Anda di halaman 1dari 5

LIMBAH KUALITAS IMPOR

Fikri Adib Rianto

Indonesia sebagai negara pengimpor limbah kini menjadi isu menarik yang
tengah hangat diperbincangkan dalam kurun waktu 2 bulan terakhir. Pernyataan ini
memang bisa dibilang mengejutkan karena pelaksanaan yang telah dimulai sejak 2016
lalu, tak pernah muncul ke permukaan. Publik baru heboh ketika media massa
mengabarkan berita mengenai penyelundupan sampah berbahaya pada sekitar bulan
Juni lalu. Sebenarnya legalitas mengenai impor sampah telah diatur dalam Peraturan
Menteri Perdagangan Nomor 31/M-DAG/PER/5/2016 tentang Ketentuan Impor Limbah
Non Bahan Berbahaya dan Beracun. Ini berarti, pemerintah telah memberikan izin
secara sah dan semua berlandaskan hukum. Impor limbah jelas bukan kegiatan ilegal.
Pada periode pelaksanaan tahun 2016-2018 pun tak banyak protes yang mencuat. Impor
limbah dianggap lumrah. Mengapa bisa tiba-tiba topik ini muncul dan menjadi
perdebatan banyak pihak?

Perlu dipahami terlebih dahulu mengenai mekanisme impor limbah itu sendiri.
Impor berarti mendatangkan barang/jasa dari luar negeri ke dalam negeri, sedangkan
limbah yakni sisa hasil usaha produksi yang sudah tidak terpakai. Jadi, impor limbah
merupakan kegiatan mendatangkan sisa hasil produksi dari perusahaan luar negeri –
bertindak sebagai eksportir – ke dalam negeri. Tak sembarang limbah bisa diimpor,
hanya limbah-limbah tertentu yang telah ditentukan dan diklasifikasikan oleh
pemerintah. Limbah yang diizinkan untuk diimpor disebut Limbah Non Bahan
Berbahaya dan Beracun atau biasa disingkat Limbah Non B3. Limbah ini dibagi
menjadi 2 kategori, kategori A dan kategori B. Secara umum, limbah ini berupa sisa
atau skrap dari bahan organik dan non organik yang peruntukannya sudah berubah dari
fungsi asli akan tetapi masih memiliki karakteristik yang sama.

Limbah-limbah ini diimpor oleh pihak-pihak tertentu. Oleh karena itu, kita tidak
bisa serta merta menggunakan kata ‘Indonesia’ untuk mewakili pihak yang mengimpor
limbah seperti yang biasa terdapat pada judul artikel media massa. Pasalnya, hanya
perusahaan-perusahaan industri besar, yang bertindak sebagai importir seperti
perusahaan kertas dan plastik. Perusahaan importir tersebut merupakan perusahaan
berjenis manufaktur yang memproses bahan mentah menjadi barang jadi. Limbah akan
digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong.

Perusahaan importir memiliki banyak konsiderasi dalam memutuskan untuk


impor limbah. Satu alasan paling klise yang banyak dijumpai adalah impor limbah
memiliki nilai tambah yang menguntungkan. Jauh lebih efisien biaya apabila
mengimpor limbah dari luar negeri daripada membeli bahan baku baru. Biaya
pengapalan limbah dinilai lebih hemat.

Perlu dimafhumi bahwa perusahaan yang berkecakapan baik dalam melengkapi


dokumenlah yang diizinkan mengimpor. Banyak persyaratan administrasi yang perlu
dilengkapi agar tak sembarang limbah bisa masuk. Tak lengkap maka tak impor,
mungkin itulah kalimat yang tepat dalam menggambarkan kondisi perusahaan sebelum
menjadi importir. Beberapa persyaratan yang dibutuhkan adalah adanya PI (Persetujuan
Impor) dari Kementerian Perdagangan dengan melampirkan API-P (Angka Pengenal
Importir-Produsen), telah dilakukan penelusuran teknis oleh Surveyor serta memiliki
LHS (Laporan Hasil Surveyor) yang baik, memiliki fasilitas pengelolaan limbah yang
ramah lingkungan dan masih banyak lagi. Tentu hal tersebut bukan merupakan hal yang
mudah.

Setelah mendapat izin impor pun perusahaan tersebut tidak bisa memperlakukan
limbah secara langgas. Limbah hanya boleh digunakan untuk kepentingan industri,
diolah sendiri secara internal dan tidak untuk diperdagangkan. Dikutip dari
republika.co.id, PI Limbah Non B3 akan dicabut apabila perusahaan melanggar
ketentuan memindahtangankan dan memperdagangkan Limbah Non B3 kepada pihak
lain, tidak melaksanakan kewajiban mengolah sendiri Limbah Non B3 yang diimpor,
tidak melaksanakan reekspor apabila terdapat kandungan Limbah B3, mengubah atau
menambah isi yang tercantum dalam PI, dan lain-lain.

Menurut perspektif hukum, tidak ada yang salah dengan impor limbah.
Peraturan telah dibuat, ketentuan sudah dilegitimasi. Akan tetapi, tiada gading yang tak
retak. Semua hukum memiliki celah untuk dilanggar. Setiap kebijakan pasti memiliki
kekurangan, termasuk dalam kegiatan impor limbah.
Istilah ‘impor limbah’ membentuk stigma negatif di pikiran setiap orang yang
mendengarnya. Akan terbesit pertanyaan-pertanyaan “Mengapa tidak menggunakan
limbah sendiri?” “Mengapa harus impor?” “Apakah Indonesia kekurangan limbah?”.

Dalam konteks perusahaan pengimpor limbah, 2 macam industri besar yang


menjadi pihak utama ialah perusahaan kertas dan plastik. Untuk perusahaan kertas,
bahan baku yang digunakan bisa berupa kertas bekas/waste paper. Limbah kertas ini
lebih dianjurkan penggunannya mengingat ongkos produksi bisa berkurang sekaligus
melestarikan hutan. Dilansir dari kemenperin.go.id dari 100% produksi kertas, hanya
60% yang beredar dan terserap pasar domestik, selebihnya diekspor. Produksi tersebut
menggunakan 50% bahan baku waste paper yang jika dinominalkan sekitar 7 juta ton,
dan mirisnya sekitar 4,5 juta ton di antaranya berasal dari pasar impor. Ini disebabkan
kualitas kertas bekas domestik tidak begitu baik. Padahal, pemerintah menargetkan dari
60% kertas yang terserap pasar, 70% diharapkan bisa menjadi kertas bekas untuk didaur
ulang menjadi bahan baku industri, sehingga pangsa pasar waste paper impor bisa
dikurangi.

Banyak faktor penyekat yang membuat target pemerintah belum bisa terealisasi.
Sampah-sampah kertas bekas masih tercampur dengan sampah-sampah lain, masyarakat
masih belum sadar untuk memisahkan waste paper basah dan kering. Selain itu, kurang
tersedianya instalasi pengolahan kertas bekas di daerah-daerah besar penghasil kertas
seperti Jakarta dan Jawa Timur. Ketersediaan mesin pengolahan ini cukup efektif untuk
mengurangi impor limbah. Kemudian, regulasi pemerintah juga tidak kondusif,
mengingat kertas bekas digolongkan menjadi Limbah Non B3 diperlakukan dengan
inspeksi yang ketat sehingga produksi menjadi tidak efisien.

Intervensi pemerintah sudah seyogyanya ditingkatkan. Tak bisa lagi pemerintah


memandang sebelah mata dan menganggap remeh industri kertas bekas. Jika saya
menjadi bagian dari parlemen, saya akan memaksimalkan fungsi anggaran DPR dengan
memberikan kucuran dana tambahan pada APBN untuk Kementerian Perindustrian
yang nantinya digunakan untuk pengadaan instalasi pengolahan kertas bekas. Selain itu,
sesuai dengan hak petisi yang dimiliki, jika saya mendapat kursi di DPR saya akan
mengajukan usulan atau saran untuk membuat aturan mengenai pengolahan Limbah
Non B3 menjadi lebih fleksibel. Tidak semua kertas bekas yang akan digunakan untuk
bahan baku industri diinspeksi secara ketat. Jika memang dipandang perlu, hanya waste
paper hasil impor saja yang diperiksa untuk meminimalisir tindakan penyelundupan
limbah berbahaya. Selanjutnya, pengaplikasian asas desentralisasi dan otonomi daerah
harus lebih ditingkatkan. Saya akan mengajukan dalam rapat bahwa parlemen sebaiknya
mengimbau pada setiap daerah untuk menggalakkan program pemisahan sampah
terutama sampah kertas. Masing-masing daerah dianjurkan membentuk Badan
Pengelolaan Sampah Kertas untuk mengumpulkan, memisahkan, serta mendistribusikan
kertas bekas ke daerah-daerah industri. Jika ini mampu diterapkan maka impor waste
paper bisa berkurang.

Selain masih mengandalkan limbah luar negeri, kegiatan impor limbah menjadi
riskan disusupi oleh sampah dan limbah berbahaya. Dilansir dari kompas.com sebanyak
38 dari 65 kontainer limbah plastik yang masuk di Pelabuhan Peti Kemas Batuampar,
Batam, Kepulauan Riau, dipastikan mengandung limbah bahan berbahaya dan beracun
(B3). Hal tersebut berdasarkan tes laboratorium yang dilakukan Kantor Pelayanan
Umum (KPU) Bea dan Cukai Tipe Batam, Kepulauan Riau. Selain itu, 11 kontainer lain
berisikan limbah plastik tercampur sampah. 16 kontainer sisanya dinyatakan tidak
mengandung limbah B3 dan tidak tercampur sampah.

Dalam kasus ini, kita harus memahami dari bagian hulu. Perusahaan plastik
melakukan impor limbah plastik juga dengan tujuan untuk bahan baku industri. Dimana
limbah tersebut akan didaur ulang menjadi biji plastik dengan proses tertentu. Nantinya
biji plastik daur ulang ini bisa diolah kembali menjadi botol-botol kemasan, wadah
makanan, perabotan, dan lain-lain. Dari sekian banyak jenis plastik hanya ada 4 kategori
yang bisa didaur ulang yaitu PET, HDPE, LDPE, dan PP karena tidak berbahaya dan
aman. Jadi, yang dilakukan industri plastik selama ini adalah mengimpor limbah plastik
jenis tertentu untuk diolah kembali karena memiliki nilai tambah yang ekonomis.

Namun, fakta di lapangan berkata lain. Dalam proses impor limbah plastik telah
terjadi penyelewengan oleh oknum tidak bertanggung jawab. Perusahaan eksportir dari
luar negeri memasukkan limbah B3 ke dalam tumpukan plastik yang akan digunakan
untuk bahan baku industri tersebut. Tak jelas apa motifnya, tapi kemungkinan ada
kelengahan dalam pemilahan sampah. Bisa saja eksportir tidak melakukan pemfilteran
atau mungkin sengaja memasukkan limbah B3 untuk ‘membuat penuh’ kontainer
sehingga beban menjadi berat. Semakin berat dan banyak limbah dalam satu kontainer,
eksportir akan semakin banyak mendapat keuntungan.

Setelah ditelaah ternyata ada celah hukum yang kosong dalam Permendag No 31
Tahun 2016. Celah ini mendorong terjadinya pelanggaran hukum seperti apa yang
terjadi pada industri plastik. Dalam aturan tersebut belum diatur mengenai bagaimana
persyaratan perusahaan luar negeri diizinkan menjadi eksportir. Tak banyak dokumen
yang harus dilengkapi sebelum perusahaan mengekspor limbah. Kebanyakan pasal
hanya mengatur bagaimana sebuah perusahaan dalam negeri menjadi importir. Selain
itu, sanksi yang diberikan apabila terjadi pelanggaran tak cukup membuat efek jera bagi
pelaku. Sanksi yang diberikan lebih mengarah kepada satu pihak yaitu perusahaan
importir. Untuk eksportir dan surveyor-yang bertugas melakukan penelusuran teknis
seakan diberikan keleluasaan yang lebih.

DPR sebagai salah satu lembaga legislatif Indonesia memiliki banyak wewenang
dan hak untuk menyelesaikan persoalan ini. Jika saya menjadi seorang legislator, saya
akan mengimplementasikan fungsi pengawasan yang dimiliki dengan mengubah atau
merevisi UU dari Kementerian Perdagangan. Parlemen memiliki hak untuk
mengusulkan agar ada tambahan sanksi bagi pihak-pihak terkait, seperti misalnya black
list eksportir hingga menuntut ke jalur pengadilan, pelarangan importir untuk beroperasi
karena dinilai lengah, dan lain-lain. Saya akan mengusahakan dalam DPR untuk
mengintegrasikan koordinasi dengan banyak lembaga terkait. Lembaga tersebut antara
lain, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan, Direktorat Jenderal Bea Cukai, Dinas Lingkungan Hidup
setempat dan lain sebagainya. Ini bertujuan untuk meningkatkan pengawasan dan
meminimalisir tindak pelanggaran serupa sehingga pengawasan menjadi lebih ketat.

Sudah selayaknya impor limbah dikurangi, pemerintah harus lebih fokus dalam
pengadaan bahan baku dalam negeri. Industri akan semakin untung jikalau bahan baku
dapat disediakan sendiri tanpa harus menanggung biaya impor. Mari berbenah gasik,
kurangi impor kertas dan plastik, untuk Indonesia yang lebih baik.

Anda mungkin juga menyukai