Anda di halaman 1dari 38

PRESENTASI KASUS

DIARE AKUT

Disusun oleh :

Suci Nuryanti G4A014076


Sudjati Adhinugroho G4A014078
Yanuar Firdaus G4A014080

Pembimbing :
dr. Tiara Sp.PD

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2015
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS

TB MILIER DENGAN CAP DAN


SUSPEK MENINGITIS TB

Disusun oleh :
Suci Nuryanti G4A014076
Sudjati Adhinugroho G4A014078
Yanuar Firdaus G4A014080

Telah dipresentasikan pada


Tanggal, Oktober 2015

Pembimbing,

dr. Tiara, Sp.PD


BAB I
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. E
Usia : 19 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Status : Menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Ledug, RT05/RW04 Kembaran
Tanggal masuk : 30 Oktober 2015
Tanggal periksa : 31 Oktober 2015
No. CM : 0052348

II. SUBJEKTIF
1. Keluhan Utama
Bab cair
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien Ny. E datang ke IGD RSMS dengan keluhan bab cair lebih
dari 1 hari. Pasien bab cair kambuh kambuhan sehari lebih dari 3 kali.
Pasien merasakan semakin lama semakin memberat dan mengganggu
aktivitas. Selain itu pasien merasakan muntah berwarna putih lebih dari
satu hari dan pegel pada kaki. Batuk darah juga pernah dialami oleh pasien
kadang-kadang. Pasien sedang hamil 8 minggu.
Sebelumnya pasien pernah mengalami pengobatan untuk bab cair,
pada saat kontrol kehamilan ke dokter kadungan, tetapi tidak ada
perubahan. Pasien juga pernah mengalami sakit maag yang sudah lama.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat keluhan serupa : disangkal
b. Riwayat mondok : disangkal
c. Riwayat hipertensi : disangkal
d. Riwayat kencing manis : disangkal
e. Riwayat asma : disangkal
f. Riwayat alergi : disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat keluhan serupa : disangkal
b. Riwayat mondok : disangkal
c. Riwayat hipertensi : disangkal
d. Riwayat kencing manis : disangkal
e. Riwayat asma : disangkal
f. Riwayat alergi : disangkal
5. Riwayat Sosial Ekonomi
a. Community
Pasien tinggal di lingkungan pedesaan yang cukup padat penduduk.
Rumah satu dengan yang lain jaraknya berdekatan. Hubungan antara
pasien dengan tetangga dan keluarga dekat baik. Dilingkungan rumah
pasien tidak ada yang memiliki keluhan yang sama dengan pasien.
b. Home
Pasien tinggal di rumah dengan ukuran sekitar 20x15 meter dan dihuni
oleh 2 orang yaitu pasien dan suami pasien. Lantai rumah masih
beralaskan tegel, dan ada beberapa buah jendela serta ventilasi yang
jarang dibuka. Rumah pasien terdiri dari 3 kamar tidur, satu ruang
tamu, satu dapur, dan satu kamar mandi. Pencahayaan rumah pasien
kurang baik.
c. Occupational
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga. Pembiayaan rumah sakit
selama dirawat pasien menggunakan biaya sendiri.
d. Personal habit
Pasien mengaku makan sehari 2-3 kali sehari, dengan nasi, sayur dan
lauk pauk seadanya. Pasien mengaku jarang mengonsumsi sayur-
sayuran dan lebih memilih makan yang pedas, tetapi sering telat makan.
Pasien selalu cuci tangan setelah dan sesudah makan. Pasien mengaku
tidak pernah merokok dan tidak menggunakan alkohol ataupun
mengkonsumsi obat-obatan terlarang.

III. OBJEKTIF
1. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : sedang
b. Kesadaran : compos mentis, GCS = E4M6V5
c. BB : 44 kg
d. TB : 150 cm
e. Vital sign
- Tekanan Darah : 100/60 mmHg
- Nadi : 80x/menit
- RR : 22x/menit
- Suhu : 36oC
d. Status Generalis
1) Kepala
- Bentuk : mesochepal, simetris
- Rambut : warna hitam kecoklatan, tidak mudah dicabut,
distribusi merata, tidak rontok
2) Mata
- Palpebra : edema (-/-) ptosis (-/-)
- Konjungtiva : anemis (-/-)
- Sklera : ikterik (-/-)
- Pupil : reflek cahaya (+/+), isokor, diameter 2
mm/ 2mm
- Exopthalmus : (-/-)
- Lapang pandang : tidak ada kelainan
- Lensa : keruh (-/-)
- Gerak mata : normal
- Tekanan bola mata : nomal
- Nistagmus : (-/-)
3) Telinga
- otore (-/-)
- deformitas (-/-)
- nyeri tekan (-/-)
4) Hidung
- Nafas cuping hidung (-/-)
- Deformitas (-/-)
- Discharge (-/-)
5) Mulut
- Bibir sianosis (-)
- Bibir kering (-)
- Lidah kotor (-)
6) Leher
- Trakhea : deviasi trakhea (-/-)
- Kelenjar lymphoid : tidak membesar, nyeri (-)
- Kelenjar thyroid : tidak membesar
- JVP : nampak,tidak kuat angkat

7) Dada
a) Paru
- Inspeksi: bentuk dada simetris, ketinggalan gerak (-),retraksi
(-), jejas (-)
- Palpasi: vocal fremitus kanan = kiri
- Perkusi: sonor pada lapang paru kiri dan kanan
- Auskultasi : suara dasar vesikuler sama kanan dan kiri dan
tidak ditemukan ronkhi basah halus dan ronkhi basah kasar
tidak ditemukan.
b) Jantung
- Inspeksi : ictus cordis nampak pada SIC V LMC sinistra
- Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V LMC sinistra,
tidak kuat angkat
- Perkusi : Batas jantung kanan atas : SIC II LPSD
Batas jantung kiri atas : SIC II LPSS
Batas jantung kanan bawah :SICIV LPSD
Batas jantung kiri bawah : SIC V LMCS
- Auskultasi : S1>S2, reguler, murmur (-), gallops (-)
8) Abdomen
- Inspeks : cembung grafida
- Auskultasi : bising usus (-) normal
- Perkusi : timpani, tes pekak sisi (-), pekak beralih (-)
- Palpasi : tidak teraba
9) Ekstrimitas
- Superior : deformitas (-), jari tubuh (-/-), edema (-/-)
- Inferior : deformitas (-), jari tubuh (-/-), edema (-/-)

2. Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium
Darah Lengkap
Tanggal 30 Oktober 2015
Hemoglobin : 14.4 g/dl
Leukosit : 15920 /uL H
Hematokrit : 42 %
Eritrosit : 4.6 10^6/ uL
Trombosit : 226.000/uL
MCV : 92.4 Fl
MCH : 31.4 pg H
MCHC : 34.0 %
RDW : 13.0 %
MPV : 8.4 fL
Hitung Jenis
Basofil : 0.4 %
Eosinofil : 0.0 % L
Batang : 0.6 % L
Segmen : 90.1 % H
Limfosit : 2.9 % L
Monosit : 6.0 %
Kimia klinik
Glukosa sewaktu : 88
Natrium : 135 L
Kalium : 2.8 L
Klorida : 102

DIAGNOSIS
1. Diare Akut

IV. PLANNING
1. Terapi
a. Farmakologi
1) IVFD RL 30 tpm
2) Inj Ampicilin 1g/8jam
3) Inj Ranitidin 1amp/12jam
4) Paracetamol 3x500g
5) Antasida syr 3 x C1
b. Non Farmakologi
1) Edukasi pasien dan keluarga pasien mengenai penyakit diare,
penyebab, penularan, pengobatan, efek samping obat dan
komplikasinya.
2) Edukasi mengenai kebersihan lingkungan rumah, seperti lamar
mandi, cuci tangan sebelum dan sesudah makan .
3) Makan makanan yang bergizi, dan mengurangi makanan penyebab
diare tersebut, makanan penyebab diare antara lain seperti manisan,
softdrink, makanan pedas dan masih banyak lagi.
4) Mengkonsumsi makanan seperti buah dan sayur
5) Screening pada anggota keluarga yang lain apabila ada yang
mengalami gejala yang sama dan untuk tindakan pencegahan juga
pengobatan lebih awal jika keluarga lain sudah tertular.

2. Prognosis
Ad vitam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
BAB II
PEMBAHASAN

1. Penegakan Diagnosis
Diare Akut
a. Anamnesis
1) Pasien perempuan datang dengan keluhan bab cair.
2) Gejala penyerta : muntah.
3) Pasien tinggal di rumah dengan ukuran sekitar 20x15 meter dan dihuni oleh
3 orang yaitu pasien dan suami pasie. Anggota keluarga lain yang tinggal
serumah tidak memiliki keluhan serupa.
4) Pasien tinggal di daerah yang cukup padat penduduk, jendela rumah tidak
selalu dibuka, dan pasien memiliki pola makan yang tidak terlalu baik
karena mengaku jarang mengonsumsi sayur-sayuran dan lebih memilih
makan yang pedas, tetapi sering telat makan. Pasien selalu cuci tangan
setelah dan sesudah makan.
b. Pemeriksaan Fisik
3. Pemeriksaan Fisik
f. Keadaan Umum : sedang
g. Kesadaran : compos mentis, GCS = E4M6V5
h. BB : 44 kg
i. TB : 150 cm
j. Vital sign
- Tekanan Darah : 100/60 mmHg
- Nadi : 80x/menit
- RR : 22x/menit
- Suhu : 36oC
h. Mulut
- Bibir sianosis (-)
- Bibir kering (-)
- Lidah kotor (-)
i. Abdomen
- Inspeks : cembung grafida
- Auskultasi : bising usus (-) normal
- Perkusi : timpani, tes pekak sisi (-), pekak beralih (-)
- Palpasi : tidak teraba, tugor kulit (-)
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Diare Akut
1. Definisi
Diare adalah peningkatan pengeluaran tinja dengan konsistensi lebih
lunak atau lebih cair dari biasanya, dan terjadi paling sedikit 3 kali dalam 24
jam (Juffrie, 2010). Pada umumnya diare merupakan gejala dari infeksi
gastrointestinal, dimana dapat disebabkan oleh beberapa bakteri, virus dan
parasit. Infeksi menyebar melalui makanan yang terkontaminasi atau air
minum, atau dari orang ke orang yang disebabkan oleh higienitas yang jelek
(WHO, 2015).
Menurut Simadibrata (2006) diare adalah buang air besar (defekasi)
dengan tinja berbentuk cair atau setengah cair (setengah padat), kandungan
air tinja lebih banyak dari biasanya lebih dari 200 gram atau 200 ml/24 jam.
Diare menyebabkan kehilangan cairan, dan mungkin mengancam nyawa,
terutama pada anak-anak dan orang yang mempunyai imun lemah (WHO,
2015).

2. Etiologi
Menurut World Gastroenterology Organization global guidelines
(2005), diare akut dibagi atas empat penyebab yaitu:
a. Bakteri : Shigella, Salmonella, E. Coli, Gol. Vibrio, Bacillus cereus,
Clostridium perfringens, Stafilokokus aureus, Campylobacter
aeromonas
b. Virus : Rotavirus, Adenovirus, Norwalk virus, Coronavirus,
Astrovirus
c. Parasit : Protozoa, Entamoeba histolytica, Giardia lamblia,
Balantidium coli, Trichuris trichiura, Cryptosporidium parvum,
Strongyloides stercoralis
d. Non infeksi : malabsorpsi, keracunan makanan, alergi, gangguan
motilitas, imunodefisiensi, kesulitan makan, dll (Widoyono, 2008).

3. Epidemiologi
Diare merupakan keluhan yang sering ditemukan pada dewasa.
Diperkirakan pada orang dewasa setiap tahunnya mengalami diare akut atau
gastroenteritis akut sebanyak 99.000.000 kasus. Di Amerika Serikat,
diperkirakan 8.000.000 pasien berobat ke dokter dan lebih dari 250.000
pasien dirawat di rumah sakit tiap tahun (1,5% merupakan pasien dewasa)
yang disebabkan karena diare atau gastroenteritis. Frekuensi kejadian diare
pada negara-negara berkembang termasuk Indonesia lebih banyak 2-3 kali
dibandingkan negara maju. (Sudoyo,2009).
Menurut WHO dan UNICEF, ada sekitar dua miliar kasus penyakit
diare di seluruh dunia setiap tahun, dan 1,9 juta anak muda dari 5 tahun
meninggal akibat diare setiap tahun, terutama di negara-negara berkembang.
Jumlah ini 18% dari semua kematian anak di bawah usia lima tahun dan
berarti bahwa lebih dari 5000 anak-anak meninggal setiap hari akibat
penyakit diare. Dari semua kematian anak akibat diare, 78% terjadi di
wilayah Afrika dan Asia Tenggara (Farthing et al, 2015).
Di Indonesia sendiri dapat ditemukan sekitar 60 juta penderita diare
setiap tahunnya dimana 70-80% dari penderitanya adalah anak dibawah lima
tahun dengan masih tingginya angka kesakitan yang dilaporkan, yaitu 23,35
per 1000 penduduk pada tahun 1998 meningkat menjadi 26,13 per 1000
penduduk pada tahun 1999. (Profil Kesehatan Indonesia, 2002).
4. Klasifikasi

Menurut American College of Gastroenterology, diare dapat


diklasifikasikan berdasarkan lamanya:
a. Diare akut : kurang dari 2 minggu.
b. Diare persisten : 2-4 minggu
c. Diare kronik : lebih dari 4 minggu.

5. Faktor risiko

Diare akut disebabkan oleh banyak penyebab antara lain infeksi


(bakteri, parasit, virus), keracunan makanan, efek obat-obatan dan lain-lain.
(Sudoyo,2009)
Faktor-faktor penyebab diare :
1. Faktor Infeksi
Infeksi merupakan penyebab utama diare akut, baik oleh
bakteri, virus maupun parasit. Penyebab lain timbulnya diare akut
adalah toksin dan obat, nutrisi enteral yang diikuti puasa yang lama,
kemoterapi,impaksi fekal (overflow diarrhea) atau berbagai kondisi
lain. Dari penelitian pada tahun1993-1994 terhadap 123 pasien dewasa
yang menderita diare akut, penyebab terbanyak hasil infeksi bakteri
E.coli (38.29%), V.cholerae Ogawa (18.29%), Aeromonas. Sp
(14.29%) (Mansjoer,2001).
Diare oleh sebab non-
Diare oleh sebab infeksi infeksi

1. Bakteri 1.Defek Anatomi


Shigela, Salmonella, E.colli, Vibrio  Short Bowel Syndrome
cholera, Staphylococcus aureus,  Penyakit Hirchsprung
Campilobacter aeromonas 2. Malabsorbsi
2. Virus  Defisiensi disakaridase
Rotavirus, Norwalk, Norwalk like agent,  Cholestasis
Adenovirus 3.Alergi
3. Parasit  Alergi susu sapi
Protozoa : Entamoeba histolytica, Giardia 4.Keracunan makanan
lamblia, Balantidium coli, Cacing :  Logam berat
Ascaris, Trichiuris trichiura  Mushroom
Jamur : Candida 5.Vitamin C terlalu
tinggi
6. fruktosa berlebih

Tabel 1. Diare yang disebabkan oleh infeksi.

2. Faktor Umur
3. Faktor Status Gizi
4. Faktor Lingkungan  sanitasi dasar, sarana air bersih, limbah dan
sampah, serta jamban keluarga
5. Faktor Susunan Makan  yang mempengaruhi angka kejadian
diare adalah adanya antigen, osmolaritas terhadap cairan,
malabsorpsi, dan mekanik.
Cara penularan diare melalui cara faecal-oral yaitu melalui
makanan atau minuman yang tercemar kuman atau kontak langsung
tangan penderita atau tidak langsung melalui lalat ( melalui 5F =
faeces, flies, food, fluid, finger).

6. Cara penularan
a. Infeksi non-invasif.
1) Stafilococcus aureus
Keracunan makanan karena stafilokokkus disebabkan
asupan makanan yang mengandung toksin stafilokokkus, yang
terdapat pada makanan yang tidak tepat cara pengawetannya.
Enterotoksin stafilokokus stabil terhadap panas.
Gejala terjadi dalam waktu 1 – 6 jam setelah asupan
makanan terkontaminasi. Sekitar 75 % pasien mengalami mual,
muntah, dan nyeri abdomen, yang kemudian diikuti diare sebanyak
68 %. Demam sangat jarang terjadi. Lekositosis perifer jarang
terjadi, dan sel darah putih tidak terdapat pada pulasan feses. Masa
berlangsungnya penyakit kurang dari 24 jam.
Diagnosis ditegakkan dengan biakan S. aureus dari makanan
yang terkontaminasi, atau dari kotoran dan muntahan pasien.
Terapi dengan hidrasi oral dan antiemetik. Tidak ada
peranan antibiotik dalam mengeradikasi stafilokokus dari makanan
yang ditelan (Procop, 2003).
2) Bacillus cereus
B. cereus adalah bakteri batang gram positip, aerobik,
membentuk spora. Enterotoksin dari B. cereus menyebabkan gejala
muntah dan diare, dengan gejala muntah lebih dominan.
Gejala dapat ditemukan pada 1 – 6 jam setelah asupan
makanan terkontaminasi, dan masa berlangsungnya penyakit kurang
dari 24 jam. Gejala akut mual, muntah, dan nyeri abdomen, yang
seringkali berakhir setelah 10 jam. Gejala diare terjadi pada 8 – 16
jam setelah asupan makanan terkontaminasi dengan gejala diare
cair dan kejang abdomen. Mual dan muntah jarang terjadi. Terapi
dengan rehidrasi oral dan antiemetik (Procop, 2003).
3) Bacillus cereus
B. cereus adalah bakteri batang gram positip, aerobik,
membentuk spora. Enterotoksin dari B. cereus menyebabkan gejala
muntah dan diare, dengan gejala muntah lebih dominan.
Gejala dapat ditemukan pada 1 – 6 jam setelah asupan
makanan terkontaminasi, dan masa berlangsungnya penyakit kurang
dari 24 jam. Gejala akut mual, muntah, dan nyeri abdomen, yang
seringkali berakhir setelah 10 jam. Gejala diare terjadi pada 8 – 16
jam setelah asupan makanan terkontaminasi dengan gejala diare
cair dan kejang abdomen. Mual dan muntah jarang terjadi. Terapi
dengan rehidrasi oral dan antiemetik (Procop, 2003).
4) Clostridium perfringens
C perfringens adalah bakteri batang gram positip, anaerob,
membentuk spora. Bakteri ini sering menyebabkan keracunan
makanan akibat dari enterotoksin dan biasanya sembuh sendiri .
Gejala berlangsung setelah 8 – 24 jam setelah asupan produk-
produk daging yang terkontaminasi, diare cair dan nyeri
epigastrium, kemudian diikuti dengan mual, dan muntah. Demam
jarang terjadi. Gejala ini akan berakhir dalam waktu 24 jam.
Pemeriksaan mikrobiologis bahan makanan dengan isolasi
5
lebih dari 10 organisma per gram makanan, menegakkan diagnosa
keracunan makanan C perfringens. Pulasan cairan fekal
menunjukkan tidak adanya sel polimorfonuklear, pemeriksaan
laboratorium lainnya tidak diperlukan.
Terapi dengan rehidrasi oral dan antiemetik (Procop, 2003).
5) Vibrio cholerae
V cholerae adalah bakteri batang gram-negatif, berbentuk
koma dan menyebabkan diare yang menimbulkan dehidrasi berat,
kematian dapat terjadi setelah 3 – 4 jam pada pasien yang tidak
dirawat. Toksin kolera dapat mempengaruhi transport cairan pada
usus halus dengan meningkatkan cAMP, sekresi, dan menghambat
absorpsi cairan. Penyebaran kolera dari makanan dan air yang
terkontaminasi.
Gejala awal adalah distensi abdomen dan muntah, yang
secara cepat menjadi diare berat, diare seperti air cucian beras.
Pasien kekurangan elektrolit dan volume darah. Demam ringan
dapat terjadi.
Kimia darah terjadi penurunan elektrolit dan cairan dan
harus segera digantikan yang sesuai. Kalium dan bikarbonat hilang
dalam jumlah yang signifikan, dan penggantian yang tepat harus
diperhatikan. Biakan feses dapat ditemukan V.cholerae.
Target utama terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit
yang agresif. Kebanyakan kasus dapat diterapi dengan cairan oral.
Kasus yang parah memerlukan cairan intravena.
Antibiotik dapat mengurangi volume dan masa
berlangsungnya diare. Tetrasiklin 500 mg tiga kali sehari selama 3
hari, atau doksisiklin 300 mg sebagai dosis tunggal, merupakan
pilihan pengobatan. Perbaikan yang agresif pada kehilangan cairan
menurunkan angka kematian ( biasanya < 1 %). Vaksin kolera oral
memberikan efikasi lebih tinggi dibandingkan dengan vaksin
parenteral (Procop, 2003).
6) Escherichia coli patogen
E. coli patogen adalah penyebab utama diare pada
pelancong. Mekanisme patogen yang melalui enterotoksin dan
invasi mukosa. Ada beberapa agen penting, yaitu (Procop, 2003) :
1 Enterotoxigenic E. coli (ETEC).
2 Enterophatogenic E. coli (EPEC).
3 Enteroadherent E. coli (EAEC).
4 Enterohemorrhagic E. coli (EHEC)
5 Enteroinvasive E. Coli (EIHEC)
Kebanyakan pasien dengan ETEC, EPEC, atau EAEC
mengalami gejala ringan yang terdiri dari diare cair, mual, dan
kejang abdomen. Diare berat jarang terjadi, dimana pasien
melakukan BAB lima kali atau kurang dalam waktu 24 jam.
Lamanya penyakit ini rata-rata 5 hari. Demam timbul pada kurang
dari 1/3 pasien. Feses berlendir tetapi sangat jarang terdapat sel
darah merah atau sel darah putih. Lekositosis sangat jarang terjadi.
ETEC, EAEC, dan EPEC merupakan penyakit self limited, dengan
tidak ada gejala sisa.
Pemeriksaan laboratorium tidak ada yang spesifik untuk E
coli, lekosit feses jarang ditemui, kultur feses negatif dan tidak ada
lekositosis. EPEC dan EHEC dapat diisolasi dari kultur, dan
pemeriksaan aglutinasi latex khusus untuk EHEC tipe O157.
Terapi dengan memberikan rehidrasi yang adekuat.
Antidiare dihindari pada penyakit yang parah. ETEC berespon
baik terhadap trimetoprim-sulfametoksazole atau kuinolon yang
diberikan selama 3 hari. Pemberian antimikroba belum diketahui
akan mempersingkat penyakit pada diare EPEC dan diare EAEC.
Antibiotik harus dihindari pada diare yang berhubungan dengan
EHEC.
Cara penularan diare melalui cara faecal-oral yaitu melalui
makanan atau minuman yang tercemar kuman atau kontak langsung
tangan penderita atau tidak langsung melalui lalat ( melalui 5F =
faeces, flies, food, fluid, finger) (Procop, 2003)..
b. Infeksi Invasif
1) Shigella
Shigella adalah penyakit yang ditularkan melalui makanan
atau air. Organisme Shigella menyebabkan disentri basiler dan
menghasilkan respons inflamasi pada kolon melalui enterotoksin
dan invasi bakteri.
Secara klasik, Shigellosis timbul dengan gejala adanya nyeri
abdomen, demam, BAB berdarah, dan feses berlendir. Gejala awal
terdiri dari demam, nyeri abdomen, dan diare cair tanpa darah,
kemudian feses berdarah setelah 3 – 5 hari kemudian. Lamanya
gejala rata-rata pada orang dewasa adalah 7 hari, pada kasus yang
lebih parah menetap selama 3 – 4 minggu. Shigellosis kronis dapat
menyerupai kolitis ulseratif, dan status karier kronis dapat terjadi.
Manifestasi ekstraintestinal Shigellosis dapat terjadi,
termasuk gejala pernapasan, gejala neurologis seperti meningismus,
dan Hemolytic Uremic Syndrome. Artritis oligoartikular asimetris
dapat terjadi hingga 3 minggu sejak terjadinya disentri.
Pulasan cairan feses menunjukkan polimorfonuklear dan sel
darah merah. Kultur feses dapat digunakan untuk isolasi dan
identifikasi dan sensitivitas antibiotik.
Terapi dengan rehidrasi yang adekuat secara oral atau
intravena, tergantung dari keparahan penyakit. Derivat opiat harus
dihindari. Terapi antimikroba diberikan untuk mempersingkat
berlangsungnya penyakit dan penyebaran bakteri. Trimetoprim-
sulfametoksazole atau fluoroquinolon dua kali sehari selama 3 hari
merupakan antibiotik yang dianjurkan (Procop, 2003).
2) Salmonella nontyphoid
Salmonella nontipoid adalah penyebab utama keracunan
makanan di Amerika Serikat. Salmonella enteriditis dan Salmonella
typhimurium merupakan penyebab. Awal penyakit dengan gejala
demam, menggigil, dan diare, diikuti dengan mual, muntah, dan
kejang abdomen. Occult blood jarang terjadi. Lamanya berlangsung
biasanya kurang dari 7 hari.
Pulasan kotoran menunjukkan sel darah merah dan sel darah
putih se. Kultur darah positip pada 5 – 10 % pasien kasus dan sering
ditemukan pada pasien terinfeksi HIV.
Terapi pada Salmonella nonthypoid tanpa komplikasi
dengan hidrasi adekuat. Penggunaan antibiotik rutin tidak
disarankan, karena dapat meningkatan resistensi bakteri. Antibiotik
diberikan jika terjadi komplikasi salmonellosis, usia ekstrem ( bayi
dan berusia > 50 tahun), immunodefisiensi, tanda atau gejala sepsis,
atau infeksi fokal (osteomilitis, abses). Pilihan antibiotik adalah
trimetoprim-sulfametoksazole atau fluoroquinolone seperti
ciprofloxacin atau norfloxacin oral 2 kali sehari selama 5 – 7 hari
(Procop, 2003)
3) Salmonella typhi
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi adalah penyebab
demam tiphoid. Demam tiphoid dikarakteristikkan dengan demam
panjang, splenomegali, delirium, nyeri abdomen, dan manifestasi
sistemik lainnya. Penyakit tiphoid adalah suatu penyakit sistemik
dan memberikan gejala primer yang berhubungan dengan traktus
gastrointestinal. Sumber organisme ini biasanya adalah makanan
terkontaminasi.
Setelah bakterimia, organisma ini bersarang pada sistem
retikuloendotelial, menyebabkan hiperplasia, pada lymph nodes dan
Peyer pacthes di dalam usus halus. Pembesaran yang progresif dan
ulserasi dapat menyebabkan perforasi usus halus atau perdarahan
gastrointestinal.
Bentuk klasik demam tiphoid selama 4 minggu. Masa
inkubasi 7-14 hari. Minggu pertama terjadi demam tinggi, sakit
kepala, nyeri abdomen, dan perbedaan peningkatan temperatur
dengan denyut nadi. 50 % pasien dengan defekasi normal. Pada
minggu kedua terjadi splenomegali dan timbul rash. Pada minggu
ketiga timbul penurunan kesadaran dan peningkatan toksemia,
keterlibatan usus halus terjadi pada minggu ini dengan diare kebiru-
biruan dan berpotensi untuk terjadinya ferforasi. Pada minggu ke
empat terjadi perbaikan klinis.
Diagnosa ditegakkan dengan isolasi organisme. Kultur darah
positif pada 90% pasien pada minggu pertama timbulnya gejala
klinis. Kultur feses positif pada minggu kedua dan ketiga.
Perforasi dan perdarahan gastrointestinal dapat terjadi
selama jangka waktu penyakit. Kolesistitis jarang terjadi, namun
infeksi kronis kandung empedu dapat menjadi karier dari pasien
yang telah sembuh dari penyakit akut. Pilihan obat adalah
klorampenikol 500 mg 4 kali sehari selama 2 minggu. Jika terjadi
resistensi, penekanan sumsum tulang, sering kambuh dan karier
disarankan sepalosporin generasi ketiga dan flourokinolon.
Sepalosforin generasi ketiga menunjukkan effikasi sangat baik
melawan S. Thypi dan harus diberikan IV selama 7-10 hari,
Kuinolon seperti ciprofloksasin 500 mg 2 kali sehari selama 14 hari,
telah menunjukkan efikasi yang tinggi dan status karier yang
rendah. Vaksin thipoid oral (ty21a) dan parenteral (Vi)
direkomendasikan jika pergi ke daerah endemik (Procop, 2003).
4) Campylobakter
Spesies Campylobakter ditemukan pada manusia C. Jejuni
dan C. Fetus, sering ditemukan pada pasien immunocompromised..
Patogenesis dari penyakit toksin dan invasi pada mukosa.
Manifestasi klinis infeksi Campylobakter sangat bervariasi,
dari asimtomatis sampai sindroma disentri. Masa inkubasi selama
24 -72 jam setelah organisme masuk. Diare dan demam timbul pada
90% pasien, dan nyeri abdomen dan feses berdarah hingga 50-70%.
Gejala lain yang mungkin timbul adalah demam, mual, muntah dan
malaise. Masa berlangsungnya penyakit ini 7 hari.
Pulasan feses menunjukkan lekosit dan sel darah merah.
Kultur feses dapat ditemukan adanya Kampilobakter.
Kampilobakter sensitif terhadap eritromisin dan quinolon, namun
pemakaian antibiotik masih kontroversi. Antibiotik diindikasikan
untuk pasien yang berat atau pasien yang nyata-nyata terkena
sindroma disentri. Jika terapi antibiotik diberikan, eritromisin 500
mg 2 kali sehari secara oral selama 5 hari cukup efektif. Seperti
penyakit diare lainnya, penggantian cairan dan elektrolit merupakan
terapi utama (Procop, 2003).
5) Vibro mom-kolera
Spesies Vibrio non-kolera telah dihubungkan dengan
mewabahnya gastroenteritis. V parahemolitikus, non-01 V. kolera
dan V. mimikus telah dihubungkan dengan konsumsi kerang
mentah. Diare terjadi individual, berakhir kurang 5 hari. Diagnosa
ditegakkan dengan membuat kultur feses yang memerlukan media
khusus. Terapi dengan koreksi elektrolit dan cairan. Antibiotik tidak
memperpendek berlangsungnya penyakit. Namun pasien dengan
diare parah atau diare lama, direkomendasikan menggunakan
tetrasiklin (Procop, 2003).
6) Yersinia
Spesies Yersinia adalah kokobasil, gram-negatif.
Diklasifikasikan sesuai dengan antigen somatik (O) dan flagellar
(H). Organisme tersebut menginvasi epitel usus. Yersinia
menghasilkan enterotoksin labil. Terminal ileum merupakan daerah
yang paling sering terlibat, walaupun kolon dapat juga terinvasi.
Penampilan klinis biasanya terdiri dari diare dan nyeri
abdomen, yang dapat diikuti dengan artralgia dan ruam (eritrema
nodosum atau eritema multiforme). Feses berdarah dan demam
jarang terjadi. Pasien terjadi adenitis, mual, muntah dan ulserasi
pada mulut. Diagnosis ditegakkan dari kultur feses. Penyakit
biasanya sembuh sendiri berakhir dalam 1-3 minggu. Terapi dengan
hidrasi adekuat. Antibiotik tidak diperlukan, namun dapat
dipertimbangkan pada penyakit yang parah atau bekterimia.
Kombinasi Aminoglikosid dan Kuinolon nampaknya dapat menjadi
terapi empirik pada sepsis (Procop, 2003)
7) Enterohemoragik E Coli (Subtipe 0157)
EHEC telah dikenal sejak terjadi wabah kolitis hemoragik.
Wabah ini terjadi akibat makanan yang terkontaminasi.
Kebanyakan kasus terjadi 7-10 hari setelah asupan makanan atau air
terkontaminasi. EHEC dapat merupakan penyebab utama diare
infeksius. Subtipe 0157 : H7 dapat dihubungkan dengan
perkembangan Hemolytic Uremic Syndrom (HUS). Centers for
Disease Control (CDC) telah meneliti bahwa E Coli 0157
dipandang sebagai penyebab diare berdarah akut atau HUS. EHEC
non-invasif tetapi menghasilkan toksin shiga, yang menyebabkan
kerusakan endotel, hemolisis mikroangiopatik, dan kerusakan
ginjal.
Awal dari penyakit dengan gejala diare sedang hingga berat
(hingga 10-12 kali perhari). Diare awal tidak berdarah tetapi
berkembang menjadi berdarah. Nyeri abdomen berat dan kejang
biasa terjadi, mual dan muntah timbul pada 2/3 pasien. Pemeriksaan
abdomen didapati distensi abdomen dan nyeri tekan pada kuadran
kanan bawah. Demam terjadi pada 1/3 pasien. Hingga 1/3 pasien
memerlukan perawatan di rumah sakit. Lekositosis sering terjadi.
Urinalisa menunjukkan hematuria atau proteinuria atau timbulnya
lekosit. Adanya tanda anemia hemolitik mikroangiopatik
9
(hematokrit < 30%), trombositopenia (<150 x 10 /L), dan insufiensi
renal (BUN >20 mg/dL) adalah diagnosa HUS.
HUS terjadi pada 5-10% pasien dan di diagnosa 6 hari
setelah terkena diare. Faktor resiko HUS, usia (khususnya pada
anak-anak dibawah usia 5 tahun) dan penggunaan antidiare.
Penggunaan antibiotik juga meningkatkan resiko. Hampir 60%
pasien dengan HUS akan sembuh, 3-5% akan meninggal, 5% akan
berkembang ke penyakit ginjal tahap akhir dan 30% akan
mengalami gejala sisa proteinuria. Trombosit trombositopenik
purpura dapat terjadi tetapi lebih jarang dari pada HUS.
Jika tersangka EHEC, harus dilakukan kultur feses E. coli.
Serotipe biasanya dilakukan pada laboratorium khusus.
Terapi dengan penggantian cairan dan mengatasi komplikasi
ginjal dan vaskuler. Antibiotik tidak efektif dalam mengurangi
gejala atau resiko komplikasi infeksi EHEC. Nyatanya pada
beberapa studi yang menggunakan antibiotik dapat meningkatkan
resiko HUS. Pengobatan antibiotik dan anti diare harus dihindari.
Fosfomisin dapat memperbaiki gejala klinis, namun, studi lanjutan
masih diperlukan (Procop, 2003).
8) Aeromonas
Spesies Aeromonas adalah gram negatif, anaerobik
fakultatif. Aeromonas menghasilkan beberapa toksin, termasuk
hemosilin, enterotoksin, dan sitotoksin.
Gejala diare cair, muntah, dan demam ringan. Kadang-
kadang feses berdarah. Penyakit sembuh sendiri dalam 7 hari.
Diagnosa ditegakkan dari biakan kotoran.
Antibiotik direkomendasikan pada pasien dengan diare
panjang atau kondisi yang berhubungan dengan peningkatan resiko
septikemia, termasuk malignansi, penyakit hepatobiliar, atau pasien
immunocompromised. Pilihan antibiotik adalah trimetroprim
sulfametoksazole (Procop, 2003).
9) Plesiomonas
Plesiomanas shigelloides adalah gram negatif, anaerobik
fakultatif. Kebanyakan kasus berhubungan dengan asupan kerang
mentah atau air tanpa olah dan perjalanan ke daerah tropik, Gejala
paling sering adalah nyeri abdomen, demam, muntah dan diare
berdarah. Penyakit sembuh sendiri kurang dari 14 hari. Diagnosa
ditegakkan dari kultur feses.
Antibiotik dapat memperpendek lamanya diare. Pilihan
antibiotik adalah tritoprim sulfametoksazole (Procop, 2003).

7. Pafisiologi
Diare dapat disebabkan oleh satu atau lebih patofisiologi atau
patomekanisme dibawah ini :
a. Diare sekretorik
Diare tipe ini disebabkan oleh meningkatnya sekresi air dan elektrolit
dari usus, menurunnya absorpsi. Yang khas pada diare ini yaitu secara
klinis ditemukan diare dengan volume tinja yang banyak sekali. Diare
tipe ini akan tetap berlangsung walaupun dilakukan puasa
makan/minum (Simadibrata, 2006).
b. Diare osmotik
Diare tipe ini disebabkan meningkatnya tekanan osmotik intralumen
dari usus halus yang disebabkan oleh obat-obat/zat kimia yang
hiperosmotik (antara lain MgSO4, Mg(OH)2), malabsorpsi umum dan
defek dalam absorpsi mukosa usus missal pada defisiensi disakaridase,
malabsorpsi glukosa/galaktosa (Simadibrata, 2006).
c. Malabsorpsi asam empedu dan lemak
Diare tipe ini didapatkan pada gangguan pembentukan/produksi micelle
empedu dan penyakit-penyakit saluran bilier dan hati (Simadibrata,
2006).
d. Defek sistem pertukaran anion/transport elektrolit aktif di enterosit
Diare tipe ini disebabkan adanya hambatan mekanisme transport aktif
NA+K+ATPase di enterosit dan absorpsi Na+ dan air yang abnormal
(Simadibrata, 2006).
e. Motilitas dan waktu transit usus yang abnormal
Diare tipe ini disebabkan hipermotilitas dan iregularitas motilitas usus
sehingga menyebabkan absorpsi yang abnormal di usus halus.
Penyebabnya antara lain: diabetes mellitus, pasca vagotomi, hipertiroid
(Simadibrata, 2006).
f. Gangguan permeabilitas usus
Diare tipe ini disebabkan permeabilitas usus yang abnormal disebabkan
adanya kelainan morfologi membran epitel spesifik pada usus halus
(Simadibrata, 2006).
g. Diare inflamasi
Proses inflamasi di usus halus dan kolon menyebabkan diare pada
beberapa keadaan. Akibat kehilangan sel epitel dan kerusakan tight
junction, tekanan hidrostatik dalam pembuluh darah dan limfatik
menyebabkan air, elektrolit, mukus, protein dan seringkali sel darah
merah dan sel darah putih menumpuk dalam lumen. Biasanya diare
akibat inflamasi ini berhubungan dengan tipe diare lain seperti diare
osmotik dan diare sekretorik (Juffrie, 2010).
h. Diare infeksi
Infeksi oleh bakteri merupakan penyebab tersering dari diare. Dari sudut
kelainan usus, diare oleh bakteri dibagi atas non-invasif dan invasif
(merusak mukosa). Bakteri non-invasif menyebabkan diare karena
toksin yang disekresikan oleh bakteri tersebut (Simadibrata, 2006).

8. Patogenesis
Penyebab tersering diare adalah disebabkan oleh rotavirus. Setelah
terpapar dengan agen tertentu, virus akan masuk ke dalam tubuh bersama
dengan makanan dan minuman. Kemudian virus itu akan sampai ke sel-sel
epitel usus halus dan akan menyebabkan infeksi dan merusakkan sel-sel
epitel tersebut. Sel-sel epitel yang rusak akan digantikan oleh sel enterosit
baru yang berbentuk kuboid atau sel epitel gepeng yang belum matang
sehingga fungsi sel-sel ini masih belum bagus. Hal ini menyebabkan vili-vlli
usus halus mengalami atrofi dan tidak dapat menyerap cairan dan makanan
dengan baik. Cairan dan makanan tadi akan terkumpul di usus halus dan
akan meningkatkan tekanan osmotik usus. Hal ini menyebabkan banyak
cairan ditarik ke dalam lumen usus dan akan menyebabkan terjadinya
hiperperistaltik usus. Cairan dan makanan yang tidak diserap tadi akan
didorong keluar melalui anus dan terjadilah diare (Kliegman, 2006).

9. Dagnosis
a. Anamnesis
Pasien dengan diare akut datang dengan berbagai gejala klinik
tergantung penyebab penyakit dasarnya. Keluhan diarenya
berlangsung kurang dari 15 hari. Diare karena penyakit usus halus
biasanya berjumlah banyak, diare air, dan sering berhubungan dengan
malabsorpsi dan dehidrasi sering didapatkan. Diare karena kelainan
kolon seringkali berhubungan dengan tinja berjumlah kecil tetapi
sering, bercampur darah dan ada sensasi ingin ke belakang. Pasien
dengan diare akut infektif datang dengan keluhan khas, yaitu mual,
muntah, nyeri abdomen, demam, dan tinja yang sering, malabsorptif,
atau berdarah tergantung bakteri patogen yang spesifik. Secara umum,
pathogen usus halus tidak invasif, dan patogen ileokolon lebih
mengarah ke invasif. Muntah yang mulai beberapa jam dari masuknya
makanan mengarahkan kita pada keracunan makanan karena toksin
yang dihasilkan (Simadibrata, 2006).
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik perlu diperiksa: berat badan, suhu
tubuh, frekuensi denyut jantung dan pernapasan serta tekanan darah.
Selanjutnya perlu dicari tanda-tanda utama dehidrasi: kesadaran, rasa
haus, dan turgor kulit abdomen dan tanda-tanda tambahan lainnya:
ubun-ubun besar cekung atau tidak, mata: cowong atau tidak, ada atau
tidaknya air mata, bibir, mukosa mulut dan lidah kering atau basah
(Juffrie, 2010).
Pernapasan yang cepat dan dalam indikasi adanya asidosis
metabolik. Bising usus yang lemah atau tidak ada bila terdapat
hipokalemia. Pemeriksaan ekstremitas perlu karena perfusi dan
capillary refill dapat menentukan derajat dehidrasi yang terjadi
(Juffrie, 2010).
Penilaian beratnya atau derajat dehidrasi dapat ditentukan
dengan cara: obyektif yaitu dengan membandingkan berat badan
sebelum dan selama diare. Subyektif dengan menggunakan criteria
WHO, Skor Maurice King, dan lain-lain (Juffrie, 2010).

Tabel 2. Klasifikasi diare (Huang LH et al, 2015).

c. Labiratorium
Pemeriksaan laboratorium lengkap pada diare akut umumnya
tidak diperlukan, Hanya pada keadaan tertentu mungkin diperlukan,
misalnya penyebab dasarnya tidak diketahui atau ada sebab-sebab lain
selain diare akut atau pada penderita dengan dehidrasi berat (Juffrie,
2010).
Pemeriksaan tinja baik makroskopik maupun mikroskopik
dapat dilakukan untuk menentukan diagnosa yang pasti. Secara
makroskopik harus diperhatikan bentuk, warna tinja, ada tidaknya
darah, lender, pus, lemak, dan lain-lain. Pemeriksaan mikroskopik
melihat ada tidaknya leukosit, eritrosit, telur cacing, parasit, bakteri,
dan lain-lain(Juffrie, 2010).

10. Penatalaksanaan
Menurut Kemenkes RI (2011), prinsip tatalaksana diare pada balita
adalah LINTAS DIARE (Lima Langkah Tuntaskan Diare), yang didukung
oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia dengan rekomendasi WHO. Rehidrasi
bukan satu-satunya cara untuk mengatasi diare tetapi memperbaiki kondisi
usus serta mempercepat penyembuhan/menghentikan diare dan mencegah
anak kekurangan gizi akibat diare juga menjadi cara untuk mengobati diare.
Adapun program LINTAS DIARE yaitu:
- Rehidrasi menggunakan Oralit osmolalitas rendah
- Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut
- Teruskan pemberian ASI dan Makanan (pada bayi)
- Antibiotik Selektif

a. Oralit
Untuk mencegah terjadinya dehidrasi dapat dilakukan mulai dari rumah
tangga dengan memberikan oralit osmolaritas rendah, dan bila tidak
tersedia berikan cairan rumah tangga seperti air tajin, kuah sayur, air
matang. Oralit saat ini yang beredar di pasaran sudah oralit yang baru
dengan osmolaritas yang rendah, yang dapat mengurangi rasa mual dan
muntah. Oralit merupakan cairan yang terbaik bagi penderita diare untuk
mengganti cairan yang hilang. Bila penderita tidak bisa minum harus
segera di bawa ke sarana kesehatan untuk mendapat pertolongan cairan
melalui infus. Pemberian oralit didasarkan pada derajat dehidrasi
(Kemenkes RI, 2011).
1) Diare tanpa dehidrasi
- Umur < 1 tahun : ¼ - ½ gelas setiap kali anak mencret
- Umur 1 – 4 tahun : ½ - 1 gelas setiap kali anak mencret
- Umur diatas 5 Tahun : 1 – 1½ gelas setiap kali anak
mencret
2) Diare dengan dehidrasi ringan sedang
Dosis oralit yang diberikan dalam 3 jam pertama 75 ml/
kg bb dan selanjutnya diteruskan dengan pemberian oralit
seperti diare tanpa dehidrasi.
3) Diare dengan dehidrasi berat
Penderita diare yang tidak dapat minum harus segera
dirujuk ke Puskesmas untuk di infuse (Kemenkes RI, 2011).
Tabel 3.2. Kebutuhan Oralit per Kelompok umur (Depkes
RI, 2006)

Umur Umur Jumlah oralit Jumlah oralit yang


yang diberikan disediakan di rumah
tiap BAB
< 12 bulan 50-100 ml 400 ml/hari ( 2 bungkus)
1-4 tahun 100-200 ml 600-800 ml/hari ( 3-4
bungkus)
> 5 tahun 200-300 ml 800-1000 ml/hari (4-5
bungkus)
Dewasa 300-400 ml 1200-2800 ml/hari

Untuk anak dibawah umur 2 tahun cairan harus


diberikan dengan sendok dengan cara 1 sendok setiap 1 sampai
2 menit. Pemberian dengan botol tidak boleh dilakukan. Anak
yang lebih besar dapat minum langsung dari gelas. Bila terjadi
muntah hentikan dulu selama 10 menit kemudian mulai lagi
perlahan-lahan misalnya 1 sendok setiap 2-3 menit. Pemberian
cairan ini dilanjutkan sampai dengan diare berhenti (Juffrie,
2010).
b. Zinc
Zinc merupakan salah satu mikronutrien yang penting dalam
tubuh. Zinc dapat menghambat enzim INOS (Inducible Nitric Oxide
Synthase), dimana ekskresi enzim ini meningkat selama diare dan
mengakibatkan hipersekresi epitel usus. Zinc juga berperan dalam
epitelisasi dinding usus yang mengalami kerusakan morfologi dan fungsi
selama kejadian diare (Kemenkes RI, 2011).
Pemberian Zinc selama diare terbukti mampu mengurangi lama dan
tingkat keparahan diare, mengurangi frekuensi buang air besar,
mengurangi volume tinja, serta menurunkan kekambuhan kejadian diare
pada 3 bulan berikutnya. Berdasarkan bukti ini semua anak diare harus
diberi Zinc segera saat anak mengalami diare.
Dosis pemberian Zinc pada balita
a. Umur < 6 bulan : ½ tablet (10 mg) per hari selama 10 hari
b. Umur > 6 bulan : 1 tablet (20 mg) per hari selama 10 hari.
Zinc tetap diberikan selama 10 hari walaupun diare sudah
berhenti. Cara pemberian tablet zinc : Larutkan tablet dalam 1 sendok
makan air matang atau ASI, sesudah larut berikan pada anak diare
(Kemenkes RI, 2011).
c. Pemberian ASI/makanan (pada bayi)
Pemberian makanan selama diare bertujuan untuk memberikan
gizi pada penderita terutama pada anak agar tetap kuat dan tumbuh serta
mencegah berkurangnya berat badan. Anak yang masih minum ASI harus
lebih sering di beri ASI. Anak yang minum susu formula juga diberikan
lebih sering dari biasanya. Anak usia 6 bulan atau lebih termasuk bayi
yang telah mendapatkan makanan padat harus diberikan makanan yang
mudah dicerna dan diberikan sedikit lebih sedikit dan lebih sering.
Setelah diare berhenti, pemberian makanan ekstra diteruskan selama 2
minggu untuk membantu pemulihan berat badan (Kemenkes RI, 2011).
d. Pemberian antibiotika hanya atas indikasi
Antibiotika tidak boleh digunakan secara rutin karena kecilnya
kejadian diare pada balita yang disebabkan oleh bakteri. Antibiotika
hanya bermanfaat pada penderita diare dengan darah (sebagian besar
karena shigellosis), suspek kolera (Kemenkes RI, 2011).
Obat-obatan anti diare juga tidak boleh diberikan pada anak yang
menderita diare karena terbukti tidak bermanfaat. Obat anti muntah tidak
dianjurkan kecuali muntah berat. Obat-obatan ini tidak mencegah
dehidrasi ataupun meningkatkan status gizi anak, bahkan sebagian besar
menimbulkan efek samping yang berbahaya dan bisa berakibat fatal. Obat
anti protozoa digunakan bila terbukti diare disebabkan oleh parasit
(amuba, giardia) (Kemenkes RI, 2011).

8. Pencegahan
Pencegahan diare menurut Pedoman Tatalaksana Diare Depkes RI
(2011) adalah sebagai berikut:
a. Menggunakan air bersih yang cukup
Sebagian besar kuman infeksius penyebab diare ditularkan
melalui jalur fecal-oral mereka dapat ditularkan dengan memasukkan
kedalam mulut, cairan atau benda yang tercemar dengan tinja misalnya
air minum, jari-jari tangan, makanan yang disiapkan dalam panci yang
dicuci dengan air tercemar (Depkes RI, 2011).
Masyarakat yang terjangkau oleh penyediaan air yang benar-
benar bersih mempunyai resiko menderita diare lebih kecil
dibandingkan dengan masyarakat yang tidak mendapatkan air bersih
(Depkes RI, 2011).
Masyarakat dapat mengurangi resiko terhadap serangan diare
yaitu dengan menggunakan air yang bersih dan melindungi air tersebut
dari kontaminasi mulai dari sumbernya sampai penyimpanan di rumah
(Depkes RI, 2006). Yang harus diperhatikan oleh keluarga adalah:
1. Air harus diambil dari sumber terbersih yang tersedia.
2. Sumber air harus dilindungi dengan menjauhkannya dari
hewan, membuat lokasi kakus agar jaraknya lebih dari 10
meter dari sumber yang digunakan serta lebih rendah, dan
menggali parit aliran di atas sumber untuk menjauhkan air
hujan dari sumber.
3. Air harus dikumpulkan dan disimpan dalam wadah bersih. Dan
gunakan gayung bersih bergagang panjang untuk mengambil
air.
4. Air untuk masak dan minum bagi anak harus dididihkan
(Depkes RI, 2011).
c. Mencuci tangan
Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan perorangan yang
penting dalam penularan kuman diare adalah mencuci tangan. Mencuci
tangan dengan sabun, terutama sesudah buang air besar (Depkes RI,
2011).
d. Menggunakan Jamban
Pengalaman di beberapa negara membuktikan bahwa upaya penggunaan
jamban mempunyai dampak yang besar dalam penurunan resiko
terhadap penyakit diare. Keluarga yang tidak mempunyai jamban harus
membuat jamban, dan keluarga harus buang air besar di jamban (Depkes
RI, 2006). Yang harus diperhatikan oleh keluarga :
- Keluarga harus mempunyai jamban yang berfungsi baik dan
dapat dipakai oleh seluruh anggota keluarga.
- Bersihkan jamban secara teratur.
- Bila tidak ada jamban, jangan biarkan anak-anak pergi ke tempat
buang air besar sendiri, buang air besar hendaknya jauh dari
rumah, jalan setapak dan tempat anak-anak bermain serta lebih
kurang 10 meter dari sumber air, hindari buang air besar tanpa
alas kaki (Depkes RI, 2011)
BAB IV
KESIMPULAN

1. Diare adalah peningkatan pengeluaran tinja dengan konsistensi lebih lunak


atau lebih cair dari biasanya, dan terjadi paling sedikit 3 kali dalam 24 jam.
2. Diare dapat disebebkan oleh bakteri, virus, parasit dan non infeksi.
3. Cara penularan diare melalui cara faecal-oral yaitu melalui makanan atau
minuman yang tercemar kuman atau kontak langsung tangan penderita atau
tidak langsung melalui lalat (melalui 5F = faeces, flies, food, fluid, finger).
4. Penegakan diare dengan anamnesis dimana gejala awal terdapat tanda klinis
pengeluaran tinja lebih lunak atau lebih cair paling sedikit 3 kali dalam 24
jam.
DAFTAR PUSTAKA

1. Boyle, J.T., 2000. Diare Kronis. In : Behrman, Kliegman & Alvin, Nelson, ed.
Ilmu Kesehatan Anak Vol.2 Edisi 15. Jakarta : EGC, 1354-1361.

2. Departemen Kesehatan Repubik Indonesia, 2006. Pedoman Tatalaksana


Diare. Available from:
http://dinkessulsel.go.id/new/images/pdf/pedoman/pedoman%20tatalaksana%
20diare.pdf

3. Farthing M, et al. 2012. Acute diarrhea in adults and children: a global


perspective. World Gastroenterology Organisation Global Guidelines.

4. Juffrie, M., et al, 2010. Buku Ajar Gastroenterologi - Hepatologi Jilid 1.


Jakarta : Balai Penerbit IDAI.

5. Huang L.H, et al. 2015. Dehydration Clinical Presentation. Dapat diakses di:
http://emedicine.medscape.com/article/906999-clinical

6. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011. Situasi Diare di Indonesia.


Buletin Jendela, Data dan Informasi Kesehatan.

7. Kliegman R.M., Marcdante K.J., and Behrman R.E., 2006. Nelson Essentials
of Pediatric. 5th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders.

8. Procop GW, Cockerill F. Enteritis Caused by Escherichia coli & Shigella &
Salmonella Species. 2003. In: Wilson WR, Drew WL, Henry NK,et al,
Editors. Current Diagnosis and Treatment in Infectious Disease, New York:
Lange Medical Books. 584 - 66.

9. Simadibrata, M., Daldiyono. 2006. Diare Akut. In: Sudoyo, Aru W, et al, ed.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi VI. Jakarta : Pusat Penerbitan
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 408-413.
10. WHO, 2015. Health topics of diarroea. Dapat diakses di :
http://www.who.int/topics/diarrhoea/en/

11. Widoyono. 2008. Penyakit Tropis-Epidemiologi, Penularan, Pencegahan &


Pemberantasannya. Penerbit Erlangga. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai