Anda di halaman 1dari 10

Kasus Malpraktik pada pasien gagguan jiwa

Dosen pengampu : Ns. Febriana Sartika Sari, M.kep.

Disusun oleh kel 6:

1. Alfin Wahyu Putranto/S17003


2. Bella Safira/S17010
3. Dhea Fienda F/S17015
4. Wangsit Ridho R/S17051

PRODI SARJANA KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2019/2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keperawatan sebagai profesi dituntut untuk mengembangkan keilmuannya sebagai


wujud kepeduliannya dalam meningkatkan kesejahteraan umat manusia baik dalam tingkatan
preklinik maupun klinik. Untuk dapat mengembangkan keilmuannya maka keperawatan
dituntut untuk peka terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungannya setiap saat.
American nurse’s association mendefenisikan keperawatan kesehatan jiwa sebagai suatu
bidang spesialisasi praktik keperawatan yang menerapkan teori perilaku manusia sebagai
ilmunya dan penggunaan diri yang bermanfaat sebagai kiatnya. Asuhan yang kompeten.

B. Tujuan

1. Untuk memenuhi mata kuliah Keperawatan Jiwa


2. Mahasiswa dapat memahami tentang Konteks Legal Etik dalam Asuhan Keperawatan
Jiwa

C. Manfaat

1. Meningkatkan pemahaman perawat terhadap hak-hak pasien dan hak legal perawat.
2. Sebagai dasar dalam mengembangkan ilmu keperawatan jiwa.
3. Mengetahui keterkaitan keperawatan jiwa tentang konteks legal etik dalam asuhan
keperawatan jiwa.
4. Sebagai landasan dalam melakukan penelitian baik klinik dan preklinik
BAB II

PEMBAHASAN

Pertimbangan Legal Dan Etik Klien psikiatri memiliki hak legal, sama seperti klien
ditempat lain. Isu legal dan etik yang dibahas pada bagian ini terutama berkaitan dengan topik
klien yang menunjukkan sikap bermusuhan dan agresif, tetapi berlaku untuk semua klien di
lingkungan kesehatan jiwa.

A. Hospitalisasi Involunter

Kebanyakan klien masuk ke tempat rawat inap atas dasar sukarela. Hal ini berarti
mereka ingin mencari terapi dan setuju dirawat di rumah sakit. Akan tetapi, beberapa klien
tidak mau dirawat di rumah sakit dan diobati. Keinginan mereka dihargai kecuali mereka
berbahaya bagi diri mereka sendiri atau orang lain (misalnya : mereka mengancam atau
berupaya bunuh diri atau membahayakan orang lain). Klien yang dirawat di rumah sakit di
luar kemauan mereka dengan kondisi seperti ini dimasukkan ke rumah sakit untuk perawatan
psikiatri sampai mereka tidak lagi berbahaya bagi diri mereka sendiri atau orang lain. Setiap
negara bagian memiliki hukum yang mengatur proses komitmen sipil, tetapi sama di setiap
Negara bagian. Seseorang dapat ditahan di fasilitas psikiatri selama 48 sampai 72 jam karena
keadaan darurat sampai dapat dilakukan pemeriksaan untuk menentukkan apakah klien harus
dimasukkan ke fasilitas psikiatri untuk menjalani terapi selama periode waktu tertentu.
Banyak negara bagian memiliki hukum yang sama, yang mengatur komitmen klien dengan
masalah penyalahgunaan zat yang membahayakan diri mereka sendiri atau orang lain ketika
di bawah pengaruh zat. Komitmen sipil atau hospitalisasi involunter mengurangi hak klien
untuk bebas atau meninggalkan rumah sakit ketika ia menginginkannya. Hak klien yang lain
tetap utuh.

B. Keluar dari Rumah Sakit

Klien yang masuk rumah sakit secara sukarela memiliki hak untuk meninggalkan
rumah sakit jika mereka tidak membahayakan diri sendiri atau orang lain. Klien dapat
menandatangani suatu permintaan tertulis untuk pulang dan keluar dari rumah sakit tanpa
saran medis jika mereka tidak berbahaya. Apabila klien yang masuk rumah sakit secara
sukarela yang berbahaya bagi dirinya sendiri atau orang lain menandatangani surat
permintaan untuk pulang, psikiater dapat mengajukan komitmen sipil untuk menahan klien
terhadap keinginannya sampai dapat dilakukan pemeriksaan untuk memutuskan hal tersebut.
Selama berada di rumah sakit, klien tersebut minum obat-obatan dan membaik cukup cepat
sehingga ia memenuhi syarat untuk pulang ketika ia tidak lagi berbahaya. Beberapa klien
berhenti minum obat-obatan setelah pulang dari rumah sakit dan kembali mengancam,
agresif, atau berbahaya. Klinisi kesehatan jiwa semakin bertanggung jawab secara hukum
untuk tindak kriminal klien tersebut, yang meningkatkan perdebatan tentang komitmen sipil
yang luas untuk klien yang berbahaya. Studi yang di lakukan Weinberger et al. (1998)
menunjukkan bahwa pengadilan menerima kurang dari 50% petisi profesional kesehatan jiwa
untuk komitmen sipil yang luas pada klien psikiatri yang berbahaya. Perhatian pengadilan
adalah klien psikiatri memiliki hak sipil dan tanpa alasan yang kuat tidak boleh ditahan di
rumah sakit jika mereka tidak menginginkannya ketika mereka tidak lagi berbahaya.
Masyarakat menentang dengan menuntut bahwa mereka patut dilindungi dari individu yang
berbahaya, yang memiliki riwayat tidak mengkonsumsi obat-obatan sehingga dapat menjadi
ancaman bagi masyarakat.

C. Hak-hak Klien

Klien kesehatan jiwa tetap memiliki semua hak sipil yang diberikan kepada semua
orang, kecuali hak untuk meninggalkan rumah sakit dalam kasus komitmen involunter. Klien
memiliki hak untuk menolak terapi, mengirim dan menerima surat yang masih tertutup, dan
menerima atau menolak pengunjung. Setiap larangan ( misalnya : surat, pengunjung, pakaian)
harus ditetapkan oleh pengadilan atau instruksi dokter untuk alasan yang dapat diverifikasi
dan didokumentasikan. Contohnya sebagai berikut :
1. Klien yang pernah berupaya bunuh diri tidak diizinkan menyimpan ikat pinggang, tali
sepatu, atau gunting, karena benda tersebut dapat digunakan untuk membahayakan
dirinya.
2. Klien yang menjadi agresif setelah kunjungan seseorang dilarang dikunjungi orang
tersebut selama suatu periode waktu.
3. Klien yang mengancam orang lain di luar rumah sakit melalui telepon diizinkan
menelepon hanya jika diawasi sampai kondisinya membaik.

Hak-hak Pasien Berdasarkan American Hospital Association (1992) :


Pasien memiliki hak untuk mendapatkan perawatan yang penuh rasa hormat dan perhatian.

1. Pasien memiliki hak dan dianjurkan untuk memperoleh informasi yang dapat dipahami,
terkini, dan relevan tentang diagnosa, terapi, dan prognosis dari dokter dan pemberi
perawatan langsung lainnya.
2. Pasien memiliki hak untuk membuat keputusan tentang rencana perawatan sebelum dan
selama proses terapi dan menolak terapi yang direkomendasikan atau rencana perawatan
sejauh yang diperbolehkan oleh hukum dan kebijakan rumah sakit dan diinformasikan
tentang konsekuensi medis tindakan ini. Bila pasien menolak terapi, pasien berhak
memperoleh perawatan dan pelayanan lain yang tepat, yang disediakan rumah sakit, atau
dipindahkan ke rumah sakit lain. Rumah sakit harus memberi tahu pasien tentang setiap
kebijakan yang dapat memengaruhi pilihan pasien di dalam institusi tersebut.
3. Pasien memiliki hak untuk meminta petunjuk lanjutan tentang terapi ( misalnya living
will, perwalian perawatan kesehatan, atau menunjuk pengacara untuk mengatur
perawatan kesehatan selama waktu tertentu), dengan harapan bahwa rumah sakit akan
menerima maksud petunjuk tersebut sejauh yang diperbolehkan oleh hukum dan
kebijakan rumah sakit.
4. Pasien memiliki hak terhadap setiap pertimbangan privasi. Diskusi kasus, konsultasi,
pemeriksaan, dan terapi harus dilaksankan agar privasi setiap pasien terlindungi.
5. Pasien memiliki hak untuk berharap bahwa semua komunikasi dan catatan yang
berhubungan dengan perawatannya akan dijaga kerahasiannya oleh rumah sakit, kecuali
pada kasus seperti kecurigaan tentang penganiayaan dan bahaya kesehatan masyarakat,
ketika pelaporan kasus tersebut diizinkan atau diwajibkan oleh hukum. Pasien memiliki
hak untuk berharap bahwa rumah sakit akan menegaskan kerahasiaan informasi ini ketika
memberi tahu pihak lain yang berhak meninjau informasi dalam catatan tersebut.
6. Pasien memiliki hak untuk meninjau catatan yang berhubungan dengan perawatan
medisnya dan meminta penjelasan atau interpretasi informasi sesuai kebutuhan, kecuali
jika dilarang oleh hukum.
7. Pasien memiliki hak untuk berharap bahwa dalam kapasitas dan kebijakannya, rumah
sakit akan merespon dengan baik permintaan pasien untuk memperoleh perawatan dan
pelayanan yang tepat dan diindikasikan secara medis.
8. Pasien memiliki hak untuk bertanya dan diinformasikan tentang adanya hubungan bisnis
antara rumah sakit, institusi pendidikan, pemberi perawatan kesehatan lain, atau pihak
pembayar yang dapat memengaruhi terapi dan perawatan pasien.
9. Pasien memiliki hak untuk menyetujui atau menolak partisipasi dalam studi penelitian
yang diajukan atau eksperimen pada manusia yang memengaruhi perawatan dan terapi
atau memerlukan keterlibatan pasien secara langsung, dan meminta penjelasan
sepenuhnya tentang studi tersebut sebelum memberi persetujuan. Pasien yang menolak
untuk berpartisipasi dalam penelitian atau eksperimen tetap berhak mendapat perawatan
yang paling efektif, yang dapat diberikan rumah sakit.
10. Pasien memiliki hak untuk menharapkan kontinuitas perawatan yang layak jika tepat dan
mendapat informasi dan dokter dan pemberi perawatan lain tentang pilihan perawatan
pasien yang realistis dan tersedia ketika perawatan rumah sakit tidak lagi tepat.
11. Pasien memiliki hak untuk mendapat informasi tentang kebijakan dan praktik di rumah
sakit yang berhubungan dengan perawatan pasien, terapi, dan tanggung jawab. Pasien
memiliki hak untuk mendapat informasi tentang sumber yang tersedia untuk mengatasi
perselisihan, keluhan, dan konflik, misalnya komite etik, perwakilan pasien, dan
mekanisme lain yang tersedia di instusi. Pasien memiliki hak mendapat informasi tentang
biaya rumah sakit untuk pelayanan yang diberikan dan metode pembayaran yang
digunakan.

Hak pasien jiwa secara umum (Stuart & Laraia, 2001) :

1. Hak untuk berkomunikasi dengan orang lain di luar RS dengan berkorespondensi,


telepon dan mendapatkan kunjungan
2. Hak untuk berpakaian
3. Hak untuk beribadah
4. Hak untuk dipekerjakan apabila memungkinkan
5. Hak untuk menyimpan dan membuang barang
6. Hak untuk melaksanakan keinginannya
7. Hak untuk memiliki hubungan kontraktual
8. Hak untuk membeli barang
9. Hak untuk pendidikan
10. Hak untuk habeas corpus
11. Hak untuk pemeriksaan jiwa atas inisiatif pasien
12. Hak pelayanan sipil
13. Hak mempertahankan lisensi hukum; supir, lisensi profesi
14. Hak untuk memuntut dan dituntut
15. Hak untuk menikah dan bercerai
16. Hak untuk tidak mendapatkan restrain mekanik yang tidak perlu
17. Hak untuk review status secara periodik
18. Hak untuk perwalian hukum
19. Hak untuk privasi
20. Hak untuk informend consent
21. Hak untuk menolak perawatan

D. Konservator

Pengangkatan konservator atau pelindung hukum merupakan proses yang terpisah


dari komitmen sipil. Individu yang mengalami disabilitas berat terbukti tidak kompeten tidak
dapat menyediakan makanan, pakaian, dan tempat tinggal bagi diri mereka sendiri walaupun
sumber-sumber tersedia dan tidak dapat bertindak sesuai keinginan mereka sendiri, dapat
memerlukan pengangkatan seorang konservator. Pada kasus ini, pengadilan menunjuk
seseorang untuk bertindak sebagai pelindung hukum. Petugas ini memiliki banyak tanggung
jawab untuk individu tersebut, seperti memberi persetujuan tindakan, menulis cek, dan
membuat kontrak. Klien yang memiliki pelindung hukum tidak lagi memiliki hak untuk
membuat kontrak atau persetujuan hukum (misal, pernikahan atau penggadaian) yang
memerlukan tanda tangan : hal ini mempengaruhi banyak aktivitas sehari-hari yang kita
anggap benar. Karena konservator atau pelindung hukum berbicara atas nama klien, perawat
harus mendapat persetujuan atau izin dari konservator klien.

E. Lingkungan yang Kurang Restriktif

Klien memiliki hak untuk menjalani terapi di lingkungan yang kurang restriktif yang
tepat untuk memenuhi kebutuhan mereka. Hal ini berarti bahwa klien tidak harus dirawat di
rumah sakit jika ia dapat diobati di lingkungan rawat jalan atau group home. Hal ini juga
berarti bahwa klien harus bebas dari restrein atau seklusi kecuali hal tersebut dibutuhkan.
Restrein adalah aplikasi langsung kekuatan fisik pada individu, tanpa izin individu tersebut,
untuk membatasi kebebasan geraknya. Kekuatan fisik ini dapat menggunakan tenga manusia,
alat mekanis atau kombinasi keduanya. Restrein dengan tenaga manusia terjadi ketika
anggota staf secara fisik mengendalikan klien dan memindahkannya ke ruang seklusi.
Restrein mekanis adalah peralatan, biasanya restrein pada pergelangan kaki dan pergelangan
tangan, yang diikatkan ke tempat tidur untuk mengurangi agresi fisik klien, seperti memukul,
menendang, dan menjambak rambut. Seklusi adalah pengurungan involunter individu dalam
ruangan terkunci yang dibangun secara khusus serta dilengkapi dengan jendela atau kamera
pengaman untuk memantau klien secara langsung (JCAHO, 2000). Ruangan tersebut sering
kali dilengkapi dengan tempat tidur yang diikatkan ke lantai dan sebuah kasur untuk
keamanan. Setiap benda tajam atau berpotensi berbahaya seperti pena, kacamata, ikat
pinggang, dan korek api dijauhkan dari klien sebagai tindakan kewaspadaan keselamatan.
Seklusi membuat stimulasi berkurang, melindungi orang lain dari klien, mencegah perusakan
properti, dan memberi privasi kepada klien.
Tujuan seklusi ialah memberi klien kesempatan untuk memperoleh kembali
pengendalian diri secara fisik dan emosional. Perawat juga harus menawarkan dukungan
kepada keluarga klien. Keluarga mungkin marah atau malu ketika klien direstrein atau
diseklusi. Penting untuk memberi penjelasan yang menyeluruh dan cermat tentang perilaku
klien dan penggunaan restrein atau seklusi selanjutnya. Akan tetapi, apabila klien adalah
orang dewasa, diskusi tentang hal ini memerlukan persetujuan pemberian informasi yang
ditanda tangani. Pada kasus anak-anak, persetujuan yang ditanda tangani tidak diperlukan
untuk menginformasikan orang tua atau pelindung tentang penggunaan restrein atau seklusi.
Dengan memberi informasi kepada keluarga dapat membantu menghindari kesulitan legal
atau etik dan membuat keluarga tetap terlibat dalam terapi klien.
1. Hirarki Dalam Membatasi Pasien Jiwa (Stuart & Laraian, 2001) :
Pembatasan bisa dalam makna dibatasi secara fisik atau dibatasi pilihannya. Hirarki dari
yang paling restriktif ke yang kurang restriktif.
Ekstrimitas tubuh
2. Batasan ruang gerak ( kamar isolasi)
3. Batasan dalam aktivitas sehari-hari, misal acara TV, waktu merokok, komunikasi
4. Aktivitas yang bermakna, misal akses untuk ikut rekreasi
5. Pilihan perawatan
6. Kontrol sumber keuangan
7. Ekspresi verbal dan emosional

F. Kewajiban untuk Memperingatkan Pihak Ketiga

Satu pengecualian terhadap hak klien dalam kerahasiaan ialah kewajiban untuk
memperingatkan, yang didasarkan pada keputusan Pengadilan Tinggi California, dalam
Tarasoff vs. Regents of the University of California. Akibat keputusan ini ialah klinisi
kesehatan jiwa berkewajiban untuk memperingatkan pihak ketiga yang dapat diidentifikasi
tentang ancaman yang dilakukan seseorang walaupun ancaman tersebut didiskusikan selama
sesi terapi, yang sebaliknya dilindungi oleh pihak istimewa.
Klinisi harus mengajukan empat pertanyaan untuk menentukan apakah terdapat kewajiban
untuk memperingatkan (Felthous, 1999) :
1. Apakah klien berbahaya bagi orang lain ?
2. Apakah bahaya tersebut akibat gangguan jiwa serius ?
3. Apakah bahaya tersebut segera terjadi ?
4. Apakah bahaya tersebut ditargetkan pada korban yang dapart diidentifikasi ?
Misalnya, jika seorang pria dimasukkan ke fasilitas psikiatri karena ia bermaksud
membunuh istrinya, ada suatu kewajiban yang jelas untuk memperingatkan istrinya. Akan
tetapi, jika individu paranoid yang masuk fasilitas psikiatri mengatakan, “ Saya akan
menangkap mereka sebelum mereka menangkap saya” tetapi tidak memberikan informasi
lain, tidak ada pihak ketiga spesifik yang diperingatkan. Keputusan tentang kewajiban
untuk memperingatkan pihak ketiga biasanya dibuat oleh psikiater, atau dilingkungan
rawat jalan, keputusan dibuat oleh ahli terapi kesehatan jiwa yang berkualifikasi.

G. Peran Legal Perawat

Perawat jiwa memiliki hak dan tanggung jawab dalam tiga peran legal:
1. Perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan
2. Perawat sebagai pekerja
3. Perawat sebagai warga Negara. Perawat mungkin mengalami konflik kepentingan antara
hak dan tanggung jawab ini. Penilaian keperawatan propsesinal memerlukan pemeriksaan
yang teliti dalam konteks asuhan keperawatan, kemungkinan konsekuensi tindakan
keperawatan, dan alternative yang mungkin dilakukan perawat. Masalah Legal Dalam
Praktek Keperawatan
4. Dapat terjadi bila tidak tersedia tenaga keperawatan yg memadai tidak tersedia standar
praktek dan tidak ada kontrak kerja.
5. Perawat profesional perlu memahami aspek legal untuk melindungi diri dan melindungi
hak-hak pasien dan memahami batas legal yang mempengaruhi praktek keperawatan.
6. Pedoman legal Undang-undang praktek, peraturan Kep Men Kes No 1239 dan Hukum
adat.

H. Pertanggung Jawaban Pidana Terkait Dengan Kondisi Jiwa Seseorang

1. Tindakan kriminal yang dilakukan oleh seseorang yang diduga memiliki kelainan jiwa
perlu mendapatkan penyelididkan dari seorang ahli kesehatan jiwa ( Visum et repertum
psikiatrikum; VER)
2. Argumen yang menyebutkan bahwa seseorang yang didakwa melakukan tindakan
kriminal dianggap tidak bersalah karena orang tersebut tidak bisa mengontrol
perbuatannya atau tidak mengerti perbedaan antara benar dan salah yang dikenal sebagai
Peraturan M’Naghten.
3. Saat orang tersebut memenuhi kriteria, dia dapat dinyatakan tidak bersalah karena
mengalami gangguan jiwa.

I. Malpraktek

J. Guwandi dengan mengutip Black’s Law Dictionary, sebagaimana kami sarikan dari
buku Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter yang Diduga Melakukan
Medikal Malpraktek (Dr. H. Syahrul Machmud, S.H., M.H.) (hal. 23-24): “Malpraktek
adalah, setiap sikap tindak yang salah, kekurangan keterampilan dalam ukuran tingkat yang
tidak wajar. Istilah ini umumnya dipergunakan terhadap sikap tindak dari para dokter,
pengacara dan akuntan. Kegagalan untuk memberikan pelayanan profesional dan melakukan
pada ukuran tingkat keterampilan dan kepandaian yang wajar di dalam masyarakatnya oleh
teman sejawat rata-rata dari profesi itu, sehingga mengakibatkan luka, kehilangan atau
kerugian pada penerima pelayanan tersebut yang cenderung menaruh kepercayaan terhadap
mereka itu. Termasuk di dalamnya setiap sikap tindak profesional yang salah, kekurangan
keterampilan yang tidak wajar atau kurang kehati-hatian atau kewajiban hukum, praktek
buruk atau ilegal atau sikap immoral.”
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Proses hospitalisasi dapat menimbulkan trauma atau dukungan, bergantung pada institusi,
sikap keluarga dan teman, respons staf, dan jenis penerimaan masuk rumah sakit, tabel
memperlihatkan karakteristik yang membedakan dua jenis penerimaan masuk rumah sakit
jiwa: sukarela dan paksaan.
2. Hak-hak pasien mencakup hak untuk menerima dan menolak terapi, terlibat dalam
rencana keperawatan, menolak berpartisipasi dalam penelitian, serta pengunjung, surat,
dan telepon tidak dibatasi.
3. Penggunaan seklusi dan restrein termasuk dalam domain hak pasien untuk lingkungan
yang kuran restriktif. Penggunaan jangka pendek restrein dan seklusi diizinkan hanya jika
klien terlihat akan melakuan tindakan agresif dan berbahaya bagi dirinya dan orang lain.
4. Perawat jiwa memiliki hak dan tanggung jawab dalam tiga peran legal, yaitu Perawat
sebagai pemberi asuhan keperawatan, Perawat sebagai pekerja, dan Perawat sebagai
warga Negara.
DAFTAR PUSTAKA

Vidbeck, Sheila L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Psychiatric mental health nursing. Jakarta :
EGC.

Stuart, Gail W.2007.Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.

Suliswati, 2005. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai