Anda di halaman 1dari 138

MATERIAL RAMAH LINGKUNGAN

“MORTAR GEOPOLIMER – FLY ASH”

Penulis

ERNIATI BACHTIAR

Editor:
Dr. Sri Gusty, ST., MT.
Dr. Ismail Marzuki, M.Si

Penerbit

FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS FAJAR
Material Ramah Lingkungan “Mortar Geopolimer-Fly Ash”

Penulis:
Dr. Erniati Bachtiar. S.T., M.T.

Editor:
Dr. Sri Gusty, ST., MT.
Dr. Ismail Marzuki, M.Si

ISBN
……………………….

Desain Sampul dan Tata Letak


Rasmin Wijaya Sam, S.T.
Rita Hardianti Aris, S.T.

Penerbit
Fakultas Teknik Universitas Fajar
Jl. Prof Abdurrahman Basalamah No. 101, Makassar

Cetakan Pertama November 2019

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang.


Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau
seluruh isi buku dalam bentuk apapun baik secara elektronis
maupun mekanis termasuk memfotocopy, merekam atau dengan
system penyimpanan lainnya, tanpa izin tertulis dari Penulis

Prakata
Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Alhamdulilahi Rabbil Aalamin, puji syukur ke hadirat Allah SWT, atas
Rahmat dan Hidayah-NYA penulis dapat menyelesaikan buku ini. Buku
ini membahas tentang material geopolimer ramah lingkungan yang
berbahan dasar fly ash untuk pembuatan mortar yang dikemas dengan
Judul Material Ramah Lingkungan “Mortar Geopolimer-Fly Ash”.

Abu terbang (fly ash) adalah salah satu produk limbah PLTU yang akan
merusak lingkungan jika hanya sekedar ditumpuk/ditimbun karena
dengan penimbunan yang sembarangan berpotensi mengancam
kelestarian lingkungan, selain mudah beterbangan dan mengotori
udara, partikel-partikel logam berat yang dikandungnya sangat mudah
larut dan mencemari sumber-sumber air. Fly ash Emisi CO2 yang
dihasilkan oleh industri semen berasal dari reaksi kalsinasi maupun
akibat penggunaan bahan bakar fosil selama proses produksi. Jika
dijumlahkan, proses ini akan melepaskan 1 ton CO2 ke atmosfir
dalam setiap produksi 1 ton semen Portland. Untuk itu berbagai
macam usaha telah dan sedang dilakukan untuk meminimalisir emisi
CO2 yang dihasilkan industri semen, salah satunya adalah
mengurangi/menghindari penggunaan semen pada beton dengan
mengganti, baik sebagian mupun seluruh semen dengan bahan
yang lebih ramah lingkungan, salah satunya adalah fly ash yang
merupakan limbah hasil pembakaran batu bara. Oleh karena itu sangat
penting untuk mencari alternatif bahan ikat pada mortar yang ramah
lingkungan sebagai pengganti semen Portland.
Fly ash memiliki kandungan kimia Alminium (Al) dan Silikat (Si) yang
memiliki peranan penting dalam ikatan polimerisasi sehingga fly ash
dapat dimanfaatkan sebagai pengikat seperti semen. Fly ash dapat
menggantikan semen dalam pembuatan mortar dengan system
polimerisasi. Geopolimer sendiri merupakan senyawa anorganik
alumino silikat yang disintesiskan dari bahan-bahan yang banyak
mengandung Silika dan Aluminium melalui proses polimerisasi. Dalam
buku ada pembahasan tentang mortar geopolimer. Mortar merupakan
adukan yang dibuat dari agregat halus (pasir) dan pasta geopolimer
sebagai pengikat. Geopolimer yang dipakai berasal dari bahan dasar fly
ash yang direaksikan dengan alkali aktivator berupa Sodium hidroksida
(NaOH) dan Sodium silikat (Na2SiO3), sehingga membentuk fly ash
geopolimer mortar.

Penulis termotivasi dalam menulis buku ini karena ada bebera hal
antara lain: Pertama amanah sebagai dosen untuk menulis sehingga
bisa sebagai bahan referensi bagi mahasiswa, akademisi, pemerintah,
masyarakat dan industri yang tertarik dengan material ramah
lingkungan khususnya fly ash sebagai pengganti semen, Kedua Luaran
dari hasil penelitian Riset Dasar Tahun Ke-2 yang berjudul Karkateristik
Mikrostruktur Mortar dan Beton Geopolimer Berbasis Material Fly Ash
Batu Bara Limbah PLTU Sulawesi Selatan, dan Ketiga memberi contoh
positif kepada teman-teman Dosen/Peneliti dan keluarga khususnya
anak-anak Penulis kedepan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktur Jenderal
Penguatan Riset dan Pengembangan Sumber Daya Kemenristek DIKTI
RI sebagai penyandang dana dalam Penelitian dan Penulisan Buku ini
melalui skema Penelitian Berbasis Komptensi (PBK)-2018 (tahun
Pertama) dan Riset Dasar- 2019 (tahun kedua).
Buku ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis sangat
mengharapkan saran dan kritikan yang konstruktif. Semoga dengan
adanya Buku ini akan menjadi bagian Positif bagi perkembangan
material konstruksi yang ramah lingkungan di Indonesia, Aamiin Yaa
Rabbal Aalamin.
Makassar, 9 November 2019

Penulis

Erniati Bachtiar

Buku ini saya dedikasikan


kepada anak-anakku tercinta:

Fitrah Alif Firmansyah


Fadhilah Dwi Fatimah
Faiqah Fauziah
DAFTAR ISI
Halaman

DAFTAR ISI ........................................................................................ 6


............................................. 19
I.1 SEJARAH TEKNOLOGI GEOPOLIMER ........................ 19
I.2 TEKNOLOGI GEOPOLIMER .......................................... 21
I.3 TERMINOLOGI GEOPOLIMER...................................... 24
I.4 ILMU GEOPOLIMER ....................................................... 26
I.5 APLIKASI GEOPOLIMER ............................................... 28
.................... 34
II.1 ZEOLIT............................................................................... 34
II.2 TERMINOLOGY DAN FORMASI GEOPOLIMER ........ 37
II.3 METODE AKTIVASI ALKALI ALUMINASILIKAT .... 40
II.4 STRUKTUR GEOPOLIMER ............................................ 42
II.5 Kristalisasi selama sintesis gel geopolimer ........................ 48
II.6 Polimer Organik ................................................................. 49
.................. 55
III.1 Bahan Dasar Geopolimer ................................................... 55
III.2 Aktivator Kimia Geopolimer.............................................. 57
III.2.1 Alkali Hidroksid ......................................................... 57
III.2.2 Lithium Hidroksida, LiOH ......................................... 61
III.2.3 Sodium Hidroksida ( NaOH ) ..................................... 62
III.2.4 Kalium hidroksida ...................................................... 63
III.2.5 Rubidium hidroksida ( RbOH ) .................................. 64
III.2.6 Cesium hidroksida, CsOH .......................................... 64
III.3 Geopolimer dan Industri Semen Masa Depan Depan ........ 64
III.4 Metode Karakterisasi .......................................................... 66
III.4.1 Pengukuran Rapat Massa Dan Porositas (Subaer, 2015)
66
III.4.2 Pengukuran Kekerasan Vickers .................................. 67
III.4.3 Kuat Tekan ................................................................. 70
III.4.4 Kuat Ikatan Antar Muka Agregat Geopolimer ........... 72
III.4.5 Konduktivitas Termal ................................................. 73
III.4.6 Analisis Termal .......................................................... 74
III.4.7 Ekspansi Termal ......................................................... 75
III.4.8 Faktor Yang Mempengaruhi Ekspansi Termal
Geopolimer ................................................................................. 77
III.5 Karakteristik Mikrostruktur ................................................ 79
III.5.1 Difraksi Sinar – X (X Ray Diffraction, Xrd) .............. 79
III.5.2 SCANNING ELECTRON MICROSCOPY (SEM) ... 83
III.5.3 Transmission Electron Microscopy (Tem) ................. 84
III.5.4 Particle Size Analyzer (Psa) ....................................... 87
III.5.5 Metode Petrography ................................................... 89
..................... 91
IV.1 Fly ash (John L. Provis And Jannie S. J. Van Deventer, 2009)
91
IV.1.1 FLY ASH F.................................................................. 93
IV.1.2 Fly Ash C.................................................................... 95
IV.2 Sifat Kimia Dan Sifat Fisik Fly ash (Erniati Dkk, 2018)Error!
Bookmark not defined.
IV.3 Aktivator Geopolimer......................................................... 96
IV.3.1 Sodium Hidroksida ..................................................... 98
IV.3.2 Sodium Silikat .......................................................... 100
IV.4 Mortar Geopolimer ........................................................... 102
IV.5 Material Penyusun Mortar Geopolimer ............................ 103
IV.5.1 Agregat Halus ........................................................... 103
IV.5.2 Fly ash ...................................................................... 105
IV.6 Mix Design Mortar GeopolimerError! Bookmark not
defined.
IV.7 Kuat Tekan Mortar ........................................................... 110
IV.8 Potensi Limbah Fly Ash Batu Bara Pltu Sulsel Sebagai Pengikat
(B. Erniati Dkk, (2018)................................................................. 112
IV.9 Hubungan temperature dan kuat tekan pada Mortar Geopolimer
basis fly ash (B. Erniati dkk, 2019) .............................................. 115
Perkembangan Kuat Tekan pada Mortar Geopolimer .......... Error!
Bookmark not defined.
Perbandingan Nilai Kuat Tekan antara Mortar Geopolimer fly Ash
A dengan Mortar Geopolimer fly Ash B .................................. 121
Hubungan Temperatur dengan Nilai Kuat Tekan Mortar
Geopolimer .................................... Error! Bookmark not defined.
REFERENSI..................................................................................... 130
DAFTAR GAMBAR
Halaman

Gambar I.1 Polikondensasi fenoplast antara fenol dan


formaldehida, dalam media alkali. ............................................ 22
Gambar I.2 Polikondensasi kaolinit Si2O5, Al2 (OH)4 dalam media
alkali .......................................................................................... 23
Gambar II.1 Terminologi Geopolimer ...................................... 41
Gambar II.2 Pola XRD geopolimer tipe Na-pss dengan Na:al =
0,6.(a) Si:Al = 1,25, (b) Si:Al = 1,50, (c) Si:Al =1,75 dan (d)
Si:Al = 2,0. Puncak difraksi yang tajam disebabkan oleh anatase
(A) dan quartz. (Q). Setiap kurva telah dioffset untuk kejelasan
gambar (Subaer,2004) ............................................................... 42
Gambar II.3 (a) Al MAS-NMR (b) Si Mas _NMR (Davidovits
1991).......................................................................................... 47
Gambar II.4 Model Struktur Geopolimer tie K-PSS (Davidovits
1994).......................................................................................... 48
Gambar III.1 Diagram komposisis mineral lempung di lapisan
bumi (http://pubs.usgs.gov/of/2001/of01-
041/htmldocs/clays/kaogr.htm). ................................................ 56
Gambar III.2 Viskositas alkali hidroksida sebagai fungsi dari
molalitas. ................................................................................... 58
Gambar III.3 Entalpi Standar Pembubaran Depkes untuk
pengenceran tak terbatas ........................................................... 59
Gambar III.4 Diagram fase untuk sistem NaOH H2O. Kurt dan
Bittner (2006) ............................................................................ 63
Gambar III.5 Microhardness tester (NEWAGE C.A.M.S) ....... 69
Gambar III.6 Indentasi Vickers, (a) pandangan samping indenter
intan, (b) pandangan datar hasil indentasi, d menyatakan diagonal
indentasi (Subaer,2004) ............................................................. 70
Gambar III.7 Skema susunan sampel untuk kekuatan katan
agregat-geopolimer (Subaer,2004) ............................................ 73
Gambar III.8 ekspansi termal dari geopolimer fly ash
menunjukkan kerusakan daerah (lihat teks untuk detail). Si: Al =
2,3, w / c 0,2 .............................. Error! Bookmark not defined.
Gambar III.9 susut termal dari Na, Na + K dan geopolimer K-
diaktifkan dengan Si: rasio Al 1,15Error! Bookmark not
defined.
Gambar III.10 (a) Philips XL-30 SEM, (b) JEOL-2011 TEM di
Curtin University of Technology, Perth, Australia (Foto oleh
Subaer, 2004) ............................................................................ 84
Gambar III.11 Alat yang digunakan untuk percobaan EDXRD
dari Provis dan van Deventer (2007a, 2007b) di sinkrotron NSLS,
Brookhaven National Laboratory, USA. ................................... 82
Gambar III.12 Cara Kerja (https://materialcerdas.wordpress.com/
: hk-phy.org) .............................................................................. 86
Gambar IV.1 Diagram komposisi Pseudo-ternary untuk Fly ash
(Keyte dkk : 2005)..................................................................... 94
Gambar IV.2 Sodium Hidroksida (HaOH) dalam bentuk padat 99
Gambar IV.3 Scanning Electron Microscopy (SEM) dari
Campuran antara Fly Ash dengan Sodium Hidroksida (Neil B.
Milestone dan Cyril Lynsdale, 2004) ...................................... 100
Gambar IV.4 Sodium Silikat (Na2SiO3) dalam bentuk padat 101
Gambar IV.5 Scanning Electron Microscopy (SEM) dari
Campuran antara Fly ash dengan Sodium Silikat (Neil B.
Milestone dan Cyril Lynsdale, 2004) ...................................... 102
Gambar IV.6 Zona Gradasi Pasir Kasar .................................. 105
Gambar IV.7 Hasil PSA Fly ash PLTU JError! Bookmark not
defined.
Gambar IV.8 Hasil PSA Fly ash PLTU JError! Bookmark not
defined.
Gambar IV.9 Hasil PSA Fly ash PLTU JError! Bookmark not
defined.
Gambar IV.10 Hasil PSA Fly ash PLTU JError! Bookmark not
defined.
Gambar IV.11 Hasil PSA Fly ash PLTU BError! Bookmark not
defined.
Gambar IV.12 Hasil PSA Fly ash PLTU BError! Bookmark not
defined.
Gambar IV.13 Hasil PSA Fly ash PLTU BError! Bookmark not
defined.
Gambar IV.14 Hasil PSA Fly ash PLTU BError! Bookmark not
defined.
Gambar IV.15 cristalisasi fly ash A ........................................ 107
Gambar IV.16 cristalisasi fly ash B ......................................... 108
Gambar IV.17 Perbandingan cristalisasi fly ash A dan B ....... 110
Gambar IV.18 Perbandingan Kuat Tekan Mortar Sampel Fly ash
A Dan B ..................................... Error! Bookmark not defined.
Gambar IV.19 Kuat tekan mortar variasi 6 MError! Bookmark
not defined.
Gambar IV.20 Kuat tekan mortar variasi 10 MError! Bookmark
not defined.
Gambar IV.21 Kuat tekan rata – rata mortar variasi 14 M Error!
Bookmark not defined.
Gambar IV.22 Kuat tekan rata – rata mortar variasi modulus
alkali 1,5 .................................... Error! Bookmark not defined.
Gambar IV.23 Kuat tekan rata – rata mortar variasi modulus
alkali 2 ....................................... Error! Bookmark not defined.
Gambar IV.24 Kuat tekan rata – rata mortar variasi modulus
alkali 2,5 .................................... Error! Bookmark not defined.
Gambar IV.25 Hubungan Kuat Tekan Mortar Dengan Waktu
Curing Air Normal dan Air Laut.Error! Bookmark not defined.
Gambar IV.26 Hubungan Kuat Tekan Mortar dengan Waktu
Curing Air Normal dan Air LautError! Bookmark not defined.
Gambar IV.27 Hubungan Kuat Tekan Mortar F.A. J dengan
Perawatan Air Laut.................... Error! Bookmark not defined.
Gambar IV.28 Hubungan Kuat Tekan Mortar F.A. B dengan
Perawatan Air Laut.................... Error! Bookmark not defined.
DAFTAR TABEL
Halaman

Tabel III.1 Kepadatan dan konduktivitas termal geopolimer


metakaolin dari berbagai komposisi .......................................... 74
Tabel III.2 karakteristik penyusutan / ekspansi termal geopolimer
................................................... Error! Bookmark not defined.
Tabel IV.1 Kandungan kimia pada fly ash dengan XRF.... Error!
Bookmark not defined.
Tabel IV.2 Kuat tekan geopolymer yang menggunakan fly ash
diaktivasi dengan berbagai jenis aktivator ................................ 97
Tabel IV.3 Hasil Pemeriksaan Karakteristik Agregat Halus... 103
Tabel IV.4 Kandugan kimia pada fly ash dengan XRF........... 106
Tabel IV.5 Hasil Pengujian Kuat Tekan Mortar Fly ash AError!
Bookmark not defined.
Tabel IV.6 Hasil Pengujian Kuat Tekan Mortar Fly ash B Error!
Bookmark not defined.
Tabel IV.7 Kuat Tekan Rata – rata Mortar Geopolimer .... Error!
Bookmark not defined.
Tabel IV.8 Kuat tekan rata – rata mortar dengan variasi Molaritas
pada umur 28 hari ...................... Error! Bookmark not defined.
Tabel IV.9 Hasil Pengujian Kuat Tekan Rata – rata mortar
berdasarkan Variasi modulus alkali pada Umur 28 Hari ... Error!
Bookmark not defined.
Tabel IV.10 Hasil Pengujian Kuat Tekan Mortar Perawatan Air
Normal ....................................... Error! Bookmark not defined.
Tabel IV.11 Hasil Pengujian Kuat Tekan Mortar Perawatan Air
Laut............................................ Error! Bookmark not defined.
DAFTAR SIMBOL DAN SINGKATAN

Simbol / Singkatan Keterangan Halaman

pada 100–150° Derajat


23

Α sudut muka indenter 70


(OH)4 Tetrahydroxyborate 23

𝐴𝑙𝑂 Mineral Oksida 34

Al2O2 Dialuminium Dioxide 102

Al2O4 Oxidoalumane 38

Al2Si2O5 Kaolin 37

Al3+ Aluminium cation 37

AlQ4(4Si) 46

As Luas Permukaan indensitas 70

ASTM American Standard Testing Material 106

C Celcius 23

Ca Kalsium 24

CaO Kapur Tohor 106

Ca++ Kalsium ion 37

CO2 Karbon Dioksida 28

CRT Cathode Ray Tube 83

D Diagonal Rata-Rata Indentasi 70

Db Rapat massa bulk 67

FA-A Fly ash Jeneponto 106


FA-B Fly ash Barru 106

f’c Kuat Tekan 112

2H2O Hidrogen Perosida 35

3H2O 38

K Kalium 25

K2CO3 Potassium Carbonate 100

K+ Kalium Ion 37

Li Litium 24

Li+ Litium Ion 37

NMR Nuclear Magnetic Resonance 33

M2CO3 Karbonat Alkali 97

M2O Metal Oxida 31

M2SO3 97

M3PO4 97

MAS Magic Angel Spinning 43

MF Maxifloor 97

Mg2 Magnesium 35

MK Metakaoli 30

Mn Kation 37

Mpa Mega Pascal 112

n Derajat Kondensasi 37

Na Natrium 25

2Na38
Na2Al2Si3O1035
Na2CO396
NaOH Natrium Hidroksida 23

Na+ Natrium Ion 37

NaSO4 Mineral Terardit 96

(OH)4 23

OPC Ordinary Portland Cement 65

P Beban 70

Pa Apparent porosity 67

pH Potensial Hidrogen 65

PSS 42

SEM Scanning Electron Microscopy 83

Si2O438
Si2O523
Si4+38
SiO231
SiO2+ Al2O3+ Fe2O3106106
Sn36
SNI103
TEM Transmission Electron Microscopy 84

Ti36
USA20
w37
wH2O37
XRD42
Zn36
I.1 SEJARAH TEKNOLOGI GEOPOLIMER
Penemuan penemuan material bahan pengikat untuk
konstrukruksi yang ramah linkungan semakin berkembang sering
dengan kebutuhan dan perkembangan teknologi. Pengikat yang
sekarang ini berkebang adalah semen. Namun produksi semen
memberikan efek rumah kaca, dimana tiap industri memproduksi
semen maka akan menghasilkan gas CO2. Para peneliti
mengembangkan penelitiannya agar bisa menggantikan semen
sebagian atau seluruhnya dengan material baru.

Pada akhir 1970, Joseph Davidovits penemu dan


pengembang geopolimerisasi, membuat istilah geopolimer untuk
mengklasifikasikan suatu proses geosintesis baru yang
menghasilkan material anorganik polimerik yang
saat ini digunakan untuk berbagai macam industri.
(https://www.geopolymer.org/science/introduction).

Sejak 2003, pertemuan ilmiah tentang geopolimer telah


dilakukan oleh beberapa lembaga ilmiah nasional dan
internasional. Pada tahun 2005, peringatan 26 tahun Institut
Geopolimer yang dilakukan Kongres Dunia yang diprakarsai oleh
J. Davidovits. Geopolymer-chemistry and Sustainable
Development adalah topik utama kongres dunia tersebut. Ada dua
peristiwa besar yang dilakukan dalam dua di lokasi yang berbeda:
Keempat Konferensi Internasional di Saint-Quentin, Prancis,
Juni-Juli 2005, yang diselenggarakan oleh Institut Geopolimer;
Workshop Internasional tentang Geopolimer Semen dan Beton di
Perth, Australia, September 2005 yang dipimpin oleh VJ Rangan,
yang diselenggarakan oleh Curtin Uni hayati dari Technology,
Perth, University of Alabama, Amerika Serikat, dan disponsori
oleh National Science Foundation, USA. Lebih dari 200 ilmuwan
menghadiri kongres dan 85 lembaga penelitian publik dan swasta
internasional. Hasil kongres diperoleh topik-topik yang
cakupanya cukup lebar mulai dari geopolimer kimia, industri
limbah dan bahan baku, semen geopolimer, beton geopolimer,
geopolimer berbasis fly ash, aplikasi dalam bahan konstruksi,
aplikasi dalam bahan technologi tinggi , matriks untuk api / tahan
panas komposit, dan aplikasi dalam arkeologi. Proses yang
diterbitkan (Geopolimer 2005) meliputi 60 makalah terpilih dan
berjudul: Geopolimer, Kimia hijau dan Pembangunan
Berkelanjutan Solusi. Pada tahun 2007. Disamping itu mereka
sepakat untuk mengusulkan setiap tahun dua event internasional :
Symposium Geopolimer tiap bulan Januari, di Daytona Beach,
Florida, Amerika Serikat, dalam kerangka Konferensi
Internasional tentang Advanced Ceramics and Comiteite, yang
diselenggarakan oleh American Ceramic Society dan Prof. W.
Kriven dari Illinois University, dan Geopolymer Camp pada bulan
Juli, di Saint-Quentin, Prancis, yang diselenggarakan oleh
Lembaga Geopolimer Lembaga (John L. Provis and Jannie S. J.
van Deventer, 2009).

I.2 TEKNOLOGI GEOPOLIMER


Geopolimer merupakan bahan baru untuk pelapis dan
perekat, pengikat baru untuk komposit serat dan semen baru
untuk beton. Properti dan penggunaan geopolimer sedang
diterapkan dalam bidang pendidikan dan industri (kimia koloid,
mineralogy, kimia fisik, kimia modern, geologi, dan dalam semua
jenis teknologi rekayasa). Berbagai macam aplikasi geopolimer
yang potensial meliputi bahan tahan api, batu ukiran, isolasi
termal, bahan bangunan berteknologi rendah, ubin/keramik
berenergi rendah, item tahan api, bahan kejut termal,
bioteknologi, pengecoran industri, semen dan beton, komposit
untuk perbaikan dan penguatan infrastruktur, komposit
berteknologi tinggi untuk penerbangan dan mobil, sistem resin
berteknologi tinggi, penahanan limbah radioaktif dan beracun,
seni dan dekorasi, warisan budaya, arkeologi dan sejarah sains
(Joseph Davidovits, 2015)

Latar belakang geopolimer berawal dari kimia yang


berfokus pada kimia polimer organik dan setelah itu terjadinya
berbagai kebakaran hebat di Prancis antara tahun 1970-72 yang
menggunakan plastik organik biasa. Penelitian tentang bahan
plastik yang tidak mudah terbakar dan tidak mudah terbakar
menjadi tujuan Cordi SA. Tahun 1972, pendirian perusahaan riset
swasta Cordi SA, yang bernama Cordi-Géopolymère. Cordi
Geopolymere didirikan dalam rangka untuk mengembangkan
bahan polimer anorganik baru dan dikejutkan oleh fakta bahwa
kondisi hidrotermal sederhana yang sama mengatur sintesis
beberapa plastik organik dalam media alkali, serta mineral
feldspathoids dan zeolite (Joseph Davidovits, 2015)

Fenol dan formaldehyde polycondense menjadi Bakelite


terkenal yang ditemukan oleh Bakeland pada awal abad ke-20,
salah satu plastik buatan manusia tertua (Gambar I.1).

Gambar I.1 Polikondensasi Fenoplast Antara Fenol dan


Formaldehida, Dalam Media Alkali (Joseph
Davidovits, 2015)
Kaolinit aluminosilikat bereaksi dengan NaOH pada 100–
150°C dan polikondensasi menjadi sodalit terhidrasi (tectoalu-
minosilikat, feldspathoid), atau hidroksisodalit (Gambar I.2).

Gambar I.2 Polikondensasi kaolinit Si2O5, Al2 (OH)4 dalam media


alkali (Joseph Davidovits, 2015)

Sintesis zeolit dan saringan molekuler pada dasarnya dalam


bentuk bubuk - menjadi jelas bahwa geokimia sejauh ini belum
diselidiki untuk memproduksi pengikat mineral dan polimer
mineral. Oleh karena itu, melanjutkan untuk mengembangkan
amorf hingga semi kristal tiga dimensi bahan silico-aluminat,
yang saya sebut dalam bahasa Prancis "geopolymeres",
geopolimer (polimer mineral yang dihasilkan dari geokimia atau
geosintesis) (Joseph Davidovits, 2015)

Davidovits (1973) telah mengaplikasi geopolimer dengan


membangun produk yang dikembangkan pada tahun 1973-1976,
seperti panel papan chip tahan api, terdiri dari inti kayu yang
dihadapkan dengan dua pelapis nanokomposit geopolimer, di
mana seluruh panel diproduksi dalam proses satu langkah.
menciptakannya "Proses Siliface". J. Davidovits, 1976,
mengkarakterisasi proses pembuatan untuk pertama kalinya,
pengerasan bahan organik (serpihan kayu dan resin organik
berdasarkan urea formaldehyde aminoplast terjadi secara
bersamaan dengan pengaturan mineral silico-aluminat (Na- poli
(sialate) / kuarsa nanokomposit), ketika menerapkan parameter
termoseting yang sama seperti untuk resin organik: 150-180°C
suhu (Joseph Davidovits, 2015).

I.3 TERMINOLOGI GEOPOLIMER


Joseph Davidovits menetapkan terminologi ilmiah
berdasarkan unsur kimia yang berbeda, pada dasarnya untuk
bahan silikat dan aluminosilikat, diklasifikasikan menurut rasio
atom Si : A (https://www.geopolymer.org/science/introduction):

Si: Al = 0, siloxo

Si: Al = 1, sialate (acronym for silicon-oxo-aluminate of Na, K,


Ca, Li)

Si: Al = 2, sialate-siloxo

Si: Al = 3, sialate-disiloxo

Si: Al> 3, sialate link.

Geopolimer terdiri dari unit molekul (atau kelompok kimia)


sebagai berikut:
-Si-O-Si-O- siloxo, poli (siloxo)

-Si-O-Al-O-sialate, poli (sialate)

-Si-O-Al-O-Si-O-sialate-siloxo, poli (sialate-siloxo)

-Si-O-Al-O-Si-O-Si-O-sialate-disiloxo, poli (sialate-disiloxo)

-P-O-P-O-fosfat, poli (fosfat)

-P-O-Si-O-P-O- fosfor-silokso, poli (fosfosilokso)

-P-O-Si-O-Al-O-P-O-fosfos-sialat, poli (fosfos-sialat)

- (R) -Si-O-Si-O- (R) organo-siloxo, poli-silikon

-Al-O-P-O-alumino-phospho, poli (alumino-fosfor)

-Fe-O-Si-O-Al-O-Si-O-ferro-sialate, poli (ferro-sialate)

Geopolimer saat ini dikembangkan dan diterapkan dalam 10 kelas


utama bahan (https://www.geopolymer.org/science/introduction):

1) Geopolimer berbasis waterglass, poly(siloxonate), soluble


silicate, Si: Al = 1: 0
2) Geopolimer berbasis Kaolinite / Hydrosodalite, poly
(sialate) Si: Al = 1: 1
3) Geopolimer berbasis Metakaolin MK-750, poly (sialate-
siloxo) Si: Al = 2: 1
4) Geopolimer berbasis kalsium, (Ca, K, Na) -sialate, Si: Al =
1, 2, 3
5) Geopolimer berbasis batuan, poly (sialate-multisiloxo) 1
<Si: Al <5
6) Geopolimer berbasis silika, sialate link dan siloxo link in
poly (siloxonate) Si:Al> 5
7) Geopolimer berbasis fly ash
8) Geopolimer Ferro-sialate berbasis
9) Geopolimer berbasis fosfat, geopolimer berbasis AlPO4
10) Geopolimer mineral organik

I.4 ILMU GEOPOLIMER


Geopolimer merupakan material ramah lingkungan yang
biasa dikembangkan sebagai alternatif pengganti beton semen di
masa mendatang. Sebagai terobosan baru, kini berhasil ditemukan
jenis material beton baru “Geopolimer” yang konon lebih ramah
lingkungan. Karena, material ini tersusun dari sintesa bahan-
bahan alam non organik melalui proses polimerisasi. Bahan dasar
utama pembuatan beton geopolimer, adalah bahan yang banyak
mengandung silikon dan alumunium. Unsur-unsur ini,
diantaranya banyak terdapat pada material buangan hasil
sampingan industri, seperti abu terbang (fly ash) sisa pembakaran
batu bara.

Geopolimer adalah anorganik, biasanya keramik, bahan-


bahan yang membentuk jaringan-jaringan non-kristal (amorf)
jangka panjang, berikatan kovalen. Obsidian adalah contoh
geopolimer alami. Geopolimer yang diproduksi secara komersial
dapat digunakan untuk pelapis dan perekat tahan api dan panas,
aplikasi obat, keramik bersuhu tinggi, pengikat baru untuk
komposit serat tahan api, enkapsulasi limbah beracun dan
radioaktif serta semen baru untuk beton (Kozhukova, N et al ,
2016).

Polimer organik terdiri dari kelas polimer alam (karet,


selulosa), polimer organik sintetis (serat tekstil, plastik, film,
elastomer, dll.) Dan biopolimer alami (biologi, obat-obatan,
farmasi). Bahan baku yang digunakan dalam sintesis polimer
berbasis silikon terutama mineral pembentuk batuan asal geologi,
maka namanya: geopolimer. Joseph Davidovits menciptakan
istilah tersebut pada tahun 1978 [2] dan menciptakan lembaga
ilmiah Perancis nirlaba (Association Loi 1901) Institut
Géopolymère (Geopolymer Institute).

Geopolimer dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok


besar: geopolimer anorganik murni dan geopolimer yang
mengandung organik, analog sintetik makromolekul alami (Kim,
D.; Lai, H.T.; Chilingar, G.V.; Yen T.F; 2006). Pada dasarnyya
geopolimer pada dasarnya adalah senyawa kimia mineral atau
campuran senyawa yang terdiri dari unit pengulangan, misalnya
silico-oxide (-Si-O-Si-O-), silico-aluminate (-Si-O-Al-O), ferro-
silico-aluminate (-Fe-O-Si-O-Al-O-) or alumino-phosphate (-Al-
O-P-O-), diciptakan melalui proses geopolimerisasi
Struktur mikro geopolimer pada dasarnya tergantung pada
temperatur sinar X-ray pada suhu kamar, tapi berevolusi menjadi
matriks kristal pada suhu di atas 500 ° C (Kriven, W.M.; Bell, J.;
Gordon, M, 2003)

I.5 APLIKASI GEOPOLIMER


Penerapan teknologi geopolimer saat ini sedang dalam
pengembangan bahan konstruksi pengurangan CO2 sebagai
alternatif berbasis Portland (kalsium silikat) semen. berbagai
properti lainnya geopolimer memberikan keunggulan teknologi
atas bahan konstruksi tradisional, tetapi kinerja itu sendiri tidak
akan cukup untuk mendorong perubahan revolusioner dalam
teknologi bahan konstruksi (Duxson dkk : 2007a). bahan baru
tidak bisa dipaksa ke pasar itu sendiri harus menuntut materi baru,
dan ini mulai menjadi kasus untuk geopolimer dalam konstruksi
aplikasi lain untuk geopolimer termasuk sebagai host matriks
dalam limbah enkapsulasi, sebagai keramik murah (baik
digunakan secara langsung atau sebagai prekursor untuk
kalsinasi), dan dalam perlindungan kebakaran struktur.

Penerapan teknologi geopolimer saat ini dalam


pengembangan konstruksi CO2 yang dikurangi bahan sebagai
alternatif untuk semen (kalsium silikat) berbasis Portland.
berbagai properti lain dari geopolimer memberikan keunggulan
teknologi lebih dari bahan konstruksi tradisional, tetapi kinerja itu
sendiri tidak akan cukup untuk mendorong perubahan
revolusioner dalam teknologi bahan konstruksi (Duxson dkk :
2007a). Material baru tidak dapat dipaksakan ke pengguna yang
tidak diinginkan namun pengguna itu sendiri harus menuntut
bahan baru, dan ini mulai menjadi kasus untuk geopolimer dalam
konstruksi. Selain aplikasi lain untuk geopolimer termasuk
sebagai matriks utama dalam penanganan limbah, sebagai
keramik murah (baik digunakan secara langsung atau sebagai
prekursor untuk kalsinasi), dan dalam proteksi kebakaran struktur
(John L. Provis and Jannie S. J. van Deventer, 2009)

Aplikasi geopolimer terdapat berbagai macam aplikasi yang


cukup potensial dan yang sudah ada. Beberapa aplikasi
geopolimer masih dalam pengembangan sementara yang lain
sudah diindustrialisasikan dan dikomersilkan. Lihat daftar yang
tidak lengkap yang disediakan oleh Institut Geopolimer
(http://www.geopolymer.org/about/business-fellows/). Ada tiga
kategori utama aplikasi geopolimer:

a) Resin Geopolimer Dan Pengikat


 Bahan tahan api, insulasi termal, busa;
 Ubin keramik berenergi rendah;
 Sistem resin berteknologi tinggi, cat, pengikat, dan grout;
 Bio-technologies (maerial untuk aplikasi
maintenance/perawatan);
 Industri pengecoran (resin), perkakas untuk pembuatan
komposit serat organik;
 Komposit untuk perbaikan dan penguatan infrastruktur,
komposit serat karbon tahan api dan tahan panas
berteknologi tinggi untuk interior pesawat dan mobil;
 Pembuangan limbah radioaktif dan beracun;
Davidovits 2015 mendriskripsikan kelas material geopolimer
yang terdiri dari:

1) Metakaolin MK-750 - based geopolymer binder


Chemical formula (Na,K)-(Si-O-Al-O-Si-O-), ratio Si:Al=2
(range 1.5 to 2.5)

2) Silica-based geopolymer binder


Chemical formula (Na,K)-n(Si-O-)-(Si-O-Al-), ratio
Si:Al>20 (range 15 to 40).

3) Sol-gel-based geopolymer binder (synthetic MK-750)


Chemical formula (Na,K)-(Si-O-Al-O-Si-O-), ratio Si:Al=2

Resin geopolimer pertama dijelaskan dalam permohonan


paten Perancis yang diajukan oleh J. Davidovits pada tahun 1979.
Paten Amerika, US 4.349.386, diberikan pada 14 September 1982
dengan judul Mineral Polymers dan metode pembuatannya. Ini
pada dasarnya melibatkan geopolimerisasi alkali yang larut dalam
air [gelas air atau (Na, K) -polysiloxonate] dengan tanah liat
kaolinitik terkalsinasi (kemudian menciptakan metakaolin MK-
750 untuk menyoroti pentingnya suhu kalsinasi, yaitu 750 ° C
dalam kasus ini). Pada tahun 1985, Kenneth MacKenzie dan
timnya dari Selandia Baru, menemukan koordinasi Al (V) kaolinit
terkalsinasi (MK-750), menggambarkan "pergeseran kimia antara
antara tetrahedral dan oktahedral."
https://en.wikipedia.org/wiki/Geopolymer#cite_ref-26).

b) Semen dan bahan Mortar/Beton Geopolimer

Aplikasi geopolimer bisa dimanfaatkan sebagai bahan


bangunan berteknologi rendah (batu bata tanah liat), semen
rendah CO2 dan bahan beton. Produksi semen geopolimer
membutuhkan bahan prekursor aluminosilikat seperti metakaolin
atau fly ash, reagen alkalin yang ramah pengguna misalnya,
natrium atau kalium silikat terlarut dengan rasio molar MR SiO2 :
M2O ≥ 1,65, M menjadi Na atau K. Kategori Geopolymer cement
terdiri dari (https://en.wikipedia.org/wiki/Geopolymer):
 Slag-based geopolymer cement
 Rock-based geopolymer cement
 Fly ash-based geopolymer cement
 Ferro-sialate-based geopolymer cement
Geopolimer dapat diaplikasikan dengan memanfaatkan fly
ash sebagai bahan geopolimer dengan system polimerisasi.
Dengan memanfaatkan bahan aktivator (NaOH dan Na2SiO3)
dicampurkan dengan fly ash sehingga terjadi reaksi polimerisasi.

c) Seni Dan Arkeologi


Material geopolimer dimanfaatkan dalam seni dan
arkeologi. Arsitektur geopolimer terlihat seperti batu alam,
sehingga beberapa seniman mulai melemparkan replika cetakan
karet silikon dari patung mereka. Misalnya, pada tahun 1980-an,
seniman Prancis Georges Grimal mengerjakan beberapa formulasi
batu yang dapat diklonisasi geopolimer. Secara detail material
geopolimer dapat dipalikasikan pada bidang seni dan arkeologi
terkusus pada:
 Artefak batu dekoratif, seni dan dekorasi;
 Warisan budaya, arkeologi, dan sejarah sains.
Batu Piramida Mesir (https://en.wikipedia.org/wiki/Geopolymer#)
Aplikasi arkeologi, pada pertengahan 1980-an, Joseph
Davidovits mempresentasikan hasil analisis pertamanya yang
dilakukan pada batu piramida asli. Dia mengklaim bahwa bangsa
Mesir kuno tahu bagaimana menghasilkan reaksi geopolimer
dalam pembuatan blok batu gamping yang diaglomerasi. Ilmuwan
Ukraina G.V. Glukhovsky mendukung penelitian Davidovits
dalam makalah utamanya kepada Intern Pertama. Conf. di
Alkaline Cements and Concretes, Kiev, Ukraina, 1994.
Kemudian, beberapa ilmuwan material dan fisikawan mengambil
alih studi arkeologi ini dan mempublikasikan hasil mereka, pada
dasarnya pada batu piramida.
Semen Romawi (https://en.wikipedia.org/wiki/Geopolymer#)
Dari penggalian reruntuhan Romawi kuno, orang tahu
bahwa sekitar 95% dari beton dan mortar yang merupakan
bangunan Romawi terdiri dari semen kapur yang sangat
sederhana, yang mengeras perlahan-lahan melalui tindakan
presipitasi karbon dioksida CO2, dari atmosfer dan pembentukan
kalsium. silikat hidrat (CSH). Ini adalah material yang sangat
lemah hingga sedang yang pada dasarnya digunakan dalam
pembuatan fondasi dan bangunan untuk rakyat. Tetapi untuk
membangun "ouvrages d’art" mereka, terutama karya yang
berkaitan dengan penyimpanan air (tangki air, saluran air), arsitek
Romawi tidak ragu untuk menggunakan bahan yang lebih canggih
dan mahal. Semen Romawi yang luar biasa ini didasarkan pada
aktivasi kalsik agregat keramik (dalam testa Latin, analog ke
metakaolin modern kami MK-750) dan tufa vulkanik kaya alkali
(cretoni, zeolitic pozzolan), masing-masing dengan kapur.
Investigasi Spectroscopy MAS-NMR dilakukan pada semen
Romawi berteknologi tinggi yang berasal dari abad ke-2. Mereka
menunjukkan make-up geopolimerik mereka.
II.1 ZEOLIT
Pada sistem jaringan polimer tiga dimensi, zeolit termasuk
jenis dari kristal aluminasilikat yang terberbentuk dari tetrahedral
(Si,Al)O4 yang saling berkaitan melalui pemakaian bersama atom
oksigen (Subaer, 2015). Stokikiometri zeolit dinyatakan dengan
rumus umum yang dapat ditampilkan pada Persamaan 2.1.

𝑀1𝑛+

[(𝐴𝑙𝑂2 )(𝑆𝑖𝑂2 )𝑥 ]2𝐻2 𝑂 .............................................(2.1)
𝑛

Dimana x merupakan rasio atomik Si:Al, Kisi ekstra


kation Mn+ seperti H+, Na+, K+, Cu+ dan [Fe(OH)2]+ dibutuhkan
sebagai kompensasi muatan. Zeolit diperoleh secara alami, namun
demikian dapat diperoleh dengan cara disintesis secara
hidrotermal dari campuran kuat soidum silikat, aluminium
hidroksida dan bahan organik. Kerangka Zeolit terbentuk melalui
pemakaiann bersama sudut 𝑆𝑖𝑂44− dan 𝐴𝑙𝑂45− tetraedral (Subaer,
2015).

Zeolit adalah mineral mikro, aluminosilikat yang biasa


digunakan sebagai adsorben dan katalis komersial. Istilah zeolit
awalnya diciptakan pada tahun 1756 oleh mineralogi Swedia Axel
Fredrik Cronstedt, yang mengamati bahwa pemanasan material
dengan cepat, diyakini telah distilbite, menghasilkan sejumlah
besar uap dari air yang telah teradsorpsi oleh bahan tersebut.
Zeolit terjadi secara alami tetapi juga diproduksi secara industri
dalam skala besar. Hingga September 2016, 232 kerangka zeolit
unik telah diidentifikasi, dan lebih dari 40 kerangka zeolit yang
terbentuk secara alami telah diketahui. Setiap struktur zeolit baru
yang diperoleh diperiksa oleh Komisi Struktur Asosiasi Zeolit
Internasional dan menerima penunjukan tiga huruf.
(https://en.wikipedia.org/wiki/Zeolite#cite_note-1).

Zeolit memiliki struktur berpori yang dapat


mengakomodasi berbagai macam kation, seperti Na +, K +, Ca2
+, Mg2 + dan lainnya. Ion positif ini agak longgar dipegang dan
dapat dengan mudah ditukar dengan yang lain dalam larutan
kontak. Beberapa mineral zeolit yang lebih umum adalah
analcime, chabazite, clinoptilolite, heulandite, natrolite,
phillipsite, dan stilbite. Contoh rumus mineral zeolit adalah:
Na2Al2Si3O10 · 2H2O, rumus untuk natrolit. Kation ini bertukar
zeolit memiliki keasaman yang berbeda dan mengkatalisis
beberapa katalisis asam.

Zeolit alam terbentuk di mana batuan vulkanik dan lapisan


abu bereaksi dengan air tanah alkali. Zeolit juga mengkristal
dalam lingkungan pasca-pengendapan selama periode mulai dari
ribuan hingga jutaan tahun di cekungan laut dangkal. Zeolit alami
jarang murni dan terkontaminasi pada berbagai tingkatan oleh
mineral, logam, kuarsa, atau zeolit lainnya. Untuk alasan ini,
zeolit alami dikeluarkan dari banyak aplikasi komersial penting di
mana keseragaman dan kemurnian sangat penting.

Zeolit adalah anggota aluminosilikat dari famili zat padat


mikropori yang dikenal sebagai "saringan molekuler, dan
terutama terdiri dari Si, Al, O, dan logam termasuk Ti, Sn, Zn,
dan sebagainya. Istilah saringan molekuler mengacu pada sifat
tertentu dari bahan-bahan ini, yaitu kemampuan untuk memilah
secara selektif molekul terutama berdasarkan pada proses eksklusi
ukuran.Hal ini disebabkan oleh struktur pori yang sangat teratur
dari dimensi molekuler.Ukuran maksimum dari spesies molekul
atau ion yang dapat memasuki pori-pori zeolit adalah
dikendalikan oleh dimensi saluran.Ini secara konvensional
didefinisikan oleh ukuran cincin aperture, di mana, misalnya,
istilah "8-ring" mengacu pada loop tertutup yang dibangun dari
delapan atom silikon terkoordinasi (atau aluminium) tetrahedrally
dan 8 atom oksigen.Cincin ini tidak selalu simetris sempurna
karena berbagai efek, termasuk ketegangan yang disebabkan oleh
ikatan antara unit yang diperlukan untuk menghasilkan struktur
keseluruhan, atau koordinasi dari beberapa atom oksigen dari
cincin ke kation dalam struktur. Oleh karena itu, pori-pori di
banyak zeolit tidak berbentuk silindris.
II.2 TERMINOLOGY DAN FORMASI GEOPOLIMER
Di awal tahun 1980-an, Davidovits mengembangkan
polimer anorganik aluminasioikat dari fase amort hingga fase
kristal. Dewasa ini material tersebut dikenal dengan nama
geopolimer, yakni polimer mineral yang diperoleh melalui proses
geokimia. Aluminasilikat memiliki arti geologi yang penting oleh
karena mineral Si-Al seperti kaolin (Al2Si2O5(OH)4) tersedia
dalam jumlah yang melimpah di permukaan bumi.

Reaksi geopolimerisasi melibatkan reaksi kimia berbagai


oksida aluminasilikat dengan larutan silikat di bawah kondisi
alkali tinggi dan menghasilkan ikatan polimerik---(-Si-O-Al-O).
Keluarga geopolimer yang diproduksi dari aluminasilikat disebut
poly(sialates). Material ini terdiri dari jaringan amort dari AIO4
tetraherda yang dihubungkan dengan membagi rata atom oksigen.
Sialate adalah singkatan dari silicon-oxo-aluminate (-Si-O-Al-O).
Kehadiran ion positif, seperti Na+, K+, Li+, dan Ca++ diperlukan
untuk menyetimbangkan muatan negatif dari Al3+ koordinasi-
lipat dengan oksigen. Secara empiris,rumus poly(sialate)
diberikan oleh;

Mn[(-SiO2)z-AlO2]n. wH2O

Dalam hal ini Mn menyatakan kation (unsur alkali), n


menyatakan derajat polikondensasi, w, n menyatakan derajat
polikondensasi, w, n menyatakan derajat polikondensasi, w ≤ 3,
dan z bernilai 1,2 atau 3. geopolimer yang terbentuk dari keluarga
poly(sialates) memilik beberapa satuan dasar.

Material poly(sialates) merupakan polimer anorganik


rantai dan cincin yang rangka utamanya berbentuk Si4+ dan Al3+
serta oksigen dengan matriks beberapa amort hingga semi kristal.

Kristal poly(sialate) dan poly(sialate-siloxo) dapat


diperoleh dari sering atau kondisi hidrotermal, dan bila proses
pengerasan berlangsung pada suhu yang lebih tinggi akan
diperoleh sistem amort atau gelas. Untuk mempelajari derajat
ketidakteraturan struktur geopolimer (amort-kristal) digunakan
pola yang diperoleh dari difraksi sinar-X.

Dengan menggunakan mineral kaolin sebagai bahan baku,


polikondensasi pada suhu 150º C dengan NaOH akan
menghasilkan material kristal sodalite berbasis Na-poly(sialate)
atau (Na-PS) (Si2O4,Al2O4,2Na).3H2O, dengan waktu proses
sekitar 20 detik.

Sebaiknya sintesis geopolimer untuk memproduksi bahan


pengikat (binder) tidak memerlikan proses atau kondisi
hidrotermal. Reaksi geopolimerisasi dari bahan oksida
aluminasilikat untuk produksi sodium atau potassium-
poly(sialate), diangkat (Na-K)-PS dengan rasio atomik Si:Al= 1,0,
oksida alumininiu dituliskan dalam bentuk (Si2O5,Al2O2)n dan
bukan (2SiO2, Al2O3). Penulisan ini dimaksud untuk menekankan
pentingnya koordinasi. Oksida aluminium dalam bentuk (Si2O5,
AL2O2) dipabrikasi dengan teknik kalsinasi aluminosilacate
hydroxides (SiO5,Al2(OH)4 atau kondensasi uap SiO dan Al2O.

Reaksi geopolimerisasi untuk memproduksi sodium atau


potassium poly (sialate-siloxo) (Na,K)-PSS, dengan
menggunakan bahan dasar oksida aluminasilikat dari mineral
kaolin dan dengan rasio atomik Si-Al = 2,0. Bila diperhatikan
dengan seksama tampak bahwa sintesis jenis geopolimer ini
berlangsung dengan menggunakan oligomers (dimer,trimer) yang
menyediakan satuan struktur sesungguhnya untuk membangun
polimer atau sistem molekul makro tiga dimensi.

Bila menggunakan mineral aluminasilikat murni seperti


kaolin untuk memproduksi geopolimer, perbandingan molar
oksida campuran reaksi umumnya berada pada rentang yang
terbatas, yakni

0,2<M2O/SiO2<0,48

3,3<SiO2/Al2O3<4,5

10,0<H2O/M2O<25

Namun demikian, belakangan diketahui bahwa


perbandingan molar oksida tersebut hanya merupakan pendekatan
dan umunya tidak bersifat kritis terutama bila material dasar yang
digunakan bersumber dari mineral Si-Al seperti abu terbang atau
dari mineral sisa produksi lainnya. Hal ini merupakan hasil analisi
kimia yang teliti, tetapi dalam proses sintesis tidak semua atim
silika dan alumina bereaksi secara sempurna.

Perbedaan utama formasi zeolit dan geopolimerisasi


terletak pada konsentrasi bahan dasar. Selain itu, pada umumny
zeolit diproses secara hidrotermal sedangkan geopolimerisasi
tidak memerlukan proses hidrotermal. Kristalisasi zeolit dari
larutan bahan dasar berlangsung perlahan sehingga
memungkinkan orientasi dan penyususan atom sebelum ikatan
kimia yang kuat terbentuk. Sebaliknya, pengerasa campuran
geopolimer berlangsung cukup cepat sehingga tidak tersedia
waktu untuk proses kristalisasi.

II.3 METODE AKTIVASI ALKALI ALUMINASILIKAT


Aktivasi Alkali alumino silikat merupakan proses yang
kompleks yang belum dijelaskan secara rinci. Reaksi dari bahan
aluminosilikat dalam hasil lingkungan basa kuat, pertama-tama,
dalam pemecahan obligasi Si-O-Si; kemudian, fase baru muncul
dan mekanisme pembentukan mereka tampaknya menjadi proses
yang kemudian menjadi sebuah solusi ( “sintesis melalui solusi”).
Penetrasi atom Al dalam struktur Si-O-Si asli merupakan fitur
besar reaksi ini. Alumino-silikat gel (zeolit prekursor) terbentuk
sebagian besar dari komposisi mereka dapat dicirikan dengan
rumus Mn[- (Si-O)z - Al-O]n. Wh2O. CSH dan CAH fase juga
dapat berasal ketergantungan pada komposisi bahan awal dan
kondisi sebelum tindakan. Bahkan sekunder H2O dapat
membentuk reaksi (polycondensation). Amorf zat (seperti gel)
atau kristal memiliki ketergantungan dari bahan baku pada saat
direaksikan. konsentrasi dari materi padat memiliki peran penting
dalam proses aktivasi alkali. Sebagian besar kristal zeolit
memiliki jenis (analsim, hy-dro-sodalite dan lainnya). Oleh
karena itu, proses di atas digunakan untuk sintesis zeolit buatan
manusia yang digunakan sebagai substansi perkuatan. Terutama
produk amorf konsentrasi lebih tinggi dari fase padat (w <1).

Gambar II.1 Terminologi Geopolimer


Sebuah jaringan alumino-silikat tiga dimensi ditandai
dengan rumus empiris Na, Kn {- (Si-O)z -Al-O}n .wH2O di mana
M ... K, Na atau atom Ca, n ... tingkat poli-kondensasi, z ... 1, 2, 3
atau lebih dari 3 terbentuk. Jaringan ini configurated SiO4 dan
alo4tetrahedrons bersatu bersama-sama oleh jembatan oksigen.
Rantai atau cincin disatukan oleh Si-O-Al jembatan terbentuk. ion
positif (Na+, K+, Ca++) Harus mengkompensasi muatan negatif
dari Al yang hadir dalam koordinasi 4.
II.4 STRUKTUR GEOPOLIMER
Material geopolimer yang dihasilkan dari dari disolasi dan
polikondensasi berbagai alkali-aluminasilikat pada dasarnya
bersifat amort. Gambar II.2 memperlihatkan pola xrd geopolimer
tipe Na. PSS dengan rasio atomik Si-Al = 1,25; 1,50; 1,75 dan
2,00 dan dengan Na:Al = 0,60 dengan komposisi tersebut
geopolimer yang dihasilkan seluruhnya bersifat amorf.

Gambar II.2 Pola XRD Geopolimer Tipe Na-Pss Dengan Na:Al =


0,6.(A) Si:Al = 1,25, (B) Si:Al = 1,50, (C) Si:Al =1,75 Dan (D)
Si:Al = 2,0. Puncak Difraksi Yang Tajam Disebabkan Oleh
Anatase (A) Dan Quartz. (Q). Setiap Kurva Telah Dioffset Untuk
Kejelasan Gambar Po(Subaer,2004)
Pola diffraksi geopolimer tersebut seperti halnya dengan
metakaolin memiliki gundakan (hunp) amorf yang lebar pada
daerah 20º - 38º (20). Hal ini merupKn indikasi bahwa
geopolimer Na-PSS terdiri atas rangka tak-beraturan pada
jangkauan yang pendek seperti yang ditemukan gelas feldsphatic.

Gambar II.2 juga menunjukkan bahwa puncak gundakan


amort bergeser ke nilai 20 yang lebih tinggi dengan menurunnya
rasio Si:Al. Pergeseran tersebut disebabkan oleh perubahan
koordinasi Al ketika metakaolin diaktivasi oleh larutan sodium
silikat selama reaksi geopolimerisasi berlangsung. Jaringan
geopolimer terdiri atas SiO4 dan AlO4 tetrahedral dan setiap unit
AlO4 memiliki satu muatan negatif yang harus disetimbangkan
dengan kation Na+. Namun demikian, hasil pengukuran Al MAS-
NMR ( Magic Angel Spinning Nuclear Magnetic Resonance)
memperlihatkan adanya resonansi kecil dari oktahedral Al. Hasil
ini menjelaskan bahwa tidak semua tidak semua elemen
metakaolin bereaksi dengan sempurna.

Geopolimer dengan komposisi Na:Al = 0,8 dan Na:Al = 0,1


memilik pola difraksi yang sama dengan geopolimer Na:Al = 0,6
dan kenaikan konsentrasi atom Na tidak merubah bentuk atau
posisi dari gundakan amorf. Dengan menggunakan Si MAS-
NMR, Rahier,Dkk.(1997) menemukan bahwa posisi resonansi Si
bergeser ke arah medan yang lebih besa dengan meningkatnya
konsentrasi atom Si. Hal ini mennelaskan bahwa secara rata-rata
jumlah atom Al Yang terikat pada atom Si berkurang.

Sifat amort menyebabkan karakteristik struktural


geopolimer tidak dapat dilakukan dengan XRD semata-mata.
Untuk maksud tersebut perlu digunakan teknik MAS-NMR.
Berikut ini akan dijelaskan beberapa hal pokok yang berkaitan
dengan hal tersebut.

Nuclear Magnetic Resonance (NMR) merupakan sebuah


gejala fisis yang terjadi bila inti atom seperti C dan F diletakkan
di dalam medan magnetik statis kemudian diekspos ke medan
magnetik kedua yang berisolasi. Inti atom yang dapat menyerap
radiasi elektromagnetik di dalam rentang frekuensi radio disebut
spin-aktif (dengan bilangan kuantum spin/ ≠ 0) dan beresonansi.
Observasi dasar gejala NMR menunjukkan bahwa keadaan spin
berbanding langsung dengan kuat medan magnet. Nilai frekuensi
ketika inti spin aktif beresonansi dapat dideteksi dan ditampilkan
dengan sebuah intrumen yang disebut spektrometer NMR.

Untik karakterisasi padatan anorganik, resolusi NMR


dibatasi oleh interkasi langsung magnetik dipolar antara dua spin
inti. Dalam rangka mengatasi hal tersebut digunakan teknik yang
dikenal dengan nama line-narrowing. Dalam hal ini, sampel (
padatan anorganik) diputar pada sebuah sumbu yang membentuk
sudut 54.74º (the magic angel) dengan medan statik. Atas dasar
tersebut metode ini dikenal dengan nama MAS-NMR. Ketika laju
rotasi lebih tinggi dari pada lebar pola serbuk ( dalam satuan Hz),
bagian anisotropic dari pergeseran kimia dan interaksi dipolar
akan lenyap, menyisakan sebuah garis yang sempit pada posisi
pergeseran kimia isotropik. Pergeseran kimia ( dalam satuan ppm)
menyatakan besarnya perlindungan magnetik inti melalui awan
eletron tetangganya.

Inti Al dan Si secara khusus digunakan untuk mempelajari


struktur material padatan anorganik termasuk geopolimer. Studi
NMR untuk material aluminasilikat menggunkan tatanan (
nonmenclature) Engelhard dan Hoebel yang dikenal dengan
notasi Qn(mAl) dan Qn(mSi) ( n pada rentang 0-4 ) untuk Al dan
Si. Sebagian contoh, Notasi Qn(mAl) menyatakan AlO4
tetrahedron dengan n atom oksigen penghubung yang
mengandung m Al-Osi. Notasi Qn(mSi) menggambarkan SiO4
tetrahedron dengan n atom oksigen penghubung yang
mengandung m Si-O-Al.

Spektrum Al MAS-NMR memberikan informasi mengenai


lingkungan atom Al di dalam struktur geopolimer. Spektrum
anion aluminat menunjukkan bahwa Al-IV (terhadap oksigen)
beresonansi pada posisi 50 ±20 ppm sementara Al-IV dari
[Al(H2O)6)3+ beresonansi di sekitar 0±10 ppm. Menurut prinsip
loewenstein (dikenal sebagai aluminium avoidance principle)
diketahui bahwa bila dua tetrahedral dihubungkan dengan sebuah
atom oksigen, hanya satu tetrahedral yang dapat ditempati oleh Al
dan tidak terbentuk rantai Al-)-Al.

Ketiadaan rantai Al-O Al menyebabkan setiap atom Al


berada pada lingkungan (Al(4Si). Aturn ini terpenuhi di dalam
anion aluminasilikat. Eksklusi rantai AL.O-Al memungkinkan
adanya lima kemungkinan stauan struktur Qn (mSi) dengan m =
,1,2,3,dan 4)

Dalam studi spektrum Si MAS-NMR, lingkungan silikon


dilukiskan sebagai Qn (mAl) (khusus untuk studi geopolimer
ditulis sebagai SiQn (mAl) (khusus untuk studi geopolimer ditulis
sebagai SiQn (mAl) dan setiap lingkungan memiliki sebuah
rentang resonansi SiQn(mAl) dan setiap lingkungan memiliki
sebuah rentang resonansi, yakni: SiQ4(4AI) dari -80 ke -90 ppm,
SiQ4(3Al) dari-85 ke -95 ppm, siQ4(2Ai) dari -90 ke -100 ppm,
SiQ4(1Al) dari -95 ke -105 ppm,dan SiQ4(Al) dari-100 ke -115
ppm.

Spektrum Al MAS-NMR geopolimer tipe potassium


poly(sialate-siloxo) (K-PSS) (Gambar II.2) menunjukkan bahwa
pergeseran kimia Al berada pada rentang 55 ppm dari
[Al(H2O)6]3+. Puncak kurva terletak di dalam rentang pergeseran
kimia Al tetrahedral dikelilingi oleh empat grup SiO4. Dengan
demikian, Al disebut tipe Q4(4Si) (ditulis sebagai AlQ4(4Si)
sesuai dengan notasi yang umum untuk geopolimer). Hal ini juga
menunjukkan bahwa rapat persilangan untuk Al adalah empat.
Spektrum Al MAS-NMR tidak dapat membedakan berbagai
jaringan geopolimerik material yang berupa poly(sialate),
poly(sialate-siloxo) atau poly(sialate-disiloxo). Perbedaan tersebut
dapat dipelajari dengan menggunakan spectrum Si MAS-NMR
(Gambar II.2b). resonansi Si yang ditemukan pada posisi -81,5
ppm,-87 ppm dan -94,5 ppm masing-masing dinyatakan sebagai
SiQ4(4Al),SiQ4(3Al)da SiQ4(2Al).

Gambar II.3 (a) Al MAS-NMR (b) Si MAS-NMR (Davidovits


1991)
Berdasarkan studi Al dan Si MAS-NMR serta XRD,
Davidovits (1994) mengusulkan model jaringan struktur
geopolimer (tipe K-PSS atau Na-PSS) Sebagaimana ditunjukkan
pada Gambar II.4.Struktur tersebut menunjukkan bahwa
Gambar II.4 Model Struktur Geopolimer Tie K-PSS (Davidovits
1994)
Si terikat ke nol ( 4 pusat Si ) satu, dua atau tiga Al (
sebagai pusat ) yang dihubungkan dengan atom oksigen. Atom Si
dan Al terdistribusi secara acak sepanjang rantai polimerik
berbentuk persilangan yang menyediakan cukup ruang untuk
mengakomodasi kehadiran ion potasium atau sodium.

II.5 Kristalisasi selama sintesis gel geopolimer


Geopolimer pada umumnya dianggap amort banyak peneliti
telah menunjukkan bahwa dalam kondisi tertentu sintesis
geopolimer menghasilkan pembentukan zeolit kristal. Jumlah
silika hadir dalam larutan pengaktif menentukan sebagian besar
difraksi kristal akan membentuk selama geopolimerisasi dalam
sampel disintesis tanpa silikat terlarut, zeolit kristal yang
melimpah memiliki kekuatan yang lebih renda dari pada yang
diaktifkan pada silikat terlarut, sebagai konsentrasi silika dalam
larutan aktivator yang meningkat, efek ini telah diamati di
geopolimer disintesis dari metakaolin, peran silika terlarut dalam
pengembangan struktur mikro gel geopolimer telah dieksplorasi
yang terkait dengan sifat fisik dari faktor binder. Zeolit kristal
terbentuk sebagai reaksi utama selama sintesis geopolimer, dapat
diprediksi dari pengetahuan saat ini zeolit kimia pada darasrnya
dapat mengalami transformasi lebih lanjut, jadi kemungkinan
reaksi cenderung sangat lambat.

Reaksi amort yang menyususn fase mengikat di sebagian


geopolimer sangat menarik tetapi kurang jelas mengingat paralel
antara pembentukan geopolimer dan sintesis zeolit mengakibatkan
terjadinya kristalisasi gel geopolimer dan gel geopolimer
mengandung zeolit nanokristalin terlalu kecil untuk sinar X-
koheren. Sebagai bahan pengaktif silikat memiliki kuat tekan
yang lebih tinggi.

II.6 Polimer Organik


Sejak dahulu kala manusia telah menggunakan berbagai
jenis material untuk menopang kehidupan mereka. Jenis material
yang mereka gunakan antara lain meliputi kayu sebagai bahan
bangunan, kulit, wol dan kapas sebagai bahan pakaian, dan kanji
(starch) yang digunakan sebagai bahan perekat. Dewasa ini,
material tersebut digolongkan sebagai polimer organik (organic
polymer). Organik polimer yang digunakan pada masa lalu
umumnya merupakan polimer yang tersedia atau diperoleh secara
alami (naturally occurring polymers) dan karena itu dikenal pula
dengan nama biopolymer (biopolymers). Material yang tergolong
biopolimer antara lain meliputi protein, enzim, dan selulosa yang
diperoleh dari proses biologi dan fisiologi tumbuhan dan hewan.
Secara umum, polimer organik terdiri atas rantai (jaringan) atom
karbon yang sangat panjang dan karena itu tergolong sebagai
molekul makro.

Berbagai bencana alam, baik yang bersifat fisik maupun


biologis, peperangan yang berkepanjangan, serta peningkatan
kebutuhan hidup manusia akan berbagai jenis material menjadi
salah satu faktor yang mendorong pengembangan polimer dari
polimer alam menjadi polimer semi-sintetik. Sebagai contoh
pemanfaatan bubur kayu sebagai bahan dasar kertas didorong
oleh menurunnya jumlah kapas, pengembangan sutera buatan
dilakukan sebagai akibat merajalelanya gangguan hama pada ulat
sutera. Pada awalnya, produksi polimer sintetik dilakukan secara
empiris karena pada saat tersebut sifat atau perilaku dasar molekul
polimer belum diketahui dengan baik.

Pada awal 1900-an, kemajuan berbagai instrumen penelitian


bidang sains (Fisika, Kimia, dan Biologi) telah memungkinkan
penentuan struktur molekul polimer dan membuka jalan bagi
pengembangan molekul organik menjadi polimer sintetik. Sejak
akhir perang dunia II revolusi dibidang material ditandai dengan
kemajuan polimer sintetik seperti plastik, elastomer, karet dan
serat (fiber). Sains polimer berkembang pesat di tangan Paul
Flory, seorang ahli kimia. Selanjutnya de Gennes dan Edwards
menerapkan konsep fisika modern dan fisika statistik untuk
mendeskripsikan rantai molekul yang panjang.

Untuk beberapa aplikasi praktis, bagian logam dan kayu


telah digantikan oleh plastik dan karet, oleh karena harganya yang
murah serta memenuhi persyaratan seperti halnya dengan logam
dan kayu. Polimer organik sintetik atau secara singkat disebut
polimer, telah memainkan peranan yang sangat penting dalam
kehidupan manusia sehari-hari.

Sekalipun telah mengalami perkembangan yang luar biasa


dalam beberapa dasawarsa serta dapat memenuhi berbagai
kebutuhan manusia, polimer organik sesungguhnya memiliki
sejumlah kelemahan. Kelemahan utama yang dimiliki oleh
polimer organik adalah stabilitas termal dan resistansi oksidasi
yang rendah, serta masalah lingkungan (limbah industri dan
limbah plastik yang tidak dapat didaur ulang). Kebutuhan untuk
memproduksi material yang memiliki daya tahan mekanik, termal
dan kimia yang melampaui daya tahan plastik pada umumnya
berkembang pesat seiring dengan perkembangan industri pesawat
ruang angkasa. Selain itu, perkembangan bahan plastik dan
elastomer mengalami kemunduran sebagai akibat menurunnya
jumlah pasokan bahan mentah fosil karbon. Kenyataan tersebut
justru mendorong dan mempercepat berbagai penelitian untuk
menemukan material alternatif dari sumber mineral yang tersedia
di bumi dalam jumlah yang tak terbatas. Hasilnya, sejumlah ahli
fisika-kimia di berbagai belahan bumi mulai menyelidiki
kemungkinan untuk mensintesa polimer anorganik (inorganic
polymers) yang dapat menutup berbagai kelemahan yang dimiliki
oleh polimer organik.

Secara sederhana, istilah polimer anorganik merujuk pada


bahan (polimer) yang jaringan atomnya tidak tersusun dari atom
karbon. Dengan definisi sederhana seperti itu, material seperti
silicate, polyphosphate, polysilanes, siloxanes, aluminosilicates,
polyposphazenes, polymeric sulphur nitride dan glas inorganic
tergolong polimer anorganik. Selain itu, zeolit termasuk polimer
anorganik, sekalipun material tersebut hanya ditemukan secara
bebas di alam dalam jumlah yang kecil serta memiliki sifat
mekanik yang umumnya lebih buruk dibandingkan dengan
polimer organik. Akan tetapi, sejak tahun 1960, sejumlah
ilmuwan telah mampu mensintesa zeolit dan feldspathoid dari
bahan dasar silika dengan alumina. Dewasa ini, semen Portland,
karena alasan proses/perilaku hydrasi dan polikondensasi,
digolongkan pula sebagai salah satu jenis polimer anorganik.

Polimer anorganik sintetik yang paling tua adalah alkali


silicate glass yang telah digunakan sejak periode Badarian di
Mesir (12000 S.M.). Sedangkan benda-benda yang terbuat dari
gelas pertama kali digunakan di Thebes sekitar 5000 S.M. sebagai
azimat (lion’s amulet) yang dewasa ini disimpan di British
Museum. Terobosan pertama dalam produksi polimer anorganik
dilakukan oleh Thomas Graham pada tahun 1833 berupa sodium
polyphosphate yang dapat berbentuk kristal atau amorf. Pada
tahun 1897, H.N. Stokes berhasil mensintesa
polydichlorophosphazene yakni material elastomer anorganik
yang memiliki sifat seperti karet, dan menjadi stimulus berbagai
penelitian material polimer phosphazene. Pada tahun 1904, F.S.
Kipping menemukan polysiloxane, material pertama yang terbuat
dari bahan polimer organo-anorganik. Penemuan penting lainnya
adalah ditemukannya sulphur nitride pada tahun 1973 oleh V.V.
Labels yang ternyata bersifat konduktor. Pada tahun 1975, Green
et. al. menunjukkan bahwa sulphur nitride memiliki sifat
superkonduktor.

Dewasa ini, industri polimer anorganik yang paling besar


adalah manufaktur semen Portland. Berbagai bahan dasar seperti
batu gamping (Calcium carbonate), lempung, dan silika
dihaluskan dan dibakar pada suhu tinggi antara 1375 – 1475 oC.
Hasil akhir dari pembakaran tersebut merupakan material yang
terdiri atas empat fase dengan rumus kimia ideal Ca3SiO5,
Ca2SiO4, Ca3Al2O6, and Ca2(Al,Fe)2O5 dengan perbandingan
tertentu (berat, wt%) yang disesuaikan dengan tujuan aplikasinya.
Namun demikian, proses atau produksi semen Porland
melepaskan gas CO2 dalam jumlah yang sangat besar, dan dengan
memperhitungkan jumlah industri semen yang ada secara global
maka dapat difahami mengapa industri tersebut merupakan
kontributor utama emisi gas CO2 ke udara. Penelitian inovatif
sangat diperlukan agar produksi semen atau material subsitusi
semen menghasilkan teknologi polimer anorganik yang lebih
hijau atau ramah lingkungan. Beberapa tahun terakhir ini,
pengembangan material semen yang diaktivasi dengan larutan
alkali, termasuk geopolymer, menarik perhatian yang sangat besar
dari para ilmuwan dan pihak industri sebagai salah satu alternatif
semen bermutu tinggi dan ramah lingkungan.

(http://fisika-bumi.blogspot.com/2011/03/polimer-organik.html)
III.1 Bahan Dasar Geopolimer
Di awal perkembangannya, sebagian besar geopolimer
disintesis melalui aktivasi-alkali kaolin terdehidroksilasi
(dehydroxylated kaolinite) atau metakaolin. Akhir-akhir ini,
berbagai mineral Al-Si seperti abu terbang (fly ash), furnace slag,
pozzolan dan campuran metakaolin/abu terbang atau
kaolin/stilbite, telah digunakan untuk memproduksi geopolimer.
Material yang paling menarik adalah pemanfaatan material sisa
produksi (bahan buangan industri) untuk memproduksi semen
geopolimer yang ekonomi dan ramah lingkungan atau mineral
struktural yang tahan panas dan api.

Mineral Lempung

Mineral lempung (clay minerals) merupakan kelompok


mineral yang penting sebagai hasil dari pelapukan kimia batuan
dan karena itu merupakan komponen utama dari butiran-halus
batuan sedimen yang disebut mudrocks (termasuk
mudstone,claystone, dan shales). Sesungguhnya, mineral lempung
membentuk 16% mineral batuan sedimen, sekaligus sebagai
komponen utama batuan (Gambar III.1)
Gambar III.1 Diagram komposisis mineral lempung di lapisan
bumi (http://pubs.usgs.gov/of/2001/of01-
041/htmldocs/clays/kaogr.htm).

Pengetahuan tentang mineral lempung juga sangat penting


dari sudut pandang rekayasa (engineering) oleh karena sejumlah
mineral lempung mengembang ketika terkena air. Secara
ekstensif, mineral lempung digunakan pada industri keramik dan
karena itu termasuk mneral dengan nilai ekonomi yang penting.

Berdasarkan struktur dan komposisi kimia, mineral


lempung dapat di bagi atas (3)kelompok:

1. Kandites dengan struktur yang mirip dengan struktur


kaolin
2. Smectites dengan struktur yang mirip dengan struktur
pyrophyllite
3. Illites dengan struktur yang mirip dengan struktut
muscovite

Setiap kelompk mineral tersebut terbentuk di bawah lingkungan


dan kondisi kimia yang berbeda.

III.2 Aktivator Kimia Geopolimer


Aktivator kimia diperlukan untuk memulai reaksi
geopolimerisasi, pada umumnya bahan pengikat aluminosilikat
diaktifkan dengan alkali hidroksida atau silikat di bawah kondisi
Ph tinggi diklasifikasikan sebagai geopolimer untuk reaksi
karbonat atau sulfat, Krivenko dan roy (2006). Kimia solusi
silikat alkali juga penting untuk memahami sintesis zeolit
(McCormick dan Bell tahun 1989, membedung dkk : 1994

III.2.1 Alkali Hidroksid


Gambar III.2 Viskositas alkali hidroksida sebagai fungsi dari
molalitas.

Alkali Hidroksida yang paling umum digunakan sebagai


aktivator dalam sintesis geopolimer adalah natrium atau kalium,
hanya dengan segelintir publikasi sampai saat membahas
penggunaan proporsi kecil dicampur dengan satu atau kedua
natrium dan kalium, dalam konteks pengolahan dan selain dari
korosifitas jelas tinggi, sifat yang paling penting dari solusi
hidroksida pekat yang harus diperhatikan adalah viskositas dan
panas. Gambar III.2 menunjukkan variasi viskositas dengan
konsentrasi pada 25 ° C untuk masing-masing hidroksida alkali,
dalam beberapa kasus tidak lengkap karena data tidak tersedia
dalam literatur akademik, Namun, jelas bahwa kecenderungan
yang konsisten diikuti oleh semua solusi yang digambarkan,
dengan peningkatan yang sangat bertahap viskositas sampai
sekitar 1,0 M, di mana titik viskositas sangat berbeda dari yang
air. Setelah ini ada peningkatan yang signifikan yang kecuraman
tergantung pada identitas kation alkali (mencatat bahwa Gambar
III.2 diplot pada sumbu logaritmik). Ada tampaknya tidak
menjadi tren sistematis dalam viskositas sebagai fungsi dari
ukuran kation, tetapi ada tingkat signifikan ketidakpastian
diperkenalkan oleh kelangkaan data untuk beberapa sistem yang
ditampilkan.
Gambar III.3 Entalpi Standar Pembubaran Depkes untuk
pengenceran tak terbatas

Pada Gambar III.3 menggambarkan entalpi standar


pembubaran untuk pengenceran tak terbatas, D aq H ° 298.15K,
dari masing-masing hidroksida alkali sebagai fungsi dari ukuran
kation. Pentingnya D aq H ° 298.15K. Pentingnya panas
pembubaran bahwa, dalam mempersiapkan solusi hidroksida
pekat, peningkatan suhu yang signifikan akan terjadi, Gambar
III.3 menggambarkan entalpi standar pembubaran untuk
pengenceran tak terbatas, D aq H ° 298.15K, dari masing-masing
hidroksida alkali sebagai fungsi dari ukuran kation. Pentingnya D
aq H ° 298.15K. Pentingnya panas pembubaran adalah bahwa,
dalam mempersiapkan solusi hidroksida pekat, peningkatan suhu
yang signifikan akan terjadi mungkin akan bermasalah.

Panas yang sebenarnya disebabkan oleh pelarutan yag


kurang dari nilai tak terbatas pada gambar III.3 seperti panas
pengenceran yang dikeluarkan tidak akan signifikan sebagai
aktivasi geopolimer, namun entalpi mendominasi efek dilusi pada
data Gambar III.3memberikaan perkiraan yang bermanfaat dari
panas yang akan digunakan, diperkirakan bahwa dilusi dari ~
10M ke pengenceran tak terbatas menyumbang sekitar 10% dari
entalpi pembubaran NaOH, dengan pembubaran kristal padat
menyediakan 90% Data Simonson dkk : ( 1989) menunjukkan
bahwa entalpi pembubaran NaOH (aq) adalah hanya lemah
tergantung konsentrasi pada 25 ° C, tetapi tidak bergantung agak
lebih kuat pada suhu. Sebagai perkiraan kasarnya bukan angka
pasti sedang dicari di sini, sosok 10% akan cukup akurat untuk
tujuan perhitungan ini, data pada Gambar V.2 dapat digunakan
untuk menghitung kenaikan suhu perkiraan ketika melarutkan
alkali hidrokida untuk konsentrasi yang diperlukan sebagai
sintesis geopolimer jika diasumsikan bahwa melarutkan 10 molar
NaOH kedalam satu liter air melepaskan 90% panas yang akan
dihasilkan, maka akan menghasilkan 400 kj panas rata-rata
larutan NaOH menjadi sama dengan air, jumlah panas akan cukup
untuk menaikkan suhu air dengan lebih dari 90 C, dalam banyak
kasus sebagian panas akan hilang ke lingkungan dan beberapa
akan di keluarkan oleh penguapan namun jelas bahwa seperti
kenaikan suhu dalam larutan yang sangat kaustik perlu hati-harti
dan dipantau jika hidroksida yang harus disiapkan secara rutin
dari prekursor padat dalam pengaturan produksi industri seperti
ditunjukkan pada gambar III.3 Simonson dkk : ( 1989), jumlah
panas akan cukup untuk menaikkan suhu air dengan lebih dari 90
° C. dalam banyak kasus, sebagian panas akan hilang ke
lingkungan dan beberapa akan dikeluarkan oleh penguapan
beberapa persentase dari solusi. Namun, jelas bahwa seperti
kenaikan suhu dalam larutan yang sangat kaustik perlu sangat
hati-hati dan dipantau jika solusi hidroksida yang harus disiapkan
secara rutin dari prekursor padat dalam pengaturan produksi
industri.

III.2.2 Lithium Hidroksida, LiOH


Larutan LiOH di 298.15K hanya dibawah 5,4 m yang
berada di bawah kisaran alkalinitas sebagai aktivasi hidroksida
dalam sintesis geopolimer untuk penggunaan lithium di
geopolimer berasal dari literatur paten melibatkan penggunaannya
sebagai akselerator untuk polimerisasi dengan peningkatan yang
diketahui dari pembentukan koloid di silikat atau memasukkan
lithium sebagai kation logam alkali yang berkaitan dengan bahan
geopolimer dari berbagai komposisi, karena itu dianggap tidak
terlalu penting dalam penelitian geopolimer. Peran utama Li+
dalam teknologi semen dan mortar adalah untuk meminimalkan
degradasi akibat reaksi alkali silikat.
III.2.3 Sodium Hidroksida ( NaOH )
NaOH adalah aktivator hidroksida yang paling umum
digunakan dalam sintesis geopolimer karena merupakan alkali
hidroksida yang paling murah dan paling banyak tersedia,
penggunaan NaOH sebagai aktivator dalam sintesis geopolimer
fly ash dan metakaolin. Sifat yang sangat korosif pada NaOh atau
natrium hidroksida akan memerlukan peralatan pengolohan yang
khusus diperlukan untuk menghasilkan volume yang besar ketika
hidroksida di aktifkan. Larutan NaOH pada 25°C adalah 53,3%
massa (28,57 m), tapi turun dibawah 30% (10,73 m) pada 0°C
dengan pembentukan pembentukan urutan kompleks hidrat yang
solit antara 30 dan 50 wt% NaOH, seperti yang ditunjukkan pda
diagram fase disajikan dalam bentuk Gambar V.3.

Penggunaan Natrium Hidroksida sebagai aktivator di


geopolimer menyebabkan pembentukan struktur zeolit diamati
terutama setelah dalam kondisi lembab bahkan setelah priode
singkatpada suhu tinggi, beberapa korelasi antara pembentukan
zeolit dan kekuatan menurun pada sistem tertentu, namun belum
jelas apakah ini efek pembentukan zeolit.
Gambar III.4 Diagram fase untuk sistem NaOH H2O. Kurt dan
Bittner (2006)

III.2.4 Kalium hidroksida


Larutan KoH pada 25 ° C adalah sekitar 21 m, dan ini tidak
menurun secara drastis dengan penurunan suhu (Pickering 1893).
Diagram fase juga jauh lebih sederhana dari NaOH H2O, oleh
karena itu tidak mungkin bahwa kalium hidroksida akan
bermasalah dalam segala kondisi pengolahan geopolimer.

Pembentukan zeolit juga mengambil tempat di geopolimer


diaktifkan sama dengan NaOH yang mengandung zeolit, namun
kristalisasinya kurang cepat dalam KoH dibandingkan dengan
NaOH.
III.2.5 Rubidium hidroksida ( RbOH )
Rubidium hidroksida belum diteliti secara rinci dalam
geopolimerisasi karena biaya yang sangat mahal dan sangat
langkah

III.2.6 Cesium hidroksida, CsOH


Cesium hidroksida telah digunakan di geopolimerisasi dalam
beberapa kasus, terutama di silikat dari pada sistem hidroksida
diaktifkan itu kurang langka dari rubidium, tapi masih cukup
eksotis untuk dipertimbangkan mungkin untuk melihat
penggunaan komersial skala besar di geopolimer, kecuali dalam
niche jenis ceramic yang tahan panas dan sangat rendah termal

III.3 Geopolimer dan Industri Semen Masa Depan Depan


OPC dibentuk oleh manufaktur sangat disengaja terutama
bahan silikat kalsium reaktif yang mengandung konstituen dan
fase yang benar untuk memberikan nutrisi yang dibutuhkan untuk
reaksi pada tingkat tertentu pada air, perilaku pembubaran OPC
ditentukan oleh komposisi kimia dan kehalusan partikel, dan telah
disempurnakan Selama hampir 200 tahun produksi skala besar,
kalsium hadir dalam jumlah yang cukup untuk depolymerise
silikon memberikan nutrisi yang dibutuhkan untuk reaksi pada
tingkat tertentu terhadap air. Kalsium hadir dalam jumlah yang
cukup untuk depolymerise silikon, memberikan pemecahan yang
sangat cepat bila dibandingkan dengan slag atau abu terbang
dalam kondisi yang sama dari pH awal mendekati netral, dengan
meningkatnya pH kemudian dalam proses hidrasi OPC, terak atau
abu terbang akan mulai bereaksi, inilah sebabnya mengapa
komponen kimia ini bermanfaat terutama dalam pembangunan
properti di kemudian hari, partikel-partikel berbentu pola pada
abu terbang sebenarnya bermanfaat dalam reologi semen segar

Kalsium hadir dalam jumlah yang cukup untuk depolymerise


silikon, memberikan pembubaran awal sangat cepat bila
dibandingkan dengan slag atau abu terbang dalam kondisi yang
sama dari pH awal mendekati netral. Dengan meningkatnya pH
kemudian dalam proses hidrasi OPC, terak dan / atau abu hadir
maka akan mulai bereaksi. Inilah sebabnya mengapa kimia
komponen ini diketahui bermanfaat terutama dalam pembangunan
properti jangka kemudian semen dicampur; mereka hanya tidak
bereaksi cukup cepat pada pH ~ 10-11 memberikan kontribusi
yang signifikan untuk periode awal hidrasi semen. Partikel-
partikel berbentuk bola di fly ash sebenarnya bermanfaat dalam
reologi semen segar juga.

OPC menampilkan dirinya sebagai ‘Sweet spot’ komposisi


untuk kalsium silikat digunakan untuk pembuatan satu bagian
hanya dengan menambahkan air aluminosilikat berbasis semen
geopolimer.

Geopolimer tidak perlu menjadi produk yang bersaing pada


skala global dengan infrastruktur industri OPC yang ada,
melainkan dapat dilihat sebagai teknologi yang dapat
dimanfaatkan oleh produsen semen untuk menawarkan lebih luas
produk semen ke pasar. Jelas proses satu bagian adalah
mekanisme yang ideal untuk penyebaran skala besar semen
geopolimer, karena sebagian besar proses kontrol kualitas dapat
ditangani dengan terpusat daripada membutuhkan kontrol yang
luas dan pemahaman kimia pada bagian dari pengguna akhir.
Namun, ini bukan untuk mengatakan bahwa proposisi saat ini
layak atau dekat dengan kesiapan pasar. Sebaliknya, dua bagian
produksi beton geopolimer siap untuk komersialisasi, mengingat
bahwa keahlian yang cukup tersedia untuk memastikan kontrol
kualitas yang memadai dan akses ke teknologi yang tepat baik
mengatasi atau menghapus kebutuhan untuk penyesuaian
campuran-desain biasa. operasi seperti memulai produksi skala
menengah di Australia awal tahun 2008 (nowak 2008).
III.4 Karakterisasi Geopolimer
III.4.1 Pengukuran Rapat Massa Dan Porositas (Subaer,
2015)
Pengukuran rapat massa dan porositas dilakukan untuk
mengevaluasi kualitas fisik geopolimer. Rapat massa bulk
didefinisikan sebaga massa total (termasuk pori) per satuan
volume. Porositas merupakan sebuah fase di dalam material yang
dapat dikarakterisasi berdasarkan fraksi volume, ukuran dan
distribusi,dibandingkan dengan fase lain yang ada di dalam
material tersebut. Salah satu jenis porositas yang lazim diukur
adalah apperent porosity, yakni porositas yang terletak pada
permukaan material.

Nilai rapat massa bulk (Db) dan apparent porosity (Pa)


untuk geopolimer umunya diukur dengan menggunakan prinsip
archimedes, yakni dengan menenggelamkan material tersebut ke
air (umumnya dengan deionized water)

Nilai rapat massa bulk (Db) dan apparent porosity (Pa)


dihitung dengan menggunakan persamaan berikut ;

Rapat massa bulk Db = (md/m5-m1)x Di

Apparent porosity Pa = (m8-md/m8-mi)x100%

Untuk memudahkan pengukuran, geopolimer terlebih


dahulu dipotong dengan gergaji intan hingga memiliki dimensi
tinggi 0,50 cm dan diameter 2,50 cm. Selanjutnya material
tersebut dikeringkan kemudian ditimbangkan dengan neraca
untuk menentukan massa dalam keadaan kering. Geopolimer
kemudian dimasukkan ke dalam air dan didihkan selama kurang
lebih dua jam. Selama masa pemanasan, volume air harus jaga
agar seluruh material tersebut tetap terendam. Setelah proses
pemanasan selesai, geopolimer dibiarkan di dalam air rendaman
selama 12 jam sebelum dilakukan penimbangan.

III.4.2 Pengukuran Kekerasan Vickers


Kekerasan (hardness) merupakan ukuran resistansi sebuah
material terhadap deformasi plastik yang terlokalisasi. Pengujian
kekerasan merupakan sebuah metode yang lazim digunakan untuk
menguji kualitas sebuah material khususnya logam dan keramik.
Pengujian ini dilakukan dengan menekan sebuah indenter ke atas
permukaan material dengan beban dinamik atau statis dan
menentukan tanggapan (response) material yang dalam hal ini
berupa ukuran indentasi.

Salah satu mesin indenter yang sering digunakan adalah


Zwick Microhardness Tester dengan sebuah Indenter Vickers
berbentuk piramida yang terbuat dari bahan intan. Sampel
geopolimer yang digunakan untuk pengujian indentasi terlebih
dahulu dipotong dengan gergaji intan dan permukaan uji dipoles
dengan menggunakan struers pedamat polisher dan diakhiri
dengan 1 grade diamond. Berdasrkan metode pengujian standar
untuk microhardness (ASTM-E384), beban pengujian yang
digunakan hendaknya antara 300-1000g dengan lama aplikasi
sekitar 20 detik. Panjang diagonal indentasi di ukur langsung
dengan menggunakan sebuah micrometer yang dipasang ada meja
sampel atau dengan menggunakan mkroskop optik yang di
interface dengan sebuah komputer (Gambar III.5)
Gambar III.5 Microhardness tester (NEWAGE C.A.M.S)

(www.hardnesstester.com)

Bilangan kekerasan Vickers, Hv merupakan bilangan yang


berkaitan dengan gaya (p) dan luas permukaan yang bersifat
permanen yang di bentuk oleh indenter intan yang berbentuk
piramida dengan sudut muka sebesar 136º (Gambar III.5)
Gambar III.6 Indentasi Vickers, (a) pandangan samping indenter
intan, (b) pandangan datar hasil indentasi, d menyatakan diagonal
indentasi (Subaer,2004)

Kekerasan Vickers (Hv) dinyatakan dalam satuan MPa dan


dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:

Dalam hal ini P = beban (N)

As = Luas Permukaan indensitas (mm2)

D = diagonal rata-rata indentasi (mm) dan

Α = sudut muka indenter (136º)

III.4.3 Kuat Tekan


Kuat tekan adalah kemampuan mortar untuk menahan gaya
luar yang datang pada arah sejajar serat yang menekan mortar.
Mortar yang digunakan untuk bahan bangunan harus mempunyai
kekuatan terutama untuk pasangan dinding batu bata, pasangan
dinding batako atau pasangan dinding yang lainnya (Anni
Susilowati dkk 1996). Pasangan dinding menerima beban tekan
yang diakibatkan oleh pengaruh dari atas, angin, atau gaya
samping lainnya. Di Indonesia sampai sekarang belum ada
persyaratan yang mengisyaratkan kekuatan adukan mortar, hanya
untuk kondisi tertentu dianjurkan menggunakan jenis campuran
tertentu pula.

Beberapa negara sudah memiliki standar yang


mencantumkan kekuatan adukan mortar. ASTM C 270
mencantumkan persyaratan mortar sebagai berikut :

1) Adukan tipe M adalah adukan dengan kuat tekan yang tinggi,


dipakai untuk dinding bata bertulang, dinding dekat tanah,
pasangan pondasi, adukan pasangan pipa air kotor, adukan
dinding penahan dan adukan untuk jalan. Kuat tekan
minimumnya adalah 175 kg/cm2.
2) Adukan tipe N adalah adukan dengan kuat tekan sedang,
dipakai bila tidak disyaratkan menggunakan tipe M, tetapi
diperlukan daya rekat tinggi serta adanya gaya samping. Kuat
tekan minimum 124 kg/cm2.
3) Adukan tipe S adalah adukan dengan kuat tekan sedang,
dipakai untuk pasangan terbuka diatas tanah. Kuat tekan
minimum 52,5 kg/cm2.
4) Adukan tipe O adalah jenis adukan dengan kuat tekan rendah,
dipakai untuk konstruksi dinding yang tidak menahan beban
yang tidak lebih dari 7 kg/cm2 dan gangguan cuaca tidak
berat. Kuat tekan minimumnya adalah 24,5 kg/cm2.
5) Adukan tipe K adalah adukan dengan kuat tekan rendah,
dipakai untuk pasangan dinding terlindung dan tidak
menahan beban, serta tidak ada persyaratan mengenai
kekuatan. Kekuatan minimum 5,25 kg/cm2.
Adapun perhitungan kuat tekan mortar berdasarkan persamaan
tekanan dapat dilihat pada Persamaan 5.1.

f^' c=P/( A ) .............................................................. (5.1)

dimana f’c: kuat tekan mortar (Mpa); P: gaya beban maksimum


total yang diberikan (N), A: luas dari permukaan yang dibebani
dalam (mm2).

III.4.4 Kuat Ikatan Antar Muka Agregat Geopolimer


Pengujian ini dilakukan untuk mengukur kuat ikatan antara
agregat dengan matriks geopolimer. Kekuatan ikatan pada zona
transisi antarmuka (Intrfacial Transition Zone, ITZ) merupakan
salah satu parameter yang sangat penting untuk keramik dan
material yang bersifat semen, terutama untuk aplikasi pelapisan
(coating), sambungan (join) atau hubungan (junction).

Pengukuran kekuatan ikatan antarmuka menggunakan


sampel yang berukuran 20x20x100 mm dan ditunjukkan secara
skema pada Gambar III.7 susunan sampel yang demikian
memungkinkan kekuatan ikatan uniaxial tensile diukur dengan
memisahkan agregat dengan matriks geopolimer.

Agregat yang digunakan dalam pengukuran ini dapat


berupa quartz, sandstone, dan granit berbentuk kubus dengan sisi
20 mm. Untuk memisahkan agregat dengan geopolimer
digunakam Hounsfield Tensometer dengan kapsitas beban
maksimuk 250 kg.

Gambar III.7 Skema susunan sampel untuk kekuatan katan


agregat-geopolimer (Subaer,2004)

III.4.5 Konduktivitas Termal


Konduktivitas termal geopolimer diukur untuk menilai
potensi mereka sebagai produk insulasi atau bahan bangunan
beton, isolator memerlukan konduktivitas termal rendah karena
dirancang untuk mengurangi konduksi panas, sedangkan beton
memerlukan konduktivitas termal yang relatif tinggi, karena hal
ini mengurangi tekanan ekspansi dalam kepadatan rendah busa
geopolimer dirancang sebagai isolator termal telah diproduksi
dengan konduktivitas termal 0,037 Wm-1k-1. Duxson etal
melaporkan konduktivitas termal metakaolin geopolimer sekitar
0,8 hasilnya lebih rendah dari studi duxson yang berkisar
antara0,55 dan 0,65 Wm-1k-1. Nilai konduktivitas termal yang
dilaporkan oleh subaer dan duxson yang lebih tinggi dari OPC
pasta yang memiliki konduktivitas termal. Studi subaer
menemukan bahwa penambahan 40% agregat kuarsa
meningkatkan konduktivitas termal sebesar 40% dibandingkan
dengan geopolimer metakaolin.

Tabel III.1 Kepadatan dan konduktivitas termal geopolimer

sampel ID Massa jenis Konduktivitas


termal
(G cm-3) (Wm-1K-1)
Si: Al = 1,5, Na: Al = 0,6 1,68 ± 0,09 0.65 ± 0.04
Si: Al = 1,5, Na: Al = 0,8 1,62 ± 0,05 0.64 ± 0.03
Si: Al = 2,0, Na: Al = 1.0 1.43 ± 0.01 0,55 ± 0,03
Si: Al = 1,5, Na: Al = 0,6 1,89 ± 0,02 0,91 ± 0,07
(40 wt% kuarsa agregat)
metakaolin dari berbagai komposisi

III.4.6 Analisis Termal


Proses termodinamika dalam semen geopolimer telah diukur
dengan menggunakan analisis suhu (DTA). Suhu tinggi telah
diukur dengan menggunakan analisis termogravimetri (TGA),
sering bersamaa dengan DTA. Teknik-teknik pengujian seperti
dengan dilatometry biasanya memudahkan disaat melakukan
pengujian. Atmosfer inert seperti nitrogen atau argon dapat
digunakan untuk menghilangkan reaksi atmosfer sekunder seperti
oksidasi

III.4.7 Ekspansi Termal


Ekspansi termal dapat diukur melalui dilatometry atau ex situ
melalui pengukuran dimensi. Dilatometry adalah metode yang
paling umum karena dapat dilakukan secara real time dan login
secara elektronik. Pengukuran dilatometry dapat dilakukan secara
langsung menggunakan sitem pengukuran laser, mengulangi
siklus termal dapat memberikan indikasi untuk reversibilitas
perubahan pelebaran.

Ekspansi termal atau susut geopolimer mengalami


penyusutan atau perluasan selama pemanasan menyebabkan
tekanan internal dan eksternal berpotensi mengalami kelemahan
atau kerusakan struktur dalam konteks tahan api minimal dilatasi
termal yang diinginkan untuk mempertahankan integritas
struktural.

Pengaruh pada ekspansi termal air ke semen (w/c) jenis


alkali dan rasio komposisi dieksplorasi, di samping itu ekspansi
termal mortar geopolimer ditinjau untuk membangun efek
ekspansi yang sulit dari agregat dan pasta yang memiliki
komposit.

Ekspansi termal geopolimer adalah isotropik karena struktur


amort, namun ekspansi tidak seragam dapat terjadi di daerah
sampel karena variasi dalm komposisi dan suhu yang
menyebabkan tegangan termal timbul yang menyebabkan retak,
spalling, karakteristik ekspansi termal untuk semua geopolimer
kisaran suhu masing – masing adalah variabel dan tergantung
pada kondisi komposisi sampel dan pada saat pengujian.

Geopolimer seperti kebanyakan bahan padat memperluas


pemanasan, namun geopolimer mengandung proporsi yang tinggi
dari air yang baik terserap dalam pori-pori kimia atau kimia
terikat dalam struktur. Rasonansi magnetik nuklir (NMR) dan
analisis termogravimetri (TGA).

Pada saat pemanasan air pada berbagai tahap tergantung


pada energi yang dibutuhkan untuk membebaskan air, dehidrasi
air akan mengalami penyusutan dengan demikian total ekspansi
termal dari pasta geopolimer adalah konvolusi dari perluasan
kepadatan dan penyusutan pori-pori. Reaksi lain seperti
kristalisasi, oksidasi,sintering dan mempengaruhi ekspansi termal
pada suhu tinggi, sejauh dari penyusutan dehidrasi tergantung
pada kadar air bahan. Sifat penyusutan dehidrasi seperti suhu dan
durasi tergantung pada struktur geopolimer dan tingkat panas
selama pengukuran. Geopolimer dengan modulus yang lebih
besar dapat menahan kekuatan regangan kapiler, dengan demikian
struktur pori memiliki pengaruh pada tingkat dehidrasi.

Penyusutan termal yang terjadi umumnya antara 300° dan


600° C disebabkan oleh kontraksi fisik pasta geopolimer sebagai
kelompok hidroksil yang dilepaskan menciptakan keterkaitan
yang lebih pendek, namun jumlah kecil dari penyusutan bisa
ditutupi oleh ekspansi fase sekunder seperti ditnjukkan pada
gambar III.8 ini lebih sering terjadi di geopolimer abu terbang
karena konsentrasi yang relatif tinggi kotoran.

III.4.8 Faktor Yang Mempengaruhi Ekspansi Termal


Geopolimer

a. Kadar Air (w / c)

Sifat dari ekspansi termal pasta geopolimer sangat


dipengaruhi oleh rasio air ke semen (juga dapat dinyatakan
sebagai air / pengikat, air / bahan semen atau air / rasio padat).
Semakin tinggi kadar air yang lebih besar amplitudo penyusutan
akibat dehidrasi air w / c rasio untuk geopolimer berkisar antara
0,15 dan 0,4. Geopolimer disintesis untuk aplikasi suhu tinggi
yang dirancang dengan kadar air minima. Namun, mereka
dibatasi oleh kebutuhan untuk campuran untuk bisa diterapkan.
kong dkk : melaporkan bahwa dengan fly geopolimer berdasarkan
w / c rasio dapat dicapai dari pada dengan geopolimer metakaolin
sementara mempertahankan campuran yang bisa diterapkan. Hal
ini disebabkan bentuk bola partikel fly ash memungkinkan untuk
pasta lebih dapat diterapkan dari pada bentuk platy partikel
metakaolin. Bakharev mampu mencapai lebih rendah w / c rasio
dengan pemadatan campuran dengan kekuatan hingga 10 MPa.
Dinding dll menggunakan mixer sentrifugal kecepatan tinggi
untuk mengurangi kadar air (dari 15% menjadi 5%) dalam
pengolahan geopolimer berdasarkan fly ash dan mengamati
seiring bertambahnya kekuatan

b. Alkali Aktivator

Ekspansi termal geopolimer metakaolin 1,15 <si: Al<2.15. Studi


ini menemukan bahwa pilihan alkali memiliki dampak yang
signifikan terhadap ekspansi termal. Susut termal dari berbagai
geopolimer berdasarkan alkali diukur berada di urutan na> na + k
> k. Besarnya dan tingkat dehidrasi penyusutan yang paling
terpengaruh oleh perubahan dalam sumber alkali. Efek ini lebih
signifikan dalam geopolimer dari Si: Al ≤ 1,4. Suhu timbulnya
juga berubah dengan sumber alkali dalam urutan K> Na + K ≈
Na.
c. Rasio Komposisi

Efek yang berbeda-beda si Al rasio memiliki ekspansi


termal geopolimer metakaolin selama rentang 1,15 ≤ Si: Al ≤
2,15. Studi ini menemukan bahwa total penyusutan setelah
pemanasan sampai 1000 ° C meningkat dengan si: Al. Amplitudo
dehidrasi dan dehidroksilasi penyusutan tidak diamati dipengaruhi
oleh Si: rasio Al. Suhu awal untuk densifikasi pasta geopolimer
ditemukan untuk mengurangi dengan meningkatnya si: Al rasio.
itu diusulkan oleh duxson bahwa suhu onset berkurang karena
penggabungan lengkap dari aluminium dari bahan meninggalkan
atom natrium bebas dalam system yang mengurangi Tg dari
aluminosilikat.
III.5 Pengukuran Mikrostruktur Material
III.5.1 Difraksi Sinar – X (X Ray Diffraction, XRD)

X-ray Diffraction (XRD) merupakan alat yang digunakan


untuk mengkarakterisasi struktur kristal, ukuran kristal dari suatu
bahan padat. Semua bahan yang mengandung kristal tertentu
ketika dianalisa menggunakan XRD akan memunculkan puncak –
puncak yang spesifik. XRD memiliki gelombang elektromagnetik
dengan panjang gelombang pendek sekitar 0,5 – 2,5 Amstrong
dan mendekati jarak antara atom kristal serta mempunyai energi
yang besar. Berkas sinar X yang sejajar dan monokromatik
ditembakkan pada permukaan material, maka atom-atom dalam
kristal akan menyerap energi dan menghamburkan kembali sinar
X ke segala arah.

Metode difraksi umumnya digunakan untuk


mengidentifikasi senyawa yang belum diketahui yang terkandung
dalam suatu padatan dengan cara membandingkan dengan data
difraksi dengan database yang dikeluarkan oleh International
Centre for Diffraction Data berupa PDF Powder Diffraction File
(PDF). Sinar yang dibiaskan akan ditangkap oleh detektor
kemudian diterjemahkan sebagai sebuah puncak difraksi. Makin
banyak bidang kristal yang terdapat dalam sampel, makin kuat
intensitas pembiasan yang dihasilkannya. Tiap puncak yang
muncul pada pola XRD mewakili satu bidang kristal yang
memiliki orientasi tertentu dalam sumbu tiga dimensi. Puncak-
puncak yang didapatkan dari data pengukuran ini kemudian
dicocokkan dengan standar difraksi sinar-X untuk hampir semua
jenis material.
Komposisi senyawa kimia yang terbentuk ditentukan
berdasarkan perbandingan luas bidang peak dari masing-masing
senyawa kimia kristal terhadap total luas bidang peak yang
terbentuk. Luas bidang peak dihitung dengan metode integrasi
dimana sumbu absis (sumbu x) meyatakan lebar peak, sedangkan
sumbu ordinat (sumbu y) merupakan intensitas peaknya yang
diukur dari garis latar pada grafik XRD.
Uji XRD dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
senyawa kimia yang terbentuk akibat proses hidrasi pada beton
antara lain: CSH, CH, ettringite, friedel’s salt dan kristal lainnya
yang terbentuk.

Penggunaan diffractometry untuk menganalisis kinetika


geopolymerisasi yang sangat rumit, seperti yang terlihat dalam
gambar III.11, bahwa proses reaksi ini melibatkan konversi dari
satu X-ray fase amorf menjadi lain, analisis difraksi sinar-X dari
pembentukan zeolit kristal dalam geopolimer telah digunakan
sebagai probe kemajuan reaksi dalam sistem disintesis pada suhu
yang lebih tinggi (Olanrewaju 2002, Lloyd 2008), tetapi
memberikan informasi yang terbatas mengenai tahap awal reaksi.
Sebuah teknik mampu membedakan dua fase teratur yang berbeda
(prekursor dan geopolimer) dari satu sama lain akan tergantung
pada penggunaan energi tinggi, kecemerlangan tinggi sumber
sinar-X dan detektor-sudut rendah untuk memberikan d-spacing
resolusi yang cukup serta pengumpulan data yang cepat.
Menggunakan setup seperti (Gambar III.10) dengan balok
sinkrotron cahaya putih, energi dispersif X-ray difraksi (eDXrD)
telah dilakukan in situ pada sampel geopolimer laboratorium
berukuran (ketebalan 12mm), mencirikan tingkat
geopolymerisation selama tiga jam pertama dari proses reaksi
(Provis dan van Deventer 2007b, 2007a).
Dengan mengusung reaksi pada suhu (40 ° C) di mana
geopolimer selesai langkah pemadatan ditunjukkan pada
Gambar III.10 selama periode ini, tingkat pembentukan fase gel
geopolymeric awal oleh konversi metakaolin mampu dijelaskan.
harus dicatat bahwa fase ini akan berbeda secara struktural dari
gel geopolimer akhir diamati setelah curing diperpanjang,
sebagai kehadiran kelembaban dan panas akan memungkinkan
gel untuk terus menata ulang menjadi bentuk yang lebih
termodinamika menguntungkan, yang melibatkan derajat yang
sangat tinggi dari silang (Duxson dkk : 2005a) dan juga
pembentukan kristal nanosized (Provis dkk : 2005c). Kedua
tahap evolusi gel, dinotasikan 'Gel i' dan 'Gel ii' (Fernández-
Jiménez dkk : 2006, Duxson dkk : 2007), yang diwakili dalam
pengertian umum dengan 'Solidifikasi dan pengerasan.
Gambar III.8 Alat yang digunakan untuk percobaan EDXRD dari
Provis dan van Deventer (2007a, 2007b) di sinkrotron NSLS,
Brookhaven National Laboratory, USA.

dan 'sedang berlangsung gel penataan ulang dan kristalisasi'


kotak pada Gambar V.10 rezim terukur oleh EDXRD sesuai
dengan kasar yang pertama ini. SEBUAHsample set data
eDXrD diberikan pada Gambar III.11 ; penuh rincian
eksperimental dan diskusi tentang isu-isu pengolahan data
diberikan oleh Provis dan van Deventer (2007a, 2007b).
Kuantifikasi data yang diperoleh oleh EDXRD
memberikan ukuran tingkat relatif dari pembentukan fase gel
awal, tunduk pada asumsi tertentu mengenai proses yang terjadi
pada periode menit ~ 5 sebelum obtention titik data pertama
dalam setiap sistem.
III.5.2 Scanning Electron Microscopy (SEM)
Scanning Electron Microscope (SEM) adalah salah satu
jenis mikroskop elektron yang menggunakan berkas elektron
untuk memperlihatkan bentuk permukaan dari material yang
dianalisis. Elektron ditembakan dan berinteraksi dengan bahan
sehingga menghasilkan sinyal yang berisi informasi tentang
permukaan bahan meliputi topografi, morfologi, komposisi serta
informasi kristalogafi.

SEM merupakan mikroskop elektron yang banyak


digunakan untuk analisa permukaan material. SEM juga dapat
digunakan untuk menganalisa data kristalografi, sehingga dapat
dikembangkan untuk menentukan elemen atau senyawa. Pada
prinsip kerja SEM, dua sinar elektron digunakan secara simultan.
Satu strike specimen digunakan untuk menguji dan yang lainya
CRT (Cathode Ray Tube) memberikan tampilan gambar. SEM
menggunakan prinsip scanning, maksudnya berkas elektron
diarahkan dari titik ke titik pada objek. Gerakan berkas elektron
dari satu titik ke titik yang ada pada suatu daerah objek
merupakan gerakan membaca. Komponen utama SEM terdiri dari
dua unit, electron column dan dispaly console.
Gambar III.9 (a) Philips XL-30 SEM, (b) JEOL-2011 TEM di
Curtin University of Technology, Perth, Australia
(Foto oleh Subaer, 2004)
III.5.3 Transmission Electron Microscopy (Tem)
Prinsip mikroskop elektron transmisi (TEM), seperti
namanya, adalah menggunakan elektron yang ditransmisikan;
elektron yang melewati sampel sebelum dikumpulkan. Akibatnya,
TEM menawarkan informasi yang tak ternilai mengenai struktur
yang berada didalam sampel, seperti struktur kristal, morfologi
dan informasi keadaan stres, sementara SEM memberikan
informasi tentang permukaan sampel dan komposisinya. Selain
itu, salah satu perbedaan yang paling menonjol antara kedua
metode SEM dan TEM tersebut adalah resolusi spasial optimal
yang dapat mereka capai; Resolusi SEM terbatas pada ~ 0,5 nm,
sementara dengan perkembangan terkini pada kelainan yang
dikoreksi TEM, gambar dengan resolusi spasial kurang dari 50
pm telah dapat dilakukan.
Adapun prinsip kerja dari alat TEM yakni sinar elektron
mengiluminasi spesimen dan menghasilkan sebuah gambar diatas
layar pospor. Gambar dilihat sebagai sebuah proyeksi dari
spesimen. Secara detail prinsip kerja TEM dapat dilihat pada
skema Gambar III.12.
Gambar III.10 Cara Kerja (https://materialcerdas.wordpress.com/
: hk-phy.org)

Aplikasi utama TEM adalah sebagai berikut: analisis


mikrostruktur, identifikasi defek, analisis interfasa, struktur
kristal, tatanan atom pada kristal, serta analisa elemental skala
nanometer.
Sementara itu kelebihan dari analisa menggunakan TEM adalah:

1. Resolusi Superior 0.1 ~ 0.2 nm, lebih besar dari SEM (1~3
nm)
2. Mampu mendapatkan informasi komposisi dan kristalografi
dari bahan uji dengan resolusi tinggi
3. Memungkinkan untuk mendapatkan berbagai signal dari satu
lokasi yang sama.

Sedangkan kelemahannya adalah:

1. Hanya meneliti area yang sangat kecil dari sampel (apakah


ini representatif?)
2. Perlakuan awal dari sampel cukup rumit sampai bisa
mendapatkan gambar yang baik.
3. Elektron dapat merusak atau meninggalkan jejak pada sampel
yang diuji.
III.5.4 Particle Size Analyzer (Psa)
Particle Size Analyzer (PSA) merupakan salah satu metode
pengukuran dalam riset nanoteknologi. Metode ini telah
digunakan untuk menganalisis partikel fly ash yang bertujuan
menentukan ukuran partikel dan distribusinya dari sampel yang
representatif untuk pembuatan Mortar/Beton Geopolimer.

Perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini yang lebih


mengarah ke era nanoteknologi, sehingga peneliti
menggunakan Laser Diffraction (LAS). Metode LAS ini dinilai
lebih akurat dibandingkan dengan metode analisa gambar ataupun
metode ayakan (sieve analyses), terutama untuk sample-sampel
dalam orde nanometer maupun submikron. Adapun sala satu
ontoh alat yang menggunakan metode LAS adalah particle size
analyzer (PSA). PSA menggunakan prinsip dynamic light
scattering (DLS). Metode PSA juga dikenal sebagai quasi-elastic
light scattering (QELS). PSA berbasis Photon Correlation
Spectroscopy (PCS).

Metode LAS dibagi dalam dua metode yakni metode basah


dan metode kering. Metode basah menggunakan media
pendispersi untuk mendispersikan material uji, sedangkan metode
kering memanfaatkan udara atau aliran udara untuk melarutkan
partikel dan membawanya ke sensing zone. Metode basah baik
digunakan untuk ukuran yang kasar, dimana hubungan
antarpartikel lemah dan kemungkinan untuk beraglomerasi kecil.

PSA digunakan untuk mengetahui ukuran partikel secara


cepat dengan menyediakan data dalam bentuk distribusi ukuran
partikel. Metode yang biasa digunakan diantaranya difraksi laser,
penghamburan cahaya, dan sedimentasi. Prinsip pengukuran
partikel dengan difraksi laser yaitu partikel yang melewati sinar
laser akan menghamburkan cahaya pada sudut yang sesuai
dengan ukurannya. Semakin berkurang ukuran partikel, sudut
hamburan semakin meningkat. Sistem kerja difraksi laser terdiri
atas laser sebagai sumber cahaya, serangkaian detektor untuk
mengukur pola cahaya yang dihasilkan melalui berbagai sudut,
dan sistem sampel untuk memastikan material melewati sinar
laser (Kippax 2011). Penghamburan cahaya adalah perubahan
arah dan intensitas berkas cahaya yang mengenai objek.
Perubahan terjadi karena gabungan efek refleksi, refraksi, dan
difraksi. Amplitudo dari hamburan cahaya pada sudut yang
berbeda tidak hanya tergantung pada konsentrasi dan ukuran
partikel, tetapi juga pada rasio indeks bias dari partikel ke media.
Semakin banyak indeks bias yang berbeda, semakin banyak
cahaya yang dihamburkan oleh partikel. Sementara, jika tidak ada
perbedaan indeks bias, maka tidak ada cahaya yang akan
dihamburkan (Webb 2000). Metode sedimentasi bisa mengukuran
partikel antara 2-50µ. Metode ini tidak cocok untuk emulsi dan
biasanya digunakan pada partikel berbentuk butiran. Pengukuran
yang dilakukan lambat dan berulang. Biasanya menggunakan
teknik sentrifugasi atau sinar X (Rawle 2011).

III.5.5 Metode Petrography


Metode petrografi merupakan salah satu metode untuk
melihat foto mikrograf, jenis pori dan porositas sayatan tipis suatu
material. Alat petrografi menggunakan mikroskop polarisasi yang
dihubungkan dengan kamera digital. Mikroskop ini dilengkapi
dengan beberapa komponen antara lain lensa obyektif yang terdiri
dari perbesaran 50x, 100x dan 1000x, polarisator, analisator,
kompensator dan lampu halogen sebagai sumber cahaya dan
tambahan reflektor untuk analisis mineral yang tidak tembus
cahaya (opaque).
Pengujian petrografi ini bertujuan untuk menganalisis
mikrostruktur mortar/beton geopolimer yakni foto mikrograf,
jenis dan ukuran pori serta porositas mortar dan beton
geopolimer.
M
ortar geopolimer merupakan campuran mortar yang
menggunakan beberapa material yakni agregat
halus, abu terbang (fly ash) sebagai perekat
pengganti semen dan activator untuk proses reaksi kimia
Alminium (Al) dan Silika (Si) yang ada pada fly ash sehingga
berfungsi sebagai pengikat. Aktivator merupakan cairan alkalin
yang merupakan campuran dengan variasi cairan sodium
hidroksida (NaOH) dan sodium silikat (Na2SiO3).

IV.1 Fly ash


Fly ash terdiri dari sisa-sisa tanah liat, pasir dan bahan
organik yang ada di batubara, yang keluar melalui cerobong
tungku selama pembakaran. Senyawa ini dapat meleleh dalam
tungku, tetapi kemudian dipadamkan dengan cepat di udara untuk
menghasilkan partikel kaca kecil, umumnya seperti bola. Namun,
fase kristal juga hadir, dan heterogenitas diamati pada kedua
tingkat interparticle dan intraparticle (Hemmings dan Berry 1988,
Hower dkk : 1999, nugteren 2007). Oleh karena itu, fly ash adalah
material yang sangat bervariasi yang tidak hanya bergantung pada
pengotor yang terdapat dalam batubara sebelum pembakaran,
tetapi juga pada hal-hal khusus dari proses pembakaran dan
pemadaman. Abu lalat itu yang paling banyak digunakan dalam
sintesis geopolimer adalah rendah dalam Ca, yaitu Kelas F
menurut AsTM C618. Pekerjaan yang dipublikasikan pada abu Ca
(Kelas C) lebih tinggi adalah langka, mungkin karena cepatnya
pengaturan yang mungkin terjadi dalam sistem desain geopolimer
'standar'. Dengan demikian, dua kelas abu terbang ini akan
dibahas secara terpisah di sini. Abu cair terdiri dari sisa-sisa tanah
liat, pasir dan bahan organik yang ada di batubara, yang keluar
melalui cerobong tungku selama pembakaran. Ini Senyawa dapat
meleleh dalam tungku, tetapi kemudian dipadamkan dengan cepat
di udara untuk menghasilkan partikel kaca kecil, umumnya bola.
Namun, fase kristal juga hadir, dan heterogenitas diamati pada
kedua tingkat interparticle dan intraparticle (Hemmings dan Berry
1988, Hower dkk : 1999, nugteren, 2007). Oleh karena itu, fly ash
adalah material yang sangat bervariasi yang tidak hanya
bergantung pada pengotor yang terdapat dalam batubara sebelum
pembakaran, tetapi juga pada hal-hal khusus dari proses
pembakaran dan pemadaman. Abu terbang yang paling banyak
digunakan dalam sintesis geopolimer adalah rendah dalam Ca,
yaitu Kelas F menurut ASTM C618. Pekerjaan yang
dipublikasikan pada abu Ca (Kelas C) yang lebih tinggi langka,
mungkin karena cepatnya pengaturan yang mungkin terjadi dalam
sistem desain geopolimer 'standar'. Dengan demikian, dua kelas
fly ash ini akan dibahas secara terpisah (John L. Provis And
Jannie S. J. Van Deventer, 2009).
IV.1.1 FLY ASH F (John L. Provis And Jannie S. J. Van
Deventer, 2009)
Reaktifitas abu terbang, dan sifat produk geopolimer yang
dihasilkan dari batu bara, bervariasi secara dramatis. Ada tren
tambahan yang dapat diidentifikasi dengan perbandingan
komposisi abu dan data kekuatan geopolimer, seperti ditunjukkan
pada Gambar IV.1 (diadaptasi dari Duxson dan Provis (2008)).
Plot ini menunjukkan komposisi oksida keseluruhan dari
sejumlah abu, serta indikasi kekuatan yang dicapai oleh aktivasi
abu tersebut. Mengingat bahwa data diperoleh dari berbagai
sumber literatur dari kelompok penelitian yang berbeda, yang
berarti bahwa sampel dirumuskan dan curing sangat berbeda, data
kekuatan pasti tidak dapat dibandingkan secara langsung. Apa
pun itu, kategorisasi sebagai kekuatan 'tinggi', 'sedang' atau
'rendah' memang memberikan beberapa wawasan yang
bermanfaat. Data komposisi multikomponen dikonversi menjadi
data pseudo-terner dengan menggabungkan alkali bumi (M2+O)
dan logam alkali (M2+O) oksida dan mewakili komponen-
komponen ini dengan jumlah muatan pada semua kation yang
memodifikasi jaringan - sehingga kation logam alkali dihitung
sebagai satu unit muatan, dan kation alkali tanah sebagai dua.
Besi, titanium, residual karbon dan unsur-unsur lain yang ada
tidak termasuk dalam analisis yang disederhanakan ini, dan
komposisi-komposisi tersebut dinormalisasi untuk menjelaskan
hal ini.

Gambar IV.1 Diagram komposisi Pseudo-ternary untuk Fly ash


(Keyte dkk : 2005)
Gambar VI.1 menunjukkan diagram abu yang memberikan
produk aktivasi alkali dalam kisaran kekuatan perkiraan seperti
yang ditunjukkan. Alkali dan alkali oksida bumi dijumlahkan, dan
direpresentasikan sebagai jumlah total muatan pada kation
masing-masing. Data komposisi dan data kekuatan pada Gambar
VI.1 berdasarkan dari berbagai kumpulan dari literatur.

Gambar VI.1 jelas bahwa abu dengan konten pengubah


jaringan yang rendah cenderung menghasilkan produk geopolimer
berkekuatan rendah, dengan kekuatan yang secara umum
meningkat sebagai fungsi dari konten pengubah jaringan untuk
abu Kelas F. Satu-satunya abu yang digambarkan tidak Kelas F
adalah titik hitam paling kanan yang ditunjukkan; ini adalah Kelas
C abu, dan aktivasi alkali menghasilkan produk dengan kekuatan
tinggi (Keyte dkk : 2005). Gambar VI.1 juga menunjukkan
komposisi beberapa slag tungku ledakan yang representatif, yang
sangat tinggi dalam Ca dan rendah di Al dibandingkan dengan
abu terbang (Shi dkk : 2006). Ada tumpang tindih yang signifikan
pada Gambar. VI.1 antara kategori 'sedang' dan 'tinggi', yang
menunjukkan bahwa, seperti yang diharapkan, ada faktor
tambahan penting yang mempengaruhi kekuatan - khususnya
ukuran partikel, kristalinitas, dan elemen lain seperti besi atau
karbon. yang tidak diperhitungkan pada Gambar VI.1 Namun,
diamati bahwa geopolimer kekuatan tinggi pada umumnya berasal
dari abu di bagian yang lebih tinggi. Alumina bagian dari wilayah
komposisi dibagi oleh dua kategori ini. Hal lain yang terkait
(terkait) adalah bahwa satu-satunya abu 'kekuatan rendah' dengan
konten pengubah jaringan yang signifikan (yang bersumber dari
Mount Piper, Australia) juga dekat dengan yang terendah dalam
Al2O3 dari semua abu yang digambarkan.

IV.1.2 Fly Ash C


Pengamatan bahwa konten pengubah jaringan adalah
indikator utilitas potensial dari abu terbang yang diberikan dalam
geopolimerisasi jelas akan membawa perhatian pada penggunaan
abu terbang Kelas C (tinggi kalsium). Kelas abu ini belum
mengalami tingkat analisis yang sama dalam literatur akademik
sebagai Kelas F, dengan hanya segelintir publikasi sampai saat ini
(Roy dkk : 1996, Perera dkk : 2004, xu dkk : 2004, Keyte dkk :
2005, Chindaprasirt dkk : 2007). Roy dkk : (1996) dan Lukey
dkk. (2006) telah menunjukkan bahwa tidak hanya dimungkinkan
untuk menggunakan fly ash Kelas C di geopolimer, tetapi pada
kenyataannya sebagian besar lebih baik jika rheology campuran
dapat dikontrol secara memadai. Fly ash Kelas C dapat dilihat
(dalam alasan) sebagai komposisi di antara fly ash Kelas F dan
GGBFS (ground granulated blast furnace slag). Fakta bahwa
campuran GGBFS-Kelas F ash sering lebih disukai dalam
produksi geopolimer (Puertas dkk : 2000, Goretta dkk : 2004, Li
dan Liu 2007, dan banyak contoh dalam literatur paten) juga
memberikan indikasi potensi dari abu Kelas C. Namun, jika
terdapat komposisi prekursor yang optimal untuk pembentukan
geopolimer, maka jelas bahwa pemahaman yang lebih baik
tentang peran kimia gelas dalam fly ash diperlukan, paling tidak
karena fly ash Kelas C lebih sedikit daripada flyy ash Kelas F.

IV.2 Aktivator Geopolimer


NaOH, NaSO4 and Na2CO3 yang paling sering
digunakan sebagai aktivator (Collins and Sanjayan 1998, Li
Yongde and Sun Yao 2000, Song dkk : 2000). Namun demikian
menurut Bakharev (2005) dan Fernandez-Jimenez dan Palomo
(2005), kombinasi antara sodium silikat dan NaOH
menghasilkan kuat tekan terbaik seperti terliat pada Tabel VI.2.
Dosis aktivator yang dinyatakan dalam %Na2O didefinisikan
sebagai rasio kandungan Na2O dalam aktivator terhadap massa
fly ash, sedangkan modulus aktivator (MS) adalah rasio massa
SiO2 terhadap Na2O di dalam aktivator.

Aktivator adalah bahan tambah yang digunakan untuk


proses pengikatan dalam pembuatan mortar geopolimer fly ash.
Menurut Glukhovsky, dkk (1980) dalam (Pacheco-Torgal dkk,
2008) mengklasifikasikan alkali aktivator berdasarkan komposisi
kimia yang terkandung antara lain:

Caustic Alkalis: MOH

Non-Silicate weak acid salts: M2CO3, M2SO3, M3PO4, MF dan


lain-lain.
Silicates: M2O.nSiO2
Aluminates: M2O.nAl2O3
Alumino-Silicates: M2O.nAl2O3.(2-6)SiO2
Non-silicate strong acid salts: M2SO4

Tabel IV.1 Kuat tekan geopolymer yang menggunakan fly ash


diaktivasi dengan berbagai jenis aktivator
Peneliti Jenis Aktivator Kuat tekan
Geopolimer 28 hari
(Mpa)
Bakharev, Pasta NaOH (8%Na) 45
2005 Geopolimer Sodium silicate 52
(8%Na)
Fernandez Mortar NaOH (13.67% 70,4
- Geopolimer Na2O)
Jimenez NaOH + sodium 91,6
and silicate
Palomo, (14.09% Na2O)
2005 NaOH+Na2CO3 35,99
(14.98.68%
Na2O)
Aktivator yang digunakan yaitu NaOH dan Na2SiO3. Pada
umumnya Sodium Hidroksida (NaOH) dan Sodium Silikat
(Na2SiO3) digunakan larutan dengan molaritas 8M sampai 14M
sebagai larutan aktivator (Hardjito, 2005).

IV.3.1 Sodium Hidroksida


Sodium hidroksida (NaOH) atau soda api berfungsi untuk
mereaksikan unsur-unsur Al dan Si yang terkandung di dalam fly
ash sehingga dapat menghasilkan ikatan polimer yang kuat.
Sebagai aktivator, Sodium hidroksida harus dilarutkan terlebih
dahulu dengan air sesuai dengan molaritas yang diinginkan.
Larutan ini harus dibuat dan didiamkan setidaknya selama satu
malam sebelum pemakaian (Hardjito et all, 2005). Bentuk
Sodium Hidroksida dapat dilihat pada Gambar IV.2.

Gambar IV.2 Sodium Hidroksida (HaOH) dalam bentuk padat

Gambar IV.3 menunjukkan campuran antara fly ash dengan


sodium hidroksida yang diamati dalam ukuran mikroskopis. Pada
gambar tersebut terlihat bahwa campuran antara fly ash dan
sodium hidroksida membentuk ikatan yang kurang kuat tetapi
menghasilkan ikatan yang lebih padat dan tidak terjadi retakan-
retakana ntar mikrostrukturnya.
Gambar IV.3 Scanning Electron Microscopy (SEM) dari
Campuran antara Fly Ash dengan Sodium Hidroksida (Neil B.
Milestone dan Cyril Lynsdale, 2004)

IV.3.2 Sodium Silikat


Sodium silikat (Na2SiO3) merupakan salah satu bahan tertua
dan paling aman yang sering digunakan dalam industri kimia.
Karena proses produksinya lebih sederhana maka sejak tahun
1818, sodium silikat berkembang dengan cepat. Sodium silikat
dapat dibuat dengan 2 proses, yaitu proses kering dan proses
basah. Pada proses kering, pasir (SiO2) dicampur dengan sodium
carbonate (Na2CO3) atau dengan potassium carbonate (K2CO3)
pada temperatur 1100-1200° Hasil reaksi tersebut menghasilkan
kaca (cullets) yang dilarutkan ke dalam air dengan tekanan tinggi
menjadi cairan yang bening dan agak kental. Sedangkan pada
proses basah, pasir (SiO2) dicampur dengan sodium hidroxide
(NaOH) melalui proses filtrasi dan akan menghasilkan sodium
silikat yang murni. (Andoyo, 2006)
Gambar IV.4 Sodium Silikat (Na2SiO3) dalam bentuk padat

Sodium silikat terdapat dalam 2 bentuk, yaitu padatan dan


larutan dimana untuk campuran beton lebih banyak digunakan
dengan bentuk larutan. Sodium silika atau yang lebih dikenal
dengan water glass, pada mulanya digunakan sebagai campuran
dalam pembuatan sabun. Tetapi dalam perkembangannya, sodium
silikat dapat digunakan untuk berbagai macam keperluan, antara
lain untuk bahan campuran semen, pengikat keramik, coating,
campuran cat serta dalam beberapa keperluan industri, seperti
kertas, tekstil dan serat. Beberapa penelitian telah membuktikan
bahwa Sodium silikat dapat digunakan untuk bahan campuran
dalam beton. Bentuk Sodium Silkat dapat dilihat pada Gambar
IV.4.

Gambar IV.5 menunjukkan campuran antara fly ash dengan


sodium silikat yang diamati dalam ukuran mikroskopis. Pada
gambar tersebut terlihat bahwa campuran antara fly ash dan
sodium silikat yang membentuk ikatan sangat kuat namun banyak
terjadi retakan-retakan antar mikrostrukturnya.
Gambar IV.5 Scanning Electron Microscopy (SEM) dari
Campuran antara Fly ash dengan Sodium Silikat (Neil B.
Milestone dan Cyril Lynsdale, 2004)

IV.3 Mortar Geopolimer


Mortar merupakan adukan yang dibuat dari agregat halus
(pasir) dan pasta geopolimer sebagai pengikat. Geopolimer yang
dipakai berasal dari bahan dasar fly ash yang direaksikan dengan
alkali aktivator berupa Sodium hidroksida (NaOH) dan Sodium
silikat (Na2SiO3), sehingga membentuk fly ash geopolimer
mortar.

Geopolimer sendiri merupakan senyawa anorganik alumino


silikat yang disintesiskan dari bahan-bahan yang banyak
mengandung Silika dan Aluminium melalui proses polimerisasi.
Dalam reaksi polimerisasi ini, Aluminium (Al) dan Silika (Si)
mempunyai peranan penting dalam ikatan polimerisasi menurut
Davidovits, 1994. Proses polimerisasi adalah suatu reaksi kimia
antara aluminosilika oksida (Si2O5, Al2O2) dengan alkali
polysialate.

Beberapa peneliatian sebelumnya mengemukakan bahwa


penggunaan fly ash sebagai repair material, geopolimer mortar
mempunyai beberapa kelebihan diantaranya tahan terhadap
serangan asam sulfat, mempunyai rangkak dan susut yang kecil,
tahan terhadap reaksi alkali-silika, tahan terhadap api, dan dapat
mengurangi polusi udara. Namun selain mempunyai banyak
kelebihan, geopolimer mortar juga mempunyai kekurangan yaitu
pembuatannya sedikit lebih rumit dari beton konvensional karena
jumlah material yang digunakan lebih banyak daripada beton
konvensional, serta belum ada perhitungan mix design yang pasti.

IV.3.1. Material Penyusun Mortar Geopolimer


Material penyusun yang digunakan dalam pembuatan
mortar geopolimer adalah fly ash, akitivtor, air dan plastocrete
RT6 Plus.

A. Agregat Halus
Material yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari
agregat alam yaitu agregat halus (pasir) yang berasal dari
kabupaten Takalar dan fly ash (abu terbang) yang berasal dari
kabupaten Jeneponto dan Barru. Pengujian ini dilakukan di
Laboratorium Bahan dan Beton Teknik Sipil Fakultas Teknik
Universitas Fajar. Pengujian agregat ini mengacu pada SNI
(Standar Nasional Indonesia).

Hasil pemeriksaan agregat halus (pasir) yang dilaksanakan


sebelum pembuatan benda uji dapat dilihat pada Tabel IV.3.
Sedangkan perhitungan hasil pengujian di Laboratorium dapat
dilihat pada Lampiran A.

Tabel IV.2 Hasil Pemeriksaan Karakteristik Agregat Halus


No Jenis Pemeriksaan Standar Hasil Keterangan
1 Modulus Kehalusan 1,50 – 3,80 3,06 Memenuhi
Berat Jenis :
a. BJ Nyata 1,60 – 3,30 2,60 Memenuhi
2 b. BJ Dasar Kering 1,60 – 3,30 2,67 Memenuhi
c. BJ Kering
1,60 – 3,30 2,76 Memenuhi
Permukaan
Berat Volume :
1,4 – 1,9
a. Kondisi Padat 1,76 kg/ltr Memenuhi
3 kg/ltr
1,4 – 1,9
b. Kondisi Gembur 1,44 kg/ltr Memenuhi
kg/ltr
4 Kadar Air 2% – 5% 3,41% Memenuhi
5 Kadar Lumpur Maks. 5% 1,4% Memenuhi
6 Kadar Organik < No. 3 No. 2 Memenuhi
Tidak
7 Penyerapan Air Maks. 2% 2,00%
Memenuhi

Hasil analisa saringan agregat halus (pasir) kemudian


dituangkan dalam bentuk grafik pada grafik batas gradasi
sehingga diketahui pasir masuk pada gradasi zona 1 sebagaimana
terlihat pada Gambar IV.6.
Gambar IV.6 Zona Gradasi Pasir Kasar

B. Fly ash
Pengujian XRF
Karakterisasi dari sampel fly ash dengan analisis X-Ray
Fluorosence (XRF) yang dilakukan di laboratorium FMIPA
Universitas Hasanuddin. Komposisi yang terkandung dalam Fly
ash dari hasil XRF dapat dilihat pada Tabel IV.1.

Dari hasil pengujian sampel Fly ash yang dilakukan di


laboratorium FMIPA UNHAS, komposisi kimia Fly ash terlihat
bahwa unsur silikat (SiO2), alumunium (Al2O3), ferum (Fe2O3)
dan kapur (CaO) merupakan unsur yang paling dominan, dengan
demikian Fly ash dari limbah hasil pembakaran batu para untuk
PLTU yang ada di Sulawesi Selatan dapat digunakan sebagai
bahan pengganti semen, sebagaimana dalam SNI 15-2049-2004
yaitu klinker semen portland terdiri dari empat unsur oksida yang
utama yaitu kapur, silika, alumina, dan oksida besi.
Fly ash A (FA-A) dan fly ash B (FA-B) memiliki
kandungan CaO lebih dari 10% dan kadar (SiO2+ Al2O3+ Fe2O3)
> 50% sehingga disimpulkan berdasarkan ASTM C 618-96 maka
Fly ash A (FA-A) dan fly ash B (FA-B) termasuk tipe kelas C
dengan kadar CaO masing masing sebesar 23,52% dan 16,19%.
Fly ash kelas C memiliki kandungan CaO yang cukup tinggi
sehingga memiliki sifat cementious selain sifat pozolan.

Tabel IV.3 Kandugan kimia pada fly ash dengan XRF.


Kode Komposisi Kimia Fly Ash (%)
fly Ash SiO2 Fe2O3 CaO Al2O3 K2O Ti2O2 BaO ZrO2

FA_A 35.88 29.20 23.52 9.23 1.03 0.71 0.27 0.054


FA_B 41.45 25.28 16.19 11.06 1.35 1.05 0.14 0.069
Ket: FA-A : Fly ash dari PLTU Jenneponto, FA-B : Fly ash dari PLTU Barru

Dari hasil pengujian sampel Fly Ash yang dilakukan di


laboratorium FMIPA UNHAS, komposisi kimia Fly ash terlihat
bahwa unsur silikat (SiO2), alumunium (Al2O3), ferum (Fe2O3)
dan kapur (CaO) merupakan unsur yang paling dominan, dengan
demikian fly ash dari limbah hasil pembakaran batu para PLTU A
dan PLTU B di sulawesi selatan dapat digunakan sebagai bahan
pengganti semen, sebagaimana dalam SNI 15-2049-2004 yaitu
klinker semen portland terdiri dari empat unsur oksida yang
utama yaitu kapur, silika, alumina, dan oksida besi. Fly ash A
(FA-A) dan fly ash B (FA-B) memiliki kandungan CaO lebih dari
10% dan kadar (SiO2+ Al2O3 + Fe2O3) > 50% sehingga
disimpulkan berdasarkan ASTM C 618-96 maka fly ash A (FA-
A) dan fly ash B (FA-B) termasuk tipe kelas C dengan kadar CaO
masing masing sebesar 23,52% dan 16,19%. Fly Ash kelas C
memiliki kandungan CaO yang cukup tinggi sehingga memiliki
sifat cementious selain sifat pozolan.Pengujian PSA

Particle Size Analize (PSA) untuk menentukan ukuran dan


distribusi partikel yang akan membentuk material mortar
geopolimer.

Pengujian XRD
a. Fly ash PLTU A
Hasil pengujian fly ash dengan metode XRD yang telah dianalisis dapat
dilihat pada Gambar IV.15, dimana Fly ash A “PLTU Jenneponto” terdiri
dari Cristal sebesar 51,02% dan amorf sebesar 48,97%.

Gambar IV.7 Cristalisasi fly ash A

b. Fly ash PLTU B


Hasil pengujian fly ash dengan metode XRD yang telah dianalisis dapat
dilihat pada Gambar IV.15, dimana Fly ash A “PLTU Barru” terdiri dari
Cristal sebesar 51,26% dan amorf sebesar 48,7145%.
Gambar IV.8 cristalisasi fly ash B

Dikoreksi pelebaran berperan β hkl ( 15) Yang sesuai dengan puncak


kristal atau amorfdifraksi diperkirakan menggunakan rumus Persa
maan 1. Scherrer mempersiapkan satu batas bawah dari ukuran kristal.
Dari data XRD karakterisasi, ukuran kristal dapat dihitung dengan
menggunakan Scherrer Formula 2

𝛽ℎ𝑘𝑙 = [(𝛽ℎ𝑘𝑙 )2 𝑚𝑒𝑎𝑠𝑢𝑟𝑒𝑑 − 𝛽 2 𝑖𝑛𝑠𝑡𝑟𝑢𝑚𝑒𝑛𝑡𝑎𝑙 ]1/2 (1)

𝐾𝜆
𝐷= (2)
𝛽𝐶𝑜𝑠 𝜃

di mana D adalah ukuran kristal volume tertimbang (Nm), K


adalah adalah sebuah konstanta yang besarnya tergantung pada
faktor bentuk kristal, difraksi pesawat (hkl), dan definisi jumlah
yang digunakan, apakah sebagai Lebar Penuh di Setengah
Maksimum (FWHM) atau Integral Breadth dari puncak, λ adalah
X-ray panjang gelombang (Å), θ adalah sudut difraksi difraksi,
dan β adalah diperluas difraksi puncak diukur (dalam radian).
Hasil hitungan dapat dilihat pada Tabel IV….
Tabel. Ukuran Kristal dan regangan
Tipe of Fly Ash 2θ D Scherrer (nm) 𝜀 Strain (unit)
Fly Ash A 33,735 11,332 0,011
(FA_A) 43,335 14,1896 0,007
26,963 14,169 0,011
Fly Ash B 26,928 19.620 0.008
(FA_B) 35,924 13.700 0.009
24,337 18.080 0.010

Adapun presentase mineral dari fly ash Barru dan Jennepponto


dapat dilihat pada Tabel. IV….. Perbandingan puncak-puncak
cristalisasi fly ash dapat dilihat pada Gambar IV…

Tabel. IV…

Mineral Code Barru (%) Jenneponto (%)

Quartz Q 27,70367 12,53439407

Zeolite Z 24,93719 12,9112334

Mullite M 16,92188 13,68883838

Ca2SiO4 CS 18,67149 14,11053954


Gambar IV.9 Perbandingan cristalisasi fly ash A dan B

IV.4 Kuat Tekan Mortar

Kuat tekan adalah kemampuan mortar untuk menahan gaya


luar yang datang pada arah sejajar serat yang menekan mortar.
Mortar yang digunakan untuk bahan bangunan harus mempunyai
kekuatan terutama untuk pasangan dinding batu bata, pasangan
dinding batako atau pasangan dinding yang lainnya (Anni
Susilowati dkk 1996). Pasangan dinding menerima beban tekan
yang diakibatkan oleh pengaruh dari atas, angin, atau gaya
samping lainnya. Di Indonesia sampai sekarang belum ada
persyaratan yang mengisyaratkan kekuatan adukan mortar, hanya
untuk kondisi tertentu dianjurkan menggunakan jenis campuran
tertentu pula.
Beberapa negara sudah memiliki standar yang
mencantumkan kekuatan adukan mortar. ASTM C 270
mencantumkan persyaratan mortar sebagai berikut :

a. Adukan tipe M adalah adukan dengan kuat tekan yang tinggi,


dipakai untuk dinding bata bertulang, dinding dekat tanah,
pasangan pondasi, adukan pasangan pipa air kotor, adukan
dinding penahan dan adukan untuk jalan. Kuat tekan
minimumnya adalah 175 kg/cm2.
b. Adukan tipe N adalah adukan dengan kuat tekan sedang,
dipakai bila tidak disyaratkan menggunakan tipe M, tetapi
diperlukan daya rekat tinggi serta adanya gaya samping. Kuat
tekan minimum 124 kg/cm2.
c. Adukan tipe S adalah adukan dengan kuat tekan sedang,
dipakai untuk pasangan terbuka diatas tanah. Kuat tekan
minimum 52,5 kg/cm2.
d. Adukan tipe O adalah jenis adukan dengan kuat tekan rendah,
dipakai untuk konstruksi dinding yang tidak menahan beban
yang tidak lebih dari 7 kg/cm2 dan gangguan cuaca tidak berat.
Kuat tekan minimumnya adalah 24,5 kg/cm2.
e. Adukan tipe K adalah adukan dengan kuat tekan rendah,
dipakai untuk pasangan dinding terlindung dan tidak menahan
beban, serta tidak ada persyaratan mengenai kekuatan.
Kekuatan minimum 5,25 kg/cm2.
Adapun perhitungan kuat tekan mortar berdasarkan persamaan
tekanan dapat dilihat pada Persamaan 1.

𝑷
𝒇′ 𝒄 = .............................................................. (IV.1)
𝑨

dimana f’c: kuat tekan mortar (Mpa);

P: gaya beban maksimum total yang diberikan (N),

A: luas dari permukaan yang dibebani dalam (mm2).

IV.8 Potensi Limbah Fly Ash Batu Bara Pltu Sulsel Sebagai
Pengikat
Berdasarkan SNI-03-6825-2002, pengujian kuat tekan yaitu
memberi beban monoton secara terus menerus dengan laju yang
konstan pada benda uji di antara dua batang pembebanan yang
akan menciptakan tegangan tekan. Pada pengujian kuat tekan
posisi benda uji yang berbentuk kubus pada saat dibebani yaitu
dalam keadaan berdiri/tegak. Tegangan tekan yang dialami benda
uji lama kelamaan akan menyebabkan benda uji runtuh/hancur.
Sehingga, kuat tekan adalah tegangan tekan pada pembebanan
maksimum yang menyebabkan benda uji mengalami
runtuh/hancur.

Pengujian kuat tekan mortar geopolymer berbahan dasar fly


ash pada penelitian ini menggunakan 3 buah benda uji untuk
masing-masing mix design. Cetakan benda uji yang digunakan
berbentuk kubus dengan ukuran 5x5x5 cm yang diuji pada umur
28 hari. Dari pengujian tegangan yang dilakukan dengan alat
Compression Testing Machine (UTM) didapatkan beban
maksimum, yaitu pada saat mortar hancur menerima beban
tersebut (Pmaks). Dari data tersebut kemudian diolah sehingga
didapatkan nilai kuat tekan mortar (f’c) dengan menggunakan
Persamaan VI.1.

Sampel dibuat dengan desain campuran (mix design) mortar pada


penelitian ini mengikuti SNI 03-6825-2002 untuk mortar jenis
OPC dengan menetapkan komposisi mortar yaitu perbandingan
antara binder, pasir dan air adalah 1 : 2,75 : 0,5. Benda uji
berbentuk kubus dengan ukuran sisi 5 cm. Perbandingan pasir : fly
ash adalah 1 : 2,75. Faktor Air Binder (FAB) adalah 0,3 dan
NaOH : Na2SiO3 adalah 1 : 1,5, 1 : 2, 1 : 2,5 ((B. Erniati Dkk,
(2018)

Pengujian kuat tekan mortar geopolimer berbahan dasar fly


ash menggunakan 3 buah benda uji untuk masing-masing variasi
umur. Adapun hasil kuat tekan mortar geopolimer dengan
material dasar fly ash A dan fly ash B dapat dilihat pada Gambar
3.
FA-A_T-CU : sampel Mortar geopolimer basis fly as A dengan curing suhu ruang
FA-B_T-CU : sampel Mortar geopolimer basis fly as B dengan curing suhu ruang

Gambar IV.17 Hasil kuat tekan mortar geopolimer dengan


basis fly ash A dan B (B. Erniati Dkk, (2018)

Gambar IV.17 terlihat perbandingan kuat tekan mortar


geopolimer berbasis fly ash A dan fly ash B. Gambar 3 tersebut
memperlihatkan bahwa mortar geopolimer berbasis fly ash A jauh
lebih tinggi nilai kuat tekannya dibandingkan dengan mortar
geopolimer berbasis fly ash B. Secara fisik mortar geopolimer
berbasis fly ash A memiliki banyak retak dan pori yang agak
besar, dimana secara kasat mata terlihat dengan jelas porinya.
Sebagaimana bahwa pori memperngaruhi kuat tekan suatu
mortar/beton, atau dengan kata lain bahwa porositas siginifikant
dengan sifat mekanik/kuat tekan suatu benda uji ((Erniati et al.,
2015; Erniati dan Tjaronge., 2016)).

Gambar IV.18. hubungan antara kuat tekan dan umur beton


geopolimer (B. Erniati Dkk, (2018)

Gambar IV.18 memperlihatkan hubungan/korelasi antara


kuat tekan dan umur. Mortar geopolimer berbasis fly ash A
maupun B memiliki persamaan non linier logaritma berturut-turut
dengan persamaan : y=3,7106ln(x)+1,6548, dengan R²=0,997 dan
y=3,7106ln(x)+1,6548, R² = 0,947. Dengan mmelihat nilai
koefien R2 maka disimpulkan bahwa nilai kuat tekan memiliki
hubungan signifikan dengan umur / material beton.

IV.9 Hubungan temperature dan kuat tekan pada Mortar


Geopolimer basis fly ash
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
bahan local yang ada di Sulawesi Sleatan, Indonesia. Material
lokal yang digunakan adalah fly ash, pasir, air, dan activator.
Adapun bahan dasar yang digunakan dalam pembuatan
Geopolimer terdiri dari limbah fly ash batu bara yang berasal dari
dua PLTU yang berbeda di Sulawesi Selatan Indonesia. Fly ash
yang digunakan berasal dari dua PLTU yang berbeda yakni PLTU
Jenneponto dan PLTU Barru. Pemberian nama dibedakan yakni
fly ash dari PLTU Jenneponto diberi nama fly Ash A dan fly ash
dari PLTU Barru diberi nama Fly Ash B.

Hasil pemeriksaan karakterisasi fly ash yang digunakan


dengan analisis X Ray Fluoerence (XRF) dapat dilihat pada Tabel
IV.4.

Table IV.5 The chemical composition of fly ash (Bachtiar. E. et


al.,2018)
Code of Chemical Composition of Fly Ash (%)
fly Ash SiO2 Fe2O3 CaO Al2O3 K2 O Ti2O2 BaO ZrO2
FA_A 35.880 29.200 23.520 9.230 1.030 0,49306 0,1875 0.054
FA_B 41.450 25.280 16.190 11.060 1.350 1.050 0,09444 0.069

Activator yang digunakan Campuran dari NaOH dan


Na2SiO3. Konsentrasi NaOH yang digunakan sebesar 10 M,
Rasio Na2SiO3 dengan NaOH sebesar 2. Rasio activator dengan
binder (fly ash) sebesar 0.3. Perbandingan antara fly ash dengan
pasir sebesar 1 : 2.75. Sampel dibuat dengan variasi jenis fly ash
dan variasi suhu pada saat pemeliharaan. Fly ash yang diperoleh
dari PLTU Jenneponto diberi kode FA.A dan fly ash yang
diperoleh dari PLTU Barru diberi kode FA.B. Variasi suhu terdiri
dari beberapa suhu yakni suhu ruang ±25oC, 65oC, 85oC dan
105oC. Sampel dibuat dengan 8 (delapan) variasi yakni Mortar
Geopolimer dasar fly ash A yang dicuring dengan suhu udara
sekitar ± 25oC (GM_FA.A_T25), Mortar Geopolimer dasar fly
ash A yang dicuring dengan suhu 65 (GM_FA.A_T65), Mortar
Geopolimer dasar fly ash A yang dicuring dengan suhu 85
(GM_FA.A_T85), Mortar Geopolimer dasar fly ash A yang
dicuring dengan suhu 105 (GM_FA.A_T105), Mortar Geopolimer
dasar fly ash B yang dicuring udara dengan suhu sekitar ± 25oC
(GM_FA.B_T25), Mortar Geopolimer dasar fly ash B yang
dicuring dengan suhu 65 (GM_FA.B_T65), Mortar Geopolimer
dasar fly ash B yang dicuring dengan suhu 85 (GM_FA.B_T85),
Mortar Geopolimer dasar fly ash B yang dicuring dengan suhu
105 (GM_FA.B_T105).

Sampel dibuat dengan bentuk kubus 5 cm x 5 cm x 5 cm.


Sampel yang telah dibuat dicuring dengan dimasukkan dalam
oven sesuai dengan suhu yang telah ditentukan selama 24 jam.
Kemudian dikeluarkan dalam oven dan dirawat lagi dengan suhu
ruang ± 25oC. Khusus sampel GM_FA.A_25 dan GM_FA.A_25
tidak dimasukkan dalam oven, tetapi sejak dikeluarkan dalam
cetakan langsung dirawat dengan suhu ruang labolatorium.
Pengujian kuat tekan dengan alat Unit Testing Machine (UTM)
yang dilakukan pada umur 7, 14, 28 dan 25 hari. Pengujian
dilakukan berdasarkan SNI 03-6825-2002.

Perkembangan kuat tekan mortar/beton pada umumnya


meningkat seiring dengan bertambah umurnya. Sebagaimana
penelitian sebelumnya tentang beton baik menggunakan air laut
maupun air tawar sebagai air pencampurnya bahwa
perkembangan kuat tekan memiliki hubungan dengan umurnya
yang sangat siginificant. Hubungan kuat tekan dan umur pada
beton memadat sendiri yang menggunakan air tawar/air laut
sebagai air pencampurannya membentuk regresi nonlinier dengan
korelasi R mendekati 1 (Erniati, 2015)

Nilai kuat tekan yang diperoleh dari hasil pengujian di


labolatorium dengan menggunakan alat UTM (Unit Test
Machine). Pengujian sampel yang dilakukan pada umur 7, 14, 28,
dan 56 hari. Hasil penelitian tentang kuat tekan rata-rata dari tiga
sampel pada mortar geopolimer yang menggunakan fly ash A dan
mortar geopolimer yang menggunakan fly ash A dapat dilihat
pada Gambar IV.19 dan Gambar IV.20

Gambar IV.18 memperlihatkan perkembangan dari nilai kuat


tekan rata-rata dari tiga sampel seiring dengan umur dari sampel
mortar geopolimer yang menggunakan fly ash A. Perkembangan
dari 4 variasi sampel GM_FA.A_TCU, GM_FA.A_T65,
GM_FA.A_T85, dan GM_FA.A_T105 meperlihatkan
peningkatan kuat tekan sering dengan bertambahnya umur sampel
mortar geopolimer. Meskipun demikian terlilhat perbedaan pola
peningkatan yang bervariasi.
Gambar IV.19 Perkembangan kuat tekan mortar geopolimer yang
menggunakan material dasar fly ash A
(GM_FA.A) (Bachtiar. E dkk, 2019)
Gambar IV.20 memperlihatkan perkembangan dari nilai
kuat tekan rata-rata dari tiga sampel seiring dengan umur dari
sampel mortar geopolimer yang menggunakan fly ash B.
Perkembangan dari 4 variasi sampel GM_FA.B_TCU,
GM_FA.B_T65, GM_FA.B_T85, dan GM_FA.B_T105
meperlihatkan peningkatan kuat tekan sering dengan
bertambahnya umur sampel mortar geopolimer. Meskipun
demikian terlilhat perbedaan pola peningkatan yang bervariasi.
Gambar IV.20 Hubungan umur terhadap kuat tekan mortar
geopolimer yang menggunakan material dasar fly ash B
(GM_FA.B) (B. Erniati dkk, 2019)

Mortar Geopolimer yang menggunakan fly ash A dan fly


ash B memiliki kesamaan dalam peningkatan kuat tekan seiring
dengan bertambahnya umur mortar. Sebagaimana yang umum
terjadi pada perkembangan mortar/concrete yang menggunakan
semen terjadi peningkatan seiring dengan bertambahnya umur
mortar/beton. Ini berarti mortar/beton yang menggunakan semen
maupun yang menggunakan fly ash sebagai binder memiliki
kesamaan dalam peningkatan kuat tekan seiring dengan
bertambahnya umur mortar/beton, sebagaimana penelitian Erniati
dkk (2018) bahwa hubungan umur dan kuat tekan sangat
siginifikat, perkembangan kuat tekan mortar semakin meningkat
seiring dengan bertambahnya umur mortar.
IV.9.1. Perbandingan Nilai Kuat Tekan antara Mortar
Geopolimer fly Ash A dengan Mortar Geopolimer fly
Ash B
Perbandingan antara kuat tekan pada mortar geopolimer
basis fly ash A dan kuat tekan mortar geopolimer basis fly ash A
dapat dilihat pada Gambar IV.21 , Gambar IV.22, Gambar IV.23
dan Gambar IV.24. Dari ke empat gambar tersebut
memperlihatkan bagaimana nilai kuat tekan yang dihasilkan dari
penggunaan fly ash A dan fly ash B dalam membuat Mortar
Geopolimer yang dicuring dengan variasi suhu dan tampa
dicuring.

Pada Gambar IV.21 menunjukkan perbandingan Mortar


Geopolimer basis fly ash A (GM_FA.A) lebih besar daripada
mortar Geopolimer bais fly ash B (GM_FA.B) yang dicuring
dengan suhu ruang ±25oC. Terlihat pada Gambar tersebut, bahwa
sejak umur 7, 14, 28 dan 56 hari, kuat tekan sampel GM_FA.A
lebih besar dari pada sampel GM_FA.B. Rata-rata persentase
perbedaan nilai kuat tekan GM_FA.B terhadap kuat tekan
GM_FA_A sebesar 70.56%.
GM_CA : Geopolimer Mortar, Geopolimer Mortar, curing of air with temperature at ±25 oC
GM_FA.A, GM_FA.B : Geopolimer Mortar based A-fly ash, Geopolimer Mortar based B-fly
ash
Gambar IV.21 Comparison of compressive strength values
between Geopolimer Mortar based A-Fly Ash
and Geopolimer Mortar based B-Fly Ash with
cured of air temperature at ±25oC ((B. Erniati
dkk, 2019)
Gambar IV.22 menunjukkan perbandingan Mortar
Geopolimer basis fly ash A (GM_FA.A) lebih besar daripada
mortar Geopolimer bais fly ash B (GM_FA.B) yang dicuring
dengan suhu 65oC. Terlihat pada Gambar tersebut, bahwa sejak
umur 7, 14, 28 dan 56 hari, kuat tekan sampel GM_FA.A lebih
besar dari pada sampel GM_FA.B. Rata-rata persentase
perbedaan nilai kuat tekan GM_FA.B terhadap kuat tekan
GM_FA_A sebesar 78.31%.
GM_C65 : Mortar Geopolimer yang dicuring dalam oven pada suhu 65oC
GM_FA.A, GM_FA.B : Mortar Geopolimer basis fly ash A, Mortar Geopolimer
basis fly ash B
Gambar IV.22 Comparison of compressive strength values
between Geopolimer Mortar based A-Fly Ash
and Geopolimer Mortar based B-Fly Ash with
cured of temperature at 65oC

GM_C85 : Mortar Geopolimer yang dicuring dalam oven pada suhu 85oC
GM_FA.A, GM_FA.B : Mortar Geopolimer basis fly ash A, Mortar Geopolimer
basis fly ash B

Gambar IV.23 Comparison of compressive strength values


between Geopolimer Mortar based A-Fly Ash
and Geopolimer Mortar based B-Fly Ash with
cured of temperature at 85oC

Gambar IV.23 menunjukkan perbandingan Mortar


Geopolimer basis fly ash A (GM_FA.A) lebih besar daripada
mortar Geopolimer bais fly ash B (GM_FA.B) yang dicuring
dengan suhu 85oC. Terlihat pada Gambar tersebut, bahwa
sejak umur 7, 14, 28 dan 56 hari, kuat tekan sampel
GM_FA.A lebih besar dari pada sampel GM_FA.B. Rata-rata
persentase perbedaan nilai kuat tekan GM_FA.B terhadap
kuat tekan GM_FA_A sebesar 78.04%.

GM_C105 : Geopolimer Mortar, Geopolimer Mortar, cured of temperature at 105oC


GM_FA.A, GM_FA.B : Geopolimer Mortar based A-fly ash, Geopolimer Mortar based
B-fly ash

Gambar IV.24 Comparison of compressive strength values


between Geopolimer Mortar based A-Fly Ash and Geopolimer
Mortar based B-Fly Ash with cured of temperature at 105oC
Pada Gambar IV.24 menunjukkan perbandingan Mortar
Geopolimer basis fly ash A (GM_FA.A) lebih besar daripada
mortar Geopolimer bais fly ash B (GM_FA.B) yang dicuring
dengan suhu 105oC. Terlihat pada Gambar tersebut, bahwa sejak
umur 7, 14, 28 dan 56 hari, kuat tekan sampel GM_FA.A lebih
besar dari pada sampel GM_FA.B. Rata-rata persentase
perbedaan nilai kuat tekan GM_FA.B terhadap kuat tekan
GM_FA_A sebesar 77.61%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai kuat tekan yang
dihasilkan pada Mortar Geopolimer basis fly ash A lebih besar
daripada mortar Geopolimer basis fly ash B. Ini dapat dilihat
pada Gambar IV.21, Gambar IV.22, Gambar IV.23 dan Gambar
IV.24. Nilai kuat tekan Mortar Geopolimer basis fly ash A lebih
besar daripada mortar Geopolimer basis fly ash B pada semua
variasi suhu ±25oC, 65 oC, 85oC dan 105oC. Rata-rata persentase
perbedaan kuat tekan mortar basis fly ash B terhadap mortar
geopolimer basis fly ash B akibat perbedaan empat variasi suhu
adalah sebesar 76.13%. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan
karena material dari fly ash tersebut, sebagaimana dengan
komposisi kimia fly ash A dan fly ash B yang berbeda beda
seperti pada Tabel IV.5. Perbandingan jumlah komposisi kimia
antara SiO2 : Fe2O3 : CaO : Al2O3 pada fly ash A sebesar 1: 1,23:
1.53: 3.89, sedangkan pada fly ash B sebesar 1 : 1.64 : 2.56 : 3.75.
dari perbandingan tersebut terlihat bahwa kandungan CaO pada
fly ash B sangat besar terhadap nilai dari SiO2.
Hubungan suhu yang digunakan dalam perawatan mortar
geopolimer dengan nilai kuat tekan mortar geopolimer yang
dihasilkan dapat dilihat Pada Gambar IV.24 dan IV.25 Gambar
IV.26 memperlihatkan hubungan temperatur yang digunakan
dalam curing mortar geopolimer dan kuat tekan mortar
geopolimer pada umur 28 hari. Sedangkan Gambar IV.26
memperlihatkan hubungan temperatur yang digunakan dalam
curing mortar geopolimer dan kuat tekan mortar geopolimer pada
umur 56 hari.

IV.25 Hubungan suhu dengan nilai kuat tekan Mortar Geopolimer


pada umur 28 hari
Gambar IV.25 Hubungan temperature dengan nilai kuat tekan
Mortar Geopolimer pada umur 56 hari

Gambar IV.25 memperlihatkan hubungan antara suhu


yang digunakan untuk curing mortar geopolimer dengan kuat
tekan mortar geopolimer pada umur 28 hari. Untuk Mortar
Geopolimer basis fly ash A (GM_FA.A_28) menghasilkan
hubungan persamaan nonlinier 𝑦 = 5.0466𝑥 0.338 dan akar
kuadrat dari nilai 𝑅 2 yang menghasilkan nilai korelasi R =
0.9967. sedangkan mortar geopolimer basis fly ash B
(GM_FA.B_28) menghasilkan hubungan persamaan nonlinier
𝑦 = 1.9651𝑥 0.2106 dan akar kuadrat dari nilai 𝑅 2 yang
menghasilkan nilai korelasi R = 0.9607. Dari kedua persaman non
linier tersebut menghasilkan nilai korelasi yang mendekat angka
1, dengan demikian hubungan antara suhu yang digunakan untuk
curing mortar geopolimer dengan kuat tekan mortar geopolimer
pada umur 28 hari adalah sangat signifikan. Semakin tinggi suhu
yang digunakan dalam curing mortar geopolimer maka semakin
tinggi kuat tekan mortar geopolimer yang dihasilkan.

Gambar IV.26 memperlihatkan hubungan antara suhu


yang digunakan untuk curing mortar geopolimer dengan kuat
tekan mortar geopolimer pada umur 56 hari. Untuk Mortar
Geopolimer basis fly ash A (GM_FA.A_56) menghasilkan
hubungan persamaan nonlinier 𝑦 = 5.0774𝑥 0.3479 dan akar
kuadrat dari nilai 𝑅 2 yang menghasilkan nilai korelasi R=
0.9828. sedangkan mortar geopolimer basis fly ash B
(GM_FA.B_56) menghasilkan hubungan persamaan nonlinier
𝑦 = 1.7939𝑥 0.2496 dan akar kuadrat dari nilai 𝑅 2 yang
menghasilkan nilai korelasi R=0.9540. Dari kedua persamaan non
linier tersebut menghasilkan nilai korelasi yang mendekat angka
1, dengan demikian hubungan antara suhu yang digunakan untuk
curing mortar geopolimer dengan kuat tekan mortar geopolimer
pada umur 56 hari adalah sangat signifikan. Semakin tinggi suhu
yang digunakan dalam curing mortar geopolimer maka semakin
tinggi kuat tekan mortar geopolimer yang dihasilkan.

Perawatan pada material sangat mempengaruhi nilai


kekuatan pada material tersebut. Sebagaimana Penelitian oleh
Erniati dkk (2018) bahwa beton yang memadat sendiri yang tanpa
curing maka nilai kuat tekannya menurun. Mortar geopolimer
setelah dikeluarkan dalam cetakan perlu perawatan yang berbeda
dengan mortar yang menggunakan semen sebagai bindernya.
Umumnya untuk mortar dan beton yang menggunakan semen
sebagai binder, perawatannya dengan cara direndam atau disiram
dengan air. Berbeda dengan mortar geopolimer dilakukan dengan
cara memanaskan. Sebagaimana penelitian oleh Gökhan Görhan
dan Gökhan Kürklü (2014) telah melakukan penelitian pengaruh
konsentrasi NaOH yang dicuring dengan temperature 65oC dan
85oC, dengan hasil konsentrasi NaOH memiliki efek yang jelas
pada sifat mortar yang disembuhkan pada 85°C. Konsentrasi
NaOH optimal yang diperoleh dari penelitian oleh Gökhan
Görhan dan Gökhan Kürklü (2014) yakni konsentrasi NaOH 6 M,
sampel dicuring dengan temperature 85oC selama 24 jam. Dari
hal tersebut terlihat bahwa suhu yang digunakan dalam curing
mortar geopolimer sangat mempengaruhi nilai kuat tekan mortar
geopolimer. Curing baik mortar maupun beton sangat
mempengaruhi mikrostruktur suatu material mortar/beton
tersebut. Proses polimerisasi tidak maksimal pada mortar
geopolimer jika tidak dirawat dengan suhu yang dibutuhkan.
Sama halnya dengan mortar/beton yang tanpa curing maka proses
hidrasi tidak maksimal sehingga mikrostruktur material tersebut
tidak baik dan mikrostruktur beton sangat mempengaruhi sifat
mekanik, porositas dan absorption (Erniati B, 2018; Erniati dkk,
2014; Erniati dkk, 2015).
REFERENSI

https://www.geopolymer.org/science/introduction/

http://www.geopolymer.org/about/business-fellows/

https://en.wikipedia.org/wiki/Geopolymer

http://www.geopolymer.org/applications/geopolymer-cement

https://en.wikipedia.org/wiki/Zeolite#cite_note-1

https://materialcerdas.wordpress.com/teori-dasar/transmission-
electron-microscopy-tem/

Duxson, P., Provis, J. L., Lukey, G. C. and van Deventer, J. s. J.


(2007a) the role of inorganic polymer technology in the
development of ‘Green concrete’. Cement and Concrete
Research, 37, 1590–1597.
doi:10.1016/j.cemconres.2007.08.018.

Kozhukova, N.I.; Chizhov, R.V.; Zhervovsky, I.V.; Strokova,


V.V. (2016). Structure Formation of Geopolymer Perlite
Binder Vs. Type of Alkali Activating Agent, International
Journal of Pharmacy & Technology, vol. 8, iss. no. 3, pp.
15,339
Kim, D.; Lai, H.T.; Chilingar, G.V.; Yen T.F. (2006),
Geopolymer formation and its unique properties, Environ.
Geol, 51[1], 103–111

Kriven, W.M.; Bell, J.; Gordon, M. (2003), Microstructure and


Microchemistry of Fully-Reacted Geopolymers and
Geopolymer Matrix Composites, Ceramic Transactions,
153, 227–250

John L. Provis and Jannie S. J. van Deventer, 2009. Geopolymers


Structure, processing, properties and industrial applications,
First published 2009, Woodhead Publishing Limited Oxford
Cambridge New Delhi and CRC Press Press Boca Raton
Boston New York Washington, DC.

Josep Davidovits, 2015., book Geopolymer Chemistry and


Applications, 4th edition, Institut Géopolymère

Subaer, 2015, Pengantar Fisika Geopolimer, Program Penulisan


Buku Teks Perguruan Tinggi, Direktorat, Jenderal
Pendidikan Tinggi.

Bakharev, T. 2005. "Geopolymeric materials prepared using


Class F fly ash and elevated temperature curing".
Cement and Concrete Research, Vol. 35, No., hlm: 1224-
1232.
Collins, F., dan J. G. Sanjayan. 1998. "Early Age Strength and
Workability of Slag Pastes Activated by NaOH and
Na2CO3". Cement and Concrete Research, Vol. 28, No.,
hlm: 655-664.

Davidovits, J. Year. "Chemistry of geopolymer system,


terminology". Artikel dipresentasikan pada In proceedings
of Geopolymer ’99 International Conferences, di France.

Erniati, M. W. Tjaronge, Zulharnah, dan U. R. Irfan. 2015.


"Porosity, Pore Size and Compressive Strength of Self
Compacting Concrete Using Sea Water". Procedia
Engineering, Vol. 125, No. -, hlm: 832 – 837.

Erniati, dan M. W. Tjaronge. 2016. Microstructure Self


Compacting Concrete Yogyakarta: Leutikaprio

Fernandez-Jimenez, A., dan A. Palomo. 2005. "Composition and


microstructure of alkali activated fly ash binder: Effect of
the activator. Cement and Concrete Research". Vol. 35,
No., hlm: 1984-1992.

Song, S., D. Sohn, dan H. M. J. T. O. Mason. 2000. "Hydration


of alkali-activated ground granulated blast furnace slag ".
Journal of Materials, Vol. 35, No., hlm: 249– 257.

Van Jaarsveld, J., J. Van Deventer, dan G. Lukey. 2002. "The


Effect Of Composition And Temperature On The Properties
Of Fly Ash-And Kaolinite-Based Geopolymers. ". Chemical
Engineering Journal,, Vol. 89, No., hlm: 63-73.

Wang, H., H. Li & F. Yan. 2005. "Synthesis and tribological


behavior of metakaolinite-based geopolymer composites".
Materials Letters, Vol. 59, No., hlm: 3976-3981.

Wardani, S. P. R. 2008. Pemanfaatan Limbah Batubara (Fly Ash)


Untuk Stabilisasi Tanah Maupun Keperluan Teknik Sipil
Lainnya Dalam Mengurangi Pencemaran Lingkungan. In
pidato pengukuhan Disampaikan pada Upacara Penerimaan
Jabatan Guru Besar, 6 Desember 2008, edited by F. T. U.
Diponegoro. Semarang.

Yongde, L., dan S. Yao. 2000. "Preliminary study on combined-


alkali-slag paste materials". Cement and Concrete
Research, Vol. 30, No., hlm: 963-966.

Bakharev, T. (2005) Geopolymeric materials prepared using


Class F fly ash and elevated temperature curing. Cement
and Concrete Research, 35, 1224-1232

Bachtiar, E., Marzuki, I., Chaerul, M., Sinardi, Setiawan, A.M.,


Rachim. F., Putri, H.R., ”The Development of Compressive
Strength on Geopolymer Mortar Using Fly Ash Based
Material In South Sulawesi”, International Journal of Civil
Engineering and Technology (IJCIET), 9: 1465–1472, 2018
Bachtiar. E 2018. The Self Compacting Concrete (SCC) using
seawater as mixing water without curing, ARPN Journal of
Engineering and Applied Sciences, Vol 13 No 13, Asian
Research Publishing Network (ARPN), July 2018.

De Vargas AS, Dal Molin DCC, Vilela ACF, Da Silva FJ, Pavao
B, Veit H, 2011. The effects of Na2O/SiO2 molar ratio,
curing temperature and age on compressive strength,
morphology and microstructure of alkali-activated fly ash-
based geopolymers. Cem Concr Compos 2011;33:653–60

Erniati, Muhammad Wihardi Tjaronge, Rudy Djamaluddin,


Victor sampebulu, Microstructure Characteristics of Self
Compacting Concrete using Sea Water, International
Journal of Applied Engineering Research, Research India
Publications, Vol 22 :18087-18095

Erniati, Muhammad Wihardi Tjaronge, Zulharnah, Ulva Ria


Arfan, 2015. Porosity, pore size and compressive strength
of self compacting concrete using sea water, Procedia
Engineering, Vol.125, Pages 832 – 837, Publisher Elsevier
Ltd.

Erniati Bachtiar, Ismail Marzuki, Erdawaty, M.Farhan Junaedy,


Fachrisar Ramadhan,Asri Mulya Setiawan1, Fatmawati Rachim
(2019). The Relationship of Temperature and Compressive
Strength on Geopolymer Mortar using Fly Ash-Based, Prosiding
ISMEVD 2019 The 1st International Scientific Meeting on
Engineering and Its Vocational Education, ATIM, Makassar.

Erniati B, Ismail M, Nur Khaerat N, Herwina R. P., I Ketut W.B


(2018). Potensi Fly Ash Batu Bara PLTU Di Sulawesi
Selatan Sebagai Bahan Dasar Mortar Geopolimer, Prosiding
Seminar Hasil Penelitian (SNP2M) 2018 (pp.37-42)

Gökhan Görhan, Gökhan Kürklü (2014). The influence of the


NaOH solution on the properties of the fly ash-based
geopolymer mortar cured at different temperatures, ,
Composites Part B: Engineering, Volume 58, Pages 371-
377, March 2014.

Rattanasak U, Chindaprasirt P. 2009. Influence of NaOH solution


on the synthesis of fly ash geopolymer. Miner Eng
2009;22:1073–8.

Fernandez-Jimenez, A. & A. Palomo (2005) Composition and


microstructure of alkali activated fly ash binder: Effect of
the activator. Cement and Concrete Research, 35, 1984-
1992.

Somna K, Jaturapitakkul C, Kajitvichyanukul P, Chindaprasirt P.


2011. NaOH activated ground fly ash geopolymer cured at
ambient temperature, Fuel, 90:2118–24.

Brough A.R and Atkinson. A. 2002. Sodium silicate-based alkali


activated slag mortars (Part I), Strength, hydration and
microstructure. Cement Concrete Research, vol. 32:865–
79.

Andi Arham Adam, Horianto, 2014. The Effect of Temperature


and Duration of Curing on the Strength of Fly Ash Based
Geopolymer Mortar, Procedia Engineering, Volume 95,
2014, Pages 410-414.

Hu M, Zhu X, Long F. Alkali-activated fly ash-based


geopolymers with zeolite or bentonite as additives. Cement
Concrete Composite 2009;31(10):762–8.

Bakharev T. 2005, Geopolymeric materials prepared using class F


fly ash elevated temperature curing. Cement and Concrete
Research, vol 35:1224–32.

Swanepoel JC, Strydom CA. (2002). Utilisation of fly ash in a


geopolymeric material, Application Geochemical
2002;17:1143–8.

Panias D, Giannopoulou IP, Perraki T. (2007). Effect of synthesis


parameters on the mechanical properties of fly ash-based
geopolymers. Colloids Surface A;301:246–54.

Chindaprasirt P, Chareerat T, Sirivivananon V. (2007).


Workability and strength of coarse high Calcium fly ash
geopolymer. Cement Concrete Composite;29:224–9.
RIWAYAT PENULIS

Erniati Bachtiar lahir di Watampone, 6


Oktober 1977. Pada tahun 1995, penulis
melanjutkan pendidikan dengan pada
bidang Teknik Sipil/Teknik Struktur &
material dan tahun 2000 telah meraih
gelar Sarjana Teknik (S.T.) Predikat
Cumlaude dan mendapatkan
penghargaan Wisudawan(ti) Terbaik di
Universitas Muslim Indonesia, Makassar.

Tahun 2001, Penulis melanjutkan studi pada Program Magister


dengan bidang Teknik Sipil (Teknik Struktur) dan menyelesaikan studi
pada tahun 2003 dengan meraih gelar Master Teknik (M.T) dengan
Predikat Cumlaude di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Pada tahun 2003 – 2004, mendapatkan pengalaman yang pertama
didunia kerja yaitu sebagai asisten teknik pada Konsultan Manajemen
Proyek yang menangani Proyek Jalan dan Jembatan Suramadu di
Surabaya. Selanjutnya ia mengikuti Program Pemberdayaan sebagai
Fasilitator Teknik yakni Tahun 2005-2006, Proyek WSLIC-2 di
Kabupaten Bone, Tahun 2007-2009 PNPM – Perkotaan di Kabupaten
Maros.
Penulis telah menjadi Dosen Teknik Sipil Fakultas Teknik
Universitas Fajar (UNIFA) sejak berdirinya UNIFA tanggal 8 bulan
Agustus tahun 2008. Tahun 2011-2014 diberikan amanah sebagai
sekretaris Fakultas Teknik. Tahun 2011, penulis melanjutkan
pendidikan S3 pada Program Studi Teknik Sipil dengan konsentrasi
Teknik Struktur & Material dan telah meraih Gelar Doktor (Dr) dengan
Predikat Cumlaude di Universitas Hasanuddin, Makassar tahun 2015.
Sejak meraih gelar Doktor, penulis langsung diangkat sebagai ketua
Lembaga Pengembangan dan Penjaminan Mutu Internal (LP2MI) tahun
2015-2018. Selanjutnya Dekan Fakultas Teknik UNIFA sejak Januari
2019- sekarang.
Selama menjadi Dosen, Penulis telah banyak mengikuti Pelatihan,
Workshop, Seminar Nasional maupun Internasional baik sebagai
peserta maupun sebagai Penyaji untuk mendukung Tri Darma yang
diemban. Tahun 2014-2015, penulis telah mendapatkan Hibah Bersaing
dari RISTEKDIKTI dengan judul penelitian pemanfaatan air laut pada
Self Compating Concrete. Tahun 2016, Penelitian yang didanai oleh
LPJK dengan judul Studi karakteristik sumber Daya Manusia yang
Memiliki SKA/SKT pada Jasa Konstruksi di Sulawesi Selatan. Tahun
2018 penelitian Kompetitif Nasional RISTEK DIKTI dengan Judul
Mikrostruktur dan Sifat Mekanik Beton Geopolimer Basis Fly Ash
Limbah Batu Bara PLTU Sulawesi Selatan multi years (3 tahun : 2018-
2020) dengan skema PBK/Riset Dasar. Penelitian Kompetitif Nasional
dengan skema Riset Dasar RISTEKDIKTI TA 2019 dengan Judul
Analisis Karakteristik Mekanik dan Mikrostruktur Mortar Geopolimer
akibat Durasi Suhu dan Curing (multi year 2 thn : 2019-2020). Penulis
telah menulis paper dan dipublikasikan pada beberapa jurnal
internasional yang terindeks SCOPUS dari hasil penelitian PBK/Riset
Dasar dan beberapa jurnal Nasional dan Prosiding Internasional. Penulis
juga telah menulis buku dan HAKI yang berjudul Mikrostruktur Beton
Self Compacting Concrete. Dalam hal pendidikan dan pengajaran
Penulis mengajarkan mata kuliah Statika, Teknologi Bahan Struktur,
Topik Khusus Struktur di Program Studi Teknik Sipil S1 FT UNIFA,
dan Teknologi Bahan Lanjut pada Program Studi Magister Rekayasa
Infrastruktur dan Material (MRIL) Fakultas Pascasarjana UNIFA.
Penulis telah mendapatkan Insentif Penghargaan Publikasi Ilmiah
Internasional Batch 1- Tahun 2016 dari LPDP-Kementerian Keuangan
RI.

Anda mungkin juga menyukai