Anda di halaman 1dari 44

PRESENTASI KASUS

DEMAM TIFOID DAN ATRIAL SEPTAL DEFECT (ASD)

Diajukan kepada :
dr. Rachmad Aji Saksana, M.Sc, Sp.PD

Disusun oleh :
Rian Ainunnahqi G4A015015
Reza Amorga G4A015016

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO

2015

1
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS

DEMAM TIFOID DAN ATRIAL SEPTAL DEFECT (ASD)

Disusun oleh :
Rian Ainunnahqi G4A015015
Reza Amorga G4A015016

Telah dipresentasikan pada


Tanggal, Oktober 2015

Pembimbing,

dr. Rachmad Aji Saksana, M.Sc, Sp.PD

2
BAB I
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Nn. S
Usia : 16 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Status : Belum Menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Ajimas 1/11, Ajibarang
Tanggal masuk : 5 Oktober 2015
Tanggal periksa : 6 Oktober 2015
No. CM : 00938972

II. SUBJEKTIF
1. Keluhan Utama
Demam
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien Nn. S usia 16 tahun datang ke RSMS pada 5 Oktober 2015
dengan keluhan utama demam sejak empat hari sebelum masuk rumah
sakit. Demam dirasakan setiap hari dan meningkat pada senja hari.
Demam akan lebih meningkat bila pasien kelelahan dalam aktivitas
hariannya. Untuk menangani demamnya, pasien minum parasetamol
yang dibeli di warung, tetapi tidak kunjung membaik.
Pasien juga mengeluh perut sakit, mual, muntah, mudah lelah, dan
sering pingsan. Pasien merasa perutnya tidak nyaman. Pasien juga
merasa nafsu makannya berkurang. Pasien pernah menjalani
pemeriksaan di RSUD Banyumas dan dinyatakan menderita penyakit
jantung bawaan yang dibuktikan melalui beberapa pemeriksaan.

3
3. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat keluhan serupa : disangkal
b. Riwayat mondok : diakui, setahun lalu di RSUD Ajibarang
c. Riwayat penyakit jantung : diakui, penyakit jantung bawaan
d. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
e. Riwayat hipertensi : disangkal
f. Riwayat diabetes melitus : disangkal
g. Riwayat asma : disangkal
h. Riwayat alergi : disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat keluhan serupa : disangkal
b. Riwayat mondok : disangkal
c. Riwayat penyakit jantung : disangkal
d. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
e. Riwayat hipertensi : disangkal
f. Riwayat diabetes melitus : disangkal
g. Riwayat asma : disangkal
h. Riwayat alergi : disangkal
5. Riwayat Sosial Ekonomi
a. Community
Pasien tinggal di Ajimas, Ajibarang bersama ayah, ibu dan
adiknya di lingkungan padat penduduk. Rumah satu dengan yang lain
berdekatan. Hubungan antara pasien dengan tetangga dan keluarga
dekat baik. Di lingkungan rumah pasien tidak ada yang memiliki
keluhan serupa.
b. Home
Pasien tinggal di rumah dengan ukuran 10 x 15 m2 dan dihuni 4
orang, yaitu pasien, ayah, ibu dan adik pasien. Lantai rumah
beralaskan keramik, dan ada beberapa buah jendela serta ventilasi
yang tidak rutin dibuka. Rumah pasien terdiri dari tiga kamar tidur,
satu ruang tamu, satu ruang keluarga, satu dapur, dan satu kamar
mandi. Pasien mengaku memasak menggunakan kompor gas. Lantai

4
kamar mandi beralaskan keramik dan sumber air berasal dari PDAM.
Pencahayaan rumah pasien berasal dari lampu dan sinar matahari
yang cukup.
c. Occupational
Pasien adalah seorang pelajar. Pembiayaan rumah sakit pasien
menggunakan BPJS. Pembiayaan kebutuhan sehari-hari dibiayai oleh
ayah pasien.
d. Personal habit
Pasien mengaku makan sehari 3 kali sehari, dengan nasi, sayur
dan lauk pauk yang cukup. Pasien mengaku sering jajan makanan di
luar rumah dan tidak mengutamakan higienitas makanan tersebut.
Pasien mengaku tidak pernah merokok, minum alkohol, ataupun
mengkonsumsi obat-obatan terlarang.

III. OBJEKTIF
1. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : Sedang
b. Kesadaran : Compos Mentis, GCS E4M6V5 (15)
c. BB : 41 kg
d. TB : 158 cm
e. Vital sign
- Tekanan Darah : 90/50 mmHg
- Nadi : 60x/menit
- RR : 20x/menit
- Suhu : 37,7 oC
d. Status Generalis
1) Kepala
- Bentuk : mesochepal, simetris, venektasi temporal (-).
edema wajah (-)
- Rambut : warna hitam, tidak mudah dicabut, distribusi
merata, tidak rontok

5
2) Mata
- Palpebra : edema (-/-) ptosis (-/-)
- Konjungtiva : anemis (-/-)
- Sclera : ikterik (-/-)
- Pupil : reflek cahaya (+/+) normal,isokorØ 3 mm
3) Telinga
- otore (-/-)
- deformitas (-/-)
- nyeri tekan (-/-)
- discharge (-/-)
4) Hidung
- nafas cuping hidung (-/-)
- deformitas (-/-)
- discharge (-/-)
- rinorhea (-/-)
5) Mulut
- bibir sianosis (-)
- bibir kering (+)
- lidah kotor (+)
6) Leher
- Trakhea : deviasi trakhea (-/-)
- Kelenjar lymphoid : tidak membesar, nyeri (-)
- Kelenjar thyroid : tidak membesar
- JVP : nampak, tidak kuat angkat
7) Dada
a) Paru
- Inspeksi : bentuk dada simetris,ketinggalan gerak (-),
Jejas (-)
Retraksi suprasternalis (-)
Retraksi intercostalis (-)
Retraksi epigastrik (-)
- Palpasi : vocal fremitus kanan =kiri

6
ketinggalan gerak (-)
- Perkusi : sonor pada lapang paru kiri dan kanan
Batas paru – hepar di SIC VI LMCD
- Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), wheezing (-/-)
Ronki basah kasar (-/-), ronki basah halus (-
/-)
b) Jantung
- Inspeksi : ictus cordis nampak pada SIC V LMCS
- Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V LMCS, kuat angkat
(+)
- Perkusi : Batas jantung kanan atas : SIC II LPSD
Batas jantung kiri atas : SIC II LPSS
Batas jantung kanan bawah : SIC IV LPSD 1
jari lateral
Batas jantung kiri bawah : SIC V LMCS
- Auskultasi : S1>S2, reguler, murmur (+) sistolik , gallops
(-)
8) Abdomen
- Inspeksi : datar
- Auskultasi : bising usus (+) normal
- Perkusi : timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-),
nyeri ketok costovertebrae (-)
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), undulasi (-)
- Hepar : tidak teraba
- Lien : tidak teraba
9) Ekstrimitas
Superior : deformitas (-), edema (-/-), sianosis (-/-)
Inferior : deformitas (-), edema (-/-), sianosis (-/-)

7
2. Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium darah 5 Oktober 2015
Hb : 15,8 gr/dl N Normal : 14 – 18 gr/dl
Leukosit : 11.530 /ul H Normal : 4.800 – 10.800/ul
Hematokrit : 45% N Normal : 42 % - 52 %
Eritrosit : 4,9 juta/ul N Normal : 4,7 – 6,1 juta/ul
Trombosit : 180.000/ul N Normal: 150.000 - 450.000/ul
MCV : 80,8 fL N Normal : 79 - 99 fL
MCH : 30,8 pg N Normal : 27 - 31 pg
MCHC : 35,1 gr/dl N Normal : 33 – 37gr/dl
RDW : 12,3 % N Normal : 11,5 - 14.5 %
MPV : 10,0 fL N Normal : 7,2 - 11,1 fL

Hitung Jenis
Eosinofil : 2,0% N Normal : 2 – 4 %
Basofil : 0,4 % N Normal : 0 – 1 %
Batang : 3% N Normal : 2 – 5 %
Segmen : 66,8 % N Normal : 40 – 70%
Limfosit : 27,0 % N Normal : 25 - 40%
Monosit : 7,4 % N Normal : 2 – 8 %

Kimia Klinik
SGOT : 30 U/L N Normal : 15 - 37 U/L
SGPT : 47 U/L N Normal : 30 - 65 U/L
Ureum darah : 36,7 mg/dL N Normal : 15 - 37 U/L
Kreatinin darah: 1,13 mg/dL N Normal : 0.80 – 1.30 U/L
GDS : 90 mg/dl N Normal : < 200 mg/dl
Na : 139 N Normal : 136 – 145
K : 4,1 N Normal : 3,5 – 5,1
Cl : 101 N Normal : 98 - 107

8
Lab 6 Oktober 2015
Tes Widal
S. Typhi O : Positif, titer 1/160
S. Typhi H : Positif, titer 1/160
S. Paratyphi A-O : Negatif
S. Paratyphi A-H : Negatif
S. Paratyphi B-O : Positif, titer 1/160
S. Paratyphi B-H : Positif, titer 1/80
S. Paratyphi C-O : Positif, titer 1/320
S. Paratyphi C-H : Positif, titer 1/160

9
b. Echo Doppler

Gambar 1. Echocardiografi

10
Gambar 2. Echocardiografi

11
Gambar 3. Echocardiografi

Gambar 4. Echocardiografi

12
Gambar 5. Echocardiografi

13
Gambar 6. Echocardiografi

14
Hasil Pengukuran Nilai Normal

Aorta Root Dimension 25 20-37 mm

Atrium Kiri Dimension 29 15-40

LA/Ao Ratio 1,3 <1,3

Ventrikel Kanan Dimension 41 <30 mm

Fungsi Jantung EF 67 53-77%

IVS/PW Ratio <1,3

EPSS 5 <10 mm

MVA >3 cm2

Ventrikel Kiri EDD 33 35-52 mm

ESD 21 26-36 mm

IVS Diastole 8 7-11 mm

IVS Systole 14

IVS Frac. T >30%

PW Diastole 9 7-11 mm

PW Systole 13

PW Frac. T >30%

Other : Ukuran RA 37 mm, IVC tidak kolaps


Penemuan : RA dan RV dilatasi
Tampak ASD secundum L-R shunt ukuran 2,5-3 cm
Kontraktilitas LV : IVS paradox (LV D shape) dengan EF 67%
Kontraktilitas RV : Normal dengan TAPSE 23 mm
Analisa Segmental : IVS paradox
Katup Aorta : 3 cuspis, normal
Katup Mitral : Normal
Katup Tricuspid : Regurgitasi sedang
Katup Pulmonal : Regurgitasi ringan
Doppler : Ao vmax 131 cm/s, E/A>2, E’/A’>2, mpap 35
mmHg

15
Kesimpulan Ecocardiografi
1. ASD sekundum L-R ukuran 2,5-3 mm
2. RA dan RV Dilatasi
3. IVS Paradox dengan EF 67%
4. Disfungsi diastolik tipe restriktif
5. Fungsi sistolik RV normal
6. PR ringan, TR sedang, PH sedang

c. Elektrokardiografi

Gambar 7. Elektrokardiografi

d. Foto Thorax

Gambar 8. Fotothorax

16
Kesan :
- Batas kanan jantung superposisi dengan vertebra, batas
kiri baik
- Infiltrat disertai multiple lusen bentuk bulat pada perihiler
kanan kiri dan parakardial kanan (curiga infected
bronkiektasis)
- Penebalan hilus kanan (curiga limfadenopati)

e. Ultrasonografi Mammae

Gambar 9. USG Mammae


Kesan :
- Kedua mammae normal

IV. DIAGNOSIS
1. Demam Tifoid
2. Atrial Septal Defect (ASD)

17
V. PLANNING
1. Terapi
a. Farmakologi
1) IVFD D5% 10 tpm
2) Inj. Ceftriaxon 1 g / 12 jam
3) Inj. Ranitidin 1 amp / 12 jam
4) Inj. Ondansentron 1 amp / 12 jam
5) Parasetamol 3x500 mg
6) Lasix 3x1
b. Non Farmakologi
1) Edukasi pasien dan keluarga mengenai penyebab, pengobatan,
efek samping obat dan komplikasi dari penyakit demam tifoid dan
ASD yang dialami pasien.
2) Edukasi kepada pasien agar selalu makan tepat waktu dalam porsi
yang cukup dan memperhatikan higienitas makanan yang hendak
dimakan.
3) Kondisikan pasien untuk tirah baring agar mempercepat
pemulihan.
4) Pasien dapat diberikan diet bubur tinggi kalori tinggi protein
untuk mempercepat pemulihan.
2. Monitoring
a. Keadaan umum dan kesadaran
b. Tanda vital
c. Evaluasi klinis
- Pasien dievaluasi setiap hari, evaluasi klinis meliputi keluhan dan
pemeriksaan fisik
3. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubai ad bonam

18
BAB II
PEMBAHASAN

1. Penegakan Diagnosis
Typhoid Fever
a. Anamnesis
1) Pasien perempuan 17 tahun datang ke RSMS dengan keluhan demam
sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit.
2) Gejala penyerta: mual, muntah, mudah lelah dan sering pingsan.
3) Pasien tinggal bersama dengan ayah, ibu, dan adik pasien. Tidak ada dari
keluarga yang memiliki keluhan serupa dengan pasien.
4) Pasien mengaku sering makan jajan di luar rumah dan tidak
mengutamakan higienitas makanan bila makan di luar rumah.
b. Pemeriksaan Fisik
1) Antropometri
BB: 41 Kg
TB: 158 cm
IMT: 16,42 (underweight)
2) Vital Sign
Tekanan Darah : 90/50 mmHg
Nadi : 60 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 37,7 oC
3) Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-),
nyeri ketok costovertebrae (-)
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), undulasi (-)
Hepar : tidak teraba
Lien : tidak teraba

19
4) Pemeriksaan Ekstrimitas
1) Superior : deformitas (-), edema (-/-), sianosis (-/-)
2) Inferior : deformitas (-), edema (-/-), sianosis (-/-)

5) Pemeriksaaan Penunjang
Pemeriksaan Lab 5/10/15
Leukosit : 11.530 H

Tes Widal 6/10/15


S. Typhi O : Positif, titer 1/160
S. Typhi H : Positif, titer 1/160
S. Paratyphi A-O : Negatif
S. Paratyphi A-H : Negatif
S. Paratyphi B-O : Positif, titer 1/160
S. Paratyphi B-H : Positif, titer 1/80
S. Paratyphi C-O : Positif, titer 1/320
S. Paratyphi C-H : Positif, titer 1/160

Atrial Septal Defect (ASD)


a. Pemeriksaan fisik
Jantung
- Inspeksi : ictus cordis nampak pada SIC V LMCS
- Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V LMCS, kuat angkat (+)
- Perkusi : Batas jantung kanan atas : SIC II LPSD
Batas jantung kiri atas : SIC II LPSS
Batas jantung kanan bawah : SIC IV LPSD 1 jari lateral
Batas jantung kiri bawah : SIC V LMCS
- Auskultasi : S1>S2, reguler, murmur (+) sistolik, gallops (-)
b. Pemeriksaan Echo Doppler
Kesan : RA dan RV dilatasi
Tampak ASD secundum L-R shunt ukuran 2,5 – 3 cm
Kontraktilitas LV : IVS paradoks (LV D shape) dengan EF 67%

20
Kontraktilitas RV : Normal dengan TAPSE 23 mm
Analisa Segmental : IVS Paradoks
K. Aorta : 3 kuspis, normal
K. Mitral : Normal
K. Tricuspid : Regurgitasi sedang
K. Pulmonal : Regurgitasi ringan

2. Tinjauan Pustaka
a. Definisi dan Etiologi
Demam Tifoid atau tifus abdominalis adalah suatu infeksi yang
disebabkan oleh bakteri Salmonella typhii yang ditularkan melalui makanan
yang tercemar oleh tinja dan urin penderita. Demam tifoid disebabkan oleh
bakteri gram negatif- Salmonella enteric serovar Typhi. S. Paratyphi A, B
dan C juga menyebabkan penyakit yang sama namun biasanya lebih ringan
(Behrman, 1999).
Angka kejadian demam tifoid diketahui lebih tinggi pada negara
yang sedang berkembang di daerah tropis, sehingga tidak heran jika demam
tifoid banyak ditemukan di Indonesia. Di Indonesia sendiri, demam tifoid
masih merupakan penyakit endemik dan menjadi masalah kesehatan yang
serius. Demam tifoid erat kaitannya dengan higiene perorangan dan sanitasi
lingkungan (Rezeki, 2008).

b. Epidemiologi
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah kasus
demam tifoid di seluruh dunia mencapai 16-33 juta dengan 500-600 ribu
kematian tiap tahunnya. Demam tifoid merupakan penyakit infeksi menular
yang dapat terjadi pada anak maupun dewasa. Anak merupakan yang paling
rentan terkena demam tifoid, walaupun gejala yang dialami anak lebih
ringan dari dewasa. Di hampir semua daerah endemik, insidensi demam
tifoid banyak terjadi pada anak usia 5-19 tahun (Rezeki, 2008).

21
c. Patomekanisme
Masuknya kuman Salmonella typhi (S. Typhi) dan Salmonella
paratyphi (S. Paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan
yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam
lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang
biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (Ig A) usus kurang baik maka
kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke
lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit
oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plague
Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika
(Widodo, 2009).
Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam
makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteriemia
pertama yang simtomatik) dan menyebar ke seluruh organ
retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini,
kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di
luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah
lagi mengakibatkan bakteriemia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-
tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik (Widodo, 2009).
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu,
berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara
intermittent ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melaui
feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus.
Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi
dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan
beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala
reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala,
sakit perut, instabilitas vascular, gangguan mental, dan koagulasi (Widodo,
2009).
Di dalam plague peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi
hyperplasia jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi

22
hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan, dan nekrosis organ).
Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar
plague Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat
akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus. Proses patologi jaringan
limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat
mengakibatkan perforasi (Widodo, 2009).
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan
akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik,
kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan organ lainnya (Widodo, 2009).

Gambar 10. Patomekanisme Demam Tifoid

23
d. Diagnosis
Tanda dan gejala pada pasien dengan demam tifoid yaitu demam
berlangsung 3 minggu. Bersifat febris remiten dan suhu tidak berapa tinggi.
Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari,
biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam
hari. Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam.
Dalam minggu ketiga suhu tubuh beraangsur-angsur turun dan normal
kembali pada akhir minggu ketiga (CDC, 2005).
Selain demam, terapat gejala bibir kering dan pecah-pecah (ragaden).
Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya
kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan
keadaan perut kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai
nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin
pula normal bahkan dapat terjadi diare (CDC, 2005).
Selain ditemukan tanda dan gejala klinis pada pasien, diagnosis dapat
ditegakkan setelah pemeriksaan darah tepi dengan adanya penurunan kadar
hemoglobin, trombosit, adanya kenaikan laju endapan darah, limfopenia,
lekupenia, hingga leukositosis. Gold standar penegakan diagnosis demam
tifoid yaitu kultur darah atau biakan empedu untuk Salmonela typhii positif.
Selain itu juga melalui uji serologi widal yang menunjukkan peningkatan titer
antigen (Hendarta, 2005).
Pemeriksaan penunjang untuk menyokong diagnosis (Hassan, 2007):
a. Pemeriksaan darah tepi
Gambaran leukopenia, limfositosis relatif dan aenosinofilia pada
permulaan sakit. Dapat ditemukan anemia dan trombositopenia ringan.
b. Pemeriksaan sum-sum tulang
Pemeriksaan ini tidak termasuk pemeriksaan rutin sederhana. Pada
demam tifoid anak terdapat gambaran sumsum tulang berupa hiperaktif
RES dengan ditemukannya sel makrofak, sedangkan sistem eritropoesis,
gronulopoesis, dan trombopoesis berkurang.

24
Tabel 1. Sensitifitas kultur (Brusch, 2012)

Masa Mingg Minggu Minggu Minggu


Pemeriksaan
Inkubasi u1 2 3 4
Aspirasi sum-sum 90%, mungkin berkurang setelah 5
tulang (0,5-1ml) hari pemberian antibiotic
Kultur darah (10-
3-ml) atau kultur
40-60% ~20% Variasi (20-60%)
aspirasi
duodenum

Urin 25-30%

c. Biakan Empedu

Biakan empedu bertujuan menemukan salmonela typosa. Basil


salmonella typosa dapat ditemukan dalam darah pada minggu pertama
sakit. Selanjutnya lebih sering ditemukan di dalam urin dan feses dan
mungkin akan tetap positif untuk waktu yang lama (Hassan, 2007).

e. Penatalaksanaan
1. Farmakologi
a) Terapi simptomatik
Terapi simptomatik dapat diberikan dengan pertimbangan untuk
perbaikan keadaan umum penderita (Depkes RI, 2006) :
1) Roboransia / vitamin
2) Antipiretik
Antipiretik untk kenyamanan penderita, terutama untuk anak-
anak
3) Antiemetik
Anti emetik diperlukan bila penderita muntah hebat.

25
b) Anti mikroba
Anti mikroba yang dipilih harus mempertimbangkan (Depkes RI,
2006) :
1) Telah dikenal sensitif dan potensial untuk tifoid
2) Mempunyai sifat farmakokinetik yang dapat berprenetrasi
dengan baik ke jaringan serta mempunyai afinitas yang tinggi
menuju organ sasaran
3) Berspektrum sempit
4) Cara pemberian yang mudah dan dapat ditoleransi dengan baik
oleh penderita termasuk anak dan wanita hamil
5) Efek samping yang minimal
6) Tidak mudah resisten dan efektif mencegah kanker.
Antimikroba yang diberikan sebagai terapi adalah dari
kelompok anti mikroba lini pertama untuk tifoid. Pilihan ini
sesuai dengan kepekaan tertinggi pada suatu daerah, Karena lain
daerah akan berbeda tingkat kepekaan antimikroba. Sampai saat
ini kloramfenikol masih menjadi pilihan pertama, berdasarkan
efikasi dan harga. Kekurangannya adalah jangka waktu
pemberiannya yang lama, serta cukup sering menimbulkan karier
dan relaps. Kejadian relaps dan karier pada anak jarang
dilaporkan (Depkes RI, 2006). Antimikroba lini pertama untuk
tifoid adalah (Depkes RI, 2006):
1) Kloramfenikol
2) Ampisillin atau Amoxicillin (aman untuk penderita yang
sedang hamil)
3) Trimetropin-sulfametoksazol
Bila pemberian salah satu anti mikroba lini pertama dinilai
tidak efektif, dapat diganti dengan anti mikroba yang lain atau
dipilih anti mikroba lini kedua. Antimikroba lini kedua untuk
tifoid adalah (Depkes RI, 2006) :
1) Seftriakson (diberikan untuk dewasa dan anak)
2) Cefixim (efektif untuk anak)

26
3) Quinolone (tidak dianjurkan untuk anak < 18 tahun, karena
dinilai mengganggu pertumbuhan tulang)
c) Terapi komplikasi tifoid
1) Tifoid toksik
Antimikroba yang dipilih adalah pemberian parenteral
dan dapat ganda (spektrum luas) seperti kombinasi ampisilin
dengan kloramfenikol. Pemberian kortikosteroid seperti
dexamethasone dengan dosis 4x10 mg intravena. Dosis
untuk anak 1-3 mb/kgBB/hari selama 3-5 hari. Pada
penderita ini dilakukan perawatan secara intensif (Depkes
RI, 2006).
2) Syok septik
Penderita dirawat secara intensif. Antimikroba dipilih
pemberian parenteral dan dapat ganda (spectrum luas) seperti
pada tifoid toksik. Obat-obatan vasoaktif (seperti dopamine)
dipertimbangkan bila syok mengarah irreversible (Depkes
RI, 2006).
3) Perdarahan dan perforasi
Penderita dirawat secara intensif. Dipertimbangkan
transfusi darah bila telah indikasi. Segera transfusi bila telah
terjadi perdarahan akut, dimana perdarahan terjadi sebanyak
5ml/kgBB/jam dan pemeriksaan hemostasis normal. Bila
perforasi dilakukan :
i. Rawat bersama dengan dokter bedah
ii. Operasi “cito” bila telah indikasi
iii. Beri antibiotik spectrum luas untuk terapi tifoid dan
infeksi kontaminasi usus. Dipilih antibiotika dengan
pemberian parenteral, seperti ampisilin +
kloramfenikol + Metronidazol.
iv. Bila perforasi, perlu resusitasi cairan, puasa, pasag tube
hidung dan lambung. Diet parenteral serta monitor

27
keseimbangan cairan (bila perlu dipasang kateter urin)
(Depkes RI, 2006).
4) Komplikasi lain
Komplikasi lain diobati sesuai indikasi. Disamping itu obat-
obatan dan prosedur perawtan definitif untuk tifoid tetap
diberikan (Depkes RI, 2006).
2. Non Farmakologi
Pada demam tifoid, dengan gambaran klinik jelas sebaiknya
dirawat di rumah sakit atau sarana kesehatan lain yang ada fasilitas
perawatan (Depkes RI, 2006).
Tujuan perawatan adalah optimalisasi pengobatan dan
mempercepat penyembuhan, observasi terhadap perjalanan penyakit,
minimalisasi komplikasi dan isolasi untuk menjamin pencegahan
terhadap pencemaran dan atau kontaminasi (Depkes RI, 2006).
a) Tirah baring
Penderita yang dirawat harus tirah baring dengan sempurna
untuk mencegah komplikasi, terutama perdarahan dan perforasi.
Bila klinis berat, penderita harus istirahat total. Bila terjadi
penurunan kesadaran maka posisi tidur pasien harus diubah-ubah
pada waktu tertentu untuk mencegah komplikasi pneumonia
hipostatik dan dekubitus. Penyakit membaik, maka dilakukan
mobilisasi secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan
penderita. Buang air besar dan kecil sebaiknya dibantu oleh perawat.
Hindari pemasangan kateter urin tetap, bila tidak indikasi betul
(Depkes RI, 2006).
b) Nutrisi
1) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara
oral maupun parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada
penderita sakit berat, ada komplikasi, penurunan kesadaran serta
yang sulit makan. Dosisi cairan parenteral adalah sesuai dengan
kebutuhan harian (tetesan rumatan). Bila ada komplikasi dosis

28
cairan disesuaikan dengan kebutuhan. Cairan harus mengandung
elektrolit dan kalori yang optimal (Depkes RI, 2006).
2) Diet
Diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup.
Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah
perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita tifoid, biasaya
diklasifikasikan atas : diet cair, bubur lunak, tim, dan nasi biasa.
Bila keadaan penderita baik, diet dapat dimulai dengan diet
padat atau tim (diet padat dini). Tapi bila penderita dengan klinis
berat sebaiknya dimulai dengan bubur atau diet cair yang
selanjutnya diubah secara bertahap sampai padat sesuai dengan
tingkat kesembuhan penderita. Penderita dengan kesadaran
menurun diberi diet secara enteral melalui pipa lambung. Diet
parenteral dipertimbangkan bila ada tanda-tanda komplikasi
perdarahan dan atau perforasi (Depkes RI, 2006).
c) Kontrol dan monitor dalam perawatan
Tujuan dari kontrol dan monitor adalah (Depkes RI, 2006):
1) Mengetahui keberhasilan pengobatan
2) Perubahan terapi dan penghentian terapi
3) Program mobilisasi
4) Program perubahan diet
5) Indikasi pulang perawatan
Hal-hal yang menjadi prioritas untuk dimonitor adalah
(Depkes RI, 2006) :
1) Suhu tubuh (status demam) serta petanda vital lain
Petanda vital (suhu, nadi, nafas, tekanan darah) harus diukur
secara serial. Kurva harus dibuat sempurna pada lembaran rekam
medik.
2) Keseimbangan cairan
Cairan yang masuk (infuse atau minum) dan cairan tubuh yang
keluar (urine, feses) harus seimbang
3) Deteksi dini terhadap timbulnya komplikasi

29
4) Adanya koinfeksi dan atau komorbid dengan penyakit lain
5) Efek samping dan atau efek toksik obat
6) Resistensi anti mikroba
7) Kemajuan pengobatan secara umum

f. Komplikasi
1) Perdarahan Intestinal
Jika plak peyer usus mengalami infeksi (terutama ileum
terminalis) maka dapat terbentuk tukak atau luka dengan bentuk
lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Jika luka menembus
lumen usus dan mengenai pembuluh darah dapat mengakibatkan
perdarahan serta perforasi usus. Perdarahan dapat terjadi akibat dua
faktor, yaitu faktor luka dan gangguan koagulasi darah. Secara klinis
perdarahan akut darurat bedah dapat ditegakkan jika terjadi perdarahan
sebanyak 5 ml/KgBB/jam dengan faktor pembekuan dalam batas
normal. Angka kematian cukup tinggi akibat kondisi ini (Widodo,
2009).
2) Perforasi Usus
Pasien biasanya mengeluhkan nyeri abdomen yang hebat,
terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian menyebar ke
seluruh perut dan disertai tanda-tanda ileus. Terdapat tanda-tanda
perforasi berupa takikardia, hipotensi, syok, leukositosis dengan
pergeseran ke arah kiri. Pada gambaran foto polos abdomen (BNO/3
posisi) ditemukan udara pada rongga peritoneum atau subdiafragma
kanan. Faktor yang dapat meningkatkan kecenderungan untuk
terjadinya perforasi adalah usia (biasanya 20-30 tahun), lama demam,
modalitas pengobatan, beratnya penyakit, dan mobilitas penderita.
3) Komplikasi Hematologi
Komplikasi hematologik dapat berupa trombositopenia,
peningkatan partial thrommboplastin time (PTT), peningkatan fibrin
degradation products, dan koagulasi intravaskular diseminata.

30
Trombositopenia dapat terjadi akibat penurunan produksi trombosit di
sumsum tulang selama infeksi atau akibat peningkatan destruksi
trombosit di sistem retikuloendotelial. Sedangkan koagulasi
intravaskular diseminata kemungkinan diakibatkan adanya endotoksin
yang menyebabkan aktivasi sistem biologik, koagulasi, dan fibrinolisis.
Adanya pelepasan kinin, prostaglandin, dan histamin mengakibatkan
terjadinya vasokonstriksi dan kerusakan pembuluh darah yang
selanjutnya merangsang mekanisme koagulasi (Widodo, 2009).
4) Hepatitis Tifosa
Terjadi pembengkakan hati ringan pada 50% pasien demam
tifoid dan biasanya diakibatkan infeksi Salmonella typhii. Untuk
membedakan apakah hepatitis diakibatkan tifoid, virus, malaria, atau
amuba maka perlu diperhatikan adanya kelainan fisik, parameter
laboratorium, atau bahkan histopatologi hati. Jika diakibatkan tifoid,
terjadi kenaikan enzim transaminase yang tidak relevan dengan
kenaikan serum bilirubin.
5) Pankreatitis Tifosa
Diagnosis peyakit ini dapat ditegakkan melalui pemeriksaan
enzim amilase, lipase, serta dengan menggunakan USG atau CT-Scan.
Terapi untuk kondisi ini sama seperti pankreatitis pada umumnya, yaitu
antibiotik (Widodo, 2009).
6) Miokarditis
Kondisi ini terjadi pada 1-5 % penderita demam tifoid Biasanya
pasien mengeluhkan sakit dada, gagal jantung kongestif, aritmia, atau
syok kardiogenik (Widodo, 2009).
7) Manifestasi Neuropsikiatrik/Tifoid Toksik
Manifestasi neuropsikiatrik dapat berupa delirium dengan atau
tanpa disertai kejang, koma atau semi koma, Parkinson rigidity,
sindrom otak akut, mioklonus generalisata, meningismus, skizofrenia
sitotoksik, mania akut, hipomania, ensefalomielitis, meningitis,

31
polineuritis perifer, sindrom Guillain-Barre, dan psikosis (Widodo,
2009).
Terkadang, pasien demam tifoid mengalami sindrom klinis
berupa gangguan atau penurunan kesadaran akut (kesadaran berkabut,
apatis, delirium, somnolen, sopor atau koma) dengan atau tanpa
kelainan neurologis lainnya. Kondisi ini disebut tifoid toksik (Widodo,
2009).

B. Atrial Septal Defect (ASD)


a. Definisi dan Klasifikasi
Defek Septum Atrium (DSA) merupakan keadaan dimana terjadi
defek pada bagian septum antar atrium sehingga terjadi komunikasi
langsung antara atrium kiri dan kanan.Defek Septum Atrium dapat terjadi
di bagian manapun dari septum atrium, tergantung dari struktur septum
atrium yang gagal berkembang secara normal (Bernstein, 2007).
Secara anatomis DSA dibagi menjadi DSA primum, sekundum,
tipe sinus venosus, dan tipe sinus koronarius. Pada DSA primum terdapat
defek pada bagian bawah septum atrium, yaitu pada septum atrium
primum. Selain itu, pada DSA primum sering pula terdapat celah pada
daun katup mitral. Kedua keadaan tersebut menyebabkan pirau dari atrium
kiri ke kanan dan arus sistolik dari ventrikel kiri ke atrium kiri melalui
celah pada katup mitral (regurgitasi mitral). Pada tipe sinus venosus defek
septum terletak di dekat muara vena kava superior atau inferior dan sering
disertai dengan anomali parsial drainase vena pulmonalis, yaitu sebagian
vena pulmonalis kanan bermuara ke dalam atrium kanan (Soeroso et al,
1994; Ghani, 2007).
Pada tipe sinus koronarius defek septum terletak di muara sinus
koronarius. Pirau pada DSA sinus koronarius terjadi dari atrium kiri ke
sinus koronarius, baru kemudian ke atrium kanan. Pada kelainan ini dapat
ditemukan sinus koronarius yang membesar. Pada DSA sekundum
terdapat lubang patologis pada fosa ovalis. Defek septum atrium
sekundum dapat tunggal atau multipel (fenestrated atrial septum). Defek

32
yang lebar dapat meluas ke inferior sampai pada vena kava inferior dan
ostium sinus koronarius, ataupun dapat meluas ke superior sampai pada
vena kava superior (Soeroso et al, 1994; Ghani, 2007).

b. Etiologi
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa penyakit jantung
kongenital banyak disebabkan oleh interaksi kompleks antara
faktor genetik dengan faktor lingkungan (paparan terhadap zat
teratogen). Abnormalitas genetik dapat disebabkan oleh mutasi gen
tunggal (single gene mutation) dan kelainan kromosomal (delesi, trisomi,
monosomi). Kelainan kromosomal yang sering menyebabkan DSA
diantaranya sindrom Turner (45X), sindrom Down (trisomi 21), serta sindrom
Miller Dieker (delesi 17p). Namun, perlu diingat bahwa banyak kelainan
kromosomal lainnya yang dapat menyebabkan penyakit jantung
kongenital, meskipun tidak spesifik menyebabkan kelainan tertentu.
Kelainan jantung pada sindrom Down merupakan kelainan yang paling
jelas mekanismenya karena melibatkan anomali struktur yang berasal dari
bantalan endokardium (termasuk sekat atrioventrikular dan
katup jantung). Teratogen merupakan faktor lingkungan yang paling
berperan dalam menyebabkan penyakit jantung kongenital, termasuk di
antaranya DSA. Telah diketahui bahwa pajanan terhadap infeksi rubella
kongenital, diabetes gestasional, alkohol, thalidomide, asam retinoat dapat
menyebabkan terjadinya penyakit jantung kongenital pada anak (Friedman
et al, 2001; Gatzoulis et al, 2005).

c. Epidemiologi
Terdapat 3 jenis tipe mayor yaitu ostium sekundum, ostium primum,
sinus venosus. Defek ostium sekundum merupakan jenis terbanyak dari
defek septum atrium mencakup sekitar 80% dari seluruh defek. Prevalensi
wanita 65-75% untuk penyakit defek ostium sekundum, sedangkan pada
tipe ASD yang lain seimbang antara laki-laki dan perempuan (Gatzoulis,
2006).

33
d. Patomekanisme
Penyebab dari penyakit jantung kongentinal DSA ini belum dapat
dipastikan, banyak kasus mungkin terjadi akibat aksi teratogen yang tidak
diketahui dalam trisemester pertama kehamilan saat terjadi perkembangan
jantung janin di mana struktur kardiovaskuler terbentuk. Adanya defek
septum atrium akan membuat darah dari atrium kiri dapat masuk ke atrium
kanan melalui defek sekat ini. Aliran ini tidak deras karena perbedaan
tekanan pada atrium kiri dan kanan tidak begitu besar (tekanan pada atrium
kiri 6 mmHg sedangkan pada atrium kanan 5 mmHg). Adanya aliran darah
menyebabkan penambahan beban pada ventrikel kanan, arteri pulmonalis,
kapiler paru-paru dan atrium kiri. Bila shunt besar, maka volume darah
yang melalui arteri pulmonalis dapat 3-5 kali dari darah yang
melalui aorta. Dengan bertambahnya volume aliran darah pada ventrikel
kanan dan arteri pulmonalis, maka akan terjadi kenaikan tekanan, sehingga
tahanan katup arteri pulmonalis meningkat dan terjadi perbedaan tekanan
sekitar 15 -25 mmHg. Akibat adanya perbedaan tekanan ini, timbul suatu
bising sistolik (bising sistolik pada ASD merupakan bising
dari stenosis relatif katup pulmonal). Pada valvula trikuspidalis juga ada
perbedaan tekanan, terjadi pula stenosis relatif katup trikuspidalis
sehingga terdengar bising diastolik (Hasan et al, 2007; Popelova et al,
2008)
Karena adanya penambahan beban yang terus menerus pada arteri
pulmonalis, lama kelamaan akan terjadi kenaikan tahanan pada arteri
pulmonalis dan akibatnya akan terjadi kenaikan tekanan ventrikel kanan
yang permanen. Arah shunt pun bisa berubah menjadi dari kanan ke kiri
sehingga sirkulasi darah sistemik banyak mengandung darah yang rendah
oksigen akibatnya terjadi hipoksemia dan sianosis (Rigatelli et al, 2007).
Derajat pirau dari atrium kiri ke atrium kanan tergantung pada
besarnya defek,komplians relatif ventrikel kanan dan resistensi relatif
vaskular pulmonal. Pada defek yang besar, sejumlah darah yang
teroksigenasi (dari vena pulmonal) mengalir dari atrium kiri ke atrium
kanan, menambah jumlah darah vena yang masuk ke atrium kanan (venous

34
return). Total darah tersebut kemudian dipompa oleh ventrikel kanan ke
paru. Aliran darah balik dari paru ke atrium kiri akan terbagi menjadi dua,
yaitu ke atrium kanan melalui defek dan ke ventrikel kiri. Pada defek yang
besar, rasio aliran darah pulmonal dibandingkan sistemik (Qp/Qs) dapat
berkisar antara 2:1 sampai 4:1 (Ghani et al, 2007).
Gejala asimtomatis pada bayi dengan DSA terkait dengan
resistensi paru yang masih tinggi dan struktur ventrikel kanan pada masa
awal kehidupan, yaitu dinding otot ventrikel kanan yang masih tebal dan
komplians yang kurang, sehingga membatasi pirau kiri ke kanan. Seiring
dengan bertambahnya usia, resistensi vaskular pulmonal berkurang,
dinding ventrikel kanan menipis dan kejadian pirau kiri ke kanan melalui
DSA meningkat. Peningkatan aliran darah ke jantung sisi kanan akan
menyebabkan pembesaran atrium dan ventrikel kanan serta dilatasi arteri
pulmonalis. Resistensi vaskular pulmonal tetap rendah sepanjang masa
anak-anak, meskipun dapat mulai meningkat saat dewasa dan
menyebabkan pirau yang berlawanan dan terjadi sianosis (Hasan et al,
2007).

e. Diagnosis
Defek Septum Atrium sekundum lebih sering terjadi pada perempuan
dengan rasio 2:1 antara perempuan dan pria. Defek septum atrium (DSA)
sering tidak terdeteksi sampai dewasa karena biasanya asimptomatik dan
tidak memberikan gambaran diagnosis fisik yang khas. Walaupun angka
kekerapan hidup tidak seperti normal, cukup banyak yang bertahan hidup
sampai usia lanjut (Bernstein, 2007).
a. Gejala klinis
Penderita DSA sebagian besar menunjukkan gejala klinis sebagai
berikut:
1. Detak jantung berdebar-debar (palpitasi)
2. Sering mengalami infeksi saluran pernapasan
3. Dispneu (kesulitan dalam bernapas)
4. Sesak napas ketika melakukan aktivitas

35
Dispneu d’effort dan atau kelelahan ringan adalah gejala awal yang
paling sering ditemui.Pada bayi kurang dari 1 tahun jarang sekali
memperlihatkan tanda-tanda gagal jantungkongestif yang mengarah pada
defek atrium yang tersembunyi. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan fisik:
1. Denyut arteri pulmonalis dapat diraba di dada
2. Pemeriksaan dengan stetoskop menunjukkan bunyi jantung yang
abnormal. Dapat terdengar murmur akibat peningkatan aliran darah
yang melalui katup pulmonalis.
3. Tanda-tanda gagal jantung
4. Jika shunt-nya besar,murmur juga bisa terdengar akibat peningkatan
aliran darah yang mengalir melalui katup trikuspidalis.
Pada pemeriksaan DSA terdapat suara splitting yang menetap pada
S2. Tanda ini adalah khas pada patologis DSA dimana defek jantung yang
tipe lain tidak menyebabkan suara splitting pada S2 yang menetap.
Sianosis jarang ditemukan, kecuali bila defek besar atau common atrium,
defek sinus koronarius, kelainan vaskular paru, stenosis pulmonal, atau
bila disertai anomali Ebstein (Bernstein, 2007).

b. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk DSA ini dapat dilakukan dengan
beberapa cara,antara lain (Webb & Gatzoulis, 2006):
1. Foto Thoraks
Foto thoraks standar dapat sangat membantu diagnosis defek
septum atrium. Pada pasien dengan defek septum atrium dengan
pirau yang bermakna, foto thoraks AP menunjukkan atrium kanan
yang menonjol, dan dengan konus pulmonalis yang menonjol. Pada
foto AP biasanya tampak jantung yang hanya sedikit membesar dan
vaskularisasi paru yang bertambah sesuai dengan besarnya pirau,
seperti pada defek septum ventrikel, vaskularisasi paru tampak
meningkat bila Qp/ Qs > 2:1.

36
2. Elektrokardiografi
Gambaran EKG penting dalam membantu diagnosis defek
septum sekundum. Elektroardiogram menunjukkan pola RBBB
pada 95% kasus defek septum sekundum, yang menunjukkan
terdapatnya beban volume ventrikel kanan. Pada defek septum
atrium deviasi sumbu QRS ke kanan (right axis deviation) yang
membedakannya dari defek septum atrium primum yang
menunjukkan deviasi sumbu (left axis deviation). Dapat juga
terjadi blok AV derajat 1 (pemanjangan interval PR) terdapat pada
10% kasus defek sekundum. Hipertrofi ventrikel kanan cukup
sering ditemukan, akan tetapi pembesaran atrium kanan jarang
tampak.
3. Ekokardiografi
Dengan menggunakan ekokardiografi trans torakal (ETT)
dan Doppler berwarna dapat ditentukan lokasi defek septum, arah
pirau, ukuran atrium dan ventrikel kanan, keterlibatan katup mitral
misalnya prolaps yang memang sering terjadi pada DSA.
Ekokardiografi trans esophageal (ETE) sangat bermanfaat
bila,dengan cara ini dapat dilakukan pengukuran besar defek secara
presisi, sehingga dapat membantu dalam tindakan penutupan DSA
perkutan, juga kelainan yang menyertai.
4. Kateterisasi jantung
Dengan tersedianya alat ekokardiografi dan doppler, terdapat
2 hal penting dalam diagnosis dan penatalaksanaan defek septum
atrium. Pertama, lebih banyak pasien dengan defek septum
sekundum yang diagnosisnya dapat ditegakkan pada masa bayi dan
anak kecil. Kedua, diagnosis anatomik dan fisiologis yang akurat
dengan ekokardiografi dan doppler memungkinkan kateterisasi
jantung., kateterisasi hanya dilakukan apabila terdapat keraguan
akan adanya penyaki penyerta atau hipertensi pulmonal. Apabila
dilakukan pada kateterisasi jantung defek septum sekundum tanpa
komplikasi ditemukan tekanan ventrikel kanan dan arteri

37
pulmonalis yang normal atau sedikit meningkat. Terdapat pula
kenaikan saturasi oksigen di atrium kanan. Perlu dicari
kemugkinan terdapatnya kelainan lain misalnya stenosis pulmonal
atau anomali parial drainase vena pulmonalis.

f. Penatalaksanaan
Menutup DSA pada masa kanak-kanak bisa mencegah terjadinya
kelainan yang serius di kemudian hari. Pada beberapa anak, DSA dapat
menutup spontan tanpa pengobatan. Jika gejalanya ringan atau tidak ada
gejala, tidak perlu dilakukan pengobatan. Jika lubangnya besar atau
terdapat gejala, dilakukan pembedahan untuk menutup DSA. Pengobatan
pencegahan dengan antibiotik sebaiknya diberikan setiap kali sebelum
penderita menjalani tindakan pencabutan gigi untuk mengurangi risiko
terjadinya endokarditis infektif (Rigatelli et al., 2007)
Pada DSA dengan rasio left to right shunt lebih besar dari 2:1 perlu
dilakukan tindakan operasi untuk mengkoreksi keadaan tersebut. Ada 2
jenis tindakan operasi yang digunakan untuk melakukan koreksi pada
DSA ini, yaitu (Rigatelli et al., 2007):
a. Bedah jantung terbuka
b. Amplatzer septal occlude (ASO)
ASO merupakan alat dengan cakram ganda yang dapat
mengembang sendiri (self expandable), terbuat dari kawat nitinol
berdiameter 0,004-0,0075 inci yang teranyam kuat menjadi dua cakram
dengan pinggang penghubung 3-4 mm. Di dalamnya terdapat lapisan
dakron terbuat dari benang polyester yang dapat merangsang trombosis
sehingga lubang/hubungan antara atrium kiri dan kanan akan tertutup
sempurna. Tindakan pemasangan ASO telah mendapat persetujuan dari
American Food and Drug Administration (FDA) pada bulan Desember
2001. Di Indonesia, tindakan ASO mulai dilakukan pada tahun 2002.

38
Kriteria pasien DSA yang akan dilakukan pemasangan ASO, antara
lain :
1. DSA sekundum
2. Diameter kurang atau sama dengan 34 mm
3. Flow ratio lebih atau sama dengan 1,5 atau terdapat tanda-tanda beban
volume pada ventrikel kanan
4. Mempunyai rim posterior minimal 5 mm dari vena pulmonalis kanan
5. Defek tunggal dan tanpa kelainan jantung lainnya yang memerlukan
intervensi bedah
6. Muara vena pulmonalis normal ke atrium kiri
7. Hipertensi pulmonal dengan resistensi vaskuler paru (Pulmonary
Artery Resistance Index = PARI) kurang dari 7 - 8 Wood Unit
8. Bila ada gagal jantung, fungsi ventrikel (EF) harus lebih dari 30%.
Pada pasien dewasa sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor
termasuk keluhan, umur, ukuran dan anatomi defek, adanya kelainan
yang menyertai, tekanan arteri pulmonal serta resistensi vascular paru.
Indikasi penutupan DSA ialah sebagai berikut (Bersnsten, 2007).
a. Pembesaran jantung pada foto toraks, dilatasi ventrikel
kanan,kenaikan arteri pulmonalis 50% atau kurang dari tekanan
aorta, tanpa mempertimbangkan keluhan.
b. Adanya riwayat iskemik transient atau stroke pada DSA atau
foramen ovale persisten.

39
Gambar 11. Tindakan Operatif terhadap ASD

g. Komplikasi
Komplikasi yang akan timbul jika tidak dilakukan penutupan defek
adalah pembesaran jantung kanan dan penurunan komplians ventrikel
kanan, aritmia, dan kemungkinan untuk menyebabkan penyakit vaskular
paru obstruktif. Sindroma eisenmenger adalah keadaan pirau kanan ke kiri
parsial atau total pada pasien dengan defek septum akibat perubahan
vaskular paru. Pada defek septum yang menyebabkan pirau dari kiri ke
kanan, peningkatan alirah darah ke paru menyebabkan perubahan histologis
pada pembuluh darah paru. Hal ini menyebabkan tekanan darah di paru
meningkat, sehingga pirau berbalik arah menjadi dari kanan ke kiri. Gejala
yang timbul berupa sianosis, dyspnea, lelah dan disritmia. Pada tahap akhir

40
penyakit, dapat timbul gagal jantung, nyeri dada, sinkop dan hemoptisis
(Rigatelli et al, 2007).
Beberapa komplikasi menyertai tindakan penutupan defek septum,
baik trans-kateter atau melalui pembedahan. Komplikasi mayor, yaitu
komplikasi yang perlu penanganan segera antara lain kematian,
dekompensasi hemodinamik yang mengancam nyawa, memerlukan
intervensi bedah, dan lesi fungsional atau anatomi yang permanen akibat
tindakan kateterisasi. Komplikasi yang dapat timbul dari tindakan
pembedahan antara lain aritmia atrial dan blok jantung. Komplikasi lain
yang berhubungan dengan alat-alat oklusi transkateter adalah embolisasi
yang kadang memerlukan pembedahan ulang, aritmia, dan trombus.
Komplikasi yang jarang terjadi adalah efusi perikardial, transient ischemic
attack,dan sudden death (Rigatelli et al, 2007).

41
BAB III
KESIMPULAN

1. Demam tifoid disebabkan oleh infeksi S.thypii.


2. Tanda gejala yang terdapat pada demam tifoid yaitu demam yang meningkat
jelang sore/malam, sakit pada perut, diare atau konstipasi, mual, dan muntah.
3. Tatalaksana farmakologis demam tifoid meliputi suplementasi vitamin
(roboransia), antipiretik, antiemetik, dan antimikroba.
4. Atrial Septal Defect disebabkan oleh kegagalan perkembangan jantung karena
faktor genetik maupun faktor lingkungan (teratogenik).
5. Terdapat empat tipe ASD yaitu ASD Primum, ASD Sekundum, Tipe Sinus
Venosus, dan Tipe Sinus Koronarius.
6. Tatalaksana ASD ialah tindakan operatif yaitu tindakan ASO (Amplatzer Septal
Occluder).

42
DAFTAR PUSTAKA

Behrman, Richard E., Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin. 1999. Ilmu Kesehatan
Anak Nelson Vol. 2 Ed. 15. Jakarta: EGC.

Bernstein D. 2007. Congenital Heart Disease (Dalam : Nelson Textbook of


Pediatrics Edisi ke-18). Philadelphia: Saunders Elsevier.

Brusch JL. 2012. Typhoid Fever Workup. Medscape Reference Drugs, Disease &
Procedure.

CDC. 2005. Typhoid Fever : Disease Management and Investigative Guidelines.

Depkes RI. 2006. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid dalam : Keputusan


Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 364/MENKES/SK/V/2006.
Jakarta.

Friedman, WF., Child, JS. 2001. Congenital Heart Disease in The Adult (Dalam:
Harrison’s Principles of Internal Medicine). New York: McGraw-Hill

Gatzoulis, MA., Swan, L., Therrien, J., Pantely, GA. 2005. Adult Congenital Heart
Disease: A Practical Guide. Oxford: Blackwell

Ghanie, A. 2007. Penyakit Jantung Kongenital pada Dewasa (Dalam: Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV). Jakarta: BP FKUI.

Hendarta DS. 2005 . Demam Tifoid. Artikel Medicine Universitas Islam Indonesia

Hasan, R., Alatas, H. 2007. Penyakit Jantung Bawaan (Dalam: Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Anak Jilid II). Jakarta : BP FKUI.

Popelova, J., Oechslin, E., Kaemmerer, H., Sutton, M. 2008. Congenital Heart
Disease In Adults. UK : Informa

Rezeki, Sri. 2008. Demam Tifoid pada Anak. Jakarta : FKUI

Rigatelli, G., Cardaioli, P., Hijazi, ZM. 2007. Contemporary Clinical Management
Of Atrial Septal Defects In The Adult. Available at http://medscape.com
(diakses 18 Oktober 2015)

43
Soeroso, S., Sastrosoebroto, H. 1994. Penyakit jantung bawaan non-sianotik.
(Dalam: Buku Ajar Kardiologi Anak). Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia

Webb, G. & Gatzoulis, M. A. 2006. Atrial Septal Defects in the Adult. Circulation
Vol 114: 1645-1653.

Widodo, Djoko. 2009. Demam Tifoid (Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid III Edisi V). Jakarta : Interna Publishing

44

Anda mungkin juga menyukai