
4.2 Persamaan Lagrange dari Prinsip d’Alembert . . . . . . . . . 41
4.2.1 Pergeseran Maya . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 41
1
2 DAFTAR ISI
5 HAMILTONAN 51
5.1 Prinsip Hamilton . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 51
5.2 Penurunan Persamaan Lagrange dari Prinsip Hamilton . . . . 53
5.3 Fungsi Hamilton . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 55
5.4 Persamaan Hamilton . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 57
6 TRANSFORMASI KANONIK 59
6.1 Transformasi Kanonik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 59
6.2 Fungsi Pembangkit . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 60
6.3 Kurung Poisson . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 61
6.4 Teori Hamilton-Jacobi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 62
BAB 1
PENDAHULUAN
Sebelum membahas lebih jauh tentang mekanika, ada baiknya kita mereview
pengetahuan kita tentang diferensial.
Contoh:
Jika z = x3 y − exy , maka dengan mudah akan kita dapatkan
∂z
= zx = 3x2 y − yexy
∂x
∂z
= zy = x3 − xexy
∂y
3
4 BAB 1. PENDAHULUAN
∂2z
= zyx = 3x2 − exy − xyexy .
∂x∂y
Kita juga dapat meninjau suatu fungsi yang mengandung lebih dari
dua variabel. Misalkan suhu T pada suatu ruangan bergantung pada titik
(x, y, z) dan berubah setiap saat t. Kita dapat menuliskan T sebagai
T = T (x, y, z, t).
Ungkapan
∂T
∂z
menunjukkan laju perubahan T terhadap z, dengan x dan y tetap, pada
saat t tertentu.
Seringkali turunan parsial dituliskan di dalam tanda kurung dengan sub-
skrip variabel tertentu, ini menunjukkan turunan parsial tersebut dihitung
pada kondisi subskrip variabel berupa konstanta.
Contoh:
z = x2 − y 2
Dengan menggunakan koordinat polar, kita ingat bahwa
x = r cos θ,
y = r sin θ,
z = r2 cos2 θ − r2 sin2 θ,
z = 2x2 − x2 − y 2 = 2x2 − r2 ,
z = x2 + y 2 − 2y 2 = r2 − 2y 2 ,
dy d
y0 = = f (x), (1.4)
dx dx
sebagai kemiringan kurva pada titik (x, y). Di dalam kalkulus ∆x diar-
tikan sebagai perubahan x dan ∆y sebagai perubahan y terkait perubahan
x tersebut.
Berdasarkan definisi
dy ∆y
= lim , (1.5)
dx ∆x→0 ∆x
maka dx dapat didefinisikan sebagai variabel bebas
dx = ∆x. (1.6)
Akan tetapi dy tidaklah sama dengan ∆y. Berdasarkan Gambar 1.1 dan
persamaan (1.4) dapat dilihat bahwa ∆y adalah perubahan y di sepanjang
kurva dan dy = y 0 dx adalah perubahan y di sepanjang garis kemiringan
(gradien). Dalam hal ini dikatakan bahwa dy adalah pendekatan tangensial
untuk ∆y. Dari Gambar 1.1 jelas bahwa dy merupakan pendekatan untuk
∆y jika ∆x sangat kecil. Dengan bahasa matematis, ungkapan ini dapat
dinyatakan dengan persamaan (1.5) yang mengatakan bahwa dy/dx adalah
limit ∆y/∆x ketika ∆x → 0, artinya selisih antara ∆y/∆x dan dy/dx akan
6 BAB 1. PENDAHULUAN
Untuk sebuah fungsi dengan dua variabel misalnya z = f (x, y), maka ∂f /∂x
dan ∂f /∂y di suatu titik, masing-masing menyatakan kemiringan z di titik
tersebut pada arah x dan y. Perubahan z terhadap perubahan x dan y
dapat dicari dengan mendefinisikan terlebih dahulu
∂z ∂z
dz = dx + dy (1.9)
∂x ∂y
sehingga
∂f ∂f
∆z = + 1 ∆x + + 2 ∆y
∂x ∂y
= dz + 1 ∆x + 2 ∆y (1.10)
(1 dan 2 → 0 ketika ∆x dan ∆y → 0)
Secara umum dapat dikatakan berlaku untuk setiap fungsi dari banyak vari-
abel misalnya u = f (x, y, z, ), maka
∂f ∂f ∂f
df = dx + dy + dz + ... (1.11)
∂x ∂y ∂z
du merupakan pendekatan yang baik untuk ∆u jika turunan parsial f bersi-
fat kontinyu dan dx, dy, dz dan seterusnya bernilai sangat kecil.
BAB 2
7
8 BAB 2. SISTEM KERANGKA TAK INERSIA
~ (t) + ~v 0 (t)
~v (t) = V
dan
~ + ~a 0 (t)
~a(t) = A(t)
Jika kerangka O’x’y’z’ tidak dipercepat relatif terhadap kerangka Oxyz,
~ = 0 dan ~a(t) = ~a 0 (t).
maka A(t)
Jika kerangka Oxyz inersial, maka di sana berlaku hukum Newton, yaitu
F~ = m~a = m~a 0 .
~ 6= 0, maka
Jika sistem O’x’y’z’ mengalami percepatan, yakni A(t)
~ + m~a 0 (t),
F~ = mA(t)
atau
~ = m~a 0 (t).
F~ − mA(t)
Sebagai persamaan gerak dilihat dari kerangka O’x’y’z’.
F~ 0 = m~a 0 (t).
Jadi, jika dilihat dari kerangka acuan O’x’y’z’, seolah-olah terdapat gaya
tambahan −mA(t) ~ sehingga gaya total yang diderita oleh benda adalah
F~ 0 = F~ − mA(t).
~
Gaya tambahan −mA(t) ~ ini disebut sebagai gaya inersial atau gaya fiktif.
Gaya ini misalnya gaya dorongan ke belakang yang kita rasakan ketika bis
yang kita naiki bertambah cepat.
Andaikan (î, ĵ, k̂) vektor-vektor satuan untuk Oxyz dan (î0 , ĵ 0 , k̂ 0 ) vektor-
vektor satuan untuk O’x’y’z’. Karena pangkal koordinatnya sama maka
posisi benda itu dilihat dari kedua sistem koordinat itu adalah ~r dan ~r 0 ,
dengan
~r = ~r 0
atau
xî + y ĵ + z k̂ = x0 î0 + y 0 ĵ 0 + z 0 k̂ 0
Jadi,
dx dy dz dx0 0 dy 0 0 dz 0 0
î + ĵ + k̂ = î + ĵ + k̂
dt dt dt dt dt dt
atau
d 0
~v = ~v 0 + x0
î + y 0 ĵ 0 + z 0 k̂ 0
dt
Vektor ~v adalah kecepatan benda dilihat dari kerangka Oxyz dan ~v 0 adalah
kecepatan benda dilihat dari kerangka O’x’y’z’.
~v = ~v 0 + ω
~ × ~r 0
Suku −~r 0 × dt
d
ω
~ disebut sebagai percepatan transversal, suku 2~ ω × ~v 0
disebut percepatan Coriolis, dan suku ω ω × ~r 0 ) disebut percepatan
~ × (~
sentripetal.
F~ = m~a,
dengan F~ adalah jumlahan semua vektor gaya riil (mempunyai arti fisis)
yang bekerja pada partikel.
Dalam pandangan kerangka acuan tak inersial, hukum Newton dapat ditu-
liskan sebagai
F~ − mA
~ 0 − 2m~ ~˙ × ~r0 − m~
ω × ~v 0 − mω ω × ~r0 ) = m~a 0 .
ω × (~
gerakan partikel yang benar. Dengan kata lain, pengamat semacam ini
memahami persamaan geraknya sebagai
F~ 0 = m~a 0 ,
0 0 0
F~ 0 = F~ + F~cor + F~trans + F~centrif − mA
~ 0.
Gaya Coriolis menjadi gaya yang menarik untuk dipelajari. Gaya ini hanya
muncul jika partikel bergerak dalam sistem koordinat berotasi. Arah gaya
Coriolis selalu tegaklurus vektor kecepatan partikel dalam sistem yang ber-
gerak. Gaya ini penting dalam penghitungan lintasan partikel. Efek Coriolis
memegang peranan kunci dalam sirkulasi udara di sekitar sistem bertekanan
rendah atau tinggi pada permukaan bumi.
Gaya transversal muncul hanya jika terdapat percepatan sudut pada sis-
tem koordinat yang berotasi. Gaya ini selalu tegak lurus vektor jari-jari ~r 0
dalam sistem koordinat yang berotasi.
Gaya sentrifugal muncul akibat rotasi terhadap suatu sumbu. Gaya ini
selalu berarah keluar dari sumbu rotasi dalam arah tegak lurus.
Ilustrasi dari ketiga gaya ini tampak pada Gambar 2.3.
12 BAB 2. SISTEM KERANGKA TAK INERSIA
F~ − mA
~ 0 − 2m~ ~˙ × ~r0 − m~
ω × ~v 0 − mω ω × ~r0 ) = m~a 0
ω × (~ (2.5)
F~ − mA ~0 = 0 (2.6)
Gaya F diberikan oleh penjumlahan semua vektor gaya, termasuk gaya iner-
~ 0 , sebagaimana tampak pada Gambar 2.4
sial −mA
Gambar 2.4: Vektor gaya yang bekerja pada bandul yang digan-
tung dekat dengan permukaan bumi pada sudut lintang λ
Arah bandul tidak tepat menuju ke pusat bumi, karena ada gaya inersial
−mA ~ 0 yang menyimpangkan bandul menjauh dari sumbu rotasi bumi. Gaya
ini juga berlawanan dengan percepatan kerangka acuan. Besar gaya inersial
ini sama dengan besar gaya sentripetal
(T~ + m~g0 ) − mA
~0 = 0
Gambar 2.5: Relasi vektor antara gaya gravitasi sejati, gaya iner-
sial, dan gaya gravitasi terukur.
Jadi, tali bandul tadi tidak berarah ke pusat bumi, tetapi menyimpang
sejauh (sudut yang cukup kecil).
Kita dapatkan
F~ − mA
~ 0 − 2m~ ~˙ × ~r0 − m~
ω × ~v 0 − mω ω × ~r0 ) = m~a 0
ω × (~
dengan F~ mewakili semua gaya yang bekerja selain akibat gravitasi. Namun,
~ 0 = m~g , sehingga persamaan
dari kasus statik di atas, kombinasi m~g0 − mA
geraknya dapat ditulis ulang sebagai
Ditinjau gerak sebuah peluru. Jika tidak terdapat hambatan udara maka
~
F = 0. Selanjutnya, suku m~ω × (~ ω × ~r0 ) bernilai sangat kecil dibandingkan
suku yang lain, sehingga kita dapat mengabaikannya. Persamaan gerak
peluru menjadi
m~r̈ 0 = m~g − 2ω × ~r˙ 0
Kita dapatkan
~g = −g k̂ 0
~ × ~ṙ0 = (ω ż 0 cos λ − ω ẏ 0 sin λ)î0 + ω ẋ0 sin λĵ 0 + (−ω ẋ0 cos λ)k̂ 0 .
ω
16 BAB 2. SISTEM KERANGKA TAK INERSIA
Komponen kecepatannya
KOORDINAT UMUM
n
d2~ri (t) 1 X X
= F~ i + F~ ij , (3.1)
dt2 mi
j
P i
dengan i = 1, 2, 3, ..., n adalah indeks/nomor partikel, F adalah gaya
luar total yang bekerja pada partikel nomor i, dan F ij adalah gaya interaksi
yang dialami oleh partikel nomor i akibat keberadaan partikel nomor j.
Hukum Newton tersebut selalu dikaitkan dengan sistem koordinat karte-
sian, sehingga solusinya selalu dalam sistem koordinat kartesian. Kenyata-
annya, tidak semua permasalahan gerak dapat dipecahkan dengan mudah
apabila dilakukan di dalam sistem koordinat kartesian.
Contoh:
17
18 BAB 3. KOORDINAT UMUM
Jenis-jenis Kendala:
a. Kendala Holonomik
Apabila kendala dapat dituliskan sebagai persamaan-persamaan yang
menghubungkan posisi-posisi partikel dalam bentuk
f (r1 , r2 , r3 , , rn ) = 0
Contoh:
(ri − rj )2 − cij = 0
x2 + y 2 − a2 = 0 dan z = tetapan
3.2. KOORDINAT UMUM 19
b. Kendala Nonholonomik
Kendala Nonholonomik adalah kendala yang tidak holonomik. Artinya,
kendala yang tidak dapat dituliskan sebagai persamaan-persamaan se-
perti di atas.
Contoh:
• 2 partikel
Jika dinyatakan dalam Koordinat Kartesius 3 dimensi:
20 BAB 3. KOORDINAT UMUM
partikel 1 : x1 , y1 , z1
partikel 2 : x2 , y2 , z2
Jika dinyatakan dalam Koordinat Koordinat Umum : q1 , q2 , q3 , ..., q6
⇒n=6
• N partikel
Jika dinyatakan dalam Koordinat Kartesius 3 dimensi:
partikel 1 : x1 , y1 , z1
partikel 2 : x2 , y2 , z2
partikel 3 : x3 , y3 , z3
.
.
.
partikel N : xN , yN , zN
Jika dinyatakan dalam Koordinat Umum: q1 , q2 , q3 , ..., q3N ⇒ n = 3N
(x1 , y1 , z1 , x2 , y2 , z2 , x3 , y3 , z3 , ..., xN , yN , zN ),
q1 = q1 (x1 , y1 , z1 , x2 , y2 , z2 , x3 , y3 , z3 , ..., xN , yN , zN , t)
q2 = q2 (x1 , y1 , z1 , x2 , y2 , z2 , x3 , y3 , z3 , ..., xN , yN , zN , t)
.
.
.
q3N = q3N (x1 , y1 , z1 , x2 , y2 , z2 , x3 , y3 , z3 , ..., xN , yN , zN , t) (3.3)
Contoh:
Koordinat Polar 2 dimensi seperti tampak pada Gambar 3.1.
p
r = x2 + y 2
−1 y
θ = tan − ωt
x
x = r cos(θ + ωt)
y = r sin(θ + ωt) (3.6)
dengan q1 = r dan
p q2 = θ. y
sehingga : q1 = x2 + y 2 dan q2 = tan−1 x − ωt.
22 BAB 3. KOORDINAT UMUM
∂(q1 , q2 )
|j| =
∂(x, y)
−y
∂q1 ∂q2 x
∂x ∂x q1 q12
|j| = ∂q =y
∂y1 ∂q 2
∂y q1 x
q12
x2 y 2
= + 3
q13 q1
x + y2
2
=
q13
x2 + y 2
= p
(x2 + y 2 ) x2 + y 2
1
|j| = 6= 0
q1
Atau,
∂(r, θ)
|j| =
∂(x, y)
−y
∂r ∂θ x
|j| = ∂x
∂r
∂x = r
∂θ y
r2
x
∂y ∂y r r2
1
|j| = 6= 0
r
3.3. DERAJAT KEBEBASAN 23
1. Dua buah kelereng besi disambung dengan batang tegar yang pan-
jangnya l, sehingga membentuk semacam barbel. Persamaan kendala
untuk dua kelereng itu adalah
x2 + y 2 − a2 = 0 dan z = tetapan.
d
qk = q̇k ; k = 1, 2, 3, ..., 3N (3.9)
dt
Dalam koordinat polar:
p
r = x2 + y 2
y
θ = tan−1 − ωt
x
kecepatan umum:
Karena sistem koordinat umum dan sistem koordinat kartesian saling terkait,
maka hal yang sama juga terjadi antara kecepatan, percepatan, dan lain-lain
di dalam sistem koordinat kartesian.
3N
∂y1 X ∂y1
ẏ1 = + q̇j (3.11)
∂t ∂qj
j=1
3N
∂z1 X ∂z1
ż1 = + q̇j (3.12)
∂t ∂qj
j=1
sehingga
d2
qk = q̈k ; ; k = 1, 2, 3, ..., 3N (3.13)
dt2
26 BAB 3. KOORDINAT UMUM
Ditinjau koordinat x1 :
3N 3N 3N
! !
∂ ∂x1 X ∂x1 X ∂ ∂x1 X ∂x1
ẍ1 = + q̇i + + q̇i q̇j
∂t ∂t ∂qi ∂qj ∂t ∂qi
i=1 j=1 i=1
3N 3N 3N
∂ 2 x1 X ∂ 2 x1 X ∂x1 ∂ q̇i X ∂ 2 x1
= + q̇i + + q̇j +
∂t2 ∂t∂qi ∂qi ∂t ∂t∂qj
i=1 i=1 j=1
3N 3N 3N 3N
! !
X X ∂ 2 x1 X X ∂x1 ∂ q̇i
q̇i q̇j + q̇j
∂qj ∂qi ∂qi ∂qj
j=1 i=1 j=1 i=1
∂ q̇i
=0 (3.14)
∂qj
dan
3N 3N 3N 3N
!
∂ 2 z1 X ∂ 2 z1 X ∂z1 ∂ q̇i X X ∂ 2 z1
z̈1 = + 2 q̇ i + + q̇i q̇j (3.17)
∂t2 ∂t∂qi ∂qi ∂t ∂qj ∂qi
i=1 i=1 j=1 i=1
Contoh:
Dalam koordinat polar
x = r cos(θ + ωt)
y = r sin(θ + ωt)
Pertama, tinjau komponen x. Secara eksplisit, x merupakan fungsi dari
variabel r, θ, dan t. Jika diturunkan terhadap waktu diperoleh
dx ∂x dr ∂x dθ ∂x dt
ẋ = = + +
dt ∂r dt ∂θ dt ∂t dt
ẋ = ṙ cos(θ + ωt) − rθ̇ sin(θ + ωt) − rω sin(θ + ωt) (3.18)
Jika diperhatikan, persamaan (3.18) secara eksplisit merupakan fungsi dari
5 variabel, yaitu ẋ = ẋ(r, ṙ, θ, θ̇, t), sehingga jika diturunkan terhadap waktu
sekali lagi, diperoleh
ẋ
ẍ =
dt
∂ ẋ dr ∂ ẋ dṙ ∂ ẋ dθ ∂ ẋ dθ̇ ∂ ẋ dt
= + + + +
∂r dt ∂ ṙ dt ∂θ dt ∂ θ̇ dt i ∂t dt
h
= 0 − θ̇ sin(θ + ωt) − ω sin(θ + ωt) ṙ + [cos(θ + ωt)] r̈ +
h i h i
−ṙ sin(θ + ωt) − rθ̇ cos(θ + ωt) − rω cos(θ + ωt) θ̇ + −rθ̈ sin(θ + ωt) +
h i
−ṙω sin(θ + ωt) − rθ̇ω cos(θ + ωt) − rω 2 cos(θ + ωt)
ẍ = −2ṙθ̇ sin(θ + ωt) − 2ṙω sin(θ + ωt) + r̈ cos(θ + ωt) − rθ̇2 cos(θ + ωt) +
−2rω θ̇ cos(θ + ωt) − rθ̈ sin(θ + ωt) − rω 2 cos(θ + ωt) (3.19)
28 BAB 3. KOORDINAT UMUM
3N
∂x X ∂x
ẋ = + q̇j
∂t ∂qj
j=1
∂x ∂x ∂x
= + ṙ + θ̇
∂t ∂r ∂θ
ẋ = −rω sin(θ + ωt) + ṙ cos(θ + ωt) − rθ̇ sin(θ + ωt) (3.20)
∂2x
2
∂2x
∂ x ∂x ∂x
ẍ = + 2 ṙ + θ̇ + r̈ + θ̈ +
∂t2 ∂t∂r ∂t∂θ ∂r ∂θ
2
∂2x ∂2x ∂2x 2
∂ x 2
ṙ + ṙθ̇ + θ̇ṙ + 2 θ̇
∂r2 ∂r∂θ ∂θ∂r ∂θ
2 2 2
∂ x ∂ x ∂ x ∂x ∂x
= +2 ṙ + θ̇ + r̈ + θ̈ +
∂t2 ∂t∂r ∂t∂θ ∂r ∂θ
2
∂2x ∂2x 2
∂ x 2
ṙ + 2 ṙ θ̇ + θ̇
∂r2 ∂r∂θ ∂θ2
h i
= −rω 2 cos(θ + ωt) + 2 −ω sin(θ + ωt)ṙ − rω cos(θ + ωt)θ̇ +
h i h i
r̈ cos(θ + ωt) − rθ̈ sin(θ + ωt) + 0 − 2 sin(θ + ωt)ṙθ̇ − r cos(θ + ωt)θ̇2
ẍ = −rω 2 cos(θ + ωt) − 2ṙω sin(θ + ωt) − 2rω θ̇ cos(θ + ωt) + r̈ cos(θ + ωt) +
−rθ̈ sin(θ + ωt) − 2ṙθ̇ sin(θ + ωt) − rθ̇2 cos(θ + ωt) (3.21)
N
X 1
T = mi~vi2
2
i=1
1 1 1
= m1~v12 + m2~v22 + ... + mN ~vN 2
2 2 2
1 1 1
= m1 (ẋ21 + ẏ12 + ż12 ) + m2 (ẋ22 + ẏ22 + ż22 ) + ... + mN (ẋ2N + ẏN
2 2
+ żN )
2 2 2
3N 3N 3N
1X 2 1X 2 1X
= mi ẋi + mi ẏi + mi żi2
2 2 2
i=1 i=1 i=1
3N
1 X
T = mi (ẋ2i + ẏi2 + żi2 ) (3.22)
2
i=1
3N X
3N 3N
X 1 X
T = Aij q̇i q̇j + Bi q̇i + T0 (3.23)
2
i=1 j=1 i=1
~r = xx̂ + y ŷ
~r = q1 q̂1 + q2 q̂2
Vektor kecepatan:
d~r
~v = = ẋx̂ + ẏ ŷ
dt
= q̇1 q̂1 + q̇2 q̂2
Energi kinetik
1 1
T = m(ẋx̂ + ẏ ŷ)(ẋx̂ + ẏ ŷ) = m(ẋ2 + ẏ 2 )
2 2
30 BAB 3. KOORDINAT UMUM
1
T = m(q̇1 q̂1 + q̇2 q̂2 )(q̇1 q̂1 + q̇2 q̂2 )
2
1
= m(q̇12 + q̇1 q̇2 q̂1 q̂2 + q̇2 q̇1 q̂2 q̂1 + q̇22 )
2
1
= m(q̇12 + q̇22 + 2q̇1 q̇2 q̂1 q̂2 )
2
1
T = m(q̇12 + q̇22 + 2q̇1 q̇2 cos α)
2
3N 3N
1 XX
T = Aij q̇1 q̇2
2
i=1 j=1
1
= (A11 q̇12 + A12 q̇1 q̇2 + A21 q̇2 q̇1 + A22 q̇22 )
2
Dalam koordinat umum:
A11 = A22 = m
A12 = A21 = m cos α
A11 = A22 = m
A12 = A21 = 0
~ = ~r × p~ ; 1
p~ = m~v ; L T = mv 2
2
∂T ∂T ∂T
px = ; py = ; pz = .
∂ ẋ ∂ ẏ ∂ ż
1
T = m(vx2 + vy2 + vz2 )
2
∂T
= mvx = px
∂vx
∂T
= mvy = py
∂vy
∂T
= mvz = pz
∂vz
x = r cos θ
y = r sin θ
32 BAB 3. KOORDINAT UMUM
1 1
T = mv 2 = m(ṙ2 + r2 θ̇2 )
2 2
2
Lθ = mr θ̇
LAGRANGAN
δW = Fx1 · δx1 + Fy1 · δy1 + Fz1 · δz1 + ... + FxN · δxN + FyN · δyN + FzN · δzN
N
X
= (Fxi · δxi + Fyi · δyi + Fzi · δzi )
i=1
δW = Fxi · δxi + Fyi · δyi + Fzi · δzi ; i = 1, 2, 3, ..., N
dengan δxi , δyi , δzi dapat dinyatakan dalam pergeseran di dalam sistem ko-
ordinat umum δqi
33
34 BAB 4. LAGRANGAN
Analog
3N
X ∂yi
δyi = δqj (4.2)
∂qj
j=1
3N
X ∂zi
δzi = δqj (4.3)
∂qj
j=1
Maka
N
X
δW = (Fxi · δxi + Fyi · δyi + Fzi · δzi )
i=1
X ∂xi ∂yi ∂zi
= Fxi δqj + Fyi δqj + Fzi δqj
∂qj ∂qj ∂qj
X ∂xi ∂yi ∂zi
= Fxi + Fyi + Fzi δqj
∂qj ∂qj ∂qj
N
X
δW = Qj δqj (4.4)
j=1
F~ = −∇V (4.6)
∂V ∂V ∂V
Fxi = − ; Fyi = − ; F zi = − . (4.7)
∂xi ∂yi ∂zi
∂ ∂ ∂
dengan V = V (x1 , y1 , z1 , ..., xN , yN , zN ) dan ∇ = î ∂x + ĵ ∂y + k̂ ∂z .
Contoh:
Gerak sebuah partikel dalam ruang 2 dimensi.
d2 r
F =m
dt2
F~ = Fx x̂ + Fy ŷ
F~ = Fr r̂ + Fθ θ̂
dengan
x̂ = r̂ cos θ − θ̂ sin θ
ŷ = r̂ sin θ + θ̂ cos θ
dan
r̂ = x̂ cos θ + ŷ sin θ
θ̂ = −x̂ sin θ + ŷ cos θ
sehingga diperoleh
Fx = Fr cos θ − Fθ sin θ
Fy = Fr sin θ + Fθ cos θ
dan
Fr = Fx cos θ + Fy sin θ
Fθ = −Fx sin θ + Fy cos θ
X ∂xi ∂yi
∂x ∂y
Qj = Fxi + Fyi = Fx + Fy (4.9)
∂qj ∂qj ∂qj ∂qj
Jika dipilih q1 = r dan q2 = θ, maka diperoleh
∂x ∂y
Q1 = Fx + Fy
∂r ∂r
∂x ∂y
Q2 = Fx + Fy
∂θ ∂θ
Dengan
x = r cos θ
y = r sin θ
36 BAB 4. LAGRANGAN
maka
∂x
= cos θ
∂r
∂x
= −r sin θ
∂θ
∂y
= sin θ
∂r
∂y
= r cos θ
∂θ
sehingga diperoleh gaya umum sebagai
Q1 = Fx cos θ + Fy sin θ = Fr
Q2 = rFx sin θ + rFy cos θ = rFθ = momen gaya
dan
δW = Fx δx + Fy δy
= Q1 δq1 + Q2 δq2
= Q1 δr + Q2 δθ
δW = Fr δr + rFθ δθ
δθ = 0 → δW = Fr δr.
δr = 0 → δW = rFθ δθ.
sehingga
X
d d ∂T d ∂ 1 2 2 2
px = = mi (ẋi + ẏi + żi )
dt dt ∂ q̇k dt ∂ q̇k 2
d X1 ∂ ẋi ∂ ẏi ∂ żi
= mi ∂ ẋi + ∂ ẏi + ∂ żi
dt 2 ∂ q̇k ∂ q̇k ∂ q̇k
d d X 1 ∂ ẋi ∂ ẏi ∂ żi
px = mi ẋi + ẏi + żi
dt dt 2 ∂ q̇k ∂ q̇k ∂ q̇k
∂ żi ∂zi
Ingat bahwa ∂ q̇k = ∂qk .
d X ∂ ẋi ∂ ẏi ∂ żi d ∂xi d ∂yi d ∂zi
pk = mi ẍi + y¨i + z¨i + ẋi + ẏi + żi
dt ∂ q̇k ∂ q̇k ∂ q̇k dt ∂qk dt ∂qk dt ∂qk
d ∂xi d ∂yi d ∂zi
= Qk + mi ẋi + mi ẏi + mi żi (4.11)
dt ∂qk dt ∂qk dt ∂qk
d ∂xi d ∂xi d ∂xi d ∂xi
= + q̇ + ... + q̇3N
dt ∂qk dt ∂qk dq ∂qk dq3N ∂qk
3N
∂ 2 xi X ∂ 2 xi
= + q̇1
∂t∂qk ∂ql ∂qk
l=1
3N
!
∂ ∂xi X ∂xi
= + q̇k
∂qk ∂t ∂ql
l=1
d ∂xi ∂ d ∂
= xi = ẋi (4.12)
dt ∂qk ∂qk dt ∂qk
Analog
d ∂yi ∂
= ẏi (4.13)
dt ∂qk ∂qk
d ∂zi ∂
= żi (4.14)
dt ∂qk ∂qk
38 BAB 4. LAGRANGAN
d X ∂ ∂ ∂
pk = Qk + mi ẋi ẋi + ẏi ẏi + żi żi
dt ∂qk ∂qk ∂qk
X 1 ∂ ∂ 2 ∂ 2
2
= Qk + mi ẋ + ẏ + ż
2 ∂qk i ∂qk i ∂qk i
X1 ∂
= Qk + mi (ẋ2 + ẏi2 + żi2 )
2 ∂qk i
∂ X1
= Qk + mi (ẋ2i + ẏi2 + żi2 )
∂qk 2
d ∂
pk = Qk + T (4.15)
dt ∂qk
d d ∂T
pk =
dt dt ∂ q̇k
d ∂
pk = Qk + T
dt ∂qk
maka
d ∂T ∂
= Qk + T
dt ∂ q̇k ∂qk
d ∂T ∂
− T = Qk
dt ∂ q̇k ∂qk
sehingga
d ∂ ∂
− T = Qk (4.16)
dt ∂ q̇k ∂qk
dikenal sebagai Persamaan umum dinamika di dalam sistem koordinat umum.
Dengan demikian
∂V d ∂V ∂V
− = −
∂qk dt ∂ q̇k ∂qk
diperoleh
d ∂L ∂L
− =0 (4.19)
dt ∂ q̇k ∂qk
d ∂L ∂L
− = 0
dt ∂ q̇k ∂qk
d ∂L ∂L
− = 0
dt ∂ ẋ ∂x
d ∂L ∂L
− = 0
dt ∂ ẏ ∂y
d ∂L ∂L
− = 0
dt ∂ ż ∂z
40 BAB 4. LAGRANGAN
yang konsisten dengan gaya-gaya dan kendala yang bekerja pada sistem itu
pada saat t. Hal yang penting di sini adalah pergeseran maya terjadi tanpa
membutuhkan waktu.
Pergeseran maya dinyatakan sebagai
3N −k
X ∂~ri α α ∂~ri
δ~ri = δq + δt (4.22)
∂q ∂t
α=1
F~i = 0
F~i · δ~ri = 0
(a)
X X
F~i · δ~ri + f~ik · δ~ri = 0 (4.23)
i i
Bila sistem yang ditinjau sedemikian rupa sehingga gaya kendala tegaklu-
rus terhadap pergeseran maya yang mungkin, maka suku kedua persamaan
terakhir lenyap. Jadi, X (a)
F~i · δ~ri = 0 (4.24)
i
X (a) d
F~i + f~i − p~i · δ~ri = 0
dt
i
Dengan asumsi bahwa gaya kendala selalu tegak lurus terhadap pergeseran
maya, maka didapat
X (a) d
F~i − p~i · δ~ri = 0
dt
i
Karena δ~r1 , δ~r2 , ..., δ~rN tidak bebas satu dari yang lain (akibat adanya kendala),
maka tidak serta merta dapat disimpulkan bahwa
X (a) d
F~i − p~i = 0
dt
i
X
Rα δq α = 0
α
(a)
X X
F~i · δ~ri = mi~r¨i · δ~ri (4.28)
i i
!
X (a)
X ∂~ri X X (a) ∂~ri X
F~i · α
α
δq = F~i · α δq α = Qα δq α (4.29)
α
∂q α
∂q α
i i
dan diperoleh
(a) ∂~
ri
X
Qα = F~i · α (4.30)
∂q
i
44 BAB 4. LAGRANGAN
X X X ∂~ri
mi~r¨i · δ~ri = mi~r¨i · α
δq α
α
∂q
i i
XX ∂~ri
= mi~r¨i · α δq α
α
∂q
i
!
X X ∂~ r i
= mi~r¨i · α δq α
α
∂q
i
X XX d ˙ ∂~ri d ∂~ri
mi~r¨i · δ~ri = mi ˙
~ri · α − ~ri · α
δq α
α
dt ∂q dt ∂q
i i
(4.31)
∂~r˙i
d ∂~ri ∂ ∂~ri
= α = (4.32)
dt ∂q α ∂q ∂t ∂q α
selanjutnya,
d~ri
~r˙i =
dt
X ∂~ri dq α ∂~ri dt
= +
α
∂q α dt ∂t dt
X ∂~ri ∂~ri
~r˙i = α
q̇ α + (4.33)
α
∂q ∂t
dan
∂~r˙i X ∂~ri ∂ q̇ α
=
∂ q̇ β α
∂q α ∂ q̇ β
X ∂~ri
= δα
α β
α
∂q
∂~r˙i ∂~ri
= (4.34)
∂ q̇ β ∂q β
4.2. PERSAMAAN LAGRANGE DARI PRINSIP D’ALEMBERT 45
Jika persamaan 4.32, 4.33, dan 4.34 disubstitusi ke persamaan 4.31 akan
dihasilkan
" ! #
X XX d ∂ ~˙i
r ∂ ~˙i
r
mi~r¨i · δ~ri = mi ~r˙i · α − ~r˙i · α δq α
i α i
dt ∂ q˙ ∂q
" ! #
X X d ∂ ~˙i
r X ∂ ~˙i
r
= mi~r˙i · α − mi~r˙i · α δq α
dt ∂ q˙ ∂q
α i i
" #
X X d ∂ X ∂
= Ti − T δq α
α i
dt ∂ q˙α ∂q
α i i
X X d ∂T ∂T
mi~r¨i · δ~ri = − α δq α (4.35)
dt ∂ q˙α ∂q
i α
Karena δq α bebas linier, maka kuantitas yang berada dalam kurung bernilai
nol, yaitu
d ∂T ∂T
Qα = − α (4.38)
dt ∂ q ˙
α ∂q
yang merupakan bentuk Hukum II Newton dalam koordinat umum.
Jika gaya-gaya diturunkan dari fungsi potensial skalar V ,
F~i = ∇i V (4.39)
X ∂~r˙i X ∂~r˙i
Qα = F~i · α = − ∇i V · α (4.40)
∂q ∂q
i i
∂V
Qα = − (4.41)
∂q α
46 BAB 4. LAGRANGAN
~ + q ~v × B
F~ = q E ~ (4.46)
c
Komponen gaya Lorentz yang mengandung kecepatan adalah gaya magnetik
~v ~ = q (~v × B)
~
Fb = q × B
c c
dengan
~v = ẋî + ẏ ĵ + ż k̂ (4.47)
~ = Bx î + By ĵ + Bz k̂
B (4.48)
sehingga
q
F~bx = (ẏBz − żBy ) (4.49)
c
~ q
Fby = (żBx − ẋBz ) (4.50)
c
~ q
Fbz = (ẋBy − ẏBx ) (4.51)
c
Dari
d ∂u ∂u
Qk = −
dt ∂ q̇k ∂qk
diperoleh
d ∂u ∂u
F~bx = − (4.52)
dt ∂ ẋ ∂x
d ∂u ∂u
F~by = − (4.53)
dt ∂ ẏ ∂y
d ∂u ∂u
F~bz = − (4.54)
dt ∂ ż ∂z
Maka u yang memenuhi adalah
q
u = (xżBy + y ẋBz + z ẏBx )
c
Kembali ke gaya Lorentz
~ + q (~v × B)
F~ = q E ~
c
48 BAB 4. LAGRANGAN
diperoleh
q d ~ q
F~ = − ~
A − ∇(cφ − ~v · A)
c dt c
yaitu
q d ~ ∂ q
F~x = − Ax − qφ − ~
~v · A (4.57)
c dt ∂x c
q d ~ ∂ q
F~y = − Ay − qφ − ~
~v · A (4.58)
c dt ∂y c
q d ~ ∂ q
F~z = − Az − qφ − ~
~v · A (4.59)
c dt ∂z c
Jadi bentuk potensial dari F adalah u = qφ − qc ~v · A
~
Maka fungsi Lagrange
L=T −U (4.60)
1 q ~
L = mv 2 − qφ + ~v · A (4.61)
2 c
∂L
Momentum Umum p~q = ∂ q̇k
∂L q
p~x = = mẋ + Ax (4.62)
∂ ẋ c
∂L q
p~y = = mẏ + Ay (4.63)
∂ ẏ c
∂L q
p~z = = mż + Az (4.64)
∂ ż c
4.3. POTENSIAL BERGANTUNG PADA KECEPATAN 49
Jadi,
q~
p~ = m~v + A
c
Jadi momentum partikel bermuatan q yang bergerak dalam medan elektro-
magnetik tidak sama dengan m~v , tetapi m~v + qc A.
~
50 BAB 4. LAGRANGAN
BAB 5
HAMILTONAN
51
52 BAB 5. HAMILTONAN
Hal ini berarti bahwa, semua lintasan yang mungkin suatu sistem titik
berpindah dari posisi awal saat t1 ke posisi berikutnya saat t2 , sesungguhnya
ia berpindah sepanjang lintasan sedemikian rupa sehingga nilai integral pada
persamaan (5.1) bernilai tetap (stasioner). Integral sepanjang lintasan yang
diberikan mempunyai nilai yang sama dengan semua lintasan di sekitarnya,
perhatikan Gambar 5.1.
Dengan kata lain, Prinsip Hamilton dapat dinyatakan sebagai Gerak
yang sedemikian rupa sehingga variasi integral garis I dari t1 ke t2 bernilai
0. Z t2
δI = δ L(q1 , ..., qn , q̇1 , ..., q̇n , t)dt = 0 (5.2)
t1
Ketika kendala sistem berupa kendala yang holonomik, Prinsip Hamilton
(5.2) sesuai dan memenuhi syarat untuk Persamaan Lagrange (4.19) atau
(4.45). Jadi, telah ditunjukkan bahwa Prinsip Hamilton didapatkan secara
langsung dari Persamaan Lagrange. Namun, pada bahasan lain akan ditun-
jukkan sebaliknya: Persamaan Lagrange didapat dari prinsip Hamilton.
5.2. PENURUNAN PERSAMAAN LAGRANGE DARI PRINSIP HAMILTON53
dengan y1 (x, 0), y2 (x, 0), dan seterusnya adalah solusi masalah ekstrimum,
dan η1 , η2 dan seterusnya adalah fungsi yang tak bergantung x, yang lenyap
di titik-titik ujung dan kontinyu pada turunan kedua. Selain itu, semuanya
sembarang.
Variasi J diberikan dalam bentuk
Z 2X
∂J ∂f ∂yi ∂f ∂ ẏi
dα = dα + dα dx (5.4)
∂α 1 ∂yi ∂α ∂ ẏi ∂α
i
dengan suku pertama lenyap, karena semua kurva melalui titik ujung yang
tetap. Substitusi persamaan (5.5) pada persamaan (5.4), δJ menjadi
Z 2X
∂f d ∂f
δJ = − δyi dx, (5.6)
1 ∂yi dx ∂ ẏi
i
54 BAB 5. HAMILTONAN
∂f d ∂f
− = 0, i = 1, 2, ..., n. (5.8)
∂yi dx ∂ ẏi
x → t
y i → qi
f (yi , ẏi , x) → L(qi , q̇i , t)
d ∂L ∂L
− = 0, i = 1, 2, ..., n. (5.10)
dt ∂ q̇i ∂qi
dL ∂L ∂L dq ∂L dq̇
L(q, q̇, t) → = + +
dt ∂t ∂q dt ∂ q̇ dt
Maka
dH X ∂L d ∂L
∂L dqk ∂L dq̇k
∂L
= q̈k + q̇k − + −
dt ∂ q̇k dt ∂ q̇k ∂qk dt ∂ q̇k dt ∂t
X ∂L d ∂L
∂L ∂L
∂L
= q̈k + q̇k − q̇k + q̈k −
∂ q̇k dt ∂ q̇k ∂qk ∂ q̇k ∂t
dH ∂L
= − (5.13)
dt ∂t
Jika L tidak bergantung pada waktu secara eksplisit L = L(q, q̇) maka
dH
dt = 0 → H = konstan; H merupakan suatu konstanta.
Andaikan q̇k adalah sistem koordinat
P yang ortogonal
P yang berakibat T bersi-
1 2 ∂L
fat kuadratik terhadap q̇k → T ≈ 2 Ak q̇k dan q̇k ∂ q̇k = 2T .
3N
X ∂L
H = q̇k −L
∂ q̇k
k=1
= 2T − L ;L = T − V
= 2T − T + V
H = T +V (5.14)
Jadi H mempunyai arti fisis sebagai energi mekanik sistem apabila sistem ko-
ordinat yang dipakai adalah sistem koordinat ortogonal. Jika kita menggu-
nakan sistem koordinat ortogonal dimana fungsi L tidak bergantung waktu
56 BAB 5. HAMILTONAN
Contoh:
L=T −V
1 1
L = mẋ2 − kx2
2 2
Persamaan geraknya:
d ∂L ∂L
− =0
dt ∂ ẋ ∂x
mẍ + kx = 0
Persamaan Hamilton
X ∂L
H = q̇k −L
∂ q̇k
∂L 1 2 1 2
= ẋ − mẋ − kx
∂ q̇k 2 2
1 1
= ẋ(mẋ) − mẋ2 + kx2
2 2
1 2 1 2
H = mẋ + kx
2 2
2. Gerak benda dalam sebuah bidang karena gaya sentral (gaya rotasi)
L = T −V
1
= mv 2 − V (r)
2
1
= m(ṙ2 + r2 θ2 ) − V (r)
2
Persamaan Gerak
d ∂L ∂L
− =0
dt ∂ q̇k ∂qk
5.4. PERSAMAAN HAMILTON 57
d ∂L ∂L
− = 0
dt ∂ ṙ ∂r
d ∂V
mṙ − mrθ̇2 − = 0
dt ∂r
dV
mr̈ − mrθ̇2 + = 0
dr
dV
mr̈ = mrθ̇2 −
dr
2
mr̈ = mrθ̇ − f (r)
3N
X ∂L
H(q, q̇, t) = q̇k − L(q, q̇, t) (5.15)
∂ q̇k
k=1
3N
X
H(q, q̇, t) = q̇k pk − L(q, q̇, t) (5.16)
k=1
Sebelum dituliskan H sebagai fungsi (q, q̇, t). Namun karena q̇ dan p saling
terkait, maka H dapat dituliskan sebagai fungsi q, p, t. Dengan menganggap
q, p, t saling bebas, maka variasi H(q, p, t) .
X ∂H X ∂H X ∂H
δH(q, q̇, t) = δqk + δpk + δt
∂qk ∂pk ∂t
P
Karena H = q̇k pk − L(q, q̇, t), maka
X X
δH = q̇k δpk + pk δ q̇k − δL(q, q̇, t)
hX X i X ∂L X ∂L X ∂L
= q̇k δpk + pk δ q̇k − δqk − δ q̇k − δt
∂qk ∂ q̇k ∂t
X X ∂L
δH = q̇k δpk − ṗk δqk − δt (5.17)
∂t
58 BAB 5. HAMILTONAN
TRANSFORMASI
KANONIK
(qk , pk ) → (Qk , Pk )
dengan
Qk = Qk (q, p, t) (6.1)
Pk = Pk (q, p, t) (6.2)
59
60 BAB 6. TRANSFORMASI KANONIK
∂H
q̇k = (6.5)
∂pk
∂H
ṗk = − (6.6)
∂qk
Persamaan Lagrange akan diperoleh apabila variasi dari fungsi aksi tersebut
= 0.
d ∂L ∂L
δI = 0 → − =0
dt ∂ q̇k ∂qk
Dari definisi fungsi Hamilton diperoleh
Z t2
δ Ldt = 0 (6.7)
t1
Z t2 hX i
δ pi q̇i − H(q, q̇, t) dt = 0 (6.8)
t1
Dalam prinsip variasi dipersyaratkan bahwa variasi di dua titik awal dan
akhir sama dengan NOL. Oleh karena itu persamaan diatas harus berbeda
menurut:
X X dF
pi q̇i − H(q, q̇, t) = Q̇i Pi − K(Q, P, t) +
dt
6.3. KURUNG POISSON 61
[u, [v, w]] + [v, [w, u]] + [w, [u, v]] = 0 (6.22)
q = q(q0 , p0 , t)
p = p(q0 , p0 , t)
∂K
= Q̇i = 0,
∂Pi
∂K
= Ṗi = 0. (6.23)
∂Qi
6.4. TEORI HAMILTON-JACOBI 63
Oleh karena itu, solusi lengkap persamaan (6.27) dapat dituliskan dalam
bentuk
S = S(q1 , ..., qn , α1 , ..., αn , t), (6.29)
dan tidak ada n buah konstanta integrasi independen yang semata-mata
tambahan.
Persamaan (6.29) menyatakan S sebagai fungsi N koordinat, waktu t,
dan n buah kuantitas independen αi . Kita mendapatkan n buah konstanta
integrasi menjadi momentum konstan yang baru
Pi = αi (6.30)
Pilihan seperti ini tidak berlawanan dengan pernyataan awal bahwa momen-
tum yang baru terhubung dengan nilai awal q dan p saat t = 0. Persamaan
transformasi n dinyatakan sebagai
∂S(q, α, t)
pi = , (6.31)
∂qi
∂S(q, α, t)
Qi = βi = . (6.32)
∂αi
Konstanta β dapat diperoleh dari syarat awal, hanya dengan menghitung
nilai pada ruas kanan persamaan (6.32) saat t = 0 dengan nilai awal qi yang
diketahui. Persamaan (6.32) dapat diganti untuk melengkapi qj sebagai
fungsi α, β, t
qj = qj (α, β, t), (6.33)
yang akan menyelesaikan masalah koordinat sebagai fungsi waktu dan syarat
awal.
Setelah mendiferensiasi persamaan (6.31), persamaan (6.33) dapat dis-
ubstitusi ke dalam q, sehingga didapatkan momentum pi sebagai fungsi
α, β, t
pi = pi (α, β, t). (6.34)
Persamaan (6.33) dan persamaan (6.34) merupakan solusi lengkap persamaan
gerak Hamilton.
6.4. TEORI HAMILTON-JACOBI 65
dS
= pi q̇i − H = L, (6.36)
dt
sedemikian rupa sehingga fungsi prinsip Hamilton berbeda dari integral
waktu tak-tentu Lagrangan hanya oleh konstanta
Z
S = Ldt + konstanta. (6.37)
∂W
pi = , (6.40)
∂qi
66 BAB 6. TRANSFORMASI KANONIK