Anda di halaman 1dari 4

Sinopsis film

Seorang salesman keliling yang bernama Ray Kroc (Michael Keaton) yang merasa lelah
dengan pembuatan milkshake, mencari nafkah untuk istrinya yang bernama Ethel (Laurea
Dern) merasa nyaman, walaupun pernikahan mereka dingin. Mempelajari restauran yang
mengelola kualitas terhadap makanan dan layanan yang cepat, Ray Kroc bertemu dengan pria
bernama Mac (John Carroll Lynch) dan juga Dick McDonald (Nick Offerman).
Mac dan Dick McDonald yang berdedikasi terhadap menjadikan restauran mereka
McDonald's sukses, Mac dan Dick McDonald ragu-ragu untuk dapat membawa Ray masuk
dalam bagian keluarga, menolak minat langsung Ray Kroc dalam waralaba. Akan tetapi Ray
Kroc tidak mundur dengan mudah, pada akhirnya mendapati nama merek McDonald,
meminjam dan mempertaruhkan jalannya untuk mendapati uang yang cukup agar dapat
meluncurkan merek baru, membawa Golden Arches ke negara.
Sementara ide Ray Kroc yang sangat populer, Ray dihadapkan akan kenyataan berada
dalam bisnis Mac dan Dick, yang rentan terhadap stres, mencari cara untuk dapat
meninggalkan keduanya dan mencapai kesuksesan yang tidak terpikirkan dengan visi dirinya
untuk McDonald's.
Mac dan Ray dipaksa untuk mengambil nama mereka sendiri dari restauran asli dan Ray
Kroc membuka waralaba McDonald's baru seberang jalan, pada akhirnya membuat Dick dan
Mac keluar dari bisnis. Film ditutup di tahun 1970 dengan Ray mempersiapkan pidato dimana
dia memuji dirinya sendiri terhadap keberhasilannya di rumah mewahnya bersama degnan istri
barunya bernama Joan. Sebuah epilog mengungkpakan Mac dan Dick tidak pernah dibayar
royalti mereka yang dapat mencapai 100 juta dollar per tahun.

Warningmagz

Film yang mengulas perjalanan kesuksesan seseorang dalam meramu brand kiranya
membutuhkan kalkulasi dan perencanaan matang. Biasanya para sineas hanya berpaku
pada metode usang serta pengambilan sudut pandang yang itu-itu saja. Tanpa disadari
hal tersebut menjadi kesalahan elementer yang menjerumuskan standar pencapaian.
Alhasil, efeknya mudah ditebak: degradasi kualitas. Memang tak gampang menggambar
konstruksi film yang melibatkan langsung ekspedisi keberhasilan. Mengartikan substansi
pengalaman hidup ke dalam tumpukan naskah nyatanya bukan perkara sederhana.
Variabel penunjang patut dicantumkan agar keluarannya tak kelewat klise nan murahan.
Dalam perkembangannya film yang mengusung tema semacam ini banyak muncul di
pasaran. Ada yang berhasil menuai pujian, ada juga yang terjerembap kritikan. Tak semua
berujung respon positif. Namun bagi saya, Steve Jobs (2015) arahan Danny Boyle mampu
meninggalkan kesan yang menyenangkan. Kolaborasinya bersama Aaron Sorkin selaku
penulis naskah melahirkan permadani yang tersusun atas dialog-dialog cerdas dari
eksplorasi lain sisi. Dipaparkan secara tajam dengan topik yang mungkin bakal memantik
sumbu kontroversi.
Pelbagai anak dari perkawinan globalisasi bergantian mengunjungi layar perak. Narasi
tentang Apple, Disney, hingga Facebook adalah contoh terkini yang dipoles tak hanya
lewat transkrip baca tulis. Lantas dalam pikiran sekelebat timbul pertanyaan; bagaimana
dengan McDonald’s? Bukankah ia pantas disandingkan sejajar dengan rakitan Silicon
Valley yang menghasilkan dampak berskala luas untuk tatanan semesta? Rasanya kurang
berkah apabila untaian tentang McDonald’s cuma direpresentasikan melalui
dokumentasi Super Size Me (2004) yang menggeletik itu. Dengan jutaan pegawai dan
ratusan ribu gerai yang tersebar di penjuru dunia, berandil satu persen dalam memberi
makan populasi bumi, hingga lancarnya trilyunan pendapatan, semakin memenuhi
persyaratan untuk lolos uji kompetensi. Ditambah, apa yang sebetulnya menghilhami
McDonald’s sampai seperti sekarang menarik untuk diterjemahkan dalam konklusi visual.
Hingga tiba akhirnya wacana yang berkeliaran menjadi kenyataan. Menggandeng John
Lee Hancock serta Michael Keaton sebagai motor utama, film yang mengisahkan sepak
mula berdirinya McDonald’s rilis dengan judul The Founder. Tidak jauh beda dengan kisah
sukses lainnya, kemustahilan dan keputusasaan membuka tirai permulaan. Ray Kroc
(Michael Keaton) awalnya hanya penjual mixer yang rela berkelana sampai penjuru timur
Amerika untuk menawarkannya di gerai-gerai makanan setempat. Dengan
strategi marketing ataupun kelincahan lidah dalam membingkai kata-kata ajakan, hasilnya
tetap nihil: tak menarik minat pembeli. Menyerah sempat hinggap di otaknya sebelum
telepon pesanan dari San Bernardinho mengubah garis takdirnya.
Tanpa pikir panjang, Kroc menempuh perjalanan darat untuk memastikan sekaligus
memenuhi rasa penasarannya kepada pemesan. Sesampainya di sana, ia menyaksikan
pemandangan yang belum pernah terlintas di pikirannya. Gerai makanan siap saji
bertuliskan McDonald’s dengan antrian panjang, kebersihan yang terjaga, pelayanan
memuaskan nan terpadu, ketepatan penyajian dan kelezatan burger tiada dua. Ia
terperanjat. Seumur-umur belum pernah kiranya mendapati fakta semacam itu di tengah
kondisi memprihatinkan sebagian besar kedai makanan Amerika; standar pelayanan yang
rendah berupa keterlambatan serta pengembalian menu tidak sesuai pesanan. Seketika
Kroc memperoleh wahyu yang paripurna.

The Founder memaparkan alih cerita yang menarik. Konsep fast-food dengan penataan
dan pengaturan pelayanan sedemikian rupa ditambah ide tentang perluasan wilayah
bisnis melalui franchise menjadi sumber informasi mencerahkan. Keduanya saling
berhubungan dan menjalin ikatan bertaraf mutualisme. Kontrol kualitas, pengawasan,
serta reaktif dalam revolusi pasar memaksa sepasang kepentingan musti bersatu. Maurice
(John Carroll Lynch) dan Richard McDonald (Nick Offerman) bersaudara yang penuh
kehati-hatian, konservatif serta berpikir bisnis tak melulu urusan untung-rugi.
Menganggap McDonald’s ciptaan mereka merupakan embrio kesayangan yang
sepatutnya dijaga. Sedangkan Kroc berorientasi pada hasil dan keyakinan untuk tumbuh
hebat. Kesempatan emas ada di dalam tubuh McDonald’s, maka ia sekuat tenaga akan
mengeruknya demi ambisi nomor satu dan pengakuan publik atas kontribusinya.
Intrik dan konflik mulai bermunculan setelah nota kesepakatan ditandatangani di atas
lembar hitam putih. Perbedaan, bukannya menghadirkan keragaman justru menyimpan
bom atom yang siap meledak di antara ideologi bagaimana menjalankan entitas
McDonald’s. Lihat ketika mereka berdebat tentang penggunaan bubuk milkshake yang
menodai definisi milkshake sebenarnya. Bagi Kroc, langkah memakai bubuk dianggap
mampu menghemat pengeluaran operasional. Akan tetapi bagi McDonald bersaudara,
pemakaian bubuk tidak bisa ditolerir karena tidak mengandung objek susu yang
mencederai standar kualitas konsumen. Atau dalam ukuran lebih signifikan, simak saat
Kroc menggeser ketukan franchise dengan membeli tanah tidak lagi sebatas menyewa,
yang mana menetapkannya di atas pucuk kewenangan. Perlakuan Kroc tersebut pula
yang menandai terkikisnya hubungan McDonald bersaudara bersama buah kerja keras
mereka.
McDonald’s dibentuk atas kemungkinan Dick dan Mac, lantas diteruskan oleh keinginan
kuat Kroc dalam mewujudkan semangat American Dream. Kepercayaannya menguatkan
sikap optimis bahwa McDonald’s mampu berlari cepat dan tak terkejar. Menggadaikan
rumah untuk jaminan, menceraikan Ethel (Laura Dern) yang diasumsikan tak mendukung
karirnya dan melenyapkan logika serta nalar yang termakan dominasi ketamakan maupun
pemenuhan balas dendam. Dari pecundang dan tamu yang disambut hangat oleh
McDonald’s berubah menjadi penguasa cum si picik asal Illinois. Siapa yang menghalangi
gebrakannya, ia tak segan menyingkirkannya termasuk McDonald bersaudara (bagian di
mana Kroc melemparkan cek kosong semasa Mac dirawat di rumah sakit, royalti mereka
tak pernah dibayar maupun pembangunan franchise berhadapan dengan gerai asli
McDonald’s di San Bernardinho memantapkan opini betapa agresifnya Kroc).
Apabila ditelisik lebih seksama, cerita yang membelakangi McDonald’s hampir sama
dengan kemunculan Facebook di The Social Network. Ide perihal McDonald’s dengan
segala atribut inovasinya yang menginspirasi banyak gerai untuk berlaku serupa, bukan
berasal dari kepala Kroc melainkan McDonald bersaudara. Sama halnya dengan ide
Facebook yang berawal dari Cameron-Tyler Winklevoss dan Divya Narendra lantas
disempurnakan menjadi mesin pelebur global oleh Mark Zuckenberg. Baik Kroc maupun
Zuckenberg merupakan pihak yang memanfaatkan peluang sebaik-baiknya. Mereka
berhak untuk berkata tidak pernah mencuri ide. Tak salah memang. Tatkala pihak lain
tidak bisa mengoptimalkan, tekad Kroc dan Zuckenberg mengambil alih ruang di
bawahnya.
Rasanya kurang lengkap jika tak menyertakan apresiasi dan kredit bagi penampilan
Michael Keaton yang mengkilap bak permata. Ia berhasil memberikan nyawa kepada
sosok pebisnis, penangkap peluang, maupun pekerja kelas menengah yang
mencerminkan secara utuh retorika tentang Amerika; dilindas keraguan, menuju
kebangkitan, terbutakan naluri kemudian menahbiskan diri sebagai penguasa berkocek
tebal. Setiap gerak-geriknya memerankan tokoh Ray Kroc dilandasi pemikiran dan
keputusan untuk menjadi besar. Pembuktian yang mengesankan selepas
kegemilangannya di Birdman ataupun Spotlight.
Menonton The Founder, selain melihat perkembangan sejarah juga persoalan menyikapi
dengan kebijaksanaan. McDonald’s lahir, tumbuh dan berdiri tegak membawa cap
bernamakan produk besar. Tak cuma dalam lingkup makanan cepat saji, tapi bergulir
menjadi keturunan kebudayaan. Sejarah McDonald’s mungkin membuat kita marah atau
bahkan menyesal atas seluruh konflik yang mengikutinya. Ambisi memang mengerikan. Ia
dapat menghilangkan apa saja yang sudah tertanam di sekitar kita tanpa pandang bulu.
Akal sehat musnah tergantikan nafsu yang menguasai pikiran seraya menegaskan tak ada
celah untuk kegagalan.
Dengan cermat, John Lee Hancock menjahit diorama tentang McDonald’s secara elegan.
Dibantu Robert D. Siegel selaku penulis naskah, Lee menyediakan keutuhan The
Founder yang menawan. Ia menghindari kesan menggurui dalam babak demi babak,
fragmen demi fragmen. Membebaskan penonton mengambil dan mengartikan ulang
ungkapan kata yang termaktub sepanjang menit berjalan. Entah mengasihi Mac dan Dick,
mengutuk penuh umpatan, memakluminya, atau mengagumi etos Kroc yang gigih. Tak
ada yang memaksa dan menjerumuskan pandangan. Sering kita mencela sikap buruk,
memuji sifat baik. Menghakiminya dengan argumen sendiri. Tapi sesungguhnya Lee
hanya ingin menjelaskan; terkadang baik dan buruk dapat berandil dalam perubahan
besar. Lewat The Founder, Lee menggariskannya dengan kekhidmatan.

Anda mungkin juga menyukai