1
Skenario ........................................................................................................................... 2
Kata Sulit ......................................................................................................................... 3
Pertanyaan ........................................................................................................................ 3
Jawaban ............................................................................................................................ 3
Hipotesis .......................................................................................................................... 5
Sasaran Belajar ................................................................................................................. 6
1. Mengetahui dan Menjelaskan Anatomi Sistem Reproduksi Wanita Externa .............. 6
1.1 Makroskopis Sistem Reproduksi Wanita Externa ...................................................... 6
1.2 Mikroskopis Sistem Reproduksi Wanita Externa ..................................................... 10
2. Mengetahui dan Menjelaskan Fisiologi Keputihan .................................................... 13
3. Mengetahui dan Menjelaskan Keputihan/ Leukorrea/Flour Albus ............................ 21
3.1 Definisi Keputihan/ Leukorrea/Flour Albus ............................................................. 21
3.2 Epidemiologi Keputihan/ Leukorrea/Flour Albus .................................................... 22
3.3 Etiologi Keputihan/ Leukorrea/Flour Albus ............................................................. 22
3.4 Patofisiologi Keputihan/ Leukorrea/Flour Albus ..................................................... 24
3.5 Manifestasi Keputihan/ Leukorrea/Flour Albus ....................................................... 27
3.6 Diagnosis dan Diagnosis Banding Keputihan / Leukorrea/Flour Albus ................... 27
3.7 Tatalaksana Keputihan/ Leukorrea/Flour Albus ....................................................... 22
3.8 Komplikasi Keputihan/ Leukorrea/Flour Albus ....................................................... 33
3.9 Prognosis Keputihan/ Leukorrea/Flour Albus ......................................................... 33
3.10 Pencegahan Keputihan/ Leukorrea/Flour Albus ..................................................... 33
4. Mengetahui dan Menjelaskan Pandangan Islam Terhadap Keputihan ....................... 33
Daftar Pustaka ................................................................................................................. 38
1
SKENARIO 1
KEPUTIHAN
Seorang pasien usia 36 tahun, G3P2A0H2 gravid 20 minggu datang dengan keluhan
keputihan banyak, warna kehijauan dan disertai gatal sejak awal kehamilannya. Pasien
memiliki siklus menstruasi normal dan riwayat pemakaian IUD selama 3 tahun yang
dimulai setelah kelahiran anak kedua. Suaminya seorang PNS dan menyangkal melakukan
hubungan sexual dengan wanita lain. Pada pemeriksaan genitalia externa didapatkan pada
labium mayus dan minus tampak eritema dan erosi. Dari inspekulo didapatkan discharge
vagina homogen warna kehijauan dan tampak melekat pada dinding vagina, dan portio
erosi. Pasien disarankan untuk melakukan pemeriksaan swab vagina dan pap smear untuk
penatalaksanaan lebih lanjut. Pasien sering merasa ragu saat akan menunaikan shalat karena
masalah keputihannya.
2
KATA SULIT
4. Discharge vagina homogen : keluarnya cairan dari vagina selain darah menorrhea
PERTANYAAN
1. Apa hubungan pemakaian IUD dengan diagnosis pasien?
2. Mengapa bias terjadi eritema dan erosi?
3. Mengapa riwayat hubungan seks suami perlu ditanyakan?
4. Apakah keputihan itu normal? Mengapa bias terjadi keputihan?
5. Bagaimana penatalaksanaanya?
6. Apakah perbedaan keputihan patologis dan fisiologi?
7. Apa tujuan pemeriksaan pap smear?
8. Bagaimana pandangan islam terhadap keputihan?
9. Apa indikasi dilakukan pemeriksaan pap smear?
10. Mengapa terdapat discharge vagina homogen?
11. Bagaimana mekanisme keputihan pada ibu hamil?
JAWABAN
1. Karena pemakaian IUD yang tidak steril dapat menyebabkan infeksi
3
2. Sebagai tanda infeksi
3. Untuk mengetahui apakah ada kemungkinan penularan penyakit seksual
4. Ya, karena saat fase ovulasi terjadi peningkatan esterogen dan progesterone yang
menyebabkan terbentunya mucus yang lebih banyak dan cair
5. Dapat diberikan obat misalnya asiklovir (virus), nistatin (jamur) atau metronidazole
dan dapat dilakukan pembedahan kecil apabila terdapat papilloma
6. Fisiologi: tidak berwarna, tidak berbau, jumlahnya sedikit, tidak gatal
Patologi: berwana, berbau, jumlahnya banyak, gatal
7. Pap smear untuk mengetahui ada atau tidaknya keganasan dan vagina swab untuk
mengetahui ada atau tidaknya infeksi
8. Termasuk hadas kecil, sehigga diwajibkan untuk bersuci terlebih dahulu sebelum
sholat
9. Adanya cairan yang keluar dari vagina atau melakukan screening
10. Apabila terjapat infeksi terjadinya perubahan pH vagina yang dapat menyebkan
terbentuknya mucus yang lebih banyak dan cair
11. Terjadinya peningkatan suplai darah ke vagina dan mulut Rahim sehingga terjadi
penebalah dinding rahim yang menyebabkan mucus menjadi lebih cair
4
HIPOTESIS
Keputihan dapat terjadi secara fisiologis dan patologis. Keputihan fisiologi memiliki
ciri tidak berwarna, tidak berbau, jumlahnya sedikit, tidak gatal sedangkan keputihan
patologis berwana, berbau, jumlahnya banyak, dan gatal.Adanya eritema dan erosi pada
pasien dapat disebabkan oleh infeksi. Diagnosis dapat ditegakkan melalui pemeriksaan pap
smear apabila terdapat indikasi keganasan. Tatalaksana dapat diberikan sesuai etilogi seperti
asiklovir (virus), nistatin (jamur) atau metronidazole. Menurut pandangan islam, keputihan
merupakan Termasuk hadas kecil, sehigga diwajibkan untuk bersuci terlebih dahulu
sebelum sholat
5
SASARAN BELAJAR
6
preputium clitoridis menutupi corpups clitoris. Dari labium minus pudendi
berjalan suatu lipatan kulit ke ventral cranial melekat pada dataran dorsocaudal
glans clitoridis kanan kiri dari linea mediana, disebut frenulum clitoridis. Dalam
labium minus pudendi terdapat banyak pembuluh darah, kelenjar sebacea dan
jaringan lemak.
4. Vestibulum Vaginae
Vestibulum vaginae adalah suatu ruangan yang terletak diantara kedua bulbi
vestibuli. Ruangan ini dibatasi oleh:
Kanan kiri oleh labium minus pudendi
Ventrocaudal oleh frenulum clitoris
Dorsocaudal oleh frenulum labiorum minorum
Pada vestibulum vaginae bermuara:
Urethrae
Vaginae
Glandula paraurethralis (skene/kelenjar vestibular lebih rendah).
Kelenjar ini akan bermuara di vestibulus vaginae melalui ducutur
paraurethralis. Kelenjar ini merupakan kelenjar penting karena dapat
mengeluarkan lendir. Pengeluaran lendir akan meningkat saat
berhubungan badan. Kelenjar paraurethralis terletak di dinding anterior
vagina, di sekitar ujung bawah urethra.
Glandula Bartholin (glandula vestibularis major). Kelenjar ini
merupakan kelenjar ganda yang terleetak di bawah serta kanan dan kiri
dari ostium vaginae. Kelenjar ini juga menghasilkan lendir atau mukus
untuk lubrikasi, terutama saat peningkatan keinginan seksual, yang
berguna untuk mendukung kegiatan seksual.
Vulva. Vulva adalah organ genitalia external wanita yang mencakup
monspubis, clitoris, labium majus dan minus pudendi, ruang depan
vulva, vestibular, kelenjar, ostium urethra externa, selaput dara (hymen)
dan ostium vaginae.
5. Ostium Vaginae
Ostium vagina (introitus vaginae) merupakan muara dari vagina yang
dalamnya terdapat selaput dara (hymen). Diantara ostium vaginae dan frenulum
labiorum minorum terdapat fossa navicularis (fossa vestibuli vaginae).
6. Clitoris
Ujung proximal corpus
cavernosum clitoridis
meletak di dataran medial
ramus inferior ossis pubis
dengan dataran lateralnya. Ke
ventral kedua crus clitoridis
bersatu membentuk corpus
clitoridis. Pada ujung distal
corpus clitoridis terdapat
7
Gambar 2. Clitoris
corpus cavernosum glandis yang akan dilapisi oleh preputium clitoris dan akan
membentuk glans clitoridis.
7. Urethra Feminina
Urethra feminina panjangnya hanya sekitar 3-4 cm. Berjalan dari leher
kandung kemih menuju ostium urethrae externum yang terletak diantara clitoris
dengan vagina.
8. Perineum
Perineum terletak dibawah
diaphragma pelvis, diantara anus
dan kemaluan yang merupakan
area berbentuk belah ketupak bila
dilihat dari bawah. Perineum
dibatasi oleh ramus unferior ossis
pubis dan ramus inferior ossis
ischii kanan dan kiri serta kedua
lig.sacrotuberale. Terbagi menjadi
2 regio, yaitu:
Regio urogenitalis di anterior Gambar 3. Pembagian regio pada perineum
(ventral). Pada regio ini
terdapat:
o Trigonum urogenitale
o Crura clitoris
o Bulbubs vestibuli
o Corpus
cavernosusurethrae
o Mm. Ischiocavernosi
o Mm. Bulbocavernosi
o Mm. Transversi
perinei superviciales
Regio analis di posterior
(dorsal). Pada regio ini
terdapat:
o Mm. Elevator ani
dengan raphe anococcygea
o Pars analis recti Gambar 4. Organ pada regio-regio perineum
o M. Sphincter ani
externus. Otot ini tersusun dalam 3 lapisan:
i. Pars subcutanea mengelilingi anus di bawah kulit.
ii. Pars superficialis dari raphe anococcygea dan pucuk os.
Coccyges ke ventral kanan dan kiri anus.
iii. Pars profunda berjalan meleingkar mengelilingi bagian caudal
pars analis recti.
1. Mukosa
Mukosa vagina bersifat ireguler dan memperlihatkan lipatan muko. Epitel
permukaan kanalis vaginalis adalah epitel skuamosa berlapis tak-berkeratin
(epitel berlapis gepeng tanpa lapisan tanduk). Jaringan ikat di bawahnya yaitu
papila tampak mencolok dan menyebabkan indentasi epitel.
2. Lamina propria
Lamina propria mengandung jaringan ikat ireguler pada dengan serat elasstik
yang terbentang ke dalam lapisan muskularis sebagai serat interstiisium.
Jaringan limfatik difus, nodulus limfatik dan pembululh darah kecil dapat
ditemukan di lamina propria.
3. Muskularis
Muskularis dindinga vagina terutama terdiri dari berkas longitudinal dan
berkass oblik otot polos. Berkas transversaal otot polos lebih sedikit tetapi lebih
sering ditemukan di lapisan-lapisan dalam. Jaringan ikat interstisium kaya akan
serat elasstik.
4. Adventisia
Pada lapisan adventisia ditemukan banyak pembuluh darah dan berkas saraf.
9
Gambar 6. Glikogen di epitel vagina manusia
10
Waktu disekitar menarche karena mulai terdapat pengaruh estrogen. Leukore disini
biasanya hilang sendiri. Tetapi, dapat menimbulkan keresahan pada orang tua.
Wanita dewasa apabila dirangsang sebelum dan pada waktu koitus, disebabkan oleh
pengeluaran transudasi dari dinding vagina.
Waktu disekitar ovulasi, dengan sekret dari kelenjar-kelenjar serviks uteri menjadi
lebih encer.
Pengeluaran sekret dari kelenjar-kelenjar serviks uteri juga bertambah pada wanita
dengan penyakit menahun, dengan neurosis, dan pada wanita dengan ektropion
porsionis uteri.
Trichiomoniasis
Trichomonas vaginalis biasanya ditularkan melalui hubungan seksual. Organisme ini
dapat bertahan hidup 45 menit di baju mandi, pakaian dan air hangat. Penularan perinatan
ditemukan sekita 5% dari ibu yang terinfeksi thrichomoniasis, tetapi biasanya “self limited”
karena metabolisme hormone yang berasal dari ibu. Orang yang beresiko tinggi terkena
trichomoniasis seperti pekerja seks, gaya hidup seks bebas memiliki angka kejadian tinggi
sekitar 10-50%. Sebuah penelitian yang dilakukan di Tanzania menyatakan bahwa mereka
yang terinfeksi Trichomonas vaginalis 3 kali lebih beresiko terkena penyakit HIV.
Gonorrhea
Gonorrhoea, caused by Neisseria gonorrhoeae, is the second most common bacterial
sexually transmitted infection (STI) and results in substantial morbidity and economic cost
worldwide. The World Health Organization (WHO) estimates that in 2012, 78 million new
cases occurred among adolescents and adults aged 15–49 years worldwide with a global
incidence rate of 19 per 1000 females and 24 per 1000 males. The estimated 27 million
prevalent cases of gonorrhoea in 2012 translates to a global prevalence of gonorrhoea of
0.8% among females and 0.6% among males aged 15–49 years.
Ties et al. (2015) memperkirakan setiap tahun terdapat 78 juta penderita baru penyakit
menular seksual dan pada tahun 2012 tercatat data yang diperoleh untuk penderita baru
11
penyakit yang disebabkan oleh bakteri Neisseria gonorrhoeae sebanyak 78,3 juta diseluruh
dunia. Kementerian Kesehatan Indonesia pada tahun 2007 dan 2011 melakukan survei yang
dikenal dengan nama surveilans terpadu biologis dan perilaku (STBP) dilakukan di 11
provinsi dan 33 kota di Indonesia. Hasil STBP 2007 yang ditulis Mustikawati et al. (2009)
menyebutkan prevalensi penyakit gonore berjumlah 4.339 kasus terdiri dari wanita pekerja
seks langsung (WPSL) sebanyak 1.872 kasus, wanita pekerja seks tidak langsung (WPSTL)
sebanyak 1.105 kasus, waria sebanyak 512 kasus dan lelaki seks lelaki (LSL) sebanyak 850
kasus. Hasil STBP 2011 yang ditulis oleh Kementerian Kesehatan RI (2011)a menyebutkan
prevalensi penyakit gonore berjumlah 4.644 kasus terdiri dari WPSL sebanyak 2.279 kasus,
WPSTL sebanyak 1.484 kasus, waria sebanyak 468 kasus dan LSL sebanyak 413 kasus.
Chlamydia
Prevalensi Chlamydia mencapai 14% pada remaja wanita Amerika Afrika usia 18-26
tahun dan 17% dari remaja ini dalam 12 bulan sebelumnya mempunyai riwayat
terinfeksi gonorrhoe atau Chlamydia. Hampir 100.000 neonatus terpapar Chlamydia setiap
tahunnya.
Infeksi Chlamydia yang asimptomatik lebih banyak terjadi pada wanita
dibandingkan pria yaitu 80% banding 50% (Kohl, et al, 2003). Namun wanita lebih
mungkin mengalami komplikasi jangka panjang seperti chronic pelvic pain, PID dan
infertilitas.
Prevalensi tertinggi terdapat pada kelompok umur remaja wanita usia 15 - 24 tahun
yaitu 46% pada usia 15 -19 tahun dan 33% pada usia
20 – 24 tahun. Mukosa vagina dan jaringan cervix pada wanita yang berusia muda
bersifat immature sehingga ini menyebabkan mereka lebih rentan terhadap infeksi
genitalia dibandingkan wanita yang lebih tua (WHO, 2007b).
Infeksi Chlamydia sering dijumpai pada kelompok sosio-ekonomi lemah dan pada
orang yang tinggal di kota.
Syphilis
Angka kejadian infeksi baru (insidensi) diperkirakan 12 juta per tahun di seluruh dunia,
terutama di Afrika, Amerika Selatan, China, dan Asia Tenggara. Di Asia Tenggara
diperkirakan terjadi 4 juta infeksi baru pertahun. Akhir-akhir ini meningkat di Negara Eropa
terutama pada kelompok Lelaki Suka sama Lelaki (LSL). Penularan sifilis dari ibu hamil ke
bayinya menyebabkan sifilis kongenital yang merupakan 50% penyebab bayi lahir mati.
Di Indonesia, prevalensi sifilis diteliti secara berkala pada kelompok resiko tinggi.
Penelitian di Indonesia pada tahun 2011 menunjukan prevalensi tertinggi pada kelompok
waria (26,8%), diikuti kelompok wanita pekerja seks komersial (7,8%), dan kelompok LSL
(4,3%).
Herpes Simpleks
HSV tersebar luas di seluruh dunia. HSV-1 mungkin lebih konstan terdapat pada
manusia dibanding virus lainnya. Infeksi primer terjadi pada masa awal kehidupan daan
biasanya bersifat asimtomatik, terkadang bisa menyebabkan penyakit orofaring
(gingivostomatitis, pada anak kecil, faringitis pada dewasa muda). Antibodi terbentuk, tetapi
virus tidak dihilangkan dari tubuh yang menyebabkan terbentuknya kondisi karier sepanjang
hidup pejamu dan disela den oleh serangan herpes yang rekuren.
12
Insiden tertinggi infeksi HSV-1 terjadi pada anak-anak udia 6 bulan sampai 3 tahun.
Pada usia dewasaa, 70-90% orang mempunyai antibodi tipe 1. Masyarakat kelas menengah
pada negara maju memperoleh antibodi lebih lambat dibandingkan masy dengan ekonomi
yang lebih rendah. Hal ini menerminkan kondisi hidup yang lebih padat dan higiene yang
lebih buruk pada populasi dengan sosial ekonomi rendah tersebut. Virus disebarkan melalui
kontak langsung dengan saliva yang terrkontaminasi atau melalui peralatan makan yang
terkontaminasi saliva. Sumber infeksi pada anak biasanya adalah orang dewasaa dengan lesi
herpes simtomatik atau dengan sumber asimtomatik pada saliva.
Frekuensi infeksi rekuren HSV-1 bervariasi. 1-5% dari orang dewasa normal akan
menskresikan virus, seringkali tanpa adanya gejala klinis.HSV-2 biasanya didapati dari
penyakit meneular seksual, jadi antibodi jarang ditemukan sebelum usia pubertas. Sekitar
40-60 juta orang di Amerika Serikat diperkirakan terinfeksi virus ini. Survei menggunakan
antigen glikoprotein spesifik tipe mempunyau menemukan bahwa 20% irang dewasa di
Amerika Serikat mempunyai antibodi HSV-2, dengan seroprevalensi lebih tinggii pada
wanita dibandingkan dengan pria dan lebih tinggi pada orang kulit hitam dibandingkan
denngan orang kulit putih.
Infeksi genital rekuren dapat bersifat simptomatik atau asimptomatik, dan keduanya
mempunyai reservoir virus untuk ditularkan kepada orang yang rentan. Penelitian
ditemukan 50% kasus disebabkan oleh kontak seksual pada orang yang tidak mempunyai
lesi atau gejala.
Infeksi HSV pada wanita hamil dapat mengalami penyakit diseminata setelah infeksi
primer dengan angka mertalitas yang tinggi, tetapi hal ini jarang terjadi. Infeksi primerr
sebelum usia kehailan 20 minggu berhubungan dengan abortus spontan. Jannin dapat
terkena infeksi disebabakan oleh pelepasan viru dari lesi reekuren pada jalan lahir.
Infeksi HSV genital meningkatkan kemungkinan infeksi HIV (human immunodeficiency
virus) tipe 1 karena lesi ulseratif terbuka pada permukaan mukosa.
13
Tidak ada variasi musiman yang diketahui dalam infeksi HPV.
Communicability
HPV diduga dapat menular selama infeksi akut dan selama infeksi persisten.
Masalah ini sulit dipelajari karena ketidakmampuan membudidayakan virus.
Communicability dapat dianggap tinggi karena banyaknya jumlah infeksi baru
diperkirakan terjadi setiap tahun
Faktor risiko
Faktor risiko untuk infeksi HPV terutama terkait dengan seksual perilaku, termasuk
seumur hidup dan pasangan seks baru-baru ini. Hasil studi epidemiologi kurang
konsisten untuk risiko lain faktor, termasuk usia muda saat inisiasi seksual, jumlah
kehamilan, faktor genetik, merokok, dan kurangnya sirkumsion dari pasangan pria.
Beban Penyakit di Amerika Serikat
Infeksi HPV anogenital diyakini yang paling banyak infeksi menular seksual umum
di Amerika Serikat. Diperkirakan 79 juta orang terinfeksi, dan sebuah Diperkirakan
14 juta infeksi HPV baru terjadi setiap tahun setengahnya pada orang 15-24 tahun.
Dua jenis kanker serviks yang paling umum di seluruh dunia, karsinoma sel
skuamosa diikuti oleh adenokarsinoma, keduanya disebabkan oleh HPV. CDC dan
Kanker Nasional Institut Kelompok Kerja Statistik Kanker Amerika Serikat
melaporkan bahwa dari tahun 2005 hingga 2009 ada tahunan rata-rata 12.595 kasus
dan 3.968 kematian karena serviks kanker. HPV diyakini bertanggung jawab untuk
hampir semua dari kasus-kasus kanker serviks ini. HPV tipe 16 dan 18 adalah terkait
dengan 70% dari kanker ini. Selain kanker serviks, HPV diyakini bertanggung jawab
untuk 90% kanker dubur, 71% vulva, vagina, atau kanker penis, dan 72% kanker
oropharyngeal. Pendugaan berbasis populasi, terutama dari klinik yang merawat
orang dengan infeksi menular seksual, menunjukkan bahwa sekitar 1% dari remaja
dan dewasa yang aktif secara seksual populasi di Amerika Serikat secara klinis jelas
kutil kelamin. Lebih dari 90% kasus kutil anogenital dikaitkan dengan HPV tipe 6
dan 11 risiko rendah. Sekitar 8 miliar dolar dihabiskan setiap tahun untuk
manajemen sekuele infeksi HPV, terutama untuk manajemen sitologi serviks
abnormal dan pengobatan serviks neoplasia. Ini melebihi beban ekonomi lainnya
infeksi menular seksual kecuali imunodefisis manusia- virus ciency.
3.3 Etiologi Keputihan/ Leukorrea/Flour Albus
Bacterial Vaginosis
Candidiasis
Candida termasuk spora aseksual yaitu spora yang dibentuk dari hifa reproduktif,
termasuk blastospora. Candida albicans bersifat dismorfik yaitu memiliki bentuk kapang
(sel-sel yang memanjang dan bercabang) dan bentuk khamir (sel berbentuk bulat, lonjong
atau memanjang yang berkembang biak dengan membentuk tunas dan koloni yang basah
atau berlendir). Selain ragi dan pseudohifa, juga dapat menghasilkan hifa sejati. Pada
medium agar atau dalam 24 jam pada suhu 37 oC atau suhu ruangan, kandida menghasilkan
koloni lunak berwarna krem dengan bau seperti ragi. Kandidiasis kutan atau mukosa terjadi
melalui peningkatan jumlah kandida lokal dan adanya kerusakan pada kulit atau epitel yang
memungkinkan invasi lokal oleh ragi dan pseudohifa.
14
Trichiomoniasis
Trikomiasis disebabkan oleh protozoa parasitik tricomonas vaginalis. T.vaginalis adalah
organisme oval berflagela yang berukuran setara dengan sebuah leukosit. Organisme
terdorong oleh gerakan-gerakan dari flagelnya. Trigkomonas mengikat dan akhirnya
mematikan sel-sel penjamu, memicu respon imun humoral dan seluler yang tidak bersifat
protektif terhadap infeksi berikutnya. Agar dapat bertahan hidup, trikomonad harus
berkontak langsung dengan eritrosit, dan hal ini dapat mejelaskan mengapa perempuan lebih
rentan terhadap infeksi daripada laki-laki.
Trichomonas vaginalis tumbuh paling subur pada pH antara 4,9 dan 7,5 dengan
demikian haid, kehamilan, pemakaian kontrasepsi oral, dan tindakan sering mencuci vagina
merupaka predisposisi timbulnya trikomoniasis. Bayi perempuan yang lahir dari ibu yang
terinfeksi dapat mengalami infeksi Trikomonas vaginalis.
Infeksi Trichomonas vaginalis ditularkan hampir secara eksklusif melalui hubungan
seksual. Walaupun trikomonad diketahui dapat bertahan hidup sampai 45menit pada fomite,
namun cara penularan fomite ini sangat jarang terjadi. Risiko terinfeksi Trichomonas
vaginalis meningkat seiring dengan jumlah pasangan seks dan lama aktivitas seksual.
Gonorrhea
Infeksi gonore disebabkan oleh bakteri Neisseria gonorrhoeae. Bakteri Neisseria
gonorrhoeae bersifat gram negatif, yang terlihat di luar atau di dalam sel polimorfonuklear
(leukosit), tidak tahan lama di udara bebas, cepat mati pada keadaan kering, tidak tahan
suhu di atas 39° C dan tidak tahan terhadap zat desinfektan (Jawas & Murtiastutik, 2008).
Gambar 4. Bakteria Neisseria gonorrhoeae (Centers for Disease Control and Prevention,
2005). Kumar (2012) membagi bakteri Neisseria gonorrhoeae menjadi 4 macam morfologi
koloni yaitu T1, T2, T3, T4. Koloni T1 dan T2 kecil dan memiliki pili sedangkan koloni T3
dan T4 lebih besar, lebih datar dan tidak memiliki pili. Pili akan memfasilitasi adhesi cocci
ke permukaan mukosa dan meningkatkan virulen sehingga strain yang memiliki pili (T1 dan
15
T2) lebih efisien serta memiliki virulensi yang lebih tinggi dibandingkan non pili (T3 dan
T4). Pili akan melekat pada mukosa epitel dan akan menimbulkan reaksi inflamasi. Hanya
pili tipe I dan II yang patogen terhadap manusia.
Chlamydia
Bakteri ini sering menyebabkan penyakit mata yang dikenal dengan penyakit traukoma.
Bakteri ini juga dapat ditemukan pada cairan vagina yang berwarna kuning seperti pus.
Sering kencing dan terdapat perdarahan vagina yang abnormal.
Dan terlihat melalui mikroskop setelah diwarnai dengan pewarnaan Giemsa. Bakteri ini
membentuk suatu badan inklusi yang berada dalam sitoplasma sel-sel vagina.
Pada pemeriksaan Pap Smear sukar ditemukan adanya perubahan sel akibat infeksi
clamidia ini karena siklus hidupnya tidak mudah dilacak
Syphilis
Bakteri ini merupakan penyebab penyakit sifilis. Pada perkembangan penyakit dapat
terlihat sebagai kutil-kutil kecil di vulva dan vagina yang disebut kondiloma lata. Bakteri
berbentuk spiral P: 6 – 15 μ, L: 0,25 μ, lilitan: 9 – 24 dan tampak bergerak aktif (gerak maju
& mundur, Berotasi undulasi sisi ke sisi) pada pemeriksaan mikroskopis lapangan gelap.
Mati pada kekeringan, panas, antiseptik ringan, hidup beberapa lama di luar tubuh.
Penularan dapat secara kontak langsung yaitu melalui coital à STD dan dapat juga melalui
non-coital (jarum suntik) sulit terjadi.
Herpes Simpleks
Struktur dan Komposisi:
Herpesvirus adalah virus yang besr. Beberapa jenis herpesvirus memiliki detail
arsitektural yang sama dan tidak dapat dibedakan menggunakan mikroskop elektrron.
Semua herpes virus memiliki semua herpes virus mempunyai inti DNA untai ganda,
berbentuk toroid, dikelilingi oleh selubung protein yang membentuk simetri ikosahedral dan
memepunyai 162 kapsomer. Nukleokapsid dikelilingi oleh selubung yng berasal dari
membran nukleus sel yang terinfeksi dan mengandung duri glikoprotein virus berbentuk
terkadang asimetris diantara kapsid dan selubung. Virion dengan selubungn berukuran 150-
200 nm, sedangkkan virion “telanjang: berukuran 125
nm.
Klasifikasi:
Sifat Biologik Contoh
Sub Siklus Infeksi Genus (Virus) Nama Nama Umum
16
Famili Pertumbuhan Laten Khusus/Herpes
& Sitopatologi Virus Manusia
Alfa Pendek, Neuron Simplex 1 Virus herpes
sitolitik simpleks tipe 1
2 Virus herpes
simpleks tipe 2
Varicello 3 Virus varisela-zoster
Beta Panjang, Kelenjar, Cytomegalo 5 Sitomegalovirus
sitomegalik ginjal
Panjang, Jaringan Roseolo 6 Herpesvirus 6
limfopoliferatif limfoid manusia
7 Herpesvirus 7
manusia
Gamma Bervariasi, Jaringan Lymphocrypto 4 Virus Epstein-Barr
lifopoliveratif limfoid Rhadino 8 Herpesvirus
terkait-Sarkoma
Kaposi
17
Infeksi simtomatik timbul apabila terjadi perubahan pada resistensi pejamu atau flora
bakteri local. Faktor predisposisi pada wanita adalah kehamilan, haid, diabetes mellitus,
pada pemakaian kontrasepsi dan terapi antibiotic. Baju dalan yang ketat, konstriktif dan
sintetik, sehingga menimbulkan lingkungan yang hangat dan lembab untuk kolonisasi dapat
menyebabkan infeksi rekurent.
Pada sebagian perempuan, reaksi hipersensitifitas terhadap produk-produk, misalnya
pencuci vagina, semprotan deodorant dan kertas toilet dapat berperan menimbulkan
kolonisasi. Perempuan umumnya mengalami infeksi akibat salah satu factor diatas
sedangkan pada laki-laki umunya terjangkit infeksi melalui kontak seksual dengan
perempuan yang mengidap kandidiasis vulvovagina. Keadaan yang saling menularkan
antara pasangan suami istri ini desebut femoma ping pong.
Trichiomoniasis
Trikomonad mengikat dan akhirnya mematikan sel-sel pejamu, memicu respon imun
humoral dan selular yang tidak bersifat protektif terhadap infeksi berikutnya.Agar dapat
bertahan hidup trikomonad harus berkontak langsung dengan eritrosit, dan dalam hal ini
dapat menjelaskan mengapa perempuan lebih rentan terhadap infeksi dari pada laki-laki.
T.vaginalis paling subur pada pH antara 4,9-7,5. Keadaan yang meningkatkan pH
vagina, misalnya haid, kehamilan, pemakaina kontrasepsi oral, dan tindakan sering mencuci
vagina merupakan predisposisi timbulnya trikomoniasis.
Bayi perempuan yang lahir dari ibu yang terinfeksi dapat menularkan
infeksinya.Bayi perempuan rentan karena pengaruh hormone ibu pada epitel vagina bayi.
Infeksi T.vaginalis di tularkan hampir secara eksklusif melalui hubungan kelamin.
Walaupun trikomonad di ketahui dapat hidup sampai 45 menit pada fomite, namun cara
penularan melalui fomite ini sangat jarang terjadi.
Gonorrhea
Neisseria gonorrhoeae dapat ditularkan melalui kontak seksual atau melalui
penularan vertikal pada saat melahirkan. Bakteri ini terutama mengenai epitel kolumnar dan
epitel kuboidal manusia. Patogenesis gonore terbagi menjadi 5 tahap sebagai berikut :
Fase 1 adalah bakteri Neisseria gonorrhoeae menginfeksi permukaan selaput
lendir dapat ditemukan di uretra, endoserviks dan anus.
Fase 2 adalah bakteri ke microvillus sel epitel kolumnar untuk kolonisasi
selama infeksi, bakteri dibantu oleh fimbriae, pili. Fimbriae terutama terdiri
dari protein pilin oligomer yang digunakan untuk melekatkan bakteri ke sel-
sel dari permukaan selaput lendir. Protein membran luar PII 9 Oppacity
associated protein (OPA) kemudian membantu bakteri mengikat dan
menyerang sel inang.
Fase 3 adalah masuknya bakteri ke dalam sel kolumnar dengan proses yang
disebut endositosis di mana bakteri yang ditelan oleh membran sel kolumnar,
membentuk vakuola.
Fase 4 adalah vakuola ini kemudian dibawa ke membran basal sel inang,
dimana bakteri berkembang biak setelah dibebaskan ke dalam jaringan
subepitel dengan proses eksositosis. Peptidoglikan dan bakteri LOS (Lipo
18
Oligo Sakharida) dilepaskan selama infeksi. Gonococcus dapat memiliki dan
mengubah banyak jenis antigen dari Neisseria LOS. LOS merangsang tumor
necrosis factor, atau TNF, yang akan mengakibatkan kerusakan sel.
Fase 5 reaksi inflamasi yang dihasilkan menyebabkan infiltrasi neutrofil.
Selaput lendir hancur mengakibatkan akumulasi Neisseria gonorrhoeae dan
neutrofil pada jaringan ikat subepitel. Respon imun host memicu Neisseria
gonorrhoeae untuk menghasilkan protease IgA ekstraseluler yang
menyebabkan hilangnya aktivitas antibodi dan mempromosikan virulensi.
Setelah melekat, gonokokus berpenetrasi ke dalam sel epitel dan melalui jaringan
sub epitel di mana gonokokus ini terpajan ke system imun (serum, komplemen,
immunoglobulin A(IgA), dan lain-lain), dan difagositosis oleh neutrofil. Virulensi
bergantung pada apakah gonokokus mudah melekat dan berpenetrasi ke dalam sel penjamu,
begitu pula resistensi terhadap serum, fagositosis, dan pemusnahan intraseluler oleh
polimorfonukleosit. Faktor yang mendukung virulensi ini adalah pili, protein, membrane
bagian luar, lipopolisakarida, dan protease IgA.
Chlamydia
Elementary body merupakan bentuk pathogen mirip seperti spora. Bakteri ini akan
merangsang endocytosisnya setelah kontak dengan sel host yang potensial. Sekali
memasuki sel, elementary body akan bertambah banyak sebagai hasil interaksinya
dengan glikogen, dan merubahnya menjadi bentuk vegetatif, relikulate body. Bentuk
retikulate membelah setiap 2-3 jam dan mempunyai masa inkubasi 7-21 hari dalam sel
hostnya. Setelah pembelahan, berubah kembali menjadi bentuk elementary dan
dilepaskan dari sel melalui exocytosis.
19
Syphilis
Sifilis ditularkan melalui kontak seksual baik melalui vaginal, anal, atau oral.
Berciuman, berbagi jarum suntik yang tidak aman, transfuse darah, needle stick injury, dan
cangkok organ dapat menjadi metode penularan tetapi lebih jarang. Secara klasik, sifilis
dibagi menjadi beberapa stadium:
1. Masa inkubasi tanpa gejala.
2. Sifilis primer, dengan gejala timbulnya lesi primer pada tempat inokulasi pertama.
3. Sifilis sekunder, terjadi akibat penyebaran kuman ke seluruh tubuh dengan berbagai
manifestasi klinis.
4. Stadium subklinis atau laten yang dapat berlangsung bertahun-tahun dan hanya
dapat dideteksi melalui pemeriksaan serologi.
5. Sifilis tersier, merupakan stadium akhir dari sifilis berupa penyakit progresisif yang
melibatkan susunan saraf pusat, pembuluh darah besar, dan atau pembentukan
gumma yang dapat terjadi pada semua organ.
Siflis primer, sekunderm dan laten awal merupakan stadium yang sangat menular
dengan resiko penularan 60%. Bayi baru lahir dapat tertular sifilis melalui kontak dengan
lesi enital ibu saat bayi dilahirkan. Resiko penularan dari wanita yang tidak mendapat
pengobatan adalah sekitar 70-100%. Kematian janin terjadi 40% pada wanita hamil dengan
sifilis. Secara teoritis ASI dapat menularkan sifilis primer atau sekunder walaupun hal ini
jarang ditemukan.
T. pallidum dapat menembus membran utuh maupun kulit dengan mikroabrasi. Dalam
beberapa jam pertama bakteri akan masuk ke jaringan limfatik dan aliran darah yang akan
menimbulkan gejala infeksi sistemik dan focus metastatic sebelum timbulnya lesi primer. T.
pallidum membelah diri tiap 30-33 jam. Darah dari penderita dalam masa inkubasi sangat
menular. Lamanya masa inkubasi berbanding terbalik dengan jumlah treponema yang
terinokulasi. Semakin pendek masa inkubasi maka semakin banyak jumlah treponema yang
terinokulasi. Masa inkubasi rata-rata berlangsung 3 minggu sejak inokulasi pertama.
Sifilis primer ditandai dengan munculnya lesi primer pada tempat inokuasi yang disebut
canchre. Canchre biasanya bertahan 4-6 minggu dan kemudian sembuh sendiri. Gejala
konstitusi dan mukokutan sifilis sekunder muncul antara 6-8 minggu setelah lesi primer
sembuh. Treponema dapat ditemukan pada jaringan termasuk cairan cerebrpspinalis dan
humor aques pada mata. Invasi treponema pada SSP terjadi pada minggu pertama infeksi
dan kelainan pada SSP ditemukan pada 40% penderita sifilis sekunder.
Gangguan fungsi hati ditemukan pada 25% penderita sifilis primer. Pembesaran
kelenjar getah bening (KGB) generalisata terjadi pada 85% penderita sifilis sekunder. Lesi
sifilis sekunder biasanya hilang sendiri dalam 2-6 minggu kemudian memasuki stadium
laten yang hanya dapat dideteksi dengan tes serologi. Stadium laten dapat diselingi episode
kekambuhan mukokutan pada tahun-tahun pertama. 1 dari 3 pasien sifilis yang tidak diobati
akan memasukin stadium tersier. Pada stadium akhir ini manifestasi yang sering ditemukan
adalah gumma, sifilis pada sistem kardiovaskular, dan neurosifilis. Penyebab sifilis tersier
sampai sekarang belum diketahui dan kematian akibat sifilis terutama terjadi akibat sifilis
tersier.
Herpes Simpleks
20
Karena HSV menyebabkan infeksi sitolitik, perubahan patologis yang terjadi disebabkan
oleh nekrosis sel yang terinfeksi dan respons inflamasi. Lelsi yang terinduksi pada kulit dan
membrana mukosa oleh HSV-1 dan HSV-2 adalah sama dan menyerupai lesi virus varisela-
zoster. Perubahan yang diinduksi oleh HSV pada infeksi primer serupa dengan infeksi
rekurens tetapi dalam derajat yang berbeda, mencerminkan tingkan sitopatologi virus.
Karakteristik perubahan histopatologi mencakup pembengkakkan sel yang terinfeksi
produksi badan inklusi intranuklear Cowdry tipe A, marginasi kromatin dan pembentukan
sel raksasaa multinukleus. Fusi sel merupakan metode efisien untu menyebarkan HSV dari
sel ke sel, bahkan dengan keberadaan antibodi netralisasi.
Infeksi Primer
HSV ditularkan melalui kontak antara orang yang rentang dengan orang yang
mengeksekresikan virus. Virus tersebut harus menemukan kulit yang cedera atau permukaan
mukosa untuk dapat menimbulkan infeksi (kulit yang intak bersifat resisten). Infeksi HSV-1
biasanya terbatas pada orofaring, dan virus dituularkan melalui droplet pernapasan atau
melalui kokntak langsung dengan saliva yang terinfeksi. HSV-2 biassanya ditularkan
melalui jalur genital. Replikasi virus terjadi pertama kali pada tempat infeksi. Virus
kemudian menginvasi ujung saraf lokal dan ditranspor melalui aliran aksonal retrograd ke
ganglia cabang dorsal, tempat terjadinya latensi setelah replikasi lebih lanjut. Infeksi HSV-1
orofaring menyebabkan infeksi laten pada ganglia trigeminal, sedangkkgan infeksi HSV-2
genital menyebabkan infeksi laten pada ganglia sakral. Viremia lebih sering terjadi pada
infeksi HSV-2 primer dari pada infeksi HSV-1.
Infeksi HSV primer biasanya ringan, sebenarnya sebagian besaar bersifat asimtomatik.
Penyakit sistemik sangat jarang terjadi. Keterlibatan organ yang luas dapat terjadi ketika
pejamu yang luluh imun tidak dapat membatasi replikasi virus dan terrjadi viremia.
Infeksi Laten
Virus yang berada pada ganglia yang terinfeksi secara laten dalam kondisi nonreplikasi,
hanya sangat sedikit gen virus yang diekspresikan. Persistensi virus pada ganglia yang
terinfeksi dapat ditemukan di antara masa rekurensi di atau dekat tempat lesi rekuren biasa
terjadi. Stimulus provokatif dapat mereaktivasi virus dari kondisi laten, seperti cedera
akson, demam, stes fisik atau emosional dan pajanan terhadap sinar UV. Virus tersebut
mengikuti akson kembali ke lokasi perifer, dan replikasi terjadi pada kulit atau membran
mukosa. Resktivasi spontan dapat terjadi walaupun terdapat imunitas humoral dan seluler
yang spesifik-HSV pada pejamu. Akan tetapi, imunitas ini membatasi replikasi virus lokal
sehingga infeksi rekuren menjadi kuran ekstensif dan lebih ringan. Banyak rekurensi
bersifat asimtomatik, hanya ditandai oleh pelepasan virus dalam sekret. Ketika bersifat
asimtomatik episode infeksi HSV-1 rekuren biasanya bermanifestasi sebagai cold sore
(fever blister) di dekat bibir. Lebih dari 80% populasi manusia mempupnyai HSV-1 dalam
bentuk laten, tetapi hanya sebagian kecil yang mengalami rekurensi. Tidak diketahui
mengapa beberapa orang mengalami raktivasi dan yang lainnya tidak.
21
perkembangan kanker serviks. Manifestasi klinis yang paling signifikan dari Infeksi HPV
genital persisten adalah intraepitel serviks neoplasia, atau CIN. Dalam beberapa tahun
infeksi, kadar rendah CIN — disebut CIN 1 — dapat berkembang, yang mungkin secara
spontan menyelesaikan dan infeksi yang jelas. Infeksi HPV persisten, bagaimanapun, dapat
berkembang secara langsung ke CIN kelas lebih tinggi, yang disebut CIN2 atau CIN3. Kelas
tinggi kelainan berisiko berkembang menjadi kanker dan sebagainya dianggap prekursor
kanker. Beberapa bermutu tinggi kelainan secara spontan mundur. Jika dibiarkan tidak
terdeteksi dan tidak diobati, bertahun-tahun atau dekade kemudian CIN2 atau 3 dapat
berkembang untuk kanker serviks. Infeksi dengan satu jenis HPV tidak mencegah infeksi
dengan tipe lain. Orang yang terinfeksi HPV mukosa, 5% hingga 30% terinfeksi dengan
beberapa jenis virus.
1. Gejala awal gonore biasanya timbul dalam waktu 2-7 hari setelah terinfeksi.
2. Nyeri dan perasaan tidak nyaman pada saluran kencing (urethral discomfort).
22
3. Nyeri pada saat kencing (disuria).
4. Keluar duh tubuh (pus/nanah) dari penis disertai nyeri (purulent discharge).
5. Sakit tenggorokan jika terjadi infeksi pada tenggorokan disebabkan karena oral seks
6. Gatal – gatal pada anus disertai keluar nanah jika terjadi infeksi pada daerah anus
karena hubungan seks melalui anus.
7. Retensi urin akibat inflamasi prostat.
1. Gejala awal biasanya timbul dalam waktu 7-21 hari setelah terinfeksi.
2. Penderita seringkali tidak merasakan gejala selama beberapa minggu atau bulan
(asimtomatis), 80 % tidak menimbulkan gejala.
3. Jika timbul gejala, biasanya bersifat ringan. Namun, beberapa penderita
menunjukkan gejala yang berat seperti desakan untuk berkemih.
4. Keluar cairan putih keruh kekuningan (Vaginal discharge)
5. Nyeri abdomen kronis.
6. Nyeri saat kencing (disuria).
7. Infeksi dapat menyerang leher rahim, rahim, indung telur, uretra, dan rektum serta
menyebabkan nyeri pinggul yang dalam ketika berhubungan seksual.
8. Sakit tenggorokan jika terjadi infeksi pada tenggorokan disebabkan karena oral seks.
9. Gatal – gatal pada anus disertai keluar nanah jika terjadi infeksi pada daerah anus
karena hubungan seks melalui anus.
10. Pelvic Inflammatory Diseases (PID) = penyakit radang panggul.
1. Konjungtivitis
2. Kebutaan
Gejala-gejala gonore yang telah menyebar dari kelamin ke daerah lain meliputi:
1. Ruam.
2. Radang sendi atau arthritis.
3. Tendon meradang.
Chlamydia
Pada umumnya infeksi Chlamydia, biasanya tanpa gejala, atau pada orang yang
terinfeksi dan memperhatikannya, dapat diketahui gejala-gejala tertentu dalam
beberapa minggu atau bulan, tergantung keparahan dari infeksinya (severity) dan
pengobatan yang dilakukannya. Bila tidak tertangani dengan baik, gejalanya bisa berbeda-
beda.
Gejala-gejala ini dapat berupa:
a. Pada wanita pre-pubertas: adanya vaginal discharge dan berbau
(vaginitis)
23
b. Pada wanita post pubertas: adanya discharge dan bau yang berasal dari cerviks
yang terinfeksi.
c. Pada wanita dewasa: hampir 80% tidak ada gejala (asimptomatik).
Wanita dapat membawa bakteri ini berbulan-bulan bahkan bertahun tanpa
menyadarinya. Disinilah pentingnya skrining. Gejala dapat timbul dalam 3 minggu setelah
terinfeksi, berupa: sakit perut bawah yang menetap, mild, milky, yellow mucus-like
discharge dari vaginal, mual dan demam, sakit sewaktu buang air kecil, sakit
sewaktu melakukan hubungan seksual, spotting diluar haid.
d. Pada pria: rasa terbakar/panas sewaktu buang air kecil, discharge yang mild, sticky,
milky atau mucus-like dari penis, sakit dan pembengkakan testis (yang bila tidak
diobati dapat menimbulkan infertilitas). Infeksi pada pria ini sering disebut Non-Spesifik
Uretritis (NSU)
Infeksi Chlamydia trachomatis, Neisseria gonorrhoeae dan Trichomonas
vaginalis dapat menimbulkan vaginal discharge tetapi bisa juga tidak ada gejala
(asimptomatik). Infeksi menular seksual ini ada hubungannya dengan peningkatan risiko
penularan HIV.
Chlamydia trachomatis dapat menyebabkan vaginal discharge yang purulen dan banyak,
tetapi 80% wanita tidak menunjukkan keluhan ini. Bila infeksi ini tidak diobati,
maka sekitar 10-40% dapat menyebabkan pelvic inflammatory disease (PID). Oleh
karena itu penegakkan diagnosa infeksi Chlamydia secara dini sangat penting.
Syphilis
Sifilis Primer
Pada stadium primer ditemukan chancre yang timbul di tempat inokulasi pertama.
Pada wanita biasa ditemukan pada labia dan serviks. Chancre biasanya berupa papula
tunggal yang tidak nyeri, cepat terkikis dan berindurasi. Dasar chancre biasanya halus,
pinggirnya lebih tinggi dan teraba kenyal. Tanpa infeksi sekunder, chancre tampak
bersih tanpa eksudat.
Sifilis Sekunder
Manifestasi berupa lesi mukokutan dan limfadenopati generalisata yang tidak terasa
nyero. Pada 15% kasus sifilis sekunder overlapping dengan sifilis primer, terutama pada
penderita HIV. Lesi mukokutan dapat berupa macula, papula, papulaskuamosa atau
pustular syphilides. Macula muncul pertama kali pada tubuh dan extremitas proksimal,
berwarna merah atau merah muda yang tidak terasa gatal. Macula kemudian berubah
menjadi papula yang tersebar keseluruh tubuh termasuk telak tangan dan kaki. Lesi
nekrotik yang dikenal dengan lues maligna sering ditemukan pada penderita HIV.
Pada daerah lipatan papula dapat membesar hingga membentuk papula lebar yang
lembab berwarna merah muda atau putih keabu-abuan yang disebut condyloma lata.
Condyloma lata sangat menular dan terutama terjadi pada mukosa oral dan genital.
Gejala konstitusisional seperti nyeri menelan, demam, penurunan berat badan, lemah
badan, anoreksia, nyeri kepala, dan meningismus dapat terjadi pada penderita sifilis.
Herpes Simpleks
Tingkat keparahan, frekuensi penyait dan rekurensi tergantung bebrbagai faktor, yakni
jenis virus, imunitas sebelumnya terhadap virus autolog atau heterolog, jenis kelamin, serta
status imun pejamu.
24
Herpes genitalis primer dapat disebabkan oleh HSV-1 atau HSV-2, dan bisa bersifat
asimtomatik. Gambaran klinis herpes genitalis primer yang disebabkan oleh HSV-1 dan
HSV-2 dapat dibedakan, serta rekurensi lebih sering pada GSV-2. Herpes genitalis primer
ditandai oleh gejala sistemik dan lokal yang parah serta berkepanjangan. Gejala episode
pertama infeksi HSV-2 sekunder biasanya ringan dan durasi lebih singkat. Gejala dan
komplikasi berupa demam, sakit kepala, malaise, dan nyeri otot dominan pada 3-4 hari
pertaama. Gejala lokal berupa rasa nyyeri, gatal disuris, keputihan, uretritis dan
limfadenopati dengan nyeri tekan.
Pada pria dan waanita lesi ulseratif menetap selama 4-15 hari hingga terjadi pelepasan
krusta dan re-epitalisasi. Pada 75 % pasien terbentuk kembali lesi baru selama
berlangsungnya penyakit, biasanya dalam 4-10 hari.
Morbiditas herpes genitalis disebabkan oleh titngginya tingkat reaktivasi. Sebanyak 60%
pasien infeksi HSV-2 genital primer rekuren pada tahun pertama. Pasien herpes genitalis
primer berat cenderung lebih sering rekuren dalam durasi lebih lama. Herpes genitalis
rekureen biasanya didahului oleh gejala prodromoral, berupa rasa nyeri dalam serta rassa
terbakar pada lokasi lesi yang berlangsung selama 2 jam sampat 2 hari. Gejala pada wanita
umumnya lebih berat. Pada beberapa orang, terjadi neuralgia sakral ipsilateral yaang berat.
Infeksi genital HSV paling sering assimtomati. Sebanyak 70-80% individu yang
seropositif tidak mempunyai riwayat herpes genitalis simtomatik sebeumnya. Shedding
virus asimtomatik terrjadi pada 1-2% individu imunokompeten yang terinfeksi dan 6%nya
terjadi dalam beberapa bulan pertama sesudah infeksi. Hal terpenting adalah mencegah
penularan seksual atau perinatal.
Trichiomoniasis
Anamnesis:
Sering tidak menunjukkan keluhan , kalau ada biasanya berupa duh tubuh vagina
yang banyakmdan baerbau maupun dispareunia, perdarahan pasca coitus dan
perdarahan intermestrual. Jumlah lekore banyak, berbau, menimbulkan iritasi dan
gatal.Warna sekret putih, kuning atau purulen.Konsistensi homogen, basah, frothy
atau berbusa (foamy).Terdapat eritem dan edema pada vulva disertai dengan
ekskoriasi.Sekitar 2-5% tampak strawberry servix yang sangat khas pada
trichomonas.
Laboratorium: pH>4,5 dan Sniff test (+)
Mikroskopik: pemeriksaan sediaan basah dengan larutan garam fisiologis terlihat
pergerakan trichomonas berbentuk ovoid, ukuran lebih besar dari PMN dan
mempunyai flagel, leukosit (+) dan clue cell dapat (+)
Gonorrhea
Kementerian Kesehatan RI (2011) memberikan pedoman tentang tata cara melakukan
diagnosis gonore yang terdiri dari:
1) Anamnesis
Anamnesis dapat dilakukan oleh tenaga medis atau paramedis dengan menanyakan
beberapa informasi terkait penyakit kepada pasien untuk membantu menentukan faktor
resiko pasien, menegakkan diagnosis sebelum melakukan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang lainnya.
2) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan di daerah sekitar genital pria atau wanita dengan bantuan
lampu sorot yang dilakukan oleh tenaga kesehatan ahli. Jenis pemeriksaan yang dilakukan
pada wanita dan pria memiliki perbedaan seperti:
a) Pasien wanita, diperiksa dengan berbaring pada meja ginekologik dengan posisi
litotomi. Pemeriksaan dilakukan dengan memisahkan kedua labia dan diperhatikan adanya
tanda kemerahan, pembengkakan, luka/ lecet, massa atau duh tubuh vagina (cairan yang
keluar dari dalam vagina, bukan darah dan bukan air seni). 8 Gambar 5. Posisi litotomi
(Kementerian Kesehatan RI, 2011).
26
b) Pasien pria, diperiksa dengan posisi duduk/ berdiri. Pemeriksaan dilakukan dengan
melihat pada daerah penis adanya tanda kemerahan, luka/ lecet, duh tubuh uretra (cairan
yang keluar dari uretra, bukan darah dan bukan air seni) dan lesi lain. Pada pasien pria
sebelum dilakukan pemeriksaan diharapkan untuk tidak berkemih selama 1 jam (3 jam lebih
baik).
3) Pengambilan spesimen
Pengambilan spesimen berdasarkan Kementerian Kesehatan RI (2011) dengan gejala
duh tubuh uretra terdiri dari:
a) Pasien laki-laki, pengambilan bahan duh tubuh genitalia dengan sengkelit steril atau
dengan swab berujung kecil.
b) Pasien wanita sudah menikah, pengambilan spesimen dilakukan dengan
menggunakan spekulum steril yang dimasukkan kedalam vagina.
c) Pasien wanita belum menikah, pengambilan spesimen dilakukan tidak menggunakan
spekulum karena dapat merusak selaput darahnya, tetapi 9 digunakan sengkelit steril untuk
pengambilan spesimen dari dalam vagina.
4) Pemeriksaan laboratorium
Menurut Daili (2009), pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan dengan cara:
a) Pemeriksaan gram
Pemeriksaan gram dengan menggunakan sediaan langsung dari duh uretra yang
memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinggi terutama pada duh uretra pria, sedangkan duh
endoserviks memiliki sensitivitas yang tidak terlalu tinggi. Pemeriksaan ini akan
menunjukkan Neisseria gonorrhoeae yang merupakan bakteri gram negatif dan dapat
ditemukan di dalam maupun luar sel leukosit.
b) Kultur bakteri
Kultur untuk bakteri N.gonorrhoeae umumnya dilakukan pada media pertumbuhan
Thayer-Martin yang mengandung vankomisin untuk menekan pertumbuhan kuman gram
positif dan kolimestat untuk menekan pertumbuhan bakteri gram negatif dan nistatin untuk
menekan pertumbuhan jamur. Pemeriksaan kultur ini merupakan pemeriksaan dengan
sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi, sehingga sangat dianjurkan dilakukan pada pasien
wanita.
b) Tes definitif
Tes definitif dengan oksidasi akan ditemukan semua Neisseria gonorrhoeae yang
mengoksidasi dan mengubah warna koloni yang semula bening menjadi merah muda
sampai merah lembayung, sedangkan pada tes fermentasi dapat dibedakan N.gonorrhoeae
yang hanya dapat meragikan glukosa saja.
c) Tes betalaktamase
Tes ini menggunakan cefinase TM disc dan akan tampak perubahan warna koloni dari
kuning menjadi merah.
e) Tes thomson
Tes ini dilakukan dengan menampung urin setelah bangun pagi ke dalam 2 gelas dan
tidak boleh menahan kencing dari gelas pertama ke gelas kedua. Hasil dinyatakan positif
jika gelas pertama tampak keruh sedangkan gelas kedua tampak jernih.
5) Pemeriksaan lain
27
Jenis pemeriksaan lain yang dapat digunakan untuk menunjang diagnosis gonore sesuai
Kementerian Kesehatan RI (2011) terdiri dari pemeriksaan bimanual dan pemeriksaan
anoskopi.
Chlamydia
Untuk menunjukkan adanya infeksi genital oleh Chlamydia. trachomatis bahan
pemeriksaan harus diambil uretra atau cerviks dengan menggunakan swab kapas dengan
tangkai metal. Pada wanita Chlamydia trachomatis lebih sering dapat diisolasi di cerviks
dari pada uretra.
a. Biakan
Sampai tahun 1980-an diagnosis infeksi Chlamydia trachomatis terutama
berdasarkan pada isolasi organisma dalam biakan sel jaringan. Ini merupakan metode
tradisional untuk diagnosis laboratorium dan tetap sebagai metode pilihan untuk spesimen
medikolegal dimana sensitivitas diperkirakan 80-90% dan spesifitasnya 100%. Yang
dapat digunakan adalah sel-sel Mc. Coy yaitu sel-sel yaitu sel-sel fibroblas tikus (L-cells).
Biakan sel dapat juga digunakan mencari bahan inklusi Chlamydia dengan bantuan grup
spesifik fluorescein - labelled antibodi monoklonal terhadap Chlamydia trachomatis.
Prosedur ini membutuhkan mikroskop fluorescens.
b. Pemeriksaan Mikroskopik
Pemeriksaan dalam gelas objek diwarnai dengan pewarnaan giemsa atau
larutan jodium dan diperiksa dengan mikroskop cahaya biasa. Pada pewarnaan
Giemsa, Badan Inklusi (BI) terdapat intra sitoplasma sel epitel akan nampak warna
ungu tua, sedangkan dengan pewarnaan yodium akan terlihat berwarna coklat. Jika
dibanding dengan cara kultur, pemeriksaan mikrosopik langsung ini sensitivitasnya
rendah dan tidak dianjurkan pada infeksi asimtomatik.
d. Serologik
Tes serologik tidak digunakan secara rutin dan luas untuk diagnosa infeksi traktus
genitalis Chlamydial kecuali untuk LGV, oleh karena dijumpai prevalensi antibodi
28
pada populasi seksual aktif yang mempunyai resiko tinggi terhadap infeksi Chlamydia
trachomatis, yaitu berkisar 45 -
60% dari individu yang diperiksa. Walaupun tidak selalu dijumpai pada setiap kasus
infeksi genital tanpa komplikasi, antibodi terhadap Chlamydia.
Berbagai teknik serologik diaplikasikan untuk mempelajari infeksi
clamydial antara lain:
1). Complement Fixation (CFT)
CFT menggunakan antigen “group” Chlamydia untuk mendeteksi serum
antibody terhadap semua anggota genus ini. Konsekuensinya, deteksi antibody
terhadap antigen lipopolysacharida Chlamydial tidak dapat membedakan antara
infeksi Chlamydia trachomatis dengan Chlamydia psittaci dan juga tidak cukup
sensitif untuk deteksi antibodi terhadap Chlamydia pneumonia.
2) Microimmunofluorescence (MIF)
MIF menggunakan antigen Chlamydial purifikasi tertentu yang ditempatkan
diatas slide kaca bereaksi dengan serum penderita. Test ini sensitif dan spesifik, dimana
pada sebagian besar kasus dapat memberikan informasi mengenai serotype infeksi
Chlamydia trachomatis. Selain di serum, antibodi dapat juga ditemukan pada sekresi lokal
tubuh lainnya seperti air mata dan sekresi genital. Antibodi Chlamydia
trachomatis dapat diklasifikasikan menurut Ig (Ig M, Ig G dan Ig A) dengan teknik ini.
Respon Ig M merupakan ciri infeksi akut dan terutama digunakan dalam diagnosis
infant Chlamydial pneumonia.
Hasil serologik Chlamydial biasanya diinterprestasikan sebagai berikut:
a) Infeksi akut ; titer Ig M > l : 8 dan/atau peningkatan 4 kali lipat atau lebih, atau
penurunan titer Ig G.
b) Infeksi kronik ; titer Ig G tetap tinggi > l : 256.
29
ini dapat dikurangi dengan mengobati pasangan seksualnya. Screening ulangan
dapat dilakukan kembali 4 – 6 bulan setelah infeksi awal.
Data dari suatu penelitian randomized controlled trial tentang skrining Chlamydia
menunjukkan bahwa program skrining ini dapat mengurangi insidensi PID sebesar
60%
Pendekatan diagnostik terhadap adanya infeksi Chlamydia berdasarkan gejala
dan tanda yang meliputi ada tidaknya gejala gatal, nyeri perut bawah, sakit saat hubungan
seksual, bau vaginal discharge, warna vaginal discharge, konsistensi vaginal discharge
dan pemeriksaan spekulum untuk menilai ada tidaknya radang pada vagina dan cerviks.
Penelitian di Turki dengan menggunakan algoritme syndromic management WHO tanpa
pemeriksaan spekulum mendapatkan nilai sensitifitas 9% dan spesitifitas 96%, tetapi bila
disertai pemeriksaan spekulum diperoleh nilai sensitivitas 47% dan spesifisitas
56%.
Syphilis
Diakibatkan Treponema pallidum,dibagi menjadi beberapa macam
- Sifilis primer : ulkus keras dan tidak nyeri,soliter dan timbul di vulva,vagina dan
serviks. Dapat terjadi ulkus ekstragenital
- Sifilis sekunder : sistemik yaitu ruam makulopapular di telapak tangan dan kaki,bercak
mukosa dan kondiloma lata,lesi putih abu-abu yang meninggi dan besar. Tidak nyeri
dan adenopati
- Sifilis tersier : mengenai CVS,CNS dan musculoskeletal
Pada sifilis primer, sekunder, tersier, pemeriksaan langsung apusan dari mukokutan
dengan menggunakan mikroskop lapangan gelap atau pewarnaan immunoflerensi adalah
pemeriksaan tercepat untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan pada chancre, condyloma
lata, dan mucous patches memberikan angka positif yang tinggi karena lesi-lesi ini
mengandung banyak treponema. Tidak dianjurkan membersihkan lesi dengan menggunakan
larutan antiseptic karena treponema yang mati sulit untuk diidentifikasi.
Pemeriksaan pertama lebih murah, cepat, dan mudah bila digunakan sebagai alat
skrining pada jumlah sampel yang besar, misalnya pada donor darah. Selain itu, tes non-
treponemal dapat digunakkan untuk memantau aktivitas pengobatan. Tes spesifik dapat
memastikan adanya infeksi sifilis saat ini atau pada masa lalu. Kedua tes ini biasanya
digunakan bersama-sama. Tes serologis sifilis jarang memberikan hasil negatif palsu kecuali
pada orang tua.
Herpes Simpleks
Sitopatologi
Metode sitopatologi cepat adalah dengan meewarnai kerokan jaringan yang didapat dari
dasar vesikel (mis, dengan pewarnaan Giemsa); ditemukannya sel raksasa multinukleus
30
mengindikasikan bahwa terdapat herpesvirus (HSV-1, HSV-2 atau varisela-zoster), serta
membedakan dengan lesi yang disebabkan oleh virus coxackie dan penyebab non-virus.
Isolasi dan Identifikasi Virus
Isolasi virus tetap merupakan pendekatan diagnostik definitif. Virus dapat diisolasi dari
lesi herpetik dan juga dapat ditemukan pada bilsan tenggorok, cairan serospinal, dan feses,
baik selama infeksi primer maupun selama periode asimtomatik. Oleh sebab itu, isolasi
HSV sendiri bukanlah bukti yang cukup untuk mengindikasikan bahwa virus merupakan
agen penyebab penyakit yang sedang diteliti.
Inokuklasi pada kultur jaringan digunakan untuk mengisolasi virus. HSV mmumdah
ditumbuhkan dan biasanya efek sitopayik-nya sudahh muncul hanya dalam 2-3 hari.
Kemudian, agen tersebut diidentifikasi dengan uji Nt atau pewarnaan imunofluoresens
dengan antiserum spesifik. Penggolongan isolat HSV dapat dilakukan dengan menggunakan
antibodi monoklonal atau analisis retriksi endonuklease pada virus DNA, tetapi hanya
bermanfaat untuk kepentingan epidemiologi.
Polymerase chain reeaction
Pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) dapat digunakan untuk mendeteksi virus
serta bersifat sensitif dan spesifik. Amplifikasi PCR DNA virus dari caciran serebrospinal
telah menggantikan isolasi virus dari jaringan otak yang didapatkan melalui biopsi sebagai
pemeriksaan standar untuk diagnosis spesifik infeksi HSV pada sistem saraf pusat.
Serologi
Antibodi muncul dalam waktu 4-7 hari setelah infeksi dan mencapai puncaknya dalam
waktu 2-4 minggu. Antibodi menetap dengnan sedikit fluktuasi di sepanjang hidup
pejammu. Memtode yang tersedia meliputu Nt, imunofluoresens dan ELISA.
Nilai diagnostik pemeriksan serologis terbatas karena banyak antigen yang sama pada
HSV-1 dan HSV-2. Juga bisa terdapat beberapa respons anamnestik heterrotipik terhadap
virus varisela-zoster pada orang-orang yang terinfeksi HSV dan sebaliknya. Penggunaan
antibodi spesifik tipe HSV, yang tersedia pada beberapa laboratorium penenlitian,
memungkinkan pemeriksaan serologis yang lebih bermakna.
32
mg/hari per oral selama 5 per oral selama 3 hari atau
hari seftriakson 1 x 250 mg/hari
IM dosis tunggal
Gonore konjungtivitis
neonatorum
Pengobatan untuk bayi Seftriakson 50-100
mg/kgBB IMa dosis tunggal
atau kanamisin 25 mg/kgBB
(maksimal 75 mg) IM dosis
tunggal
Pengobatan ibu dengan bayi Sefiksim 400 mg dosis Kanamisin 2 g IMa dosis
yang menderita tunggal per oral atau tunggal atau tiamfenikol 3,5
konjungtivitis neonatorum levofloksasin* 500 mg dosis g per oral dosis tunggal atau
tunggal per oral (tidak boleh seftriakson 250 mg IMa
diberikan untuk ibu dosis tunggal
menyusui)
* tidak boleh diberikan kepada ibu hamil, ibu menyusui dan anak di bawah 12 tahun.
Chlamydia
Menurut rekomendasi Centers for Disease Control and Prevention (CDC) untuk
pengobatan infeksi Chlamydia dapat digunakan azithromycin dan doxycycline sebagai obat
pilihan pertama yang mempunyai efektivitas
34
95% dan eryromycin atau sulfa sebagai pilihan kedua, namun kurang efektif dan
mempunyai efek tambahan.
Pemberian secara oral doxycycline 100 mg dua kali sehari selama 7 hari
(kontrandikasi pada kehamilan); azithromycin 1 g dosis tunggal (WHO
merekomendasikannya pada kehamilan).
Syphilis
Herpes Simpleks
Obat-obat yang aktif terhadap virus herpes umumnya merupakan antimetabolit yang
mengalami bioaktivasi melalui enzim kinase sel hospes atau virus untuk membentuk
senyawa yang dapat menghambat DNA polimerase virus
35
Tiga obat yang digunakan untuk infeksi herpes genitalia adalah asiklovir, valasiklovir dan
famsiklovir. Asiklovir merupakan satu-satunya obat yang terdapat dalam sediaan intravena.
Umumnya, pilihan untuk pasien dengan infeksi herpes primer dan semua pasian dengan
infeksi rekuren adalah terapi oral. Untuk terapi awal herpes genitalia, asiklovir oral dan
valasiklovir lebih disukai dari pada famsiklovir berdasaarkan peer-review yang telah
beredar. Asiklovir merupakan terapi pilihan untuk terapi awal herpes genitalia pada wanita
hamil. Untuk terapi infeksi rekuren, berbagai studi klinis menunjukkan bahwa asiklovir,
valasiklovir dan famsiklovir memiliki efikasi yang setara. Untuk terapi supresif, asiklovir
telah digunakan dalam jangka waktu yang lama dan jumlah pasien yang lebih banyak
dibandingkan valasiklovir dan famsiklovir. Studi preklinik famsiklovir menunjukkan
karsinogenesitas pada hewan coba, sehingga banyak klinikus ragu untuk menggunakan obat
ini untuk terapi supresi jangka lama. Asiklovir sediaan tropikal disetujui untuk digunakan
pada herpes genitalia, namun seringkali tidak digunakan karena bentuk sediaan ini hanya
aktif terhadap lesi superfisial
Human Papilloma Virus
Tidak ada pengobatan khusus untuk infeksi HPV. Medis manajemen tergantung
pada perawatan klinis spesifik manifestasi dari infeksi (seperti genital warts atau sitologi
sel serviks abnormal).
Chlamydia
Infeksi penyakit menular seksual lainnya. Penderita klamidia berisiko tinggi untuk juga
terinfeksi gonore dan HIV, virus yang menyebabkan AIDS. Infeksi menular seksual
36
terutama AIDS adalah penyakit asiptomatis, yaitu tidak adanya gejala dan bisa menular
berbarengan dengan penyakit menular seksual lainnya. Sehingga, sangat bijak jika Anda
juga memeriksakan kemungkinan terinfeksi penyakit lainnya.
Penyakit radang panggul. Penyakit ini merupakan infeksi pada rahim dan saluran telur
yang menyebabkan rasa nyeri di sekitar panggul yang disertai dengan demam. Infeksi yang
parah membuat pasien klamidia harus menjalani rawat inap di rumah sakit agar dapat
diobati dengan antibiotik melalui jalur intravena. Penyakit radang panggul ini bisa merusak
tuba falopi dan ovarium maupun rahim, termasuk leher rahim. Oleh karena itu, komplikasi
dari penyakit ini dapat menyebabkan infertilitas. Dan apabila infeksi mencapai aliran darah
dan menyebabkan sepsis, maka berpotensi menyebabkan kematian.
Infeksi pada bayi yang baru lahir. Seorang ibu hamil yang terinfeksi klamidia dapat
menularkan penyakit ini ke bayi yang berada dalam kandungannya. Komplikasi klamidia
pada bayi yang baru lahir dapat berupa pneumonia atau infeksi mata berat.
Reactive athritis. Dikenal juga dengan nama Sindrom Reiter, umumnya mempengaruhi
sendi lutut dan panggul.
Bartholinitis. Kondisi dimana kelenjar bartholin, yang memproduksi cairan pelumas saat
wanita berhubungan seksual, membengkak. Kista kelenjar bartholin bisa terjadi ketika
kelenjar terinfeksi. Selain itu, kondisi ini bisa menyebabkan abses yang sakit bila disentuh
dan berwarna kemerahan.
Syphilis
Sifilis menyebabkan peningkatan kemungkinan penularan HIV 2-5 kali. Lesi sifilis
mudah berdarah sehingga memudahkan penularan virus HIV saat melakukan hubungan
seksual. Penularan sifilis dari ibu ke bayi pada saat kehamilan juga akan meningkatkan
resiko keguguran dan kematian bayi beberapa hari setelah dilahirkan.
Herpes Simpleks
37
Berbagai komplikasi pada infeksi HSV, yakni:
1. Superinfeksi bakteri dan jamur
2. Balanitis: terjadi akibat infeksi bakteri pada ulkus herpetik.
3. Kandidiasis vaginae: ditemukan pada 10% wanita dengan herpes genital genitalis
primer, terutama pada pasien diabetes melitus. Herpes ulseratif dengan lesi
keputihan pada mukosa sulit dibedakan dari infeksi jamur.
4. Infeksi mata, sering terjadi pada anak, disebabkan oleh HSV-1, kecuali padaa
neonatus (bisa disebabakan oleh HSV-2), bermanifestasi sebagai konjungtivitis
folikuler unilatelar atau keratokonjungtivitis herpetik akut dengan ulkus kokrnea
dendritik.
5. Infeksi kulit, dapat berupa:
a. Eksim herpetikum: terjadi pada indovidu dengan dermatitis sebelumnya, dapat
terlokalisir (sehingga sulit dibedakan dengan herpes zoster) atau tersebar luas.
Bentuk ini juga dapat terjadi pada pasien dengan kerusakan kulit luas, seperti
luka bakar, sindrom pemfigus, atau Sezary
b. Herpetic whitlow: infeksi HSV pada jari, terjadi pada atau dekat kutikula atau
area lain akibat trauma. Bila area kuku juga terkena, maka akan terjadi infeksi
sekunder oleh bakteri patogen yang memerlukan insisi dan drainase. Herpetic
whitlow dikaitkan dengan HSV-1 pada pekerja di tempat perawatan kesehatan
dan anak-anak akibat paparan saliva dan dengan HSV-2 akibat paparan genito-
digital.
c. Herpes gladiatorum: lesi kulit HSV-1 yang tersebar telah ditemukan pada
pegulat yang tertular akibat paparan saliva terinfeksi selama pertandingan.
6. Infeksi viseral: terjadi akibat viremia dan umumnya dengan keterlibatan
multiorgan. Komplikasi ini bisa terjadi pada infeksi primer asimptomatik ataupun
pada pasien imunokompeten. Pada sebagian besar kasus herpes diseminata, lesi
terbatas pada kulit, namun penyebaran viseral yang fatal dapat terjadi dengan atau
tanpa lesi vesikuler pada kulit. Gambaran klinis yang menonjol adalah hepatitis
fulminan, disertai leukopenia, trombositopenia, dan koagulasi intravaskular
diseminata. Infeksi HSV-1 dan HSV-2 diseminata juga dapat menyebabkan
esofagitis, nekrosis adrenal, pneumonitis interstitial, sistitis, artritis, meningitis, dan
ensefalitis.
7. Infeksi sistem saraf pusat, dapat berupa:
a. Meningitis aseptik: berupa meningitis limfositik benigna akut, lebih sering
terjadi pada infeksi HSV-2. Gejala meningeal biasanya mulai timbul 3-12 hari
setelah munculnya lesi genital, mencapai puncaknya 2-4 hari kemudian dan
mereda dalam 2-4 hari sesudahnya. Gambaran sesuai meningitis aseptik dapat
ditemukan pada pemeriksaan cairan serebrospinal. Tanda dan gejala ensefalitis
umumnya tidak dijumpai, dan jarang terjadi gejala sisa neurologis. HSV-2 juga
dapat ditemukan dengan pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction) cairan
serebrospinal pasien meningitis limfositik benigna rekuren (Mollaret
meningitis), mengindikasikan kemungkinan HSV sebagai penyebabnya,
sehingga disebut juga sebagai sindrom idiopatik.
38
b. Ganglionitis dan meilitis: infeksi HSV genital dan anorektal dapat disertai
komplikasi, retensi urin, neuralgia, serta anestesia sakral akibat ganglionitis
dan radikulitis. Gejala biasanya mereda dalam 1-2 minggu. Mielitis transversa
jarang terjadi.
c. Ensefalitis: berupa suatu acute necrotizing viral encephalitis. Umumnya terjadi
sesudah periode neonatal, biasanya disebabkan oleh HSV-1. Ensefalitis terjadi
sebagai infeksi primer pada 50% kasus dan bisa juga disebabkan oleh infeksi
rekuren atau reinfeksi oleh strain HSV-1 yang berbeda. Gambaran klinisnya,
berupa nyeri kepala, tanda rangsang meningeal, gangguan status mental, dan
kejang umum. Bila terjadi nekrosis fokal pada korteks orbitofrontal, temporal
serta sistem limbik, dapat terjadi anosmia, kehilangan memori, halusinasi
olfaktorius, dan gustatorius serta kejang fokal. Hemiparesis yang memburuk
dengan cepat serta penurunan kesadaran hingga koma bisa terjadi. Pada
beberapa orang, gambaran klinisnya mirip psikosis akut atau delirium tremens.
Pada pemeriksaan cairan serebrospinal didapatkan pleiositosis sedang dengan
campuran antara sel mononuklear dan polimorfonuklear, jumlah eritrosit
sedang, serta peningkatan kadar protein ringan dengan kadar glukosa normal.
MRI (magnetic resonance imaging) merupakan pemeriksaan pencitraan paling
sensitif, umumnya menunjukkan lesi fokal di area temporal berupa edema dan
penyengatan kontras. Metode non-invasif paling sensitif untuk mendiagnosis
adalah pemeriksaan DNA HSV dengan PCR. Angka kematian cukup tinggi
(70%) pada pasien yang tidak diobati, sedangkan pada mereka yang diobati,
insidens gejala sisa neurologisnya cukup tinggi.
8. Herpes genitalis dan kehamilan Herpes genitalis rekuren: baik pada wanita hamil
maupun tidak hamil gambaran klinisnya sama, meskipun bisa terjadi peningkatan
jumlah rekurensi akibat kehamilan. Herpes genitalis rekuren dijumpai pada 1-2%
dari kasus herpes neonatal. Akan tetapi, adanya lesi genital aktif bukan indikator
akurat terjadinya shedding HSV. Persalinan sesaria direkomendasikan untuk ibu
hamil dengan lesi genital. American College of Obstetricians and Gynecologists
(ACOG) merekomendasikan terapi supresi antiviral untuk semua wanita hamil
dengan riwayat HSV genital rekuren pada 4 minggu akhir kehamilannya.
Infeksi genital primer selama kehamilan: infeksi episode pertama mempunyai
konsekuensi lebih berat untuk ibu dan janinnya, sehingga penting untuk
mengidentifikasi wanita yang berisiko infeksi primer (HSV-2 seronegatif). Wanita
hamil dapat mengalami infeksi diseminata luas dengan mortalitas tinggi (50%).
Infeksi pada trimester ketiga kehamilan dihubungkan dengan infeksi HSV
neonatal, hambatan pertumbuhan intrauterin, dan prematuritas.
9. Penyakit HSV neonatal Infeksi HSV neonatal disebabkan oleh kontak dengan
sekret genital terinfeksi. Sekitar 90% infeksi didapat saat perinatal, 5-8% didapat
kongenital, dan beberapa diperoleh saat postnatal. Pada 70% ibu, infeksi yang
terjadi tidak menimbulkan gejala. Besarnya risiko penularan dari ibu dengan
infeksi primer adalah sekitar 50%.9 Pada neonatus dan bayi (usia kurang dari 6
minggu), frekuensi infeksi viseral dan susunan saraf pusat sangat tinggi. Bila tidak
diterapi, mortalitasnya sekitar 65% dan bisa timbul gejala sisa neurologis berat.
39
Penyakit dapat mengenai kulit, mata, atau mulut. Bisa juga muncul sebagai
ensefalitis atau penyakit viseral diseminata yang mengenai paru, hati, jantung,
adrenal, dan kulit.
10. Koinfeksi dengan HIV: Berbagai penelitian menunjukkan bahwa adanya antibodi
terhadap HSV-2 akan meningkatkan risiko terinfeksi HIV, tidak tergantung pada
ada atau tidaknya ulkus genital.10 Penelitian awal di Afrika telah memperlihatkan
penurunan jumlah virus HIV pada pasien yang mendapat terapi untuk infeksi HSV
yang menyertainya; penjelasannya belum ada.11,12
Pengetahuan hubungan antara HIV dan HSV-2 dapat mengubah pendekatan epidemiologis
terhadap penyakit menular seksual di seluruh dunia. Selain itu, herpes genital dikaitkan
dengan peningkatan risiko penularan HIV sebesar 2-3 kali lipat, penularan HIV per tindakan
seksual hingga 5 kali lipat, dan bertanggung jawab terhadap 40-60% infeksi HIV baru pada
populasi dengan prevalensi HSV-2 tinggi. HSV-2 dan HIV telah terbukti saling
mempengaruhi. Infeksi HSV2 meningkatkan risiko penularan HIV baru sekitar 3 kali lipat.
Selain itu, pasien dengan koinfeksi HIV dan HSV-2 lebih mungkin menularkan HIV kepada
orang lain. HSV2 merupakan infeksi yang paling sering terjadi pada pasien HIV, terjadi
pada 6090% pasien. Gejala klinik infeksi HSV-2 pada pasien HIV (dan imunokompromais)
seringkali lebih berat serta lebih sering mengalami rekuren. Pada penyakit HIV lanjut, HSV-
2 dapat menyebabkan komplikasi lebih serius, meskipun jarang, seperti meningoensefalitis,
esofagitis, hepatitis, pneumonitis, nekrosis retina, atau infeksi
3.9 Prognosis Keputihan/ Leukorrea/Flour Albus
Bacterial Vaginosis
Candidiasis
Kandidiasis mengalami kesembuhan rata rata 80 -95 %
Trichiomoniasis
Trichiomoniasis memiliki prognosis baik rata-rata 95% mengalami kesembuhan.
Gonorrhea
Prognosis umumnya tidak mengancam jiwa, namun dapat menimbulkan gangguan
fungsi bila terjadi komplikasi. Apabila faktor risiko tidak dihindari, dapat terjadi infeksi
berulang.
Dengan penanganan yang cepat dan tepat, maka infeksi gonorrhea dapat ditangani
dengan baik. Umumnya infeksi gonokokus memiliki respon yang baik terhadap pemberian
antibiotik golongan sefalosporin yang direkomendasikan.
Chlamydia
Penanganan dengan antibiotic sangat baik dan bisa mencegah perkembangan
komplikasi.Jika tidak diobati dapat menularkan kepada pasangan dan pada laki-laki dapat
terjadi prostatitis sementara pada wanita dapat terjadi pelvic inflammatory disease (PID).
Syphilis
Pengobatan pada sifilis primer dan sekunder memberikan hasil yang sangat baik.
Pengobatan yang gagal hanya masih ditemukan pada penderita HIV. Sifilis
kardiovaskular memberikan respons yang baik dengan pengobatan sifilis walaupun
infark iskemik masih dapat ditemukan. Penderita tabes dorsalis tidak akan membaik
tetapi progresivitas penyakit akan berkurang dengan pengobatan sifilis.
40
3.10 Pencegahan Keputihan/ Leukorrea/Flour Albus
Menjaga kesehatan reproduksi untuk pencegahan keputihan pada wanita diawali dengan
menjaga kebersihan organ kewanitaan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
menjaga kebersihan organ kewanitaan, yaitu :
1. Membersihkan kotoran yang keluar dari alat kelamin dan anus dengan seksama.
Membersihkan dilakukan dari depan kebelakang (dari daerah kemaluan ke arah
anus) secara satu arah. Hal ini dilakukan untuk mencegah kotoran dari anus masuk
kedalam vagina.
2. Membasuh secara teratur bagian bibir vagina secara hati-hati menggunakan air
bersih dan sabun yang lembut setiap habis BAK , BAB, dan ketika mandi. Yang
terpenting adalah membersihkan bekas keringat dan bakteri yang ada disekitar bibir
vagina.
3. Gunakan sabun lembut tanpa pewangi saat mandi untuk menjaga keasaman vagina.
Normalnya vagina berbau asam dan kecut dengan pH keasaman sekitar 4-4,5.
Terlalu sering membasuh vagina dengan cairan kimia dan menggunakan deodoran
disekitar vagina akan merusak keseimbangan organisme dan cairan vagina sehingga
memungkinkan terjadinya infeksi pada vagina (vaginitis).
4. Mengeringkan alat kelamin dengan tisu atau handuk agar tidak lembab setiap kali
setelah mandi atau buang air. Usahakan agar daerah kemaluan dan selangkangan
selalu kering, lebih lebih bila tergolong gemuk karena suasana lembab sangat
disukai oleh jamur. Selalu keringkan bagian vagina sebelum berpakaian.
5. Hindari pemakaian bedak pada organ kewanitaan dengan tujuan agar vagina kering
sepanjang hari. Bedak memiliki partikel partikel halus yang mudah terselip disana
sini yang akhirnya mengundang jamur dan bakteri bersarang.
6. Mengganti celana dalam minimal dua kali sehari setelah mandi, terutama bagi
wanita aktif dan mudah berkeringat. Gunakan celana dalam yang kering dan bila
celana dalam keadaan basah segera mengganti celana dalam yang bersih dan belum
dipakai.
7. Tidak memakai celana dalam yang terlalu ketat , karena celana dalam yang terlalu
ketat menyebabkan permukaan vagina menjadi lebih mudah berkeringat. Gunakan
celana dalam yang bahannya menyerap keringat seperti katun. Celana dalam dari
satin atau bahan sintetik lain membuat suasana disekitar vagina panas dan lembab.
8. Pakaian luar juga harus diperhatikan. Celana jeans tidak dianjurkan karena pori
porinya sangat rapat, pilihlah seperti rok atau celana bahan non jeans agar sirkulasi
udara disekitar organ intim bergerak leluasa.
9. Ketika sedang haid dianjurkan sering mengganti pembalut terutama pada hari hari
pertama haid. Pembalut perlu diganti 4-5 kali dalam sehari untuk menghindari
pertumbuhan bakteri pada pembalut yang digunakan dan mencegah masuknya
bakteri kedalam vagina. Pembalut yang baik yaitu pembalut yang berdaya serap baik
dan tidak berparfum.
10. Gunakan panty liner disaat perlu dan jangan terlalu lama. Misalnya saat berpergian
keluar rumah dan lepaskan sekembalinya dirumah.
41
11. Dianjurkan untuk mencukur rambut kemaluan karena rambut kemaluan dapat
ditumbuhi sejenis jamur atau kutu.
12. Hindari pemakaian barang barang yang dapat memudahkan penularan seperti
meminjam perlengkapan mandi. Dianjurkan tidak duduk diatas kloset di wc umum
atau biasakan mengelap dudukan kloset sebelum menggunakannya.
13. Pola hidup sehat yaitu diet yang seimbang, olahraga rutin, istirahat yang cukup ,
hindari rokok, dan alkohol serta hindari stress yang berkepanjangan.
43
smear pada saat menstruasi karena sel-sel darah merah mengaburkan sel-sel epitel pada
pemeriksaan mikroskop.
Interpretasi Hasil
Terdapat banyak sistem dalam menginterpretasikan hasil pemeriksaan Pap Smear, sistem
Papanicolaou, sistem Cervical Intraepithelial Neoplasma (CIN), dan sistem Bethesda.
Klasifikasi Papanicolaou membagi hasil pemeriksaan menjadi 5 kelas (Saviano, 1993),
yaitu:
a. Kelas I : tidak ada sel abnormal.
b. Kelas II : terdapat gambaran sitologi atipik, namun tidak ada indikasi adanya
keganasan.
c. Kelas III : gambaran sitologi yang dicurigai keganasan, displasia ringan sampai
sedang.
d. Kelas IV : gambaran sitologi dijumpai displasia berat.
e. Kelas V : keganasan.
Sistem CIN pertama kali dipublikasikan oleh Richart RM tahun 1973 di Amerika Serikat
(Tierner & Whooley, 2002). Pada sistem ini, pengelompokan hasil uji Pap Semar terdiri dari
(Feig, 2001):
a. CIN I merupakan displasia ringan dimana ditemukan sel neoplasma pada kurang dari
sepertiga lapisan epitelium.
b. CIN II merupakan displasia sedang dimana melibatkan dua pertiga epitelium.
c. CIN III merupakan displasia berat atau karsinoma in situ yang dimana telah
melibatkan sampai ke basement membrane dari epitelium.
44
harus istinjak, dan membersihkan badan atau pakaian yang terkena cairan keputihan
terlebih dahulu
DAFTAR PUSTAKA
Sumber: Brooks, Geo F dkk. 2017. Mikrobiologi Kedokteran Jawetz, Melnick & Alberg.
Jakarta: EGC Medical Publisher.
Depertemen Ilmu Penyakit Dalam RSUP Pershabatan. 2017. Infeksi Virus Herpes Simpleks
dan Komplikasinya
Eroschenko V P. 2010. Atlas histologi diFiore: dengan korelasi fungsional. Jakarta : EGC.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/49422/Chapter%20II.pdf?sequence=
4
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3501/1/06001195.pdf
https://www.myvmc.com/diseases/chlamydia-c-trachomatis-c-pneumoniae-c-psittacci-c-
pecoru
https://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/downloads/hpv.pdf
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK321760/pdf/Bookshelf_NBK321760.pd
http://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/246114/9789241549691-
eng.pdf?sequence=1
45
46