Penyelesaian PDB Ivp Doc Dy PDF
Penyelesaian PDB Ivp Doc Dy PDF
Materi Kuliah:
Pengantar; Metode Euler; Perbaikan Metode Euler; Metode Runge-Kutta;
Penyelesaian Sistem Persamaan Diferensial Biasa secara Simultan
PENGANTAR
Persamaan diferensial:
Persamaan yang melibatkan turunan atau derivatif fungsi-fungsi
Persamaan diferensial berorde n:
Persamaan diferensial yang memuat turunan fungsi tertinggi berorde n
Persamaan diferensial berorde satu (first order):
Persamaan diferensial yang turunan fungsi tertingginya berorde 1
dy
Contoh: =2 x+5
dx
dC A k C
− = 1 A
dt 1 + k2 C A
y' = 10 x y 2 e 2 x
Persamaan diferensial berorde dua (second order):
Persamaan diferensial yang turunan fungsi tertingginya berorde 2
d2y dy
Contoh: − −6 y = ex
2 dx
dx
Beberapa penggolongan persamaan diferensial:
1. Berdasarkan banyaknya perubah bebas:
a. Persamaan diferensial biasa (PDB) atau ordinary differential equation (ODE)
Yakni persamaan diferensial dengan perubah bebas tunggal.
dC A
Misal: − = k C A2
dt
b. Persamaan diferensial parsial (PDP) atau partial differential equation (PDE)
Yakni persamaan diferensial dengan jumlah perubah bebas lebih dari satu.
∂T ∂ 2T
Misal: ρ Cp =k
∂t ∂ z2
2. Berdasarkan persoalan syarat atau nilainya:
a. Persamaan diferensial dengan persoalan syarat/nilai awal (intial value problem, IVP).
Yakni jika semua syarat diberikan pada satu nilai perubah bebas (yakni pada nol atau x0)
d2y
Misal: = −y dengan: y(0) = 2 dan y’(0) = -1
dx 2
b. Persamaan diferensial dengan persoalan syarat/nilai batas (boundary value problem, BVP).
Yakni jika syarat-syarat diberikan pada lebih dari satu nilai perubah bebas.
d2y
Misal: = −y dengan: y(0) = 2 dan y’(3π/2) = 1
dx 2
Sebuah PDB disebut stabil, jika dalam arah integrasi, penyelesaiannya bersifat konvergen. Dan
sebaliknya, PDB disebut tidak stabil, jika dalam arah integrasi, penyelesaiannya bersifat divergen.
METODE EULER
Merupakan metode yang paling sederhana untuk mengintegrasikan PDB orde satu secara numerik.
Kondisi atau syarat atau nilai awal (x0, y0) digunakan untuk menghitung besarnya slope (atau tangen
arah) y(x) pada x = x0:
dy
= f ( x0 , y0 ) ... (2)
dx x = x
0
Dengan menganggap bahwa slope (dy/dx) pada interval Δx bernilai tetap, maka nilai y(x0+Δx) dapat
diperkirakan sebesar:
y( x0 + Δx ) = y( x0 ) + Δx f ( x0 , y0 )
Selanjutnya, nilai-nilai x dan y ini (yakni x = x0+Δx dan y = y(x0+Δx)) digunakan untuk
memperkirakan besarnya slope pada titik yang baru. Atau, nilai y(x0+2Δx) dapat dihitung sbb:
y( x0 + 2 Δx ) = y( x0 + Δx ) + Δx f ( x0 + Δx , y( x0 + Δx ))
Demikian seterusnya.
Pola perhitungan yang beruntun ini digambarkan sebagai metode Euler:
y( xi + Δx ) = y( xi ) + Δx . f ( xi , y( xi ))
atau: yi + 1 = yi + Δx . f ( xi , yi ) ... (3)
atau: yi + 1 = yi + h . f ( xi , yi ) ... (3)
diabaikan
dengan mengabaikan suku-suku berorde Δx2 (=h2) dan yang lebih tinggi.
Dengan kata lain, metode Euler ini mempunyai tingkat ketelitian yang dinyatakan dengan local
truncation error sebesar:
ei = Ο(Δx2) atau: ei = Ο(h2)
Metode ini mempunyai global truncation error sebesar:
Ei = nilai eksak yi – nilai pendekatan numerik yi
CONTOH SOAL #:
dy
Gunakan metode Euler untuk menghitung nilai y pada x = 1 jika: = x2 y
dx
dengan nilai awal: y = 1 pada x = 0
Penyelesaian:
Formula metode Euler untuk kasus ini dapat dituliskan sebagai:
(
yi + 1 = yi + Δx xi 2 yi )
Jika diambil step size Δx = 0,1, maka:
pada x0 = 0 dan y0 = 1 dapat dihitung:
y1 = 1 + (0,1) (0)2 (1) = 1
Selanjutnya, pada x1 = x0 + Δx = 0 + 0,1 = 0,1 dan y1 = 1 dapat dihitung:
y2 = 1 + (0,1) (0,1)2 (1) = 1,001
Selanjutnya, pada x2 = x1 + Δx = 0,1 + 0,1 = 0,2 dan y2 = 1,001 dapat dihitung:
y3 = 1,001 + (0,1) (0,2)2 (1,001) = 1,005
Demikian seterusnya, hingga diperoleh y pada x = 1.
Sebagai perbandingan, dapat diambil nilai step size yang lain, misalnya: Δx = 0,05, Δx = 0,02,
dan Δx = 0,2. Dengan cara yang sama, maka dapat diperoleh hasil-hasil perhitungan sbb.:
Nilai y 1.5
x Δx Analitik
1.5
0,1 0,05 0,02 0,2 Analitik
0 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1.4
0,1 1,0000 1,0001 1,0002 1,0003 1.4 Δx = 0,2
0,2 1,0010 1,0018 1,0023 1,0000 1,0027 1.3
0,3 1,0050 1,0069 1,0081 1,0090 Δx = 0,1
1.3
y
(Bandingkan nilai y pada x = 1 yang diperoleh melalui perhitungan secara numerik dengan nilai
Δx yang berbeda-beda. Bandingkan juga dengan nilai y eksak (secara analitik).)
Kesimpulannya: ......................................?
Sumber mendasar (pokok) terjadinya penyimpangan yang relatif besar pada penerapan metode Euler
adalah karena: turunan fungsi pada awal interval yang diasumsikan tetap di sepanjang interval Δx.
Untuk itu, dilakukan modifikasi terhadap metode Euler, antara lain:
(1) Metode Heun, dan
(2) Metode Titik Tengah (midpoint method).
Metode Heun
Metode ini menyempurnakan metode Euler melalui penentuan dua nilai turunan fungsi sepanjang
interval Δx, yakni: (a) di awal interval Δx, dan (b) di akhir interval Δx. Kedua nilai turunan ini
selanjutnya dirata-ratakan untuk menghasilkan perkiraan nilai slope pada keseluruhan interval Δx.
Tinjau kembali metode Euler di atas; nilai slope pada awal interval Δx:
dy
= y'i = f ( xi , yi ) ... (4)
dx x , y
i i
Slope rata-rata yang dihitung berdasarkan persamaan (4) dan (6) adalah:
dy f ( xi , yi ) + f ( xi +1 , yio+1 )
= y' = ... (7)
dx 2
Slope rata-rata pada persamaan (7) ini selanjutnya digunakan untuk mengekstrapolasi linier dari yi ke
yi+1 menggunakan metode Euler:
f ( xi , yi ) + f ( xi +1 , yio+1 )
yi +1 = yi + h ... (8)
2
f ( xi , yi ) + f ( xi +1 , yio+1 )
atau: yi +1 = yi + Δx ... (8)
2
Persamaan (8) biasa disebut sebagai persamaan koreksi (corrector equation).
Metode Heun menggunakan pendekatan predictor-corrector, yang secara iteratif dapat dinyatakan
sebagai berikut:
f ( xi , yim ) + f ( xi + 1 , yij+−11 )
Corrector : yij+ 1 = yim + h ... (10)
2
f ( xi , yim ) + f ( xi + 1 , yij+−11 )
atau: yij+ 1 = yim + Δx ... (10)
2
(untuk j = 1, 2, ..., m) (j menyatakan nomor langkah iterasi)
yang dianggap dapat mewakili slope rata-rata pada keseluruhan interval Δx. Nilai slope pada
persamaan (12) ini selanjutnya digunakan untuk mengekstrapolasi linier dari yi ke yi+1:
yi + 1 = yi + f ( xi + 1 , yi + 1 ) . h ... (13)
2 2
atau: yi + 1 = yi + f ( xi + 1 , yi + 1 ) . Δx ... (13)
2 2
METODE RUNGE-KUTTA
Merupakan metode yang paling banyak diterapkan untuk integrasi numerik persamaan diferensial biasa
dengan initial value problem, karena menghasilkan pendekatan yang cukup baik. Metode ini
menggunakan pendekatan deret Taylor yang cukup akurat, tanpa membutuhkan perhitungan turunan
yang lebih tinggi.
Bentuk umum metode-metode Runge Kutta:
yi + 1 = y i + φ h ... (14)
φ biasa disebut sebagai fungsi inkremen, yang dapat dianggap sebagai nilai slope pada keseluruhan
interval h atau Δx yang ditinjau.
Fungsi inkremen (φ) mempunyai bentuk umum:
φ = a1 k1 + a2 k 2 + ... + an k n ... (15)
a merupakan konstanta, dan k dapat dinyatakan sebagai:
k1 = f ( xi , yi )
k 2 = f ( xi + p1 h , yi + q11 k1 h )
k 3 = f ( xi + p2 h , yi + q21 k1 h + q22 k 2 h )
#
k n = f ( xi + pn −1 h , yi + qn −1,1 k1 h + qn −1,2 k 2 h + ... + qn −1,n −1 k n −1 h ) ... (16)
Perhatikan bahwa: Jika dy/dx atau f hanya merupakan fungsi x saja, maka metode Runge-Kutta
orde 4 ini sama dengan integrasi numerik dengan metode Simpson 1/3.
CONTOH SOAL #:
Jika diambil step size Δx = 0,1, maka pada x0 = 0 dan y0 = 1 dapat dihitung:
k1,0 = x0 2 y0 = 0 2 1 = 0
2
⎛ 0 ,1 ⎞ ⎛ 0 ,1 ⎞
k 2 ,0 = ⎜ x0 + ⎟ ⎜ y0 + k1,0 ⎟ = 0 ,05 2 1 = 0 ,0025
⎝ 2 ⎠ ⎝ 2 ⎠
2
⎛ 0 ,1 ⎞ ⎛ 0 ,1 ⎞
k 3 ,0 = ⎜ x0 + ⎟ ⎜ y0 + k 2 ,0 ⎟ = 0 ,05 2 1,000125 = 0 ,0025
⎝ 2 ⎠ ⎝ 2 ⎠
k 4 ,0 = ( x0 + 0 ,1)2 ( y0 + 0 ,1 k 3 ,0 ) = 0 ,12 1,000250 = 0 ,01000
0 ,1
sehingga: y1 = y( 0 ,1 ) = 1 + (0 + 2 . 0 ,0025 + 2 . 0 ,0025 + 0 ,01)
6
y1 = y(0,1) = 1,000333
Demikian seterusnya, hingga diperoleh y pada x = 1.
Sebagai perbandingan, dapat diambil nilai step size yang lain, misalnya: Δx = 0,2 dan Δx = 0,05.
Dengan cara yang sama, maka dapat diperoleh hasil-hasil perhitungan sbb.:
Kesimpulannya: ......................................?
Contoh Ilustratif:
Penyelesaian sistem 2 buah persamaan diferensial biasa orde satu secara
simultan dengan metode Runge-Kutta orde 4
Bentuk persamaan diferensial:
dy dz
= f1 ( x , y , z ) dan = f2 ( x, y, z )
dx dx
dengan 2 nilai awal: x = x0; y = y0; z = z0
Formula Runge-Kutta Orde 4 untuk menentukan xi+1, yi+1, dan zi+1
berdasarkan xi, yi, dan zi:
xi + 1 = xi + Δx
dengan: k1 = f 1 ( xi , yi , zi )
l1 = f 2 ( xi , yi , zi )
dy
Ambil pemisalan: z= ... (24)
dx
dz d ⎛ dy ⎞ d 2 y
sehingga: = ⎜ ⎟= ... (25)
dx dx ⎝ dx ⎠ dx 2
dz
Substitusikan (24) dan (25) ke persamaan (23): + A( x ) z + B( x ) y + C( x ) = 0
dx
dz
atau: = − A( x ) z − B( x ) y − C( x ) ... (26)
dx
dy
Persamaan (24) dapat dituliskan sebagai: =z ... (27)
dx
Berdasarkan 2 persamaan terakhir (yakni (26) dan (27)), terlihat bahwa persamaan diferensial biasa
berorde 2 pada persamaan (23) dapat diubah menjadi 2 buah persamaan diferensial biasa berorde 1
yang dapat diselesaikan secara simultan.
Dua nilai awal sistem PD ini sekarang berubah menjadi: y(x0) = a dan z(x0) = b
Hal yang sama/identik dapat diterapkan untuk menyelesaikan persamaan diferensial biasa berorde lebih
tinggi. Secara umum:
PDB berorde n dapat diubah menjadi n buah PDB berorde 1, yang selanjutnya dapat
diselesaikan secara simultan.
Atau:
⎛ d n y d n −1 y d n − 2 y dy ⎞
Untuk sebuah PDB berorde n: F ⎜ , , , ... , , y , x ⎟ = 0
⎜ dx n dx n −1 dx n − 2 dx ⎟
⎝ ⎠
d n −1 y
dengan n buah nilai awal: = an − 1
dx n −1
d n−2 y
= an − 2
dx n − 2 Pada x = x0
#
dy
= a1
dx
y = a0
CONTOH APLIKASI
Jika ρ, Cp, dan ΔHR dianggap tidak terlalu dipengaruhi oleh suhu, maka persamaan (*) dan (**)
dapat ditulis secara ringkas sbb.:
dC A ⎛ E ⎞
= k1 C A exp ⎜ − ⎟ Sistem 2 buah persamaan
dt ⎝ RT ⎠
diferensial biasa berorde 1
dT ⎛ E ⎞
= k 2 C A exp ⎜ − ⎟ bernilai awal, simultan
dt ⎝ RT ⎠
dengan nilai awal: T = T0 dan CA = CA0 pada t = 0.
SOAL-SOAL LATIHAN
dy
1. Tinjaulah persamaan diferensial: = y e3 x
dx
dengan: y (0) = 1,0
Dengan menggunakan step size h = 0,1, tentukan nilai y (0,3) menggunakan:
a. Metode Euler
b. Metode Runge-Kutta orde 4
Tunjukkan semua langkah perhitungan yang Anda lakukan. Bandingkan hasilnya dengan hasil
perhitungan secara analitik.
2. Reaksi fase gas homogen: A Æ 2 P berlangsung dalam sebuah reaktor batch isotermal pada
tekanan tetap, dengan: r = 0,1 CA2 [=] gmol/liter.detik.
Mula-mula reaktor berisi 0,01 gmol A dan 0,01 gmol gas inert dengan volume 0,5 liter. Tentukan
volume reaktor setelah reaksi berlangsung 25 detik. Neraca mol A pada unsteady state dinyatakan
dn A 0 ,1 n A 2
sebagai: = V ( −r ) = −
dt V
Gas dianggap sebagai gas ideal, sehingga:
⎛ n ⎞ ⎛ 0 ,01 + n A + 2 ( 0 ,01 − n A ) ⎞
V = V0 ⎜⎜ t ⎟⎟ = 0 ,5 ⎜ ⎟ = 0 ,75 − 25 n A [=] liter
⎝ nt 0 ⎠ ⎝ 0 ,02 ⎠
dn A 0 ,1 n A 2
Dengan demikian: =− ... (*)
dt 0 ,75 − 25 n A
dengan syarat awal: nA = 0,01 pada t = 0
Petunjuk: Integrasikan persamaan (*) secara numerik untuk menentukan nA pada t = 25 detik.
Selanjutnya gunakan hasil yang diperoleh untuk menghitung volume reaktor.
6. Persamaan van der Pol yang merupakan salah satu model rangkaian listrik vacuum tubes
d2y dy
dinyatakan sebagai: − ( 1 − y2 ) + y =0
dx 2 dx
Dengan kondisi awal: y(0) = y’(0) = 1, selesaikan persamaan ini dari x = 0 hingga x = 10
menggunakan metode Euler, dengan step size sebesar: (a) 0,2, dan (b) 0,1.
Plotkan hasil perhitungan yang Anda peroleh dalam sebuah grafik.
d2y
7. Selesaikan persamaan diferensial: + 9y = 0
dx 2
dengan step size sebesar 0,1, dari x = 0 hingga x = 4, menggunakan:
a. Metode Euler
b. Metode Runge-Kutta orde 4
Plotkan hasil perhitungan yang Anda peroleh dalam sebuah grafik. Bandingkan juga dengan
penyelesaian eksak PD ini.
8. Reaktor Semi-Batch
Tinjaulah sebuah reaktor semi batch berikut ini:
Reaksi fase cair yang terjadi adalah: A Æ P
Q0, CA0
dengan: r = k CA2
Mula-mula reaktor diisi dengan cairan inert dengan volume V0.
Pada t = 0, cairan yang mengandung A dengan konsentrasi CA0
diumpankan ke dalam reaktor dengan laju alir volumetrik Q0.
VR (t) Neraca mol A pada unsteady state:
dn A
Q0 C A0 − k C A 2 VR =
dt
nA dn A k n A2
Karena: C A = , maka: = Q0 C A0 − ... (*)
VR dt VR
Cairan ditambahkan ke dalam reaktor, sehingga volume reaktor (VR) akan bertambah sepanjang
d
waktu. Neraca massa keseluruhan di dalam reaktor: (ρ VR ) = Q0 ρ
dt
dVR
Jika ρ dianggap tetap, maka: = Q0
dt
dan diintegralkan menjadi: VR = Q0 t + V0 ... (**)
dn A k n A2
Substitusikan (**) ke (*), sehingga diperoleh: = Q0 C A0 −
dt Q0 t + V0
dengan: nA = 0 pada t = 0.
9. Aliran Cairan Antara Dua Tangki: Dua tangki silinder tegak terbuka A dan B yang masing-
masing berdiameter D dan tinggi H, diletakkan sama tinggi. Bagian dasar kedua tangki
dihubungkan dengan pipa horizontal berdiameter Dp yang dilengkapi dengan kran. Volume pipa
dapat diabaikan terhadap volume tangki. Kran mula-mula ditutup, tangki A berisi penuh cairan,
sedangkan tangki B kosong. Mulai suatu saat kran dibuka, sehingga cairan mengalir dari tangki A
ke B. Kecepatan aliran cairan (υ, m/s) tergantung beda tekanan pada ujung-ujung pipa (ΔP), sesuai
persamaan: υ = k ΔP
dengan: k ≡ tetapan. Bagaimanakah profil tinggi permukaan cairan pada tangki A (x) dan pada
tangki B (y) pada berbagai waktu (t)...?
Penggambaran proses:
Tangki Tangki
A B
x
h y
M Q N
(
Beda tekanan pada ujung-ujung pipa: ΔP = PM − PN = Pud + ρ g x − Pud + ρ g y = ρ g x − y )( ) ( )
Kecepatan aliran cairan: υ = k ΔP = k ρ g x − y ( )
Debit aliran: Q=
π
4
D 2p υ =
π k D 2p
4
( )
ρ g x− y
0−
π k D 2p
4
( )
ρ g x − y .ρ =
π
4
D2 ρ
dx
dt
ρ g (x − y )
dx k D 2p
=− …. (*)
dt D2
π π π
Neraca massa cairan total: D2h ρ = D2 x ρ + D2 y ρ
4 4 4
Tinggi permukaan cairan pada tangki B: y = h− x
Dengan demikian, persamaan (*) dapat diubah menjadi:
( )
2
dx k Dp
=− ρ g 2x − h
dt D2
Keadaan batas: t = 0; x = h (Besarnya h dapat Anda simulasi sendiri...!)
Misal, diambil:
m3
D = 2 m; Dp = 0,02 m; ρ = 1000 kg/m3; g = 10 m/s2; k = 0,4
kg