STATISTIK
vanderlustmike.com
2015
Kata Pengantar
Pengalaman selama sekitar 10 tahun memberikan kuliah Mekanika Statistik
untuk Mahasiswa Magister dan Doktor di Institut Teknologi Bandung bahwa mata
ini yang merupakan mata kuliah wajib termasuk yang cukup sulit dipahami para
mahasiswa. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena memang materi yang terkandung
di dalamnya lebih banyak yang bersifat abstrak. Diperlukan abstraksi yang tinggi
untuk dapat memahami bab-bab yang ada dalam kuliah tersebut.
Kesulitan makin bertambah akibat cara pembahasan di sejumlah buku yang
ada terlalu global sehingga ada beberapa bagian yang memerlukan pemikiran ekstra
untuk dapat memahaminya. Buku acuan utama kuliah ini di antaranya Statistical
Mechanics tulisan K. Huang atau buku klasik Statistical Mechanics tulisan J.E.
Mayer dan M.G. Mayer. Namun, materi yang dipaparkan dalam buku tersebut perlu
dicermati dan direnungi secara mendalam agar dapat memahaminya. Tidak saja
mahasiswa, tetapi dosen juga perlu kerja keras untuk memahami mater-materi
tersebut.
Atas pengalaman mengajar sekitar 10 tahun saya mencoba menyusun draft
sedikit-demi sedikit dan dicobakan ke mahasiswa tiap semester. Penambahan,
koreksi, dan penyesuaian dengan cara tangkap mahasiswa menghasilkan naskah
seperti ini. Beberapa bagian yang tidak dijelaskan detail di buku-buku yang ada
akan dipaparkan secara detail di buku ini sehingga mudah dipahami mahasiswa.
Beberapa ilustrasi yang tidak dijumpai pada buku-buku sebelumnya dimasukkan
dalam buku ini untuk memeprmudah pemahaman. Versi awal draft ini telah muncul
dalam bentuk diktat kuliah yang diterbitkan Penerbit ITB dan menjadi salah satu
pegangan utama mahasiswa magister dan doktor fisika ITB.
Dalam buku ini, beberapa topik yang rumit yang dibahas di buku-buku
Mekanika Statistik yang sudah ada tidak dimasukkan. Harapannya adalah
mahasiswa memahami dasar-dasar Mekanika Statistik dan tidak terganggu oleh
sejumlah topik yang memerlukan pemahaman matematika yang cukup tinggi.
Mahasiswa yang tertarik mempelajari lebih mendalam sangat dianjurkan
mempelajari buku-buku teks yang sudah ada, seperti yang disebutkan di atas.
-i
Penulis
- ii
Daftar Isi
Bab 1 Pengenalan Ensembel
1.1 Pendahuluan
10
11
13
16
19
20
29
33
44
48
Latihan
42
- iii -
47
57
59
60
63
63
64
66
81
83
87
87
88
90
91
93
94
96
104
106
108
111
113
- iv -
116
120
120
129
131
132
153
166
172
186
186
193
197
203
209
Latihan
213
216
7.1 Pendahuluan
216
218
232
232
237
243
-v-
254
Latihan
266
Baftar Pustaka
268
Indeks
269
- vi -
Bab 1
PENGENALAN ENSEMBEL
Bab ini berisi penjelasan tentang ensembel sebagai kumpulan dari sejumah
assembli. Ensembel dapat dipandang sebagai super assembli yang anggotanya
adalah assembli-assembli. Sedangkan assembli sendiri beranggotakan sistem-sistem.
Tujuan bab ini adalah memberi pemahaman kepada mahasiswa tentang definisi
ensembel, mengapa konsep ensembel diperlukan, dan mengenal ciri masing-masing
ensembel dalam mekanika statistik: mikrokanonik, kanonik, dan grand kanonik.
Namun demikian, bab ini tidak terlalu sulit untuk dipahami, karena hanya berisi
pengenalan tentang konsep ensembel itu sendiri. Dengan demikian tidak ada
kemampuan awal khusus yang diperlukan untuk memahami penjelasan dalam bab
ini.
1.1 Pendahuluan
Assembli yang telah kita bahas di kuliah Fisika Statistik memiliki kriteria
yang sangat ketat, yaitu energi yang dimiliki assembli maupun jumlah sistem dalam
assembli selalu tetap. Dalam dunia nyata mungkin assembli demikian sulit
diwujudkan. Assembli semacam ini dapat didekati oleh satu wadah yang terisolasi
rapat dari bahan isolator panas yang sangat tebal, tidak ada medan magnet, medan
listrik, bahkan medan gravitasi yang dirasakan sistem-sistem dalam assembli. Jadi,
pada prinsipnya, asembli yang telah kita bahas selama ini merupakan sebuah
pendekatan untuk kondisi nyata. Pendekatan tersebut tentu mengandung sejumlah
kekurangan. Namun untuk dinding assembli yang terbuat dari bahan isolator yang
sangat baik, kekurangan yang dihasilkan tidak terlalu signifikan.
Apabila kita ingin masuk ke kondisi yang lebih mendekati keadaan nyata,
maka pembatasan yang sangat ketat harus diperlonggar. Kalau kita menempatkan
sistem-sistem dalam wadah tertutup maka peluang sistem untuk keluar dari dan
masuk ke dalam wadah dapat masih dapat dihindari. Dengan demikian pembatasan
jumlah sistem yang konstan bukanlah asumsi yang dibuat-buat. Tetapi untuk energi
total yang dimiliki assembli, pembatasan bahwa energi assembli adalah konstan
-1-
mungkin dapat dilanggar. Tidak ada dinding wadah yang benar-benar sanggup
meniadakan pertukaran energi secara sempurna, apalagi jika wadah yang kita miliki
terbuat dari bahan konduktor. Lebih lanjut, kadang assembli yang kita miliki tidak
dibatasi oleh dinding, tetapi melakukan kontak langsung dengan udara terbuka.
Sebagai contoh, assembli kita adalah sebatang logam yang berada di udara terbuka.
Jumlah sistem dalam assembli tersebut selalu tetap (karena atom-atom atau elektron
tidak dapat meninggalkan logam), namun energi sangat mudah bertukaran antara
batang logam dan udara luar. Untuk menjelaskan mekanisme yang terjadi dalam
assembli yang memiliki dinding yang transparan terhadap energi, para ahli juga
mengembangkan statistik untuk assembli yang memiliki jumlah sistem konstan
tetapi jumlah energi tidak konstan.
Kasus yang lebih umum lagi adalah untuk assembli terbuka seperti udara
yang ada di sekitar kita. Kita bahkan tidak memiliki wadah sama sekali. Kondisi ini
dapat diasumsikan sebagai assembli yang dibatasi oleh wadah yang dapat ditembus
oleh sistem maupun oleh energi. Implikasinya adalah jumlah sistem maupun energi
total yang dimiliki asembli tidak tetap.
-2-
N konstan
E tidak konstan
Energi dapat
keluar dan masuk
-3-
t1
;
t1 t 2 ... t
t 2
;
t1 t 2 ... t
.
.
.
c) probabilitas memiliki energi E: p( E )
t
.
t1 t 2 ... t
5) Karena kita tidak dapat mengetahui dengan pasti berapa t1, t2, dan
seterusnya maka diasumsikan bahwa p(Ei) exp[-Ei/kT]. Asumsi ini
diinspirasi oleh fungsi distribusi Maxwell-Boltzmann bahwa peluang
mendapatkan sistem pada tingkat energi i sebanding dengan exp[-i/kT].
Asumsi ini dapat diterima secara logis; bahwa makin besar energi yang
dimiliki assembli maka makin kecil peluang menemukan assembli tersebut.
Jika energi assembli tak berhingga maka peluang menemukan assembli
menjadi nol. Dengan kata lain tidak ada assembli yang memiliki energi tak
berhingga.
6) Probabilitas di atas didukung juga oleh alasan berikut ini. Misalkan ada dua
assembi dengan energi Ei dan Ej. Peluang mendapatkan masing-masing
assembli adalah p(Ei) exp[-Ei/kT] dan p(Ej) exp[-Ej/kT]. Jika dua
assembli digabung menjadi satu assembli yang besar maka peluang
menemukan assembli tersebut menjadi p(Ei)p(Ej). Tetapi, saat dua assembli
digabung maka energinya menjadi Ei+Ej. Dengan demikian peluang
menemukan assembli dengan energi gabungan tersebut adalah p(Ei+Ej)
exp[-(Ei+Ej)/kT] exp[-Ei/kT] exp[-Ej/kT] = p(Ei)p(Ej), sesuai dengan
perkalian probabilitas yang sudah kita sebutkan di atas.
Assembli 2
Konfigurasi W2
Energi E2
-5-
E3
E3
E3
E2
E2
E2
E1
E1
E1
(1.1)
(1.2)
-7-
Assembli 1
Jumlah sistem N1
Konfigurasi W1
Energi E1
Assembli 2
Jumlah sistem N2
Konfigurasi W2
Energi E2
-8-
N - N
E - N
N + N
E + N
Gambar 1.5 (atas) Jika ada N sistem yang keluar dari assembli
maka energi assembli berkurang sebesar N. (bawah). Jika ada
N sistem yang masuk ke dalam assembli maka energi assembli
bertambah sebesar N. Ini berimplikasi bahwa kebolehjadian
menemukan assembli bergantung pada energi dan jumlah sistem
yang dimiliki assembli tersebut.
Ensembel Kanonik
Jika assembli-assembli penyusun ensemble tersebut memiliki dinding yang
tidak dapat ditembus sistem tetapi dapat ditembus energi maka ensemble tersebut
dinamakan ensemble kanonik. Dalam ensemble ini jumlah sistem dalam semua
assembli sama banyaknya tetapi energi yang dimiliki assembli dapat berbeda-beda.
Namun jumlah total assembli dalam ensembel dan jumlah total energi yang dimiliki
ensemble adalah konstan.
-9-
Ensembel Mikrokanonik
Jika assembli-assembli penyusun ensembel tidak dapat ditembus sistem
maupun energi dan jumlah energi maupun jumlah sistem dalam tiap assembli semua
sama maka ensemble yang dibetuk dinamakan ensemble mikrokanonik. Karena
semua assembli identik maka untuk mempermudah pembahasan kita cukup
meninjau satu assembli saja dan menentukan konfigurasi penyusunan sistem-sistem
dalam satu assembli seperti yang dipelajari di kuliah Fisika Statistik. Karena
sifatnya yang demikian maka penurunan fungsi keadaan untuk assembli
mikrokanonik umumnya tidak dilakukan melalui konsep ensemble, tetapi cukup
pada level assembli saja. Dengan kata lain, kita umumnya tidak mengenalkan
konsep ensemble untuk membahas assembli mikrokanonik.
- 10 -
Bab 2
ENSEMBEL KANONIK
Bab ini berisi diskusi tentang ensembel kanonik. Selama ini statistik yang
kita bahas pada kuliah Fisika Statistik hanya dibatasi pada statistik sebuah assembli
yang memiliki syarat batas ketat, yaitu jumlah sistem dan energi konstan. Mulai
sekarang kita akan memperlonggar persyaratan tersebut dengan memperkenalkan
konsep ensembel. Khusus pada bab ini kita akan bahas ensemble kanonik di mana
persyaratan energi assembli yang konstant tidak diterapkan. Kita hanya
mempertahankan persyaratan bahwa jumlah sistem yang dimiliki assembli konstan.
Tujuan bab ini adalah mahasiswa memahami konsep ensembel, khususnya
ensembel yang dibentuk oleh assembli-assembli klasik yang memenuhi statistik
Maxwell-Boltzmann. Pembahasan difokuskan pada ensemble kanonik di mana
energi assembli tidak konstan. Setelah itu mahasiswa diharapkan dapat menerapkan
konsep tersebut untuk menurunkan besaran-besaran termodinamika gas klasik.
Memahami seluruh topik yang dipelajari di kuliah Fisika Statistik sangat
penting untuk memudahkan pemahaman isi bab ini. Mahasiswa dianjurkan
mereview kembali materi kuliah tersebut, khususnya bagaimana menurunkan
distribusi Maxwell-Boltzmann dan bagaimana mendapatkan besaran termodinamika
dari fungsi partisi.
(2.1)
dengan C adalah konstanta normalisasi yang bergantung pada suhu. Karena jumlah
total probabilitas kemunculan semua assembli adalah 1 atau i pi = 1, maka i C
exp[-Ei/kT] = C i exp[-Ei/kT] = 1. Hasil ini memberikan bentuk ungkapan untuk C
sebagai berikut
1
1
E i / kT
e
Z
i
C
(2.2)
di mana
ZC i e Ei / kT
(2.3)
Dengan menggunakan persamaan (2.1) dan (2.2) kita dapatkan ungkapan lengkap
untuk pi sebagai berikut
pi
e Ei / kT
ZC
(2.4)
Perlu dicermati bahwa pada persamaan (2.4) Ei adalah energi total semua
partikel dalam sebuah assembli dan pi adalah peluang kemunculan assembli tersebut.
Bentuk serupa juga dijumpai pada partikel dalam assembli di mana probabilitas
munculnya sistem dengan energi j di dalam suatu assembli memenuhi pj
exp[-j/kT].
- 12 -
1
ZC
E e
Ei / kT
1
ZC
Ei
1
ZC
E e
i
Ei
1
ZC
Ei
1
ZC
ZC
ln Z C
(2.5)
di mana = -1/kT. Dari definisi maka kita dapat menulis T = -1/k sehingga
/ T / / T (1/ k 2 ) / T kT 2 / T . Dengan demikian energi
E kT 2
ln Z C
T
(2.6)
Perlu diperhatikan bahwa pada persamaan (2.6), parameter ZC dihitung pada energi
assembli, bukan pada energi sistem.
Contoh 2.1
Sebuah assembli yang disusun oleh N momen magnetik identik berada
dalam medan magnet. Energi interaksi momen dengan medan magnet
- 13 -
memenuhi persamaan B . Misalkan momen hanya dapat memiliki
dua arah orientasi yaitu searah dan berlawanan arah medan magnet.
Berapakan energi rata-rata assembli momen tersebut?
Jawab
Tiap momen hanya dapat memiliki salah satu energi interaksi berikut ini:
-B (searah medan magnet) atau B (berlawanan arah medan magnet).
Perhatikan Gambar 2.1. Misalkan terdapat n momen yang berlawanan
dengan arah medan magnet (energi nB) dan N-n momen yang searah
dengan medan magnet (energi -(N-n)B). Energi total assembli tersebut
adalah nB (N-n)B = 2nB - NB. Jumlah cara penyusunan n buah
momen dalam arah berlawanan medan dan N-n buah momen searah
N!
. Dengan demikian, fungsi partisi kanonik dapat
n!( N n)!
medan adalah
ditulis sebagai
ZC
n
n
N!
N!
e ( 2 nB NB ) e NB
e2 B
n!( N n)!
n n!( N n)!
N-n
N!
x n sehingga
n!( N n)!
ZC e NB 1 e2 B
ln ZC
NB N ln 1 e2 B
NB 2 NB
e2 B
e B
2
N
B
1 e2 B
e B e B
2e B
e B e B
NB B
e B e B NB tanh(B)
e B
e
Gambar 2.2 adalah kurva energi sebagai fungsi kuat medan magnet luar
pada berbagai suhu. Satuan medan magnet maupun satuan suhu yang
digunakan adalah sembarang. Tujuan di sini adalah menampilkan bentuk
kurva saja sehingga pola perubahan energi dapat diketahui. Tampak bahwa
makin besar suhu maka energi magnetik makin kecil.
Gambar 2.2 Energi sebagai fungsi kuat medan magnet luar pada
berbagai suhu. Satuan medan magnet maupun satuan suhu yang
digunakan adalah sembarang.
- 15 -
dF dE TdS SdT
(2.7)
(2.8)
(2.9)
(2.10)
(2.11)
Apabila kita bandingkan ruas paling kanan persamaan (2.10) dengan persamaan
(2.11) maka kita simpulkan hubungan berikut ini
F
p
V T
(2.12)
F
S
T V
(2.13)
E
F 1 F
2
2
T
T
T T
E
F
2
T T
T
(2.14)
F
ln Z C
T
T T
- 17 -
F kT ln ZC
(2.15)
Tampak bahwa energi bebas Helmholtz merupakan fungsi langsung dari fungsi
partisi. Karena entropi dapat diturunkan dari energi bebas Helmholtz maka entropi
mestinya dapat diturunkan langsung dari fungsi partisi. Dari persamaan (2.13) dan
(2.15) kita dapat menulis bentuk ungkapan untuk entropi sebagai
F
S
T V
k ln Z C kT
ln Z C
T
(2.16)
Catatan: Satu yang luar biasa kita amati dari persamaan (2.6) dan (2.15).
Jika kita mengetahui fungsi ZC maka energi rata-rata assembli dapat
dihitung dengan mudah menggunakan persamaan (2.6) dan energi
Helmholtz assembli dapat dihitung dengan mudah menggunakan
persamaan (2.15). Setelah mengetahui energi bebas Helmholzt (ditentukan
dengan mudah dari fungsi ZC) maka tekanan dan entropi dapat ditentukan
dengan mudah dengan bantuan persamaan (2.12) dan (2.13). Sekali kita
mengetahui ZC maka hampir semua besaran termodinamika dapat
ditentukan dengan operasi matematika yang cukup sederhana. Oleh karena
itulah, ketika berkutat dengan mekanika statistik, langkah pertama yang
dilakukan para peneliti adalah mencari ungkapan untuk fungsi ZC. Boleh
dikatakan bahwa inti dari statistik adalah mencari fungsi ZC. Dengan
perkataan lain fungsi ZC merupakan jembatan penghubung antara dunia
mikroskopik (sifat partikel atomik) dan dunia makroskopik (persamaan
termodinamika). Hal ini dapat diilustrasikan pada Gambar 2.3.
- 18 -
Dunia
Mikroskopik
(sifat atomik)
Dunia
Makroskopik
(termodinamika)
Fungsi
Z
F kT ln ZC kT NB N ln 1 e2 B
NB NkT ln 1 e
2 B / kT
F
2 NB e2 B / kT
Nk ln 1 e 2 B / kT
T
T 1 e 2 B / kT
p E p F p (E F )
i
pi
i
( Ei F )
T
(2.17)
pi
e Ei / kT
e F / kT
e( F Ei /) kT
(2.18)
ln pi
Ei F
kT
(2.19)
k pi ln pi
(2.20)
atom gas, perbedaan energi dua tingkat berdekatan mendekati nol, atau i+1 - i 0.
Perbedaan energi yang mendekati nol memiliki makna bahwa tingkat energi sistem
klasik bersifat kontinu. Sistem menempati salah satu dari tingkat energi di atas.
Dalam sistem klasik tidak ada batasan jumlah sistem yang dapat menempati satu
keadaan energi. Satu keadaan energi dapat saja kosong, atau ditempati oleh satu
sistem, oleh dua sistem, dan seterusnya. Bahkan semua sistem berada pada satu
keadaan energi pun tidak dilarang.
- 21 -
Agar sifat fisis dari assembli dapat ditentukan maka kita harus mengetahui
bagaimana penyusunan sistem pada tingkat-tingkat energi yang ada serta
probabilitas kemunculan masing-masing cara penyusunan tersebut. Pemahaman ini
sangat diperlukan karena nilai terukur dari besaran yang dimiliki assembli sama
dengan perata-rataan besaran tersebut terhadap semua kemungkinan penyusunan
sistem pada tingkat-tingkat energi yang ada.
Cara menghitung berbagai kemungkinan penyusunan sistem serta
probabilitas kemunculannya menjadi mudah bila tingkat-tingkat energi yang
dimiliki assembli dibagi atas beberapa kelompok, seperti diilustrasikan pada
Gambar 2.5. Di sini kita membagi tingkat energi tersebut atas M kelompok. Tiap
kelompok memiliki jangkauan energi yang cukup kecil sebagai berikut.
- 22 -
tersebut kita tinjau sebuah assembli, sebut saja assembli ke-i, yang merupakan
komponen dari ensembel kanonik. Sistem-sistem penyusun assembli bersifat
terbedakan (partikel klasik). Jumlah sistem dan energi yang dimiliki assembli
tersebut memenuhi
N nis
(2.21)
Ei nis is
(2.22)
- 24 -
Wi N!
s
g isnis
nis !
(2.23)
Setelah mengetahui Wi dan Ei maka kita mendapatkan ungkapan untuk fungsi partisi
kanonik sebagai
ZC Wi e Ei / kT
(2.24)
di mana indeks i adalah indeks untuk assembli (bergerak pada semua assembli
dalam ensembel). Satu assembli dalam ensembel mewakili satu konfigurasi yang
mungkin terjadi. Jadi jumlah assembli dalam ensembel sama dengan jumlah
konfigurasi yang dapat terjadi.
Perlu diingat kembali bahwa ensembel itu tidak ada secara fisik. Yang ada
hanyalah satu assembli. Tetapi satu asembli tersebut dapat memiliki
sejumlah konfigurasi yang berbeda-benda dan memiliki energi yang
berbeda-beda. Nah, semua kemungkinan konfigurasi dan energi yang
dimiliki assembli dikumpulkan, dan kumpulan itulah yang disebut
ensembel. Jadi, ensembel adalah kumpulan virtual dari assembli. Satu
assembli dalam ensembel mewakili konfigurasi yang mungkin dimiliki
oleh sebuah assembli.
Penjumlahan terhadap semua konfigurasi yang mungkin ekivalen dengan
penjumlahan pada semua kombinasi nis yang mungkin yang kita nyatakan dengan
symbol { nis}. Jadi kita dapat menulis ulang persamaan (2.24) menjadi
ZC Wnis e
Enis / kT
nis
nir ir
g nis
N! is exp r
kT
nis
s nis !
- 25 -
(2.25)
kT
kT
n
n
n
exp i1 i1 exp i 2 i 2 exp i 3 i 3 ...
kT
kT
kT
exp ir
kT
r
nir
(2.26)
g nis
ZC N! is e ir / kT
nis
s nis ! r
g e is / kT
N! is
nis !
nis
s
nis
nir
(2.27)
Pada penurunan persamaan di atas kita sudah menggunakan kesamaan sxs sys =
sxsys.
Untuk menyelesaikan persamaan (2.27), mari kita tinjau perhitungan
berikut ini.
( x1 x2 ) N
N! N 0
N!
x1 x2
x1N 1 x12 ...
N!0!
( N 1)!1!
- 26 -
N!
x13n x2n ...
( N n)!n!
N!
x13 n x2n
( N n)!n!
( x1 x2 x3 ) N
(2.28)
N!
x1n1 x2n2 x2n3
n1 n 2 n3 N n1!n2!n3!
N!
(2.29)
x n1 x n2 x n3 x ns
xs N! 1 2 2 ... s ...
ns !
n s n1! n2! n3!
s
x ns
N! s
n s s ns !
(2.30)
is / kT
maka
diperoleh
g e is / kT
gis e is / kT N! is
nis !
nis s
s
nis
(2.31)
Ruas kanan persamaan (2.13) persis sama dengan ruang kanan persamaan (2.27).
Dengan demikian, ruas kiri juga mesti sama. Oleh karena itu kita simpulkan bahwa
Z C gis e is / kT
s
ZN
(2.32)
- 27 -
n 0
n 0
Z e s / kT e ( s 1 / 2) / kT
e / 2 kT e s / kT e / 2 kT
n 0
1
1 e / kT
e / 2 kT
1 e / kT
Contoh 2.4
Selesaikan kembali Contoh 2.1 dengan menggunakan fungsi partisi
- 28 -
ZC Z N e B eB
Be B Be B
ln ZC N
ln e B e B N
e B e B
e B e B
NB tanh(B)
NB B
e B
e
Wi
s
gisnis
nis !
Dengan melakukan langkah yang sama maka kita sampai pada kesimpulan bentuk
fungsi partisi kanonik assembli semiklasik adalah
Z 'C
ZN
N!
(2.33)
Contoh 2.5
Sebuah sumur potensial persegi memiliki lebar L. Dasar sumur memiliki
energi potensial nol dan dua dinding sumur memiliki energi potensial tak
berhingga (Gambar 2.6). N buah sistem berada dalam sumur. Tentukan
fungsi partisi kanonik assembli partikel tersebut.
Jawab
Gambar sumur potensial sebagai berikut
- 30 -
V=
V=
V=0
x=0
x=L
Gambar 2.6 Sketsa sumur potensial pada Contoh 2.5.
2 d 2
2m dx 2
2 2
dengan 2 .
2mL kT
e x
1 2
3 4 5
Z ex dx ex dx e
2
1 x 2
1
e dx e
e
2
2
Karena sistem ini jelas tidak dapat dibedakan maka kita dapatkan fungsi
partisi kanonik menjadi
ZN
1 1
ZC
e
N! N! 2
1
U j
( pxj2 pyj2 pzj2 )
2m j
j j
- 33 -
(2.34)
Interaksi antar
atom/molekul gas
Fasa gas
Fasa cair
Suku pertama pada persamaan (2.34) adalah jumlah energi kinetik semua
partikel gas dan suku kedua adalah jumlah interaksi total partikel-partikel gas.
Penjumlahan suku kedua dilakukan pada semua pasangan molekul gas. Pada
penjumlahan Uj kita mensyaratkan > j untuk menghindari perhitungan ganda.
Contohnya adalah U19 = U91. Suku tersebut hanya boleh dihitung satu kali dan
diwakilkan kepada U19 saja (j = 1 dan = 9). Suku dengan = j juga tidak
disertakan karena tidak ada interaksi antara sistem dengan dirinya sendiri.
Kita akan menghitung fungsi partisi dengan metode integral. Untuk
maksud tersebut kita harus menggunakan karapatan keadaan untuk mengganti tanda
- 34 -
ZC
1
N !h 3 N
kT
i
(2.35)
kT
i
exp
i
pxj2
p yj2
pzj2
I N exp j
exp j
exp j
dpxi dp yi dpzi
2mkT
2mkT
2mkT i
- 35 -
(2.36)
U j
I N exp j j
dxi dyi dzi
kT
(2.37)
pxj2
p yj2
pzj2
I N exp
exp
exp
dpxi dp yi dpzi
j
2mkT j
2mkT j
2mkT i
(2.38)
Dengan menggunakan kesamaan berikut ini sxs sys = sxsys maka kita dapat
menulis persamaan (2.38) menjadi
p2
p2
p2
I N exp xj dpxj exp yj dp yj exp zj dpzj
j
j
j
2mkT
2mkT
2mkT
IN e
pxj2 / 2 mkT
dpxj
p 2yj / 2 mkT
dp yj
pzj2 / 2 mkT
dpzj
(2.39)
Selanjutnya kita menggunakan integral yang sudah umum (sering juga kita
gunakan) yaitu
p xj2 / 2 mkT
dpxj e
p 2yj / 2 mkT
dp yj e
p zj2 / 2 mkT
dpzj 2mkT
(2.40)
Tampak bahwa hasil integral pada persamaan (2.40) tidak bergantung pada
indeks. Indeks berapa pun akan menghasilkan nilai integral yang sama. Karena ada
N buah perkalian dalam tanda j maka persamaan (2.39) memberikan hasil sebagai
berikut
- 36 -
IN
2mkT
IN
2mkT
2mkT
2mkT
3N / 2
2mkT
2mkT
2mkT
(2.41)
IN
ZC
1
2mkT 3 N / 2 I N
3N
N!h
(2.42)
U j / kT
1 f (rj )
(2.43)
di mana
2
1 U 1 U
f (rj )
j j ... .
kT 2 kT 3! kT
U j
(2.44)
U j / kT
j j
e
j
1 f (rj )
j
U j / kT
(2.45)
- 37 -
aproksimasi
1 f (r ) 1 f (r )
(2.46)
Aproksimasi tersebut memiliki makna bahwa besar energi interaksi antar molekul,
Uj, jauh lebih kecil daripada energi termal molekul, kT. Kondisi ini umumnya
dipenuhi oleh gas pada suhu yang tidak terlalu rendah atau gas pada kerapatan
rendah. Dengan melakukan substitusi persamaan (2.45) dan (2.46) ke dalam
persaman (2.37) kita dapatkan bentuk aproksimasi untuk IN sebagai berikut
i
dxi dyi dzi f (rj ) dxi dyi dzi
i
j j
j j
(2.47)
- 38 -
(2.48)
mengandung enam variable, yaitu x, y, z, xj, yj, dan zj. Oleh karena itu, dalam
perkalian elemen diferensial idxidyidzi (memuat 3N elemen diferensial), hanya
enam elemen diferensial saja yang bekerja pada f(rj) sedangkan sebanyak 3N-6
buah elemen lainnya tidak bekerja pada f(rj). Dengan sifat demikian kita dapat
menulis
I N V ' N dxi dyi dzi f (rj )dx j dy j dz j dx dy dz
j
i j
i
dx dy dz
i j
dx dy dz
i j
(2.49)
j j
tersebut habis diintegral. Integral tersebut menghasilkan angka yang tidak lagi
bergantung pada variabel maupun indeks. Akibatnya, penjumlahan pada ruas kanan
menjadi penjumlahan dari angka-angka yang nilainya sama, di mana nilai
masing-masing suku tersebut adalah f(rj)dxjdyjdzjdxdydz.Hasil dari penjumlahan
tersebut sama dengan nilai suku dikali dengan banyaknya suku penjumlahan.
Banyaknya suku pada dobel penjumlahan adalah N(N-1)/2. Dengan demikian kita
dapat menulis
I N V 'N V 'N 2
N ( N 1)
f (rj )dx j dy j dz j dx dy dz
2
(2.50)
f (r )dx dy dz dx dy dz f (r )d r dx dy dz
3
dx dy dz f (r )d 3r V ' f (r )d 3r
aV '
(2.51)
I N V 'N V 'N 2
V 'N
N ( N 1)
aV '
2
N ( N 1)a N 1
V'
2
(2.52)
U j / kT
U j
(2.53)
kT
Jika kita bandingkan persamaan (2.43) dan aproksimasi (2.53) maka kita dapat
simpulkan bahwa
f (rj ) U j / kT
(2.54)
U (r )d 3r
a' .
U (r ) 3
a
d r
kT
kT
kT
(2.55)
I N V 'N
N ( N 1)a' N 1
V'
2kT
(2.56)
ZC
1
2mkT 3 N / 2 V 'N N ( N 1)a' V 'N 1
N!h3 N
2kT
(2.57)
F kT ln ZC
(2mkT)3 / 2
kT ln
ln I N
3N
N!h
(2.58)
- 41 -
Dari energi bebas Helmholtz ini kita akan turunkan sejumlah persamaan
termodinamika untuk gas tidak ideal tersebut.
Contoh 2.6
Kita ingin menghitung parameter a untuk potensial seperti pada Gambar
2.9. Potensial pada gambar tersebut memenui persamaan berikut ini
m
U (r )
r0
0 r
0 r r0
(2.59)
r0 r
U(r)
r0
I N exp j j
dxi dyi dzi
kT
I N exp j j
dxi dyi dzi
kT
0r r0
i
U j
exp j j
dxi dyi dzi
kT
r r0
Suku pada integral pertama pertama nol sehingga hasil integralnya nol.
Dengan demikian
U j
I N exp j j
dxi dyi dzi
kT
r r0
Jadi kita hanya melakukan integral pada daerah yang lebih besar dari r0.
Setelah menolkan integral pada daerah r < r0 maka nilai
paremeter a menjadi
a
r0
f (r )d 3r f (r )(4r 2 )dr 4 eU ( r ) / kT 1 r 2 dr
r0
(2.60)
r0
a 4 eu 0 ( r0 / r )
/ kT
1 r 2 dr
r0
u0 ( r0 / r ) m / kT
u r
1 0 0
kT r
u0 r0 2
u r m ( m 2)
dr
r dr 4 0 0 r
kT r
kT r0
r0
a 4
u0 r0m
kT
u0 r0m 1
4r03 u0
1
(m 3)r m 3 4 kT r m 3 m 3 kT
0
r0
p
ln I N kT N
kT
I N V T
V T
V
T
- 44 -
kT
N
N 1
V ' N ( N 1)V ' a' / 2kT
V'
2kTV '
2kTV '
(2.61)
V '
2kTV '
2kTV '
V '
2kTV '
2kTV '
V'
2kTV '
V'
2V '2
(2.62)
N 2 a' NkT ;
2V '2
V'
atau
N 2 a'
p
V ' NkT ;
2V '2
atau
N 2 a'
p
(V Nv0 ) NkT
2
2(V Nv0 )
(2.63)
V maka kita dapat mengabaikan Nv0 terhadap V pada penyebut persamaan (2.63).
Sedangkan pada pembilang, Nv0 kita pertahankan karena walaupun nilainya lebih
kecil dari Nv0 tetapi tetap memberi perubahan nilai yang signifikan pada persamaan.
Dengan demikian persamaan (2.63) dapat ditulis menjadi
N 2 a' / 2
p
(V Nv0 ) NkT
V 2
(2.64)
~
n 2 a~
p 2 (V nb ) nRT
V
(2.65)
Persamaan (2.65) tidak lain merupakan persamaan van der Waals. Nilai a~ dan b
sudah ditabelkan untuk sejumlah gas. Tabel 2.1 adalah nilai parameter van der
Walls untuk sejumlah gas.
Tabel 2.1 Parameter van der Walls untuk sejumlah gas (dari berbagai
sumber)
a~ (L2 atm/mol2)
~
b (L/mol)
Air
5.536
0.03049
Asam asetat
17.71
0.1065
Aseton
16.02
0.1124
Asetonitril
17.81
0.1168
Asetilen
4.516
0.0522
Amonia
4.170
0.0371
Argon
1.355
0.03201
Benzen
18.24
0.1154
Gas
- 46 -
Butan
14.66
0.1226
Karbon dioksida
3.640
0.04267
Karbon monoksida
1.505
0.03985
Klor
6.579
0.05622
Klorobenzen
25.77
0.1453
Etana
5.562
0.0638
Etanol
12.18
0.08407
Freon
10.78
0,0998
Helium
0.0346
0.0238
Hexan
24.71
0.1735
Hidrogen
0.2476
0.02661
Kripton
2.349
0,03978
Metan
2.283
0.04278
Metanol
9.649
0.06702
Neon
0.2135
0.01709
Nitrogen
1.370
0.0387
Oksigen
1.382
0.03186
Propan
8.779
0.08445
Xenon
4.250
0.05105
Jika kita mendefinisikan v = V/N dengan v adalah volum per mol gas maka
persamaan van der Waals dapat ditulis sebagai
~
a~
p 2 (v b ) RT
v
(2.66)
Gambar 2.10 adalah kurva tekanan sebagai fungsi volum pada berbagai
suhu untuk gas amonia. Parameter dalam persamaan van der Walls ada di Tabel 2.1.
Kita gambar tiga kurva pada suhu T1 = 75 K, T2 = 100 K, dan T3 = 150 K. Tampak
bahwa pada suhu yang tinggi kurva mendekati kurva gas ideal, yaitu P 1/V.
Penyimpangan terhadap kurva gas ideal terjadi pada suhu rendah di mana energi
interaksi antar molekul tidak dapat diabaikan terhadap energi kinetik molekul gas.
- 47 -
10
T3
P (atm)
8
6
T2
T1
0
0
10
~
v/b
E Ei E
(2.67)
- 48 -
(2.68)
(2.69)
1 ZC
Z C
(2.70)
1
ZC
E e
2 Ei / kT
i
1 Ei / kT
e
ZC
1
ZC
e Ei / kT
1 2
1 2 ZC
Ei / kT
e
ZC 2 i
ZC 2
- 49 -
(2.71)
1 2 ZC 1 ZC
1 2 ZC
1 Z
2 C
2
2
2
ZC
ZC
ZC
ZC
(2.72)
E
1 ZC 1 2 ZC
1 Z
2 C
2
ZC ZC
ZC
- 50 -
(2.73)
E 2
E
E
kT 2
kT 2Cv
(2.74)
Tampak dari persamaan (2.74) bahwa bersanya fluktuasi energi bergantung pada
kapasitas kalor yang dimiliki assembli. Makin besar kapasitas kalor maka makin
besar fluktuasi energi yang terjadi. Fluktuasi energi juga naik secara kuadratik
terhadap suhu. Gambar 2.11 adalah ilustrasi fluktuasi energi assembli.
Contoh 2.7
Tentukan fluktuasi energi assembli momen magnetik pada Contoh 2.1 jika
assembli tersebut dibiarkan kontak dengan udara luar.
Jawab
Karena dibiarkan kontak dengan udara luar maka bisa muncul aliran
energi dari atau ke assembi sehingga energi assembli bisa berubah.
Asembli yang kita miliki menjadi kanonik. Kita sudah turunkan di Contoh
2.1 maupun Contoh 2.4 bahwa energi assembli tersebut adalah
B
B
E NB tanh(B) NB tanh
NB tanh
kT
kT
Cv
E N 2 B 2
B
1 tanh 2
T
kT
kT
B
E 2 kT 2Cv N 2 B 2 1 tanh 2
kT
Tampak dari hasil di atas bahwa jika suhu sangat tinggi, maka B/kT 0
- 51 -
Latihan
1. Sebuah assembli kanonik disusun oleh sistem-sistem yang memiliki dua keadaan
energi. Keadaan pertama memiliki energi E0 dan degenerasi g0 dan keadaan kedua
memiliki energi E1 dan degenerasi g1. Berdasarkan informasi tersebut tentukan
a) Fungsi partisi satu sistem
b) Fungsi partisi kanonik assembli tersebut yang mengandung N sistem
c) Tentukan kapasitas kalor assembli
d) Buat grafik C/R (rasio kapasitas kalor terhadap konstanta gas) sebagai
fungsi T/, di mana = (E1-E0)/k pada berbagai nilai rasio g1/g0.
2. Sebuah assembli disusun oleh sistem identik. Tiap sistem memiliki energi
potensial satu dimensi yang berbentuk V(x) = Axs dengan A dan s adalah konstanta.
En
(n 1 / 2)
(1 1 / s)
2 s /( s 2 )
dengan = 2/2m2 dan (x) adalah fungsi gamma [U. P. Sukhatme, American
Journal of Physics 41, 1015 (1973)]. Perlihatkan bahwa energi tersebut kembali
menjadi tingkat energi osilator harmonik jika s = 2
a) Tentukan nilai aproksimasi untuk fungsi partisi satu sistem
b) Tentukan juga nilai aproksimasi untuk fungsi partisi assembli yang
mengandung N sistem (*)
3. Populasi jantan-betina dan pria-wanita di alam seimbang. Dalam menyelesaikan
- 52 -
W ( N , n)
N!
n!( N n)!
Bentuk ini menyatakan jumlan cara penyusunan N sistem yang terdiri dari dua
benda atau dua keadaan. Keadaan (benda) pertama mempunyai jumlah n dan
keadaan (benda) kedua mempunyai jumlah (N-n). Contohnya adalah assembli
magnetik yang tersusun oleh dua orientasi spin atau alloy yang tersusun oleh dua
atom atau populasi yang sangat besar yang terdiri dari jantan dan betina. Yang
selanjutnya kita lakukan adalah mencari nilai n yang menyebabkan W(N,n)
memiliki nilai maksimal. Cara yang sering ditempuh adalah mendiferensial W
terhadap n lalu mencari solusi untuk n yang menyebabkan turunan tersebut nol.
Karena fungsi W sulit dideferesial langsung maka seringkali yang didiferensial
adalah ln W = ln N! ln n! ln (N-n)!. Jika diasumsikan bahwa N dan n sangat
besar maka kita dapat memakai pendekatan Striling, yaitu ln N! N ln N N, ln n!
n ln n n, dan ln (N-n)! (N-n) ln (N-n) (N-n). Setelah pendekatan ini maka
diferensial mudah dilakukan dan solusi untuk n yang menyebabkan W(N,n)
maksimal dapat diperoleh. Cara lain adalah dengan mempertimbangkan fungsi
W(N,n) itu sendiri. Misalkan fungsi tersebut maksimal pana n0 maka pada semua
nilai n n0 terpenuhi W(N,n) W(N,n0). Salah satu contohnya adalah W(N,n0-1)
W(N,n0) dan W(N,n0+1) W(N,n0). Dengan menggunakan dua ketidaksamaan ini ke
dalam ungkapan W(N,n) di atas, buktikan bahwa n0 = N/2 dengan asumsi bahwa n0
maupun N sangat besar dibandingkan dengan satu. Hasil ini menginformasikan
kepada kita bahwa jika ada populasi di alam yang disusun oleh dua keadaan maka
secara alamiah jumlah tiap keadaan adalah sama atau hampir sama. Ini barangkali
penyebab bahwa jumlah populasi jantan atau betina untuk hewan sejenis di alam
hampir sama. Itu juga barangkali penyebab mengapa jumlah laki-laki dan
perembuan di dunia ini hampir sama.
4. Sebuah assembli kanonik mengandung sistem berupa osilator harmonik tiga
dimensi. Energi osilator tersebut memenuhi persamaan rst = (r+s+t+3/2) di mana
- 53 -
W N!
s 1
g sns
ns !
Dari jumlah konfigurasi ini kita langsung mendapatkan ungkapan untuk entropi S =
k ln W. Persamaan di atas dapat diutaikan sebagai berikut
n
nq
g
g n1
g p
g nN
W N! 1 ... 1 ... q ... N
n1!
np!
nq !
nN !
Sekarang ke dalam assembli kita berikan sedikit energi sehingga ada satu siatem
berpindah dari tingkat energi ke-p ke tingkat energi ke-q. Energi yang kita berikan
adalah
- 54 -
dU q p
Dengan pemberian energi tersebut maka populasi pada tingkat ke-p berkurang satu
dan populasi pada tingkat energi ke-q bertambah satu. Dengan demikian konfigurasi
baru menjadi
n 1
W ' N!
N!
n 1
g q
g1n1
g p
g nN
... 1
... q
... N
n1!
(n p 1)!
(nq 1)!
nN !
n
n
g q
n
g1n1
g p
g nN g
... 1 ... q ... N q p
n1!
n p!
nq !
nN ! nq 1 g p
g
n
W q p
n 1 g
p
q
g
g /n
n
dS k ln q p k ln q q
n
g /n
q gp
p p
U dU
S
dS
- 55 -
atau
g q / nq
g p / np
q p kT ln
atau
g q / nq
g p / np
exp( q / kT )
exp( p / kT )
Karena kita bisa memilih p dan q sembarang maka hubungan di atas melahirkan
persamaan berikut ini
nq
gq
A exp( q / kT )
Wb
s 1
Wf
s 1
(ns g s 1)!
ns !( g s 1)!
gs!
ns !( g s ns )!
- 56 -
Bab 3
ENSEMBEL GRAND KANONIK
Setelah mempelajari cukup banyak tentang ensembel mikrokanonik pada
kuliah Fisika Statistik dan ensembel kanonik pada bab sebelumnya, pada bab ini
kita akan membahas ensembel jenis ketiga, yaitu ensembel grand kanonik. Pada
ensembel grand kanonik tidak ada batasan pada energi maupun jumlah sistem pada
sebuah assembli. Pembatasan hanya dikenakan pada suhu dan volum assembli
tersebut, yaitu dua besaran tersebut konstan. Ensembel ini lebih mendekati
kebanyakan kasus nyata, seperti gas atau partikel di tempat terbuka. Kita akan
membahas ensembel grand kanonik dengan menggunakan sejumlah analogi dengan
ensembel mikrokanonik maupun ensembel kanonik. Analogi seperti ini dialakukan
untuk mempermudah pemahaman.
Untuk memahami uraian dalam bab ini para mahasiswa seyogyanya sudah
memahami materi asembli kanonik yang dibahas pada bab sebelumnya. Mereview
kembali materi Fisika Statistik serta Termodinamika akan mempermudah mengikuti
uraian dalam bab ini.
adalah tambahan kalor yang diberikan pada assembli, dan dW adalah kerja yang
diberikan pada assembli. Hukum ini menyatakan bahwa pertambahan energi dalam
yang dimiliki assembli sama dengan kalor yang diberikan pada asembli dan kerja
yang dilakukan pada assembli.
Untuk proses yang berlangsung secara reversibel, maka ada hubungan
antara kalor yang diberikan dan perubahan entropi, yaitu dS = dQ/T. Lebih lanjut,
kerja yang dilakukan pada assembli memenuhi dW = -pdV, di mana p adalah
tekanan yang bekerja pada assembli dan V adalah volum assembli. Dengan
demikian, untuk proses yang berlangsung secara reversible, hukum I termodinamika
dapat ditulis menjadi dE = TdS - pdV.
Jika jumlah sistem pada assembli tidak tetap maka ada kemungkinan
terjadi pertambahan dan pengurangan sistem dalam assembli tersebut. Pertambahan
dan pengurangan tersebut akan memengaruhi energi dalam yang dimiliki assembli.
Misalkan pertambahan satu sistem menghasilkan perubahan energi dan
pengurangan satu sistem menyebabkan pengurangan energi maka perubahan dN
sistem menghasilkan perubahan energi dalam sistem sebesar dN. Dengan demikian,
perubahan energi dalam assembli jika jumlah sistem diijinkan untuk berubah
menjadi
dE TdS pdV dN
(3.1)
Secara umum, misalkan ada beberapa jenis sistem dalam assembli yang
dapat masuk atau keluar assembli dengan energi per sistem untuk jenis partikel ke-i
adalah i maka hukum I termodinamika mengambil bentuk umum
dE TdS pdV i dN i
(3.2)
Kita batasi persoalan kita pada kondisi di mana suhu, tekanan, dan yang
konstan. Dengan melakukan integral pada persamaan (3.1) kita dapatkan
E TS pV N
(3.3)
- 58 -
(3.4)
(3.5)
Dari persamaan (3.5) kita peroleh = G/N, yang bermakna bahwa dapat
dipandang sebagai energi Gibbs per satuan jumlah sistem. Besaran ini sering juga
disebut potensial kimia.
dS
1
p
dE dV dN
T
T
T
(3.6)
- 59 -
Jika S dinyatakan sebagai fungsi E, V, dan N atau S(E,V,N) maka diferensial total
dari S selalu dapat ditulis sebagai
S
S
S
dS dE
dV
dN
E V , N
V E , N
N V , E
(3.7)
Jika kita bandingkan persamaan (3.6) dan (3.7) maka kita akan dapatkan kumpulan
hubungan berikut ini
1 S
T E V , N
(3.8)
p S
T V E , N
(3.9)
T N V , E
(3.10)
Tampak dari persamaan (3.8) sampai (3.10) bahwa apabila kita telah
mendapatkan fungsi entropi, maka besaran lain termodinamika seperti suhu,
tekanan, dan potensial kimia dapat ditentukan dengan mudah melalui operasi
diferensial parsial sederhana.
jika energi makin besar dan kesebandingan kedua menghasilkan probabilitas makin
besar jika jumlah sistem makin besar. Dua kesebandingan tersebut dapat disatukan
menjadi pi exp[(-Ei+Ni)/]. Jika kita menggunakan tanda sama dengan maka
kita masukkan konstanta pembanding sehingga diperoleh pi = Cexp[(-Ei+Ni)/].
Selanjutnya, untuk mempermudah bentuk fungsi probabilitas, kita definisikan
parameter baru yang memenuhi hubungan berikut C = exp[/]. Dengan
memasukkan ungkapan dalam parameter baru tersebut kita dapatkan ungkapan
untuk probabilitas menemukan assembli dengan energi Ei dan jumlah sistem Ni
sebagai berikut
pi e ( Ni Ei ) /
(3.11)
(2.20)
Dengan membandingkan persaman (3.11) dan (2.20) maka sangat logis apabila kita
menyamakan parameter berikut ini, = kT dan F = + N. Tetapi, dari persaman
(3.4) kita sudah mendapatkan bentuk energi bebas Helmholtz ensembel grand
kanonik, yaitu F = -pV + N. Dengan demikian kita bisa simpulkan lagi bahwa =
-pV dan = . Akhirnya kebolehjadian menemukan assembli dengan energi Ei dan
jumlah sistem Ni adalah
pi e ( pV Ni Ei ) / kT
(3.12)
- 61 -
e
i
( pV N i Ei ) / kT
1 . Kita
(3.13)
(3. 14)
(3.15)
PV kT ln Z G
(3.16)
atau
pi
e( N i Ei ) / kT
ZG
(3.17)
- 62 -
( N Ei , N ) / kT
(3.18)
( N Ei , N ) / kT
kT
i
i
pV
T
p T pN
i
1
pi Ei
T i
- 63 -
pV N E
T
(3.19)
di mana N adalah jumlah rata-rata sistem dalam satu assembli dan E adalah
energi rata-rata satu assembli. Nilai-nilai tersebut diperoleh setelah merata-ratakan
pada semua asssembli dalam ensembel grand kanonik.
Kita mengingat salah satu persaman termodinamika E = TS pV + N
yang dapat ditulis dalam bentuk
pV N E
T
(3.20)
Jika kita bandingkan persamaan (3.19) dan (3.20) kita simpulkan bahwa ungkapan
lain untuk entropi adalah
S k pi ln pi
(3.21)
- 64 -
(3.22)
(3.23)
(3.24)
V T ,
(3.26)
( pV )
S
T V ,
(3.27)
( pV )
N
V ,T
(3.28)
T ,
V T ,
(3.29)
(kT ln ZG )
(ln ZG )
S
k ln ZG kT
V ,
T V ,
(3.30)
(kT ln ZG )
(ln ZG )
kT
V ,T
V ,T
(3.31)
- 65 -
Tampak dari persamaan (3.29) sampai (3.31) bahwa untuk mendapatkan ungkapan
untuk fungsi grand partisi merupakan kunci untuk menurunkan besaran
termodinamika yang lain. Oleh karena itu, ketika membahas sejumlah assembli
terbuka para ahli akan selalu memulai dengan menurunkan fungsi grand partisi.
Begitu fungsi grand partisi dapat dibangun maka besaran termodinamika lain dapat
diturunkan melalui proses diferensial sederhana.
Ei nis is
s
Dengan demikian fungsi grand partisi pada persamaan (3.14) dapat ditulis menjadi
N Ei
ZG Wi exp i
kT
i
(3.32)
Wi
s
gisnis
nis !
ZG
i
gisnis
N Ei
exp i
nis !
kT
(3.33)
exp[snis-sisnis)/kT] = exp[snis(-is)/kT] =
exp (
s
is
n
) / kT is . Substitusi
ZG
i
gisnis
exp ( is ) / kT nis
nis ! s
g e( is ) / kT
is
s
nis !
i
nis
(3.34)
x ns
xs N! s
n1 n 2 ... N
s ns !
s
xsns
1
xs
n
!
N
!
n1 n2 ... N s
s
s
(3.35)
xsns
1
xs
n
!
N
!
N 0 n1 n2 ... N s
N 0
s
(3.36)
N 0 n1 n2 ... N
g e
( is ) / kT n s
is
nis !
gis e( is ) / kT
N 0 N! s
(3.37)
N 0 n1 n 2 ... N
g e
( is ) / kT nis
nis !
g e( is ) / kT
s
s
nis !
N 0
nis
di mana simbol (...)N memiliki makna bahwa bagian dalam tanda kurung
dijumlahkan pada semua konfigurasi yang memiliki jumlah total sistem N. Dengan
demikian persaman (3.37) menjadi
gise( is ) / kT
s
nis!
N 0
nis
1 g e( is ) / kT
is
N N 0 N! s
(3.38)
Ruas kiri persamaan (3.38) persis sama dengan ungkapan fungsi grand
partisi pada persamaan (3.34). Dengan demikian kita dapatkan ungkapan lain untuk
grand partisi adalah
- 68 -
gise( is ) / kT
N 0 N! s
ZG
1 / kT
gise is / kT
e
N 0 N!
s
exp Ze / kT
1 / kT
e Z
N 0 N!
(3.39)
V ,T
Ze / kT
kT
1
/ kT
kT kT Ze
V ,T
Ze / kT
(3.40)
Contoh 3.1
Kita ingin mencari fungsi grand partisi assembli momen magnetik yang
berada dalam medan magnet. Momen tersebut memiliki tiga kemungkinan
arah orientasi: searah, tegak lurus, atau berlawanan arah medan magnet.
Jawab
Gambar di bawah ini adalah kemungkinan arah orientasi tiap momen
magnetik dan energi yang dimiliki untuk tiap arah orientasi tersebut.
- 69 -
E1 = -B
E3 = B
E2 = 0
Pada gambar di atas adalah besar momen magnetik. Fungsi partisi satu
sistem adalah
Z e Ei / kT e E1 / kT e E2 / kT e E3 / kT
i
eB / kT 1 eB / kT
ZG exp Ze / kT exp e / kT 1 eB / kT eB / kT
PV
ln Z G e / kT 1 eB / kT e B / kT
kT
e / kT 1 eB / kT e B / kT
N ns .
(3.41)
Sekarang kita balik ke definisi fungsi partisi satu partikel yang memenuhi
persamaan Z s g s e s / kT . Bentuk ini jika digabung dengan persamaan (3.40)
maka kita dapatkan ungkapan lain untuk jumlah rata-rata partikel dalam assembli
sebagai
N g s e s / kT e / kT g s e( s ) / kT
s
(3.42)
(3.43)
- 71 -
(...) (...)
i
1
e[ N E ( N )] / kT d6 N
N ! h3 N
1
e N / kT e E ( N ) / kT d6 N
N!h3 N
(3.44)
1 N 2
pix piy2 piz2 . Dengan demikian kita dapat menyelesaikan integral
2m i 1
berikut ini,
E ( N ) / kT
2
mkT
i
i
p2
V N exp ix dpix
i
2mkT
p2
p2
exp iy dpiy exp iz dpiz
2mkT
2mkT
- 72 -
V N 2mkT
2mkT
2mkT
V N 2mkT
3N / 2
(3.45)
1
3N / 2
e N / kT V N 2mkT
3N
N! h
1 N / kT V
e
3 2mkT
N!
h
1
Ze / kT
N!
3N / 2
exp Ze / kT
1 N / kT N
e
Z
N!
Persamaan di atas tidak lain merupakan persamaan (3.40). Pada hasil di atas,
Z [(V / h3 )2mkT]3 / 2 adalah fungsi partisi satu partikel.
1
1 x j x 2j x3j ... x nj
1 xj
n 1
1 n n n
x j x j ... x j
n 1 n 1 n 1
j
1 x
j
n1
j
n1, n 2, n 3,...
n1, n 2 , n 3,...
nj
j
(3.46)
( j ) / kT
- 73 -
menjadi
1 e
(
) / kT
( ) / kT
e j
n1, n 2, n3,... j
nj
exp n j ( j ) / kT
j
n1, n 2, n 3,...
(3.47)
ZG Wi exp nis ( is ) / kT
i
s
(3.34)
n (
s
is
is
) / kT
n (
penjumlahan
pada jumlah suku yang dijumlahkan. Jumlah suku pada penjumlahan yang terakhir
lebih banyak daripada jumlah suku pada penjumlahan pertama (lihat Gambar 3.1).
Jadi
is
( is ) / kT n j ( j ) / kT
(3.48)
ZG
1 exp n (
n1 , n2 ,...
) / kT
exp n j ( j ) / kT
n1 , n2 ,...
j
- 74 -
(3.49)
is
( is ) / kT n j ( j ) / kT
j
ZG
( j ) / kT
j 1 e
(3.50)
Tampak dari persamaan (3.50) bahwa fungsi grand partisi boson cukup sederhana.
Untuk mencari fungsi grand partisi kita awali dengan mencari tingkat-tingkat energi
dalam asembli tersebut (j). Tingkat energi inilah yang digunakan untuk
menentukan fungsi grand partisi.
Pesan umum yang dapat diperoleh di sini adalah, apapun jenis assembli
yang kita miliki, mencari fungsi partisi atau grand partisi diawali dengan
mencari tingkat-tingkat energi. Setelah tingkat energi diketahui maka
fungsi partisi kanonik maupun partisi grand kanonik dapat dihitung
dengan mudah.
Pada persamaan (3.50) ada parameter sedangkan pada fungsi partisi
kanonik atau mikrokanonik tidak ada. Penyebabnya adalah karena adanya
pertukaran sistem pada assembli grand kanonik. Pertukaran satu sistem melahirkan
perubahan energi sebesar . Pada assembli kanonik atau mikrokanonik , tidak ada
pertukaran partikel sehingga tidak masuk parameter dalam ungkapan fungsi
partisi.
Dari fungsi grand partisi (3.50) kita dapat menghitung jumlah rata-rata
sistem dalam assembli, yaitu
ln ZG
N kT
V ,T
ln 1 e ( j ) / kT
kT
V ,T
- 76 -
( j ) / kT
1 e
( j ) / kT
1
e
( j ) / kT
(3.51)
Tetapi jumlah rata-rata sistem dalam assembli sama dengan jumlah dari jumlah
rata-rata sistem pada tiap keadaan energi, atau
N nj
(3.32)
dengan n j adalah jumlah rata-rata sistem yang menempati keadaan energi ke-j
dalam suatu assembli. Dengan membandingkan persamaan (3.51) dan (3.32) kita
simpulkan bahwa jumlah rata-rata sistem pada keadaan ke-j adalah
nj
1
e
( j ) / kT
(3.52)
1
e
( j kT ) / kT
. Namun pada
assembli grand kanonik (jumlah energi maupun sistem dalam assembli selalu
berubah-ubah) maka jumlah sistem yang menempati keadaan dengan energi j selalu
berubah-ubah. Tetapi nilai rata-rata sistem yang menempati keadaan dengan energi
j memenuhi persamaan (3.52). Pada assembli grand kanonik, yang dapat kita
definisikan adalah harga rata-rata, karena harga sesaat selalu berubah. Dan harga
rata-rata tersebut sama dengan harga sesaat untuk assembli mikrokanonik.
Fungsi Grand Partisi Fermi-Dirac
Terakhir kita mencari fungsi partisi Fermi-Dirac. Kita sudah mendapatkan
bentuk fungsi grand partisi sistem kuantum yaitu persamaa (3.34). Untuk fermion,
satu keadaan energi hanya boleh kosong atau ditempati satu sistem saja karena
memenuhi prinsip ekslusi Pauli. Jadi untuk fermion nj hanya boleh 0 atau 1.
- 77 -
(1 x ) 1 x x x x x x
j
j j
j j m
j m
...
(3.53)
Mengingat n1, n2, n3, untuk fermion hanya bisa mengambil nilai 0 atau
1 maka bagian kanan persamaan (3.53) dapat disederhanaklan menjadi
x nj j
Sebagai contoh
1 x10 x20 ...x 0j ...xN0
x j x10 x20 ...x 0j 1 x1j x 0j 1...xN0
x j x x10 x20 ...x 0j 1 x1j x 0j 1...x01 x1 x01...xN0
x nj j
(1 x )
j
(3.54)
1 e
( j ) / kT
e( j ) / kT
n1, n 2, n 3,....(0,1) j
exp n j ( j ) / kT
j
n1, n 2, n 3,....(0,1)
nj
(3.55)
exp n j ( j ) / kT
j
n1, n 2, n 3,....(0,1)
n j n j j
j
exp
kT
n1, n 2 , n 3,....(0 ,1)
N Ei
exp i
kT
n1,n 2,n 3,....(0,1)
1 e
( j ) / kT
N Ei
exp i
kT
n1,n 2,n 3,....(0,1)
(3.56)
Jika kita perhatikan persamaan (3.56) tampak jelas bahwa bagian kanan persamaan
(3.56) adalah fungsi grand partisi. Akhirnya kita simpulkan bahwa fungsi grand
partisi fermion dapat ditulis dalam bentuk
ZG 1 e
( j ) / kT
(3.57)
Sekarang kita hitung jumlah rata-rata sistem yang menempati keadaan ke-j.
Kita mulai dengan menghitung jumlah rata-rata sistem dalam suatu assembli, yaitu
ln ZG
N kT
V ,T
ln 1 e ( j ) / kT
kT
V ,T
- 79 -
( ) / kT
e j
1
( j ) / kT
( j ) / kT
1 e
1
j e
(3.58)
Sekali lagi, jumlah rata-rata sistem dalam assembli sama dengan jumlah dari jumlah
rata-rata sistem pada tiap keadaan energi, atau
N nj
(3.32)
Dengan membandingkan persamaan (3.32) dan (3.58) kita simpulkan bahwa jumlah
rata-rata sistem pada keadan ke-j adalah
nj
1
e
( j ) / kT
(3.59)
Mengingat jumlah sistem dalam satu keadaan assembli fermion hanya boleh 0 atau
1 maka akan selalu terpenuhi 0 n j 1 .
Persamaan (3.59) juga cukup menarik untuk dicermati. Pada assembli
mikrokanonik (jumlah energi dan sistem tetap), jumlah sistem yang menempati satu
keadaan (keadaan ke-j) dengan energi j adalah n j
1
e
( j kT ) / kT
. Namun pada
assembli grand kanonik (jumlah energi maupun sistem dalam assembli selalu
berubah-ubah) maka jumlah sistem yang menempati keadaan dengan energi j selalu
berubah-ubah. Tetapi nilai rata-rata sistem yang menempati keadaan dengan energi
j memenuhi persamaan (3.59). Pada assembli grand kanonik, yang dapat kita
definisikan adalah harga rata-rata, karena harga sesaat selalu berubah. Dan harga
rata-rata tersebut sama dengan harga sesaat untuk assembli mikrokanonik.
Hal menarik lainnya yang perlu kita cermati adalah mengapa fungsi grand
partisi diungkapkan dalam bentuk perkalian ? Apakah tidak mempersulit?
Mengapa bukan dalam tanda ? Jawabannnya tegas tidak. Karena yang sering kita
gunakan dalam mencari besaran termodinamika bukan fungsi partisi itu sendiri,
tetapi logaritma fungsi partisi. Kita tahu semua bahwa logaritma perkalian sama
- 80 -
dengan jumlah logaritma. Jadi, ketika fungsi grand partisi yang kita miliki
berbentuk , namun ketika kita gunakan dalam mencari besaran termodinamika
kita akan dapatkan bentuk penjumlahan (setelah dilogaritma).
- 81 -
N 2 N 2 N
(3.60)
Untuk mencari bentuk eksplisit persamaan (3.60) kita berangkat dari definisi berikut
ini
N Ni pi Ni
i
e( N i Ei ) / kT
ZG
ln ZG
1
Ni e( N i Ei ) / kT kT
ZG i
N 2 Ni2 pi Ni2
i
e( N i Ei ) / kT (kT ) 2 2 ZG
ZG
ZG 2
(3.61)
(3.62)
Dengan demikian
N2 N
(kT )2 2 ZG
1 Z
(kT )2 2 G
2
ZG
ZG
1 2 ZG 1 ZG
(kT ) 2
2
2
ZG Z G
(kT )2
kT
1 ZG
1 ZG
kT
kT
ZG
ZG
ZG
(3.63)
- 82 -
N kT
ln Z G kT
Ze / kT Ze / kT . Dengan demikian,
N 2 N kT
N
N
kT
dan
N 2 N
(3.64)
1/ 2
(N ) 2
N2
1/ 2
N
2
N
1 / 2
(3.65)
Tampak bahwa fluktuasi berbanding lurus dengan kebalikan akar rata-rata jumlah
sistem dalam assembli.
P21 adalah probabilitas per satuan waktu transisi elektron dari tingkat energi
2 ke tingkat energi 1.
P21 adalah probabilitas per satuan waktu transisi elektron dari tingkat energi
1 ke tingkat energi 2.
Dengan teori perturbasi maka probabilitas transisi per satuan waktu dari energi 2 ke
tingkat energi 1 memenuhi persamaan
- 83 -
P21
2
2
M 21 n( ) 1 f ( 2 )1 f (1 ) 2 1
h
(3.66)
dengan M21 adalah elemen matrik dipol transisi dari keadaan 2 ke keadaan 1, n()
adalah jumlah rata-rata foton yang memiliki frekuensi dalam assembli sebelum
transisi dari 2 ke 1 dan memenuhi persamaan 2 - 1 = . f() adalah peluang
mendapatkan elektron pada tingkat energi dan 1 f() adalah peluang tingkat
energi tidak ditempati elektron.
Persamaan (3.66) menyatakan bahwa probabilitas transisi sebanding
dengan peluang mendapatkan elektron di keadaan awal dan peluang mendapatkan
tempat kosong di keadaan akhir. Kita juga menambahkan faktor n()+1 karena
transisi dari tingkat energi 2 ke 1 menambah jumlah foton sebanyak satu buah.
Fungsi delta Dirac menjamin bahwa foton yang dipancarkan memiliki energi persis
sama dengan selisih energi keadaan awal dan akhir.
Dengan cara serupa maka peluang per satuan waktu transisi elekton dari
keadaan dengan energi 1 ke 2 adalah
P12
2
2
M12 n( ) f (1 )1 f ( 2 ) 2 1
h
(3.67)
Pada persamaan (3.67), transisi dari 1 ke 2 (dari tingkat energi rendah ke tinggi)
tidak mengubah jumlah foton dalam assembli sehingga pada persamaan kita hanya
menggunakan faktor n().
Dalam kondisi setimbang P12 = P21. Karena operator momen dipol M
bersifat hermitian maka M12 = M21. Dengan demikian, kondisi setimbang
melahirkan persamaan berikut ini
- 84 -
n( )
f ( 2 ) /1 f ( 2 )
n( ) 1 f (1 ) /1 f (1 )
(3.68)
g ( )
f ( )
1 f ( )
(3.69)
n( ) 1 g (1 )
(3.70)
Perhatikan suku di ruas kiri persamaan (3.70). Suku tersebut hanya fungsi .
Karena 2 - 1 = maka suku di ruas kiri persamaan (3.70) hanya fungsi 2 - 1.
Berdasarkan sifat tersebut maka persamaan (3.70) dapat ditulis menjadi
g ( 2 )
( 2 1 )
g (1 )
atau
g ( 2 ) ( 2 1 ) g (1 )
(3.71)
dengan (2-1) adalah fungsi yang hanya bergantung pada selisih 2-1.
Berdasarkan definisi tersebut kita dapatkan (0) = 1.
Mari kira tulis 1 = dan 2 = + . Dengan demikian kita dapat menulis
persamaan (3.71) menjadi
g ( ) ( ) g ( )
(3.72)
Kemudian kita uraikan fungsi-fungsi dalam dalam deret Taylor sebagai berikut
- 85 -
g ( ) g ( )
( ) (0)
dg
d 0
g ( )
dg
1 g ( )
d
atau
dg
g ( )
d
(3.73)
g ( ) Ae
(3.74)
1
(1 / A)e 1
(3.75)
Kita menulis 1/A sebagai exp[] sehingga diperoleh ungkanan akhir untuk
f() menjadi
f ( )
1
e
( )
(3.76)
Bab 4
MEKANIKA STATISTIK KUANTUM
Setelah cukup banyak membahas statistik yang berbasis pada formulasi
klasik, sekarang kita membangun statistik yang berangkat dari postulat kuantum.
Walaupun kita telah mempelajari assembli boson dan fermion yang merupakan
partikel kuantum, namuninterpretasi statistik yang kita gunakan masih berbasis
pada interpretasi klasik. Salah satu ciri khas sistem kuantum yang direpresentasikan
oleh fungsi gelombang belum muncul pada pembahasan sebelumnya. Pada bagian
ini kita mempelajari statistik yang berangkat dari postulat kuantum.
Untuk memahami bagian ini secara mudah para mahasiswa diharapkan
meriew kembali kuliah Fisika Statistik dan Fisika Kuantum. Pemahaman tentang
operator serta beberapa sifat dasar operator, operator bra dan ket, operator fungsi
kerapatan, trace, dan lain-lain cukup penting untuk dipahami sebagai modal awal.
(4.1)
- 87 -
- 88 -
diamati) yang dimiliki assembli maka nilai besaran tersebut yang terukur pada suatu
saat adalah
O
(c , c ) O
(c , c )
n
(4.2)
(c , c ) O
(c , c )
n
nm
(c , c ) O
(c , c )
n
(4.3)
(cn , cm ) n O m
n m
n (cn , cn )
(4.4)
Karena variabel waktu hanya tertuang dalam fungsi cn maka kita dapat menulis
ulang persamaan (4.4) menjadi
(c , c ) O
(c , c )
n
(4.5)
- 89 -
Hn Enn
(4.5)
(4.6a)
(4.6b)
E En E
b ,
(cn , cm ) nm n
E n E atau E n E
0,
- 90 -
(4.7)
Dengan menggunakan persamaan (4.7) maka persamaan (4.5) dapat ditulis menjadi
nm
2
bn n O m
b
2
O n
(4.8)
mn m n mn bn
(4.9)
Ini artinya matriks dalam himpunan {n} adalah matriks diagonal, atau
b1 2
0
0
0
0
b2
0
2
0
0
0
0
0
2
bN
(4.10)
Jika kita memilih himpunan lengkap yang lain, misalnya {n} maka kita
selalu dapat memperoleh elemen matrik kerapatan dalam himpunan lengkap ini
melalui transformasi yang dibahas berikut ini. Karena {n} adalah himpunan yang
lengkap maka kita selalu dapat menulis
n anm m
(4.10)
- 91 -
di mana anm = mm. Elemen matriks kerapatan dalam himpunan {n} adalah
'mn m n
*
*
amp
anq p q amp
anq pq
p
(4.11)
1 1 n n m m
n n m m
n
n nm m
n
(4.12)
nm
2
bn n O m
bn
nm
nn
n n O m
nn
n n O m
Mengingat
O m
nn
nn
Tr ( O )
Tr ( )
(4.13)
- 92 -
Tr( A) i Aii .
nm nm bn
di mana
bn
E En E
1,
0, E n E atau En E
(4.14)
n nm m n nm bn m n bn n
2
En E
En E
bn
0 n
n
E En E
n
E En E
bn
n
E En E
En E
1 n
En E
bn
0 n
(4.15)
dan
Tr ( ) m m m
m
n n m
nm 1 ( E )
m E En E
nm
m E En E
n
E En E
n m
(4.16)
- 93 -
di mana (E) adalah jumlah keadaan yang berada dalam selang energi antara E
sampai E+.
Kita mendefinisikan entropi mikrokanonik sebagai
S k ln ( E )
(4.17)
mn mn e E
/ kT
(4.18)
n nm m n nme E
n / kT
n e En / kT n e En / kT n n
n
e En / kT n n e H / kT n n e H / kT n n
e H / kT
(4.19)
Dengan demikian fungsi partisi kanonik dan nilai rata-rata pengukuran observable
O memenuhi
Z N Tr( ) Tr(e H / kT )
O
(4.20)
Tr (O e H / kT )
ZN
(4.21)
- 94 -
Z G e ( N Ei ) / kT
N
Tr e( H N ) / kT
(4.22)
N s ns
(4.23)
di mana n s adalah operator jumlah partikel pada keadaan ke-s dan memenuhi
ns s ns s . Selanjutnya kita dapat dengan mudah memperlihatkan hubungan
berikut ini:
ns q ns qs q ,
(4.24a)
r ns q ns qs sr ,
(4.24b)
r N q r ns q ns qs sr nq qr .
s
(4.24c)
O dakalikan dengan bagian dalam tanda Tr(...) dalam persamaan (4.20). Bagian
dalam tanda Tr(...) pada persamaan (4.20) tidak lain daripada operator untuk
mencari fungsi partisi kanonik ZN. Dengan pola pemikiran yang sama, maka kita
dapat menentukan nilai rata-rata observabel O dalam ensembel grand kanonik
dengan menggunakan persamaan yang mirip dengan persamaan (4.21) dengan cara
mengganti operator fungsi partisi kanonik pada persamaan (4.21) dengan operator
fungsi partisi grand kanonik.
Berdasarkan persamaan (4.22), operator fungsi partisi grand kanonik
- 95 -
Tr O e ( H N ) / kT
O
ZG
(4.25)
A , B A B BA 0 .
(4.26)
e Ae B e A Be[ A, B ] / 2
(4.27)
Mari kita tinjau sebuah kasus dia mana suatu assembli disusun oleh N
s adalah energi eigen. Karena di dalam assembli terdapat N sistem maka bentuk
paling sederhana dari fungsi gelombang assembli menenuhi
N
N s
(4.28)
s 1
H N
Z G Tr exp
)
kT
(4.29)
H
N
H N
1 H N
exp exp
,
exp
exp
kT
kT
kT
2 kT kT
- 96 -
kT
kT
kT
Akhirnya fungsi grand partisi (4.29) dapat ditulis dalam bentuk lebih sederhana
sebagai berikut
N
H
Z G Tr exp exp
kT
kT
(4.30)
(4.31)
N ns
(4.32)
Substitusi persamaan (4.31) dan (4.32) ke dalam persamaan (4.30) maka diperoleh
bentuk lain dari fungsi grand partisi
n
n
Z G Tr exp s s exp s
s kT
s kT
n ( )
Tr exp s s
kT
(4.33)
- 97 -
(4.34)
dengan
n ( )
Z s Tr exp s s
kT
(4.35)
e n1 ( 1 ) / kT
exp ns ( s ) / kT
0
0
e
n 2 ( 2 ) / kT
0
e
n3 ( 3 ) / kT
Karena Tr(..) adalah jumlah elemen diagonal maka menjadi jelaslah bahwa
Z s e n1 (1 ) / kT e n2 ( 2 ) / kT e n3 ( 3 ) / kT ...
e ns ( s ) / kT
(4.36)
ns
Untuk fermion, jumlah sistem yang boleh menempati satu keadaan hanya
boleh 0 atau 1, atau ns = 0 dan ns = 1. Dengan demikian, penentuan Zs untuk fermion
hanya melibatkan dua suku penjumlahan sehingga diperoleh
Z sf e0( s ) / kT e1( s ) / kT
1 e( s ) / kT
(4.37)
ZGf 1 e ( s ) / kT
(4.38)
Untuk boson jumlah sistem yang boleh menempati satu keadaan hanya
boleh berapa saja, atau dari 0 sampai tak bergingga. Dengan demikian, untuk boson
- 98 -
Z sb
n s ( s ) / kT
1 e
ns 0
(4.39)
( s ) / kT
ZGb
( s ) / kT
1
(4.40)
Tr ns e ( H N ) / kT
ZG
n s ' ( s ' ) / kT
n s ' ( s ' ) / kT
Tr ns e s '
e s'
Tr kT
ZG
ZG
ns ' ( s ' ) / kT
Tr e s '
ZG
s
s
kT
kT
ZG
ZG
kT
ln Z G
s
(4.41)
ln ZGf kT
ln 1 e ( s ' ) / kT
s
s
s'
kT
kT
s'
ln1 e
s'
1
1 e
( s ' ) / kT
( s ' ) / kT
1 ( s ' ) / kT
s, s'
e
kT
- 99 -
e ( s ' ) / kT
1 e ( s ' ) / kT
1
e
( s ' ) / kT
(4.42)
nsb kT
kT
kT
s'
ln Z Gf kT
ln
( s ' ) / kT
s
s
s ' 1 e
ln1 e
( s ' ) / kT
s'
1
1
e ( s ' ) / kT s , s '
1 e ( s ' ) / kT kT
e ( s ' ) / kT
1 e ( s ' ) / kT
1
e
( s ' ) / kT
(4.43)
Selanjutnya kita diskusikan contoh lain yang sedikit lebih rumit. Perlu
sedikit kemampuan matematika untuk memahaminya. Misalkan kita memiliki gas
yang terdiri dari dua jenis partikel. Kedua partikel tersebut saling berinteraksi
dengan energi potensial V0 yang dianggap konstan. Kita ingin menentukan fungsi
grand partisi untuk assembi tersebut.
Kita mulai dengan menentukan hamiltonian sistem yang terdiri dari dua
jenis pertikel yang berinteraksi. Hamiltonian dapat ditulis dalam bentuk operator
kreasi dan anihilasi berikut ini
H pa a p a p bpbpbp V0 a p bp bp a p
p
- 100 -
(4.44)
Suku pertama adalah suku energi partikel terisolasi dan suku kedua adalah suku
energi interaksi. Operator a , a , b , dan b adalah operator kreasi dan anihilasi
p
ZG Tr exp ( H N
dengan
N (a p a p bpbp )
(4.45)
(4.46)
B p a p sin bp cos
(4.47)
(4.48)
bp a p sin B p cos
(4.49)
(4.50)
bp a p sin B p cos
(4.51)
- 101 -
pa a p a p bpbpbp V0 a p bp bp a p
a
p
cos sin bp
a p a p bpbp A p A p B p B p
Jelaslah bahwa operator eksponensial dalam fungsi grand paertisi menjadi diagonal
jika koefisien dari A p B p dan B p A p pada persamaan di atas adalah nol. Dengan
demikian syarat diagonal adalah
atau
1
pa bp sin 2 V0 cos 2 0
2
2V0
(4.52)
pa bp
- 102 -
(4.53)
bp bp cos 2 bp sin 2
(4.54)
dan
H N ap A p A p bp B p B p A p A p B p B p
ap A p A p bp B p B p
(4.55)
exp ap A p A p bp B p B p
p
exp ap A p A p exp bp B p B p
p
Tr exp ap A p A p exp bp B p B p
Tr exp ap A p A p Tr exp bp B p B p
ZGa ZGb
(4.56)
- 103 -
n a ( a ) / kT
ZGa Tr exp ap A p A p e p p
s n ap
(4.57)
n b ( b ) / kT
ZGb Tr exp bp B p B p e p p
s n bp
(4.58)
Z G 1 ze
(4.59)
ln Z G ln 1 ze
(4.60)
Kita ingat kembali definisi berikut ini yang dipelajadi di kuliah Kalkulus,
ln(1 x)
dx
1 x
dx
xn
(1) n1 x n1dx (1) n1
1 x n1
n
n1
- 104 -
maka diperoleh
) (1)
n1
ze
j n
n1
Dengan menggunakan ungkapan di atas maka fungsi grand partisi pada persamaan
(4.60) dapat ditulis dalam bentuk berikut ini
ln Z G (1) n1
j
n1
(1) n1 n1
n 1
(ze j ) n
zn
(1) n1 n1
n
n
n1
n j
z
q(n )
n
(4.61)
di mana
q(n ) e
n j
(4.62)
zn
q(n )
n
(4.63)
zn
ln Z G z (1) n1 n1 q(n )
z
z n1
n
(1) n1 n1 z n q(n )
(4.64)
n1
ln ZG
(1)
n 1
n 1
n 1
zn
q(n )
n
- 105 -
(1) n1 n1
n1
z n q(n )
n
(4.65)
n1
(1) n1 (ze
j
n1
j n
n j
ze
2 ze
j 1 ze
1 ze
j
ze j
1 ze j
(4.66)
ze j
nj
1 ze j
(4.67)
Dari persamaan (4.67) kita dapat ungkapkan jumlar rata-rata sistem pada
assembli boson dan fermion. Untuk boson ( = -1) persamaan (4.67) menjadi
e e j
1
nj
( j )
j
1 e e
e
1
(4.68)
nj
e e j
1
( j )
j
1 e e
e
1
(4.69)
- 106 -
q( ) g 0 qe ( )
(4.70)
g 0 (1) n1 (z ) n (1) n1 n1 z n qe (n )
n1
g0
n1
z
(1)n 1 n 1 z n qe (n )
1 z n 1
g0 z
(1) n1 n1 z n qe (n )
1 z n1
(4.71)
Sekarang kita tentukan bentuk untuk boson dan fermion. Untuk boson ( =
-1) persamaan (4.71) menghasilkan
N
g0 z
(1) n1 (1) n1 z n qe (n )
1 z n1
g0 z
z n qe (n )
1 z n1
(4.72)
Dari persamaan (4.72) kita dapatkan jumlah sistem yang berada pada keadaan dasar
adalah
N 0b
g0 z
1 z
(4.73)
Tampak dari persamaan (4.73) bahwa jika z 1 maka N0 . Ini berarti banyak
sekali partikel yang berada pada keadaan dasar. Kondisi ini disebut kondensasi
BoseEinstein.
Untuk fermion ( = +1) persamaan (4.71) menghasilkan
- 107 -
g0 z
(1)n 1 (1)n 1 z n qe (n )
1 z n 1
g0 z
(1)n 1 z n qe (n )
1 z n 1
(4.74)
Dengan demikian jumlah sistem yang berada pada keadaan dasar untuk assembli
fermion adalah
N 0f
g0 z
1 z
(4.75)
Karena z <1+z maka N0 < g0. Namun, g0 itu sendiri adalah degenerasi keadaan dasar.
Jadi jumlah fermion di keadaan dasar selalu lebih kecil daripada degerasi keadaan
dasar tersebut. Jumlah fermion di keadaan dasar selalu terbatas. Ini adalah implikasi
dari prinsip ekslusi Pauli. Oleh karena itulah fermion tidak pernah menunjukkan
gejala kondensasi atau kita tidak pernah mendapatkan kondensasi Fermi-Dirac.
PV
1
( ) / kT
ln 1 e j
ln 1 ( j ) / kT
kT
1
e
j
j
ln 1 b j
(4.76)
bj e
( j ) / kT
(4.77)
Tekanan pada persamaan (4.76) merupakan tekanan yang dihasilkan boson atau
fermion dan kita definisikan sebagai tekanan gas kuantum. Jumlah rata-rata sistem
dalam assembli adalah
N
j
1
e
( j ) / kT
bj
(4.78)
- 108 -
Kita dapatkan selisih antara tekanan gas kuantum (tekanan yang memenuhi
persamaan (4.76)) dengan tekanan gas ideal (NkT/V) sebagai berikut
PN
kT kT
ln 1 b j b j
V
V j
(4.79)
Kita akan mengecek tanda yang dimiliki persamaan selisih (4.79): apakah
positif atau negatif. Tanda jenis tanda menyimpulkan apakah tekanan gas kuantum
lebih besar atau lebih kecil daripada tekanan gas ideal. Untuk maksud tersebut mari
kita perhatikan fungsi berikut ini
f ( x) ln(1 x) x
df
1
1
1 1
dx 1 x
1
Karena x > 0 maka df/dx < 0 untuk semua x > 0. Pada nilai x yang memenuhi x 0
kita dapat uraikan f(x) dalam deret Taylor dan diperoleh sebagai berikut
x 2 x3
x 2 x3
f ( x) x
... x ...
2
3
2
3
Dengan demikian
f ( x)
lim x 0
x2 / 2
lim x 0
Dari sini kita simpulkan bahwa f(0) < 0 dan fungsi f(x) bersifat monoton
turun. Jadi f(x) selalu negatif untuk semua x > 0. Ini berimplikasi bahwa
P NkT / V 0 atau P NkT / V . Untuk gas ideal klasik P NkT / V . Dengan
demikian, tekanan gas boson ideal lebih kecil daripada tekanan gas ideal klasik. Ini
disebabkan oleh adanya tarikan antar partikel boson. Tarikan inilah yang
menyebabkan terjadinya kondensasi Bose-Einstein.
Untuk assembli fermion dalam ensembel grand kanonik kita mendapatkan
hubungan
- 109 -
PV
1
( ) / kT
ln 1 e j
ln 1 ( j ) / kT
kT
e
j
j
ln 1 f j
(4.80)
di mana
fj e
( e j ) / kT
(4.81)
1
e
( e j ) / kT
fj
(4.82)
kT
kT
ln 1 f j f j
V
V j
(4.83)
Di sini juga kita akan mengecek apakah tanda yang dimiliki persamaan
selisih (4.83). Untuk maksud tersebut mari kita perhatikan fungsi berikut ini
f ( x) ln(1 x) x
df
1
1
1 1
dx 1 x
1 x
Mengingat x
x 2 x3
x 2 x3
f ( x) x
... x ...
2
3
2
3
Jelas di sini bahwa untuk x 0, f(x) < 0. Karena f(x) monoton turun maka f(x)
negatif untuk semua 0 < x < 1. Dengan demikian, untuk fermion P NkT / V 0 .
- 110 -
Ini artinya tekanan gas fermion ideal lebih besar daripada tekanan gas ideal klasik.
Ini hanya mungkin disebabkan oleh adanya tolakan antar partikel fermion akibat
perinsip ekslusi Pauli.
n nm m
(4.84)
nm
Jika waktu berubah maka keadaan yang diijinkan bagi sistem juga berubah. Secara
umum kita dapat menulis kebergantungan matriks kerapatan pada waktu sebagai
berikut
(t ) n (t ) nm m (t )
(4.85)
nm
(4.86)
Keadaan sembarang n(0) pada saat t=0 selalu dapat diuraikan atas fungsi eigen
{En} sebagai berikut
(4.87)
n'
(4.88)
n'
- 111 -
Setelah kita mengetahui keadaan-keadaan n pada saat t=0 maka kita dapat
menentukan keadaan-keadaan n pada saat sembarang melalui transformasi berikut
n (t ) En ' e iE
n 't
En ' n (0)
n'
n'
n'
e iHt / n (0)
(4.89)
nm
e iHt / (0)eiHt /
(4.90)
iH
iH
iH
iH
- 112 -
i
H H
(4.91)
Tr( (0))
(4.92)
H / kT
eH . Dengan demikian
H e H H
(4.93)
x' x H x' x H
x"
H x ( xx' ; )
(4.94)
- 113 -
2 2
2m x 2
(4.95)
2 2
( xx ' ; )
( xx ' ; )
2m x 2
(4.96)
x x'
(4.97)
2 2 / m
Elemen matriks kerapatan menjadi fungsi dua variabel, dan x, atau (,x).
Dengan permisalan tersebut maka
1
x x
2 2
x 2 2 x
(4.98a)
(4.98b)
2 2 / m
1
2 2 / m
2
2 / m 2
1
(4.98c)
1
2
1
2
2
2
2m 2 / m 2
atau
2
2
0
2
(4.99)
- 114 -
(4.100)
2 0
(4.101)
( ) C1 exp( 2 )
(4.102)
C1 exp( 2 )
(4.103)
( xx '; )
( x x' )
lim 0
(4.104)
Dengan syarat awal (4.104) maka persamaan (4.103) dapat ditulis menjadi
( )
C1
exp( '2 )d ' C2
lim 0
lim 0 0
- 115 -
( x x ') / 2 2 / m
C1
lim 0
C1
2 / m lim 0 0
2
C1
exp ( x x' )2 /( 2 2 / m)
2 / m
2 2 / m
dxC2
exp ( x x' ) 2 /( 2 2 / m) dx C2
2 / m ( x x' ) C
2
( x x' )
C1
2 / m
2
m
dan C2 = 0
2 2
(4.105)
( x x ') / 2 2 / m
2
2 2
exp( '
)d '
2
exp(
'
)
d
'
0
( x x ') / 2 2 / m
m
erf
( x x' ) 2
2
8
2
(4.106)
2 2 m 2 2
x
2m x 2
2
(4.107)
- 116 -
2 2
m 2 2
2m x 2
2
(4.108)
m
x
(4.109)
2
2kT
(4.110)
2 2
2
f
2m 2
(4.111)
m
( ' )
(4.112)
Jika f = 0. Syarat kedua diperoleh setelah kita menggunakan hubungan yang berlaku
f ( x)
bagi fungsi delta Dirac, yaitu ( x xo )
( f ]x] f [ xo ]) .
x
Pada suhu tinggi, atau f kecil maka kelakuan partikel akan mendekati
kelakukan partikel bebas. Dengan demikian, aproksimasi untuk matrik kerapatan
pada suhu tinggi haruslah sama dengan persamaan (4.112). Dengan demikian kita
dapat menulis
( ' ; f )
( ' ) 2
m
exp
4f
4f
(4.113)
Untuk mencari fungsi pada berbagai nilai suhu, mari kita misalkan
exp a( f ) 2 b( f ) c( f )
- 117 -
(4.114)
(4.115)
Samakan koefisien yang mengandung pangkat yang sama di ruas kiri dan kanan,
maka kita peroleh persaman berikut ini
a' 1 4a 2
(4.116a)
b' 4ab
(4.116b)
c' 2a b 2
(4.116c)
1
coth 2( f f o )
2
(4.117)
1
coth 2 f
2
(4.118)
Subsitusi persamaan (4.118) ke dalam persaman (4.116b) kita peroleh solusi untuk
parameter b
b
A
sinh 2 f
(4.119)
1
A2
ln sinh 2 f
coth 2 f ln B
2
2
- 118 -
(4.120)
A
A2
exp coth 2 f
coth 2 f
sinh 2 f
2
sinh 2 f
2
B
(4.121)
2 2 A A 2
exp
4f
2f
(4.122)
m
2
Akhirnya kita dapatkan bentuk final untuk matriks kerapatan sebagai berikut
( xx ' ; )
m
m
exp
( x 2 x' 2 ) coth 2 f 2 xx '
2 sinh 2 f
2 sin 2 f
- 119 -
(4.123)
Bab 5
GAS FERMI IDEAL
Untuk melihat salah satu aplikasi mekanika statistik mari kita membahas
gas fermi ideal. Gas fermi ideal adalah kumpulan fermion bebas. Tidak ada interaksi
antar fermion. Contoh gas fermi ideal adalah gas elektron. Walaupun ada gaya
tolak-menolak antar elektron (gaya coulumb) yang menghasilkan energi potensial
listrik, namun jika gas elektron berada pada suhu sangat tinggi sehingga energi
kinetik yang dimiliki jauh lebih besar daripada energi potential maka energi
potensial (energi interaksi) dapat diabaikan. Dalam kondisi demikian seolah-olah
tidak ada interaksi antar elektron. Kalian dapat membandingkan dengan gas ideal
klasik di mana antar partikel gas tidak ada interaksi.
Pemahaman tentang topik-topik yang dibahas di bab-bab sebelumnya
menjadi modal penting untuk mengikuti bab ini secara lebih mudah.
Z G 1 ze i
(5.1)
- 120 -
PV
ln Z G ln 1 ze i
kT
i
ln 1 ze
i
(5.2)
Tampak jelas di sini betapa strategisnya pernyataan fungsi partisi sebagai bentuk
perkalian semua suku. Karena pada akhirnya yang kita butuhkan adalah logaritma
fungsi partisi yang berbentuk penjumlahan suku-suku.
Untuk menentukan secara eksplisit fungsi grand partisi pada persamaan
(5.2) mari kita ganti tanda penjumlahan terhadap energi dengan integral terhadap
variabel momentum. Untuk maksud tersebut, terlebih dahulu kita ubah ungkapan
diskrit menjadi kontinu sebagai berikut
p2
2m
(...) (...) h
4p 2 dp
(5.3)
ln 1 zep
/ 2m
dp
(5.4)
N kT
ln Z G
kT
PV
kT
kT
4V
h 3
ln 1 zep
- 121 -
/ 2m
dp
(5.5)
z
1 / kT
z
z kT
z kT z
(5.6)
ln 1 ze p
/ 2m
dp
2
4Vz
p 2 ln 1 zep / 2 m dp
3
h 0 z
4Vz
1
p 2 / 2 m
p2
dp
e
3
p 2 / 2 m
h 0 1 ze
4V
3
h
4V
h3
/ 2m
1 zep
ze p
/ 2m
dp
1 p 2 / 2 m
z e
(5.7)
dp
kT h 3
ln 1 zep
/ 2m
dp
(5.4)
1 N 4
v V h3
p
0
1 p 2 / 2 m
z e
dp
(5.7)
Dua persamaan di atas merupakan persamaan dasar untuk assembli fermion dalam
ensembel grand kanonik. Persamaan inilah yang akan kita kaji lebih jauh untuk
- 122 -
mencari sifat termodinamika assembli fermion seperti yang akan dibahas di bagian
akhir bab ini.
Agar lebih sederhana, kita definisikan besaran berikut yang dapat
diaproksimasi sebagai panjang gelombang termal partikel
2 2
mkT
(5.8)
kT h3
2mx2
x2
0 ln 1 ze
4 2m
h3
3/ 2
4 mkT
2 2
2m
ln 1 ze x dx
2
3/ 2
ln 1 ze x dx
2
- 123 -
dx
1 4
ln 1 ze x dx
2
(5.10)
f5 / 2 ( z )
ln 1 ze x dx
2
(5.11)
P
1
3 f 5 / 2 ( z)
kT
(5.12)
v h3
2mx2
1
2m
0 z 1e x 2 1 dx
4 mkT 2
1
1 4
x 1 x 2
dx 3
3
2 0 z e 1
x
0
1
1 x 2
z e 1
dx
(5.13)
f3 / 2 ( z)
z
0
x2
1 x 2
e 1
(5.14)
dx
1 1
f3 / 2 ( z )
v 3
(5.15)
4
f5 / 2 ( z )
z
2
x
0
1 4
z
x
0
e x dx
1 x 2
z e 1
ln 1 ze x dx
z
1 ze
e z
x2
dx
dx
f5 / 2 ( z) f3/ 2 ( z)
z
(5.16)
Bentuk f3/2(z) maupun f5/2(z) pada persamaan (5.11) dan (5.14) kadang sulit
untuk dianalisis. Kita dapat mengungkapkan dua fungsi tersebut dalam bentuk deret
sehingga dapat menentukan dengan mudah aproksimasi untuk nilai-nilai z yang
ekstrim, seperti saat z mendekati nol atau mendekati tak berhingga. Untuk maksud
tersebut, mari kita perhatikan uraian berikut ini 1/(1+y) = 1 y + y2 y3 +-
Dengan uraian tersebut maka kita dapatkan
ln(1 y)
dy
(1 y y 2 y 3 ...)dy
1 y
y 2 y3
y
... (1) 1
2
3
ln 1 ze
x2
(1)
ze (1)
x2
- 125 -
z e x
Dengan demikian kita dapatkan uraian deret untuk fungsi fermi sebagai berikut
f5 / 2 ( z )
(1) 1
z 2 x 2
x e dx
0
(5.17)
adalah
x e
2 x 2
f5 / 2 ( z )
(1) 1
1
(1) 1
1
3/ 2
4
z
5 / 2
(5.18)
z
s
1
Lis ( z )
(5.19(
( z )
z
1 z
1
)
1
)
s
s
s
1
1
1
Lis ( z )
(5.20)
f5 / 2 ( z) Li5 / 2 ( z)
(5.21)
- 126 -
f3 / 2 ( z ) z
d
z 1
f5 / 2 ( z ) z (1) 1 5 / 2
dz
(1) 1
1
z
3 / 2
(5.22)
f3 / 2 ( z) Li3 / 2 ( z)
(5.23)
z2
23 / 2
(5.24b)
z2
z3
23 / 2 33 / 2
(5.24c)
(5.24a)
z2
z3
z4
23 / 2 33 / 2 43 / 2
(5.24d)
Selanjutnya kita tinjau kasus ekstrim lainnya, yaitu untuk z yang besar.
Pertama mari kita definisikan = /kT sehingga
z e / kT e
(5.25)
- 127 -
f3 / 2 (e ) Li3 / 2 (e )
(5.26)
(5.27)
( s 1)
Dari sifat asimptotik ini maka kita aproksimasi untuk f3/2 pada z atau
adalah
f3 / 2 (e )
3/ 2
(3 / 2 1)
4
3
(ln z )3 / 2
(5.28)
Berdasarkan nilai asimptotik pada persamaan (5.24) dan (5.28) maka kita dapat
f3/2(z)
membuat plot grafik f3/2(z) sebagai fungsi z seperti diilustrasikan pada Gambar 5.1.
4
3
(ln z ) 3 / 2
z
Gambar 5.1 Grafik f3/2(z) sebagai fungsi z. Pada nilai z sangat
kecil maka fungsi memenuhi persamaan (5.24) dan pana z yang
sangat besar maka fungsi berubah menurut persamaan (5.28).
- 128 -
Sekarang kita tinjau sifat assembli fermion pada beberapa kondisi ekstrim.
Dua kasus eksprim yang akan kita bahas adalah kondisi pada suhu tinggi atau
kerapatan rendah dan kondisi suhu rendah atau kerapatan tinggi.
f 3 / 2 ( z) z
z2
23 / 2
atau
3
v
z2
23 / 2
(5.29)
Untuk mencari solusi bagi z pada persamaan (5.29) kita lakukan operasi
rekursif sebagai berikut. Dari persamaan (5.38) kita dapat menulis
3
v
z2
23 / 2
- 129 -
3
v
1 3
z2
3
1 3
1 3 z 2 z 4
23 / 2 v 23 / 2
v 23 / 2 v 23 / 2 23 / 2 v 23
1 3
3 / 2
v 2 v
(5.30)
ni
ze i
1 ze i
(5.31)
ni
3
ze i
ze i e i / kT
1 0
v
(5.32)
1 3
1 6 1
1 3
3 v 25 / 2 v 2 v 25 / 2 v 2
- 130 -
atau
Pv
1 3
1 5/ 2
kT
2
v
(5.33)
Suku kedua di sebelah kanan sangat kecil sehingga praktis Pv/kT 1 yang
merupakan persamaan keadaan gas ideal klasik.
3
v
4
3
ln z 3 / 2
atau
3 3
ln z
4
v
2/3
(5.34)
Mengingat z e maka
3 3
4v
Tetapi 2
mkT
2/3
(5.35)
1/ 2
3
kT 4v
sehingga
2/3
3
4v
2
2/3
2
mkT
atau
2 3
m 4v
2/3
(5.36)
- 131 -
ni
1
1
z 1e i 1 e ( i ) 1
(5.37)
3 GM 2
5 R
(5.38)
NkT
V
(5.39)
M kT M kT kT
m V
V m
m
(5.40)
r
R
- 133 -
dP
g (r )
dr
(5.41)
dengan g(r) adalah percepatan gravitasi pada jarak r dari pusat bintang. Percepatan
tersebut dapat dihitung dengan hukum Gauss sebagai berikut
r
g
(
r
)
d
A
dM
S (r )
(5.42)
dengan S(r) adalah permukaan Gauss yang berbentuk permukaan bola yang
berjari-jari r (lihat Gambar 5.2). Kita sudah asumsikan bahwa massa bintang
tersebar secara homogen sehingga integral di atas menghasilkan
4
g (r )(4r 2 ) 4G r 3
3
atau
4
g (r ) Gr
3
(5.43)
dP
4
G 2r
dr
3
atau
4
P G 2r 2 C
6
(5.44)
Kita ambil syarat batas bahwa tekanan gas di permukaan bintang (r = R) adalah nol
sehingga diperoleh C = -(4/6)G2R2. Akhirnya, tekanan gas pada berbagai posisi di
dalam bintang memenuhi
- 134 -
4
P(r ) G 2 R 2 r 2
6
(5.45)
(5.46)
kT
m
1 GM
2 R
atau
kT
1 GMm
2 R
(5.47)
Dari persamaan ini maka kita peroleh jari-jari setimbang bintang kira-kira
memenuhi
1 GMm
2 kT
(5.48)
1
1
E (T ) NkT GMNm / R GM 2 / R U
2
2
(5.49)
Tampak bahwa energi termal semua atom penyusun bintang kira-kira sama dengan
energi potensial gravitasi.
Pr
2 (kT ) 4
(5.50)
45 (c)3
Samakan tekanan ini dengan tekanan di pusat bintang (persamaan (5.46)) maka
diperoleh
2 (kT ) 4
45 (c)3
1 GM
2
R
45 GM (c) 2
2 2 (kT ) 4
(5.51)
N He
6 10 27
1
3
1037 atom/m .
6
Satu atom helium menyumbang dua elektron. Dengan demikian, kerapatan electron
adalah
1
3
n 2 N He 1037 electron/m
3
2 3
F
m 4v
3/ 2
2 3n
m 4
3/ 2
20 MeV
Tampak bahwa energi fermi jauh lebih besar daripada energi termal (F >>
kT). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam bintang katai putih, electron
menempati tingkat-tingkat energi paling dasar, jauh di bawah energi fermi. Keadaan
ini sangat mirip dengan assembli electron yang berada pada suhu mendekati nol.
Jadi meskipun suhu bintang katai putih sangat tinggi, tetapi kerapatan yang luar
- 137 -
biasa tinggi menyebabkan energi fermi sangat besar. Energi yang dimiliki electron
sangat jauh di bawah energi fermi. Dari sifat ini kita dapat lakukan idealisasi
sebagai berikut
a)
Bintang katai putih adalah assembli N elektron pada keadaan dasar dengan
kerapatan sangat tinggi sehingga dinamika electron harus dijelaskan secara
relativistic.
b)
Elektron bergerak dalam background N/2 buah inti helium yang melakukan
gaya gravitasi sehingga seluruh system menyatu membentuk bintang.
Teori Sederhana
Mari kita membahas fenomena bintang katai putih dengan teori yang
sederhana. Karena massa elektron sangat kecil dibandingkan dengan massa proton
atau netron maka energi kinetik dalam bintang yang menghasilkan tekanan
didominasi oleh energi yang dimiliki elektron. Karena suhu bintang sangat tinggi
maka laju elektron sangat besar sehingga energi kinetik harus dinyatakan dalam
formula relativistik, yaitu
K m02c 4 p 2c 2
1/ 2
m0c 2
(5.52)
3N
p h
8V
(5.53)
Dengan momentum sebesar ini maka energi kinetik elektron jauh melebihi energi
diam (m0c2). Dengan demikian kita dapat melakukan aproksimasi
1/ 3
1
3 N
K pc (hc)
2
V
(5.54)
- 138 -
Ktot
3
3
3 N
Ne K ( Ne hc)
4
8
V
(5.55)
Jika digabung dengan energi potensial gravitasi maka diperoleh energi total bintang
sebagai
Etot Ktot U
1/ 3
3
3 Ne
( Ne hc)
8
V
3 GM 2
5 R
(5.56)
3
3 xN
Etot ( xNhc )
8
V
2 2
3 GN m p
5 R
(5.57)
3 xNhc 9
Etot
xN
2
8 R 4
2 2
3 GN m p
5 R
(5.58)
5
8
3
3
9
atau
3x 2 5 hc
Ncr
2m3p 8 G
3/ 2
(5.59)
Sebagai contoh, saat bintang kehabisan hidrogen, nukleon yang ada pada
bintang hanya inti helium. Jumlah proton persis sama dengan setengah jumlah
nukleon. Dengan demikian jumlah elektron persis sama dengan setengah jumlah
nukleon, atau x = 1/2. Dengan menggunakan mp = 1,67 10-27 kg, h = 6,625 10-34
dan c = 3 108 maka perkiraan jumlah kritis nukleon agar bintang stabil adalah Ncr
2 1057 nukleon. Dengan demikian, massa kritis bintang agar tidak terus
mengkerut adalah Mcr = Ncrmp 3,4 1030 kg. Massa matahari adalah 2 1030 kg.
Dengan demikian massa kritis bitang sekitar 1,7 kali massa matahari. Perhitungan
lebih seksama oleh Changrasekhar menghasilkan massa kritis 1,4 kali massa
matahari. Nilai ini disebut limit Chadrasekhar.
- 140 -
p (me c 2 ) 2 ( pc) 2
(5.60)
- 141 -
E 2 f ( p) p
p 0
pF
2 f ( p) p 2
p 0
f ( p)
p pF
(5.61)
Faktor 2 dimasukkan karena tiap tingkat energi ditempati oleh dua electron dengan
arah spin berlawanan. Karena pada suhu mendekati nol fungsi distribusi
Fermi-Dirac memenuhi
1
f ( p)
0
p pF
(5.62)
p pF
E 2 p
(5.63)
p 0
pF
pP
p 0
(...) (...)
V
(4p 2 dp)
h3
pP
(me c 2 ) 2 ( pc) 2 p 2 dp
(5.64)
Untuk menyelesaikan integral (5.64) kita ganti vasiabel berikut ini pc/mec2
= x. Dengan penggantian variabel tersebut kita dapatkan p = mecx, dp = mecdx, dan
pF = mecxF,. Dengan permisalan di atas maka persamaan (5.64) menjadi
8V
E 3
h
8V
h3
pP
m c
e
xF
m c
p 2
p dp
1
me c
1 x 2 me cx me cdx
2
F
8V
3 me4c5 x 2 1 x 2 dx
h
0
(5.64)
me c x 1 x 2 dx
N
h3
0
x
8vme4 c 5
vme4 c 5
f
(
x
)
f ( xF )
F
h3
23
dengan
- 143 -
(5.65)
xF
f ( xF ) x 2 1 x 2 dx
(5.74)
Sekarang kita eksplorasi dua kasus ekstrim yaitu untuk xF <<1 dan xF >>
1.
a) Jika xF <<1 maka pada semua daerah integrasi kita dapat melakukan aproksimasi
1
1 x 2 1 x 2 ...
2
x
F
P
1
1
1
1
0
0
1
3
(5.75)
xF
xF
f ( xF ) x 2 1 x 2 dx x 2 1 x 2 dx x 2 1 x 2 dx
di mana adalah bilangan yang cukup besar dibanding dengan satu tetapi jauh
lebih kecil dari xF (1 << < xF). Dengan sifat tersebut kita dapat mengaproksimasi
1 2 (1 1/ 2 )1 / 2 (1 1/ 2 2 ) + 1/2. Karena pada integral di ruas
kanan semua x > maka untuk semua x kita dapat mengaproksimasi suku yang
mengandung akar dengan x + 1/2x. Dengan demikian integral dapat diaprokasimasi
menjadi
f ( xF ) x
0
xF
1 x dx x 2 x 1 / 2 x dx
2
- 144 -
1 x dx
2
xF
x / 2 dx x
1 F
1
1 x dx x 4 x 2
4
4
2
1 1
1
1
x 2 1 x 2 dx xF4 xF2 4 2
4 4
4
4
0
(5.75)
M Nme
N
N
mHe Nme (2m p 2mn )
2
2
(5.78)
(5.79)
4 3
R
3
atau
1/ 3
3V
R
(5.80)
3
V
4R 3 / 3 8 m p R
v
N M / 2m p
3 M
(5.81)
- 145 -
3 2
xF
me c v
1/ 3
9 M
me cR 8 m p
1/ 3
M 1/ 3
R
(5.82)
dengan
M
9 M
8 mp
(5.83)
R
/ me c
(5.84)
Perlu diketahui bahwa /mec adalah panjang gelombang Compton. Jadi R adalah
jari-jari bintang dalam satuan panjang gelombang Compton.
Dari energi assembli kita dapat menghitung tekanan yang dilakukan oleh
gas fermi sebagai berikut
Pfermi
Eo
me4c5 Nv
f ( xF )
2 2
V
V
me4 c 5
vf ( xF )
2 2 v
me4 c 5
2 2
me4 c 5
f ( xF ) xF
f ( xF ) v
2 2
xF v
f ( xF )
f ( xF ) v v
- 146 -
(5.85)
1/ 3
3 2
xF
me c v
xF
1
3 2
v
3 me c
3 2
me c
1/ 3
1/ 3
v 4 / 3
v 1/ 3
1
3 2
3v me c
1/ 3
v 1/ 3
xF
3v
Jadi
Pfermi
me4c5
2 2
xF
2
2
f ( xF ) vxF 1 xF 3v
me4 c 5 1 3
xF 1 xF2 f ( xF )
2 2
3
(5.86)
Pfermi
me4c5
2 2
1 3 1 2
3 2
1 3
3 xF 1 2 xF ... 3 xF 1 10 xF ...
me4 c 5 1 5 1 5
me4 c 5 5
x
xF
F
F
10 15 2 2
2 2 6
4 M 5/3
K
5
R5
(5.87)
Tekanan Relativistik
Untuk kasus relativistik di mana xF >>1 xF 1 kita gunakan
persamaan (5.76) dan diperoleh
- 147 -
f(xF) pada
Pfermi
me4c5
2 2
1 3
1 1 4
1
xF xF 1 2 xF 1 2 ...
xF 4 x F
me4 c 5
2 2
1 4
1 4 1 2
1
xF 1 2 ... xF xF ...
4
4
3 2 xF
me4 c 5
2 2
1 4 1 2
12 x F 12 xF
me4 c 5
xF4 xF2
12 2 2
M 4/3 M 2/3
K 4
R 2
R
(5.88)
dengan
K
me c 2 me c
12 2
(5.89)
Kondisi Keseimbangan
Kita akan mencari kondisii kesetimbang sebagai berikut. Kondisi
setimbang terjadi jika gaya dari arah dalam yang berasal dari tekanan fermion sama
dengan gaya dari arah luar akibat gravitasi. Kita lakukan proses berikut ini.
Misalkan tidak ada interaksi gravitasi. Kerapatan materi bintang akan
homogen dan materi bintang akan tersebar dalam ruang yang tak berhingga.
Gravitasilah yang memyebabkan kerapatan materi makin besar ketika menuju ke
pusat bintang. Gravitasilah yang menyebabkan bintang memiliki batas terluar, yaitu
tidak tersebar dalam ruang tak berhingga. Apabila gravitasi tidak ada maka agar
bintang memiliki batas terluar yang jelas diperlukan dinding pembatas untuk
menahan materi. Kerja yang diperlukan untuk mengkompresi materi bintang ke
bentuk yang memiliki massa dan jari-jari tertentu sehingga memiliki tekanan Po
adalah
- 148 -
W F dr
R
( Po 4r 2 )dr
(5.90)
Fdinding
dW
d
Po (4r 2 )dr
dR dR
4Po R 2
(5.91)
Fself
dU
3 M2
G 2
dR
5 R
(5.92)
atau
- 149 -
Po
3
M2
G 4
20 R
4
3 8m p mec M 2
20 9 h R 4
K'
M2
R4
K'
3 8m p
G
20 9
(5.93)
dengan
2
mec
(5.94)
K'
M 4/3 M 2/3
M2
4
K
R4
R 2
R
R M 3 / 2 1 (M / M o ) 2 / 3
(5.95)
dengan
M o K / K '
3/ 2
135
192
3/ 2
Gm2
p
3/ 2
(5.96)
Gambar 5.4 adalah plot jari-jari bintang karai putih sebagai fungsi massa menurut
- 150 -
persamaan (5.95). Dengan memasukkan nilai konstanta yang sudah baku maka
diperoleh M 0 7.3 1057 . Atau dalam satuan kilogram diperoleh M o
8m p
9
Mo
3,43 1030 kg. Karena massa matahari adalah 2 1030 kg maka M0 1,7 massa
matahari.
0.3
0.25
0.2
0.15
0.1
0.05
0
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.2
M / M0
Gambar 5.3 Plot jari-jari bintang karai putih sebagai fungsi
massa yang dihitung menggunaan persamaan (5.95). satuan
jari-jari masih sembarang.
Dari persamaan (5.95) tampak bahwa tidak ada solusi jika M M o . Hasil
ini mengindikasikan bahwa tidak mungkin bintang katai putih memiliki massa lebih
besar daripada massa matahari. Ada batas terbesar massa bintang agar menjadi katai
putih.
- 151 -
Teori yang lebih teliti yang dibangun para ahli memberikan kurva yang
berbeda dengan kurva pada Gambar 5.3. Sebagai contoh ditunjukkan bahwa
jari-jari bintang katai putih adalah fungsi monoton turun terhadap massa bintang
dan mencapai nilai kritis ketika massa bintang sekitar limit Chandrasekhar.
Gambar 5.4 adalah kurva teoretik dan sejumlah data eksperimen tentang bintang
katai putih.
- 152 -
M
B
(5.97)
M e
M
e
Ei
Ei
M e
M iVB
M iVB
V B e
i
M iVB
M iVB
e M iVB
1 B
i
V e M iVB
i
kT
1
ln Z N
ln e M iVB
V B
V B i
- 153 -
(5.98)
Suatu assembli disebut diamagnet jika < 0 dan paramagnetik jika > 0. Tabel 5.1
adalah susseptibilitas sejumlah bahan diamagnetik.
Tabel 5.1 Susseptibilitas sejumlah bahan diamagnetik (dari berbagai
sumber)
Susseptibilitas (m3/kg)
Bahan
Bismuth
-1,66 10-5
Tembaga
-9,8 10-6
Intan
-2,2 10-5
Emas
-3,6 10-5
Timbal
-1,7 10-5
Air raksa
-2,9 10-5
Nitrogen
-5,0 10-9
Perak
-2,6 10-5
Silikon
-4,2 10-6
elektron yang berada dalam ruang bervolum V. Ruang di sini bisa saja berupa
potongan logam. Jadi tidak harus assembli yang isinya hanya gas elektron bebas. Di
dalam ruang tersebut diterapkan medan magnetik luar B . Menurut teori kuantum
klasik, terkuantisasi orbit partikel memenuhi persaman
p dr ( j 1/ 2)h
(5.99)
(5.100)
dengan A adalah vektor potensial. Sudah kita pelajari di kuliah listrik magnet atau
B A
(5.101)
Jika tidak ada gerakan elektron sejajar medan magnet maka bentuk orbit
electron berupa lingkaran dengan jari-jari a. Gaya yang dialami elektron adalah
gaya Lorentz yang arahnya tegak lurus kecepatan (menuju ke pusat lingkaran).
Gaya ini kita kenal dengan gaya sentripetal. Gaya tersebut tidak mengubah laju
elektron tetapi hanya mengubah arah sehingga berbentuk lingkaran. Laju elektron
selalu konstan dan memenuhi,
2
mv
a
ev B
c
- 155 -
atau
eaB
v
mc
(5.102)
e
p mv A
c
(5.103)
mv c A dr ( j 1 / 2)h
e
m
v
dr c A dr ( j 1/ 2)h
(juga menyinggung lingkaran) maka v dan dr selalu sejajar. Oleh karena itu
suku pertama di ruas kiri persamaan di atas menjadi
mv dr m v dr m v (2a)
Integral kedua di ruas kiri diselesaikan dengan menggnakan hukum Stokes berikut
ini
- 156 -
2
A
d
r
A
)
d
S
dS B(a )
e
m v (2a) B(a 2 ) ( j 1/ 2)h
c
e
eaB
2
m
(2a) B(a ) ( j 1/ 2)h
c
mc
e
B(a 2 ) ( j 1/ 2)h
c
atau
a2
c
( j 1/ 2)h
eB
(5.104)
1 2 1 eaB
1 eB 2
m v m
m
a
2
2 mc
2 mc
- 157 -
1 eB c
m
( j 1 / 2)h
2 mc eB
1 eB
eB
( j 1/ 2)h
( j 1/ 2)
2 mc
mc
(5.105)
Namun, jika elektron memiliki juga komponen kecepatan yang sejajar medan
magnetik maka komponen kecepatan yang sejajar medan tidak terkuantisasi. Energi
kinetik total electron sama dengan jumlah energi terkuantisasi dalam arah x dan y
(dalam bidang tegak lurus medan) serta energi kinetik dalam arah z (bersifat
kontinu), yaitu
( pz , j)
p2
eB
( j 1/ 2) z
mc
2m
(5.106)
1
p x2 p y2
2m
kinetik pada persamaan (5.106). Dengan adanya medan magnet maka gerak bebas
(gerak yang bersifat kontinu) dalam bidang x dan y menjadi terkuantisasi dengan
energi
eB
( j 1 / 2) . Dalam medan magnet, elektron tidak bisa lagi memiliki
mc
- 158 -
R 2j
2m
eB
( j 1 / 2)
mc
atau
R 2j
2eB
( j 1/ 2)
c
(5.107)
py
Rj
px
Perhatikan Gambar 5.6. Luas daerah antara dua lintasan berurutan, yaitu
lintasan ke-j dan dan ke-j+1 adalah
A R 2j 1 R 2j
- 159 -
2eB
2eB
([ j 1] 1 / 2)
( j 1 / 2)
c
c
2eB
c
(5.108)
Tampak dari persamaan (5.108) bahwa luas daerah antara dua orbit berdekatan
selalu konstan, tidak bergantung pada bilangan kuantum j. Ini berimplikasi bahwa
makin ke arah luar maka lingkaran orbital makin rapat untuk menjamin luas daerah
antar lingkaran tetap sama.
Saat medan magnet tidak ada, keadaan-keadaan dalam ruang fase tersebar
secara merata dalam bidang px dan py. Namun, ketika medan magnet diberikan,
keadaan-keadaan dari daerah seluas A sesuai dengan persamaan (5.108) terkumpul
pada lintasan kuantisasi saja. Jadi, penerapan medan magnet menyebabkan keadaan
yang tersebar dalam daerah seluas A ditempelkan ke lintasan kuantisasi. Berapa
degenerasi keadaan tersebut?
Misalkan kita memiliki sebuah silinder berongga dengan panjang pz. Sisi
dalam silinder dibatasi oleh orbital dengan bilangan kuantum j dan sisi luarnya
dibatasi oleh orbital dengan bilangan kuantum j+1. Menurut persamaan (5.108) luas
alas silinder adalah A = 2eB/c. Volum silinder dalam ruang momentum adalah
V p Ap z
2eB
p z
c
(5.109)
Volum silinder dalam ruang fasa tiga dimensi adalah perkalian antara volume dalam
ruang momentum dengan volume spasial yaitu
p VV p
2eBV
p z
c
(5.110)
Volum terkecil ruang fasa tiga dimensi adalah h3. Jumlah keadaan di dalam silinder
- 160 -
di atas adalah
p
h
2eBV
p z
ch 3
(5.111)
G 2eBVpz / ch 3
G'
V 1 / 3pz / h
2eBV 2 / 3
ch 2
(5.112)
Tiap titik dalam ruang fasa mewakili satu keadaan dan semua keadaan
tersebut memiliki energi yang sama. Ini berarti, keberadaan medan magnetik
menyebabkan degenerasi g keadaan energi. Dengan adanya degenerasi tersebut,
energi elektron dapat ditulis dalam bentuk umum
( p z , j , )
p2
eB
( j 1/ 2) z
mc
2m
- 161 -
(5.113)
atau
ln Z G ln (1 ze ) ln(1 ze )
ln 1 ze
j 0
[ p z , j , ]
(5.114)
px
ln Z G g
j 0
ln 1 ze
[ pz , j ]
(5.115)
px
(...) (...)
pz
V 1/ 3
dp z . Dengan demikian persamaan (5.115) menjadi
h
ln Z G
gV 1/ 3
h
ln 1 ze
[ pz , j ]
dp
j 0
(5.116)
Dari persamaan (5.116) kita dapat mencari jumlah rata-rata elektron dalam assembli
- 162 -
sebagai berikut
Nz
gV 1/ 3
ln Z G
z
h
z
j 0
1
1 [ p z , j ]
(5.117)
dp z
Sekarang kita akan mengecek apa persyaratan yang harus dipenuhi oleh z.
Pada suhu yang sangat tinggi, yaitu T maka e- = e/kT 1. Dengan demikian
gV 1 / 3
h
z
j 0
1
dp z
1
(5.118)
Agar hasil penjumlahan (5.118) tidak tak berhingga (karena N harus berhingga)
maka haruslah z 1 jauh lebih besar daripada satu. Ini berarti nilai z harus jauh
lebih kecil daripada satu. Karena nilai z jauh lebih kecil daripada satu maka kita
dapat mengaproksimasi
ln 1 ze [ pz , j ] ze [ pz , j ]
Dengan demikian kembali ke persamaan (5.116) yang dapat diapkroksimasi sebagai
ln Z G
gV 1/ 3
h
zgV 1/ 3
h
ze
[ pz , j ]
j 0
p z2
j 0
dp z
eB
exp 2m mc ( j 1/ 2) dp
p z2
eB
zgV 1/ 3
exp
dp
( j 1/ 2)
z exp
h 2m
j 0
mc
zgV 1/ 3
h
m
eB
eB
exp
exp j
2mc j 0
mc
- 163 -
zgV 1 / 3
h
m
eB
exp
2mc
zgV 1 / 3
h
zgV 1/ 3
h
m
1
exp x exp x
1
eB
1 exp
mc
1
eB
eB
exp
exp
2mc
2mc
(5.119)
dengan
x
eB
(5.120)
2mc
ex 1 x
x 2 x3
2
6
ex 1 x
x 2 x3
2 6
x 2 x3
x 2 x3
e x e x 1 x 1 x
2
6
2
6
2x
x2
x3
2 x1
3
6
ln Z G
zgV 1/ 3
h
m
1
2x 1 x 2 / 6
- 164 -
m 1 x 2 / 6
2x
zgV 1/ 3
h
z (V 2 / 3eB / 2c)V 1 / 3
h
m 1 x 2 / 6
2x
1
zeB m 1 x 2 / 6
ln Z G 2
V
2x
ch
2
2
z 2m 1 2m 1 e B
2
1
2 2 h ( ) h ( ) 6 2mc kT
z
2 23
1 e 2 B 2
1
6 2mc kT
(5.121)
M
2 1
kT 2 ln Z G
B
B V
z
e
3
6 2 kT 2mc
(5.122)
- 165 -
Eo B MVB
(5.123)
1 Eo
V B
M
1 2 Eo
B
V B 2
(5.124)
eB
( j 1/ 2)
mc
(5.125)
Dari persamaan di atas maka tingkat energi terendah yang dimiliki elektron adalah
0 = eB/2mc.
Karena hanya berada dalam bidang x dan y maka tiap tingkat energi
- 166 -
memiliki degenerasi
V 2 / 3 eB L2 eB
2 c 2 c
(5.126)
dengan asumsi bahwa assembli berbentuk kubus dengan sisi L sehingga V = L3.
Karena suhu assembli adalah nol mutlak maka energi assembli E0 sama
dengan jumlah i pada semua N keadaan terendah. Karena degenerasi g bergantung
pada medan magnet B maka tingkat energi tertinggi yang ditempati elektron juga
akan bergantung pada B.
a)
Jika g N maka semua elektron hanya menempati satu tingkat energi terendah.
Tidak ada elektron yang menempati tingkat energi kedua, ketiga, dan
seterusnya. Dalam kondisi ini, energi total yang dimiliki elektron hanyalah
Eo N
b)
1 eB
2 mc
(5.127)
perhatikan ilustrasi tingkat-tingkat energi pada Gambar 5.7. Setiap tingkat energi
menampung g elektron. Tingkat energi dengan j = 0 berisi penuh g elektron.
Misalkan sampai tingkat energi ke-j telah penuh ditempati elektron. Berarti ada
sebanyak (j+1) buah tingkat energi yang masing-masing berisi g elektron (dari
indeks 0 sampai indeks j). Jumlah elektron tersebut yang menempati tingkat energi
penuh tersebut adalah (j+1)g.
Sisa elektron sebanyak N (j+1)g akan mengisi tingkat energi ke-(j+1)
dan tidak penuh, yaitu jumlahnya kurang dari g. Dengan demikian N > (j+1)g. Jika
sampai tingkat energi ke (j+1) terisi penuh maka jumlah elektron harusnya (j+2)g.
- 167 -
Tetapi karena tingkat energi ini tidak penuh maka jumlah elektron kurang dari itu,
atau N < (j+2)g. Dengan demikian kita dapatkan ketidaksamaan
( j 1) g N ( j 2) g
Kosong
j+2
Terisi
sebagian
j+1
j
Terisi
penuh
j=1
j=0
( j 1)
2 c
2 c
2 c
( j 1) N 2
( j 2)
L eB
- 168 -
1
B
1
2
j 1 2cN / eL
j2
1
B
1
j 1 Bo j 2
(5.129)
2cN
eL2
(5.130)
dengan
Bo
Dengan mengingat sampai tingkat energi ke-j telah penuh berisi elektron
dan energi ke-(j+1) hanya tersisi sebagian maka energi keadaan dasar yang dimiliki
assembli dengan kehadiran medan magnet menjadi
j
Eo g i N g ( j 1) j 1
i 0
g
i 0
eB
eB
(i 1 / 2) N g ( j 1)
( j 3 / 2)
mc
mc
eB 1
1
g j ( j 1) ( j 1) N ( j 1) g ( j 3 / 2)
mc 2
2
NBo
e B
1
B
( j 3 / 2) ( j 1)( j 2)
mc Bo
2
Bo
(5.131)
Akhirnya kita dapatkan ungkapan umum energi keadaan dasar pada berbagai medan
- 169 -
magnetik, yaitu
Eo
eBo
N
mc
e
Bo x
, x 1
2mc
1
1
1
x ( j 3 / 2) ( j 1)( j 2) x ,
x
2
j
2
j
1
(5.132)
dengan x = B/B0.
Magnetisasi dan suseptibilitas menjadi
1 e
, x 1
v 2mc
M 1 e
2( j 1)( j 2) x (2 j 3) , 1 x 1
v
mc
j2
j 1
, x 1
1 e ( j 1)( j 2) , 1 x 1
vBo mc
(5.133)
j2
(5.134)
j 1
- 170 -
M/(e/vmc)
1
-1
/(e/vBomc)
12
2
1/4 1/3 1/2
- 171 -
M (1012 J/T)
T = 2,2 K
2
1
0
-1
0
10
15
(5.135)
(5.136)
e
2mc
(5.137)
- 172 -
dan adalah matriks Pauli (operator spin).
Feromagnetisme muncul dari suku kedua dalam hamiltonian. Kita fokuskan
perhatian pada efek yang dihasilkan bagian tersebut. Hamiltonian kita sederhanakan
menjadi
p2 p2
B
B
2m
2m
(5.138)
Fungsi eigen dari B adalah sB dengan s = 1. Dengan demikian tingkat
energi elektron tunggal yang merupakan solusi eigen hamiltonian di atas adalah
( p, s )
p2
sB
2m
(5.139)
p, s
( p, s )
p2
n
s p, s 2m sB
p2
p2
n p , 1
B n p , 1
B
p
2m
p
2m
(5.140)
di mana np,s adalah jumlah fermion yang memiliki momentum p dan spin s. Karena
memenuhi prinsip ekslusi Pauli maka harga yang boleh dimiliki oleh np,s adalah 0 atau 1
dan
n
p
p,s
- 173 -
n p , 1 np
n p , 1 np
p , 1
p , 1
N N N
n
p
E np np
p
2pm B( N
2
N)
(5.141)
ZN
p2
exp np np
B( N N )
2m
n p n p p
(5.142)
n
p
N dan
N N
- 174 -
ZN
exp B( N
N
N 0
p2
p
N ) exp np
exp n p
2m n p
2m
n p p
p
2
2
p
p
exp
B
(
2
N
N
)
exp
n
exp
n
p
2m n p p
2m
n p p
N 0
N
(5.143)
Misalkan ZN(0) adalah fungsi partisi N fermion yang tidak memiliki spin di
mana massa tiap sistem adalah m. Kita dapat menulis
Z N (0)
p2
exp
n
p p 2m exp F ( N )
np N
(5.144)
di mana F(N) adalah ebergi bebas Helmholtz assembli yang memiliki N sistem (lihat
persamaan (2.15)). Dengan demikian fungsi partisi akibat kehadiran medan dapat ditulis
atau
N
1
1
ln Z N B ln exp 2BN F ( N ) F ( N N )
N
N N 0
(5.145)
1
1
ln Z N B ln exp 2BN F ( N ) F ( N N )
N
N
- 175 -
2BN F ( N ) F ( N N )
N
(5.146)
2BN F ( N ) F ( N N )
0
N
N
2B
F ( N )
F ( N N )
N
N
2B
F ( N ) F ( N N )
0
N
( N N )
atau
F ( N ) F ( N N )
2B
N
( N N )
(5.148)
- 176 -
down sama besar, yaitu sama dengan energi fermi. Setelah dikenakan medan magnet,
energi elektron yang memiliki spin up menjadi F ( N ) dan energi elektron yang
memiliki spin down menjadi F ( N N ) . Karena selisih energi elektron yang
memiliki spin up dan down adalah 2B maka kita dapatkan
F ( N ) F ( N N ) 2B
(5.149)
Jika kita bandingkan persamaan (5.148) dan (5.149) maka kita simpulkan bahwa
F (N )
F ( N )
N
(5.150)
Secara umum energi fermi bergantung pada suhu. Pada suhu 0 K, energi fermi
N sistem adalah
3 2 N 2 / 3 2
V
2m
F ( N ,0)
(5.151)
Pada suhu T yang memenuhi kT << F(N), bentuk aproksimasi untuk energy Fermi
adalah (lihat Mikrajuddin, Fisika Statistik, CV Rezeki Putra (2009))
F ( N , T ) F ( N ,0) 1
kT
12 F ( N ,0)
(5.152)
Berdasarkan persamaan (5.151) dan (5.152) kita dapat menulis kebergantungan energi
fermi pada jumlah sistem sebagai berikut
F ( N ,0) N 2 / 3
(5.153a)
F ( N , T ) N 2 / 3 1
(T )
N 4/3
(5.153b)
- 177 -
dengan =322/2mV dan (T) = 2k2T2/122. Persamaan (5.149) dan (5.153) akan kita
gunakan untuk menentukan suseptibilitas magnetik bahan. Suseptibilitas ini ditentukan
oleh elektron yang berada di sekitar tingkat energi fermi.
( N )2 / 3 ( N N )2 / 3 2B
N 2 / 3 N
1
N
N
N 2 / 3
N
N
F ( N ,0)
2/3
2/3
N
1
N
2B
2/3
2B
(5.154)
- 178 -
1 1 r
N N 1 1 1 2N
1
N N 2 2 2 N
2
2
1 r
N 1 N 1 1 1 2N
1
N
2 N 2 2 2 N
2
(5.155a)
(5.155b)
1 r 2 / 3 1 r 2 / 3
2B
2
2
F ( N ,0)
F ( N ,0)
2
3/ 2
1 r
2/3
1 r
1 r 2 / 3 1 r 2 / 3
2/3
2B
25 / 2 B
F ( N ,0)
(5.156)
Pada kondisi medan magnet cukup kecil sehingga B/F(N,0) << 1 maka suku
di ruas kanan persamaan (5.156) menuju nol. Suku di ruas kanan nol hanya terjadi jika
pada suku di ruas kiri terpenuhi r 0. Dengan kondisi r 0 maka kita dapat
melakukan pendekatan binomial pada suku di ruas kiri dan persamaan (5.156) menjadi
5/ 2
2 2 2 B
1 r 1 r
3 3 F ( N ,0)
4
25 / 2 B
r
3
F ( N ,0)
atau
3 2B
F ( N ,0)
(5.157)
- 179 -
Momen magnetik total ditentukan oleh selisih elektron yang memiliki spin up
dan spin down. Dengan mengacu para persamaan (5.155) jelas bahwa selisih tersebut
bergantung pada parameter r. Dengan mudah dapat kita hitung bahwa jumlah spin up
adalah
2N
N N N N 2 N N N
1 Nr
N
(5.158)
tot N Nr
3 2 N 2 B
F ( N ,0)
(5.159)
tot
V
3 2 N 2 B
3 2 2 B
3 2 2 B
(5.160)
di mana v = V/N, yaitu volum per sistem. Akhirnya, dari magnetisasi total kita dengan
mudah menghitung suseptibilitas magnetik sebagai berikut
M
3 2 2
B F ( N ,0)v
(5.161)
Tampak dari persamaan (5.160) bahwa susseptibilitas memiliki tanda positif. Ini
menunjukkan bahwa assebmli bersifat paramagnetik.
- 180 -
daripada suhu Fermi. Pada suhu tersebut, energi fermi dapat didekati dengan persamaan
(5.153b). Dengan demikian, hubungan pada persamaan (5.149) dapat ditulis menjadi
2 / 3
2 / 3
(T )
N 1 4 / 3 N N 1
2/3
3/ 2
1 r
N 2 / 3
(T )
N N
(T ) / N 4 / 3
1
N 2 / 3 1 N
4
/
3
N
N /N
2/3
4/3
2/3
(T ) / N 4 / 3
1 r
1
N 2 / 3
4/3
2
(1 r ) / 2
2B
4/3
1 (T ) / N 4 / 3 2B
1 N / N
2/3
(T ) / N 4 / 3
1
2B
4/3
(1 r ) / 2
4/3
4/3
4/3
4/3
5/ 2
1 r 2 / 3 1 2 (T ) /4 /N3 1 r 2 / 3 1 2 (T ) /4 /N3 2 B
1 r
1 r
F ( N ,0)
1 r 2 / 3 1 r 2 / 3 2
(T )
4/3
N 4/3
25 / 2 B
1
1
2/3
1 r 2 / 3 F ( N ,0)
1 r
(5.162)
1 r 1 r
N 4 / 3 3 3 F ( N ,0)
3 3
4
24 / 3 (T ) 4 25 / 2 B
r
r
3
N 4 / 3 3 F ( N ,0)
4 24 / 3 (T ) 25 / 2 B
r 1
3
N 4 / 3 F ( N ,0)
- 181 -
3 2B 24 / 3 (T )
1
F ( N ,0)
N 4 / 3
(5.163)
3 2B 24 / 3 2 k 2T 2
3 2B 24 / 3 2 k 2T 2
1
F ( N ,0) 12 F2 ( N ,0)
F ( N ,0) 12 F2 ( N ,0)
(5.164)
Dari persamaan (5.154) kita dapatkan selisih antara jumlah spin up dan down sebagai
berikut
N Nr
3 2 NB 24 / 3 2 k 2T 2
1
F ( N ,0) 12 F2 ( N ,0)
(5.165)
N 3 2 N 2 B 24 / 3 2 k 2T 2
1
V
F ( N ,0)V 12 F2 ( N ,0)
3 2 2 B 24 / 3 2 k 2T 2
1
F ( N ,0)v 12 F2 ( N ,0)
(5.166)
M
3 2 2 24 / 3 2 k 2T 2
1
B F ( N ,0)v 12 F2 ( N ,0)
(5.167)
Di sini juga tampak bahwa suseptibilitas bernilai positif yang mengindikasikan sifat
paramagtetisme. Juga tampak pada persamaan (5.167) bahwa susssptibilitas makin
kecil dengan naiknya suhu. Ini adalah gejala yang umum ditemukan pada semua bahan
- 182 -
3
v
3 N
V
Dengan demikian
e F ( N , 0) / kT
3 N
V
atau
3 N
F ( N ,0) kT ln
(5.168)
3 N
V
F ( N ,0) kT ln
3 ( N / N )
kT ln
V /N
3 (1 r ) / 2
3
kT ln 1 r kT ln
kT ln
v
2v
3
2v
F ( N N ,0) kT ln 1 r kT ln
Dari persamaan (5.169a) dan (5.169b) kita tentukan selisihnya dan diperoleh
- 183 -
(5.169a)
(5.169b)
1 r
1 r
F ( N ,0) F ( N N ,0) kT ln
(5.170)
1 r
kT ln
2B
1 r
1 r
2B
exp
1 r
kT
(5.171)
B
r tanh
kT
(5.172)
Nr
B
tanh
V
v
kT
(5.173)
Karena kita bahas kondisi suhu sangat tinggi maka kT >> B. Pada kondisi tersebut kita
dapat mengaproksimasi tanh(x) x di mana x = B/kT << 1. Akibatnya, magnetisasi
pada persamaan (5.173) dapat diparoksimasi menjadi
2B
v kT vkT
(5.174)
- 184 -
M
2
B vkT
(5.175)
Sekali lagi tampak bahwa susseptibilitas memiliki harga positif yang menunjukkan sifat
paramagnetisme. Juga tampak bahwa susseptibilitas berbanding terbalik dengan suhu.
- 185 -
Bab 6
GAS BOSE IDEAL
Bab ini berisi diskusi tentang gas bose ideal dalam konstruksi grand
kanonik serta sejumlah aplikasinya. Tujuan bab ini adalah mahasiswa memahami
beberapa aplikasi ensembel grand kanonik boson. Tiga contoh yang dibahas adalah
kondensasi bose-einstein, tekanan radiasi, dan sifat termal kristal. Kita akan
melakukan penurunan persamaan lebih detail yang jarang ditemui di buku-buku
yang sudah terbit. Kurang detail penurunan persamaan pada seumlah buku yang ada
menyebabkan materi yang disampaikan sering sulit diikuti.
Agar dapat memahami bab ini secara mudah para mahasiswa diharapkan
telah memahami cukup baik materi tentang grand partisi. Review ulang tentang
materi di kuliah Fisika Statistik dan termodinamika juga sangat membantu dalam
menguasai materi bab ini.
1
1 ze i
(6.1)
- 186 -
Fungsi grand partisi memiliki hubungan langsung dengan perkalian tekanan dan
volum, yaitu
PV
ln Z G ln 1 ze i
kT
i
ln 1 ze i
(6.2)
p2
2m
(...) (...) h
4p 2 dp
(6.3)
Tetapi sebelum mengganti penjumlahan dengan integral, kita pisahkan suku yang
memiliki energi nol (momentum nol) dari suku yang memiliki energi tidak nol
sebagai berikut
PV
ln 1 ze i ln(1 z )
kT
i ( i 0 )
atau
P
1
1
ln 1 ze i ln(1 z )
kT
V i ( i 0 )
V
(6.4)
dengan energi nol pada fermion tidak ada gunanya untuk dipisahkan karena nilainya
mendekati nol. Namun sebaliknya terjadi pada boson. Sebagai contoh, jika z 1
maka ln (1-z) -. Dengan demikian suku ln(1-z)/V (suku kedua pada persamaan
(6.4)) bisa memiliki nilai berhingga meskipun V . Dengan kata lain, suku
dengan energi nol pada boson tidak boleh diabaikan.
Dengan menggunakan (6.3) maka (6.4) menjadi
P
4
3
kT
h
ln 1 zep
/ 2m
dp V1 ln(1 z)
(6.5)
N kT
ln Z G
kT
PV
kT
kT
4V
3
h
ln 1 zep
/ 2m
dp ln(1 z)
z
1 / kT
z
z kT
z kT z
- 188 -
(6.6)
4V
z
N kT
3
kT z
h
ln 1 zep
/ 2m
dp ln(1 z)
2
4Vz
z
p 2 ln 1 ze p / 2 m dp
3
h 0 z
1 z
4Vz
1
z
p 2 / 2 m
p2
dp
e
3
p 2 / 2 m
h 0 1 ze
1 z
4V
3
h
4V
h3
ze p
1 ze
/ 2m
p 2 / 2 m
1 p 2 / 2 m
z e
dp
z
1 z
dp
z
1 z
(6.7)
1 N 4
3
v V
h
ln 1 zep
/ 2m
dp V1 ln(1 z)
1 p 2 / 2 m
z e
dp
1 z
V 1 z
(6.5)
(6.7)
Persamaan (6.5) dan (6.7) merupakan persamaan dasar untuk assembli boson dalam
ensembel grand kanonik. Sama dengan sebelumnya, agar lebih sederhana, kita
definisikan panjang gelombang termal partikel = (22/mkT)1/2. Dari persamaan
(6.5) kita definsikan p2/2m = x2. Dengan demikian, p2 = 2mx2/, p = (2m/)1/2 x,
dan dp = (2m/)1/2 dx. Substitusi ke dalam persamaan (6.5) dipeoleh
- 189 -
4
3
h
P
4
3
kT
h
2mx2
x2
ln 1 ze
0
2m
3/ 2
2m
ln 1 ze x dx
2
4 mkT
2 2
1 4
3/ 2
ln 1 ze x dx
2
ln 1 ze x dx
2
1
ln(1 z )
V
1
ln(1 z )
V
dx
1
ln(1 z )
V
1
ln(1 z )
V
(6.8)
g5 / 2 ( z )
ln 1 ze x dx
2
(6.9)
Dengan menggunakan persamaan (6.9) maka persamaan (6.5) dapat ditulis menjadi
P
1
1
3 g5 / 2 ( z ) ln(1 z )
kT
V
(6.10)
v h3
2mx2
1
2m
1 z
0 z 1e x 2 1 dx V 1 z
4 mkT 2
1
1 z
x 1 x 2
dx
3
V 1 z
2 0 z e 1
- 190 -
1 4
1 x 2
z e 1
dx
1 z
V 1 z
(6.11)
g3 / 2 ( z )
x2
1 x 2
e 1
(6.12)
dx
1 1
1 z
3 g3 / 2 ( z )
v
V 1 z
(6.13)
4
g5 / 2 ( z )
z
1 4
z
2
x
0
x
0
e dx
x2
x2
1 ze
ln 1 ze x dx
z
1
1 x 2
z e 1
x
0
e z
x2
dx
dx
g5 / 2 ( z ) g3 / 2 ( z )
z
(6.14)
Baik g3/2(z) maupun g5/2(z) sulit diselesaikan secara analitik untuk semua z.
Namun kita dapat menguraikan kedua fungsi tersebut dalam bentuk deret. Mari kita
- 191 -
ln(1 y)
dy
(1 y y 2 y 3 ...)dy
1 y
y 2 y3
y
...
2
3
1
ln 1 ze
x2
ze z e
x2
x 2
(6.15)
z 2 x 2
x e dx
1 0
g5 / 2 ( z )
(6.16)
z
5/ 2
1
g5 / 2 ( z )
(6.17)
g3 / 2 ( z ) z
d
z 1
g5 / 2 ( z ) z 5 / 2
dz
1
z
3/ 2
1
(6.18)
- 192 -
Kita akan menggunakan persamaan (6.10), (6.11), (6.17), dan (6.18) untuk
menbahas sifat-sifat boson. Kita akan bahas tiga topik khusus secara detail yaitu
kondensasi bose-einstein, tekanan radiasi, dan sifat termal kristal.
d
d z
z 1 z 1
g3 / 2 ( z ) 3 / 2 3 / 2 1 / 2
dz
dz 1
1
1
(6.19)
Tampak jelas dari persamaan (6.19) bahwa turunan g3/2(z) selalu positif sehingga
g3/2(z) adalah fungsi monoton naik.
Mudah dibuktikan bahwa ruas kiri persamaan (6.13) memiliki nilai
berhingga. Oleh karena itu ruas kanan juga harus memliki nilai berhingga. Ini
berimplikasi bahwa g3/2(z) juga harus berhingga. Dengan melihat bentuk fungsi
g3/2(z) seperti diungkapkan dalam deret (6.18) maka g3/2(z) hanya berhingga untuk
0 z 1.
Karena g3/2(z) adalah fungsi monoton naik maka g3/2(z) g3/2(1) untuk 0
z 1. Dari deret (6.18) kita dapatkan
g3 / 2 (1)
1
3/ 2
3
2
(6.20)
Di mana (x) adalah fungsi zeta Riemann. Nilai fungsi zetta Riemann untuk
beberapa bilangan spesifik sudah ditabulasi. Khusus untuk x = 3/2 nilainya adalah
2,612 Jadi g3/2(1) = 2,612 dan untuk semua 0 z 1 berlaku g3/2(z) 2,612
Misalkan N0 adalah jumlah boson yang menempati keadaan dasar maka
jelas dari persamaan (6.7)
- 193 -
N0
z
1 z
(6.21)
1 1
N
g3 / 2 ( z ) 0
v 3
V
atau
3
V
N0
3
v
g3 / 2 ( z )
(6.22)
3
V
N0
3
v
g3 / 2 (1)
(6.23)
3
v
g3 / 2 (1)
Kondisi ketika boson mulai ada di keadaan dasar kita sebut sebagai keadaan kritis.
Kondisi kritis ini mulai terjadi ketika = c dan ditandai oleh hubungan
3c
v
g3 / 2 (1)
(6.24)
- 194 -
1 2 2
v mkTc
3/ 2
g3 / 2 (1)
di mana Tc disebut suhu kritis atau suhu transisi di mana mulai terjadi penempatan
keadaan dengan momentum nol oleh boson. Dari persaman di atas maka ungkapan
suhu transisi adalah
Tc
2 2
2/3
mkv2 / 3 g3 / 2 (1)
(6.25)
Suhu Tc disebut suhu kondensasi Bose-Einstein. Tampak jelas bahwa suhu transisi
bergantung pada massa partikel boson dan volum rata-rata yang ditempati satu
partikel boson. Makin besar massa partikel boson atau makin besar volume rata-rata
yang ditempati partikel boson maka suhu transisi makin kecil. Dengan memasukkan
sejumlah nilai massa maupun volum rata-rata yang ditempati partikel boson dapat
dihitung suhu transisi memiliki nilai di bawah ratusan nano kelvin.
Kondensasi Bose-Einstein sudah diamati dalam percobaan pada suhu
sangat rendah. Kumpulan atom didinginkan dan ditembakkan dengan cahaya
koheren. Cahaya transmisi dideteksi. Boson yang berada pada keadaan eksitasi dan
keadaan konsensasi meneruskan cahaya dengan sifat yang berbeda. Dengan
mengamati perubahan sifat cahaya transmisi ketika melewati kumpulan boson yang
didinginkan maka dapat diamati terjadinya perubahan populasi boson yang berada
pada keadaan dasar. Gambar 6.1 adalah skema percobaan pengamatan kondensasi
bose-einstein (atas) dan perubahan polupasi boson ketika suhu diturunkan (bawah).
Warna biru menyatakan boson yang berada pada keadaan dasar (boson yang
mengalami kondensasi).
- 195 -
- 197 -
Pada bagian ini kita akan menghitung tekanan yang dihasilkan oleh radiasi.
Kita mulai dari fungsi grand partisi untuk boson pada persamaan (6.1). Ketika kita
menurunkan fungsi distribusi untuk boson (lihat materi Fisika Statistik), parameter
adalah pengali Lagrange yang diperkenalkan untuk menjamin kekonstanan
jumlah sistem (partikel). Namun, untuk foton maupun fonon, jumlah partikel dapat
diciptakan dan dimusnahkan (tidak konstan) sehingga pengali Lagrange untuk
konstrain jumlah partikel tidak diperlukan. Ini setara dengan nilai = 0 atau z = 1.
Jadi, fungsi grand partisi untuk foton atau fonon memenuhi
- 198 -
ZG
j
1 e j
atau
ln ZG 1 e
(6.26)
Lebih lanjut, karena foton memiliki dua arah polarisasi maka penjumlahan terhadap
indeks j meliputi penjumlahan terhadap polarisasi dan penjumlahan terhadap tingkat
energi. Penjumlahan terhadap polarisasi dapat dilakukan langsung dan
menghasilkan dua kali penjumlahan terhadap energi saja. Jadi kita dapat menulis
persamaan (6.26) menjadi
ln ZG 2 ln 1 e k
(6.27)
V T ,
kT ln ZG kT ln ZG
V
V
(6.28)
- 199 -
k n
2
2nV 1 / 3
L
(6.29)
k ck 2cnV 1 / 3
(6.30)
p 2kT
ln 1 e
2 cnV 1 / 3
(6.31)
p 2kT
m e
m ( 2cnV 1 / 3 )
k m 1
1 m( 2cnV 1/ 3 ) 1
e
m 2cnV 4 / 3
m 1 m
2kT
k
1 m k 1
e
3 m k / V
m
m 1
2kT
k
2kT
3V
2kT
3V
k m 1
2kT
3V
e
m
m 1
e k
1 e k
(6.32)
- 200 -
e k
k
1 e k
k h
1
1
4k 2 dk
( / c) 2 d ( / c)
3
2
(2 )
2
1
2 d
2 2c 3
(6.33)
e k
1
e
2
)
1 e k 0 2 2c 3
1 e
2 2c
3d
3
2 2c
2 c
2
e
em
1 e 2 2c3 0
m0
m0
3d e( m1)
3
3dem
3
2 2c
m 1 0
2 2c
m 1
3d em
3
2 c
2
1
4
m 1 ( m )
6
3
6 1
6
4
4 4 m1 m4 2 2c3 4 4 90
- 201 -
4 5 (kT ) 4
15 (hc)3
(6.34)
3V
15 (hc)3
45 V (hc)3
(6.35)
Persamaan (6.35) adalah tekanan radiasi yang dihasilkan oleh benda yang memiliki
suhu T.
Untuk foton dengan dua arah polarisasi, energi total foton memenuhi
persamaan
U 2 k
k
e k
1 e k
(6.36)
U 2
4 5 (kT ) 4 4 5 (kT ) 4
15 (hc)3
15 (hc)3
(6.37)
1U
3V
(6.38)
3k
dengan k adalah indeks untuk tingkat energi saja. Dengan demikian untuk fonon
persamaan (6.26) menjadi
ln ZG 3 ln 1 e k
(6.39)
vg k
(6.40)
- 203 -
(...) (...)
k
(...)
4k 2 dk
(2 )3
4 ( / vg ) 2 d ( / vg )
(2 )3
4
(...) 2 d
(2 )3 vg3
- 204 -
ln Z G
12
2 ln 1 e d
(2 )3 vg3
(6.41)
ln ZG
3
2 2vg3
ln 1 e d
(6.42)
3
U
ln ZG
2 2vg3
e 1 d
(6.43)
3
2 2vg3
[ x /( )]3 x
3
0 e x 1 d () 2 2vg3 ()4
xm
3(kT ) 4
2 2 (vg )3
xm
x3
0 e x 1 dx
xm
x3
0 e x 1 dx
(6.44)
x3
dx
ex 1
0
( y )
(6.45)
- 205 -
3(kT ) 4
( xm )
2 2 (vg )3
(6.46)
Fungsi (y) sulit untuk dihitung langsung. Yang dapat kita lakukan adalah
mencari aprokasi pada kondisi ekstrim di mana y << 1 atau y >> 1. Jika y << 1 maka
semua x dalam integral (6.45) memenuhi x <<1. Dengan demikian kita dapat
melakukan aproksimasi berikut ini
e x 1 1 x x 2 / 2 1 x x 2 / 2 x(1 x / 2)
Dan fungsi pada persamaan (6.45) terapkrokasimasi menjadi
y
( y )
0
( x 2 x3 / 2)dx
0
x3
dx x 2 (1 x / 2)1 dx x 2 (1 x / 2)dx
x(1 x / 2)
0
0
1 3 1 4
y y
3
8
(6.47)
Sebaliknya, jika y >> 1, kita lakukan proses perhitungan berikut ini. Kita
mulai dengan melakukan penguraian deret berikut ini.
1
1
1
x
x 1 e x e 2 x ...
x
e 1 e (1 e ) e
x
e x e 2 x e3 x ... e nx
n 1
- 206 -
( y ) x
nx
n 1
dx x3e nxdx
n 1 0
x3enxdx
n1 0
d3
e nxdx
dn3 0
x e
3 nx
dx
n 1 0
d3
d3 1 6
nx
e
dx
dn3 0
dn3 n n 4
6
1
4 4
4
4
90 15
n1 n
n1 n
( y )
(6.48)
Dari persamaan (6.46), (6.47), dan (6.48) kita dapatkan ungkapan untuk
energi dalam pada dua kondisi ektrem sebagai berikut
1 3 1 4
3 xm 8 xm
3(kT ) 4
U 2
4
2 (vg )3
15
Karena xm m
xm 1
(6.49)
xm 1
m
maka kita dapat menulis ulang persamaan (6.49)
kT
sebagai
- 207 -
1 m 3 1 m 4
3(kT )
3 kT 8 kT
U
2 2 (vg )3
4
T 0
15
4
1 m 3
1 m
T
T
3k 4
3 k
8 k
2 2 (vg )3
4 4
T
T 0
15
(6.50)
Dari ungkapan energi dapat kita tentukan kapasitas kalor sebagai berikut
Cv
dU
dT
1 m 3
T
3k
3 k
2 2 (vg )3 4 4 3
T
T 0
15
(6.51)
1 3
T
3 TD
3k
Cv 2
4
2 (vg )3 4 3
T T 0
15
4
- 208 -
(6.52)
TD = 215 K
Tampak dari persamaan (6.52) bahwa pada suhu sangat tinggi kapasitas
kalor kristal tidak bergantung pada suhu. Inis esuai dengan hukum Dulong-Petit
yang diturunkan dari fisika klasik (persamaan ekipartisi energi). Sebaliknya, pada
suhu mendekati 0 K kapasitas kalor berubah sesuai dengan pangkat tiga suhu.
Gambar 6.4 adalah contoh hasil pengukuran kapasitas perak dan kurva
Debye yang dibuat dengan menggunakan TD = 215 K. Tampak jelas kesesuaian
yang luar biasa antara hjasil eksperimen dengan teori Debye.
yang dipancarkan bintang-bintang dan bergerak dengan laju sama dengan laju
cahaya. Neutrino tidak (atau hampir tidak) memiliki massa sehingga sifat radiasi
neutrino mirip dengan sifat radiasi gelombang elektromagnetik. Perbedaannya
adalah neutrino berinteraksi sangat lemag dengan material sedangkan gelombang
elektromagnetik berinteraksi kuat dengan material. Perbedaan lain adalah neutrino
merupakan fermion dengan spin /2 sedangkan foton adalah boson dengan spin .
Selama kita membahas radiasi neutriino saat meninggalkan permukaan bintang dan
menuju ruang dalam alam semesta (tidak ada materi di situ) maka sifat radiasi
neutroni hampir mendekati sifat radiasi foton. Energi foton memenuhi persamaan
(6.53)
Neutrino memiliki dua spin (/2) sehingga memberikan dua degerasi dan neutrino
muncul dalam s tipe. Dengan demikian total degenerasi neutrino adalah 2s. Oleh
karena itu kerapatan keadaan neutroni per satuan volum per satuan frekuensi adalah
4 2
N s ( ) 2s 3
c
(6.54)
n f ( )
1
e
/ kT
(6.55)
yaitu
nn ( )
1
e
/ kT
(6.56)
f ( ) N f ( )n f ( )
8 2
3
/ kT
c e
1
(6.57)
n ( ) N n ( )nn ( )
8s 2
3
/ kT
c e
1
(6.58)
f ( )
8 3
exp( / kT )
c3
(6.59)
n ( )
8s 3
exp( / kT )
c3
(6.70)
Pada suhu sangat tinggi sehingga terpenuhi /kT << 1 maka exp(/kT) -1 {1
(/kT) ]- 1 = /kT dan exp(/kT) +1 {1 + (/kT) ]+ 1 2. Dengan demikian,
kerapatan foton dan neutrino menjadi
f ( )
8 2 kT
c3
(6.71)
- 211 -
4s 2
c3
n ( )
(6.72)
memenuhi persamaan
c
f ( )
4
R f ( )
2 2
2k 3T 3 ( / kT )3
2 2
2
/ kT
c e
1
c e / kT 1
(6.73)
dan
Rn ( )
c
n ( )
4
2s 2
2sk 3T 3 ( / kT )3
c 2 e / kT 1
2c 2 e / kT 1
(6.74)
(6.75)
2sk 3T 3 x3
2c 2 e x 1
(6.76)
R f ( x)
Rn ( x)
- 212 -
dR f ( x)
dx
2k 3T 3 d x3
0
2c 2 dx e x 1
(3 x)e x 3 0
Solusi untuk x adalah xm = m/kT = hc/mkT = 2,8225 atau
mT
hc
2,8225k
(6.77)
0
dx
2c 2 dx e x 1
(3 x)e x 3 0
Solusi untuk x adalah xm = m/kT = hc/mkT = 3,1325 atau
mT
hc
3,1325k
(6.78)
Latihan
1) Jumlah rata-rata sistem yang menempati tingkat energi ke-j dalam assembli
boson memenuhi
- 213 -
nj
1
e
( j ) / kT
1
e
( j ) / kT
lim T 0
0 kT ln 1
N
( )d
2V (2m)3 / 2 1 / 2
d
h3
Jika sumasi di atas ditransformasi ke dalam bentuk integral maka kita dapat menulis
- 214 -
2V (2m)3 / 2
e s ( 0 ) / kT 1 / 2e s / kT d
3
h
s 1
0 0
V (2mkT)3 / 2
F[( 0 ) / kT ]
h3
F [ x]
e) Salah satu sifat fungsi London adalah F[0] = 2,612. Dari sifat ini buktikan bahwa
pada suhu T0 yang sangat rendah terpenuhi hubungan
N 2,612
V (2mkT0 )3 / 2
h3
- 215 -
Bab 7
EKSPANSI KLUSTER
Pada bab ini kita akan mempelajari salah satu metode ekspansi dalam
mekanika statistik. Metode ekspansi yang sangat populer adalah ekspansi kluster
yang diperkenalkan oleh Meyer. Topik ini cukup sulit dipahami karena sangat
abstrak. Kita akan membahas secara lebih rinci sehingga dapat dipahami lebih
mudah daripada pembahasan yang dikemukakan di sejumlah buku yang telah ada.
7.1 Pendahuluan
Metode ekspansi kluster digunakan untuk mencari persamaan keadaan
assembli yang mengandung partikel-partikel yang saling berinteraksi satu dengan
lainnya. Dengan adanya interaksi ini maka energi total tidak hanya berupa energi
kinetik tetapi juga mengandung komponen energi potensial yang merupakan fungsi
jarak antar partikel. Energi interaksi antar partikel ke-i dan ke-j kita nyatakan
sebahai u(rij) di mana rij ri rj . Energi total yang dimiliki assembli menjadi
N N
pi2
u (rij )
i 1 2m
i 1 j i
N
(7.1)
Pada penjumlahan dobel di atas kita batasi i>j untuk menghindari perhitungan dobel
mengingat u(rij) = u(rji). Kita juga meniadakan suku dengan i = j karena tidak ada
interaksi partikel dengan dirinya sendiri.
Kita juka akan membatasi pada interaksi yang tidak terlalu besar. Karena
umumnya metode ekspansi dapat diterapkan jika ekspansi dilakukan terhadap suku
yang ordenya kecil (lebih kecil dari satu) untuk mencapai konvergensi. Interkasi
yang tidak terlalu besar sering ditemui pada assembli gas. Meskipun ada interaksi
antar pertikel gas namun atom atau molekul gas masih dapat bergerak dengan
216
bebas. Ini menunjukkan bahwa tarikan atau tolakan antara atom atau molekul
tersebut sangat kecil.
Dengan menggunakan energi interkasi pada persamaan (7.1) maka fungsi
partisi kanonik untuk partikel yang bersigat semiklasik dapat ditulis
pi2 / 2 m u ( rij )
1
i j i
3 3
3
3
3
3
ZN
... d r1d r2 ...d rN d p1d p2 ...d pN e i
N!h3 N
(7.2)
/ 2m
u ( rij )
3 3
3
i j i
...
d
r
d
r
...
d
r
e
1
2
N
(7.3)
3
3
3
e p1 / 2 m d 3 p1 e p2 / 2 m d 3 p2 ... e pN / 2 m d 3 pN (7.4)
... d p1d p2 ...d pN e i
2
pi2 / 2 m
2m
d pi
3/ 2
2mkT
3/ 2
(7.5)
2mkT
3N / 2
(7.6)
217
u ( rij )
1
3N / 2
3 3
3
i j i
mkT
...
d
r
d
r
...
d
r
e
1
2
N
3N
N !h
ZN
1 2mkT
N! h 2
3N / 2
u ( rij )
3 3
3
i j i
...
d
r
d
r
...
d
r
e
1 2 N
(7.6)
ZN
(7.7)
ZG z N Z N
(7.8)
N 0
dengan z e / kT
u ( rij )
i
j i
e
i
u ( rij )
(7.9)
j i
u ( rij )
1 f (rij )
(7.10)
e
i
j i
u ( rij )
1 f (rij )
i
j i
218
3
3
i j i
...
d
r
...
d
r
e
... d 3r1...d 3rN 1 f (rij )
1
N
i
j i
... d 3r1...d 3rN 1 f12 f13 ... f12 f13 ... f f .. f ...
(7.11)
dengan , , , adalah pasangan dua angka yang berbeda. Misal = 12, = 24,
dan seterusnya.
Tugas kita selanjutnya adalah menyelesaikan integral pada tiap suku
persamaan (7.11). Suku pertama dalam tanda kurung hanya angka satu sehingga
integralnya dapat dilakukan dengan mudah dan hasilnya adalah VN. Suku-suku
lainnya mengandung fij yang berupa satu unit atau perkalian sejumlah fij sehingga
integral yang dilakukan lebih sulit.
Beberapa integral yang dapat dilakukan dengan mudah adalah
... f
V N
(7.12)
d 3r1d 3r2 ...d 3rN d 3r1d 3r2 f12 d 3r3 d 3r4 ... d 3rN
12
V N 2 d 3r1d 3r2 f12
(7.13)
Kita kembali ingat bahwa f12 (r12 ) f r2 r1 . Untuk menyelesaikan integral
d rd r
3
J d 3 R d 3r
219
r1 / R r1 / r 1 1 / 2 1 1
J
1
2 2
r2 / R r2 / r 1 1/ 2
... f
12
V N 2 d 3 R d 3 r f (r ) V N 1 d 3 r f (r )
Tampak bahwa hasil integral tidak bergantung pada indeks. Jadi, berapa pun indeks
yang muncul pada fungsi f maka nilai integral selalu sama. Jadi, secara umum
... f d r d r ...d r
3
ij
V N 1 d 3r f (r )
(7.14)
Yang sulit kita hitung adalah integral yang memuat perkalian fij yang saling terkopel
(tidak dapat diuraikan atas integral terpisah).
Perhatikan kembali uraian suku-suku dalam persamaan (7.11). Angkaangka yang muncul pada indeks maksimal berjumlah N angka. Sebagian suku hanya
mengandung angka yang jumlahnya lebih sedikit daripada N. Sebagai contoh,jika
dalam suku tersebut hanya ada f12f15 maka jumlah angka yang muncul hanya 3
angka.Jika dalam suku tersebut hanya ada f12f34f56f59 maka jumlah angka yang
muncul hanya 7 angka.
Sebagai bahan pembahasan mari kita lihat suku yang mengandung
perkalian berikut ini f12f34f35f56f78f79. Koordinat yang tidak saling bebas dalam suku
... f
12 34 35 56 78 79
V N 9 ... f12 f34 f35 f56 f 78 f 79d 3r1d 3r2d 3r3d 3r4d 3r5d 3r6d 3r7 d 3r8d 3r9
V N 9 f12d 3r1d 3r2 ... f34 f35 f56d 3r3d 3r4 d 3r5d 3r6 ... f 78 f 79d 3r7 d 3r8d 3r9
220
Grafik
Sekarang mari kita mendefinisikan besaran yang dinamakan grafik. Grafik
adalah representasi lain dari bentuk integral. Gambar 7.1 adalah contoh integral
dan bentuk grafiknya. Grafik adalah kumpulan lingkaran-lingkaran yang
dihubungkan oleh garis-garis. Tiap lingkaran diberi nomor dengan angka antara 1
sampai N. Tampak dalam Gambar 7.1 bahwa jika dalam integral terdapat fij, maka
dalam grafik lingkaran yang diberi angka i dan angka j terhubung dengan garis.
Selanjutnya, jika suku-suku dalam persamaan (7.11) ada indeks yang tidak
muncul maka grafik definisikan sebagai sebuah lingkaran yang memiliki angka
yang tidak muncul tersebut. Contohnya dapat dilihat pada Gambar 7.2. Pada
persamaan yang pertama dan kedua dalam Gambar 7.2 tidak ada f yang muncul
sehingga grafik hanya berupa satu lingkaran. Lingkaran tersebut diberi angka sama
dengan indeks pada d 2 r . Pada persamaan ketiga hanya f12 yang muncul sedangkan
angka 3 tidak muncul. Maka yang diperoleh adalah perkalian grafik yang berupa
dua lingkaran terhubung dan satu grafik yang hanya berupa sebuah lingkaran.
12
d 3 r1d 3 r2
3 3 3
... f12 f13d r1d r2 d r3
3 3 3
... f12 f 23d r1d r2 d r3
3 3 3
... f12 f13 f14 f 23 f 34 d r1d r2 d r3
221
r1
r1d 3 r2 d 3 r3
d 3 r1d 3 r2 d 3 r3
d
... d
... f
12
Gambar 7.2 Jika anda angka yang tidak muncul dalam f maka
grafiknya didimbolkan sebagai sebuah lingkaran saja yang
memiliki nomor angka yang tidak muncul tersebut.
Dari penjelasan di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa suku-suku dalam
persamaan (7.11) selalu dapat dinyakan sebagai perkalian sejumlah grafik yang
terdiri dari satu lingkaran, 2 lingkaran, 3 lingkaran, dan setersunya. Grafik yang
mengandung lingkaran yang dihubungkan oleh garis-garis kita sebut kluster-.
Dalam satu suku penjumlahan pada persamaan (7.11) bisa terjadi kluster-1, kluster10 atau kluster lainnya muncul beberapa kali. Sebaliknya bisa jadi kluster lainnya
tidak pernah muncul. Sebagai contoh dapat dilihat pada ilustrasi berikut ini.
... f
12
d 3 r1d 3 r2 ...d 3 rN
m
0
(7.15)
222
15
21
34
33
35
45
61
85
77
91
92
99
Tampak dari Gambar 7.4 bahwa dapat terjadi sejumlah cara hubungan
antar lingkaran yang muncul berkali-kali. Sebaliknya, dapat terjadi pula ada cara
hubungan antar lingkaran yang tidak pernah muncul.
Yang perlu kita tentukan selanjutnya adalah jumlah cara mengubungkan
semua kemungkinan kluster-kluster tersebut. Jumlah cara tersebutlah yang akan
menentukan fungsi partisi yang selanjutnya akan digunakan untuk menurunkan
besaran-besaran termodinamika.
223
Sekarang mari kita fokuskan pada satu susunan kluster yang disimbolkan
dengan {m}. Dapat dibuktikan dengan mudah bahwa
1 =
3 == j
karena d 3r1 d 3r2 ... d 3rj . Dengan demikian jika terdapat m1 buah kluster-1
)d 3 r3 d 3 r4 d 3 R f (r )d 3 r V f (r )d 3 r
... f (r
... f (r )d
34
ij
ri d 3 rj d 3 R f (r )d 3 r V f (r )d 3 r
Artinya, berapa pun angka yang ada dalam dua lingkaran yang terhubung maka
hasilnya selalu sama. Oleh karena itu jika di dalam salah satu suku dalam persaman
(7.11) terdapat m2 kluster-2 maka perkaliannya menghasilkan [ ]m2 .
Untuk kluster-3 terdapat 4 jenis grafik yang muncul. Untuk sementara mari
kita simbolkan grafik-grafik tersebut dengan a, b, c, dan d seperti pada Gambar
7.5.
a
1
b
2
c
2
d
1
Dengan demikian, grafik-grafik (kombinasi antar huruf) yang dapat muncul dalam
m3 buah kluster-3 adalah
aaaaaa + aaaaab + + abbbbb + bbbbbb
m3 kali
m3 kali
m3 kali
m3 kali
224
m3
+
3
Sekarang mari kita perhatikan angka-angka yang diisi pada lingkaranlingkaran grafik. Angka-angka yang menomori lingkaran pada tiap suku dapat
dipertukarkan maka jumlah kemungkinan menjadi lebih banyak lagi. Akibatnya
salah satu suku dalam persamaan (7.11) dapat ditulis sebagai jumlah suku-suku
yang diperoleh dari hasil permutasi suku lainnya. Jadi jumlah tiap suku sama,
namun satu suku adalah hasil permutasi nomor pada suku lainnya. Persamaan yang
diperoleh adalah
S{m } P
[ ]m1 [
1
]m2
1
+
3
m3
m4
(7.16)
di mana
225
berbeda. Contohnya kita lihat kluster-1 yang terditi dari m1 buah. Misalkan klusterkluster tersebut sebagai berikut.
1
m1
Tetapi, karena
1
= = m1
(7.17)
15
33
21
34
35
45
61
85
77
91
92
99
m3 buah
Jika kita menukarkan angka-angka dalam satu grafik maka kita tidak menghasilkan
konfigurasi yang berbeda. Penyebabnya adalah ketika dilakukan integral maka
angka-angka tersebut akan hilang. Jadi, konfigurasi di bawah ini tidak berbeda
dengan konfigurasi di atas. Pada konfigurasi di bawah angka-angka pada grafik
226
15
21
33
34
45
85
35
61
77
91
99
92
m3 buah
Ketika kita permutasi angka 1, 2, dan 3 pada grafik pertama maka kita tidak
menghasilkan konfigurasi baru. Jumlah cara permutasi 3 angka tersebut adalah 3!.
Ketika kita permutasi angka 5, 8, dan 9 pada grafik kedua maka kita pun tidak
mendapatkan konfigurasi baru. Jumlah cara permutasi tersebut adalah 3!. Dengan
demikian total cara permutasi semua angka dalam kluster-3 adalah (3!) m3 . Karena
permutasi tersebut tidak menghasilkan konfigurasi baru maka pada jumlah cara
yang dinyatakan dalam ungkapan (7.17) harus dibagi dengan (3!) m3 untuk
membuang pengulangan yang sama. Hal yang sama berlaku pada kluster-kluster
lainnya. Untuk kluster- jumlah cara permutasi yang harus dihilangkan adalah
(!) m . Akhirnya, jumlah suku yang benar-benar hanya menghasilkan konfigurasi
berbeda hanyalah
N!
m1!m2!...m !...m N !(1!) (2!) m2 ...(!) m ...( N!) mN
m1
(7.18)
227
S{m }
N!
[ ]m1 [
m1
]m2
2
m3
+
3
m4
(7.19)
Tiap suku dalam persamaan (7.11) mengandung satu set {m}. Oleh karena
itu jumlah untuk semua set {m} yang mungkin adalah
S{m }
{m }
1
N!3 N
S{m }
(7.20)
{m }
Seperti yang umum dilakukan hingga saat ini, mari kita definisikan integral
kluster sebagai berikut
b (V , T )
1
!
3 3
Sebagai contoh
b1 (V , T )
b2 (V , T )
1
1!
31 3
[]
1
2!
3 2 3
1 3 1
d r V 1
V
V
[ ]
f (r
2! V
12
228
)d 3r1d 3r2
(7.21)
1
3
d
R
f (r )d 3 r
f (r )d 3 r
3
3
2! V
2!
1
1
N!
b11!313V
3 N
b 2!
m1
3 2 3
m1
...b
m2
N!3 N 3V
mN
m2
{m }
bV
b V
... 3 (3 ) m ... N3
bV
3N 3
{ m }
1
( 3 ) m
mN
(3 N ) m
b V 3 m
3 N 3
{m }
m
bV
bV
3 N 3 3 N 3
{ m }
{ m }
1
(7.22)
Dari fungsi partisi kanonik kita mendapatkan fungsi grand partisi sebagai berikut
bV
ZG z 3
N 0
{m }
(7.23)
z m z
bV
Z G 3 z
N 0 {m }
(7.24)
229
1
2
m1 0 m2
m
mN
b1V 1
3 z
m1 0
m1
m2
b2V 2
bV
b V N
3 z ... 3 z ... N3 z
m 0
m 0
m2 0
mN
mN
bV
bV
b V
b V
b V
exp 1 3 z1 exp 2 3 z 2 ... exp 3 z ... exp N3 z N exp 3 z (7.25)
bV
b z
(7.26)
(7.27)
(ln ZG )
V
z
V
N kT
kT 3 b z 1 z / kT
kT 3 b z
z
V ,T
b z
atau
1 N
1
3 b z
v V
(7.28)
230
b pada deret persamaan (7.27) dan (7.28). Konstanta tersebut dihitung dari integral
fungsi potensial. Nilai konstanta sangat bergantung pada jenis interaksi antar
atom/molekul gas.
231
Bab 8
MODEL ISING
Pada bab ini kita akan bahas salah satu topik yang sering dijumpai pada
mekanika statistik, yaitu model Ising. Model ini pertama kali dikembangkan oleh
Ising untuk menjelaskan sifat magnetik bahan dengan memandang bahan tersusun
atas momen-momen magnetik yang tersusu secara teratur. Dalam perkembangan
selanjutnya model ini diterapkan untuk sejumlah kasus yang kadangkala tidak ada
hubungan langsung dengan kemagnetan.
Untuk memahami isi bab ini diperlukan kemampuan matematika yang agak
tinggi. Mahasiswa perlu mempelajari lagi operasi diagonalisasi matriks, mencari
trace matriks.
(8.1)
- 232 -
Jika dianggap bahwa hanya interaksi antara dua tetangga terdekat saja yang
dominan, yaitu dua sistem yang berhubungan langsung, maka energi interaksi dapat
ditulis
E{si } ij si s j B si
ij
di mana simbol
ij
(8.2)
(8.3)
... exp Es
i
s2
sN
- 233 -
(8.4)
Pada persamaan (8.4) tiap variabel si mengambil nilai -1 dan +1. Karena ada N
buah tanda penjumlahan maka jumlah suku dalam penjumlahan fungsi partisi
adalah 2N buah. Energi bebas helmholtz diperoleh langsung dari fungsi partisi
melalui persamaan,
F ( B, T ) kT ln Z ( B, T )
(8.5)
Ada cara lain untuk menentukan fungsi partisi secara lebih mudah.
Misalkan N+ adalah jumalah spin up dan N- = N-N+ adalah jumlah spin down. Akan
muncul tiga jenis pasangan antar spin, yaitu up-up (++), down-down (--) dan updown (+-). Pasangan (--) dan (++) menyumbang energi yang sama besarnya,
sedangkan pasangan (-+) menyumbang energi yang berlawanan tanda. Energi total
assembli dapat ditentukan dengan menenentukan jumlah pasangan (--), (++), dan
(+-). Misalkan jumlah pasangan-pasangan yang adalah
Pasangan (++): N
Pasangan (--): N
Pasangan (+-): N
Untuk menentukan jumlah masing-masing pasangan tersebut, mari kita lihat
skema pada Gambar 8.1:
a) tiap bertemu satu spin up, kita tarik garis ke tetangga terdekat (ada buah
garis yang ditarik);
b) tiap ketemu satu spin down kita tidak membuat garis ke tetangga
terdekatnya;
c) akibatnya, pasangan up-up akan dihubungkan oleh dua garis;
d) pasangan up-down dihubungkan oleh satu garis;
e) pasangan down-down tidak dihubungkan oleh garis;
f) karena tiap satu spin up menghasilkan buah garis maka jumlah garis yang
dibuat adalah N+. Garis tersebut akan terbagi menjadi dua buah
penghubungn up-up dan satu buah penghubung up-down. Jadi akan
terpenuhi hubungan
N 2 N N
(8.6)
- 234 -
+
+
+
+
- 235 -
+
+
N 2 N N
(8.7)
(8.8)
(8.9)
N N N
(8.10)
N N N
(8.11)
- 236 -
s s
i
N N N 4 N 2N
ij
N N 2N N
(8.12)
(8.13)
E ( N , N ) 4N 2 B N B N
2
(8.14)
e
2 (
B ) N
N 0
g(N
, N )e 4 N
(8.15)
di mana g(N+,N++) adalah jumlah konfigurasi yang berkaitan dengan N+ dan N++
tertentu.
Penjumlahan di atas sangat sulit untuk diselesaikan. Penjumlahan baru
dapat dilakukan jika kita mengetahui bentuk eksplisit dari g(N+,N++). Yang dapat
dilakukan sekarang adalah melakukan sejumlah pendekatan. Kita akan membahas
sejumlah aproksimasi yang sudah diperkenalkan orang sejak lama.
N 1
( L 1)
N 2
(-1 L +1)
N
1
( 1)
( / 2) N 2
(-1 +1)
(8.16)
(8.17)
s s
i
( / 2) N (2 2 L 1)
(8.18)
ij
NL
(8.19)
(8.20)
(8.21)
( 1) ( L 1)
2
2
atau
- 238 -
1
2
( L 1) 2 1
(8.22)
Substitusi (8.22) ke dalam (8.20) diperoleh energi rata-rata per spin menjadi
E
( / 2) L2 BL
N
(8.23)
/ 2 BL )
(8.24)
si
N !( N N )! [ N (1 L) / 2]![ N (1 L) / 2]!
Dengan demikian,
Z ( B, T )
N!
[ N (1 L) / 2]![ N (1 L) / 2]! e
N (L2 / 2 BL )
(8.25)
L 1
Jika dijumpai penjumlahan seperti pada persamaan (8.25) maka akan ada
satu suku yang memiliki nilai sangat dominan. Dengan adanya suku yang sangat
dominan tersebut maka nilai suku-suku lain dapat diabaikan. Bahkan, jumlah semua
suku-suku lainnya masih lebih kecil daripada nilai satu suku yang dominan tersebut.
Dengan demikian penjumlahan pada persamaan (8.25) dapat didekati dengan nilai
suku dominan saja. Misalkan suku yang memiliki nilai sangat dominan tersebut
berkaitan dengan L L , maka kita dapat melakukan aproksimasi sebagai berikut,
Z ( B, T )
2
N!
e N (L / 2 BL )
[ N (1 L ) / 2]![ N (1 L ) / 2]!
atau
- 239 -
ln Z ( B, T ) ln
2
N!
e N (L / 2 BL )
[ N (1 L ) / 2]![ N (1 L ) / 2]!
(8.26)
ln Z ( B, T )
BL
ln
N
2
2
2
1 L 1 L ln N!
ln
2
N
2
(8.27)
Karena L memberikan nilai maksimum pada fungsi partisi maka turunan fungsi
partisi pada nilai L harus nol, atau
1
ln Z ( B, T )
L N
L2
1 L 1 L 1 L 1 L
0
BL
ln
ln
2
2
2
2
1 L
2 2 L
1 L
atau
B L
L tanh
kT kT
(8.28)
Tampak bahwa makin rendah suhu maka nilai L makin tinggi dan mendekati satu.
Ketika T 0 maka solusinya adalah L = 1. Ini adalah kondisi di mana spin magnet
mengarah sempurna ke satu arah.
Gambar 8.4 adalah penentuan solusi persamaan (8.28) ketika besar medan
magnet diubah-ubah. Kita menggunakan tiga nilai medan, B1, B2, dan B3 di mana B2
= 3B1 dan B3 = 8B1. Tampak bahwa makin besar medan maka solusi untuk L makin
besar dan menuju ke satu.
- 241 -
Kita periksa kasus khusus ketika medan yang diterapkan nol (tidak ada
medan yang diterapkan). Pada kondisi tersebut persamaan (8.28) menjadi
L
L tanh
kT
(8.29)
Persamaan (8.29) memiliki dua jenis solusi yang bergantung pada perbandingan
energi interaksi antar spin dengan energi termal. Dua jenis solusi untuk L adalah
- 242 -
0
L
Lo
,
,
kT
kT
1
(8.30)
, T Tc
(8.31)
, T Tc
Jadi, selama suhu assembli lebih besar daripada suhu kritis maka tidak ada
keteraturan spin. Spin menunjukkan keteraturan pada suhu di bawah suhu kritis.
Makin jauh suhu assembli di bawah suhu kritis maka keteraturan makin tinggi.
N
N
N / 2 N
+
+
+
-
+
+
+
-
+
+
+
-
+
+
-
+
+
+
+
+
-
+
+
Aproksimasi Bethe-Pierls memperbaiki ketelitian aprokasimasi BraggWilliams. Langkah yang diterapkan sebagai berikut.
a. mengambil satu bagian kecil saja dari kisi besar untuk dianalisis lebih detail;
b. menghitung secara eksak pembentukan pasangan spin dalam bagian kecil
tersebut;
c. sisa kisi lainnya (sebagian besar) dipandang sebagai latar belakang.
- 244 -
Langkah ini sangat mirip dengan saat menghitung medan listrik polarisasi dalam
bahan dielektrik dengan menggunakan metode Lorentz.
Sebagian kecil bahan dielektrik dipilih. Momen dipol dalam bagian yang dipilih
tersebut dipandang tersusun secara diskrit. Sisanya adalah latar belakang yang
dipandang sebagai medium kontinu.
4
3
- 245 -
Misalkan dari tetangga terdekat ada n buah yang memiliki spin up dan -n buah
yang memiliki spin down. Selanjutnya kita definisikan
P(s,n) = probabilitas menemukan n tetangga terdekat dengan spin up dan
-n buah tetangga terdekat dengan spin down jika keadaan kisi di pusat
adalah s.
Jadi,
a. P(+1,n) = probabilitas menemukan n pasangan (++) dan -n pasangan (+-)
b. P(-1,n) = probabilitas menemukan n pasangan (-+)dan -n pasangan (--)
c. Pada kondisi P(+1,n) energi yang dimiliki adalah
E(1, n) n ( n) ( ) (2n )
d.
e.
g.
(8.33)
f.
(8.32)
(8.34)
Dengan demikian, kita dapat menulis probabilitas P(+1,n) dan P(-1,n) sebagai
berikut
P(1, n) e E ( 1,n ) / kT
n
(8.35)
P(1, n) e E ( 1,n ) / kT
n
(8.36)
z n ( 2 n )
e
q n
- 246 -
(8.37)
P(1, n)
z n ( 2 n )
e
q n
(8.38)
n 0
n 0
n 0
n 0
P(1, n) P(1, n) 1
z n
q n e
n 0
( 2 n )
z n ( 2 n )
e
1
n 0 q n
q e 2 n z n e e 2 n z n e
n 0 n
n 0 n
n
e e 2 z e e 2 z
n 0 n
n 0 n
- 247 -
e ze
e 1 ze 2
e 1 ze 2
ze
(8.39)
P(1, n)
n 0
N 1 L
N
2
(8.40)
Dari definisi
P(1, n) = probabilitas menemukan n pasangan (++) dan - n pasangan
(+-)
maka kita dapatkan
nP(+1,n) = jumlah spin up-up jika kisi di tengah memiliki spin up;
(n/)P(+1,n) = probabilitas menemukan spin up-up jika kisi di tengah
memiliki spin up;
dan
N / 2
1
2
(8.41)
a.
- 248 -
b.
c.
n
P(1, n) = kemungkinan mendapatkan spin up di tetangga jika di tengah
n 0
d.
Karena titik kisi yang berada di tengah dapat dipilih titik kisi mana saja maka
haruslah
Kebolehjadian menemukan spin up di tengah sama dengan
kemungkinan menemukan spin up di tetangga,
atau
n 0
n 0
ze
nP(1, n) nP(1, n)
(8.42)
n 0
P(1, n)
z
(8.43)
nP(1, n) z
P(1, n)
z
(8.44)
Jadi
ze
ze
P(1, n) P(1, n)
z n0
e ze
z
- 249 -
ze
ze
ze
z e ze
ze
e e ze
e ze
e ze
e ze z e
e ze
e ze
e ze ze z
e ze
e ze
1 z
e ze
atau
e ze
z
e ze
1 ze 2
2
ze
(8.45)
Solusi untuk z pada persamaan (8.45) dapat dicari dengan metode grafik.
Kita gambar y1 = z dengan kurva y2 {(1 z exp[ 2 ]) /( z exp[ 2 ])} 1
sebagai fungsi z. Perpotongan dua kurva tersebut merupakan solusi z yang dicari.
Gambar 8.6 adalah kurva y1 dan y2 pada berbagai nilai : 0,05; 0,1; dan 0,5.
Makin besar nilai berarti suhu makin rendah atau interaksi antar spin makin
besar. Tampak pada gambar bahwa makin besar maka nilai z makin besar.
- 250 -
Sifat lain yang dapat dibuktikan dengan mudah adalah jika sudah
ditemukan z sebagai solusi maka 1/z juga merupakan solusi persamaan (8.48).
Pembuktiannya adalah dengan mengganti z pada persamaan (8.48) dengan 1/z dan
diperoleh
1 1 (1 / z )e 2
z (1 / z ) e 2
z e 2
2
1 ze
- 251 -
atau
1 ze 2
z
2
ze
Hasil di atas menyimpulkan bahwa jika z adalah solusi maka 1/z juga merupakan
solusi.
Perhatikan lagi fungsi y2 ( z) {(1 z exp[ 2 ]) /( z exp[2 ])} 1 .
Sudah kita tunjukkan bahwa pada z = 1, nilai y2(z) sama dengan nilai z karena y2(1)
= 1. Pada z 0 diperoleh y2 exp[2(-1)]. Ini berarti bahwa y2(z) > z ketika z
0. Dua kondisi tersebut berimplikasi bahwa fungsi y2(z) memotong fungsi y1 = z
pada z = 1 dan pada z antara 0 sampai 1. Kondisi asimptot pada z diperoleh
y2(z) exp[-2(-1)]. Karena berharga negatif maka y2()/y2(0) > 1. Dan
dengan sifat asimptotik ini maka y2(z) < z ketika z .
Selanjutnya kita periksa apakah fungsi y2(z) monoton naik dengan cara
menyelidiki gradien pada semua nilai z. Untuk mengecek apakah fungsi y2(z)
monoton naik atau turun akan lebih mudah kita mengecek fungsi ln y2(z). Sebab
kalau ln y2(z) monoton naik maka y2(z) juga monoton naik. Sebaliknya, kalau ln
y2(z) monoton turun maka y2(z) juga monoton turun. Dengan mudah dapat
ditunjukkan bahwa
1 ze 2
ln y2 ( z ) ( 1) ln
2
ze
Dengan demikian
e2
ln y2 ( z )
1
( 1)
2
2
z
ze
1 ze
( 1)
e 4 1
(1 ze2 )( z e 2 )
Karena < 0 maka jelas bahwa ln y2/z > 0 pada semua z. Dengan demikian
fungsi ln y2(z) monoton naik yang berimplikasi bahwa fungsi y2(z) monoton naik.
Dari semua penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa, ketika z 0, y2
(z) > z, ketika z = 1, y2(z) = z, dan ketika z , y2(z) < z. Sifat ini beserta sifat
monoton naik fungsi y2(z) berimplikasi bahwa
a) Jika pada z = 1 kemiringan kurva y2(z) kurang dari 1 maka fungsi y2(z)
hanya berpotongan dengan fungsi y1 = z pada z = 0.
- 252 -
b) Jika pada z = 1 kemiringan kurva y2(z) lebih dari 1 maka fungsi y2(z)
berpotongan dengan fungsi y1 = z pada tiga nilai z, yaitu z = 1, z = z0, dan z
= 1/z0.
Solusi dengan z = 1 adalah solusi dengan kondisi spin acak. Jumlah spin up dan
down sama banyak dan bahan tidak berifat magnetik. Sifat magnetik muncul hanya
jika ada solusi dengan z 1 dan itu terpenuhi jika kemiringan kurva y2(z) pada z = 1
lebih dari satu. Dengan demikian kondisi di mana kemiringan kurva y2(z) pada z = 1
merupakan kondisi kritis saat terjadi transisi dari sifat magnetik ke sifat non
magnetik.
Dapat dibuktikan dengan mudah bahwa kemiringan fungsi ini pada z = 1,
adalah
m
( 1)(e 4 1)
(1 e 2 ) 2
(8.46)
( 1)(e 4 c 1)
(1 e 2 c ) 2
atau
( 1)(e 4 / kTc 1) (1 e 2 / kTc ) 2
(8.47)
2
ln /( 1)
(8.48)
Tampak dari persamaan (8.48) bahwa suhu kritis sangat bergantung pada
kekuatan interaksi antar spin bertetangga dan jumlah tetangga yang dimiliki setiap
spin. Makin kuat interaksi dan makin banyak tetangga terdekat maka makin besar
suhu kritis. Ini dapat dipahami dengan mudah bahwa makin kuat interaksi dan
makin banyak tertangga terdekat maka arah spin akan makin sulit diacak oleh
energi termal. Perlu suhu yang lebih tinggi untuk mengacak arah spin (mengubah
dari kondisi magnetik menjadi non magnetik)
- 253 -
s1
s2
s3
sN
Kita misalkan jumlah titik kisi adalah N dan keadaan tiap titik kisi dinyatakan
dengan variable s1, s2, , sN. Tiap keadaan memiliki dua kemungkinan nilai, yaitu
1 dan +1. Untuk lebih mudah, kita gunakan syarat batas periodik, yaitu
sk s N k
(8.49)
(8.50)
Pada penulisan bentuk energi di atas kita telah menganggap bahwa interaksi antar
titik kisi hanya terjadi antara tetangga terdekat saja, yaitu hanya dengan satu titik
kisi di sebelah kiri dan satu titik kisi di sebelah kanan. Dengan penggunaan syarat
batas periodik maka kita memiliki hubungan
s s
k
s
k
(8.52)
k 1
1
sk sk 1
2 k
(8.53)
- 254 -
(8.84)
Z
s1
s1
... exp Es
i
s2
sN
... exp s s
k k 1
s2
sN
(1 / 2) B sk sk 1
k
(8.85)
Kita akan menggunakan dua cara untuk mencari fungsi partisi pada
persamaan (8.55). Cara pertama telah dilakukan oleh Ising tahun 1925 (E. Ising, Z.
Phys. 31, 253 (1925)) dan cara kedua dipaparkan oleh Tejero (C.F. Tejero,
American Journal of Physics 56, 169 (1988)).
Metode Ising
Untuk memudahkan penyelesaian persamaan di atas kita definisikan
matriks 2 2, , yang memiliki elemen sebagai berikut
s s' e ss'(1/ 2) B ( s s ')
dengan s dan s memiliki nilai 1 atau +1. Dengan definisi tersebut maka
1 1 e B
(8.57)
1 1 e B
(8.58)
1 1 e
(8.59)
1 1 e
(8.60)
Dengan demikian
1 1
1 1
1 1
1 1
e ( B )
e
e
( B )
- 255 -
(8.61)
... exp s s
1 2
s1
s2
(1 / 2) Bs1 s2
sN
... s
s1
s2
... s
s1
s2
s2 s2 s3 ... s N s N 1
sN
s2 s2 s3 ... s N s1
(8.62)
sN
Mengingat
sk 1
(8.63)
sk
maka
Z s1 N s1
s1
Tr N
(8.64)
A N A AA AA ... AA AA
(8.65)
- 256 -
AA
0
(8.66)
dengan + dan - adalah energi-energi eigen dari . Dengan demikian kita akan
mendapatkan
A A
0
N
(8.67)
Jadi persoalan kita tinggal mencari energi eigen dari . Untuk maksud ini,
mari kita tulis
a b
b d
(8.68)
atau
b x
a
0
d y
b
(8.69)
(a )(d ) b 2 0
atau
2 (a d ) (ad b 2 ) 0
(8.70)
- 257 -
b e
d e ( B)
Sehingga
a d e ( B) e ( B ) e e B eB 2e cosh B
ad b 2 e ( B) e ( B) e 2 e 2 e 2 2 sinh 2
(8.71)
(8.72)
Dengan demikian
(8.73)
(8.74)
- 258 -
A A
0
N
maka
Tr Tr A A Tr
0
sehingga
1
1
ln Z ln N N
N
N
0
N N
(8.75)
N
1 N
ln 1
N
N
1
1
ln N ln 1
N
N
ln
N
1
ln 1
N
(8.76)
(8.77)
- 259 -
(8.78)
1 F
V B
N sinh B
cosh B cosh 2 B 2e2 sinh 2
(8.80)
Tampak dari persamaan (8.78) bahwa jika B = 0 maka M = 0. Jadi, pada suhu
berapa pun magnetisasi selalu nol. Ini berarti tidak ada magnetisasi spontan pada
model Ising satu dimensi. Atau, dalam model ising satu dimensi tidak muncul
fenomena feromagnetik.
Kita dapat melihat bentuk khusus persamaan (8.78) pada suhu sangat kecil
dan sangat besar. Karena = -1/kT maka maka ketika T 0, - sehingga
exp[2] 0 dan exp[2] sinh[2] -1/2. Magnetisasi per satuan spin dapat
diaproksimasi sebagai
M
N
V
(8.81)
Persamaan (8.81) menyatakan semua spin mengarah ke satu arah, yaitu searah
dengan medan magnet.
Sebaliknya, jika T maka 0. Akibatnya cosh [B ] 1,
exp[2] 1, dan sinh[2] 0. Dengan sigat ini maka bagian dalam tanda
kurung dalam persamaan (8.80) mendekati satu dan momen magnetik menjadi
M N sinh B 0
(8.82)
Persamaan (8.82) bermakna bahwa semua spin memiliki arah acak sehingga tidak
ada arah resultan.
Korelasi Spin
- 260 -
Selanjutnya kita bahs tentang korelasi antar spin dalam model ini. Kita tulis
ulang fungsi partisi sebagai berikut
Z
s1
s1
... exp s s
k k 1
s2
sN
... exp bs
s2
sN
B sk
k
Ksk sk 1
(8.83)
Korelasi antara spin tetangga terdekat adalah nilai rata-rata perkalian dua spin
tetangga terdekat, yaitu
s j s j 1
1
Z
... s s exp bs
j j 1
s1
s2
sN
Ksk sk 1
(8.82)
Karena sifat simetri maka s1s2 s2 s3 s3s4 ... sN 1sN sN s1 . Oleh karena
itu kita dapat menulis
s j s j 1
1
Z
s1s2 s2 s3... sN s1
exp bsk Ksk sk 1
N
...
s1
s2
sN
ZN s1
... s s
ZN s1
... K exp bs
1
ZN K
... exp bs
1 2
s2
sN
s2
sN
s1
s2
sN
Ksk sk 1
1 Z
Ksk sk 1
ZN K
1
ln Z
K N
(8.83)
Karena pada limit N kita memiliki persamaan aproksimasi (8.77) maka kita
dapatkan
- 261 -
s j s j 1
lim N
1
ln
K
K
(8.84)
(8.85)
dan
s j s j 1
lim N
e cosh B
sinh(2 K )
cosh 2 B 2e2 K
cosh B
(8.86)
Metode Tejero
Pendekatan lain menyelesaikan model Ising adalah dengan metode yang
dibahas Tejero. Kita bahas metode tersebut sebagai berikut. Kita tulis ulang fungsi
partisi sebagai berikut
Z
s1
s1
... exp s s
k k 1
s2
sN
... exp bs
s2
sN
B sk
k
Ksk sk 1
- 262 -
(8.87)
... e
b ( s1 s3 s5 ... s N 1 )
s2
bs2 K ( s1 s 2 s 2 s3 )
sN
(8.88)
... e
b ( s1 s3 s5 ... s N 1 )
s3
bs2 K ( s1 s 2 s 2 s3 )
s N 1
s2
(8.89)
sN
bs2 K ( s1 s 2 s 2 s3 )
bs4 K ( s3 s 4 s 4 s5 )
b K ( s1 s3 )
eb K ( s1 s3 ) eb K ( s1 s3 ) eb K ( s1 s3 )
s2
b K ( s3 s5 )
eb K ( s3 s5 )
s4
.
.
bsN K ( s N 1 s N s N s1 )
b K ( s N 1 s1 )
eb K ( s N 1 s1 )
sN
Z
s1
... e
b ( s1 s3 s5 ... s N 1 )
s3
b K ( s1 s3 )
eb K ( s1 s3 )
s N 1
eb K ( s3 s5 ) eb K ( s3 s5 ) ... eb K ( s N 1 s1 ) eb K ( s N 1 s1 )
- 263 -
(8.77)
b K ( si s j )
b K ( si s j )
b ( si s j ) / 2 K1si s j
f1e 1
(8.78)
Selanjutnya kita perlu mencari parameter f1, b1, dan K1. Kita lakukan sebagai
berikut. Masukkan s1 = -1 dan s2 = -1 ke dalam persamaan (8.78) maka
eb 2 K eb 2 K f1eb1 K1
atau
e ( b 2 K ) eb 2 K
2
2
f1eb1 K1
atau
2 cosh(b 2K ) f1eb1 K1
(8.79)
atau
e ( b 2 K ) eb 2 K
2
2
f1eb1 K1
atau
2 cosh(b 2K ) f1eb1 K1
(8.80)
eb eb f1e K1
atau
e b eb
f1e K1
2
2
atau
2 cosh b f1e K1
(8.81)
- 264 -
cosh(b 2 K )
e2b1
cosh(b 2 K )
atau
1 cosh(b 2 K )
b1 ln
2 cosh(b 2 K )
(8.82)
(8.83)
Kalikan persamaan (8.79) dan persamaan (8.80) dan diperoleh persamaan berikut
ini
4 cosh(b 2K ) cosh(b 2K ) f12e2 K1
(8.84)
atau
e 4 K1
4 cosh(b 2K ) cosh(b 2K )
cosh 2 b
atau
1 4 cosh(b 2 K ) cosh(b 2 K )
K1 ln
4
cosh 2 b
(8.85)
cosh 2 b
1/ 4
cosh 2 b
1/ 4
cosh b
(8.86)
... e
b ( s1 s3 s5 ... s N 1 )
s1
s3
f e
b1 ( s1 s3 ) / 2 K1 s1 s3
s N 1
... e
s3
( b b1 )( s1 s3 s5 ... s N 1 ) K1 ( s1 s3 s3 s5 ... s N 1 s1 )
s N 1
f1N / 2 Z N / 2 (b b1, K1 )
(8.87)
di mana ZN/2(b+b1,K1) adalah fungsi partisi N/2 buah partikel dengan medan luar
menjadi b+b1 dan energi interaksi antar spin menjadi K1. Persamaan (8.87) dapat
diiterasi terus hingga dinyatakan dalam Z1.
Latihan
Perekat konduktif adalah komposit yang dibuat dengan mendispersi partikel yang
bersifat konduktif seperti partikel logam ke dalam resin yang bersifat. Jika fraksi
volum partikel sangat kecil maka konduktivitas listrik komposit sama dengan
konduktivitas listrik resin (bersifat isilator). Jika fraksi volum partikel dinaikkan
terus-menerus maka pada suatu saat, terjadi loncatan konduktivitas secara tiba-tiba
dan menyamai konduktivitas partikel. Peristiwa ini disebut perkolasi. Perkolasi
terjadi karena terbentuknya persambungan kontinu kontak antar partikel yang
memungkinkan terbentuknya jalur bagi arus liatrik. Fraksi volum saat terjadi
perkolasi disebut ambang perkolasi. Pada saat fraksi volum partikel berada di
bawah ambang perkolasi maka masih ada kontak yang terputus antar partikel
sehingga komposit belum bisa dialiri listrik. Saat fraksi volum sama dengan ambng
perkolasi maka kontak kontinu antar partikel mulai terbentuk sehingga arus tiba-tiba
mengali (konduktivitas tiba-tiba tinggi). Ketika fraksi volum dinaikkan melebihi
ambang perkolasi maka konduktivitas tidak lagi berubah (tetap tinggi). Terjadinya
perkolasi pada komposit perekat konduktif dapat dibahas dengan model Ising.
Strateginya sebagai berikut. Kita bagi komposit atas sejumlah sel-sel kecil. Ukuran
satu sel sedemikian sehingga ketika partikel diisikan ke dalam sel maka permukaan
partikel tepat menyentuh dinding sel. Jika sel yang dibuat berbentuk kubus maka
panjang sisi sel sama dengan diameter partikel. Sel-sel yang dibuat dapat berada
dalam dua kondisi: terisi oleh partikel atau terisi penuh oleh bahan perekat. Inilah
yang menjadi landasan mengapa model Ising dapat digunakan, yaitu adanya dua
keadaan. Dalam komposit dpat terjadi kontak dua sel yang mengandung partikel,
dua sel yang mengandung perekat saja dan sel yang mengandung partikel dan yang
- 266 -
mengandung perekat. Jika jumlah sel yang dibuat adalah N dan jumlah partikel
adalah Np maka jumlah sel yang tidak diisi partikel adalah N-Np. Dikaitkan dengan
model Ising untuk spin maka n ekuivalen dengan N+ dan N-Np ekivalen dengan N- =
N-N+. Jika energi interaksi ketika terjadi kontak antara dua sel yang berisi partikel
adalah pp, energi interaksi antara dua sel yang hanya bersisi resin adalah rr, dan
energi interaksi antara sel yang berisi partikel dan yang berisi resin adalah rp, maka
energi konfigurasi memenuhi
E{N pp , N rr , N pr } N pp pp N rr rr N pr pr
dengan Npp, Nrr, dan Npr masing-masing adalah jumlah kontak dua sel yang
mengandung partikel, jumlah kontak dua sel yang berisi resin saja, dan jumlah
kontak sel yang mengandung partikel dan yang mengandung resin. Jika jumlah
tetangga terdekat tiap sel adalah , buktikan bahwa energi konfigurasi di atas dapat
ditulis sebagai
E{N , N pp , N p , } N pp E1 N p E2 NE3
dengan
E1 pp rr 2 pr
E2 pr rr
E3 rr / 2
Dengan mendefinisikan parameter L yang memenuhi Np/N = (1+L)/2 dan
menggunakan pendekatan Bragg-Williams, buktikan bahwa energi konfigurasi per
satuan partikel memenuhi
E L2 E E E E
E
1 1 2 L 1 2 E3
N
2 8
2
4
Daftar Pustaka
1. Mikrajuddin Abdullah, Pengantar Fisika Statistik, Bandung: CV
Rezeki Putera (2009).
2. Mikrajuddin Abdullah, Diktat Kuliah Mekanika Statistik, Bandung:
Penerbit ITB (2007).
3. Kerson Huang, Statistical Mechanics, New York: John Wiley (1987).
4. Joseph Edward Meyer and Maria Geopaert Meyer, Statistical
Mechanics, New York: John Wiley (1977).
5. Anthony John Pointon, An Introduction To Statistical Physics For
Students, New York: Longmann (1967).
6. Richard P. Feynman, Statistical Mechanics, Massachusetts: Benjamin
(1972).
-268-