Anda di halaman 1dari 20

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH III

"ANALISIS JURNAL : PENGARUH TEA TREE OIL TERHADAP PENYEBARAN


METHICILLIN-RESISTANT STAPHYLOCOCCUS AUREUS (MRSA)"

Dosen Pengampu :
Sukarni, S.Kep., Ns., M.Kep.

Disusun Oleh :
Nabila Nur Husaini (I1031171017)
Tasya Aulia Fitri (I1031171018)
Akmal Dzulfiqar Nuraulia Arief (I1031171019)
Rahmanadanti Daud (I1031171020)
Fatin Kusuma Wardhani (I1031171021)

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-
Nya, karunia dan Hidayah-Nya kami dapat menyelasikan tugas kelompok analisis jurnal pada
Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah 3 dengan judul “Pengaruh Tea Tree Oil Terhadap
Penyebaran Methicillin-Resistant Staphylococcus Aereus (MRSA)”.
Dalam proses penyelasian tugas tersebut kami banyak mendapatkan bantuan serta
dukungan dengan berbagai bentuk. Pada kesempatan kali ini kami bermaksud untuk
menyampaikan terima kasih kepada :
1. Sukarni, S.Kep., Ns., M.Kep. selaku dosen koordinator mata kuliah Keperawatan
Medikal Bedah 3.
2. Teman angkatan 2017 Prodi Keperawatan Fakultas kedokteran Universitas
Tanjungpura.
Semoga tugas ini dapat memberikan dan menambah pengetahuan para pembaca. Kami
juga menyadari dalam tugas tersebut masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu,
kami menerima kritik dan saran yang bersifat membangun.

Pontianak, Oktober 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................ i


DAFTAR ISI.............................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1
1.1 Definisi ............................................................................................................................. 1
1.2 Struktur Bakteri ................................................................................................................ 2
1.3 Patogenesis Infeksi ........................................................................................................... 3
1.4 Mekanisme Resistensi ...................................................................................................... 4
1.5 Manifestasi Klinis ............................................................................................................. 6
1.6 Penyebaran Infeksi ........................................................................................................... 7
1.7 Cara Mendeteksi Secara Dini ........................................................................................... 7
BAB II ANALISIS JURNAL .................................................................................................... 9
2.1 Jurnal 1 ............................................................................................................................. 9
2.2 Jurnal 2 ............................................................................................................................. 9
2.3 Jurnal 3 ........................................................................................................................... 10
BAB III PEMBAHASAN ........................................................................................................ 11
BAB IV PENUTUP ................................................................................................................. 14
4.1 Kesimpulan ..................................................................................................................... 14
4.2 Saran ............................................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 15

ii
BAB I
KONSEP PENYAKIT

1.1 Definisi
Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah galur S. aureus yang
resisten terhadap metisilin, antibiotic golongan -laktam. MRSA pertama kali
ditemukan pada tahun 1961. Galur MRSA dibagi menjadi dua yaitu HA-MRSA dan
CA-MRSA (Ray, 2011).
Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah bakteri
Staphylococcus aureus yang mengalami kekebalan terhadap antibiotik metisilin. MRSA
mengalami resistensi karena perubahan genetik yang disebabkan oleh paparan terapi
antibiotic yang tidak rasional. Transmisi bakteri berpindah dari satu pasien ke pasien
lainnya melalui alat medis yang tidak diperhatikan sterilitasnya. Transmisinya dapat
pula melalui udara maupun fasilitas ruangan, misalnya selimut atau kain tempat tidur
(Nurkusuma, 2009).
HA-MRSA didefinisikan sebagai infeksi MRSA yang terdapat pada individu
yang pernah dirawat di rumah sakit atau menjalani tindakan operasi dalam satu tahun
terakhir, memiliki alat bantu medis permanen dalam tubuhnya, bertempat tinggal di
fasilitas perawatan jangka panjang, atau individu yang menjalani dialysis. HA-MRSA
memilikir resistensi yang sangat tinggi dan merupakan penyakit nosokomial yang
penting (Biantoro, 2008).
CA-MRSA merupakan galur MRSA yang sama sekali tidak berhubungan dengan
infeksi nosokomial atau infeksi di rumah sakit. CA-MRSA berbeda dengan HA-MRSA
secara fenotip, genotip dan virulensi. CA-MRSA memiliki virulensi lebih tinggi dan
resistensi terhadap antimikroba non -laktam lebih rendah jika dibanding HA-MRSA.
Penelitian yang lain menyebutkan bahwa CA-MRSA hanya resisten terhadap
antimikroba golongan -laktam dan secara genotip tidak membawa gen resisten
tambahan selain gen resisten terhadap metisilin (Yuwono, 2012).

1
1.2 Struktur Bakteri

Sumber :
https://en.wikipedia.org/wiki/Staphylococcus_aureus#/media/File:Staphylococcus_aure
us_VISA_2.jpg
Struktur S. aureus terdiri dari komponen esensial dan non-esensial. Komponen
esensial terdiri dari dinding sel, membran sitoplasma, ribosom, inti sel, mesosom dan
periplasma. Komponen non esensial terdiri dari kapsul, plasmid, granula dan
glikokaliks. Dinding sel bakteri gram positif lebih tebal jika dibandingkan dengan gram
negatif. Dinding sel S. aureus terdiri dari peptidoglikan dan asam teikhoat.
Peptidoglikan berfungsi menyokong sel dan memproteksi sel terhadap tekanan osmotic.
Peptidoglikan memiliki aktivitas seperti endotoksin, yaitu menstimulasi pengeluaran
sitokin oleh makrofag, aktivasi komplemen dan agregasi trombosit. Struktur ini
nantinya adalah tempat kerja penisilin dan sefalosporin. Peptidoglikan dapat
terdegradasi oleh lisozim. Asam teikhoat merupakan antigen permukaan yang utama
ditemukan pada dinding bakteri, namun secara klinis tidak digunakan untuk penegakan
diagnosis (Harvey, 2013).
Periplasma merupakan suatu rangsangan ruangan antara membran plasma dengan
membran luas. Bermacam-macam enzim hidrolitik, seperti -laktamase terletak di
periplasma. -laktamase berfungsi sebagai enzim yang memecah cincin -laktam
sehingga menyebabkan S. aureus resisten terhadap antibiotic golongan -laktam.
Membran sitoplasma tersusun oleh fosfolipid lapisan ganda. Membran sitoplasma pada
prokariot berbeda dengan eukariot karena tidak memiliki sterol. Lapisan ini memiliki
empat fungsi yaitu transport aktif molekul ke dalam sel, menghasilkan energi melalui
fosforilasi oksidatif, sintesis precursor dinding sel dan sekresi enzim dan toksin.
Mesosom merupakan membran plasma sitoplasma yang mengalami invaginasi.

2
Mesosom berperan penting pada saat pembelahan sel, yaitu pada awal pembentukan
septum, yang membagi sel menjadi dua (Greenwood, 2012).
Terdapat beberapa komponen bakteri yang terletak di sitoplasma, yaitu inti sel,
ribosom, granula dan plasmid. Sel prokariot memiliki Deoxyribonucleic Acid (DNA)
sirkuler tunggal yang berada di sitoplasma tanpa dibatasi oleh membran inti. Bakteri
memiliki ribosom yang berukuran 70S dengan 50S dan 30S sebagai subunit. Ribosom
merupakan tempat terjadinya sintesis protein. Granula pada bakteri berfungsi sebagai
simpanan nutrisi bagi bakteri tersebut. Granula tersusun oleh glikogen, lipid dan
polifosfat (Greenwood, 2012). Plasmid adalah molekul DNA sirkuler, rantai ganda,
yang terletak ekstrakromosom, yang dapat bereplikasi secara terpisah dari molekul
DNA kromosom. Plasmid memiliki dua tipe yaitu transmissible dan nontransmissible.
Plasmid mengkode gen untuk beberapa fungsi dan struktur, yang secara klinis berperan
penting, yaitu : resistensi antibiotik, resistensi terhadap logam berat yang merupakan
komponen antiseptik seperti merkuri dan perak, resistensi terhadap sinar ultraviolet,
pili (fimbria) dan eksotoksin (Paul, 2013).
Sebagian besar Staphylococcus memiliki mikrokapsul. Saat ini telah
teridentifikasi 11 tipe mikrokapsul pada S. aureus dan 75% yang ditemukan pada kasus
infeksi adalah mikrokapsul tipe 5 dan 8. Mikrokapsul ini berfungsi sebagai
antifagositosis (Mescher, 2012).

1.3 Patogenesis Infeksi


Staphylococcus aureus merupakan patogen utama bagi manusia. Hampir setiap
orang akan pernah mengalami beberapa infeksi Staphylococcus aureus dalam hidupnya
dengan kisaran keparahan dari keracunan makanan, infeksi minor, hingga infeksi berat
yang mengancam jiwa (Brooks et al, 2012).
Sebagian bakteri genus Stafilokokus adalah flora normal pada kulit, saluran nafas,
dan saluran pencernaan manusia. Bakteri ini juga dapat ditemukan pada udara dan
lingkungan yang ada di sekitar kita. Staphilococcus aureus yang patogen bersifat
invasif, dapat menyebabkan hemolisis, membentuk koagulase, dan mampu meragikan
manitol (Kusuma, 2009).
Staphilococcus aureus merupakan patogen yang berbahaya dan dapat
menyebabkan berbagai penyakit. Penyakit yang paling sering ditemukan antara lain
infeksi kulit dan infeksi saluran nafas. Infeksi pada kulit biasanya berasal dari
penyebaran Staphylococcus aureus pada komunitas, sedangkan infeksi pada paru

3
biasanya disebabkan oleh infeksi Staphylococcus aureus nosokomial. Berbagai
pathogen nosokomial telah diidentifikasi, namun Staphylococcus aureus merupakan
yang paling sering dan menyebabkan mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Pneumonia
akibat Staphylococcus aureus sering berkembang pada pasien yang dirawat di rumah
sakit dengan kondisi yang mendasarinya, seperti pada pasien dengan defisiensi imun
atau infeksi virus. Staphylococcus aureus juga dapat menyebabkan penyakit lain yang
bervariasi yang terkadang penyakit yang sangat berat dan mengancam jiwa
(endocarditis, toxic shock syndrome, scaled skin syndrome, osteomyelitis, dan lain
sebagainya) (Otto, 2014).
Infeksi Staphylococcus aureus ditandai oleh adanya kerusakan jaringan yang
disertai abses bernanah. Beberapa penyakit yang merupakan infeksi bakteri
Staphylococcus aureus antara lain bisul, jerawat, impetigo, dan infeksi pada luka.
Infeksi yang lebih berat anatara lain pneumonia, mastitis, plebitis, meningitis, infeksi
saluran kemih, osteomielitis, dan endokarditis (Kusuma, 2009).

1.4 Mekanisme Resistensi


Mekanisme kerja obat antimikroba antara lain dengan menginhibisi sintesis
dinding sel, inhibisi fungsi membran sel, inhibisi sintesis protein, dan inhibisi sintesis
asam nukleat. Banyak mekanisme yang akan menyebabkan mikroorganisme menjadi
resistan terhadap antimikroba tertentu (Brooks et al, 2012).
Mekanisme terjadinya resistensi dapat melalui beberapa cara. Pertama adalah,
organisme memiliki gen yang mengode enzim yang akan memproduksi enzim β-
laktamase. Enzim ini dapat menghancurkan agen antimikroba sebelum agen tersebut
dapat bekerja. Kedua, bakteri dapat memiliki pompa penembus yang akan menghambat
agen antimikroba sebelum dapat mencapai tempat perlekatan target dan memberikan
efeknya. Ketiga, beberapa bakteri memiliki beberapa gen yang mempengaruhi jalur
metabolisme yang nantinya akan menghasilkan perubahan pada dinding sel bakteri.
Perubahan ini mengakibatkan dinding sel tidak lagi memiliki tempat perlekatan untuk
agen antimikroba, atau bakteri akan bermutasi dan membatasi akses dari agen
antimikroba ke tempat perlekatan target intraseluler melalui down regulation gen porin.
Staphylococcus aureus merupakan salah satu bakteri yang dapat memproduksi
enzim β -laktamase. Enzim ini akan menghilangkan daya antimikroba terutama pada
antimikroba golongan penisilin, oksasilin, penisilin G, dan ampisilin. Dengan

4
diproduksinya enzim tersebut akan merusak cincin -laktam sehingga antimikroba
menjadi non-aktif.
Semua antibiotik golongan β -laktam bersifat inhibitor selektif terhadap sintesis
dinding sel bakteri, dengan begitu obat ini akan aktif pada bakteri dengan masa
pertumbuhan. Tahap awal kerja antimikroba ini dimulai dengan pengikatan dengan
reseptor sel bakteri yaitu penicilin-binding protein (PBP). Setelah obat melekat pada
suatu atau lebih reseptor, maka reaksi transpeptidasi akan dihambat dan selanjutnya
sintesis peptidoglikan akan dihambat. Tahap selanjutnya adalah inaktivasi serta
hilangnya inhibitor enzim-enzim autolitik pada dinding sel. Akibatnya adalah terjadi
aktivasi enzim-enzim litik yang menyebabkan lisis bakteri .
Mekanisme resistensi terhadap methicillin terjadi dengan pembentukan PBP baru
yang sudah di modifikasi, yaitu PBP2a yang mengakibatkan menurunnya afinitas obat
golongan β -laktam. Suatu strain bakteri yang memiliki resistensi terhadap methicillin
berarti juga akan memiliki resistensi terhadap semua derivat penisilin, sefalosporin, dan
karbapenem.
Klasifikasi β -laktamase sangat kompleks, didasarkan pada genetika, sifat
biokimia, dan afinitas substrat untuk inhibitor β - laktamase (asam klavulanat). Asam
klavulanat, sulbaktam, dan tazobaktam adalah inhibitor β -laktamase dan dapat
mengikat β - laktamase misalnya pada penisilinase yang dihasilkan bakteri
Staphylococcus aureus. Pengikatan ini bersifat ireversibel tetapi tidak dihidrolisis oleh
β -laktamase. Obat ini dapat menjadi terapi MRSA melalui kombinasi dengan
antimikroba golongan penisilin yang dapat dihidrolisis dari penghancuran (ampisilin,
amiksisilin, dan tikarsilin) (Brooks et al, 2012).
Bakteri Staphylococcus aureus telah resistan terhadap beberapa antimikroba,
antara lain (Sulistiyaningsih, 2010):
1. Penisilin
Saat ini telah diketahui bahwa lebih dari 90% isolat Staphylococcus aureus
memproduksi penisilinase. Produksi enzim ini dimediasi oleh gen blaZ.
2. Methicillin
Resistensi terhadap obat ini terjadi karena adanya perubahan pada PBP. Hal ini
disebabkan oleh gen mecA yang mengode 78-kDa penisilin pengikat protein 2a
(PBP2a) yang memiliki afinitas yang kecil terhadap agen antimikroba β -laktam.

5
3. Kuinolon
Resistensi terhadap fluorokuinolon terjadi karena adanya mutasi kromosomal
spontan dalam target terhadap antimikroba atau dengan induksi pompa effluks
berbagai obat.
4. Vankomisin
Penurunan sensitifitas terhadap vankomisin terjadi karena adanya perubahan
dalam biosintesis peptidoglikan bakteri tersebut.
5. Kloramfenikol
Resistensi terhadap obat ini terjadi karena adanya enzim yang menginaktivasi
kloramfenikol dengan mengkatalisis proses asilasi terhadap gugus etil berupa
asetil koenzim A. Akibatnya, akan dihasilkan derivat asetoksi kloramfenikol yang
tidak mampu berikatan dengan ribosom bakteri (Budiman, Haris Mulya. 2019)

1.5 Manifestasi Klinis


Infeksi MRSA secara tradisional dikaitkan dengan pajanan pada lingkungan
kesehatan, terutama pada lingkungan rumah sakit. Faktor risiko yang meningkatkan
kecurigaan seseorang terinfeksi MRSA menurut Federal Bureau of Prison (2010), yaitu:
a. Tingginya prevalensi MRSA dalam Institusi atau asal komunitas
b. Adanya riwayat infeksi MRSA sebelumnya
c. Kontak dekat dengan seseorang yang diketahui terinfeksi MRSA
d. Dalam atau penggunaan antibiotic sering
e. Infeksi kulit berulang
f. Lingkungan hidup yang padat
g. Infeksi dalam lingkungan dengan kulit ke kulit kontak atau berbagi (misal, handuk,
alat olahraga)
h. Infeksi kulit dengan kegagalan terapi beta lactam
i. Riwayat dalam beberapa tahun terakhir : perawatan rumah sakit, perawatan lama,
pembedahan, diabetes mellitus, penggunaan obat injeksi.
Sebagian besar infeksi MRSA adalah infeksi kulit yang menghasilkan tanda-tanda
dan gejala yaitu :
1. Selulitis (Infeksi kulit atau lemak dan jaringan yang berada langsung dibawah
kulit, biasanya dimulai sebagai merah kecil benjolan di kulit)
2. Bisul (Penuh nanah, infeksi folikel rambut)
3. Abses (Nanah didalam atau di bawah kulit)

6
4. Sty (Infeksi kelenjar minyak di kelopak mata)
5. Karbuncles (Infeksi lebih besar dari abses, biasanya dengan beberapa bukaan kulit)
6. Impetigo (Infeksi kulit dengan lepuh berisi nanah)
7. Ruam (Kulit tampak kemerahan)

1.6 Penyebaran Infeksi


Stafilokokus yang umum terdapat pada lipatan kulit, seperti perineum dan aksila
serta berada di nares anterior. Stafilokokus juga dapat membentuk koloni pada luka
yang kronis, seperti eksim, varises, dan ulkus decubitus. MRSA memiliki cara
penyebaran yang sama dengan strain Stafilokokus lain yang sensitif, yaitu (Royal
College of Nursing, 2005) :
1. Penyebaran Endogen
Hal ini terjadi ketika bakteri dari satu bagian tubuh seseorang menyebar ke tempat
yang lain. Mengajarkan pasien untuk mencuci tangan mereka dan mencegah
mereka dari menyentuh luka, kulit yang rusak atau menyentuh perangkat invasif,
akan meminimalkan risiko penyebaran organisme secara endogen.
2. Penyebaran Eksogen
Hal ini terjadi ketika organisme ditransmisikan dari orang ke orang yang terjadi
melalui kontak langsung dengan kulit, melalui lingkungan atau peralatan yang
terkontaminasi. Pencegahan penyebaran secara eksogen dapat dilakukan melalui:
- Mencuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan setiap pasien atau
peralatan yang berpotensi terkontaminasi.
- Mencuci tangan setelah melepas sarung tangan.
- Menjaga lingkungan selalu bersih dan kering.
- Melakukan pembersihan secara menyeluruh dan mengeringkan semua peralatan
yang telah digunakan.
- Menerapkan pengobatan topikal untuk mengurangi penyakit kulit jika secara
klinis diperlukan.

1.7 Cara Mendeteksi Secara Dini


Untuk mengetahui adanya MRSA, terdapat dua metode, yaitu metode molekuler
dan metode konvensional. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menilai
penggunaan metode molekuler secara langsung mendeteksi MRSA dengan
menggunakan dasar gel dan real-time PCR, penyelidikan DNA, serta penyelidikan

7
asam nukleat peptida (peptide nucleic acid). Kelemahan metode ini adalah memerlukan
alat-alat khusus dan seorang yang sudah ahli (Biantoro, 2008).
Untuk mengidentifikasi MRSA secara konvensional dibutuhkan beberapa media
agar, antara lain media Mannitol Salt Agar (MSA) dan media Agar Darah Domba
(ADD) (Mainous et al, 2006). Media Mannitol Salt Agar (MSA) adalah media yang
mengandung manitol, yaitu suatu karbihidrat yang dapat dijadikan sebagai media
pertumbuhan bakteri. Media MSA ini penting untuk melakukan identifikasi
stafilokokus. MSA mengandung 7,5% sodium klorida (garam) yang dapat menghambat
pertumbuhan bakteri gram negatif. Selain itu media ini juga memiliki indikator pH
yang disebut sebagai phenol red. Media MSA merupakan media yang bekerja dengan
prinsip bakteri yang dapat tumbuh pada media ini adalah bakteri yang tahan pada
keadaan garam yang tinggi dan selama pertumbuhan menghasilkan asam, sehingga
mengubah indikator pH yang mengubah warna merah menjadi kuning.
Agar darah merupakan media yang paling banyak digunakan unuk penanaman
bakteri yang sukar tumbuh karena pada agar darah domba mengandung nutrisi yang
dibutuhkan bakteri. Media pada dasarnya terdiri dari sumber protein (pepton), protein
kedelai olahan (mengandung KH), NaCl, agar dan darah domba 5%. Bakteri penghasil
enzim ekstraseluler yang dapat melisiskan sel darah merah domba pada agar
(hemolisis). Terdapat tiga bentuk hemolisis darah, yaitu:
- Alpha-hemolisis yang membentuk zona kehijauan hingga coklat muda disekitar
koloni, bakteri menghemolisa sebagian hemoglobin sehingga meninggalkan
pigmen hijau biliverdin.
- Beta-hemolisis yang membentuk zona transparan atau jernih disekitar koloni,
bakteri memproduksi β-hemolisin (Streptolisin O dan S), yang melisiskan sel darah
merah di media secara sempurna.
- Gamma-hemolisis yang tidak meghemolisa darah sehingga tidak terbentuk zona
hemolysis pada sekeliling koloni bakteri.

8
BAB II
ANALISIS JURNAL

2.1 Jurnal 1
Pada penelitian yang dilakukan oleh Rainbow L.P. Lee, Polly H.M. Leung, dan
Thomas K.S. Wong (2014) tentang efektivitas dari tea tree oil terhadap penyembuhan
luka dan penyebaran MRSA (Methicillin-resistant Staphylococcus aureus). Pada
penelitian ini terdapat 32 sampel, 16 di kelompok kontrol yang menerima dressing kasa
saline secara rutin dan 16 menerima dressing 10% tea tree oil. Sampel dipilih
berdasarkan dua kriteria yaitu klien dengan luka tingkat stadium II atau diatas dan
dengan luka MRSA. Penelitian ini dilakukan selama 4 minggu. Hasil penelitian ini
menunjukkan tea tree oil tidak memiliki efek samping atau reaksi alergi seperti demam,
ruam, iritasi, nyeri, edema atau intoleransi terhadap penggunaan dressing tersebut. Pada
MRSA dalam luka didapatkan hasil penurunan pada kelompok tea tree oil yaitu
minggu pertama (4.531 CFU / ml), kedua (2375 CFU / ml), ke tiga (468 CFU / ml) dan
minggu ke empat (93 CFU / ml) atau berkurang masing-masing 36%, 66%, 93% dan
98%. Sebaliknya terjadi peningkatan jumlah MRSA pada kelompok kontrol dengan
minggu pertama (8125 CFU / ml), kedua (8937 CFU / ml), ketiga (9875 CFU / ml) dan
keempat (10312 CFU / ml) atau meningkat masing-masing dengan 26%, 39%, 53% dan
60%.
2.2 Jurnal 2
Pada penelitian yang dilakukan oleh Khalil, Dead’s dan Abdelazeem (2019)
tentang penggunaan tea tree oil dalam pencegahan MRSA. Pada penelitian ini terdapat
120 pasien dewasa yang memiliki riwayat penyakit kritid di unit perawatan intensif
neurologis Rumah Sakit Mansoura dengan kelompok usia pasien berkisar antara 20
sampai 60 tahun, terbagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok dengan tea tree oilI
sehari sekali menggunakan teknik aseptik dengan kain kasa dan losion tea tree oil
dibiarkan pada kulit pasien sampai hari ketujuh dan kelompok kontrol yang mandi
dengan sabun cair dan air sehari sekali dalam rentang waktu antara 30-45 menit pada
shift pagi selama 7 hari. Dan pada hari ketujuh di swab dari hidung dan selangkangan
pada semua pasien dalam kedua kelompok tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan
perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok tersebut, tidak terdapat MRSA pada
kelompok tea tree oil sedangkan pada kelompok kontrol keseluruhan positif MRSA.

9
2.3 Jurnal 3
Hasil lain diperkuat dengan hasil penelitian Savitri (2017), Tea Tree Oil
mempunyai aktivitas antibakteri terhadap bakteri Staphylococcus aureus yang
mengandung terpinen-4-ol, sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri
Staphylococcus aureus. Oleh karena itu dapat dibuat untuk pengobatan infeksi kulit
dalam bentuk krim. Krim dipilih karena lebih mudah di aplikasikan, lebih nyaman di
gunakan pada kulit, tidak lengket dan dapat di cuci dengan air. Penelitian tersebut
dilakukan untuk menentukan karakteristik fisik dan mengetahui aktivitas antibakteri
sediaan krim Tea Tree Oil. Hasil pemeriksaan organoleptis krim tea tree oil memiliki
tekstur lembut dan sedkit encer, berwarna putih, serta berbau khas Tea Tree Oil. Pada
peningkatan kadar bahan aktif Tea Tree Oil menunjukkan bahwa pH sediaan semakin
menurun, viskositas semakin menurun, daya sebar semakin meningkat, serta evaluasi
antibakteri yang meningkat. Berdasarkan hasil uji karakteristik fisik sediaan krim Tea
Tree Oil yang memberikan hasil optimal adalah formula 2 dengan konsentrasi bahan
aktif Tea Tree Oil 25%. Serta seluruh formula uji memiliki daya hambat kuat terhadap
perkembangan bakteri pada luka.

10
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Pembahasan
Luka adalah suatu kondisi kelangsungan jaringan di dalam tubuh akibat cedera
atau pembedahan yang dapat menyebabkan terganggunya fungsi tubuh yang
mengganggu aktivitas sehari-hari. Pohon teh (Melaleuca Alternifolia) adalah tanaman
endemik yang dapat ditemukan di Australia dan memiliki banyak manfaat. Tujuan dari
literatur penelitian ini adalah untuk mengetahui hasil penggunaan minyak pohon teh
(Melaleuca Alternifolia) untuk perawatan luka berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan (Sholihah, 2019).
Tea tree oil adalah minyak esensial atsiri yang diperoleh dari hasil penyulingan
dari cabang-cabang terminal daun tanaman Melaleuca alternifolia, merupakan pohon
kayu yang aslinya berasal dari daerah timur laut New South Wales, Australia. Tea tree
oil sangat efektif dalam mengatasi berbagai infeksi sebagai antiinflamasi, mengandung
antioksidan yang dapat mencegah terjadinya kanker kulit (Pazyar dan Yaghoobi, 2012).
Minyak pohon teh (tea tree oil) merupakan suatu minyak yang proses
pembuatannya dilakukan dengan menyuling uap air melalui mesin penyuling. Proses
dilakukan berdasarkan produksi uap dari dedaunan pohon Melauleca alternifolia, yang
dimasukkan ke dalam suatu tempat, kemudian dinyalakan ke kapasitor. Cairan
kemudian dituangkan ke dalam gelas Florentino, dimana telah diberikan tekanan pada
bagian dasarnya, sehingga massa cairan yang lebih ringan akan berada di atas sehingga
bisa disuling (Epochtimes, 2009).
Tea tree oil terdapat kurang lebih 100 komponen, tea tree oil mengandung
terpinen dan cineole, terpinen sangat efektif dalam proses penyembuhan luka
sedangkan cineole efektif sebagai disinfektan. Terpinen-4-ol merupakan komponen
utama yang mengandung sekitar 40% yang ternyata memiliki aktivitas anti mikroba
(Kumari, 2013).
Komposisi minyak esensial tea tree mengandung kompleks seperti terpinen-4-ol
(sampai 30%), sineol, pinen, cymen, sesquiterpen, sesquiterpen alkohol menjadikannya
sebagai minyak antimikroba (Bagg, Jackson dan Petrina, 2006). Tea tree oil dikenal
dengan potensi medisnya yang cukup berkhasiat sebagai antibakteri, antijamur,
antiviral, antiprotozoa, antiinflamasi dan sebagai antiseptik (Ramadass dan Padma,
2015).

11
Minyak ini bermanfaat sebagai anti-radang, deodoran, expectorant (pereda
dahak). Tea tree oil dapat digunakan sebagai anetesi lokal yang ringan. Tea tree oil
juga memiliki daya larut yang sempurna dan penetresi kulit. Salah satu keistimewaan
tea tree oil yang paling menarik adalah komposisi minyak atsiri yang kompleks
menjadikannya sebagai minyak serbaguna dan membuatnya dapat diterapkan pada
partikel organik seperti nanah dan darah, tanpa kehilangan aktivitas antimikrobianya.
Hal ini diperlukan sebagai pencegahan peradangan (Epochtimes, 2009).
Mekanisme aksi tea tree oil terhadap bakteri didasarkan pada kandungan minyak
atsiri yang mempunyai struktur utama yaitu berupa rantai hidrokarbon. Struktur
hidrokarbon tersebut masuk ke dalam membran biologis bakteri kemudian mengganggu
proses terbentuknya dinding sel, merusak membran sel, menghambat kerja enzim, dan
menghancurkan material-material genetik yang ada pada bakteri. Hidrokarbon yang
bersifat tidak stabil dan merupakan hidrokarbon aromatik yang dapat dianggap sebagai
polimer isoprena yang memiliki rumus C5H8 (Carson, Hammer, dan Riley, 2006 dalam
Astuti dan Zahara, 2013). Tidak adanya hidrokarbon dan konsentrasi rendah terpene
dalam tea tree oil, mengakibatkan lisis dan hilangnya integritas membran dan
manifestasi fungsi oleh kebocoran ion kalium dan menunjukkan hambatan respirasi.
Kesimpulannya, hilangnya bahan intraselular, ketidakmampuan mempertahankan
homeostasis dan hambatan respirasi setelah perawatan dengan tea tree oil dengan
mekanisme aksi antibakteri dapat menyebabkan hilangnya integritas dan fungsi
membran bakteri (Carson et.al., 2006 dalam Astuti dan Zahara, 2013).
Rantai hidrokarbon utama yang terdapat dalam tea tree oil adalah terpinen-4-ol
yang dapat terakumulasi dalam jaringan lipid membran sel bakteri, dan menyebabkan
terganggunya struktur dan fungsi dari membran sel (Hertiani, Pratiwi, dan Ardani,
2010). Dinding sel bakteri tersusun dari lapisan peptidoglikan. Adanya minyak atsiri
dalam dinding sel bakteri menyebabkan meningkatnya tekanan osmosis dalam sel
sehingga menyebabkan terjadinya lisis pada sel bakteri (Carson et.al., 2006 dalam
Astuti dan Zahara, 2013). Kemampuan minyak atsiri dalam tea tree oil lebih efektif
untuk menghambat pertumbuhan bakteri gram positif seperti S. aureus. Hal ini
dikarenakan bakteri gram positif memiliki membran sel yang relatif lebih sederhana
dibandingkan dengan bakteri gram negatif. Pada bakteri gram negatif, membran luar
ikut berperan sebagai penghalang masuknya bahan-bahan kimia dan senyawa
hidrofobik termasuk antibiotik ke dalam sel bakteri. Sedangkan sel bakteri gram positif
tidak memiliki membran luar (Soetjipto, 2008).

12
Gambar 1. Proses proliferasi luka pada aplikasi tea tree oil (Roqya N. T.,
Behnaz G., dan Amir A., 2018).

Mekanisme Tea Tree Oil (TTO) sebagai antibakteri pada Staphylococcus aureus
dengan TTO menyebabkan kebocoran ion potassium dan menghambat respirasi di
mitokondria. TTO menyebabkan ion K+ dan Na+ dapat menembus membran
sitoplasma pada bakteri Staphylococcus yang mengakibatkan terjadi perubahan
morfologis pada membran sitoplasma. Singkatnya , hilangnya fungsi dan kebocoran
pada membran sitoplasma sel, menyebabkan penimbunan air dalam membran plasma,
peningkatan volume pada membran plasma ini akan menghambat sintesis enzim yang
terjadi didalam membran sel akibatnya sel tidak mampu mengendalikan tekanan turgor
yang ada dalam sel mengganggu keseimbangan garam dalam sel, dan adanya
penghambatan repirasi glukosa mengakibatkan terjadinya lisis pada sel bakteri
(Rodneyet et.al., 2015).
Kandungan terpinen-4-01, α-terpineol dan a-pinene pada tea tree oil ditemukan
efektif melawan Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis dan
Propionibacterium acnes. Terpinen-4-ol adalah juga efektif melawan Staphylococcus
aureus methicillinresistant (MRSA) dan coagulasenegative Staphylococcus (CoNS)
menunjukkan bahwa TTO yang digunakan pada konsentrasi 10% memiliki efek yang
sebanding dengan mupirocin topikal melawan bakteri S. aureus. Pada konsentrasi ini,
tidak ditemukan ada resistensi, menggunakan TTO 5% efektif dalam menghilangkan
MRSA dari kulit (Li et al, 2016).

13
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Dari beberapa penelitian pada bab sebelumnya telah banyak membahas tentang
efektifitas dan mekanisme kerja dari tea tree oil. Efektivitas tea tree oil terhadap
penyembuhan luka dan penyebaran MRSA (Methicillin-resistant Staphylococcus
aureus) terukti efektif dan dapat digunakan pada praktik perawatan luka.
Penelitian yang memperkuat argumen tersebut antara lain seperti yang
disampaikan oleh Sholihah (2019), pada penelitianya terdapat 77% hasil terbukti efektif
dalam perawatan luka yang menggunakan minyak pohon teh (Melaleuca Alternifolia).
Kandungan terpinen-4-01, α-terpineol dan a-pinene pada tea tree oil ditemukan
efektif melawan Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis dan
Propionibacterium acnes. Terpinen-4-ol adalah juga efektif melawan Staphylococcus
aureus methicillinresistant (MRSA) dan coagulasenegative Staphylococcus (CoNS)
menunjukkan bahwa TTO yang digunakan pada konsentrasi 10% memiliki efek yang
sebanding dengan mupirocin topikal melawan bakteri S. aureus. Pada konsentrasi ini,
tidak ditemukan ada resistensi, menggunakan TTO 5% efektif dalam menghilangkan
MRSA dari kulit (Li et al., 2016).

4.2 Saran
Masih perlu penelitian lebih lanjut terkait kombinasi dan bentuk sediaan tea tree
oil. Dalam Labib et al. (2019), kombinasi tea tree oil dan minyak esensial rosemary
dalam preparat berbasis kitosan dalam kombinasi yang tepat, dapat secara efisien
mempromosikan berbagai tahap penyembuhan luka. Hal ini masih membutuhkan
penelitian lebih kanjut guna melihat efektefitias dari kombinasi tersebut.
Studi lain yang perlu diteliti dalam pengemangan tea tree oil adalah penelitian
dari Roqya N. T., Behnaz G., dan Amir A. (2018), tea tree oil yang dibuat dalam
sediaan gel nano-emulsi memberikan hasil yang baik. Luka yang diberi pengobatan
topikal dengan nano-emulsi gel menunjukan tidak adanya iritasi. Selain itu, tidak
adanya efek samping pada hati dan enzim menunjukkan potensi nano-emulsion gel
sebagai inovasi dan pengembangan dalam terapi perawatan luka.

14
DAFTAR PUSTAKA

Astuti, Pudji dan Meliawaty, Zahara. 2013. Efek Antibakteri Pasta Gigi yang Mengandung
Tea Tree Oil terhadap Bakteri Aureus, S. Mutans dan S.Virdans. Stomatognatic (J.K.G.
Unej), 10(3).121-124.
Bag, J., Jackson, M.S., M., Petrina Sweeney. (2006). Susceptibility to Melaleuca Alternifolia
(Tea Tree) Oil of Yeasts Isolated From The Mouths of Patients With Advanced Cancer.
Oral Oncol. 88-92.
Biantoro IK. (2008). Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Yogyakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.
Brooks G.F., Carroll KC, Butel JS, Morse SA, Mietzner TA, penyunting. (2012). Jawetz,
Melnick, & Adelberg. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi 25. Jakarta: EGC.
Budiman, Haris Mulya. (2019). Prevalensi Kolonisasi Bakteri Methicillin Resistant
Staphylococcus Aureus (Mrsa) Di Ruang Intensive Care Unit (Icu) Rumah Sakit Umum
Daerah Abdul Moeloek Bandar Lampung. Lampung: Universitas Lampung.
Carson, C.F., Hammer, K.A., dan Riley, T.V. (2006). Melaleuca Alternifolia (Tea Tree) Oil :
A Review of Antimicrobial and Other Medicinal Properties. Clinical Microbiology,
19(1).50-62.
Federal Bureau of Prison. (2010). Management of Methicillin Resistant Staphylococcus
aureus (MRSA). Clinical Practice Guidelines.
Greenwood D, Slack RC, Barer MR, Irving WL. (2012). Medical Microbiology: A Guide to
Microbial Infections: Pathogenesis, Immunity, Laboratory Diagnosis and Control.
With Student Consult Online Access. Elsevier Health Sciences.
Harvey, RA. (2013). Lippincott’s Ilustrated Review Microbiology Ed.3. Philadelphia:
Lippincott William and Wilkins.
Hertiani, T., Pratiwi, T.U.S., dan Ardani, M. (2010). Efek Campuran Minyak Atsiri Daun
Cengkeh dan Kulit Batang Kayu Manis Sebagai Antiplak Gigi. Majalah Farmasi
Indonesia, 21(3), 191-201.
Khalil, Nahla Shaaban, Dead’s, Asmaa Ibrahim Abo, Abdelazeem, Rahma Mousa. (2019).
Effect of Body Wash with Tea Tree Oil on The Prevention of Methicillin-Resistant
Staphylococcus Aureus in Critically III Patients at A University Hospital in Egypt. Iris
Journal of Nursing & Care, 4(1), 1-5.Doi : 10.33552/IJNC.2019.01.000519. ISSN :
2643-6892.

15
Kumari, P. (2013). Antimicrobial Properties of Tea Tree Oil. International Journal of
Bioinformatics and Biological Science V, 1(1), 71-77.
Kusuma SAF. (2009). Staphylococcus aureus. Jatinangor: Universitas Padjadjaran.
Labib, R. M., et al. (2019). Appraisal on the wound healing potential of Melaleuca
alternifolia and Rosmarinus officinalis L. essential oil-loaded chitosan topical
preparations. PLOS ONE: Online Journal. Vol. 14(9), hal. 1-17.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0219561.
Lee, Rainbow L.P., Leung, Polly H.M., dan Wong, Thomas K.S. (2014). A Randomized
Controlled Trial Of Topical Tea Tree Preparation For MRSA Colonized Wounds.
International Journal of Nursing Sciences I, 7-14.
http://dx.doi.org/10.2016/j.ijnss.2014.01.001
Mesher, Anthony L. (2012). Histologi Dasar Junqueira Teks dan Atlas Edisi 12. Jakarta :
EGC
Nurkusuma dan Dudy Disyadi. (2009). Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian
Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) Pada Kasus Infeksi Luka Pasca
Operasi Di Ruang Perawatan Bedah Rumah Sakit Dokter Kariadi Semarang. Master
Thesis, Diponegoro University.
Otto M. (2014). Staphylococcus aureus toxins. Current Opinion in Microbiology. Elsevier
Ltd. 17(1):32–7.
Paul, William E. 2013. Fundamental Immunology Ed. 7. Philadelphia: Wolter Kluwer Health.
Pazyar N., Yaghoobi, R. (2012). Tea Tree Oil as a Novel Antipsoriasis Weapon. Skin
Pharmacol Physiol, 25, 162-163.
Ramadass, M. dan Padma, T. (2015). A Review on Melaleuca alternifolia (Tea Tree Oil). Int
J Pharm Bio. 655-661.
Ray P, Gautam V, Singh R, editors. (2011). Methicillin-resistant Staphylococcus aureus
(MRSA) in developing countries: implications and solutions. Regional Health Forum.
Roqya N. T., Behnaz G., & Amir A. (2018). Delivery of adapalene using a novel topical gel
based on tea tree oil nano-emulsion: Permeation, antibacterial and safety assessments.
European Journal of Pharmaceutical Sciences. Vol. 120, hal. 142-151. Elsevier.
https://doi.org/10.1016/j.ejps.2018.04.029.
Savitri, L. (2017). Formulasi dan Uji Antibakteri Krim Tea Tree Oil Terhadap Bakteri S.
Aureus Secara In Vitro. Bachelors Degree (S1) thesis, University of Muhammadiyah
Malang.

16
Sholihah, N. A. (2019). Studi Literatur Penggunaan Minyak Tea Tree (Melaleuca
Alternifolia) dalam Perawatan Luka. Bachelors Degree (S1) thesis, University of
Muhammadiyah Malang.
Soetjipto, H. (2008). Aktivitas Minyak Atsiri dan Toksisitas Ekstrak Bunga Legetan
(Spilanthes Paniculata Wall). Berkala Ilmiah Biologi, 7(2), 53-59.
Sulistiyaningsih. (2010). Uji Kepekaan Beberapa Sediaan Antiseptik Terhadap Bakteri
Staphylococcus aureus dan Staphylococcus aureus Resisten Metisilin (MRSA).
Jatinangor: Universitas Padjadjaran.
Yuwono. (2012). Staphylococcus aureus dan Methicilin-Resistant Staphylococcus aureus
(MRSA) [Disertasi]. Palembang : Departemen Mikrobiologi FK Unsri.

17

Anda mungkin juga menyukai