Anda di halaman 1dari 185

KATAMARAN DAN TRIMARAN

PRIMADONA KAPAL PENUMPANG :


TINJAUAN HAMBATAN, PROPULSI DAN DINAMIKA KAPAL

I K A P Utama
Richard B Luhulima

0
DAFTAR ISI
Ikhtisar
Bagian 1 Pendahuluan
Bagian 2 Hambatan Kapal
2.1 Umum
2.2 Komponen Hambatan
2.3 Metode Perhitungan
2.3.1 Computational Fluids Dynamics (CFD)
2.3.2 Pengujian Fisik
2.4 Katamaran
2.4.1 Geometri
2.4.2 Hasil
2.4.2.1 Perhitungan CFD
2.4.2.2 Perhitungan Pengujian Fisik
2.5 Trimaran
2.5.1 Geometri
2.5.2 Hasil
2.5.2.1 Perhitungan CFD
2.5.2.2 Perhitungan Pengujian Fisik

Bagian 3 Propulsi

Bagian 4 Dinamika Kapal


4.1 Umum
4.2 Katamaran
4.3 Trimaran

Bagian 5 Korelasi Hambatan dan Gerak Kapal


5.1 Umum
5.2 Katamaran
5.3 Trimaran

Referensi

Biodata Penulis
I Ketut Aria Pria Utama
Richard Benny Luhulima

1
2
Ikhtisar
Aplikasi kapal katamaran (lambung ganda) dalam moda transportasi
laut telah berkembang secara pesat dewasa ini dan nampaknya akan terus
berkembang di masa akan dating, khususnya di Eropa, Amerika, Australia
dan Asia Timur. Kapal katamaran banyak digunakan sebagai
hydrographic ships, submarine rescue ships, mine countermeasure ships,
oceanographic ships, environmental protection ships for oil spill recovery
dan khususnya sebagai high speed ferry. Di samping itu, juga
dikembangkan untuk tujuan militer sebagai kapal patroli, combat dan
Landing Craft Utility (LCU) untuk angkutan pasukan dan logistik.
Suatu hal yang membuat kapal katamaran menjadi populer dan sukses
diaplikasikan dalam moda transportasi karena tersedianya area geladak
(deck area) yang lebih luas, tingkat stabilitas yang lebih nyaman dan aman.
Disamping itu kapal katamaran (lambung ganda) cenderung memiliki sarat
air yang lebih rendah dibanding kapal monohull dengan displacement yang
sama, sehingga dapat dioperasikan pada perairan dangkal. Kemudian
bentuk lambung yang lansing (slender) dapat memperkecil timbulnya
sibakan air (wave wash) dibanding kapal lambung tunggal (monohull).
Komponen hambatan kapal katamaran memiliki fenomena yang lebih
kompleks dibanding dengan monohull, sebab adanya pengaruh interaksi
diantara dua lambung kapal dan hal tersebut menimbulkan interferensi
hambatan yakni interferensi komponen hambatan viskos dan gelombang.
Interferensi hambatan viskos disebabkan oleh aliran air yang tidak simetri
(asymmentric-flow) di sekitar lambung, yang mana memberikan pengaruh
pada formasi lapisan batas (boundary-layer) dan longitudinal vortices.
Sedangkan interferensi gelombang disebabkan interaksi dari gelombang
yang ditimbulkan oleh masing-masing lambung kapal katamaran.
Hasil kajian melalui eksperimen dan numerik menunjukkan bahwa
interferensi komponen hambatan pada lambung kapal katamaran sangat
siknifikan pengaruhnya terhadap perubahan jarak antara lambung secara
melintang (S/L). Semakin kecil jarak antara lambung katamaran (S/L)
maka semakin besar hambatan dan interferensi/interaksi komponen
hambatan yang terjadi. Selanjutnya dilakukan kajian korelasi hambatan
dan seakeeping secara koprehensif untuk memperoleh keterkaitan factor
tersebut. Korelasi yang terlihat antara hambatan dan seakeeping adalah
3
adanya perbedaan karena adanya interferensi semakin besar interferensi
maka gerakan heave dan pitch semakin berkurang. Namun inteferensi
tidak mempengaruhi terhadap gerakan roll. Hasil analisa pengujian dan
numeric menunjukkan bahwa pada S/L=0,4 menunjukkan hasil yang
sangat baik untuk permorma hambatan dan seakeeping.
Hasil-hasil didapat berupa besaran hambatan dan karateristik
seakeeping dari moda kapal trimaran. Selanjutnya dibandingkan dengan
published data yang verified dari berbagai referensi. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat memperkaya dan memperkuat data base dalam
mempresentasikan korelasi hambatan terhadap olah gerak pada lambung
kapal trimaran dan selanjutnya dapat diaplikasikan secara lansung dalam
perhitungan hambatan dan seakeeping yang digunakan pada tahapan
desain (preliminary design).

4
Bagian 1
Pendahuluan

Dalam 40 tahun terakhir telah terjadi peningkatan kebutuhan akan kapal-


kapal penumpang dan kargo ditinjau dari aspek hambatan dan tenaga
penggerak yang semakin efisien sehingga mampu mengurangi kebutuhan
energi, terutama bahan bakar minyak (BBM) yang bersumber dari energi
fosil. Selain itu, faktor dinamika gerak kapal (seakeeping) yang
menggambarkan kemampuan dan kenyamanan kapal ketika beroperasi di
laut tenang (calm water) dan perairan bergelombang (oblique seas) juga
memperoleh perhatian yang sangat sering. Berbagai bentuk dan
konfigurasi kapal kemudian dikembangkan dan meliputi bentuk-bentuk
kapal lambung tunggal (monohull), kapal lambung ganda (twinhull,
catamaran), dan kapal lambung tiga (trimaran).
Penelitian tentang berbagai bentuk badan kapal tersebut dilakukan di
berbagai negara, antara lain dilaporkan oleh Turner dan Taplin (1968)
menjelaskan perhitungan tenaga penggerak kapal katamaran ukuran besar,
Larsson dan Baba (1969) membahas pembagian komponen hambatan
kapal, Pien (1976), Miyazawa (1979) dan Liu dan Wang (1979)
menjelaskan penentuan hambatan interferensi kapal katamaran, Insel dan
Molland (1992) melakukan penelitian sistematis menggunakan model
NPL dan series-64 dan mengusulkan formulasi matematis perhitungan
hambatan kapal katamaran, Utama (1999) menjelaskan perhitungan
hambatan kapal katamaran secara eksperimental dan numerik, dan Utama
dkk (2008) membahas perhitungan hambatan kapal katamaran dan
trimaran untuk aplikasi penumpang di perairan sungai secara
eksperimental.
Ketiga moda kapal tersebut umumnya dibangun untuk aplikasi kapal
penumpang (ferries), sarana olahraga (sporting craft) dan kapal riset
oseanografi (oceanographic research vessels) (Utama, 2008). Dari ketiga
jenis tipe kapal tersebut, masing-masing mempunyai kelebihan dan
kekurangan yang perlu diperhatikan ketika akan dibangun.
Kapal-kapal berbadan tunggal (monohull) memang telah ada sejak
dahulu dan telah banyak digunakan untuk aplikasi kapal-kapal

5
penumpang, pengangkut kontainer dan kargo cair, kapal perang, dan lain-
lain.
Kira-kira sejak 40 tahun terakhir, perkembangan dan permintaan
terhadap tipe kapal-kapal (multihulls) semakin meningkat. Kapal-kapal
jenis ini apabila dibandingkan dengan kapal-kapal berbadan tunggal
(monohulls) mempunyai beberapa kelebihan antara lain tata letak
akomodasi yang lebih menarik, adanya peningkatan stabilitas melintang
dan dalam sejumlah kasus mampu mengurangi kapasitas tenaga penggerak
kapal untuk mencapai kecepatan dinas tertentu. Penggunaan kapal
katamaran pada umumnya adalah untuk kapal penumpang cepat dimana
lambung yang ramping (slender) memungkinkan adanya pengurangan
hambatan sebagai akibat dari berkurangnya luas permukaan basah badan
kapal dan selanjutnya menghasilkan kapasitas motor induk (main engine)
yang lebih kecil dan konsumsi BBM yang lebih efisien serta lebih ramah
lingkungan. Secara ekonomis, data dan fakta ini menunjukkan bahwa
biaya operasional kapal katamaran dapat menjadi lebih murah
dibandingkan sebuah kapal berbadan tunggal yang setara.
Secara ekonomis, data dan fakta ini menunjukkan bahwa biaya
operasional kapal katamaran dan trimaran dapat menjadi lebih murah
dibandingkan sebuah kapal berbadan tunggal yang setara. Keuntungan
yang sama dipercaya dapat diaplikasikan pada pengoperasian kapal –
kapal penumpang yang tidak membutuhkan kecepatan terlalu tinggi
seperti untuk angkutan sungai dan kapal-kapal penyeberangan untuk
menggantikan peranan feri roro berbadan tunggal yang disinyalir
bermasalah dengan persoalan stabilitas dan keselamatan (Utama dkk,
2009). Suatu hal yang membuat kapal katamaran menjadi populer dan
sukses digunakan dalam moda transportasi adalah tersedianya area
geladak (deck area) yang lebih luas, tingkat stabilitas yang lebih nyaman
dan aman (Seif, 2004 dan Zouridakis, 2005).
Kata “catamaran” berasal dari bahasa India yakni ‘kattamaram’
(sebutan dari suku Malayalam) atau ‘kattumaram’ (sebutan dari suku
Tamil). ‘Katta’ atau ‘kattu’ berarti adalah suatu kesatuan (block) yang
diikat dan ‘maran’ berarti pohon. Kemudian seorang perantau dari Inggris
William Dampier yang pertama kali menuliskan nama catamaran, pada
tahun 1696, yang dikenal hingga saat ini. Gambar 1.1 memperlihatkan
6
photograph sebuah kapal katamaran yang pertama didokumentasikan di
benua Eropa, yang didesain oleh William Petty
(wikipedia.org/wiki/Catamaran).

Gambar 1.1. A Polynesian catamaran (wikipedia.org/wiki/Catamaran)

Kapal katamaran memiliki sarat air yang rendah sehingga kapal ini
dapat dioperasikan pada perairan dangkal dan kemudian bentuk lambung
yang langsing (slender) dapat memperkecil timbulnya sibakan air (wave
wash) dibanding kapal lambung tunggal (monohull). Konsep kapal
katamaran paling banyak dipilih dan mendapatkan perhatian karena
sejumlah kelebihannya antara lain memiliki luasan geladak yang lebih
besar dan stabilitas melintang yang lebih baik dibandingkan kapal
berbadan tunggal (Insel dan Mollland, 1992). Sejumlah hasil penelitian
memperlihatkan bahwa konfigurasi kapal katamaran dapat memperbaiki
karakteristik hambatan kapal seperti yang dilakukan oleh Matsui dkk
(1993), Molland dan Utama (1997), Couser dkk (1997), Couser dkk
(1998), Molland dkk (2000), dsn Utama (2006). Keberadaan 2 lambung
(demihull) yang saling berdekatan pada jarak tertentu telah menimbulkan
apa yang disebut hambatan interaksi atau interferensi dimana efeknya
dapat menguntungkan atau malahan merugikan kapal itu sendiri.
Fenomena menarik lainnya adalah perilaku gerakan kapal akibat pengaruh
7
gelombang yang lebih popular disebut seakeeping. Sejumlah hasil
penelitian memperlihatkan bahwa konfigurasi kapal katamaran dapat
memperbaiki kualitas seakeeping kapal (Wellicome dkk, 1998).
Aplikasi kapal katamaran (lambung ganda) dalam moda transportasi
laut ataupun sungai telah berkembang secara pesat dewasa ini dan
tampaknya akan terus berkembang di masa akan datang (Moraes dkk,
2007). Kapal katamaran sangat banyak digunakan sebagai hydrographic
ships, submarine rescue ships, mine countermeasure ships, oceanographic
ships, environmental protection ships for oil spill recovery dan khususnya
sebagai high speed ferry (Dubrovsky dan Matveev, 2005). Gambar 1.2
memperlihatkan data base (prosentase) beberapa tipe advance marine
vehicle (AMV) dalam pengembangan kapal lambung ganda yang
dioperasikan hingga tahun 2005 (Papanikolaou dkk, 2005).

Gambar 1.2. Advance Marine Vehicle (Papanikolaou dkk, 2005)

Khususnya, high speed ferry banyak menggunakan kapal tipe


katamaran dari seluruh armada angkutan penumpang dan kendaraan yang
ada di dunia, seperti di Eropa, Amerika, Australia dan Asia Timur, lihat
Gambar 1.3. Suatu hal yang membuat kapal katamaran menjadi populer
dan sukses digunakan dalam moda transportasi adalah tersedianya area
geladak (deck area) yang lebih luas, tingkat stabilitas yang lebih nyaman
8
dan aman (Seif, 2004, dan Zouridakis, 2005). Disamping itu kapal
katamaran (lambung ganda) kecenderungan memiliki sarat air yang rendah
sehingga kapal ini dapat dioperasikan pada perairan dangkal dan kemudian
bentuk lambung yang lansing (slender) dapat memperkecil timbulnya
sibakan air (wave wash) dibanding kapal lambung tunggal (monohull)

Gambar 1.3. kapal penumpang katamaran (high speed catamaran)

Salah satu aspek yang perlu diperhatikan pada kapal katamaran adalah
keakurasian estimasi hambatan pada tahapan awal proses disain, dimana
besar hambatan merupakan faktor yang sangat penting diketahui dalam
menghitung daya mesin suatu kapal.
Pada kapal monohull, masalah hambatan telah banyak dipresentasikan
dan dipublikasikan oleh para peneliti. Namun untuk kapal katamaran,
masalah hambatan masih banyak dibahas dan didiskusikan dalam forum
ilmiah karena komponen hambatannya lebih kompleks dibanding kapal
monohull, yang mana disebabkan rumitnya efek interaksi dan interferensi
komponen hambatan viskos dan gelombang pada lambung kapal
katamaran. Fenomena interaksi dan interferensi komponen hambatan
tersebut masih merupakan bahasan ilmiah yang terus berkembang,
khususnya dalam rangka memperkaya dan memperkuat database untuk
tujuan saintifik.
Kajian perihal perubahan jarak antara lambung secara membujur
(staggered hull) belum banyak dikaji oleh para pakar. Soding (1997) dan
Caprio (2007) telah melakukan suatu kajian hambatan pada lambung
katamaran simetris yang tidak sejajar secara membujur (staggered
symmetrical catamaran) melalui eksperimen di Towing Tank. Namun
9
kajian untuk lambung tidak simetris yang tidak sejajar (staggered
asymmetrical catamaran) belum ada publikasi dari pakar yang
mengkajinya hingga saat ini, sehingga fenomena komponen hambatan
pada lambung tidak simetris (asymmetrical hull) dengan konfigurasi
staggered hull belum dipahami secara baik dan komprehensif. Konfigurasi
lambung tersebut sangat menarik untuk diteliti secara mendalam dalam
rangka mengaplikasikan konfigurasi lambung tersebut ke dalam bentuk
desain multihull (trimaran, pentamaran) pada moda transportasi di masa
akan datang dan disamping itu juga dapat diaplikasikan untuk tujuan
saintifik yang lebih luas.
Konfigurasi desain lambung kapal katamaran telah lama
diperkenalkan di dalam dunia industri perkapalan, tetapi baru beberapa
tahun belakangan ini banyak dijumpai kapal katamaran yang diaplikasikan
untuk transportasi angkutan penumpang dan barang, khususnya high speed
ferry. Salah satu tantangan yang dihadapi oleh naval architects adalah
keakurasian dalam memprediksi karakteristik hidrodinamikanya,
khususnya pada aspek hambatan dan propulsi. Walaupun telah banyak
dijumpai hasil riset kapal katamaran pada aspek tersebut, tetapi data dan
informasi yang diperoleh dari eksperimen masih kurang memadai.
Disamping itu, masih ditemukan ketidak akurasian (degree of uncertainty)
khususnya dalam memprediksi interferensi komponen hambatan pada air
tenang (calm-water resistance), Kwag (2001), Sahoo (2007).
Di samping kedua bentuk lambung kapal monohull dan katamaran,
bentuk lambung kapal berbadan tiga (trimaran) juga mengalami
perkembangan yang cukup pesat di seluruh dunia pada saat ini. Istilah
trimaran dalam abad ke-20 diyakini berhubungan dengan kata ‘tri’ dan
‘(cata) maran’ dimana diketahui pertama kali dikembangkan oleh Victor
Thechet, perintis dan perancang kapal-kapal berbadan banyak (multihulls)
kelahiran Ukrainia. Namun demikian, kapal trimaran (tradisional)
dipercaya sebagai trimaran pertama dikembangkan oleh orang
Austronesia dan masih banyak digunakan saat ini oleh nelayan tradisional
di Asia Tenggara, Madagaskar, Mikronesia, dan Polinesia di Pasifik
Selatan kira-kira 4.000 tahun yang lalu, lihat Gambar 1.4. Popularitas
kapal katamaran dan trimaran, terutama sebagai kapal layar, berkembang
pada tahun 1960an dan 1970an.
10
Gambar 1.4 Trimaran outrigger canoes digunakan didekat Waigeo,
Indonesia, 1899 (Wikipedia:Trimaran)

Contoh aplikasi kapal tradisional trimaran diperlihatkan pada Gambar


1.5. Selanjutnya, dalam konteks kapal modern aplikasi trimaran diawali
pada kapal perang (lihat contoh Gambar 1.6) dengan pertimbangan
kualitas stabilitas dan seakeeping yang lebih baik, dan belakangan
berkembang untuk aplikasi kapal penumpang (lihat contoh Gambar 1.7).

Gambar 1.5. Perahu tradisional trimaran

11
Gambar 1.6. Kapal perang trimaran (fregat)

Gambar 1.7. Kapal penumpang trimaran


Pada saat ini ketika pertumbuhan ekonomi meningkat dan didukung
oleh program tol laut dan perwujudan Indonesia sebagai poros maritim
dunia, maka kebutuhan akan kapal sangatlah besar bagi negara-negara
kepulauan seperti halnya Indonesia yang merupakan salah satu negara
kepulauan terbesar yang dikelilingi oleh beribu-ribu pulau yang terbentang
di wilayah perairan Nusantara.
Seperti halnya kapal katamarn, maka kapal trimaran juga memiliki
karakteristik hambatan dan gerak kapal (seakeeping) yang sangat baik,
sehingga selain efisien dalam konteks konsumsi bahan bakar, kapal
trimaran juga memiliki tingkat kenyamanan yang tinggi.
Moda kapal trimaran sangat layak dioperasikan di perairan Indonesia,
meliputi perairan tertutup (danau dan sungai), terbatas (selat, antar pulau
12
yang berdekatan), dan terbuka (misalnya Laut Jawa dan Laut Arafura).
Contoh aplikasi pada perairan terbatas dan terbuka adalah wilayah
Kepulauan Maluku. Perairan Maluku memiliki dua zona laut yang berbeda
karateristik yaitu laut terbatas yang masih dikatagorikan laut tenang karena
tinggi gelombang masih di bawah 1 meter dan perairan laut terbuka dengan
tinggi gelombang dapat mencapai ketinggian 3-5 meter (BMKG Maluku,
2014). disertai dengan kondisi cuaca yang sangat ekstrim dan cepat
berubah sehingga menyebabkan ketidaknyamanan dan selanjutnya dapat
mengan-cam keselamatan jiwa di Laut.
Dengan jarak antara pulau yang bervariasi, dimana ada yang dekat
dan ada pula yang sangat jauh jaraknya, sehingga untuk menjangkau satu
pulau ke pulau lain dapat melewati perairan terbatas dan bisa juga
melewati laut terbuka. Gambar 1.7 menggambarkan kondisi alur perairan
Maluku serta letak geografis dan posisi dari pulau-pulau yang terbentang
pada kepulauan Maluku. Selanjutnya, Gambar 1.8a menggambarkan
contoh pelayaran jarak dekat dan Gambar 1.8b memperlihatkan contoh
pelayaran jarak jauh. Kedua jarak pelayaran yang berbeda tersebut
menggambarkan kondisi gelombang yang berbeda, dimana pada jarak
dekat tinggi gelombang rata-rata berkisar 0-1 m atau berada pada sea state
0-3 dan pada pelayaran jauh tinggi gelombang di atas 1 m dan bahwa dapat
mencapai 3-5 m atau berada pada sea state 4 ke atas (Bhattacaryya, 1978
dan Rawson dan Tupper, 2001).

13
Gambar 1.7. Peta Kepulauan Maluku

14
(a) (b)
Gambar 1.8 Pelayaran (a) Jarak dekat, (b) Jarak jauh

Besarnya permintaan akan kapal untuk memenuhi kebutuhan


transportasi laut di wilayah kepulauan seperti Kepulauan Maluku (Provisi
Maluku dan Maluku Utara), menuntut tersedianya kapal dari berbagai tipe
dan bentuk dalam jumlah yang memadai. Kapal-kapal tersebut dapat
berupa kapal tipe displasemen dan semi-displasemen (planning). Menurut
catatan dari Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (2014), sebagian besar
kapal yang beroperasi di Perairan Maluku mempunyai panjang (LBP) di
bawah 60 meter. Kapal-kapal tersebut, sebagian besar, tidak dapat
beroperasi secara maksimal pada kondisi cuaca yang tidak
menguntungkan (severe weather) terutama pada bulan April sampai Juni
dan bulan Oktober sampai Desember dimana tinggi gelombang mencapai
3-5 meter (BMKG Maluku 2014).
Buku ini dimaksudkan untuk menjelaskan karakteristik moda kapal
katamaran dan trimaran yang layak dioperasikan pada perairan terbatas.
Aspek yang diteliti adalah persoalan hambatan (resistance) dan dinamika
kapal (seakeeping) yang dilaksanakan melalui kajian empiris, pengujian
model di Towing Tank, dan pengembangan model numerik berbasis
Computational Fluid Dynamics (CFD).

15
Komponen hambatan kapal katamaran memiliki fenomena yang lebih
kompleks dibanding dengan monohull, sebab adanya pengaruh
interferensi dan interaksi diantara dua lambung kapal. Pengaruh
interferensi dan interaksi tersebut perlu dikaji secara saksama baik melalui
beberapa seri eksperimen model fisik maupun melalui komputasi dan
simulasi CFD. Diharapkan hasil ini dapat memberikan kontribusi dalam
memprediksi secara rasional dan akurat komponen hambatan dan total
hambatan kapal katamaran, yang selanjutnya dapat diaplikasikan untuk
menghitung kebutuhan tenaga mesin (propulsi) kapal katamaran.
Komponen hambatan kapal katamaran memiliki fenomena yang lebih
kompleks dibanding dengan monohull, sebab adanya pengaruh
interferensi dan interaksi diantara dua lambung kapal. Pengaruh
interferensi dan interaksi tersebut perlu dikaji secara saksama baik melalui
beberapa seri eksperimen model fisik maupun melalui komputasi dan
simulasi CFD. Diharapkan hasil ini dapat memberikan kontribusi dalam
memprediksi secara rasional dan akurat komponen hambatan dan total
hambatan kapal katamaran, yang selanjutnya dapat diaplikasikan untuk
menghitung kebutuhan tenaga mesin (propulsi) kapal katamaran.
Karakteristik kapal umumnya ditinjau dari penentuan hambatan kapal
yang berguna untuk menentukan besarnya tenaga penggerak kapal. Moda
kapal katamaran dan trimaran memiliki fenomena dan karakteristik
hambatan yang lebih kompleks dibandingkan dengan moda monohull,
dalam hal ini adanya fenomena interferensi di antara lambung kapal
katamaran dan trimaran.
Fenomena interferensi di antara lambung katamaran telah
diformulasikan dengan sangat baik oleh Insel dan Molland (1992) dan
berbagai penelitian memperkuat fenomena tersebut, antara lain dilaporkan
oleh Sahoo dkk (2007), Utama dkk (2009), dan Jamaluddin (2012).
Fenomena interferensi tersebut meliputi 2 hal yaitu interferensi hambatan
viskos dan interferensi hambatan gelombang. Sementara itu, fenomena
interferensi pada kapal trimaran belum diformulasikan dengan sempurna
disebabkan oleh banyaknya konfigurasi dari moda kapal trimaran tersebut.
Sejumlah penelitian telah dilakukan dan antara lain dilaporkan oleh
Doctors dkk (1995), Murdijanto dkk (2010, Utama dkk (2011), Sahoo
(2013), Luhulima dkk (2012), dan Luhulima dkk (2016). Aspek lain yang
16
tidak kalah pentingnya adalah tinjauan karakteristik seakeeping kapal.
Sejumlah penelitian menjelaskan tentang kualitas seakeeping yang sangat
baik untuk trimaran (Doctors dkk, 1995, Murdijanto dkk, 2010, dan
Fernandez, 2012).

17
18
Bagian 2
Hambatan Kapal

2.1 Umum
Desain awal dari sebuah kapal umumnya berlangsung melalui tiga
tahap: concept; preliminary; and contract design. Proses desain awal
sering digambarkan oleh desain spiral seperti gambar 2.1 (Evans, 1957)
yang menunjukkan bahwa tujuan dari desain adalah untuk memperoleh
solusi terbaik dengan menyesuaikan dan menyeimbangkan parameter yang
saling terkait sebagai fase.
Spiral Design adalah metodologi untuk mengembangkan desain
kapal. Kapal adalah sistem yang kompleks dengan variabel yang sangat
saling terkait, dan tidak mungkin untuk menghitung faktor-faktor tersebut
secara bersamaan. Oleh sebab itu, spiral design menggambarkan proses
perbaikan secara berulang untuk memperoleh desain yang efisien. Setiap
iterasi perputaran biasanya disebut fase. Fase atau siklus dalam setiap
putaran digunakan untuk penyempurnaan teknis yang telah dicapai.

Gambar 2.1. Desain spiral proses perancangan kapal (Evans, 1957)

19
Pedatzur (2004) melakukan modifikasi terhadap spiral desain kapal
(lihat Gambar 2.2), maka terlihat dengan jelas bahwa aspek penting yang
perlu diperhatikan adalah persoalan hambatan (resistance) dan dinamika
gerak kapal (seakeeping). Persoalan hambatan kapal berkaitan dengan
gaya yang dialami oleh kapal untuk mencapai kecepatan tertentu, dimana
kemudian berkorelasi dengan besarnya tenaga penggerak kapal untuk
mencapai kecepatan tertentu tersebut, misalnya kecepatan dinas 15 knots
(Harvald, 1983). Sementara itu, seakeeping adalah persoalan dinamika
gerak kapal sebagai akibat dari perlakuan gelombang terhadap sebuah
kapal (Bhattacaryya, 1978) dimana kapal akan mengalami gerakan heave,
pitch, dan roll.

Gambar 2.2. Desain spiral proses perancangan kapal (Pedatzur, 2004)

Persoalan seakeeping memberikan dampak psikologis terhadap


penumpang dan awak kapal (ABK). Besar dan kecepatan gerak kapal,
terutama gerakan heave, pitch dan roll, menghasilkan dampak yang
bertentangan terhadap penumpang dan ABK (Rawson dan Tupper, 2001).
Kasus tersebut antara lain meliputi masalah mabuk laut (sea sickness) yang
dapat mengurangi kemampuan kerja ABK untuk melaksanakan tugas-
tugasnya di atas kapal dan menyebabkan ketegangan (stress) bagi
penumpang. Karena itu, analisis seakeeping menjadi sangat penting bagi
sebuah kapal penumpang.

20
Diketahui bahwa kapal displasmen monohull yang konvensional tidak
ekonomis pada bilangan Froude sekitar 0,4, dimana umumnya terjadi
hump hambatan akibat besarnya gelombang gravitasi pada permukaan air
(Zouridakis,2005). Untuk memperkecil hambatan kapal monohull adalah
suatu hal yang sulit dicapai karena dibutuhkan lebar kapal yang lebih kecil
(atau rasio L/B>>) dengan displasmen tetap, dimana hal ini dapat
menurunkan karakteristik stabilitas kapal monohull. Sehingga kapal
trimaran menjadi solusi atas problem tersebut, dimana lambung kapal
trimaran yang terpisah memiliki bentuk lambung yang tipis/ pipih dapat
memperkecil gangguan permukaan air (disturbance on the free surface).
Hal ini dengan sendirinya dapat memperkecil hambatan kapal.
Disamping itu, dengan konfigurasi lambung yang terpisah akan
memberikan momen inersia yang besar sehingga menghasilkan
kemampuan stabilitas yang cukup baik dengan sudut akselerasi gerakan
rolling yang kecil.
Secara umum, konsep konstruksi kapal trimaran terdiri atas tiga bagian
1. Lambung (hull) sebagai daya apung (bouyancy) dan akomodasi sistim
propulsinya.
2. Struktur penghubung (cross structure) sebagai penguat bidang
transversal (transversal strength)
3. Bangunan atas (super structure) yang terletak diatas struktur
penghubung sebagai geladak.
Desain lambung trimaran merupakan hal yang sangat esensi dari bagian
lainnya untuk memprediksi besarnya hambatan dan kebutuhan tenaga
mesin pada kapal trimaran. Saat ini, belum banyak dijumpai desain kapal
trimaran dengan konfigurasi dan dimensi yang bervariasi, dimana
karakteristik desainnya sangat tergantung pada misi dan fungsi
operasionalnya.

2.2 Komponen Hambatan


Kapal yang bergerak maju di atas permukaan air akan mengalami
suatu perlawanan yang disebut hambatan. Hambatan tersebut merupakan
gaya fluida yang melawan gerakan kapal, dimana sama dengan komponen
gaya fluida yang bekerja sejajar dengan sumbu gerakan kapal.

21
Seperti diketahui, William Froude adalah orang pertama di dunia
yang mengenalkan tata cara meprediksi hambatan kapal yang besar
melalui kegiatan uji model kapal dalam skala yang lebih kecil dari kapal
sesungguhnya. Atas jasanya, beliau kemudian dijuluki “the father of ship
resistance”. Froude menjelaskan bahwa hambatan total kapal terdiri dari
hambatan gesek dan hambatan sisa yang didominasi oleh hambatan
gelombang. Froude menekankan bahwa hambatan gesek sebuah bentuk
kapal adalah sama dengan hambatan gesek dari sebuah pelat datar dengan
luas permukaan basah yang sama (1872). Secara matematis, formulasi
Froude dinyatakan sebagai berikut:

RTM = RFM + RRM (2.1)

Dimana :
RTM = Total hambatan dari eksperimen model
RFM = Hambatan Gesek (friction)
RRM = Hambatan Sisa (residuary)

Lebih jauh, Froude meng-asumsikan hambatan sisa (residuary) model


dikorelasikan dengan displacement kapal, (RRM /Δ M ) = (RRS /Δ S ),
terhadap kecepatan dimana dapat diperoleh dari (VM /gLM )= (VS /gLS )
untuk dimana wave pattern model dan kapal adalah sama.
Dengan metode Froude, hasil ini dapat diekstrapolasi ke prototipe
(fullscale) dengan meng-aplikasikan koefisien hambatan.

CT = CF+CR (2.2)

Dimana CT adalah koefisien hambatan total, CF adalah koefisien


hambatan gesek, dan CR adalah koefisien hambatan sisa.

Kelanjutan metode Froude, seri eksperimen dengan papan (plank)


dilakukan oleh beberapa peneliti yang menghasilkan pengembangan
formulasi hambatan gesek (friction) untuk objek permukaan rata (flat
surface), dimana sering digunakan:

22
(a) ATTC-Schoenherr (1947)
Hasil evaluasi Schoenherr terhadap hasil kajian Froude pada pelat
datar dan teori Prandtl-von Karman, meng-ekspresikan koefisien gesek
fungsi dari bilangan Reynolds. Persamaan ini kemudian dikenal sebagai
Schoenherr line, yang kemudian diadopsi oleh American Towing Tank
Conference (ATTC) pada 1947.

(2.3)

(b) Hughes (1954)


Hughes (1954) memberikan pondasi empiris yang lebih baik untuk
hambatan viskos dan memperkenalkan persamaan hambatan gesek pada
aliran turbulen pada permukaan pelat (2-D) yang licin.

(2.4)

Kemudian direvisi oleh Hughes menjadi Persamaan 2.5:

(2.5)

Pada tahun 1950-an, banyak pakar melakukan kajian pengembangan


metode Froude, sebagaimana yang dirangkum oleh Phillips-Birt (Molland,
2008) pada Tabel 2.1.

Tabel. 2.1. Nilai koefisien gesek (CF) (Molland, 2008)

23
Kemudian, ITTC mempelajari formulasi tersebut dan pada tahun 1957
memperkenalkan modifikasi empiris untuk skin friction “ITTC 1957
model-ship correlation line” untuk tujuan praktis.

(c) ITTC (1957)

(2.6)

Perlu ditekankan bahwa semua metode ini adalah berdasarkan asumsi


Froude bahwa total hambatan merupakan penjumlahan hambatan gesek
yang dihitung dari formula dan hambatan sisa yang diperoleh melalui
eksperimen. Dari asumsi ini, efek skala untuk surface tension, spray, wave
breaking, dan efek bentuk (form effect) pada hambatan gesek adalah
diabaikan. Interaksi antara gaya viskos dan gravitasi tidak diperhitungkan.

(2.7)

Metode analisa 2-dimensi tersebut dianggap tidak cukup menjelaskan


kontribusi bentuk/kontur lambung kapal (3-dimensi) terhadap hambatan
kekentalan, sehingga kemudian Hughes (1954) dan Granville (1956)

24
memperkenalkan metode untuk digunakan dalam korelasi model ke kapal
dimana total hambatan adalah penjumlahan dari 3 (tiga) komponen:
1. Hambatan gesek (skin friction) adalah gaya tangential stress yang
timbul antara molekul air dan kulit badan kapal, yang kemudian
dikenal sebagai hambatan bidang permukaan dengan area dan
panjang yang sama dengan model.
2. Hambatan bentuk (form) adalah komponen hambatan yang
dinyatakan dalam bilangan “1+k‟, dimana merupakan hambatan di
luar batas item di atas dalam kasus lambung yang tercelup cukup
dalam. Untuk lambung yang streamline pada aliran turbulen, dapat
diekspresikan sebanding dengan hambatan gesek.
3. Hambatan free surface sebagai hambatan gelombang (CW) adalah
hambatan yang timbul akibat pergerakan kapal relatif terhadap air
sehingga timbul perbedaan tekanan pada permukaan (bidang) basah
kapal yang selanjutnya menimbulkan wave pattern. Hambatan
gelombang merupakan pengurangan hambatan total (CT) dari
penjumlahan hambatan gesek (CF) dan hambatan bentuk (CF0) dari
model.

Secara matematis, pernyataan tersebut dirumuskan (dalam bentuk


koefisien) sebagai:

CT = (1+k)CF + CW (2.8)

Dimana CW adalah koefisien hambatan gelombang, (1+k) adalah


faktor bentuk dan (1+k) CF adalah koefisien hambatan kekentalan dimana
selanjutnya dinyatakan sebagai (1+CV).

Harga CF dihitung dengan garis korelasi ITTC-1957 yang ditetapkan


di Madrid, Spanyol:

(2.9

25
Standar internasional dari ITTC (1978) dengan judul “1978
Performance Prediction Method for Simple Single Screw Ships”
selanjutnya mengklasifikasikan hambatan kapal di air tenang (calm water),
secara praktis, ke dalam 2 (dua) komponen hambatan utama yaitu
hambatan kekentalan (viscous resistance) yang merupakan fungsi
bilangan Reynolds (Re) dan hambatan gelombang (wave-making
resistance) yang merupakan fungsi bilangan Froude (Fr).
Berdasarkan pada proses fisiknya, Couser dkk (1997) mengemukakan
bahwa hambatan pada kapal yang bergerak di permukaan air terdiri dari
dua komponen utama yaitu tegangan normal (normal stress) dan tegangan
geser (tangential stress) fluida yang bekerja pada lambung kapal dibawah
permukaan air, lihat Gambar 2.7.

Gambar 2.7 Diagram komponen hambatan kapal (Couser dkk, 1997).

Bentuk bagian belakang buritan kapal yang berbentuk kotak


(transom) sering menambah hambatan tersendiri yang menambah
komponen hambatan tekanan (pressure drag) dan sebagai hambatan
induksi (induced drag) pada lambung trimaran (Couser dkk, 1997).

26
Hambatan gelombang terjadi karena adanya gelombang gravitasi
permukaan bebas dan tegangan viskos ditimbulkan oleh pengurangan
tekanan di lambung bagian belakang (stern) kapal akibat adanya lapisan
batas (boundary layer). Sedangkan wave breaking dan spray dapat
memberikan kontribusi signifikan terhadap total hambatan pada kecepatan
tinggi. Selanjutnya, Molland (2008) mengelompokan komponen hambatan
ini ke dalam dua kelompok yaitu hambatan viskos (viscous resistance)
dan hambatan gelombang (wave resistance) dan diperlihatkan pada
Gambar 2.4.

Gambar.2.4. Diagram komponen hambatan kapal (Molland, 2008).

Standar internasional dari ITTC meng-klasifikasikan hambatan kapal


di air tenang (calm water), secara praktis dibagi dalam 2 (dua) komponen
hambatan utama yaitu hambatan viskos (viscous resistance) yang terkait
dengan bilangan Reynolds dan hambatan gelombang (wave-making
resistance) yang tergantung pada bilangan Froude, dimana korelasi kedua
komponen hambatan tersebut diperlihatkan pada Persamaan 2.7.
Pada tahun 1978, Komite Hambatan ITTC yang ke-15 mengajukan
metode baru yang disebut “1978 ITTC Performance Prediction Method for
27
Single Screw Ship”. Dalam metode ini, total hambatan kapal dibagi dalam
4 (empat) komponen:

Gambar 2.10 . Metode Hughess untuk uji model hambatan


(Molland, 2008)

Persamaan (2.8) ditambahkan dengan adanya faktor kekasaran


permukaan dan hambatan angin, selanjutnya menghasilkan Persamaan
(2.10):

CT = (1+k)CF + CW + ΔCF + CAA (2.10)

Dimana:
( 1+k) : Form factor
CF : Hambatan gesek (friction) dari ITTC-1957 line
CR : Hambatan sisa (residuary) dari eksperimen model
ΔCF : Kekasaran permukaan (0 untuk model yang licin)
CAA : Hambatan udara
(0 untuk model yang tanpa bangunan atas)

CF adalah roughness allowance dan CAA adalah hambatan udara


(diasumsikan nol bila tidak ada bangunan atas). ITTC merekomendasikan
untuk mendapatkan nilai (1+k) melalui pengukuran pada kecepatan rendah
dimana angka Froude (Fr) < 0.22 dan CW mendekati nol (tidak ada
separasi aliran) sehingga (1+k)=CT/CF. Dalam hal ini metode Prohaska

28
(ITTC 2002, Bertram 2000) dapat digunakan seperti terlihat pada
Persamaan (10)

CT = (1 + k) CF + a Frn (2.11)

diasumsikan CW = aFrn untuk kecepatan rendah (umumnya Fr< 0.2), dan


form factor (1+k) dapat dihitung melalui straight-line plot antara CT/CF
dan Fr4/CF yang bersinggungan pada Fr=0, serta faktor n = 4 – 6 dan
umumnya digunakan n=4 (Molland dkk, 2011).

Gambar 2.11. Metode Prohaska untuk nilai form factor (1+k)

Pada metode form factor, efek bentuk (form) pada hambatan gesek
diperhitungkan, sehingga peng-skala-an (scaling) antara model dan kapal
(prototype) dapat dilakukan lebih akurat. Tetapi (1+k) diasumsikan tidak
tergantung pada kecepatan, bilangan Reynolds dan Froude. Untuk kasus
pada model, dimana transom stern vortices dan bilge vortices dapat terjadi,
maka pengaruh bilangan Reynolds pada faktor bentuk (form factor) dapat
dipertimbangkan.

2.3 Metode Perhitungan Hambatan


Metodologi perhitungan yang dapat digunakan untuk memperoleh
hambatan pada lambung katamaran dan trimaran tersebut dibagi dalam 2
tahapan utama yaitu perhitungan/ simulasi numerik dan pengujian model
skala fisik. Metode numerik yang digunakan dalam perhitungan hambatan
29
adalah dengan menggunakan CFD (Computational Fluid Dynamic)
ANSYSCFX. Sedangkan Uji model fisik (physical model test) dilakukan
dengan menggunakan Towing Tank Tests yang dimiliki oleh ITS dan
merupakan anggota ITTC sejak tahun 1993.

2.3.1 Computational Fluids Dynamics (CFD)


Computational Fluid Dynamics merupakan penyelesaian numerik
dinamika fluida Bertram (2000). Pada kasus kapal, CFD sangat membantu
dalam mengekspresikan fenomena aliran fluida di sekitar lambung kapal,
termasuk masalah interferensi dan interaksi komponen hambatan pada
lambung katamaran dan multihull (Subramanian dkk, 2006; Siqueira dkk,
2007; Deng dkk, 2010).
Computational Fluid Dynamics merupakan suatu program yang
dapat digunakan untuk menganalisa aliran fluida beserta karakteristik yang
ditimbulkan akibat bergeraknya suatu benda pada fluida tersebut.
Persamaan dasar yang digunakan pada CFD merupakan persamaan yang
didasarkan pada dinamika fluida yaitu persamaan kontinuitas, momentum
dan energi. Persamaan-persamaan tersebut merupakan pernyataan
matematis dari tiga prinsip dasar fisika sebagai berikut:
1) kekekalan massa,
2) hukum Newton II: gaya = massa × percepatan, dan
3) kekekalan energi.
Perilaku aliran, yang berkaitan terutama dengan perubahan
kecepatan dan kedalaman aliran, merupakan variabel yang diketahui.
Dalam hal ini, persamaan-persamaan yang didasarkan pada kedua prinsip
pertama yang dipakai adalah persamaan kontinuitas dan persamaan
momentum.
Dalam desain kerjanya, problem perlu dideskripsikan dengan
menggambarkan model yang akan dianalisa, sifat-sifat fluida di sekitar
model dan penentuan kondisi batasnya. Selanjutnya dalam solver problem
akan dihitung dengan pendekatan Navier Strokes yaitu persamaan
kekekalan massa, momentum, dan energi pada setiap titik pada grid 2D
atau 3D. Dari hasil perhitungan tersebut akan diperoleh hasil output dari
simulasi program CFD.

30
Komponen hambatan kapal yaitu hambatan total dan viskous yang
memiliki akurasi yang cukup bagus terhadap data eksperimen
(Javanmardi, 2008). Reduksi hambatan pada kapal multihull (trimaran)
sangat penting untuk dilakukan investigasi, salah satu metode yang
digunakan adalah dengan menggunakan pendekatan CFD (Yanuar, dkk,
2015). Persamaan Reynolds-averaged Navier–Stokes equations (atau
persamaan RANS) adalah persamaan gerak untuk aliran fluida. Faktor
persamaan adalah Reynolds dekomposisi, dimana kuantitas sesaat
didekomposisi menjadi jumlah waktu rata-rata dan fluktuasinya,
diusulkan pertama kali oleh Osborne Reynolds. Persamaan RANS
terutama digunakan untuk menggambarkan arus turbulen. Persamaan ini
dapat digunakan dengan perkiraan berdasarkan pengetahuan tentang
sifat-sifat aliran turbulensi untuk memberikan perkiraan solusi waktu rata-
rata untuk persamaan Navier-Stokes. Persamaan ini dapat ditulis dalam
notasi sebagai berikut:

(2.12)

Persamaan Kontinuitas dan Persamaan Momentum (Navier-Stokes


Equations, Reynolds Equations) dapat diwakilkan untuk memprediksi
perhitungan fluida. Air merupakan fluida tak mampat, artinya rapat
massanya (density, ρ) konstan. Kerapatan massa air tidak berubah terhadap
perubahan tekanan, namun masih dapat berubah terhadap perubahan
temperatur. Persamaan kontinuitas dan momentum untuk aliran air jika
ditulis dalam koordinat Cartesius adalah:
Dalam persamaan di atas t adalah waktu, x, y, dan z adalah sumbu
koordinat arah longitudinal, transversal, dan vertikal, u, v, dan w adalah
kecepatan sesaat aliran arah x, y, dan z, p adalah tekanan, τij (i,j = x,y,z)
adalah tegangan geser (merupakan fungsi kecepatan dan kekentalan air)
arah j yang bekerja pada bidang tegak lurus sumbu i, dan gx, gy, dan gz
adalah percepatan gravitasi arah x, y, dan z.

(2.13)
31
(2.14)

(2.15)

(2.16)

Dalam persamaan di atas t adalah waktu, x, y, dan z adalah sumbu


koordinat arah longitudinal, transversal, dan vertikal, u, v, dan w adalah
kecepatan sesaat aliran arah x, y, dan z, p adalah tekanan, τij (i,j = x,y,z)
adalah tegangan geser (merupakan fungsi kecepatan dan kekentalan air)
arah j yang bekerja pada bidang tegak lurus sumbu i, dan gx, gy, dan gz
adalah percepatan gravitasi arah x, y, dan z.

Gambar 2.12 model gaya elemen pada aplikasi CFD


Persamaan-persamaan di atas, persamaan kontinuitas (Pers. 2.16) dan
persamaan momentum (Pers. 2.14, 2.15, 2.16), dikenal sebagai Persamaan
Navier- Stokes. Sebenarnya, secara historis yang disebut dengan
persamaan Navier-Stokes adalah persamaan momentum saja. Namun,
dalam literatur CFD modern, terminologi persamaan NavierStokes
diperluas cakupannya, tidak hanya mencakup persamaan momentum,
tetapi juga persamaan kontinuitas dan persamaan energi. Bentuk
persamaan Navier-Stokes seperti disajikan di atas merupakan bentuk
persamaan diferensial konservatif. Perbedaan bentuk persamaan berasal
32
dari cara persamaan-persamaan tersebut diturunkan dari penerapan prinsip
fundamental fisika: dengan memakai konsep elemen kontrol (control
element).
Bentuk persamaan Navier-Stokes seperti disajikan di atas
merupakan bentuk persamaan diferensial konservatif. Perbedaan bentuk
persamaan berasal dari cara persamaan-persamaan tersebut diturunkan
dari penerapan prinsip fundamental fisika: dengan memakai konsep
elemen kontrol (control element) yang akan menghasilkan bentuk
persamaan integral, atau konsep elemen kecil tak berhingga (infinitesimal
fluid element) yang akan menghasilkan bentuk persamaan diferensial.
Bentuk persamaan konservatif didapat apabila volume kontrol atau elemen
infinit tetap (tidak berpindah tempat), sedang bentuk persamaan non-
konservatif diperoleh apabila elemen kontrol atau elemen infinit tersebut
bergerak mengikuti aliran searah garis alir (streamline). Ilustrasi yang
diberikan pada Gambar 1 menunjukkan pendekatan bentuk persamaan
tersebut yang dapat diubah dari suatu bentuk ke bentuk lainnya. Uraian
dan penjelasan rinci mengenai keempat bentuk persamaan tersebut
diberikan dengan sangat rinci dan jelas dalam buku “Computational Fluid
Dynamic, The Basics with Applications” (Anderson, 1995).

Gambar 2.13. Model aliran: (a) volume kontrol (control volume),


(b) elemen kecil tak berhingga (infinite fluid element).
33
Model Turbulen SST (Menter Shear Stres Transport) Model
turbulensi adalah model yang banyak digunakan melalui dua persamaan
eddy-viscosity turbulence dalam peritungan Computational Fluid
Dynamics. Model ini menggabungkan Model turbulensi dan k-epsilon
Model turbulensi k-omega sehingga k-omega digunakan di wilayah bagian
dalam lapisan batas dan beralih ke k-epsilon dalam aliran fluida bebas.

(2.17)

(2.18)

Persamaan SST merupakan model persamaan turbulensi


diperkenalkan Menter (1994) yang berhubungan dengan sensitivitas arus
kuat kuat dari model turbulensi k-omega (k-ω) dan meningkatkan prediksi
gradien pada tekanan rendah. Perumusan model SST didasarkan pada
percobaan fisik untuk memprediksi solusi untuk masalah aliran fluida.
Selama dua dekade terakhir model telah diubah untuk lebih akurat yang
mencerminkan kondisi aliran tertentu. Reynold's Averaged Eddy-viscosity
merupakan dua variabel sistem yang dihitung untuk memperoleh harga k
untuk turbulensi energi kinetik dan omega pada tingkat disipasi dari
turbulensi.
Utama (1999) menjelaskan bahwa komponen hambatan kapal
trimaran dapat dihitung dengan dengan teliti dengan teknik yang relatif
baru pada saat ini yang dikenal dengan CFD (Computational Fluid
Dynamics). Hasil yang diperoleh cukup baik seperti halnya pengukuran
hambatan gesek dan faktor bentuk badan kapal memperlihatkan tingakat
kesalahan yang lebih kecil dari 5% dibandingkan dengan uji fisik model
dikolam uji. Dilain pihak Date dan Turnock (1999) dengan percobaan
perhitungan hambatan gesek pelat datar yang dibandingkan dengan hasil
pengukuran klasik William Froude pada abad ke-19 menunjukkan tingkat
kesalahan sampai 3%. CFD mampu dikembang dan digunakan untuk
menghitung
34
Pada proses pemodelan kapal katamaran, analisa CFD dilakukan
dengan bantuan software ICEM CFD dan ANSYS CFX yang merupakan
produk dari ANSYS. ICEM CFD digunakan pada tahap pembuatan
geometri lambung tahap meshing baik pada model maupun pada fluida.
Sedangkan untuk pengerjaan tahap selanjutnya digunakan CFX. Analisa
CFD yang akan dilakukan pada pemodelan lambung katamaran ini adalah
pemodelan aliran dan perhitungan besarnya drag/ hambatan pada lambung
tersebut, visualisasi aliran fluida. Program CFD terdiri dari tiga tahap
yaitu: Pre-processor, Flow Solver (Solution), dan Post-processor.
Keakurasian hasil analisis CFD ditentukan oleh 3 (tiga) faktor
(ANSYS CFX, 2007) yaitu :
(a) Konvergensi, yaitu analisis kebenaran internal dimana tingkat
kesalahan yang dirancang dipenuhi oleh model yang dikembangkan.
Jika nilai konvergensi / variable value dibawah 10-4 untuk model
benam dan 10-5 untuk model free surface.
(b) Studi grid independence, yaitu pengetahuan tentang efisiensi
pemakaian grid (meshing).
(c) Verifikasi, yaitu membandingkan hasil CFD dengan data lain yang
ada sehingga secara realistis kebenaran dapat diterima.
Gambar 3.3 memperlihatkan skema perhitungan dengan menggunakan
program ANSYS CFX. Struktur ANSYS CFX terdiri dari 4 modul
software yang memerlukan geometri dan mesh untuk memberikan
informasi yang dibutuhkan dalam menampilkan analisa CFD. Komponen
ANSYS CFX antara lain ANSYS CFX-Pre sebagai bagian dari Physics
Pre-Processor, dilanjutkan dengan ANSYS CFX-Solver yang bertautan
dengan ANSYS CFX-Solver Manager sebagai bagian untuk memecahkan
atau menjalankan simulasi dan ANSYS CFD-Post yang merupakan modul
untuk menampilkan hasil simulasi yang dirangkai dengan berbagai
visualisasi aliran.

35
Gambar 2.14. Diagran komputasi pada program ANSYS CFX

2.3.2 Pengujian Fisik


Pengujian model fisik di Towing Tank dilakukan berdasarkan
rekomendasi ITTC (International Towing Tank Conference), baik
prosedur pengujian maupun analisa pengukuran. Metode pengukuran
hambatan ada model kapal melalui pengujian di Towing Tank, umumnya,
terdiri atas dua metode yang biasa digunakan:
1. Mengukur total hambatan dan mengaplikasikan formulasi empiris
untuk hambatan gesek (friction).
2. Mengukur langsung komponen-komponen hambatan (dengan
menggunakan teknik pengujian yang kompleks dan pengujian model
yang cukup banyak.
Metode terakhir, pengukuran secara lansung menggunakan 2 metode
danteknik pengujian:
1. Total hambatan diekspresikan sebagai penjumlahan dari beberapa
hambatan, yaitu hambatan friction diperoleh dari pengukuran
tangential stress pada permukaan lambung dan hambatan pressure
diperoleh dari pengukuran tekanan pada permukaan lambung, yaitu
CT = CF+ CP. Metode ini relatif prakris tetapi membutuhkan banyak
pengujian dan sangat sensitif atas kesalahan pengukuran, dimana

36
shear stress dan pressure yang lainya relatif kecil harus diukur pada
semua permukaan lambung. Oleh sebab itu metode ini tidak banyak
digunakan.
2. Total hambatan dapat disimplifikasi dari pendekatan energi sebagai
suatu penjumlahan hambatan wave pattern dari enersi yang hilang
akibat timbulnya gelombang, dan hambatan viscous wake transverse
diukur dari total head loss in the wake dari model, yaitu CT =
CWP+CWT. Komponen hambatan gelombang (wave pattern
resistance) diukur dan dianalisa berdasarkan multiple longitudinal
cuts dengan menggunakan peralatan ukur wave resistance probes
yang cukup banyak dan hambatan viskos (viscous resistance) diukur
berdasarkan analisa wake transverse dengan menggunakan peralatan
ukur pitot tubes.
Komponen hambatan gelombang (wave resistance) diukur dan
dianalisa berdasarkan multiple longitudinal cuts dengan menggunakan
peralatan ukur wave resistance probes yang cukup banyak dan hambatan
viskos (viscous resistance) diukur berdasarkan analisa wake transverse
dengan menggunakan peralatan ukur pitot tubes.
Metode terakhir ini membutuhkan teknik dan peralatan ukur yang
lebih canggih dan rumit untuk menganalisa komponen-komponen dari
pada metode yang pertama. Disamping itu metode terakhir ini
membutuhkan pengujian yang sangat memadai dan waktu yang cukup
lama serta memiliki tingkat kesalahan pengukuran yang lebih besar.
Kemudian dari pada itu, wave breaking dan spray sulit terukur secara
akurat dan wake transverse dibelakang transom stern sangat sulit diukur
dengan pitot tubes khususnya disekitar permukaan air (Insel dan Molland,
1991).
Perhitungan hambatan dengan pengujian fisik dengan menggunkakn
metode yang pertama. Penggunaan metode pertama yang digunakan
dengan melakukan teknik dan prosedur pengukuran sebagai berikut:
- Mengukur besarnya total komponen hambatan (RT) berdasarkan
variasi kecepatan dan konfigurasi jarak antara lambung kapal (secara
melintang), termasuk:
 Mengamati refleksi dan interaksi gelombang pada mainhull dan
sidehull
37
 Mengamati aliran dan gelombang disekitar lambung kapal.
 Mengamati gelombang depan (bow) dan belakang (stern) yang
ditimbulkan oleh mainhull dan sidehull.
- Total hambatan lambung kapal diukur dengan load cell transducer.
Load cell adalah suatu transducer gaya yang bekerja berdasarkan
prinsip deformasi suatu material akibat adanya tegangan mekanis
yang bekerja. Besar tegangan mekanis berdasarkan pada deformasi
yang diakibatkan oleh regangan.

Regangan tersebut terjadi pada lapisan permukaan dari material


sehingga dapat terukur pada alat sensor regangan atau strain gage (lihat
Gambar 2.15). Strain gage ini merupakan transducer pasif yang merubah
suatu pergeseran mekanis menjadi perubahan tahanan/hambatan.

Gambar 2.15. Alat ukur stain gage satu sumbu.

Dimensi laboratorium uji (I) berukuran 50 m panjang, 3 m lebar dan


2 m kedalam air, sebagaimana yang diperlihatkan pada Gambar 2.16
Kecepatan kereta tarik (towing carriage) maksimum 4 m/detik.

Gambar 2.16 Sketsa towing tank

38
Gambar 2.17 Towing tank

2.4 Hambatan Kapal Katamaran


Hambatan kapal katamaran diasumsikan sebagai penjumlahan dari
beberapa komponen yang saling tidak bergantung (independent) agar
mudah memecahkan masalah hambatan lambung kapal dan pengaruh jarak
antara lambung (hull clearance). Metode yang digunakan pada pengujian
lambung kapal yang konvensional yaitu dengan membagi hambatan pada
beberapa komponen yang didasarkan pada pengukuran total hambatan dari
pengujian model dengan mengestimasi hambatan gesek (friction) dari
formula empiris, atau pengukuran lansung pada komponen-komponen
hambatannya. Kedua metode tersebut untuk mengidentifikasi komponen-
komponen dan asumsi-asumsi yang terkait.
Pemisahan hambatan pada beberapa komponen adalah berdasarkan
prinsip momentum pada sebuah model kapal di tangki uji yang
diformulasikan untuk mendapatkan ekspresi konfigurasi gelombang yang
ditimbulkan (wave pattern) dan hambatan wake transverse.
Efek interferensi antara lambung (demihull) yang mana
memodifikasi komponen hambatan pada konfigurasi lambung kapal
katamaran dapat diuraikan sebagai modifikasi ITTC-1957, ITTC-1978 dan
metode pengukuran langsung untuk menghitung hambatan kapal
katamaran.

39
Perhitungan hambatan kapal lambung ganda (catamaran)
mengadopsi metode hambatan kapal lambung tunggal (monohull) dengan
memasukkan faktor interferensi hambatan sebagai berikut:

ITTC 1957

(2.19)
dimana:
σ Faktor interferensi hambatan gesek (friction)
Ω Faktor interferensi hambatan sisa (residuary)

Pertambahan kecepatan yang terjadi diantara lambung kapal dapat


diperhitungkan dengan memperkenalkan faktor interferensi σ dimana
dihitung dari integrasi hambatan gesekan lokal (local frictional) atas
permukaan bidang basah. Hal ini sangat tergantung pada jarak antara
lambung (hull clearance). Faktor interferensi hambatan sisa (residuary) Ω
dapat diintegrasikan dari hasil eksperimen. Besaran faktor ini disebabkan
variasi jarak lambung dan kecepatan sebagaimana diberikan oleh Muller-
Graft (1989) dan Turner dkk (1968).

ITTC 1978

(2.20)
dimana:
ø Faktor interferensi hambatan bentuk (form)
τ Faktor interferensi hambatan gelombang (wave)
σ Faktor interferensi hambatan viskos (viscous)

ø digunakan dalam perhitungan pengaruh perubahan tekanan sekitar


lambung (demihull).Untuk tujuan praktis, ø dan σ dapat dikombinasikan
(Insel dan Molland, 1991 dan 1992) kedalam interferensi hambatan viskos
(viscous), yakni faktor β, dimana (1+φk)σ= (1+βk). Sedangkan faktor
40
interferensi hambatan gelombang (wave-making), τ, dapat diperoleh dari
hasil eksperimen atau hasil pengurangan antara total hambatan dan
hambatan viskos (Molland, 2008).
Terdapat beberapa aspek dan fenomena yang penting dikemukakan
sebagai berikut:
1. Secara garis besar, komponen hambatan diklasifikasikan dalam dua
kelompok utama (Molland, 2008) yaitu hambatan viskos (viscous
resistance) dan hambatan gelombang (wave resistance). Kedua
komponen hambatan tersebut merupakan fenomena yang kompleks
pada lambung katamaran, dimana terjadi interferensi hambatan dan
adanya interaksi di antara kedua lambungnya
2. Pengaruh kedua interferensi komponen hambatan tersebut
berkontribusi pada total hambatan lambung katamaran (Insel dan
Molland, 1992), dimana interferensi vikos disebabkan oleh aliran
yang tidak simetri disekitar demihull akibat perubahan formasi lapisan
batas (boundary layer) dan interferensi gelombang disebabkan
interaksi gelombang dari masing masing lambungnya.
3. Perubahan parameter (geometri) lambung merupakan faktor utama
terhadap besarnya interferensi hambatan, kemudian jarak antara
lambung (S/L) dan kecepatan (Fr) adalah faktor kedua.
4. Pengaruh ukuran/geometri lambung katamaran terhadap interferensi
hambatan (viskos dan gelombang) sangat siknifikan (Insel, 1990)
yakni semakin besar rasio L/B dan B/T semakin kecil interferensi
ambatan yang terjadi. Kedua parameter rasio tesebut sangat
berpengaruh diatas main hump speed, sedangkan parameter lainnya:
koefisien prismatic dan entrance angle berpengaruh dibawah main
hump speed. Semakin besar Cp maka semakin besar interferensi yang
terjadi, khususnya pada bilangan Froude yang lebih kecil.
5. Form factor lambung katamaran (1+βk) untuk tujuan solusi praktis
pada problem engineering yang kompleks, tidak tergantung pada
kecepatan dan tetap konstan. Kemudian faktor interferensi viskos
tersebut diformulasikan oleh Molland dkk, 1994 dan 1996 dengan
persamaan algoritma sebagai: (1+βk) = 3.03 (L/∇1/3) -0.04

2.4.1 Geometri
41
Konfigurasi geometri model uji yang digunakan adalah bentuk
lambung simetris (symetrical hull) dengan beberapa variasi jarak antara
lambung (secara melintang), seperti yang terlihat pada Gambar 2.18.

Gambar 2.18. Symmetrical catamaran

Ukuran dan bentuk geometri lambung demihull dan katamaran


simetris (Symmetrical Catamaran disajikan pada Tabel 3.1.

Tabel 2.2. Ukuran model lambung simetris

Tabel 2.3. Rasio geometri lambung katamaran

42
Secara umum, kapal katamaran memiliki 2 jenis bentuk lambung
yaitu simetris dan tak-simetris (Zouridakis, 2005). Lambung simetris
mempunyai body plan yang sama pada garis tengahnya dan memiliki sudut
masuk bagian dalam dan luar yang sama.
Batasan bilangan Froude (Fr) yang dikaji adalah antara 0.15 – 2.7
untuk mengetahui dan memprediksi secara sistemanis fenomena
interferensi gelombang dan viskos. Pada Fr> 0.7, untuk kapal katamaran,
merupakan kecepatan tinggi dimana wave breaking dapat terjadi secara
siknifikan (Utama dkk, 2001) dan total hambatannya didominasi oleh
komponen hambatan viskos karena bentuk lambungnya yang pipih/ tipis.

. Tabel 2.4 Program pengujian (tank test)

Model uji diberikan turbulence stimulation yang terdiri dari pasir


(sand grainstrips) dengan lebar 10mm, ukuran butir 0.50mm dan
terpasang dengan leading edge sekitar 5% LPP belakang FP sesuai
rekomendasi ITTC (ITTC–Recommended Procedures and Guidelines,
Ship Model Manufacture, 2002). Tujuan turbulence stimulation pada
model uji adalah untuk menstabilkan model hambatan gesek sehingga
kesesuaian hambatan gesek tersebut dapat dihitung secara akurat.

2.4.2 Metode Pendekatan Perhitungan


2.4.2.1 Perhitungan Hambatan Katamaran dengan pendekatan CFD
Pada proses penyelesaian masalah dengan menggunakan CFD-
Ansys CFX terdapat tiga tahap yang harus dilalui, yaitu: Pre-processor,
Flow Solver (Solution), dan Post Processor.
A. Tahap Pre-Processor
Merupakan tahap dimana data diinput mulai dari pembuatan domain serta
pembuatan kondisi batas atau boundary condition. Ditahap ini juga sebuah
benda atau ruangan yang akan dianalisa dibagi-bagi dengan jumlah grid
tertentu atau sering juga disebut dengan meshing. Secara umum, tahap ini
terdiri dari:

43
1. Pemodelan kapal
2. Pembuatan domain fluida
3. Pemodelan kondisi batas
4. Optimasi model yang optimum
5. Pemihan jumlah grid yang optimum

B. Tahap Flow Solver (Solution)


Pada tahap ini dilakukan proses penghitungan data-data input dengan
persamaan yang terlibat secara iteratif. Artinya penghitungan dilakukan
hingga hasil menuju error terkecil atau hingga mencapai nilai yang
konvergen. Pada tahap ini dilakukan perhitungan secara numerik untuk
menyelesaikan masalah dengan CFD. Secara umum tahap ini terdiri dari:
1. Penentuan kondisi batas
2. Pemilihan jenis fluida
3. Penentuan kecepatan model
4. Pemilihan jumlah iterasi yang optimum
5. Penentuan batas konvergensi yang optimum

C. Tahap Post Processor


Tahap Post-Processor merupakan tahap yang digunakan untuk
menganalisis, visualisasi dan mempresentasikan hail interaktif sesuai
dengan kasus yang sedang ditinjau. Hasil perhitungan diinterpretasikan ke
dalam gambar, grafik bahkan animasi dengan pola warna tertentu. Secara
umum tahap ini terdiri dari:
1. Perhitungan besar hambatan kapal
2. Perhitungan distribusi kecepatan disekitar badan kapal
3. Perhitungan distribusi tekanan disekitar badan kapal

3.2 Model Kapal


Pada proses permodelan, pemodelan kapal dibuat dengan beberapa
model yaitu model demihull (monohull) dan katamaran. Pemodelan kapal
dilakukan dengan menggunakan software Ansys ICEM CFD. Model kapal
katamaran dibuat dengan tiga variasi jarak demihull (S/L) yaitu 0,2 ; 0,3;
0,4; dan 0,5

44
Pemodelan dengan menerapkan free surface yaitu pemodelan kapal
dengan menggunakan dua fluida. Pemodelan dengan menggunakan dua
fluida menggunakan fluida air dan udara dalam proses simulasi.
Pemodelan dengan menerapkan kondisi ini memungkinkan diperoleh
hambatan total kapal tanpa mengabaikan adanya beberapa air yang naik
dari batas sarat kapal.

Gambar 4.3 Pemodelan dengan free surface.

Pemodelan untuk kedua jenis model tersebut dimodelkan dengan


menggunakan grid tertrahedral untuk bentuk-bentuk unstructural yang
digunakan dengan the viscous flow code untuk komputasi domain dan
menggunakan grid quadrilateral dengan the potential flow code untuk
pemodelan kapal dan permukaan air disekitar badan kapal (Jamaluddin,
dkk). Hal ini berhubungan dengan kualitas grid yang digunakan untuk
konvergensi dan keakuratan perhitungan CFD dimana kualitas grid
dibahas secara lebih terperinci oleh Thompson dkk. (1999) dan Deng dkk.
(2010).
Pemodelan tidak hanya dilakukan pada kapal tetapi juga pada
pemodelan domain. Domain didefinisikan sebagai lingkup atau tempat
untuk kapal dilakukan simulasi dalam hal ini domain menginterpretasikan
fluida yang dilalui oleh kapal. Proses permodelan domain dilakukan
dengan beberapa tahapan untuk mendapatkan ukuran domain yang
optimum. Ukuran domain yang optimum akan digunakan sebagai acuan
dan juga digunakan sebagai domain utama untuk perhitungan pada proses
simulasi untuk semua variasi.
Ukuran domain untuk simulasi dengan seluruh badan kapal sampai
dengan sarat kapal terbenam air untuk mendapatkan hambatan viskos

45
kapal maka menggunakan ukuran panjang domain kedepan dari kapal
sebesar 2 Lwl, panjang kebelakang dari kapal sebesar 3 Lwl, panjang dari
sisi-sisi kapal sebesar 1.5 Lwl dan dengan kedalaman domain yang cukup
dari permukaan domain.

3Lwl 1Lwl

2
2Lwl

Gambar 4.4 Dimensi domain untuk pemodelan tanpa free surface.

Dimensi domain untuk simulasi dengan menggunakan free surface


yaitu dengan menggunakan dua fluida untuk mendapatkan hambatan total
kapal maka menggunakan ukuran panjang domain kedepan dari kapal
sebesar 1Lwl, panjang ke belakang dari kapal 3 Lwl, panjang dari sisi-sisi
kapal sebesar 2 Lwl dan dengan kedalama yang cukup dari permukaan
domain.

46
Gambar 4.5 Dimensi domain untuk pemodelan dengan free surface.

1.2 Pemilihan Grid (Meshing)


Grid didefinisikan sebagai kumpulan elemen yang bergabung
membentuk suatu bentuk tertentu. Penentuan jumlah grid yang dipakai
dalam pemodelan kapal berpengaruh terhadap tingkat ketelitian dari model
tersebut. Semakin kecil ukuran grid yang digunakan maka akan semakin
banyak jumlah grid yang digunakan dan membutuhkan waktu yang lama
untuk melakukan simulasi. Ukuran grid yang kecil akan berpengaruh
terhadap tingkat kehalusan dari setiap bagian badan kapal. Penggunaan
ukuran grid yang terlalu besar juga akan berpengaruh terhadap bentuk
badan kapal yang akan dihasilkan sehingga dapat mengurangi hasil yang
diperoleh. Berikut merupakan gambar perbedaan penggunaan ukuran grid
pada kapal.

47
Gambar 3.1 Hasil penggunaan ukuran grid yang berbeda untuk kapal.

Ukuran grid yang digunakan juga menentukan hasil yang akan


diperoleh tetapi jumlah grid yang digunakan juga menjadi pertimbangan
utama. Penggunaan jumlah grid yang terlalu sedikit berpengaruh terhadap
tingkat akurasi data yang diperoleh setelah dilakukan simulasi sehingga
perlu dilakukan suatu proses untuk mendapatkan jumlah grid yang
optimum.
Jumlah grid yang dipakai pada pemodelan kapal dengan software
Ansys ICEM CFD ditentukan berdasarkan percobaan pemodelan beberapa
model dengan berbagai variasi jumlah grid yang selanjutnya dilakukan
optimisasi hingga didapatkan jumlah grid yang optimum. Jumlah grid
yang optimum merupakan jumlah grid yang digunakan tidak berpengaruh
terhadap besarnya hasil yang didapatkan. Proses mendapatkan jumlah grid
optimum disebut dengan Grid Independen Study. Grid Independen
merupakan salah satu parameter yang digunakan pada tahap validasi data
hasil simulasi numerik menggunakan ANSYS CFD.

1.2.1. Boundary Condition


Pada proses pendefinisian masalah dalam proses simulasi maka
setiap bagian dari model dan domain harus didefinisikan agar hasil yang
diperoleh memiliki tingkat validitas yang tinggi. Kondisi batas untuk
pemodelan tanpa free surface dan dengan menggunakan free surface akan
berbeda. Kedua pemodelan tersebut dilakukan proses simulasi pada
berbagai kecepatan dengan variasi Fr = 0.19-0.65.

48
Pada pemodelan tanpa free surface, kondisi batas terdiri dari inlet,
outlet, wall dan model itu sendiri yaitu kapal katamaran asimetris. Kondisi
batas inlet didefinisikan sebagai tempat masuknya fluida pada proses
simulasi. Pada daerah ini kecepatan mengalirnya fluida didefinisikan
untuk menginterpretasikan besar laju dari fluida yaitu air.

Gambar 4.6 Kondisi batas untuk pemodelan tanpa free surface.

Daerah sebagai tempat keluarnya fluida didefinisikan sebagai outlet


sehingga pada daerah ini besarnya tekanan perlu didefinisikan. Kondisi
batas wall termasuk daerah bottom, top dan sidewall didefinisikan sebagai
dinding-dinding pembatas domain pada saat proses simulasi. Kondisi batas
pada daerah ini dianggap bahwa kekasaran dari dinding tidak berpengaruh
terhadap besarnya kecepatan fluida yang mengalir sehingga laju fluida
tidak akan mengalami perlambatan kecepatan akibat kekasaran dinding.
Berbeda dengan kondisi batas dari wall, kondisi batas untuk kapal
didefinisikan bahwa kekasaran permukaan badan kapal akan berpengaruh
terhadap besarnya laju fluida. Hal ini berarti, laju fluida akan mengalami
perlambatan akibat pengaruh kekasaran badan kapal yang kemudian CFD
mendefinisikan hal tersebut pada proses perhitungan sebagai gaya yang
menghambat laju kapal sehingga diperoleh besarnya hambatan viskos
kapal.
Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Jamaluddin, dkk
(2011) pada pemodelan dengan free surface, kondisi batas terdiri dari inlet,
outlet, wall dan model yaitu kapal katamaran simetris dimana kondisi batas
49
inlet didefinisikan sebagai tempat masuknya fluida atau disebut sebagai
hulu (downstream) pada proses simulasi. Pada kondisi ini besarnya
kecepatan fluida (sama dengan kecepatan model) dan ketinggian aliran
didefinisikan pada bagian ini. Kondisi batas outlet didefinisikan sebagai
tempat keluarnya fluida dan besarnya komponen tekanan hidostatis perlu
didefinisikan pada daerah ini dan diasumsikan an undisturbed free surface.

Gambar 4.7 Kondisi batas untuk pemodelan dengan free surface.

Pengaruh kekasaran dinding terhadap besarnya laju fluida


didefinisikan pada model kapal sehingga sama seperti halnya pada
pemodelan tanpa free surface, pada pemodelan dengan free surface
besarnya laju fluida akan mengalami perlambatan akibat kekasaran dari
badan kapal. Pada bagian dasar dari domain dan sisi dari domain sebagai
bottom dan sidewall didefinisikan bahwa pengaruh kekasaran dinding
pada daerah ini tidak berpengaruh pada besarnya laju fluida sehingga laju
fluida tidak akan mengalami perlambatan jika melewati daerah ini.
Perhitungan kondisi dua fluida pada pemodelan free surface
didefinisikan menggunakan kondisi batas a pressure opening yang
diterapkan pada bagian atas dari domain (top surface). Penerapan kondisi
batas ini memungkinkan bahwa tidak terdapat air yang mencapai top
surface. Kondisi opening juga digunakan sebagai titik acuan untuk
tekanan.

50
Kondisi air dimodelkan sebagai fresh water pada temperature 26 C
(massa jenis = 999 kg/m3, dynamic viscosity = 1.137 x 10-3 kg/ms). Kondisi
udara diasumsikan compressible (untuk alasan stabilitas komputasi) dan
dimodelkan dengan massa molekul 28.96 kg/mole dan dynamic viscosity
= 1.8 x 10-5 kg/ms.
Setelah penerapan kondisi batas pada setiap bagian dari domain,
langkah selanjutnya adalah pemilihan model turbulen yang digunakan dan
penentuan batas kriteria konvergensi. Pemilihan model turbulen
didasarkan bahwa untuk memecahkan persamaa yang mengatur fluida,
domain fluida dibagi kedalam jumlah sel yang terbatas dan persamaan ini
dirubah kedalam bentuk aljabar melalui proses diskritisasi dimana
menggunakan mentode finite volume (Jamaluddin dkk., 2011). Model
turbulen untuk awal simulasi adalah Shear Stress Transport (SST) seperti
yang telah diaplikasikan oleh Menter (1993a, 1994b).
Pada berbagai penelitian telah banyak dijelaskan mengenai model
turbulen dengan menggunakan SST. Model SST merupakan model yang
paling akurat untuk digunakan pada pemodelan aliran pada NASA
Technical Memorandum (Bardina, dkk, 1997). Model ini pada awalnya
banyak digunakan untuk bidang aeronatika tetapi dengan berkembangnya
teknologi, model ini banyak digunakan pada berbagai model industri.
Model turbulen ini memecahkan turbulensi berbasis (k-) pada dinding-
dinding dan turbulensi berbasis (k-) pada aliran massal (Jamaluddin dkk.,
2011).
Langkah selanjutnya adalah penetuan batas criteria konvergensi.
Penentuan batas kriteria konvergensi yaitu Root Mean Square (RMS)
untuk proses simulasi dengan residual target value sebesar 10-5. Nilai ini
merupakan nilai konvergensi terbaik dan telah banyak digunakan pada
berbagai perhitungan aplikasi teknik (Ansys, 2007; Dinham dkk., 2008).

1.3.Verifikasi Hasil CFD


Proses verifikasi perlu dilakukan untuk pengujian model kapal
melalui komputer. Verifikasi merupakan terminologi untuk menunjukkan
tingkat kebenaran dari simulasi yang dilakukan. Untuk menentukan
tingkat kevalidan, dapat dilakukan dengan beberpat metode yaitu
memastikan semua boundary condition dan inisialisasi telah sesuai dengan
51
teori dan kasus yang ditinjau serta dengan cara membandingkan dengan
sebuah acuan/standart yang telah ada dengan referensi yang jelas.
Verifikasi pengujian komputer dilakukan dengan membandingkan hasil
pengujian simulasi model kapal dikomputer dengan pengujian model
kapal pada kolam pengujian.
Penyelidikan secara numerik dimulai dengan Pre processing yang
meliputi pembuatan geometri benda, inisialisasi boundary condition, dan
meshing. Hasil yang diharapkan adalah adanya simulasi dinamis/transient,
sehingga akan dipilih mode unstructured mesh atau dynamic mesh dalam
meshing geometri.
Langkah berikutnya adalah tahap pemilihan solver yang meliputi
pemilihan boundary condition, pemilihan model, pemilihan jenis fluida
dan struktur, dan pemilihan solving equation. Penyelesaian persamaan
akan menggunakan fasilitas multi-field solver untuk menggabungkan dua
field yang berbeda dalam interaksi fluida-struktur. Tujuan yang ingin
didapatkan dalam simulasi numerik ini adalah mendapatkan gaya/
hambatan pada lambung kapal dan fenomena interferensi hambatannya
dengan mengetahui kecepatan aliran disekitar lambung dan perubahan
tekanan diantara lambungnya dengan memvariasikan jarak antara
lambung.
Dalam simulasi yang dihasilkan akan diketahui besarnya gaya-gaya
yang bekerja pada lambung demihull/ catamaran. Selanjutnya akan
dilakukan analisa dan evaluasi data hasil numerik dan dibandingkan
dengan hasil pengukuran eksperimen.
Computational Fluid Dynamics merupakan merupakan penyelesaian
numerik dinamika fluida Bertram (2000). Pada kasus kapal, CFD sangat
membantu dalam meng-ekspresikan fenomene aliran fluida di sekitar
lambung kapal, khususnya masalah interfensi dan interaksi komponen
hambatan pada lambung.
Dalam desain kerjanya, problem perlu dideskripsikan dengan
menggambarkan model yang akan dianalisa, sifat-sifat fluida di sekitar
model dan penentuan kondisi batasannya. Selanjutnya dalam solver
problem akan dihitung dengan pendekatan Navier Strokes yaitu persamaan
kekekalan massa, momentum, dan energi pada setiap titik pada grid 2D

52
atau 3D. Dari hasil perhitungan tersebut akan didapat hasil output dari
simulasi program CFD.

Keakurasian hasil analisis CFD ditentukan oleh 3 (tiga) faktor


(Ansys CFX, 2007) yaitu:
1. Konvergensi, yaitu analisis kebenaran internal dimana tingkat
kesalahan yang dirancang dipenuhi oleh model yang dikembangkan.
Jika nilai konvergensi / variable value dibawah 10-4.
2. Studi grid independence, yaitu pengetahuan tentang efisiensi
pemakaian grid.
3. Verifikasi, yaitu membandingkan hasil CFD dengan data lain yang
ada sehingga secara realistis kebenaran dapat diterima.

Pembuatan model dan meshing dilakukan pada Ansys design model


(ICEM), kemudian penyelidikan secara numerik (CFX) dimulai dengan
Preprocessing yang meliputi inisialisasi boundary condition, pemilihan
model, pemilihan jenis fluida dan struktur. Langkah berikutnya adalah
tahap pemilihan solver. Tujuan yang ingin didapatkan dalam simulasi
numerik ini adalah mendapatkan gaya/ hambatan pada lambung kapal dan
fenomena interferensi hambatannya dengan mengetahui kecepatan aliran
disekitar lambung dan perubahan tekanan diantara lambungnya dengan
meng-variasikan jarak antara lambung (S/L).
Pada simulasi akan diketahui besarnya komponen hambatan yang
bekerja pada lambung demihull/ catamaran. Simulasi free-surface
modelling (pada media air dan udara) digunakan untuk menghitung besar
hambatan total pada lambung. Dinding (wall) untuk domain fluida pada
kondisi free slip yaitu shear stress pada dinding bernilai nol dan kecepatan
di dekat dinding tidak mengalami perlambatan akibat efek gesekan
dinding. Pada simulasi ini, model dibuat dengan kondisi noslip (yaitu
terjadi gesekan di permukaan model). Sedangkan untuk menghitung
hambatan viskos, lambung kapal dibenamkan (pada media air) hingga
pada sarat air dengan mengasumsikan kondisi batas atas (top boundary
condition) adalah solid wall dan free slip. Kemudian hambatan gelombang
dapat dihitung dari selisih nilai hambatan total dan hambatan viskos.

53
Selanjutnya akan dilakukan analisa dan evaluasi data hasil numerik
dan dibandingkan dengan hasil pengukuran eksperimen. Kemudian,
melakukan kajian besarnya nilai faktor interferensi hambatan viskos, lihat
Persamaan 2.15, yang terdiri dari faktor perubahan tekanan disekitar
lambung (ø) dan faktor perubahan kecepatan aliran (σ) diantara lambung
kapal dengan mem-variasikan jarak antara lambung karamaran (S/L).
Program CFD terdiri dari 4 (empat) elemen utama :
1. ICEM,yang merupakan desain geometri dan meshing.
2. CFX-pre,adalah boundary condition dan Spesific parameter.
3. Solver,adalah proses iterasi
4. CFX-post, adalah proses analisa.

ICEM: penggambaran geometri model, yaitu kumpulan point yang


membentuk curve dan membentuk surface, kemudian proses meshing.
CFX Pre Processor (CFX build): awal pemprograman terdiri dari
input masalah aliran untuk CFD melalui interface. Input meliputi :
geometri benda, membentuk grid generation, penentuan sifat-sifat fluida
seperti densitas, viskositas, temperatur fluida. Kemudian analisa masalah
aliran: kecepatan, tekanan didefinisikan sebagai suatu daerah yang berupa
simpul-simpul tiap cell. Jumlah cell dalam grid (mesh) menentukan
akurasi penyelesaian CFD.
Solver (penyelesaian perhitungan): metode numerik solver tersebut
terdiri dari perkiraan variabel yang tidak diketahui dengan menggunakan
fungsi sederhana, diskretisasi dengan substitusi perkiraan-perkiraan
tersebut dengan persamaan aliran.
Post Processor : ditampilkan hasil perhitungan yang telah dilakukan
pada tahap sebelumnya, hasil perhitungan dapat dilihat berupa data
numerik dan data visual aliran fluida pada model.
Pada proses validasi ada beberapa parameter penting yang
dipertimbangkan yaitu grid (mesh), convergence, data hasil eksperimen.

1. Convergence
Tahap ini, proses iterasi perhitungan akan selalu dikontrol dengan
persamaan pengendali. Jika hasil perhitungan belum sesuai dengan tingkat
kesalahan yang ditentukan, maka komputasi akan terus berjalan. Berikut
54
beberapa grafik RMS yang menunjukkan convergensi proses iterasi,
sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 6.1

10-5, Batas Konvergensi

Gambar 6.1. Konvergensi proses iterasi pada CFD

Kriteria root-mean square (RMS) yang digunakan untuk mengecek


konvergensi simulasi free surface adalah dengan residual target value
(variable value) mencapai 10-5. Target criteria (variable value) ini banyak
diaplikasi pada komputasi engineering, sebagaimana yang
direkomendasikan dalam ANSYS ICEM manual (2007) dan Dinham dkk
(2008).

2. Grid Independence
Besarnya jumlah cell atau grid yang digunakan dalam perhitungan
akan menentukan keakurasian hasil yang diperoleh karena jumlah cell
mempengaruhi perubahan bentuk geometri pada saat pemprosesan hasil.
Gambar 6.2 memperlihatkan initial computational domain. Grid (mesh) di
bagian depan lambung berjarak hingga 1.5 panjang model lambung, di
bagian belakang lambung berjarak 4 kali panjang lambung. Kemudian
kesamping berjarak 1.5 kali panjang model, dan jarak di atas 2.5 kali
panjang model serta di bawah 2 kali panjang model lambung. Jarak
tersebut sudah cukup memadai untuk menghindari blockage effect (Utama,
1999; Ahmed dan Soares, 2009). Komputasi untuk mesh digunakan
55
(multiphase flow calculations) terdiri dari 822,087 dan 1,334,943 mesh
elements untuk demihull dan katamaran seperti yang disajikan pada Tabel
4.3.

Gambar 6.2 Initial computational domain pada CFD

Kualitas atau jumlah mesh grid merupakan hal mendasar untuk


convergency dan keakurasian simulasi/komputasi CFD. Kualitas dan nilai
grid didiskusikan secara detail oleh Thompson dkk (1999) dan Deng dkk
(2010). Jumlah elemen mesh, 1,334,943, untuk lambung katamaran adalah
cukup optimal dan akurat, dimana jumlah elemen yang digunakan pada
komputasi menunjukkan bahwa kondisi yang ‘grid independence’
sebagaimana yang diperlihatkan pada Gambar 6.3 dan Tabel 6.2 Nilai
hambatan (resistance) untuk jumlah elemen mesh (grid) 1.334.943 dan
2.610.000 adalah konstan dan sama. Sehingga dapat dikatakan bahwa
jumlah mesh 1.334.943 yang dipilih dalam komputasi CFD telah
memenuhi tingkat keakurasian yang cukup baik.

56
Gambar 6.3 Grid independence pada CFD.

Tabel 6.2 Grid independence pada CFD.


Jumlah Meshing
(x103) 150 253 739 1.335 2.610
Hambatan (kN) 19.21 16.11 13.78 12.31 12.3

Untuk komputasi dan simulasi, digunakan model turbulensi SST


(Shear Stress Transport), (Menter, 1993 dan 1994). Model turbulensi SST
telah divalidasi dalam sejumlah studi/riset (Bardina dkk. 1997;
Swennberg, 2000) yang dianggap sebagai model yang paling akurat untuk
berbagai aplikasi aliran. Model turbulen ini memecahkan turbulensi
berbasis (k-ω) pada dinding-dinding dan turbulensi berbasis (k-ε) pada
aliran massal. Komponen hambatan total dan viskos dari hasil komputasi
program (CFD)

2.4.2.2 Perhitungan Hambatan Katamaran dengan pendekatan Uji


Fisik
Hambatan total katamaran simetris didominasi oleh hambatan
gelombang. Pengaruh hambatan gelombang pada kecepatan rendah (Fr <
0.2) dari semua variasi S/L (S/L = 0.2 – 0.4) memberikan pengaruh yang
kecil. Pada kecepatan ini, hambatan total didominasi hambatan viskos
karena pada kecepatan rendah gelombang belum terbentuk
57
Gambar A1-A5 lampiran A dapat diketahui bahwa koefisien
hambatan total (CT) didominasi oleh koefisien hambatan viskos(CV).

Symmetrical Hull
0.014

0.012

0.01

0.008
Ct

0.006

0.004
Demi Cat S/L 0.2
0.002
Cat S/L 0.3 Cat S/L 0.4
0
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7
Fr
Gambar 0-1 Koefisien Hambatan Total (Ct) Lambung Katamaran Simetris
Dengan Variasi S/L
Gambar 6.10 memperlihatkan koefisien hambatan total kapal dengan
menggunakan lambung demihull dan lambung katamaran simetris dengan
variasi jarak pisah lambung. Besarnya hambatan total diluar prediksi
terjadi pada range Froude Number 0.28<Fr<0.37 dimana besar hambatan
total katamaran simetris lebih kecil dari demihull. Hal ini sesuai dengan
peneitian yang dilakukan oleh Zaraphonitis, Spanos dan Papanikolaou
(2001) bahwa antara range Froude Number 0.33<Fr<0.39, katamaran
dengan konfigurasi sysmetri terjadi efek interferensi antara kedua lambung
meskipun sangat lemah yang disebabkan oleh efek dari the bow-generated
waves yang berjalan berlawanan sepanjang kearah butitan. Pada kombinasi
panjang kapal, range kecepatan kapal dan jarak pisah tertentu, gelombang
ini menghasilkan peningkatan diviasi gelombang dan tekanan
hidrodinamis didaerah buritan kapal. Pada range Fr>0.5 menunujukkan
hambatan katamaran simetris jauh lebih kecil dan pada Fr>0.4 terdapat
hasil hambatan katamaran yang sedikit diluar prediksi. Hal ini diakrenakan
semakin besar jarak pisah lambung katamaran maka hambatan gelombang
58
yang dihasilkan akan semakin kecil dan adanya perbandingan kecepatan
dan panjang yang berpengaruh terhadap terbentuknya gelombang
transversal dan gelombang divergen pada saat nilai perbandingan semakin
meningkat sehingga berpengaruh terhadap besarnya hambatan viskos yang
terbentuk pada kecepatan tinggi.
Sesuai dengan penelitian Zaraphonitis, Spanos dan Papanikolaou
(2001) bahwa pada Fn rendah dan tinggi, hambatan katamaran simetris
lebih kecil sedangkan pada Froude Number Fr>0.4, hambatan katamaran
simetris cenderung memiliki hasil yang sedikit diluar prediksi. Pada jarak
pisah lambung S/L = 0.3, interferensi antar lambung datar kapal katamaran
asimetris masih terjadi meskipun terjadi begitu lemah dan pada jarak pisah
lambung S/L = 0.4, interferensi yang ditimbulkan antar lambung kapal
hampir tidak ada (Zaraphonitis, Spanos dan Papanikolaou, 2001).

6.1.1 Perbandingan CFD dan Experiment Hambatan Total


Katamaran Asimetris dengan Katamaran Simetris
Gambar 6.16 memperlihatkan perbandingan hasil simulasi numerik
CFD-Ansys CFX dengan eksperimen hambatan total demihull simetris.
Terdapat perbedaan yang semakin bertambah besar pada tiap penambahan
kecepatan. Pada bilangan Froude Fr = 0.19, hasil simulasi numerik CFD
hampir sama dengan eksperimen meskipun terdapat perbedaan yang
sangat kecil yaitu sebesar 1.51%. Prosentase perbedaan semakin
bertambah besar pada Fr = 0.28 dengan prosentase perbedaan antara kedua
pengujian tersebut adalah sebesar 1.91%. Pada bilangan Froude 0.37
hambatan total demihull simetris semakin bertambah besar dengan hasil
dari simulasi numerik CFD dengan prosentase perbedaan dari hasil
eksperimen sebesar 2.56%.

59
Symetri Demihull
0.014

0.012
Total Resistance Coeff (CT)

0.01

0.008

0.006

0.004

0.002 CT-CFD
CT-Exp
0
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7
Froude Number (Fr)
Gambar 6.16 Perbandingan CFD dan Experiment
Hambatan Total antara Demihull simetris

Penambahan prosentase perbedaan semakin bertambah dengan


penambahan sebesar 0.16% dari prosentase sebelumnya. Pada variasi
kecepatan selanjutnya yaitu pada Fr = 0.55, prosentase perbedaan
hambatan total demihull dibandingkan dengan hasil eksperimen menjadi
sebesar 2.78%. Pada variasi kecepatan terakhir yaitu pada Fr = 0.65,
prosentase perbedaan hasil simulasi numerik dengan hasil eksperimen
adalah sebesar 3.2%.
Gambar 6.17 memperlihatkan perbandingan hasil simulasi
numerik CFD-Ansys CFX dengan eksperimen untuk katamaran
simetris pada S/L = 0.2. Perbedaan hasil yang begitu kecil terlihat
pada variasi kecepatan pertama yaitu pada bilangan Froude Fr =
0.19. Prosentase perbedaan antara hasil simulasi numerik CFD-
Ansys CFX dengan eksperimen pada kecepatan ini sebesar 2.3%.

60
0.014
Symetri Catamaran, S/L=0.2

Total Resistance Coeff (CT)


0.012
0.01
0.008
0.006
0.004
0.002 CT-CFD
CT-Exp
0
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7
Froude Number (Fr)
Gambar 6.17 Perbandingan CFD dan Experiment Hambatan
Total antara Katamaran simetris pada S/L = 0.2

Variasi kecepatan selanjutnya yaitu pada bilangan Froude Fr = 0.28


memperlihatkan hasil yang berbeda dengan sebelumnya. Pada variasi
kecepatan ini, hasil yang didapatkan dari simulasi numerik semakin
memperlihatkan perbedaan yang besar dengan hasil eksperimen.
Prosentase perbedaan yang antara hasil simulasi CFD-Ansys CFX dengan
eksperimen adalah sebesar 2.7%. Peningkatan kecepatan dengan
penggunaan Fr = 0.37 memperlihatkan hasil dengan perbedaan yang
semakin besar dengan prosentase perbedaan antara hasil simulasi CFD dan
hasil eksperimen dengan prosentase perbedaan sebesar 2.9%. Perbedaan
yang tidak begitu signifikan terjadi pada variasi kecepatan dengan Fr =
0.46. Pada variasi kecepatan ini prosentase perbedaan antara hasil simulasi
dengan hasil eksperimen hanya bertambah sebesar 0.1%. Penambahan
prosentase perbedaan semakin meningkat terjadi pada Fr = 0.55 jika
dibandingkan dengan penambahan pada Fr = 0.46 dengan penambahan
prosentase perbedaan sebesar 0.2%. Prosentase perbedaan terbesar terjadi
pada variasi kecepatan dengan Fr = 0.65. Pada kecepatan ini, prosentase
perbedaan antara hasil simulasi CFD dengan hasil eksperimen adalah
sebesar 3.5%.

61
Symetri Catamaran, S/L=0.3
0.014

0.012
Total Resistance Coeff (CT)

0.01

0.008

0.006

0.004
CT-CFD
0.002
CT-Exp
0
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7
Froude Number (Fr)

Gambar 6.18 Perbandingan CFD dan Experiment Hambatan Total antara


Katamaran simetris pada S/L = 0.3

Gambar 6.18 memperlihatkan perbandingan hasil simulasi CFD


dengan hasil eksperimen pada katamaran simetris dengan variasi S/L =
0.3. Pada variasi kecepatan dengan Fr = 0.19, hasil simulasi CFD
memperlihatkan hasil yang lebih besar dibandingkan dengan hasil
eksperimen. Prosentase perbedaan antara kedua hasil tersebut adalah
sebesar 2.4%. Prosentase perbedaan antara hasil simulasi CFD dengan
hasil eksperimen sebesar 2.9% terjadi pada variasi kecepatan dengan Fr =
0.28. Pada variasi kecepatan selanjutnya yaitu pada Fr = 0.37, prosentase
perbedaan hasil simulasi CFD dengan hasil eksperimen semakin besar
dengan prosentase perbedaan diantara keduanya menjadi sebesar 4.2%.
Penambahan prosentase perbedaan yang tidak begitu signifikasn terjadi
pada variasi kecepatan dengan Fr = 0.46 dengan penambahan sebesar 0.5%
dibandingkan dengan penambahan prosentase sebesar 1.3% yang terjadi
pada Fr = 0.37. Pada Fr = 0.55, hasil simulasi CFD semakin bertambah
besar dibandingkan dengan hasil eksperimen dengan prosentase perbedaan
diantara keduanya sebesar 3%. Prosentase perbedaan terbesar terjadi pada
0.65. Pada variasi kecepatan ini, hasil simulasi CFD semakin bertambah

62
besar dibandingkan dengan hasil eksperimen dengan prosentase perbedaan
diantar keduanya sebesar 3.6 %.

0.014
Symetri Catamaran, S/L=0.4

0.012
Total Resistance Coeff (CT)

0.01
0.008
0.006
0.004
0.002 CT-CFD
CT-Exp
0
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7
Froude Number (Fr)
Gambar 6.19 Perbandingan CFD dan Experiment Hambatan Total antara
Katamaran simetris pada S/L = 0.4

Gambar 6.19 memperlihatkan perbandingan hasil simulasi numerik


dengan hasil eksperimen pada katamaran simetris dengan variasi S/L =
0.4. Pada variasi kecepatan pertama yaitu pada Fr = 0.19, terdapat
perbedaan hasil antara hasil simulasi CFD dengan hasil eksperimen hampir
sama meskipun terdapat perbedaan yang sangat kecil diantara keduanya
dengan prosentase perbedaan sebesar 1.9%. Pada variasi kecepatan
dengan Fr = 0.28, perbedaan hasil simulasi CFD semakin besar
dibandingkan dengan hasil eksperimen dengan prosentase perbedaan
diantara keduanya sebesar 2.0%. Pada Fr = 0.37, prosentase perbedaan
antara hasil CFD dengan hasil eksperimen mengalami penurunan
dibandingkan dengan hasil sebelumnya. Pada variasi kecepatan ini,
prosentase perbedaan yang terjadi diantara keduanya adalah sebesar 1%.
Pada Fr = 0.46, prosentase perbedaan antara hasil simulasi CFD dengan
hasil eksperimen memperlihatkan hasil dengan prosentase perbedaan
terbesar dengan hasil sebelumnya dengan prosentase perbedaan sebesar
4.5%. Penurunan prosentase perbedaan antara hasil CFD dengan hasil
eksperimen terjadi pada kecepatan dengan Fr = 0.55 dengan prosentase
63
perbedaan diantara keduanya sebesar 2.6%. begitu juga pada variasi
kecepatan selanjutnya yaitu pada Fr = 0.65, prosentase perbedaan yang
terjadi antara hasil simulasi CFD dengan hasil eksperimen adalah sebesar
1.1%.
Gambar 6.3 memperlihatkan koefisien hambatan total untuk
variasi jarak pemisah lambung demihull (S/L). hambatan total terbesar
yaitu pada lambung katamaran dengan rasio S/L=0.2. Hambatan total
semakin kecil seiring dengan semakin bertambahnya jarak pemisah
lambung demihull (S/L).

Analisa Hambatan Viskos Lambung Katamaran Simetris


Koefisien hambatan viscous (CV) terdiri dari komponen form
factor (k) dan koefisien hambatan gesek (CF). Pada program hullspeed
maxsurf menggunakan metode slender body diman metode ini dapat
diaplikasikan untuk menghitung hambatan lambung kapal yang pipih/tipis
(rasio panjang dan lebar yang besar) kemudian nilai form factor (k) pada
lambung katamaran simetris dihitung berdasarkan dari hasil eksperimen
oleh Molland (1996) dimana formulasinya dapat dilihat pada persamaan
6.1:

1/3 -0.04
(1+βk) = 3.03 (L/ ) (6.1)
Persamaan (6.1) diperoleh nilai form factor untuk lambung katamaran
simetris (1+βk) sebesar 1.38. Sedangkan untuk menghitung koefisien
hambatan gesek (Cf) menggunakan formula yang direkomendasikan
ITTC’57.
0.075
CF= [ log(Re)-2]2 (6.2)

VL
Re= (6.3)
v
Dimana Re = Reynold Number
V = Kecepatan Kapal (m/s)
L = Panjang Kapal (m)
V = Kinematika Viskos

64
Grafik 6.1 diperlihatkan bahwa besarnya koefisien hambatan
viskos (CV) tidak dipengaruhi oleh perubahan jarak pemisah lambung
demihull (S/L) karena form factor konstan terhadap rasio S/L sedangkan
hasil eksperimen oleh Molland (1991) menunjukkan hambatan viskos
bergantung perubahan jarak antara demihull (S/L). walaupun memiliki
perbedaan nilai yang kecil, karena terjadi fenomena interaksi antara
lambung demihull.

Symmetrical Hull
0.008

0.007

0.006
Cv

0.005

0.004

0.003 Demihull S/L= 0.2


S/L= 0.3 S/L= 0.4
0.002
0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7
Fr
Gambar 6.1 Koefisien Hambatan Viskos (Cv) Lambung Katamaran
Simetris dengan Variasi S/L

Penentuan besarnya hambatan kapal dapat dilakukan melalui


beberapa cara yaitu perhitungan secara analitik (teoritik), pengujian model
pada tangki percobaan (eksperimen) dan menggunakan simulasi model
kapal dikomputer (simulasi numerik). Pengujian melalui tangki percobaan
perlu dilakukan untuk tahap perkiraan besarnya daya mesin kapal yang
dibutuhkan. Hasil yang akurat dapat diperoleh dari haril pengujian tangki
tetapi besarnya biaya perlu dikeluarkan untuk melakukan pengujian model
pada tangki percobaan. Pengujian menggunakan simulasi model kapal
dikomputer dapat menekan besarnya biaya yang dibutuhkan dari
pengujian tangki.

65
Proses verifikasi perlu dilakukan untuk pengujian model kapal
melalui komputer. Verifikasi merupakan terminologi untuk menunjukkan
tingkat kebenaran dari simulasi yang dilakukan. Untuk menentukan
tingkat kevalidan, dapat dilakukan dengan beberpat metode yaitu
memastikan semua boundary condition dan inisialisasi telah sesuai dengan
teori dan kasus yang ditinjau serta dengan cara membandingkan dengan
sebuah acuan/standart yang telah ada dengan referensi yang jelas.
Verifikasi pengujian komputer dilakukan dengan membandingkan hasil
pengujian simulasi model kapal dikomputer dengan pengujian model
kapal pada kolam pengujian.
Pengujian melalui tangki percobaan pada katamaran simetris
dilakukan di kolam pengujian Laboratorium Hidrodinamika Indonesia
(LHI) oleh Jammaluddin, Utama dan Molland (2010). Kolam pengujian di
LHI mempunyai dimensi panjang 240 m, lebar 11 m dan kedalaman 5,5
m. Ukuran model kapal pada tangki percobaan disajikan pada tabel 6.2.
Ukuran model kapal untuk simulasi model kapal dikomputer dibuat sama
dengan model kapal untuk tangki percobaan.

Demihull
0.012

0.01

0.008
Cv

0.006

0.004

0.002 Cv-EXp
Cv-CFD
0
0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7
Fr
Gambar 6.12 Perbandingan CFD dan Eksperimen Hambatan Viskos
antara Demihull simetris

66
Gambar 6.12 memperlihatkan hasil simulasi numerik hambatan
viskos CFD-ANSYS CFX dan eksperimen dari demihull. Pada Fr = 0.19,
hambatan viskos antara CFD dan eksperimen hampir sama meskipun
terdapat perbedaan yang sangat kecil dengan prosentase perbedaan sebesar
1.8%. Penggunaan jumlah grid yang sama untuk pengujian CFD
berpengaruh terhadap besar hasil selanjutnya. Penambahan kecepatan
dengan Fr = 0.28 memberikan prosentase perbedaan yang semakin besar
antara hasil CFD dan eksperimen dengan prosentase perbedaan sebesar
2.7%. Penambahan prosentase perbedaan semakin besar pada Fr = 0.37
yaitu dengan prosentase penambahan sebesar 4.0%. Begitu juga pada
penambahan kecepatan selanjutnya, yaitu pada Fr = 0.46 dan Fr = 0.55,
perbedaan prosentase masing-masing adalah 4.7% dan 5.4%. Prosentase
perbedaan terbesar ditunjukkan pada bilangan Froude Fr = 0.65. Pada
kecepatan ini, prosentase perbedaan antara hasil CFD dan eksperimen
adalah sebesar 6%.
Symmetrical Catamaran, S/L=0.2
0.012

0.01

0.008
Cv

0.006

0.004

0.002 Cv-EXp
Cv-CFD
0
0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7
Fr
Gambar 6.13 Perbandingan CFD dan Experiment Hambatan
Viskos antara Katamaran simetris pada S/L = 0.2

Gambar 6.13 memperlihatkan hasil simulasi numerik CFD-Ansys


CFX dan eksperimen dari katamaran simetris pada S/L = 0.2. Pada Fr =
0.19, perbedaan hambatan viskos antara CFD dan eksperimen sangat kecil
dengan prosentase perbedaan sebesar 2.6%. Prosentase perbedaan hasil
67
CFD dan eksperimen semakin bertambah besar seiring dengan
penambahan kecepatan yang digunakan yaitu pada Fr = 0.28 menunjukkan
prosentase perbedaan sebesar 3.6%. Pada Fr = 0.37, menunjukkan
prosentase perbedaan yang semakin besar yaitu sebesar 4.2%. Prosentase
perbedaan hasil CFD dan eksperimen semakin besar pada Fr = 0.46 dan Fr
= 0.55 dengan prosentase perbedaan masing-masing adalah 4.8% dan
5.4%. Pada Fr = 0.65, prosentase perbedaan terbesar terjadi antara hasil
CFD dan eksperimen dengan prosentase perbedaan diatara keduanya
adalah sebesar 6.0%.
Symmetrical Catamaran, S/L=0.3
0.012

0.01

0.008
Cv

0.006

0.004

0.002 Cv-EXp
Cv-CFD
0
0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7
Fr
Gambar 6.14 Perbandingan CFD dan Experiment Hambatan
Viskos antara Katamaran simetris pada S/L = 0.3

Gambar 6.14 memperlihatkan hasil simulasi numerik CFD-


ANSYS CFX dan eksperimen katamaran simetris pada S/L = 0.3.
Prosentase perbedaan terkecil antara hasil CFD dan eksperimen terjadi
pada Fr = 0.19 dengan prosentase perbedaan sebesar 2.4%. Prosentase
perbedaan semakin bertambah besar pada Fr = 0.28 dengan penambahan
prosentase perbedaan sebesar 2.9% dari kecepatan sebelumnya.
Penambahan prosentase perbedaan sebesar 4.2% dari prosentase pada Fr
= 0.28 terjadi pada Fr = 0.37 sehingga membuat hasil CFD semakin
bertambah besar dibandingkan dengan hasil eksperimen. Pada bilangan
Froude Fr = 0.46, prosentase perbedaan hasil CFD dan eksperimen
68
katamaran simetris semakin besar dengan prosentase perbedaan diantara
keduanya sebesar 4.7%. Begitu juga pada bilangan Froude Fr = 0.55 dan
Fr = 0.65, prosentase perbedaan antara hasil CFD dan eksperimen semakin
bertambah besar dari variasi kecepatan sebelumnya dengan perbedaan
prosentase masing-masing sebesar 5.5% dan 6.0%.
Symmetrical Catamaran, S/L=0.4
0.012

0.01

0.008
Cv

0.006

0.004

0.002 Cv-EXp
Cv-CFD
0
0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7
Fr
Gambar 6.15 Perbandingan CFD dan Experiment Hambatan Viskos
antara Katamaran simetris pada S/L = 0.4

Gambar 6.15 memperlihatkan hasil simulasi numerik CFD-Ansys


CFX dan eksperimen katamaran simetris pada S/L = 0.4. Prosentase
perbedaan terkecil sebesar 2.1% antara hasil CFD dan eksperimen
hambatan katamaran simetris terjadi pada Fr = 0.19. Pada Fr = 0.28,
prosentase perbedaan sebesar 2.7% terjadi antara asil CFD dan eksperimen
katamaran simetris. Prosentase perbedaan sebesar 4.2% terjadi pada
bilangan Froude 0.37 dari perbandingn hasil CFD dan eksperimen. Pada
bilangan Froude 0.46, prosentase perbedaan semakin bertambah menjadi
4.6% dari perbandingan hasil CFD dan eksperimen katamaran simetris.
Begitu juga pada Fr = 0.55 dan 0.65, prosentase perbedaan hasil CFD dan
eksperimen katamaran simetris semakin bertambah dengan penambahan
masing-masing sebesar 5.4% dan 6.0%.
Interferensi viskos adalah terjadinya peningkatan viskositas fluida
diantara dua lambung demihull karena adanya perubahan tekanan dan

69
penambahan kecepatan aliran akibat pengaruh dua lambung demihull yang
berdekatan.

Analisa Hambatan Gelombang Lambung Katamaran Simetris


Koefisien hambatan gelombang (Cw) semakin besar dengan
bertambahnya jarak pemisah lambung demihull (S/L) pada Fr 0.45-0.85
sebagaimana diperlihatkan pada gambar 6.2. Hal ini penting untuk dikaji
karena pada umumnya kapal katamaran beroperasi pada kecepatan Fr 0.4-
0.7 (Sahoo, 2006).

Symmetrical Hull
0.008
Demi
0.007
Cat S/L 0.2
0.006
Cat S/L 0.3
0.005 Cat S/L 0.4
Cw

0.004
0.003
0.002
0.001
0
0.00 0.20 0.40 0.60 0.80
Fr
Gambar 6.2 Koefisien Hambatan Gelombang (Cw) Lambung Katamaran
Simetris Dengan Variasi S/L

70
2.5 Hambatan Trimaran
Trimaran adalah kapal dengan lambung banyak (multihull), yang
terdiri dari satu lambung utama (mainhull) dan dua lambung sisi (sidehull)

71
yang ukurannya cenderung lebih pendek dan terletak di kedua sisi lambung
utama. Bentuk lambung trimaran adalah pengembangan dari bentuk
lambung tunggal yang bertujuan untuk meningkatkan kecepatan kapal
yang diikuti dengan berkurangnya daya yang dibutuhkan. Investigasi pada
hambatan trimaran telah membuktikan bahwa bentuk lambung trimaran
memiliki hambatan lebih kecil pada kecepatan tinggi jika dibandingkan
dengan lambung trimaran dan lambung tunggal (Murdijanto dkk, 2010 dan
Maynard dkk, 2008).
Dengan adanya cadik atau lambung sisi, memberikan keunggulan
stabilitas dan karakteristik olah gerak kapal trimaran (Gray, 2001).
Penyempurnaan bentuk lambung trimaran terus dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan manusia yang semakin beragam terutama untuk
meningkatkan kecepatan dan efisiensi energi. Salah satu penyempurnaan
kapal trimaran adalah dengan optimalisasi posisi mainhull dan sidehull
sehingga mampu meminimalisir daya yang dibutuhkan dari mesin
penggerak utama dan menemukan performa trimaran yang terbaik dari
aspek hambatan kapal.
Hambatan kapal trimaran diasumsikan sebagai penjumlahan dari
beberapa komponen yang saling tidak bergantung (independent) agar
mudah memecahkan masalah hambatan lambung kapal dan pengaruh
jarak antara lambung (hull clearance).
Metode yang digunakan pada pengujian lambung kapal yang
konvensional yaitu dengan membagi hambatan pada beberapa komponen
yang didasarkan pada pengukuran total hambatan dari pengujian model
dengan mengestimasi hambatan gesek (friction) dari formula empiris,
atau pengukuran lansung pada komponen- komponen hambatannya.
Kedua metode tersebut untuk mengidentifikasi komponen-komponen
dan asumsi-asumsi yang terkait.

RT = 2RTSidehull + RTMainhull (2.20)

Pemisahan hambatan pada beberapa komponen adalah berdasarkan


prinsip momentum pada sebuah model kapal di tangki uji yang
diformulasikan untuk mendapatkan ekspresi konfigurasi gelombang yang
ditimbulkan (wave pattern) dan hambatan wake transverse.
72
Efek interferensi antara lambung yang mana memodifikasi
komponen hambatan pada konfigurasi lambung kapal trimaran
diuraikan oleh Dubrovsky dan Lyakhovitsky (2001) dan metode
pengukuran langsung untuk menghitung hambatan kapal trimaran.
Perhitungan hambatan kapal trimaran mengadopsi metode hambatan
kapal lambung tunggal (monohull) dengan memasukkan faktor
interferensi hambatan sebagai berikut:

RT = 3RTHull + ∆RTV + ∆RTW


(2.21)

RT = 3RTHull + Rinterfernce (2.22)

Dimana ∆RTV and ∆RTW dikelompokkan sebagai interensi hambatan


atau adanya perubahan hambatan karena adanya efek interfensi.

2.5.1 Geometri
Konfigurasi geometri model uji yang digunakan adalah bentuk
lambung simetris (symetrical hull), dengan beberapa variasi jarak antara
lambung (secara melintang) dan Displamen yang sama, seperti yang
terlihat pada Gambar 3.10

Gambar 2.19 Konfigurasi Kapal Trimaran Body Plan Kapal Trimaran


73
(a) Mainhull (b) Sidehull

Batasan bilangan Froude (Fr) yang dikaji adalah antara 0.15 – 0.27
untuk mengetahui dan memprediksi secara sistemanis fenomena
interferensi gelombang dan viskos. Nilai bilangan Froude 0.15 – 0.27
dianggap ideal karena kapal displacement trimaran dapat dioperasikan
secara optimal pada Fr = 0.21

2.5.2 Metode Pendekatan Perhitungan


2.5.2.1 Perhitungan Hambatan Trimaran dengan pendekatan CFD
Pembuatan model dan meshing dilakukan pada ANSYS design
model (ICEM). Penyelidikan secara numerik (CFX) dimulai dengan
Preprocessing yang meliputi inisialisasi boundary condition, pemilihan
model, pemilihan jenis fluida dan struktur. Langkah berikutnya adalah
tahap pemilihan solver. Tujuan yang ingin didapatkan dalam simulasi
numerik ini adalah mendapatkan gaya/ hambatan pada lambung kapal
dan fenomena interferensi hambatannya dengan mengetahui kecepatan
aliran di sekitar lambung dan perubahan tekanan di antara lambungnya
dengan memberikan variasi jarak antara lambung (S/L).
Pada simulasi akan diketahui besarnya komponen hambatan yang
bekerja pada lambung trimaran. Simulasi free-surface modelling (pada
media air dan udara) digunakan untuk menghitung besar hambatan total
pada lambung. Dinding (wall) untuk domain fluida pada kondisi free slip
yaitu shear stress pada dinding bernilai nol dan kecepatan di dekat
dinding tidak mengalami perlambatan akibat efek gesekan dinding.
Pada simulasi ini, model dibuat dengan kondisi no-slip (yaitu terjadi
gesekan di permukaan model). Sedangkan untuk menghitung hambatan
viskos, lambung kapal dibenamkan (pada media air) hingga pada sarat air
dengan mengasumsikan kondisi batas atas (top boundary condition)
adalah solid wall dan free slip. Kemudian hambatan gelombang dapat
dihitung dari selisih nilai hambatan total dan hambatan viskos.
Selanjutnya dilakukan analisa dan evaluasi data hasil numerik
dan dibandingkan dengan hasil pengukuran eksperimen. Kemudian,
melakukan kajian besarnya nilai faktor interferensi hambatan viskos,
yang terdiri dari faktor perubahan tekanan di sekitar lambung (ø) dan
74
faktor perubahan kecepatan aliran (σ) diantara lambung kapal dengan
memberikan variasi jarak antara lambung trimaran (S/L).
Program CFD terdiri dari 4 (empat) elemen utama :
1. ICEM CFD,yang merupakan desain geometri dan meshing.
2. CFX-pre,adalah boundary condition dan Spesific parameter.
3. Solver,adalah proses iterasi
4. CFX-post, adalah proses analisa.
ICEM CFD : penggambaran geometri model, yaitu kumpulan
point yang membentuk curve dan membentuk surface, kemudian proses
meshing.
CFX Pre Processor (CFX build): awal pemprograman terdiri
dari input masalah aliran untuk CFD melalui interface. Input meliputi
: geometri benda, membentuk grid generation, penentuan sifat-sifat
fluida seperti densitas, viskositas, temperatur fluida. Kemudian analisa
masalah aliran: kecepatan, tekanan didefinisikan sebagai suatu daerah
yang berupa simpul-simpul tiap cell. Jumlah cell dalam grid (mesh)
menentukan akurasi penyelesaian CFD.
Solver (penyelesaian perhitungan): metode numerik solver tersebut
terdiri dari perkiraan variabel yang tidak diketahui dengan
menggunakan fungsi sederhana, diskretisasi dengan substitusi
perkiraan-perkiraan tersebut dengan persamaan aliran.
Post Processor : ditampilkan hasil perhitungan yang telah dilakukan
pada tahap sebelumnya, hasil perhitungan dapat dilihat berupa data
numerik dan data visual aliran fluida pada model. Pada proses validasi
ada beberapa parameter penting yang dipertimbangkan yaitu grid
(mesh), convergence, data hasil eksperimen.

1. Convergence
Tahap ini, proses iterasi perhitungan akan selalu dikontrol dengan
persamaan pengendali. Jika hasil perhitungan belum sesuai dengan
tingkat kesalahan yang ditentukan, maka komputasi akan terus
berjalan. Berikut beberapa grafik RMS yang menunjukkan konvergensi
proses iterasi, sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 2.20

75
Gambar 2.20. Konvergensi proses iterasi pada CFD

Kriteria root-mean square (RMS) yang digunakan untuk


mengecek konvergensi simulasi free surface adalah dengan residual
target value (variable value) mencapai 10-5. Target criteria (variable
value) ini banyak diaplikasi pada komputasi engineering, sebagaimana
yang direkomendasikan dalam ANSYS ICEM manual (2007) dan
Dinham dkk (2008).

2. Grid Independence
Besarnya jumlah cell atau grid yang digunakan dalam
perhitungan akan menentukan keakurasian hasil yang diperoleh karena
jumlah cell mempengaruhi perubahan bentuk geometri pada saat
pemprosesan hasil. Gambar 2.21 memperlihatkan initial computational
domain. Batas Boudary di bagian depan lambung berjarak hingga 1.5
panjang model lambung, di bagian belakang lambung berjarak 4 kali
panjang lambung. Kemudian kesamping berjarak 1.5 kali panjang model,
dan jarak di atas 2.5 kali panjang model serta di bawah 2 kali
panjang model lambung. Jarak tersebut sudah cukup memadai untuk
menghindari blockage effect (Utama, 1999; Ahmed dan Soares, 2009).
Komputasi untuk mesh digunakan (multiphase flow calculations) terdiri
dari 1.582.580 mesh elements trimaran seperti yang disajikan pada Tabel
2.5.

76
Gambar 2.21 Initial computational domain pada CFD

Gambar 2.22 Meshing hull pada CFD

Tabel 2.5 Katerakteristik jumlah mesh dan node

Kualitas atau jumlah mesh grid merupakan hal mendasar untuk


convergency dan keakurasian simulasi/komputasi CFD. Kualitas dan
nilai grid didiskusikan secara detail oleh Thompson dkk (1999) dan
Deng dkk (2010). Jumlah elemen mesh, 1582.580 untuk lambung
trimaran adalah cukup optimal dan akurat, dimana jumlah elemen yang
digunakan pada komputasi menunjukkan bahwa kondisi yang ‘grid
independence’ sebagaimana yang diperlihatkan pada Gambar 2.23 dan
Tabel 2.6. Nilai hambatan (resistance) untuk jumlah elemen mesh (grid)
1.582.580 dan 2.875.830 adalah konstan dan sama. Sehingga dapat
77
dikatakan bahwa jumlah mesh 1.582.580 yang dipilih dalam komputasi
CFD telah memenuhi tingkat keakurasian yang cukup baik.

Gambar 2.23 Grid independence pada CFD

Tabel 2.6 Grid independence pada CFD

Untuk komputasi dan simulasi, digunakan model turbulensi SST


(Shear Stress Transport), (Menter, 1993 dan 1994). Model turbulensi SST
telah divalidasi dalam sejumlah studi/riset (Bardina dkk. 1997;
Swennberg, 2000) yang dianggap sebagai model yang paling akurat
untuk berbagai aplikasi aliran. Model turbulen ini memecahkan turbulensi
berbasis (k-ω) pada dinding-dinding dan turbulensi berbasis (k-ε) pada
aliran massal.
Koefisien hambatan total, viskos dan gelombang dari hasil
komputasi program (CFD) ANSYS CFX ditunjukkan pada tabel 4.7
– 4.9 dan diperlihathan pada gambar 4.11 – 4.12 untuk lambung
simetris (symmetrical trimaran) yang dipresentasikan pada sub-bab
berikut ini.
78
Tabel 4.7. Koefisien hambatan total (CFD)
Lambung
Fr Trimaran S/L = 0,2Trimaran
S/L = 0,3 S/L = 0,4 S/L = 0,5
-3
Hull (x10 ) (x10-3) (x10-3) (x10-3)
-3
0,15 (x10
4,170) 4,491 4,391 4,291 4,120
0,17 4,158 4,848 4,648 4,648 4,288
0,19 4,423 5,258 5,003 4,803 4,623
0,21 5,035 5,965 5,446 5,265 5,135
0,23 5,608 6,295 6,195 5,947 5,508
0,25 5,801 6,443 6,393 6,293 5,901
0,27 5,765 6,653 6,533 6,333 5,965

Tabel 4.8. Koefisien hambatan viskos (CFD)


Lambung
Fr Trimaran S/L = 0,2Trimaran
S/L = 0,3 S/L = 0,4 S/L = 0,5
-3
Hull (x10 ) (x10-3) (x10-3) (x10-3)
-3
0,15 (x10
3,85) 4,201 4,101 4,001 3,901
0,17 1
3,73 4,110 4,010 3,910 3,810
0,19 1
3,65 4,008 3,908 3,808 3,708
0,21 1
3,58 3,908 3,808 3,708 3,608
0,23 8
3,57 3,851 3,751 3,651 3,591
0,25 0
3,55 3,806 3,706 3,606 3,576
0,27 1
3,56 3,795 3,695 3,595 3,543
0

79
Gambar 4.11. Koefisien hambatan total kapal trimaran dengan
variasi jarak antar lambung

Gambar 4.12. Koefisien hambatan viskos kapal trimaran


dengan variasi jarak antar lambung
Tabel 4.9. Koefisien hambatan Gelombang (CFD)
Lambung
Trimaran
80
Fr Trimaran S/L = 0,2 S/L = 0,3 S/L = 0,4 S/L = 0,5
Hull (x10-3) (x10-3) (x10-3) (x10-3)
-3
0,15 (x10
0,31) 0,290 0,290 0,290 0,219
0,17 9
0,42 0,738 0,638 0,738 0,478
0,19 7
0,77 1,251 1,095 0,995 0,916
0,21 2
1,44 2,057 1,639 1,557 1,528
0,23 8
2,03 2,444 2,444 2,296 1,917
0,25 8
2,25 2,637 2,687 2,687 2,324
0,27 0
2,20 2,857 2,837 2,737 2,422
Bentuk5 lambung yang pipih atau thin ship hull (L/B>>), kontribusi
hambatan viskos lebih besar dari pada hambatan gelombang terhadap
total hambatan. Hambatan viskos (yang didominasi hambatan gesek)
bertambah seiring dengan dengan bertambahnya panjang lambung
kapal, Tuck dan Lazauskas (1996). Dengan pertambahan panjang atau
luas bidang basah maka gaya gesek permukaan-pun akan bertambah.
Sedangkan untuk hambatan gelombang, umumnya, menjadi kecil dengan
pertambahan panjang lambung kapal (untuk displasmen yang tetap).

4.1.4 Perbandingan Koefisien Komponen Hambatan pada


Trimaran
Koefisien komponen hambatan trimaran simetris pada konfigurasi
jarak lambung secara melintang (S/L). Untuk konfigurasi trimaran
lambung S/L=0.2, S/L=0.3, S/L=0.4 dan S/L=0.5 dipresentasikan
secara berurutan pada Gambar 4.12 sampai Gambar 4.23.
Gambar 4.13 memperlihatkan bahwa pad Trimaran denga S/L=0,2
hambatan viskos lebih besar (dominan) dari pada hambatan gelombang
pada Fr<0.27. Hal ini disebabkan jarak hull yang cukup dekat sehingga
fluida antar hull yang mengenai hull kapal akan dipantulkan ke hull yang
lain yang berada dalam aliran dalam. Besaran selesih koefisien viskon
kapal ditunjukkan pada tabel 4.10.

81
Gambar 4.13. Koefisien komponen hambatan trimaran, S/L=0.2 (CFD)

Gambar 4.14 Interferensi viskos Trimaran S/L = 0,2

82
Gambar 4.15 Interferensi Gelombang Trimaran S/L = 0,2

Tabel 4.10 Koefisien Hambatan Kapal Trimaran S/L=0,2


Trimaran Hull Lambung Trimaran S/L = 0,2
Fr CT (x10-3) CT (x10-3) CV (x10-3) CW (x10-3)
0,15 4,170 4,491 4,201 0,290
0,17 4,158 4,848 4,110 0,738
0,19 4,423 5,258 4,008 1,251
0,21 5,035 5,965 3,908 2,057
0,23 5,608 6,295 3,851 2,444
0,25 5,801 6,443 3,806 2,637
0,27 5,765 6,653 3,795 2,857

Komponen Koefesien Hambatan Trimaran dengan S/L = 0,3


ditunjukkan pada Gambar 4.16. Koefesien hambatan Viskos sangat
dominan pada Fr <0,22 selanjutnya pada S/L>0,22 Koefisien hambatan
gelombang mulai meningkat, akan tetapi besaran koefisien hambatan
viskos lebih dominan pada S/L<0,27. Hal ini ditunjukkan pada tabel 4.11.
Pada gambar 4.17 dan 4.18 menunjukkan interferesi viskos yang lebih
dominan dari pada interferensi hambatan.

83
Gambar 4.16. Koefisien komponen hambatan trimaran, S/L=0.3 (CFD)

Gambar 4.17 Interferensi Viskos Trimaran S/L = 0,3

84
Gambar 4.18 Interferensi Gelombang Trimaran S/L = 0,3

Tabel 4.11 Koefisien Hambatan Kapal Trimaran S/L=0,3


Trimaran Hull Lambung Trimaran S/L = 0,2
Fr CT (x10-3) CT (x10-3) CV (x10-3) CW (x10-3)
0,15 4,170 4,391 4,101 0,290
0,17 4,158 4,648 4,010 0,638
0,19 4,423 5,003 3,908 1,095
0,21 5,035 5,446 3,808 1,639
0,23 5,608 6,195 3,751 2,444
0,25 5,801 6,393 3,706 2,687
0,27 5,765 6,533 3,695 2,837

Gambar 4.19 menunjukkan komponen koefisien hambatan pada


trimaran dengan S/L = 0,4. Pada Fr < 0,19 menunjukkan komponen Cv
dan C T memiliki selisih harga yang cukup kecil. Hal ini dikarenakan
gelombang yang terbentuk cukup kecil sehingga harga CW juga kecil.
Sedangkan, pada Fr > 0,19 menunjukkan selesih CT dan Cv yang mulai
bertambah besar. Hal ini disebabkan dengan bertambahnya kecepatan
mengakibatkan adanya gelombang. Dengan adanya gelombang akibat
meningkatnya kecepatan maka harga Cw juga meningkat. Pada Gambar
4.20 dan 4.21 menyajikan interferensi viskos dan interferensi gelombang
yang terjadi pada trimaran dengan S/L = 0,4. Interferensi yang terjadi

85
pada trimaran S/L=0,4 tampak mulai berkurang hal ini dapat dilihat
pada tabel 4.12.

Gambar 4.19 Koefisien komponen hambatan trimaran, S/L=0.4 (CFD)

Gambar 4.20 Interferensi Viskos Trimaran S/L = 0,4

86
Gambar 4.21 Interferensi Gelombang Trimaran S/L = 0,4

Tabel 4.12 Koefisien Hambatan Kapal Trimaran S/L=0,4


Trimaran Hull Lambung Trimaran S/L = 0,2
Fr CT (x10-3) CT (x10-3) CV (x10-3) CW (x10-3)
0,15 4,170 4,291 4,001 0,290
0,17 4,158 4,648 3,910 0,738
0,19 4,423 4,803 3,808 0,995
0,21 5,035 5,265 3,708 1,557
0,23 5,608 5,947 3,651 2,296
0,25 5,801 6,293 3,606 2,687
0,27 5,765 6,333 3,595 2,737

Peningkatan CT yang terjadi pada trimaran S/L = 0,5


disajikan pada gambar 4.22, dimana pada Fr < 0,19 belum terjadi
peningkatan C T secara signifikan. Sendangkan pada Fr > 0,19
peningkatan harga C T cukup besar sedangkan harga Cv relatif stabil
sehinggga selisih antara CT dan Cv meningkat dan cukup besar. Gambar
4.23 dan gambar 4.24 menunjukkan pengaruh interferensi viskos dan
interferensi gelombang yang mulai berkurang. Hal ini disebabkan
karena jarak antar hull yang cukup lebar. Efek interferensi yang terjadi
pada trimaran S/L = 0,5 di tunjukkan pada tabel 4.13. Interferensi

87
yang terjadi antar hull pada trimaran S/L = 0,5 cukup kecil yaitu terjadi
peningkatan hambatan total rata–rata sebesar 1,66%.

Gambar 4.22. Koefisien komponen hambatan trimaran, S/L=0,5 (CFD)

Gambar 4.23 Interferensi Viskos Trimaran S/L = 0,5

88
Gambar 4.24 Interferensi Gelombang Trimaran S/L = 0,5

Tabel 4.13 Koefisien Hambatan Kapal Trimaran S/L=0,5


Trimaran Hull Lambung Trimaran S/L = 0,2
Fr CT (x10-3) CT (x10-3) CV (x10-3) CW (x10-3)
0,15 4,170 4,120 3,901 0,219
0,17 4,158 4,288 3,810 0,478
0,19 4,423 4,623 3,708 0,916
0,21 5,035 5,135 3,608 1,528
0,23 5,608 5,508 3,591 1,917
0,25 5,801 5,901 3,576 2,324
0,27 5,765 5,965 3,543 2,422

2.5.2.2 Perhitungan Hambatan Trimaran dengan Pengujian


Model uji diuji dengan konfigurasi jarak antara lambung yang
bervariasi secara melintang (S/L). Pengujian hambatan lambung trimaran
dilakukan di kolam uji hidrodynamika (towing tank) Fakultas Teknologi
Kelautan-ITS pada kecepatan Froude (Fr) hingga 0.27, dengan tiga
konfigurasi jarak lambung yang berbeda pada arah melintang (clearance,
S/L). Program pengujian pada model lambung diperlihatkan pada Tabel
4.1.
Rasio S/L menggambarkan rasio jarak antara kedua lambung
(terhadap garis tengah lambung) dan panjang lambung. Model uji
89
dilengkapi dengan alat ukur ‘load cell transducer’ untuk mengukur besar
(gaya) hambatan. Posisi alat tersebut terletak ditengah (center line) model
kapal dan diatas garis base line (0,45*T), serta model dapat bergerak
vertikal (pitch dan heave) secara bebas.
Analisa koefisien hambatan untuk kedua bentuk lambung dihitung
berdasarkan Persamaan:

(2.23)
di mana:
ρ: massa jenis air (1000 kg/m3 ),
V: kecepatan kapal dan
WSA: luas bidang basah lambung kapal.
Model diuji dengan konfigurasi jarak antara lambung yang
bervariasi secara melintang (S/L) Pengujian hambatan lambung trimaran
dilakukan di kolam uji hidrodinamika (towing tank) Fakultas Teknologi
Kelautan-ITS pada kecepatan Froude (Fr) hingga 0.27 dengan tiga
konfigurasi jarak lambung yang berbeda pada arah melintang (clearance,
S/L).
Program pengujian pada model lambung diperlihatkan pada Tabel
2.20. Rasio S/L menggambarkan rasio jarak antara kedua lambung
(terhadap garis tengah main hull).
Tabel 2.20Program pengujian
Kondisi Uji Model Uji Clearance (S/L)
Fn: 0.15, 0.17, 0.19, 0.21, Trimaran 0.2, 0.3, 0.4, 0.5
0.23, 0.25, 0.27

Model uji dilengkapi dengan alat ukur ‘load cell transducer’ untuk
mengukur besar (gaya) hambatan. Posisi alat tersebut terletak ditengah
(center line) model kapal dan model dapat bergerak vertikal (pitch dan
heave) secara bebas.
Efek interaksi antara kedua lambung pada arah melintang (S/L)
sangat berpengaruh terhadap hambatan. Semakin kecil jarak antara
lambung (S/L) maka semakin besar hambatan yang terjadi

90
Hasil perhitungan Hambatan dan Seakeeping kapal trimaran dengan
variasi S/L=0,2 – 0,5 pada kecepatan Fr=0,15 – 0,27 akan dilakukan
perbandingan untuk memperoleh hasil yang valid. Perbandingan yang
dilakukan adalah dengan membandingan hasil perhitungan melalui
pendekatan CFD dan uji fisik.

5.3 Komponen Hambatan Viskos dan Hambatan Gelombang


Fenomena hump hambatan tersebut terjadi karena timbulnya
gelombang pecah (wave breaking) dan pengaruh transom (Insel dan
Molland, 1992). Setelah melewati hump hambatan, secara drastis
gelombang pecah akan mengecil dan bahkan hilang karena bentuk
lambung yang pipih (slenderness). Semakin kecil jarak antara lambung
(S/L), maka semakin besar koefisien hambatan gelombang yang
ditimbulkannya. Hasil tersebut sama dengan hasil pengujian yang
dilakukan oleh Moraes dkk. (2004) untuk lambung trimaran
Pembahasan komponen hambatan viskos pada lambung trimaran,
tidak terlepas dari pengaruh aliran tidak simetris (asymmetrical flow)
disekitar hull-nya. Aliran tidak simetris tersebut timbul akibat perbedaan
kecepatan aliran, sarat air (lambung yang terbenam) dan luas bidang basah
antara hull. Hasil hambatan viskos diperlihatkan pada Gambar 6.6.
Komponen hambatan gelombang, dari pengamatan selama
pengujian model di towing tank, terlihat bahwa tinggi elevasi gelombang
diantara lambung pada kecepatan rendah memperlihatkan gelombang
timbul akibat terjadinya distorsi dua sistim gelombang dipermukaan yang
berasal dari depan (bow) lambung kapal. Bila kecepatan bertambah,
gelombang depan dari masing-masing hull bertemu ditengah (centerline)
lambung trimaran yang membentuk dua atau tiga bukit (cusps) gelombang
yang bergerak kearah belakang dengan makin meningkatnya kecepatan
(atau makin melebarnya jarak antara lambung).
Sahoo dkk (2006) menyatakan bahwa energi yang ditimbulkan
oleh gelombang tersebut berbanding lurus dengan kwadrat amplitude
gelombang, ini dapat diartikan bahwa, dengan konfigurasi lambung yang
sederhana, energi gelombangnya meningkat empat kali dan konsekwensi
tersebut dapat meningkatkan hambatan gelombang.

91
5.4 Pengaruh Konfigurasi Jarak Lambung Secara Melintang (S/L)
Efek interaksi antara kedua lambung pada arah melintang (S/L)
sangat berpengaruh untuk lambung simetris dari pada lambung tak
simetris. Koefisien hambatan total (CT) untuk lambung simetris lebih
besar. Hasil Pengujian juga memperlihatkan bahwa semakin kecil jarak
antara lambung trimaran (S/L) maka semakin besar hambatan yang terjadi.
Fenomena ini timbul karena adanya efek interaksi viskos dan gelombang
diantara kedua lambung tersebut (Caprio dkk, 2007). Zaraphonitis dkk
(2001) menyatakan bahwa jarak pemisahan lambung antara hull (S/L)
adalah sangat krusial akan terjadinya interaksi gelombang timbul (wave
making) yang saling berlawanan dari depan (bow) dan menjalar
kebelakang (stern) kapal. Namun dengan jarak dan kecepatan tertentu,
efek interaksi gelombang dapat negatif (menguntungkan) dimana
hambatan gelombang yang ditimbulkan menjadi lebih kecil.
Pada Fr < 0.3, untuk lambung trimaran memperlihatkan hambatan
yang lebih besar dari pada hambatan hull yang dihitung secara terpisah
untuk jarak lambung (S/L) yang diuji. Fenomena tersebut terjadi karena
pada bilangan Fr tersebut luas bidang basah (wetted surface area)
meningkat akibat adanya interferensi antara kedua lambung (Moraes,
2004)

5.5 Diskusi Hasil Komputasi CFD dan Pengujian


5.5.1 Komponen Hambatan Total
Gambar 2.24 – 2.27 dan Tabel 2.21 – 2.24 memperlihatkan
perbandingan hasil perhitungan secara Numerik (CFD) dengan hasil
penelititian Pengujian . Dari hasil analisa dan evaluasi menunjukkan
bahwa antara hasil teori dan Pengujian memperlihatkan trend kurva yang
konsisten. Perbandingan hasil komputasi (CFD-ANSYCFX) dan
Pengujian (towing tank) memperlihatkan nilai total hambatan yang hampir
sama dengan perbedaan hasil yang sangat kecil.
Sedangkan hasil slender body method dibandingkan dengan hasil
Pengujian memperlihatkan perbedaan yang tidak siknifikan pada
kecepatan rendah Fr< 0.3.

92
Gambar 2.24 Perbandingan Koefisien Hambatan Total S/L = 0,2

Gambar 2.25 Perbandingan Koefisien Hambatan Total S/L = 0,3

93
Gambar 2.26 Perbandingan Koefisien Hambatan Total S/L = 0,4

Gambar 2.27 Perbandingan Koefisien Hambatan Total S/L = 0,5

Hasil CFD dibandingkan Pengujian di towing tank (present study)


menunjukkan trend yang sama (good agreement) pada kecepatan atau
bilangan Froude yang diuji. Nilai total hambatan dari kedua hasil
Pengujian tersebut cenderung berbeda karena rasio model yang digunakan
memiliki perbedaan (Molland dkk, 1994).
94
Tabel 2.21 Perbandingan Koefisien Hambatan Total pada S/L = 0,2
Hambatan Lambung Trimaran
S/L=0,2 Selisih
Fr -3
x10 %
CFD Eksprimen
0,15 4,491 4,502 0,235
0,17 4,847 5,169 4,552
0,19 5,258 5,375 2,171
0,21 5,964 5,862 1,754
0,23 6,294 6,557 4,001
0,25 6,442 6,681 3,562
0,27 6,652 6,792 2,049

Tabel 2.22 Perbandingan Koefisien Hambatan Total pada S/L = 0,3


Hambatan Lambung Trimaran
S/L=0,3 Selisih
Fr -3
x10 %
CFD Eksprimen
0,15 4,391 4,490 2,193
0,17 4,747 5,108 8,144
0,19 5,002 5,246 4,639
0,21 5,446 5,605 2,822
0,23 6,194 6,288 1,478
0,25 6,392 6,581 2,856
0,27 6,532 6,728 2,909

Tabel 2.23 Perbandingan Koefisien Hambatan Total pada S/L = 0,4


Hambatan Lambung Trimaran
Selisih
Fr S/L=0,4
%
x10-3

95
CFD Eksprimen
0,15 4,291 4,386 2,149
0,17 4,647 5,079 9,006
0,19 4,802 5,225 8,077
0,21 5,264 5,456 3,505
0,23 5,947 5,977 0,491
0,25 6,292 6,192 0,311
0,27 6,332 6,546 3,263

Tabel 2.24 Perbandingan Koefisien Hambatan Total pada S/L = 0,5


Hambatan Lambung Trimaran
S/L=0,5 Selisih
Fr
x10-3 (N) %
CFD Eksprimen
0,15 4,119 4,383 5,993
0,17 4,488 4,847 7,403
0,19 4,623 4,997 7,478
0,21 5,135 5,162 0,518
0,23 5,507 5,577 1,238
0,25 5,900 6,058 2,599
0,27 5,964 6,192 3,664

5.5.2. Komponen Hambatan Viskos


Dari Gambar 2.28– 2.31 dan Table 2.25- 2.28 memperlihatkan
bahwa terjadi perbedaan antara hasil perhitung Numerik dengan hasil
Pengujian (present study), dimana hasil Pengujian rata-rata lebih besar
hingga 6%. Pada metode numerik, hambatan viskos adalah konstan
disebabkan oleh nilai form faktor yang konstant dan belum
mempertimbangkan adanya ganguan lingkungan.

96
Gambar 2.28 Perbandingan Koefisien Viskos S/L = 0,2

Gambar 2.29 Perbandingan Koefisien Viskos S/L = 0,3

97
Gambar 2.30 Perbandingan Koefisien Viskos S/L = 0,4

Gambar 2.31 Perbandingan Koefisien Viskos S/L = 0,5

Bentuk lambung yang pipih memberikan kontribusi hambatan


viskos lebih besar dari pada hambatan gelombang terhadap total hambatan.
Hambatan viskos (yang didominasi hambatan gesek) bertambah seiring
dengan dengan bertambahnya panjang lambung kapal. Dengan
pertambahan panjang atau luas bidang basah maka gaya gesek permukaan-

98
pun akan bertambah.Sedangkan untuk hambatan gelombang, umumnya,
menjadi lebih kecil dengan pertambahan panjang lambung kapal (untuk
displasmen yang tetap), Tuck dan Lazauskas (1996)

Tabel 2.25 Perbandingan Koefisien Hambatan Viskos pada S/L = 0,2


Hambatan Lambung Trimaran S/L=0,2
Selisih
Fr x10-3
%
CFD Eksprimen
0,15 3,111 3,405 8,521
0,17 3,113 3,365 7,322
0,19 3,103 3,312 6,163
0,21 3,139 3,280 4,221
0,23 3,138 3,256 3,456
0,25 3,151 3,239 2,613
0,27 3,074 3,197 3,777

Tabel 2.26 Perbandingan Koefisien Hambatan Viskos pada S/L = 0,3


Hambatan Lambung Trimaran S/L=0,3
Selisih
Fr x10-3
%
CFD Eksprimen
0,15 3,211 3,403 5,581
0,17 3,213 3,364 4,346
0,19 3,203 3,311 3,140
0,21 3,239 3,279 1,170
0,23 3,238 3,254 0,380
0,25 3,220 3,237 0,476
0,27 3,174 3,196 0,647

Tabel 2.27 Perbandingan Koefisien Hambatan Viskos pada S/L = 0,4


Hambatan Lambung Trimaran
Selisih
Fr S/L=0,4
%
x10-3

99
CFD Eksprimen
0,15 3,311 3,402 2,641
0,17 3,313 3,363 1,369
0,19 3,303 3,309 0,116
0,21 3,215 3,278 1,880
0,23 3,163 3,252 2,695
0,25 3,120 3,236 3,566
0,27 3,116 3,195 2,481

Tabel 2.28 Perbandingan Koefisien Hambatan Viskos pada S/L = 0,5


Hambatan Lambung Trimaran
S/L=0,5 Selisih
Fr -3
x10 %
CFD Eksprimen
0,15 3,390 3,401 0,298
0,17 3,305 3,361 1,606
0,19 3,211 3,308 2,906
0,21 3,115 3,276 4,931
0,23 3,103 3,251 4,541
0,25 3,090 3,235 4,493
0,27 3,064 3,193 4,109

5.5.3. Komponen Hambatan Gelombang


Hasil koefisien hambatan gelombang (CW) pada Gambar 2.32-2.35
dan Table 2.29 – 2.32 memperlihatkan bahwa terjadi perbedaan tidak
siknifikan antara hasil prediksi numerik dengan hasil Pengujian (present
study), dimana hasil eksperimna lebih besar rata-rata 5% dari prediksi
numerik.

100
Gambar 2.32 Perbandingan Koefisien Gelombang S/L = 0,2

Gambar 2.33 Perbandingan Koefisien Gelombang S/L = 0,3

101
Gambar 2.34 Perbandingan Koefisien Gelombang S/L = 0,4

Gambar 2.35 Perbandingan Koefisien Gelombang S/L = 0,5

Sedangkan hasil perhitungan Numerik dan hasil Pengujian


memperlihatkan perbedaan yang tidak siknifikan. Hambatan gelombang
oleh CFD lebih kecil dari pada Pengujian disebabkan karena model

102
lambung trimaran pada model CFD memiliki keterbatasan meshing dan
pada pengujian terdapat faktor lingkungan yang perlu diperhitungkan lebih
teliti

Tabel 2.29 Perbandingan Koefisien Hambatan Gelombang pada S/L =


0,2
Hambatan Lambung Trimaran
S/L=0,2 Selisih
Fr -3
x10 %
CFD Eksprimen
0,15 0,967 0,950 1,813
0,17 1,756 1,906 7,870
0,19 2,085 2,163 3,601
0,21 2,816 2,680 5,044
0,23 3,156 3,399 7,150
0,25 3,291 3,539 6,991
0,27 3,578 3,681 2,811

Tabel 2.30 Perbandingan Koefisien Hambatan Gelombang pada S/L =


0,3
Hambatan Lambung Trimaran
S/L=0,3 Selisih
Fr -3
x10 %
CFD Eksprimen
0,15 0,921 0,942 2,236
0,17 1,694 1,846 8,237
0,19 1,913 2,035 6,013
0,21 2,297 2,425 5,271
0,23 3,056 3,132 2,413
0,25 3,272 3,441 4,899
0,27 3,428 3,620 5,305

103
Tabel 2.31 Perbandingan Koefisien Hambatan Gelombang pada S/L =
0,4
Hambatan Lambung Trimaran
S/L=0,4 Selisih
Fr
x10-3 %
CFD Eksprimen
0,15 0,906 0,922 1,827
0,17 1,456 1,518 4,099
0,19 1,786 1,815 1,598
0,21 2,079 2,278 8,721
0,23 2,784 2,823 1,372
0,25 3,172 3,173 0,039
0,27 3,227 3,238 0,351

Tabel 2.32 Perbandingan Koefisien Hambatan Gelombang pada S/L =


0,5
Hambatan Lambung Trimaran
S/L=0,5 Selisih
Fr -3
x10 %
CFD Eksprimen
0,15 0,911 0,915 0,456
0,17 1,023 1,107 7,597
0,19 1,356 1,488 8,883
0,21 2,019 1,984 1,757
0,23 2,514 2,625 4,207
0,25 2,820 2,921 3,461
0,27 2,761 2,985 7,522

Analisa wave pattern yang digunakan untuk menghitung wave


pattern resistance mengasumsikan bahwa gelombang adalah linear.
Semua energi yang dihasilkan dari surface wave akan ditransformasikan
ke arah melintang bagian kapal (Couser dkk, 1997).

104
Terjadinya wave breaking pada sekitar lambung membuat asumsi ini
underestimate dalam perhitungan komponen hambatan gelombang. Untuk
mengukur wave breaking secara lansung adalah suatu hal yang sangat
sulit/kompleks dilakukan, bagaimanapun hal ini hanya dapat diobservasi
dengan pengamatan visual. Wave breaking terjadi pada daerah depan
lambung (bow) bila jarak antara lambung trimaran sangat dekat.
Dengan asumsi di atas, maka hambatan akibat gelombang dapat
diperhitungkan hingga 5% - 21% dari hambatan total yang diakibatkan
oleh wave breaking (Couser dkk, 1997). Sehingga, hambatan wave
breaking kecil (tidak begitu siknifikan) pengaruhnya terhadap total
hambatan lambung kapal.
Kemudian dengan lambung yang memiliki transom stern akan
memungkinkan terjadinya tekanan yang sangat rendah (large low pressure
area) di daerah belakang transom, yang mengakibatkan transom
mengalami ‘atmospheric’ bukan ‘stagnation pressure’. Hal tersebut yang
menyebabkan terjadinya spray dan breaking. Dengan fenomena ini maka
hambatan tekan (pressure resistance) yang dihitung berdasarkan
pengukuran ‘wave pattern’ akan terjadi ‘underestimate’. Pernyataan ini
juga sama dengan hasil penelitian (Pengujian) Insel (1990) yang
menunjukkan bahwa nilai hambatan viskos [(1+βk) CF] adalah tidak sama
dengan (CT - CWP) pada lambung trimaran.
Hasil Pengujian oleh Couser dkk (1998) bahwa CW (dari estimasi,
CW= CT – (1+k) CF) adalah tidak sama dengan CWP, dimana hambatan
gelombang (wave pattern) CWP lebih kecil dibanding dengan CW. Lebih
praktis dan rasional mengestimasi CW dari persamaan CT= (1+k) CF + CW,
dimana CT dan form factor (k) yang diperoleh melalui pengukuran pada
Pengujian

5.6 Interferensi Komponen Hambatan


Nilai faktor interferensi komponen hambatan untuk lambung
trimaran terhadap variasi perubahan jarak antara lambung (S/L), dihitung
berdasarkan persaaman tersebut di bawah ini.

Interferensi hambatan viskos:

105
𝐶𝑉𝑇𝑅𝐼𝑀
𝐼𝐹𝑉𝐼𝑆𝐾𝑂𝑈𝑆 = 𝐶 (2.24)
𝑉𝑇𝑅𝐼𝑀𝐼𝑁𝐷𝐸𝑃𝐸𝑁𝐷𝐸𝑁𝑇

Interferensi hambatan gelombang:

𝐶𝑉𝑇𝑅𝐼𝑀
𝐼𝐹𝑊𝑎𝑣𝑒 = 𝐶 (2.25)
𝑊𝑇𝑅𝐼𝑀𝐼𝑁𝐷𝐸𝑃𝐸𝑁𝐷𝐸𝑁𝑇

5.6.1 Interferensi Hambatan Viskos


Gambar 2.36-2.37 dan Tabel 2.33-2.34 memperlihatkan interferensi
hambatan viskos untuk variasi jarak antara lambung (S/L) dari hasil
perhitungan CFD ekperimen.

Gambar 2.36 Interferensi hambatan viskos untuk jarak melintang (S/L)


(Eksperimen)

Tabel 2.33 Nilai interfrensi viskos untuk trimaran (Eksperimen)


S/L = 0,2 S/L = 0,3 S/L = 0,4 S/L = 0,5
Fr 3 3 3
(x10 ) (x10 ) (x10 ) (x103)
0,15 1,1165 1,1078 1,1040 1,0971
0,17 1,1162 1,1076 1,1037 1,0968
0,19 1,1162 1,1076 1,1038 1,0963
0,21 1,1163 1,1076 1,1038 1,0956
0,23 1,1165 1,1079 1,1039 1,0953
106
0,25 1,1157 1,1079 1,1035 1,0955
0,27 1,1160 1,1079 1,1036 1,0943

Gambar 2.34 Interferensi hambatan viskos untuk jarak melintang (S/L)


(CFD)

Tabel 2.34 Nilai interfrensi viskos untuk trimaran (CFD)


S/L = 0,2 S/L = 0,3 S/L = 0,4 S/L = 0,5
Fr
103 103 103 103
0,1533 1,04534 1,03038 1,02813 1,0171
0,1724 1,04548 1,03054 1,02828 1,0168
0,1916 1,04549 1,03044 1,02817 1,0163
0,2107 1,04557 1,0307 1,02839 1,0156
0,2299 1,04571 1,03066 1,02837 1,0153
0,2491 1,04568 1,03065 1,02831 1,0148
0,2682 1,04565 1,03064 1,02825 1,0143

Fenomena interaksi viscous interference yang disebakan oleh


distribusi perubahan boundary layer dan kenaikan kecepatan aliran di
sekitar lambung trimaran, dan distribusi pengaruh perubahan tekanan di
daerah (di antara) lambung trimaran.

107
5.6.2 Interferensi Hambatan Gelombang
Interferensi hambatan gelombang antar lambung trimaran dapat
berkontribusi negatif (meningkatkan hambatan) atau positif (menurunkan
hambatan) sebagaimana yang dipresentasikan dari hasil teori dan
eksperimen. Fenomena tersebut juga dikemukakan oleh Yeung dkk (2004
dan 2009).
Hasil CFD dan eksperimen memperlihatkan faktor interferensi
hambatan terhadap perubahan jarak melintang antara lambung kapal (S/L)
dimana pada kecepatan yang tinggi menunjukkan peningkatan
interferensi. Faktor interferensi hambatan gelombang lambung trimaran
lihat Tabel 2.35 – 2.36 dan Gambar 2.38-2.39 Hal ini menunjukkan bahwa
interaksi hambatan gelombang pada lambung dengan kecepatan yang
lebih tinggi (Fr> 0,23) memiliki interaksi yang cukup kuat

Gambar 2.38 Interferensi hambatan Gelombang jarak melintang (S/L)


(Eksperimen)

Tabel 2.35 Nilai interfrensi gelombang untuk trimaran (Eksperimen)

108
S/L = 0,2 S/L = 0,3 S/L = 0,4 S/L = 0,5
Fr
103 103 103 103
0,1533 1,0297 0,9524 0,9833 0,9780
0,1724 0,9760 0,9647 0,8595 0,9703
0,1916 1,0431 0,9176 0,9336 0,9759
0,2107 1,0463 0,8159 0,9049 0,9713
0,2299 1,0257 0,9683 0,9110 0,9031
0,2491 1,0210 0,9942 0,9494 0,9389
0,2682 1,0840 1,0496 0,9713 0,9856

Gambar 2.39Interferensi hambatan gelombang jarak melintang (S/L)


(CFD)

Tabel 2.36 Nilai interfrensi gelombang untuk trimaran (CFD)


S/L = 0,2 S/L = 0,3 S/L = 0,4 S/L = 0,5
Fr 3 3 3
10 10 10 103
0,1533 1,0485 0,9919 0,9792 0,9919
0,1724 0,9856 0,9685 0,8224 0,9729
0,1916 1,0528 0,9412 0,8917 0,9820
0,2107 1,0369 0,9048 0,9391 0,9871
0,2299 1,0329 0,9213 0,9014 0,9299
0,2491 1,0490 0,9523 0,9223 0,9205
109
0,2682 1,0733 0,9833 0,9644 0,9720

Insel dan Molland (1992) dan Molland (1996) menyatakan bahwa


interferensi hambatan yang terjadi pada lambung katamaran ditimbulkan
oleh adanya perbedaan kecepatan aliran disekitar demihull berupa
gelombang yang ditimbulkan (wavepatterns). Hal ini sejalan dengan
penelitian pada kapal trimaran dimana interferensi yang terjadi akibat
aliran dan gelombang pada sekitar area lambung kapal trimaran.
Hasil kajian interferensi hambatan gelombang tersebut diatas dapat
dijadikan acuan dalam perancangan kapal trimaran, bahwa hambatan
lambung kapal trimaran (terhadap perubahan jarak melintang antara
lambung) pada kecepatan Fr<0,27 cenderung meningkat, oleh sebab itu
perlu diperhatikan juga terkait stabilitas dan konstruksi kapal.

6.4.3 Validasi CFD


y+ variasi pada model kapal merupakan salah satu indikator untuk
menentukan tingkat kevalidan dari perhitungan CFD. Ketepatan nilai y+
pada lambung menentukan kualitas solusi lapisan batas dimana terjadinya
gesekan antara fluida dan badan kapal. Harga y+ yang disarankan adalah
<150 (Schlichting dan Gersten (2000). Dan hal ini terlihat gambar 2.40
bahwa y+ memiliki nilai sebesar <114,677 seperti yang diperlukan dan
dimana nilai faktor validitas tersebut meng-indikasikan bahwa perhitungan
tersebut cukup akurat (best fit).

Gambar 2.40 Harga y+


110
111
Bagian 3
PROPULSI

112
113
Bagian 4
Dinamika Kapal
4.1 Umum

4.2 Kamataran
4.2.1 Perhitungan Olah Gerak Kapal melalui CFD
4.2.2 Perhitungan Olah Gerak Kapal melalui Pengujian Fisik

4.3 Trimaran
4.3.1 Perhitungan Olah Gerak Kapal melalui CFD
Program CFD terdiri dari lima tahap yaitu : Geometry, Model, Set-up,
Solution dan Result. Geometry digunakan pada tahap pembuatan model
kapal trimaran, kemudian pembuatan meshing dilakukan pada tahap
Model. Selanjutnya dilakukan penentuan kondisi uji pada taha Set-up dan
Solution digunakan untuk pengerjaan proses penyelesaian masalah.
Analisa CFD yang akan dilakukan pada pemodelan kapal trimaran
adalah RAO yang diakibat gaya eksternal berupa gelombang kapal
trimaran dan visualisasi hasil.

Geometry
Pada tahap ini langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut :
Pembuatan geometri, dalam proses pembuatan geometri pada
program Design Modeller , hal pertama yang perlu dilakukan adalah
melakukan import geometry dari model yang telah ada. Model yang dibuat
dalam maxsurf diekspor dalam bentuk ekstensi iges (.iges). Cara ini
memudahkan dalam pembuatan geometri Karena wise merupakan bentuk
yang sangat rumit. Perintah yang digunakan;

 Files > Import Geometri > STEP/IGES.


114
Gambar 5.9 Model trimaran pada Design Modeller

Langkah berikutnya adalah melakukan pemotongan (slice) pada


draft kapal dengan cara meletak sumbu XYZ pada draft kapal

Gambar 5.10 Slice pada sarat

Model
Pada langkah berikutnya adalah menentukan kedalaman
laut/pengujian kemudian menentukan meshing. Pemodelan dilakukan
dengan memasukkan Point Mass berupa titik berat gravitasi secara
memanjang, melintang dan vertikal. Kemudian, memasukkan momen
inertia kapal trimaran (Ixx, Iyy, Izz), sebagaimana ditunjukkan pada tabel
5.9 dan gambar 5.11
Pada gambar 5.12 dan tabel 5.10, meshing dilakukan dengan
mengatur ukuran elemen-elemen penyususun. Semakin kecil elemen
pembentuk model kapal, maka nilai akurasinya cukup baik. Untuk
115
memperoleh harga akurasi yang baik perlu mengatur ukuran elemen
meshing yang optimal.
Tabel 5.9 titik Point Mass
Object Name Point Mass
State Fully Defined
Details of Point Mass
Visibility Visible
Suppressed Not Suppressed
X 48,7 cm
Y 0.0 cm
Z 0.0 cm
Mass Definition Manual
Mass 8,644 kg
Define Inertia Values by via Radius of Gyration
Kxx 27,46 cm
Kyy 43,09 cm
Kzz 50,74 cm
Ixx 10236,8648 kg.cm²
Ixy 0.0 kg.m²
Ixz 0.0 kg.m²
Iyy 25204,2918 kg.m²
Iyz 0.0 kg.m²
Izz 349489,9528 kg.cm²

116
Gambar 5.11 Penentuan titik gravitasi dan Kedalam air yang dikehendaki

Gambar 5.12 Meshing Model

Tabel 5.10 Meshing


Object Name Mesh
State Meshed
117
Details of Mesh
Defaults
Global Control Basic Controls
Mesh Parameters
Defeaturing Tolerance 1 cm
Max Element Size 2 cm
Max Allowed Frequency 0,353 Rad/sec
Meshing Type Program Controlled
Generated Mesh Information
Number of Nodes 2553
Number of Elements 2286
Number of Diff Nodes 1203
Number of Diff Elements 942

Set-up
Pada tahap Set-up dilakukan pengkondisian sesuai dengan kondisi
pengujian. Harga yang dimasukkan kedalam set-up merupakan konstanta
yang umum digunakan dalam perhitungan empiris. Pada Gambar 5.13 dan
Tabel 5.11-5.12 menunjukkan pengaturan kondisi perhitungan numerik
yang dilakukan menggunakan ANSYS AQWA.

Gambar
5.13 set-up Model
118
Tabel 5.11 set up gelombang
Object Name Wave Directions
State Fully Defined
Details of Wave Directions
Range of Directions, No Forward
Type
Speed
Required Wave Input
Wave Range -180° to 180°
Interval 45°
Number of Intermediate
7
Directions
Optional Wave Directions A
Additional Range None
Optional Wave Directions B
Additional Range None
Optional Wave Directions C
Additional Range None

Tabel 5.12 set up Kecepatan Aliran


Depth (m) Velocity (m/s) Direction (°)
0,1 0,7354 180

4.3.1.1 Perhitungan dengan posisi diam (v=0)


Perhitungan CFD yang dilakukan menggunakan pendekatan secara
numerik dengan menggunakan Finite Volume Methode, dimana model
akan dibagi kedalam bagian yang terkecil dengan memperhatikan
geometri dari model.
Hasil Perhitungan RAO dengan S/L=0,2 ditunjukkan pada Tabel
5.13-5.15 dan dengan jelas ditunjukkan oleh Gambar 5.14-5.16 dan
didapatkan RAO heave terbesar pada sudut 90 derajat dengan frekuensi
gelombang sebesar 0,71 rad/s adalah 0.517, sedangkan RAO Picth
119
Signifikan sebesar 0.861 terjadi pada sudut 0 derajat dengan frekuensi
gelombang 0.71 rad/s, selanjutnya RAO Roll terbasar terjadi pada sudut
90 derajat dengan frekuensi gelombang 1,01 rad/s sebesar 3.571. Arah
gelombang yang mengenai bagian belakang kapal pada 0 derajat
menyebabkan gerakan pitch kapal yang cukup besar sedangkan heave dan
roll sangat dipengaruhi oleh arah gelombang 90 derajat (beam seas).

Tabel 5.13 RAO Heave dengan S/L=0,2


Freq. Sudut Heading (deg)
(rad/s) 0 45 90 135 180
0.71 0.425 0.412 0.517 0.341 0.317
1.01 0.19 0.103 0.341 0.129 0.213
1.31 0.076 0.073 0.087 0.057 0.083
1.61 0.04 0.039 0.108 0.043 0.045
1.90 0.003 0.008 0.018 0.004 0.001
2.20 0.01 0.012 0.02 0.012 0.01
2.50 0.022 0.027 0.037 0.029 0.021

Tabel 5.14 RAO Pitch dengan S/L=0,2


Freq. Sudut Heading (deg)
(rad/s) 0 45 90 135 180
0.71 0.861 0.714 0.395 0.467 0.617
1.01 0.067 0.049 0.064 0.06 0.06
1.31 0.035 0.012 0.023 0.025 0.03
1.61 0.015 0.012 0.015 0.013 0.013
1.90 0.008 0.007 0.01 0.007 0.007
2.20 0.004 0.004 0.006 0.004 0.003
2.50 0.001 0.001 0.001 0.001 0.001

Tabel 5.15 RAO Roll dengan S/L=0,2


Freq. Sudut Heading (deg)

120
(rad/s) 0 45 90 135 180
0.71 0.000 1.245 1.533 1.064 0.000
1.01 0.000 2.673 3.571 2.413 0.000
1.31 0.000 2.142 2.903 2.142 0.000
1.61 0.000 0.89 0.983 0.706 0.000
1.90 0.000 0.427 0.539 0.383 0.000
2.20 0.000 0.31 0.351 0.249 0.000
2.50 0.000 0.277 0.251 0.177 0.000

Gambar 5.14 RAO Heave pada S/L=0,2

121
Gambar 5.15 RAO Pitch pada S/L=0,2
RAO Roll (ᴼ/cm)

Gambar 5.16 RAO Roll pada S/L=0,2

Pada Tabel 5.16 sampai dengan 5.18, menunjukkan Hasil


Perhitungan RAO dengan S/L=0,3 kemudian ditunjukkan oleh Gambar
122
5.17 sampai dengan 5.19 didapatkan RAO heave terbesar pada sudut 0
derajat dengan frekuensi gelombang sebesar 1,01 rad/s, sebesar 0,999,
sedangkan RAO Picth Signifikan sebesar 1,341 terjadi pada sudut 0 derajat
dengan frekuensi gelombang 1.01 rad/s, selanjutnya RAO Roll terbasar
terjadi pada sudut 90 derajat dengan frekuensi gelombang 2,50 rad/s
sebesar 4,361. Pada trimaran S/L = 0,3 pada arah gelombang 0 derajat
memiliki pengaruh RAO heave dan pitch yang besar hal ini menunjukkan
pengaruh yang dominan terhadapat gerakan pitch dan heave. Sedangkan
pada pengaruh roll yang terbesar dengan arah gelombang 90 derajat (beam
seas).

Tabel 5.16 RAO Heave dengan S/L=0,3


Freq. Sudut Heading (deg)
(rad/s) 0 45 90 135 180
0.71 0.972 0.971 0.964 0.971 0.971
1.01 0.999 0.943 0.922 0.929 0.331
1.31 0.445 0.336 0.348 0.300 0.232
1.61 0.203 0.155 0.316 0.169 0.061
1.90 0.092 0.098 0.084 0.089 0.025
2.20 0.074 0.079 0.087 0.079 0.04
2.50 0.038 0.045 0.07 0.046 0.047

Tabel 5.17 RAO Pitch dengan S/L=0,3


Freq. Sudut Heading (deg)
(rad/s) 0 45 90 135 180
0.71 1.102 0.781 0.42 0.898 1.137
1.01 1.341 1.093 0.817 0.916 0.626
1.31 0.816 0.648 0.438 0.489 0.048

123
1.61 0.039 0.088 0.024 0.019 0.06
1.90 0.038 0.029 0.038 0.018 0.029
2.20 0.008 0.006 0.009 0.005 0.012
2.50 0.009 0.008 0.013 0.008 0.002

Tabel 5.18 RAO Roll dengan S/L=0,3


Freq. Sudut Heading (deg)
(rad/s) 0 45 90 135 180
0.71 0.000 0.711 1.007 0.641 0.000
1.01 0.000 0.745 1.058 0.634 0.000
1.31 0.000 0.825 1.176 0.726 0.000
1.61 0.000 0.984 1.409 0.903 0.000
1.90 0.000 1.322 1.905 1.177 0.000
2.20 0.000 2.249 3.281 2.102 0.000
2.50 0.000 3.72 4.631 3.532 0.000

124
Gambar 5.17 RAO Heave pada S/L=0,3

Gambar 5.18 RAO Pitch pada S/L=0,3

125
Gambar 5.19 RAO Roll pada S/L=0,3

Hasil Perhitungan RAO dengan S/L=0,4 ditunjukkan pada Tabel


5.19 - 5.21 dan ditunjukkan pada Gambar 5.20 - 5.22 dan didapatkan RAO
heave terbesar pada sudut 0 derajat dengan frekuensi gelombang sebesar
0,71 rad/s, sebesar 0,375, sedangkan RAO Picth Signifikan sebesar 0.72
terjadi pada sudut 0 derajat dengan frekuensi gelombang 0.71, selanjutnya
RAO Roll terbasar terjadi pada sudut 90 derajat dengan frekuensi
gelombang 2.50 rad/s sebesar 3.531.

Tabel 5.19 RAO Heave dengan S/L=0,4


Freq. Sudut Heading (deg)
(rad/s) 0 45 90 135 180
0.71 0.375 0.243 0.207 0.219 0.333
1.01 0.204 0.127 0.178 0.136 0.203
1.31 0.104 0.096 0.063 0.089 0.08
1.61 0.016 0.026 0.064 0.021 0.037
1.90 0.041 0.047 0.043 0.047 0.002
2.20 0.028 0.036 0.044 0.036 0.008
2.50 0.018 0.026 0.014 0.026 0.018

126
Tabel 5.20 RAO Pitch dengan S/L=0,4
Freq. Sudut Heading (deg)
(rad/s) 0 45 90 135 180
0.71 0.72 0.556 0.282 0.445 0.627
1.01 0.043 0.043 0.083 0.038 0.059
1.31 0.018 0.009 0.035 0.014 0.029
1.61 0.018 0.016 0.016 0.017 0.011
1.90 0.002 0.002 0.009 0.002 0.006
2.20 0.001 0.002 0.004 0.002 0.003
2.50 0.001 0.002 0.003 0.002 0.001

Tabel 5.21 RAO Roll dengan S/L=0,4


Freq. Sudut Heading (deg)
(rad/s) 0 45 90 135 180
0.71 0.000 0.773 1.074 0.699 0.000
1.01 0.000 0.858 1.151 0.798 0.000
1.31 0.000 1.01 1.270 1.005 0.000
1.61 0.000 1.299 1.457 1.281 0.000
1.90 0.000 1.954 1.764 1.943 0.000
2.20 0.000 3.005 2.323 2.901 0.000
2.50 0.000 3.237 3.531 3.132 0.000

127
Gambar 5.20 RAO Heave pada S/L=0,4

Gambar 5.21 RAO Pitch pada S/L=0,4

128
Gambar 4.22 RAO Roll pada S/L=0,4

Pada Tabel 5.22 - 5.24, menunjukkan Hasil Perhitungan RAO


dengan S/L=0,5 kemudian ditunjukkan oleh Gambar 5.23 - 5.25
didapatkan RAO heave terbesar pada sudut 0 derajat dengan frekuensi
gelombang sebesar 1,01 rad/s adalah sebesar 0,999, sedangkan RAO Picth
Signifikan sebesar 1,341 terjadi pada sudut 0 derajat dengan frekuensi
gelombang 1,01 rad/s, selanjutnya RAO Roll terbasar terjadi pada sudut
90 derajat dengan frekuensi gelombang 2,50 rad/s sebesar 3,342.
Tabel 5.22 RAO Heave dengan S/L=0,5
Freq. Sudut Heading (deg)
(rad/s) 0 45 90 135 180
0.71 0.972 0.971 0.964 0.971 0.971
1.01 0.999 0.943 0.922 0.929 0.331
1.31 0.445 0.336 0.348 0.3 0.232
1.61 0.203 0.155 0.316 0.169 0.061
1.90 0.092 0.098 0.084 0.089 0.025
2.20 0.074 0.079 0.087 0.079 0.04
2.50 0.038 0.045 0.07 0.046 0.047

129
Tabel 5.23 RAO Pitch dengan S/L=0,5
Freq. Sudut Heading (deg)
(rad/s) 0 45 90 135 180
0.71 1.102 0.781 0.42 0.898 1.137
1.01 1.341 1.093 0.817 0.916 0.626
1.31 0.816 0.648 0.438 0.489 0.048
1.61 0.039 0.088 0.024 0.019 0.06
1.90 0.038 0.029 0.038 0.018 0.029
2.20 0.008 0.006 0.009 0.005 0.012
2.50 0.009 0.008 0.013 0.008 0.002

Tabel 5.24 RAO Roll dengan S/L=0,5


Freq. Sudut Heading (deg)
(rad/s) 0 45 90 135 180
0.71 0.000 0.748 1.074 0.724 0.000
1.01 0.000 0.797 1.151 0.721 0.000
1.31 0.000 0.876 1.270 0.842 0.000
1.61 0.000 1.001 1.457 0.981 0.000
1.90 0.000 1.207 1.764 1.121 0.000
2.20 0.000 1.584 2.323 1.531 0.000
2.50 0.000 2.403 3.342 2.398 0.000

130
Gambar 5.23 RAO Heave pada S/L=0,5

Gambar 5.24 RAO Pitch pada S/L=0,5

131
Gambar 5.25 RAO Roll pada S/L=0,5

Sebagai mana perhitungan yang dilakukan melalui pendekatan


CFD di atas pada kondisi diam, dapat diambil gambaran secara umum
bahwa harga RAO heve yang terbesar adalah pada trimaran dengan variasi
S/L=0,5 yaitu sebersar 0,999 cm/cm yang terjadi pada sudut 0 derajat hal
ini disebakan adanya penampang melingtag yang cukup besar sehingga
memudahkan terjadi heave akibat harga ROA yang cukup besar.
Selanjutnya pada S/L = 0,5 juga terjadi RAO Pitch yang cukup
signifikan, yaitu sebesar 1.341 0/cm , hal ini karena adanya frekuensi
gelombang dari arah 0 derajat (following seas) yang memberikan energi
yang cukup besar ke buritan kapal yang meyebabkan terjadinya gerak pitch
yang signifikan. Selain itu, pada frekuensi 1,01 rad/s terjadi resonansi
gerakan terhadap hull trimaran sehingga RAO pitch menjadi lebih
dominan.
RAO Roll terbesar terjadi pada sudut 90 derajat (beam seas)
sebesar 4.631o/cm yang terjadi pada kapal Trimaran dengan variasi
S/L=0,2. Hal ini terjadi karena lebar posisi melintang yang cukup kecil
dibandingakan variasi trimaran lainnya, sehingga lebar yang cukup kecil

132
akan memudahkan terjadinya roll dengan arah gelombang dari samping
(beam seas).

4.3.1.2 Perhitungan Pada Kecepatan dinas (Fr = 0,21)


Hasil Perhitungan RAO dengan S/L = 0,2 ditunjukkan pada Tabel
5.25-5.27 dan ditunjukkan pada Gambar 5.26-5.28 dan didapatkan RAO
heave terbesar pada sudut 0 derajat dengan frekuensi gelombang sebesar
0,71 rad/s, sebesar 0,931, sedangkan RAO Picth Signifikan sebesar 0,985
terjadi pada sudut 0 derajat dengan frekuensi gelombang 0.71, selanjutnya
RAO Roll terbasar terjadi pada sudut 90 derajat dengan frekuensi
gelombang 2.20 rad/s sebesar 4,831.

Tabel 5.25 RAO Heave dengan S/L=0,2


Freq. Sudut Heading (deg)
(rad/s) 0 45 90 135 180
0.71 0,971 0,968 0,233 0,636 0,807
1.01 0,844 0,4 0,098 0,095 0,344
1.31 0,47 0,27 0,04 0,007 0,013
1.61 0,365 0,203 0,054 0,029 0,117
1.90 0,311 0,123 0,048 0,015 0,044
2.20 0,189 0,108 0,019 0,004 0,042
2.50 0,033 0,081 0,012 0,003 0,036

Tabel 5.26 RAO Pitch dengan S/L=0,2


Freq. Sudut Heading (deg)
(rad/s) 0 45 90 135 180
0.71 0,985 0,695 0,086 0,603 0,729
1.01 0,842 0,608 0,036 0,03 0,397

133
1.31 0,161 0,08 0,016 0,015 0,133
1.61 0,087 0,043 0,009 0,003 0,012
1.90 0,055 0,032 0,004 0,002 0,039
2.20 0,022 0,022 0,003 0,002 0,011
2.50 0,01 0,009 0,002 0,001 0,012

Tabel 5.27 RAO Roll dengan S/L=0,2


Freq. Sudut Heading (deg)
(rad/s) 0 45 90 135 180
0.71 0,000 0,707 1,058 0,832 0,000
1.01 0,000 0,72 1,176 1,079 0,000
1.31 0,000 0,743 1,409 1,823 0,000
1.61 0,000 0,761 1,905 4,225 0,000
1.90 0,000 0,765 3,281 1,496 0,000
2.20 0,000 0,753 4,831 0,717 0,000
2.50 0,000 0,731 2,621 0,445 0,000

Gambar 5.26 RAO Heave pada S/L=0,2

134
Gambar 5.27 RAO Pitch pada S/L=0,2
RAO Roll (ᴼ/cm)

Gambar 5.28 RAO Roll pada S/L=0,2

135
Pada Tabel 5.29-5.31, menunjukkan Hasil Perhitungan RAO
dengan S/L=0,3 kemudian ditunjukkan oleh Gambar 5.28-5.30 didapatkan
RAO heave terbesar pada sudut 45 derajat dengan frekuensi gelombang
sebesar 0,71 rad/s, sebesar 0,935, sedangkan RAO Picth Signifikan sebesar
1,02 terjadi pada sudut 0 derajat dengan frekuensi gelombang 0,71 rad/s,
selanjutnya RAO Roll terbasar terjadi pada sudut 90 derajat dengan
frekuensi gelombang 2,20 rad/s sebesar 4,831.

Tabel 5.28 RAO Heave dengan S/L=0,3


Freq. Sudut Heading (deg)
(rad/s) 0 45 90 135 180
0.71 0,928 0,935 0,898 0,666 0,81
1.01 0,597 0,601 0,435 0,326 0,474
1.31 0,419 0,33 0,276 0,116 0,152
1.61 0,234 0,179 0,188 0,031 0,062
1.90 0,1503 0,169 0,088 0,063 0,127
2.20 0,127 0,166 0,049 0,017 0,077
2.50 0,052 0,015 0,046 0,033 0,014

Tabel 5.29 RAO Pitch dengan S/L=0,3


Freq. Sudut Heading (deg)
(rad/s) 0 45 90 135 180
0.71 1,02 0,805 0,603 0,628 0,745
1.01 0,989 0,64 0,414 0,219 0,499
1.31 0,599 0,465 0,007 0,008 0,268
1.61 0,104 0,055 0,04 0,037 0,093
1.90 0,052 0,01 0,009 0,004 0,012

136
2.20 0,053 0,011 0,013 0,013 0,043
2.50 0,036 0,015 0,005 0,009 0,03

Tabel 5.30 RAO Roll dengan S/L=0,3


Freq. Sudut Heading (deg)
(rad/s) 0 45 90 135 180
0.71 0,000 0,707 1,533 1,064 0,000
1.01 0,000 0,756 3,571 2,413 0,000
1.31 0,000 0,831 2,903 2,142 0,000
1.61 0,000 0,85 0,983 0,706 0,000
1.90 0,000 0,792 0,539 0,383 0,000
2.20 0,000 0,721 0,351 0,249 0,000
2.50 0,000 0,725 0,251 0,177 0,000

Gambar 5.29 RAO Heave pada S/L=0,3

137
Gambar 5.30 RAO Pitch pada S/L=0,3
RAO Roll (ᴼ/cm)

Gambar 5.31 RAO Roll pada S/L=0,3

Selanjtunya, hasil Perhitungan RAO dengan S/L=0,4 ditunjukkan


pada Tabel 5.31-5.33, dan ditunjukkan pada Gambar 5.32-5.34 dan
didapatkan RAO heave terbesar pada sudut 45 derajat dengan frekuensi
gelombang sebesar 0,71 rad/s, sebesar 0.893, sedangkan RAO Picth
138
Signifikan sebesar 0.72 terjadi pada sudut 0 derajat dengan frekuensi
gelombang 0,965, selanjutnya RAO Roll terbasar terjadi pada sudut 90
derajat dengan frekuensi gelombang 2.50 rad/s sebesar 3.531

Tabel 5.31 RAO Heave dengan S/L=0,4


Freq. Sudut Heading (deg)
(rad/s) 0 45 90 135 180
0.71 0,883 0,893 0,247 0,647 0,809
1.01 0,658 0,303 0,097 0,103 0,35
1.31 0,35 0,198 0,045 0,056 0,013
1.61 0,25 0,162 0,055 0,045 0,121
1.90 0,196 0,095 0,05 0,021 0,046
2.20 0,115 0,081 0,018 0,004 0,045
2.50 0,032 0,07 0,011 0,015 0,037

Tabel 5.32 RAO Pitch dengan S/L=0,4


Freq. Sudut Heading (deg)
(rad/s) 0 45 90 135 180
0.71 0,965 0,681 0,086 0,612 0,81
1.01 0,796 0,602 0,035 0,015 0,474
1.31 0,352 0,069 0,016 0,006 0,152
1.61 0,059 0,037 0,009 0,005 0,127
1.90 0,035 0,022 0,004 0,003 0,077
2.20 0,016 0,015 0,003 0,003 0,062
2.50 0,006 0,008 0,002 0,001 0,014

Tabel 5.33 RAO Roll dengan S/L=0,4


Freq. Sudut Heading (deg)
(rad/s) 0 45 90 135 180
0.71 0,000 0,719 1,257 0,773 0,000
1.01 0,000 0,735 1,495 1,053 0,000
1.31 0,000 0,738 1,948 2,479 0,000
1.61 0,000 0,727 2,991 1,944 0,000
139
1.90 0,000 0,711 3,968 0,655 0,000
2.20 0,000 0,712 3,284 0,358 0,000
2.50 0,000 0,768 2,046 0,233 0,000

Gambar 5.32 RAO Heave pada S/L=0,4

140
Gambar 5.33 RAO Pitch pada S/L=0,4
RAO Roll (ᴼ/cm)

Gambar 5.34 RAO Roll pada S/L=0,4

Pada Tabel 5.34-5.36, menunjukkan Hasil Perhitungan RAO


dengan S/L=0,5 kemudian ditunjukkan oleh Gambar 5.35-5.37 didapatkan
141
RAO heave terbesar pada sudut 0 derajat dengan frekuensi gelombang
sebesar 0,71 rad/s, sebesar 0,971, sedangkan RAO Picth Signifikan sebesar
0,985 terjadi pada sudut 0 derajat dengan frekuensi gelombang 0,71 rad/s,
selanjutnya RAO Roll terbasar terjadi pada sudut 90 derajat dengan
frekuensi gelombang 2,50 rad/s sebesar 4,244.

Tabel 5.34 RAO Heave dengan S/L=0,5


Freq. Sudut Heading (deg)
(rad/s) 0 45 90 135 180
0.71 1,002 0,833 0,403 0,705 0,806
1.01 0,808 0,099 0,398 0,211 0,366
1.31 0,173 0,074 0,111 0,128 0,018
1.61 0,083 0,067 0,09 0,069 0,139
1.90 0,026 0,041 0,031 0,057 0,052
2.20 0,066 0,035 0,01 0,029 0,055
2.50 0,021 0,031 0,038 0,048 0,041

Tabel 5.35 RAO Pitch dengan S/L=0,5


Freq. Sudut Heading (deg)
(rad/s) 0 45 90 135 180
0.71 1,314 0,757 0,386 0,661 0,773
1.01 0,75 0,641 0,068 0,287 0,443
1.31 0,138 0,04 0,023 0,039 0,156
1.61 0,007 0,022 0,014 0,042 0,015
1.90 0,015 0,004 0,01 0,011 0,047
2.20 0,008 0,006 0,006 0,017 0,015
2.50 0,001 0,004 0,001 0,003 0,014

142
Tabel 5.36 RAO Roll dengan S/L=0,5
Freq. Sudut Heading (deg)
(rad/s) 0 45 90 135 180
0.71 0,000 0,715 1,151 0,748 0,000
1.01 0,000 0,725 1,27 0,976 0,000
1.31 0,000 0,727 1,457 2,054 0,000
1.61 0,000 0,72 1,764 2,341 0,000
1.90 0,000 0,709 2,323 0,694 0,000
2.20 0,000 0,71 3,531 0,366 0,000
2.50 0,000 0,745 4,244 0,234 0,000

Gambar 5.35 RAO Heave pada S/L=0,5

143
Gambar 5.36 RAO Pitch pada S/L=0,5
RAO Roll (ᴼ/cm)

Gambar 5.37 RAO Roll pada S/L=0,5

144
Sebagai mana perhitungan yang dilakukan melalui pendekatan
CFD di atas pada kondisi Fr = 0,21, dapat diambil gambaran secara umum
bahwa harga RAO heave yang terbesar adalah pada trimaran dengan
variasi S/L=0,5 yaitu sebersar 0,999 cm/cm yang terjadi pada sudut 0
derajat hal ini disebabkan adanya penampang melintang yang cukup besar
sehingga memudahkan terjadi heave akibat harga ROA yang cukup besar.
Selanjutnya pada S/L = 0,5 juga terjada RAO Pitch yang cukup
signifikan, yaitu sebesar 1.341 0/cm , hal ini karena adanya frekuensi
gelombang dari arah 0 derajat (following seas) yang memberikan energi
yang cukup besar ke buritan kapal yang meyebabkan terjadinya gerak pitch
yang signifikan. Selain itu, pada frekuensi 1,01 rad/s terjadi resonansi
gerakan terhadap hull trimaran sehingga RAO pitch menjadi lebih
dominan.
RAO Roll terbesar terjadi pada sudut 90 derajat (beam seas)
sebesar 4.631o/cm yang terjadi pada kapal Trimaran dengan variasi
S/L=0,2. Hal ini terjadi karena lebar posisi melintang yang cukup kecil
dibandingakan variasi trimaran lainnya, sehingga lebar yang cukup kecil
akan memudahkan terjadinya roll dengan arah gelombang dari samping
(beam seas).

5.3 Root Mean Square


5.3.1 RMS pada kondisi diam (Fr=0)
Penentuan RMS (root mean square) didapatkan dari besarnya
signifikan respon untuk masing-masing gerakan yang dilakukan pada
Pungujian di Towing Tank. Signifikan respon didapatkan dari perkalian
Response Amplitudo Operator (RAO) dengan wave spectrum yang
digunakan. Perhitungan dengan menggunakan metode statistic analisa
yaitu dengan mencari luasan dari signifikan respon (mo). Dari harga mo
tersebut nanti akan didapatkan harga RMS atau standart deviasi untuk tiap
masing gerakan yaitu gerakan rotasi dan gerakan translasi diantaranya
gerakan Heaving, Pitching. Serta untuk tiap masing-masing sudut hadap
yaitu heading 0 derajat sampai sudut heading 180 derajat dapat dilihat
Tabel 5.37-5.38.
Tabel 5.37 RMS pada Fr = 0 (Pengujian)
S/L Heave (cm) Pitch (deg)
145
0 180 0 180
0,2 0,19 0,14 0,53 0,38
0,3 0,16 0,13 0,6 0,45
0,4 0,16 0,14 0,44 0,39
0,5 0,32 0,22 0,63 0,39

Tabel 5.38 RMS pada Fr = 0,21 (Pengujian)


Heave (cm) Pitch (deg)
S/L
0 180 0 180
0,2 0,22 0,31 0,53 0,39
0,3 0,25 0,31 0,53 0,37
0,4 0,29 0,37 0,53 0,37
0,5 0,55 0,31 0,63 0,39

Perhitungan CFD dilakukan dengan sudut heading 0 -180 derajat


dengan perhitungan RMS meliputi heaving pitching dan rolling dapat
dilihat pada tabel 5.39 – 4.46.
Pada Tabel 5.39-5.42 Perhitungan dengan CFD dilakukan dengan
kondisi kapal diam (Fr=0). RMS Heave terbesar terjadi pada model
Trimaran dengan S/L = 0,5 dengan RMS sebesar 0,32 derajat yang terjadi
pada sudut 0 derajat. Selanjutnya pada S/L=0,5 memiliki RMS Pitch yang
signifikan yaitu sebesar 0,63 derajat pada sudut heading 0 derajat. Pada
kondisi roll RMS terbesar pada trimaran sebesara 5,8 derajat dengan sudut
heading 90 derajat terjadi pada model trimaran dengan S/L=0,2.

Tabel 5.39 RMS dengan S/L=0,2 pada Fr = 0


Sudut Heading (deg)
Motion
0 45 90 135 180
Heave (cm) 0,17 0,17 0,21 0,14 0,13
Pitch (ᵒ) 0,53 0,45 0,25 0,29 0,38
Roll (ᵒ) 0,00 1,99 2,80 1,89 0,00

Tabel 5.40 RMS dengan S/L=0,3


Motion Sudut Heading (deg)

146
0 45 90 135 180
Heave (cm) 0,15 0,09 0,07 0,08 0,13
Pitch (ᵒ) 0,60 0,50 0,37 0,40 0,45
Roll (ᵒ) 0,00 1,70 2,71 1,68 0,00

Tabel 5.41 RMS dengan S/L=0,4


Sudut Heading (deg)
Motion
0 45 90 135 180
Heave (cm) 0,15 0,10 0,09 0,09 0,13
Pitch (ᵒ) 0,44 0,34 0,19 0,27 0,39
Roll (ᵒ) 0,00 1,49 2,12 1,46 0,00

Tabel 5.42 RMS dengan S/L=0,5


Sudut Heading (deg)
Motion
0 45 90 135 180
Heave (cm) 0,32 0,29 0,30 0,28 0,22
Pitch (ᵒ) 0,63 0,33 0,19 0,27 0,39
Roll (ᵒ) 0,00 1,35 2,10 1,50 0,00

147
Gambar 5.38 RMS Heave pada Fr = 0

Gambar 5.39 RMS Pitch pada Fr = 0

148
Gambar 5.40 RMS Roll pada Fr = 0

5.3.2 RMS pada kondisi kecepatan dinas (Fr=0,21)


Perhitungan RMS dengan kecepatan dinas (Fr=0.21) ditunjukkan
pada Tabel 5.43-5.46. RMS Heave terbesar terjadi pada model Trimaran
dengan S/L = 0,5 dengan RMS sebesar 0,34 derajat yang terjadi pada sudut
0 derajat. Selanjutnya pada S/L=0,5 memiliki RMS pitch yang signifikan
yaitu sebesar 0,54 derajat pada sudut heading 0 derajat. Pada kondisi roll
RMS terbesar pada trimaran sebesar 2,68 derajat dengan sudut heading 90
derajat terjadi pada model trimaran dengan S/L=0,2.

Tabel 5.43 RMS dengan S/L=0,2


Sudut Heading (deg)
Motion
0 45 90 135 180
Heave (cm) 0,21 0,23 0,17 0,26 0,30
Pitch (ᵒ) 0,52 0,44 0,24 0,34 0,39
Roll (ᵒ) 0,00 1,90 2,68 1,71 0,00

Tabel 5.44 RMS dengan S/L=0,3


Motion Sudut Heading (deg)
149
0 45 90 135 180
Heave (cm) 0,25 0,25 0,29 0,27 0,31
Pitch (ᵒ) 0,52 0,40 0,18 0,33 0,36
Roll (ᵒ) 0,00 1,16 2,51 1,31 0,00

Tabel 5.45 RMS dengan S/L=0,4


Sudut Heading (deg)
Motion
0 45 90 135 180
Heave (cm) 0,28 0,26 0,06 0,25 0,30
Pitch (ᵒ) 0,52 0,40 0,17 0,32 0,36
Roll (ᵒ) 0,00 1,00 2,00 1,19 0,00

Tabel 5.46 RMS dengan S/L=0,5


Sudut Heading (deg)
Motion
0 45 90 135 180
Heave (cm) 0,34 0,30 0,06 0,24 0,30
Pitch (ᵒ) 0,54 0,42 0,30 0,36 0,39
Roll (ᵒ) 0,00 0,85 1,98 1,30 0,00

150
Gambar 5.41 RMS Heave pada Fr = 0,21

Gambar 5.42 RMS Pitch pada Fr = 0,21

151
Gambar 5.43 RMS Roll pada Fr = 0,21
4.3.2 Perhitungan Olah Gerak Kapal melalui Pengujian Fisik
4.3.2.1 Pengujian dengan Kondisi kapal diam (Fr=-0)
Pengujian secara fisik dilakukan di Laboratorium Hidrodinamika
ITS. Pada Tabel 5.1-5.4, menunjukkan Hasil Perhitungan RAO dengan
S/L=0,2 - 0,5 kemudian ditunjukkan oleh Gambar 5.1-5.4 dengan kondisi
model diam (Fr=0) didapatkan Sebagai mana perhitungan yang dilakukan
melalui eksperimen pada kondisi diam dapat diambil gambaran secara
umum bahwa harga RAO heve yang terbesar adalah pada trimaran dengan
variasi S/L=0,5 yaitu sebersar 0,618 cm/cm yang terjadi pada sudut 0
derajat hal ini disebakan adanya penampang melingtag yang cukup besar
sehingga memudahkan terjadi heave akibat harga ROA yang cukup besar.
Selanjutnya pada S/L = 0,5 juga terjada RAO Pitch yang cukup
signifikan, yaitu sebesar 1,6140/cm , hal ini karena adanya frekuensi
gelombang dari arah 0 derajat (following seas) yang memberikan energi
yang cukup besar ke buritan gelobang yang meyebabkan terjadinya gerak
pitch yang signifikan. Selain itu, dan frekuensi 1,01 rad/s terjadi resonansi
gerakan terhadap hull trimaran sehingga RAO pitch menjadi lebih
dominan.

Tabel 5.1 RAO pada S/L=0,2 (Pengujian)


Frekuensi Heading Angle (deg.)
152
(rad/s) 0 180
heave Pitch Heave Pitch
0,71 0,516 1,028 0,484 0,972
1,01 0,428 0,770 0,265 0,530
1,31 0,251 0,238 0,065 0,144
1,61 0,066 0,084 0,016 0,046
1,90 0,032 0,038 0,015 0,038
2,20 0,002 0,010 0,009 0,033
2,50 0,002 0,009 0,009 0,022

Tabel 5.2 RAO pada S/L=0.3


Heading Angle (deg.)
Frekuensi
0 180
(rad/s)
heave Pitch Heave Pitch
0,71 0,542 1,300 0,512 1,077
1,01 0,444 0,997 0,301 0,672
1,31 0,283 0,438 0,088 0,206
1,61 0,078 0,139 0,043 0,080
1,90 0,033 0,038 0,038 0,065
2,20 0,003 0,017 0,009 0,041
2,50 0,003 0,016 0,008 0,032

Tabel 5.3 RAO pada S/L=0.4


Heading Angle (deg.)
Frekuensi
0 180
(rad/s)
heave Pitch Heave Pitch
0,71 0,575 1,486 0,557 1,222
1,01 0,484 1,199 0,362 0,860
1,31 0,328 0,638 0,095 0,346
1,61 0,114 0,215 0,065 0,118
1,90 0,035 0,054 0,038 0,084
2,20 0,001 0,041 0,009 0,054
153
2,50 0,001 0,041 0,019 0,035

Tabel 5.4 RAO pada S/L=0.5


Heading Angle (deg.)
Frekuensi
0 180
(rad/s)
heave Pitch Heave Pitch
0,71 0,618 1,614 0,629 1,560
1,01 0,543 1,395 0,450 1,231
1,31 0,385 0,838 0,138 0,684
1,61 0,140 0,273 0,075 0,235
1,90 0,038 0,099 0,044 0,104
2,20 0,023 0,082 0,031 0,071
2,50 0,021 0,075 0,030 0,046

154
Gambar 5.1 RAO Heave pada sudut 0 derajat

Gambar
5.2 RAO Pitch pada sudut 0 derajat

155
Gambar 5.3 RAO Heave pada sudut 180 derajat

Gambar 5.4 RAO Pitch pada sudut 180 derajat

4.3.2.2 Pengujian dengan Kondisi kecepatan Dinas (Fr=-0,21)


Pada pengujian selanjutnyay dilakukan dengan pada kecepatan
dinas yaitu ketika Fr=0,21. Pengujian eksperimen ditunjukkan pada Tabel
5.5-5.8, dan pada gambar 5.5-5.8 didapatkan bahwa harga RAO heve yang
terbesar adalah pada trimaran dengan variasi S/L=0,5 yaitu sebersar

156
0,595cm/cm yang terjadi pada sudut 0 derajat hal ini disebakan adanya
penampang melingtag yang cukup besar sehingga memudahkan terjadi
heave akibat harga ROA yang cukup besar.
Kemudian pada S/L = 0,5 juga terjada RAO Pitch yang cukup
signifikan, yaitu sebesar 1,900 o/cm , hal ini karena adanya frekuensi
gelombang dari arah 0 derajat (following seas) yang memberikan energi
yang cukup besar ke buritan gelobang yang meyebabkan terjadinya gerak
pitch yang signifikan.

Tabel 5.5 RAO S/L=0,2 pada Fr=0,21


Heading Angle (deg.)
f
0 180
(rad/s)
heave Pitch Heave Pitch
0,71 0,426 0,997 0,510 0,958
1,01 0,377 0,652 0,321 0,695
1,31 0,271 0,271 0,127 0,271
1,61 0,126 0,107 0,028 0,102
1,90 0,023 0,016 0,010 0,027
2,20 0,013 0,013 0,011 0,044
2,50 0,012 0,009 0,010 0,028

Tabel 5.6 RAO S/L=0,3 pada Fr=0,21


Heading Angle (deg.)
f
0 180
(rad/s)
heave Pitch Heave Pitch
0,71 0,507 1,323 0,551 1,123
1,01 0,430 0,986 0,421 0,769

157
1,31 0,271 0,571 0,191 0,327
1,61 0,139 0,231 0,064 0,120
1,90 0,035 0,082 0,015 0,041
2,20 0,021 0,014 0,009 0,033
2,50 0,021 0,013 0,008 0,028

Tabel 5.7 RAO S/L=0,4 pada Fr=0,21


Heading Angle (deg.)
f
0 180
(rad/s)
heave Pitch Heave Pitch
0,71 0,566 1,505 0,605 1,271
1,01 0,450 1,234 0,492 0,948
1,31 0,311 0,727 0,271 0,471
1,61 0,151 0,323 0,073 0,153
1,90 0,049 0,127 0,023 0,067
2,20 0,033 0,071 0,010 0,047
2,50 0,031 0,043 0,010 0,011

Tabel 5.8 RAO S/L=0,5 pada Fr=0,21


Heading Angle (deg.)
f
0 180
(rad/s)
heave Pitch Heave Pitch
0,71 0,595 1,900 0,653 1,600
1,01 0,493 1,605 0,573 1,260
1,31 0,371 0,927 0,321 0,571
1,61 0,191 0,414 0,111 0,263

158
1,90 0,071 0,171 0,037 0,141
2,20 0,049 0,108 0,030 0,073
2,50 0,049 0,077 0,020 0,048

Gambar 5.5 RAO Heave pada sudut 0 derajat

Gambar 5.6 RAO Pitch pada sudut 0 derajat


159
Gambar 5.7 RAO Heave pada sudut 180 derajat

Gambar 5.8 RAO Pitch pada sudut 180 derajat

160
4.4 Perbandingan Seakeeping RAO Hasil Pengujian Fisik dan
Komputasi CFD
Pengujian ini dilakukan pada model kapal trimaran diplasmen
dengan skala 1:59,231 dan kondisi perairan bergelombang dengan seastate
4. Pengujian model fisik dan hasil analisa dari hasil pengujian model kapal
trimaran diplasmen dengan metode statistic spectral analisis pada
masing-masing gerakan kapal trimaran diplasmen. Pada pengujian, signal
terbaca secara analog kemudian dilakukan analisa dengan cara komulatif
probability sebagai fungsi dari peak total signal. Jika signal yang terbaca
sangat signifikan maka akan didiskusikan penyebabnya.
Pembahasan dilakukan dengan membandingkan 2 (metode) yang
telah dilakukan yaitu, Pengujian Fisik. dan Computational Fluid Dynamics
(CFD) Dari dua pendekatan perhitungan tersebut disajikan pada tabel
6.17-6.24 dan ditunjukkan pada gambar 6.18-6.33
Pada tabel 6.17-6.24 menunjukkan hasil perhitungan CFD dan
Pengujian pada kapal trimaran S/L = 0,2-0,5 dengan sudut arah gelombang
sebesar 0 dan 180 derajat. Hasil perbandingan Heave menunjukkan tren
yang sama dengan selisih rata-rata 5% dengan hasil perhitungan CFD yang
lebih besar. Hasil ini dikarenakan adanya komponen lingkungan uji dalam
towing tank yang tidak bisa dimasukkan secara tepat dalam perhitungan
CFD. Namun demikian hasil selisih yang kecil dan tren yang sama dapat
dijadikan acuan untuk melakukan perhitungan model.
Selanjutnya, pada ROA Pitch menujukkan hasil yang sama. Pada
perhitungan Pengujian menujukkan hasil yang lebih kecil daripada hasil
perhitungan CFD dengan perbedaan rata-rata 6%. Pada arah gelombang 0
derajat RAO Pitch memiliki pengaruh yang dominan karena adanya luasan
area penampang buritan yang lebih besar dari pada area penampang haluan
yang ditunjunkkan pada gambar 6.18-6.33

161
Tabel 6.17 Perbandingan RAO Trimaran S/L = 0,2, sudut heading 0
derajat
CFD Pengujian
f (rad/s)
Heave Pitch Heave Pitch
0.71 0.574 1.108 0.552 1.028
1.01 0.383 0.741 0.240 0.569
1.31 0.092 0.331 0.053 0.225
1.61 0.059 0.156 0.048 0.112
1.90 0.055 0.087 0.036 0.055
2.20 0.050 0.036 0.031 0.017
2.50 0.043 0.012 0.012 0.001

Gambar 6.18 Perbandingan RAO Heave S/L = 0,2


dengan arah gelombang 00

162
Gambar 6.19 Perbandingan RAO Pitch S/L = 0,2
dengan arah gelombang 00

Tabel 6.18Perbandingan RAO Trimaran S/L = 0,2 pada sudut heading


180 derajat
CFD Pengujian
f (rad/s)
Heave Pitch Heave Pitch
0.71 0.569 1.120 0.556 0.972
1.01 0.378 0.686 0.233 0.602
1.31 0.117 0.305 0.092 0.289
1.61 0.046 0.130 0.050 0.121
1.90 0.042 0.052 0.009 0.024
2.20 0.028 0.039 0.006 0.023
2.50 0.013 0.014 0.009 0.022

163
Gambar 6.20 Perbandingan RAO Heave S/L = 0,2
dengan arah gelombang 1800

Gambar 6.21 Perbandingan RAO Pitch S/L = 0,2


dengan arah gelombang 1800
Tabel 6.19Perbandingan RAO Trimaran S/L = 0,3 pada sudut heading 0
derajat

164
CFD Pengujian
f (rad/s)
Heave Pitch Heave Pitch
0.71 0.600 1.363 0.541 1.285
1.01 0.392 1.040 0.296 0.712
1.31 0.189 0.551 0.147 0.300
1.61 0.116 0.202 0.074 0.180
1.90 0.070 0.102 0.032 0.108
2.20 0.062 0.026 0.030 0.011
2.50 0.055 0.037 0.012 0.011

Gambar 6.22 Perbandingan RAO Heave S/L = 0,3


dengan arah gelombang 00

165
Gambar 6.23 Perbandingan RAO Pitch S/L = 0,3
dengan arah gelombang 00

Tabel 6.20 Perbandingan RAO Trimaran S/L = 0,3 pada sudut heading
180 derajat
CFD Pengujian
f (rad/s)
Heave Pitch Heave Pitch
0.71 0.600 1.363 0.541 1.285
1.01 0.392 1.040 0.296 0.712
1.31 0.189 0.551 0.147 0.300
1.61 0.116 0.202 0.074 0.180
1.90 0.070 0.102 0.032 0.108
2.20 0.062 0.026 0.030 0.011
2.50 0.055 0.037 0.012 0.011

166
Gambar 6.24 Perbandingan RAO Heave S/L = 0,3
dengan arah gelombang 1800

Gambar 6.25 Perbandingan RAO Pitch S/L = 0,3


dengan arah gelombang 1800

Tabel 6.21 Perbandingan RAO Trimaran S/L = 0,4 pada sudut heading 0
derajat
167
CFD Pengujian
f (rad/s)
Heave Pitch Heave Pitch
0.71 0.610 1.800 0.555 1.739
1.01 0.566 1.732 0.304 1.148
1.31 0.456 1.524 0.210 0.666
1.61 0.198 1.055 0.105 0.391
1.90 0.134 0.475 0.074 0.186
2.20 0.085 0.24 0.031 0.107
2.50 0.073 0.129 0.012 0.015

Gambar 6.26 Perbandingan RAO Heave S/L = 0,4


dengan arah gelombang 00

168
Gambar 6.27 Perbandingan RAO Pitch S/L = 0,4
dengan arah gelombang 00

Tabel 6.22 Perbandingan RAO Trimaran S/L = 0,4 pada sudut heading
180 derajat
CFD Pengujian
f (rad/s)
Heave Pitch Heave Pitch
0.71 0.5589 1.62 0.54 1.56001
1.01 0.3049 1.465 0.2076 1.13114
1.31 0.1867 1.124 0.1259 0.53989
1.61 0.0698 0.604 0.0721 0.33512
1.90 0.0218 0.222 0.0108 0.10284
2.20 0.0086 0.07 0.0087 0.07116
2.50 0.0087 0.065 0.012 0.001

169
Gambar 6.28 Perbandingan RAO Heave S/L = 0,4
dengan arah gelombang 1800

Gambar 6.29 Perbandingan RAO Pitch S/L = 0,4


dengan arah gelombang 1800

Tabel 6.23 Perbandingan RAO Trimaran S/L = 0,5 pada sudut heading 0
derajat
170
CFD Pengujian
f (rad/s)
Heave Pitch Heave Pitch
0.71 0.653 1.841 0.552 1.714
1.01 0.530 1.285 0.302 0.864
1.31 0.215 0.425 0.135 0.247
1.61 0.132 0.131 0.074 0.076
1.90 0.101 0.059 0.066 0.016
2.20 0.066 0.024 0.032 0.016
2.50 0.050 0.049 0.013 0.015

Gambar 6.30 Perbandingan RAO Heave S/L = 0,5


dengan arah gelombang 00

171
Gambar 6.31 Perbandingan RAO Pitch S/L = 0,5
dengan arah gelombang 00

Tabel 6.24 Perbandingan RAO Trimaran S/L = 0,5 pada sudut heading
180 derajat
CFD Pengujian
f (rad/s)
Heave Pitch Heave Pitch
0.71 0.643 1.503 0.557 1.421
1.01 0.387 1.073 0.214 0.775
1.31 0.111 0.343 0.124 0.217
1.61 0.050 0.182 0.065 0.053
1.90 0.038 0.110 0.041 0.035
2.20 0.044 0.019 0.009 0.049
2.50 0.029 0.042 0.009 0.032

172
Gambar 6.32 Perbandingan RAO Heave S/L = 0,5
dengan arah gelombang 1800

Gambar 6.33 Perbandingan RAO Pitch S/L = 0,5


dengan arah gelombang 1800
173
Hasil Pengujian RAO Heave terbesar terjadi pada kapal trimaran
dengan S/L = 0,5 yaitu sebesar 0.653 cm/cm dengan arah sudut gelombang
sebesar 0 derajat, hal ini dikuatkan dengan perhitungan dengan
menggunakan pendekatan CFD yaitu sebesar 0,557 cm/cm dan mimiliki
perbedaan rata-rata sebesar 6%. Pada arah gelombang 0 derajat (following
seas) gelombang akan mengenai buritan kapal yang memiliki luasan
tercelup yang lebih besar sehinggga akan menyebabkan reaksi badan kapal
untuk mengangkat lebih dominan.
Pada pengujian dengan S/L=0,5 juga terjadi RAO Pitch yang
dominan yaitu sebesar 1,503 0/cm dengan arah sudut gelombang sebesar 0
derajat, hal ini dikuat dengan perhitungan dengan menggunakan
pendekatan CFD yaitu sebesar 1,421 0/cm dan mimiliki perbedaan rata-
rata sebesar 8%. Pada arah gelombang 0 derajat (following seas)
gelombang akan mengenai buritan kapal yang memiliki luasan tercelup
yang lebih besar sehinggga akan menyebabkan reaksi badan kapal untuk
mengangkat lebih dominan.
Disamping itu, lebar kapal trimaran dengan S/L=0,5 lebih besar
menyebabkan badan kapal akan mudah terkena gaya luar dan cenderung
melakukan reaksi baik secara tranversal (heave) maupun rotasi (pitch)

174
175
Bagian 5
Korelasi Hambatan Dan Gerak Kapal

5.1 Umum

5.2 Katamaran

5.3 Trimaran
Hambatan kapal trimaran menujukkan bahwa pada S/L=0,5
menunjukkan interaksi antar hull yang kecil bahkan pada Fr=0.22-0.24
dapat simpulkan interkasi antar lambung tidak tidak ada. Hal ini dapat di
lihat pada tabel 6.25 dan gambar 6.34.
Tabel 6.25 Koefisien hambatan total
Lambung Trimaran
Fr Trimaran Hull S/L = 0,2 S/L = 0,3 S/L = 0,4 S/L = 0,5
x10-3 x10-3 x10-3 x10-3 x10-3
0,15 4,170 4,491 4,391 4,291 4,120
0,17 4,158 4,848 4,648 4,648 4,288
0,19 4,423 5,258 5,003 4,803 4,623
0,21 5,035 5,965 5,446 5,265 5,135
0,23 5,608 6,295 6,195 5,947 5,508
0,25 5,801 6,443 6,393 6,293 5,901
0,27 5,765 6,653 6,533 6,333 5,965

176
Gambar 6.34 Koefisien hambatan total kapal trimaran dengan variasi
jarak antar lambung
Selanjutnya dilakukan perhitungan predeiksi gerakaan kapal pada
Fr=0.21. pada tabel 6.26-6.27 menunjukkan hasil perhitungan olah gerak
kapal dimana hasil kapal memiliki gerakan yang siknifikan pada variasi
S/L = 0,5

Table 6.26 RAO Tirmaran dengan gelombang 0 derajat


f S/L=0,2 S/L=0,3 S/L=0,4 S/L=0,5
(rad Heav Heav Heav
/s) Pitch Pitch Heave Pitch Pitch
e e e
0.7 1,92
1 0,5 1,06 0,602 1,7 0,647 1,56 0,697 6
1.0 0,97 1,81
1 0,371 1,016 0,176 5 0,604 1,444 0,676 4
1.3 0,42 1,64
1 0,197 0,924 0,090 2 0,508 1,270 0,608 7
1.6 0,17 1,27
1 0,135 0,586 0,060 8 0,226 0,910 0,240 3
177
1.9 0,12 0,59
0 0,117 0,165 0,038 7 0,123 0,375 0,173 3
2.2 0,02 0,29
0 0,087 0,071 0,022 4 0,088 0,210 0,120 7
2.5 0,04 0,15
0 0,066 0,048 0,022 7 0,078 0,110 0,081 2

Table 6.27 RAO Tirmaran dengan gelombang 180 derajat


f S/L=0,2 S/L=0,3 S/L=0,4 S/L=0,5
(rad Heav Heav
/s) Pitch Pitch Heave Pitch Heave Pitch
e e
0.7 1,49 1,80
1 0,568 1,119 0,589 5 0,688 1,600 0,692 0
1.0 0,87 1,35
1 0,194 0,686 0,200 0 0,452 1,095 0,422 1
1.3 0,37 0,97
1 0,074 0,304 0,091 5 0,273 0,671 0,253 8
1.6 0,15 0,61
1 0,045 0,130 0,043 8 0,101 0,391 0,094 9
1.9 0,12 0,29
0 0,041 0,052 0,038 2 0,032 0,190 0,029 7
2.2 0,06 0,06
0 0,027 0,038 0,014 2 0,009 0,042 0,008 6
2.5 0,04 0,008 0,06
0 0,012 0,014 0,013 5 0,009 0,042 9 6

Korelasi yang terlihat antara hambatan dan seakeeping adalah


perubahan S/L semakin besar hambatan yang terjadi adalah sangat kecil
karena tidak adanya interferenasi. Sebaliknya pada S/L = 0,2 hambatan
yang terjadi adalah paling besar hal ini karena adanya faktor interferensi
antar hull.
Sebaliknya RAO heave dan pitch terbesar terjadi pada S/L = 0,5,
hal ini menjukkan adanya korelasi yang cukup jelas yaitu heave dan pitch
terbesar terjadi ketika tidak adanya interversi kapal. Dari penelitian yang

178
telah dilakukan, memberikan gambaran bahwa interferensi kapal dapat
mengurangi RAO kapal yang pada tahap selanjutnya dapat mempengaruhi
pola gerakan kapal.
Pada Tabel 6.28 menunjukkan adanya korelasi koefisien hambatan
total dan RMS heave dimana pada S/L=0,5 menunjukkan nilai RMS heave
yang paling besar yaitu sebesar 0,34 derajat pada arah sudut 0 derajat
sedangkan CT pada kondisi tersebut paling kecil. Hal ini menunjukkan
pada kondisi hambatan tanpa interfensi (hambatan paling kecil) pada S/L
= 0,5 memiliki nilai heave yang cukup besar. Hal ini disebabkan tidak
adanya interferensi untuk megurangi besarnya heave. Sehingga dapat
diambil kesimpulan sementara bahwa efek positif interferensi dan
mengurangi gerakan heave trimaran. Efek positif interferensi terjadi pada
S/L = 0,2 yang memiliki RMS sebesar 0,21. Harga tersebut merupakan
nilai terkecil daripada RMS heave dari bentuk variasi S/L lainnya. Korelasi
Hambatan dan RMS heave pada variasi kapal trimaran ditunjukkan pada
gambar 6.35

Table 6.28 Korelasi CT dan RMS Heave


S/L 0,20 0,30 0,40 0,50
CT (x10-3) 5,97 5,45 5,27 5,14
0 0,21 0,25 0,28 0,34
Sudut Uji

45 0,23 0,25 0,26 0,30


(deg)

90 0,17 0,29 0,18 0,16


135 0,26 0,27 0,25 0,24
180 0,30 0,31 0,30 0,30

179
Gambar 6.35 Korelasi CTdan RMS Heave

Selanjutnya Pada Tabel 6.29 menunjukkan adanya korelasi


koefisien hambatan total dan RMS Pitch dimana pada S/L=0,5
menunjukkan nilai RMS heave yang paling besar yaitu sebesar 0,54 derajat
pada arah sudut 0 derajat sedangkan CT pada kondisi tersebut paling kecil.
Hal ini menunjukkan pada kondisi hambatan tanpa interfensi (hambatan
paling kecil) pada S/L = 0,5 memiliki nilai pitch yang cukup besar. Hal ini
disebabkan tidak adanya interferensi untuk megurangi besarnya pitch.
Sehingga dapat diambil kesimpulan sementara bahwa efek positif
interferensi dan mengurangi gerakan heave trimaran. Efek positif
interferensi terjadi pada S/L = 0,4 yang memiliki RMS sebesar 0,12. Harga
tersebut merupakan nilai terkecil daripada RMS heave dari bentuk variasi
S/L lainnya. Korelasi Hambatan dan RMS heave pada variasi kapal
trimaran ditunjukkan pada gambar 6.36.

Table 6.29 Korelasi CT dan RMS Pitch


S/L 0,20 0,30 0,40 0,50
-3
CT (x10 ) 5,97 5,45 5,27 5,14
0 0,51 0,52 0,52 0,54
Sudut

(deg)
Uji

45 0,44 0,43 0,43 0,42


90 0,24 0,18 0,17 0,3

180
135 0,34 0,33 0,32 0,36
180 0,39 0,36 0,36 0,39

Gambar 6.36 Korelasi CT dan RMS Pitch

Korelasi RMS Roll ditunjukkan Pada tabel 6.30 menunjukkan


adanya dimana pada S/L=0,2 menunjukkan nilai RMS Roll yang paling
besar yaitu sebesar 3,68 derajat pada arah sudut 0 derajat sedangkan CT
pada kondisi tersebut cukup. Hal ini menunjukkan pada kondisi hambatan
dengan interfensi yang cukup besara pada S/L = 0,2 tidak memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap gerakan Roll. Sehingga dapat diambil
kesimpulan sementara bahwa efek positif interferensi dan tidak
mengurangi efek gerakan roll trimaran. Korelasi Hambatan dan RMS Pitch
pada variasi kapal trimaran ditunjukkan pada gambar 6.37.

Table 6.30 Korelasi CT dan RMS Roll


S/L 0,20 0,30 0,40 0,50
CT (x10-3) 5,97 5,45 5,27 5,14
0 0,00 0,00 0,00 0,00
Sudut Uji

45 1,90 1,16 1,00 0,85


(deg)

90 2,68 2,51 2,00 1,98


135 1,71 1,31 1,19 1,30
181
180 0,00 0,00 0,00 0,00

Gambar 6.37 Korelasi CT dan RMS Roll

Dari masing masing variasi S/L pada kapal trimaran kemudian


dilakukan pengujian secara numerik dapat dilakukan optimasi yang
ditunjukkan pada tabel 6.31 dan gambar 6.38. Pada gambar 6.38
menujukkan nilai dari masing gerakan heave, pitch, dan roll. Optimasi
dilakukan dengan dengan menggabungkan ketiga grafik tersebut.
Pada S/L = 0,4 menunjukkan variasi trimaran yang optimal untuk
dilakukan pelayaran pada kondisi kecepatan dinas (Fr = 0,21) dengan
ketinggian gelombang 1 mater (seastate 4). Perolehan harga tersebut
merupakan tiunjauan berdasarkan aspek hidrodinamika. Sehingga perlu
dilakukan kajian yang lebih mendalam terkait struktur dan uji kenyamanan
penumpang. Hasil kesimpulan awal ini dapat dijadikan data base ilmu
pengetahuan dan dapat dilakukan untuk penelitian lanjutan dengan
tinjauan aspek yang berbeda.
Tabel 6.31 Optimasi Trimaran
CT
S/L Heave Pitch Roll
x10-3
0,20 5,97 0,30 0,51 2,68

182
0,30 5,45 0,31 0,52 2,51
0,40 5,27 0,30 0,52 2,00
0,50 5,14 0,34 0,54 1,98

CT

Gambar 6.38 Optimasi Variasi Trimaran

Dari Tabel 6.31 dan Gambar 6.38 kemudian dilakukan optimasi


secara numerik untuk mendapatkan variasi S/L pada trimaran yang
optimal. Hasil perhitungan yang optimal ditunjukkan pada tabel 6.32
melalui pendekatan korelasi hambatan dan olah gerak (RMS).
Untuk memilih model kapal trimaran yang optimal, ada 3 aspek
tinjuan berdasarkan gambar 6.30 dan tabel 6.27, antara lain
 Dari aspek heave maka model trimaran dengan variasi S/L = 0,32
memiliki RMS heave sebebar 0,31 cm. Model Trimaran degan variasi
S/L = 0,32 mempunyai koefisien hambatan total (CT) sebesar 5,38 x10-
3
.
 Kemudian pada trimaran dengan S/L = 0,36 memiliki RMS Pitch yang
optimal yaitu sebesar 0,520 dan koefisien hambatan total (CT) sebesar
5,32 x10-3.
 Selanjutnya pada S/L = 0,4 memiliki nilai RMS Roll optimal yaitu
sebesar 2,040 dan koefisien hambatan total (CT) sebesar 5,26 x10-3.

183
Tabel 6.32 Optimasi grafik
Heave Pitch Roll
S/L CT (x10-3) S/L CT (x10-3) S/L CT (x10-3)
0,32 5,38 0,36 5,32 0,4 5,26

184

Anda mungkin juga menyukai