Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia adalah salah satu ciptaan Tuhan, diberi kesempatan hidup di bumi ini. Selain
itu Tuhan menciptakan perbedaan dari berbagai sudut pandang. Salah satunya perbedaan
agama. Maka terciptalah pula kehidupan beragama yang berbeda beda. Islam berhubungan
erat dengan akidah dan akhlak. Akhlak dalam Islam menjadi sesuatu yang penting dan
berguna bagi . umatnya. Akhlak menjadi suatu yang akan membuat seseorang mendapatkan
kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Islam adalah agama yang sempurna yang mengatur
sedetail-detailnya segala sesuatu. Islam adalah agama yang selamat dan juga
menyelamatkan.

Islam adalah agama yang sempurna dan agama yang mengatatkan bagi siapa yang
mengikuti ajarannya dengan benar sesuai yang diperintahkan Allah dan Rasulnya. Islam
sendiri berarti istislam penyerahan diri kepada yang pemberi selamat, dan Islam juga berati
salâm yang berarti keselamatan. Keselamatan yang diberikan Allah kepada umat Islam
bukan hanya sekedar keselamatan di dunia semata akan tetapi keselamatan yang kekal abadi
juga Allah berikan kepada umat Islam, yaitu keselamatan di akhirat. Islam bukan hanya
sekedar penyerahan diri dan tunduk saja, tapi Islam juga memiliki konsekwensi yang harus
dilaksanakan oleh pemeluknya.

Perumusan kembali ilmu yang intergralistik menjadi penting ditengah kuatnya tuntutan,
agar ilmu yang dibangun dalam islam, selain berpijak pada pandangan dunia islam, juga
memiliki relevansi kuat dengan kebutuhan umat islam dalam menghadapi tantangan dan
perubahan zaman.

B. Rumusan Masalah
1. Apa tujuan al-qur’an di turunkan?
2. Bagaimana konsep dan karakteristik paradigma qurani untuk menghadapi
kehidupan modern ?

1
3. Mengapa paradigma al-qur’an sangat penting bagi kehidupan modern ?
4. Bagaimana nilai – nilai akhlak dikaitkan dengan paradigma al-Qur’an ?

C. Tujuan
1. Mengetahui tujuan al-qur’an di turunkan.
2. Mengtahui alasan kenapa paradigma al-qur’an sangat penting bagi manusia.
3. Mengetahui nilai-nilai akhlak dikaitkan dengan paradigma al-qur’an.
4. Menelusuri konsep dan karakteristik paradigma Qurani untuk menghadapi
kehidupan modern .

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Al-Qur’an

Al-Qur’an adalah sumber primer bagi umat islam dalam segala kehidupan. Al-Quran
adalah sumber dari segala ilmu. Tolak ukur benar/salah, baik/buruk dan indah/jelek ada
didalam al-Quran .orang yang mencari sumber lain dalam menentukan diatas dianggap tidak
konsisten dalam berislam. Itu disebut sikap hipokrit (munafik, orang yang suka berpura-
pura). Al-qur’an pada hakikatnya adalah motivator terbaik dalam kehidupan manusia
setelah para nabi.

Dan itu merupakan sikap tidak terpuji dalam al-Quran. “Kata Al-Quran itu sendiri
bermakna “bacaan‟, “kuliah‟, atau “wacana‟. Sejak awal kehadirannya, kitab ini
dimaksudkan untuk dibaca dan diperdengarkan dalam bahasa aslinya, dengan khidmat dan
hormat, baik dari pembaca maupun pendengarnya. Kekuatan dan daya tarik Al-Quran di
antaranya dimunculkan oleh irama dan retorikanya, juga oleh sajak dan maknanya, yang
tidak bisa dialihkan ke dalam terjemahan semua bahasa pun. Panjang Al-Quran adalah
empat per lima panjang Perjanjian Baru yang berbahasa Arab.

Dalam kedudukannya sebagai kitab suci umat Islam, Al-Quran memainkan peran
penting lainnya, di antaranya sebagai pilar Islam dan otoritas tertinggi dalam persoalan-
persoalan spiritual dan etika. Di bidang teologi, hukum, dan ilmu pengetahuan, menurut
umat Islam, Al-Quran merupakan sumber ajaran yang mempunyai aspek-aspek yang
berbeda-beda. Dalam hal ini Al-Quran menjadi buku ilmiah, buku bacaan untuk
memperoleh pendidikan yang liberal.

Didalam Al-qur’an, Allah menyatakan bahwa Dia menjamin rezeki seluruh makhluk
yang Dia ciptakan di alam semesta. Mereka hanya diminta untuk beriktiar dengan jalan
yang dihalalkan oleh –Nya. Maka sudah dapat diambil sedikit kesimpulan bahwa betapa
penting nya kehidupan itu dilandasi paradigma al-qur’an.

3
Adapun tujuan Al-qur’an adalah :

1. Sebagai petujuk bagi manusia menuju kebahagiaan dunia akhirat


2. Sebagai penjelasan ajaran – ajaran dan hukum-hukum syariat islam untuk kebaikan
manusia disaat hidup dan mati
3. Sebagai pemisah antara yang haq dan yang bathil, antara kebahagiaan dan kesengsaraan
dan petunjuk dan kesehatan

Tujuan ini tertuang dalam QS.Al-Baqarah : 185 yang terjemahan nya (Beberapa hari yang
ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al
Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir
(di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan
barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya
berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan
hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas
petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.

 Asal muasal kehidupan

Penciptaan manusia di muka bumi ini mempunyai misi yang jelas dan pasti. Ada 3 misi
yang bersifat given yang diemban manusia yaitu : misi utama untuk beribadah, misi
fungsional sebagai khalifah dan misi operasional untuk memakmurkan bumi. Secara
harfiah, kata khalifah berarti wakil atau pengganti, dengan demikian misi utama
manusia dimuka bumi ini adalah sebagai wakil Allah. Jika Allah adalah sang pencipta
seluruh jagad raya ini maka manusia sebagai khalifah nya berkewajiban untuk
memakmurkan jagad raya itu, utamanya bumi dan seluruh isinya, serta menjaganya dari
kerusakan seperti pada quran surah Az-zariyat/51:56, Al-Baqarah/2:30, Hud/11:61

4
Selain mengemban tugas dan fungsi yang jelas, manusia juga mendapatkan posisi
yang paling istimewa, yaitu sebagai satu-satunya makhluk yang pada saat dilahirkan
telah sadar akan adanya tuhan. Apa yang terdapat pada Al-A’raf/7:172-173
Dalam memuja tuhan, manusia harus berusaha untuk hidup dalam harmoni dan
keselarasan dengan semua ciptaan tuhan, yang secara alami juga melakukan
penyembahan kepada-Nya. Terdapat pada surah Ar-Ra’d/13:13

Tentang pertanyaan kapankah kehidupan mulai ada, Al-quran memberi jawaban


yang tegas, yakni bahwa kehidupan bermula saat alam semesta tercipta. Seperti yang
dijelaskan pada surah Al-Anbiya/21:30
Pada abad ke-19, dunia ilmu pengetahuan digoncang oleh temuan baru kontroversial
yaitu teori evolusi
Hidup keagamaan orang dapat berporos disekitar keyakinan bahwa tokoh, peristiwa,
kejadian, tempat, waktu historis khusus merupakan wahana bagi Tuhan untuk
menyampaikan diri, maksud dan kehendaknya di dunia.

B. Menelusuri Konsep dan Karakteristik Paradigma Qurani untuk Menghadapi


Kehidupan Modern

Apa yang dimaksud paradigma? Apa pula yang dimaksud paradigma Qurani? Mengapa
Al-Quran dijadikan paradigma untuk menghadapi berbagai persoalan? Secara etimologis
kata paradigma dari bahasa Yunani yang asal katanya adalah para dan digma. Para
mengandung arti „di samping‟, „di sebelah‟, dan „keadaan lingkungan‟. Digma berarti
„sudut pandang‟, „teladan‟, „arketif; dan „ideal‟. Dapat dikatakan bahwa paradigma
adalah cara pandang, cara berpikir, cara berpikir tentang suatu realitas. Adapun secara
terminologis paradigma adalah cara berpikir berdasarkan pandangan yang menyeluruh dan
konseptual terhadap suatu realitas atau suatu permasalahan dengan menggunakan teori-teori
ilmiah yang sudah baku, eksperimen, dan metode keilmuan yang bisa dipercaya. Dengan
demikian, paradigma Qurani adalah cara pandang dan cara berpikir tentang suatu realitas
atau suatu permasalahan berdasarkan Al-Quran.

5
Berikutnya, Mengapa Al-Quran dijadikan paradigma? Semua orang menyatakan bahwa
ada suatu keyakinan dalam hati orangorang beriman, Al-Quran mengandung gagasan yang
sempurna mengenai kehidupan; Al-Quran mengandung suatu gagasan murni yang bersifat
metahistoris. Menurut Kuntowijoyo (2008), Al-Quran sesungguhnya menyediakan
kemungkinan yang sangat besar untuk dijadikan cara berpikir.

Pengembangan eksperimen-eksperimen ilmu pengetahuan berdasarkan paradigma Al-


Quran jelas akan memperkaya khazanah ilmu pengetahuan umat manusia. Kegiatan itu
mungkin bahkan tentu saja akan menjadi rambahan baru bagi munculnya ilmu-ilmu
pengetahuan alternatif. Premis-premis normatif Al-Quran dapat dirumuskan menjadi teori-
teori yang empiris dan rasional. Struktur transendental Al-Quran adalah sebuah ide
normatif filosofis yang dapat dirumuskan menjadi paradigma teoretis. Paradigma Qurani
akan memberikan kerangka bagi pertumbuhan ilmu pengetahuan empiris dan ilmu
pengetahuan rasional yang orisinal, dalam arti sesuai dengan kebutuhan pragmatis
masyarakat Islam yaitu untuk mengaktualisasikan misinya sebagai khalifah di muka bumi.

C. Menanyakan Alasan, “Mengapa Paradigma Qurani sangat Penting bagi


Kehidupan Modern?”

Al-Quran bagi umat Islam adalah sumber primer dalam segala segi kehidupan. Al-Quran
adalah sumber ajaran teologi, hukum, mistisisme, pemikiran, pembaharuan, pendidikan,
akhlak dan aspekaspek lainnya. Tolok ukur benar / salah, baik / buruk, dan indah / jelek
adalah Al-Quran. Jika mencari sumber lain dalam menentukan benar / salah, baik / buruk,
dan indah / jelek, maka seseorang diangap tidak konsisten dalam berislam, suatu sikap
hipokrit yang dalam pandangan Al-Quran termasuk sikap tidak terpuji. Untuk apa Al-Quran
diturunkan? Apa tujuan Al-Quran diturunkan? Yusuf al-Qardhawi menjelaskan bahwa
tujuan diturunkan Al-Quran paling tidak ada tujuh macam, yaitu: 1) meluruskan akidah
manusia, 2) meneguhkan kemuliaan manusia dan hak-hak asasi manusia, 3) mengarahkan
manusia untuk beribadah secara baik dan benar kepada Allah, 4) mengajak manusia untuk
menyucikan rohani, 5) membangun rumah tangga yang sakinah dan menempatkan posisi
terhormat bagi perempuan, 6) membangun umat menjadi saksi atas kemanusiaan, dan ke 7)

6
mengajak manusia agar saling menolong. Sebagian dari tujuan di atas dijelaskan dalam
uraian sebagai berikut.

1. Meluruskan Akidah Manusia

Secara rinci menjaga akidah itu mencakup aspek-aspek sebagai berikut.

a. Menegakkan Pokok-Pokok Tauhid

Menegakkan tiang-tiang tauhid sebagai landasan beragama sangat penting eksistensinya


sebab bersikap sebaliknya yaitu syirik merupakan sikap yang sangat tercela, bahkan hukum
Islam memandang syirik sebagai suatu tindak pidana (jarīmah) yang sangat terlarang. Mengapa
syirik termasuk dosa besar? Sebab dalam syirik ada kezaliman terhadap kebenaran, dan
penyimpangan terhadap kebenaran hakiki, serta ada pelecehan terhadap martabat kemanusiaan
yang mengagungkan dunia atau tunduk kepada sesama makhluk. Itulah sebabnya Allah
berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni sikap syirik dan Allah akan
mengampuni dosa selain itu bagi siapa saja yang Allah kehendaki.” (QS An-Nisa`/4: 48).
“Sesungguhnya sikap syirik adalah kezaliman yang sangat besar.” (QS Luqman/31: 13).
“Jauhilah perbuatan keji yaitu menyembah berhala, dan jauhi pula berkata palsu,

2. Mensahkan akidah tentang kenabian dan kerasulan.

a. Menjelaskan keperluan manusia terhadap kenabian dan kerasulan. (QS. An-Nahl/16:64)

b. Menjelaskan tugas – tugas para rasul khususnya dalam hal kabar gembira dan pemberi
peringatan (QS. An- Nisa/4:165)

c. Menghilangkan keraguan dari persepsi masyarakat silam tentang penampilan para rasul
(QS. Ibrahim/14:10)

3. Menghilangkan keraguan dari persepsi masyarakat silam tentang penampilan para rasul
(QS. Ibrahim / 14: 10)

4. Menjelaskan akibat bagi orang – orang yang membenarkan para rasul dan akibat bagi orang
– orang yang

7
D. Mengetahui nilai-nilai akhlak dengan mengaitkan paradigma Al-Qur’an

Sebagai sebuah ajaran, Islam dikenal sebagai agama yang sangat humanis, bahkan
konsep tauhid sebagai dimensi ideal transendental dalam ajaran Islam tidak boleh dipisahkan
dari kehidupan sosialnya. Tetapi sayangnya, secara empiris dalam masyarakat, ajaran yang
humanis dan menekankan nilai-nilai sosial ini tidak nampak kental dalam masyarakat muslim.
Justru yang terjadi adalah sebaliknya. Menteri agama, Drs. KH. Tholchah Hasan dalam
beberapa kesempatan juga selalu menyoroti persoalan ini. Beliau melihat, ada kesenjangan
dalam realitas masyarakat muslim antara nilai-nilai agama yang bersifat ideal (baca:iman)
dengan nilai-nilai sosialnya (baca: amal shalih). Orang Islam lebih peka (tersinggung) jika
agamanya di “lecehkan”, sementara tidak peka dan tersinggung jika ada ketimpangan sosial di
mana-mana.

Ada degradasi nilai-nilai sosial, etis dan humanitis. Padahal jika dicermati, ajaran Islam
memiliki nilai-nilai sosial dan etik yang tinggi. Bahkan dimensi syari’ah (fiqh) dan akhlak
dalam ajaran Islam memiliki jangkauan yang sangat luas jika dibandingkan dengan dimensi
iman/akidah itu sendiri. Jika ada pertanyaan: “Agama apakah yang paling banyak mengatur
manusia?” Maka jawabnya adalah: “Islam”. Jawaban ini sekaligus menunjukkan, bahwa Islam
adalah agama yang paling lengkap dibanding agama-agama yang lain (lihat QS. Al-Maidah:3).
Islam memberikan tuntunan hidup manusia dari persoalan yang paling kecil hingga kepada
urusan yang paling besar, mulai dari urusan rumah tangga, tidur, makan dan minum sampai
pada urusan bangsa dan negara. “Islam tidak hanya sekedar berisikan ajaran teologi, tetapi ia
sarat dengan peradaban“ (Islam is indeed much more than a theology its complete civilization ),
demikian pengakuan HAR. Gibb.

Jika dicermati secara serius dalam ayat-ayat al-Qur’an maupun as-Sunnah, niscaya
akan kita temukan, bahwa inti ajaran Islam adalah iman dan amal saleh. Iman adalah pengakuan
yang serius bahwa Allah SWT adalah Tuhan satu-satunya yang harus disembah dan Nabi
Muhammad SAW adalah utusan (Rasul)-Nya. Iman harus kokoh dan dibangun lebih dulu,
sebab kalau tidak, akan menggoyahkan sendi-sendi kehidupan manusia. Iman yang benar pasti

8
akan melahirkan perbuatan dan sikap tingkah laku yang positif (amal saleh). Sebab percaya
kepada Allah SWT (dan juga Rasul-Nya) berarti percaya dan patuh dengan semua aturan-
aturannya.

Dengan demikian antara iman dan amal harus menyatu dalam dirinya. Itulah maka
predikat “mukmin” lebih tinggi ketimbang “muslim”. Setiap orang bisa menjadi muslim dalam
pengertian tunduk dan patuh dengan hukum alam Tuhan (sunnatullah), tetapi tidak selalu
tunduk dan patuh dengan perintah atau aturan Allah SWT yang berkaitan dengan ibadah/agama.
Sedangkan mukmin adalah orang yang percaya dan sekaligus tunduk dan patuh, sebab
pengertian iman yang sesungguhnya adalah: pembenaran dengan hati, pengakuan dengan lisan
dan melaksanakan amal salih. Itulah sebabnya Allah SWT pernah menegur orang kafir dalam
firman-Nya: “Orang-orang Arab Badui itu berkata: ‘Kami telah beriman’. Katakanlah (kepada
mereka) ‘kami belum beriman, tetapi katakanlah kami telah tunduk (Islam) karena iman itu
belum masuk ke dalam hatimu’…” Dalam al-Qur’an, kata iman dan amal saleh hampir selalu
dirangkai dalam satu ayat (lihat saja misalnya dalam QS. Al-‘Ashr, At-Tin, Ar-Ra’d dst.) Ini
artinya betapa penting amal salih, berbuat kebajikan dan berlaku benar itu. Betapa keras anjuran
agama untuk selalu melaksanakan kebaikan dalam hidup ini (Zainuddin, 1999:4). Ibn Taimiyah
menjelaskan, bahwa agama terdiri dari tiga unsur : islam, iman dan ihsan.

Orang memulai dengan Islam dulu, kemudian berkembang ke arah iman dan memuncak
dalam ihsan. Menurut Ibn Taimiyah, orang yang menerima warisan kitab suci namun masih
juga berbuat zalim adalah orang yang baru ber-Islam . Kemudian pada tahap selanjutnya ia
meningkat menjadi seorang yang beriman. Pada tingkatan ini ia terbebas dari perbuatan zalim,
namun perbuatan kebajikannya sedang-sedang saja. Dan kemudian pada tahap berikutnya
adalah dimana orang tidak hanya terbebas dari perbuatan zalim bahkan ia bergegas dalam
berbuat kebajikan dan menjadi penggerak kebajikan itu sendiri. Dan itulah orang yang sudah
memasuki tahap ihsan.Tahap dimana orang tidak sekedar mampu meninggalkan larangan
Tuhan tetapi sekaligus menjadi teladan perbuatan baik. Orang ini menurut Ibn Taimiyah akan
masuk surga tanpa hisab, sedangkan orang yang baru tahap ber-Islam, yang masih berbuat
zalim, ia akan masuk surga setelah melalui azab akibat dosa-dosanya (Nurcholish Madjid,
1994:465 ). Secara garis besar ruang lingkup ajaran Islam meliputi masalah

9
keyakinan (akidah), masalah yang berhubungan dengan peraturan dan perundang-undangan
(syari’ah) dan masalah yang berkaitan dengan tingkah laku, baik dan buruk (akhlak). Jika
akidah lebih berorientasi vertikal-transendental maka syari’ah dan akhlak berorientasi
horizontal. Tetapi kedua hal tersebut ( vertikal dan horizontal) harus integral, tidak boleh
senjang.

Dengan demikian maka agama Islam memiliki keseimbangan antara duniawi dan
ukhrawi, antara yang vertikal dan horizontal, antara teologis dan sosiologis- antropologis.
Masih pada persoalan relasi antara sistem keimanan dengan sistem sosial dalam ajaran Islam
yang tidak bisa dipisahkan keduanya, Allah SWT memberikan penegasan dalam beberapa surat
dan ayat-Nya. Misalnya saja dalam QS. An-Nisa’ : 36-37 dan Al-An’am : 151. “Sembahlah
Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah
kepada kedua ibu dan bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga
dekat dan yang jauh, teman sejawat dan hamba sahayamu . Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang yang sombong dan membangga-banggakan diri. Katakanlah: “Marilah kubacakan apa
yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersatukan sesuatu
dengan dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang tua dan janganlah kamu membunuh anak-
anak kamu karena takut kemiskinan. Aku akan memberi rizki kepadamu dan kepada mereka
dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan keji, baik yang nampak diantaranya
maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.

Demikian itu yang di perintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami
(Nya). Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim kecuali dengan cara yang bermanfaat
hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak
memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu
berkata maka hendaklah berlaku adil kendatipun ia adalah kerabat dekatmu dan penuhilah janji
Allah.Yang demikian itu di perintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat”. (lihat juga QS. Al-
Baqarah: 177, Al-Qashash:77 ). Rasyid Ridha, penulis tafsir al-Manar menjelaskan, bahwa
ayat-ayat di atas sebagai sepuluh wasiat Tuhan. Ayat-ayat dalam al-Qur’an di atas merupakan
bukti representatif bahwa ajaran Islam sangat peerhatian terhadap masalah-masalah

10
kemanusiaan. Fakta bahwa Islam lebih dari sekadar sebuah agama formal, tetapi juga risalah
yang agung bagi transformasi sosial dan tantangan bagi kepentingan-kepentingan pribadi
dibuktikan oleh penekanannya pada shalat dan zakat.

Dalam kebanyakan ayat al-Al-Qur’an, shalat tidak pernah disebutkan tanpa diiringi
dengan zakat. Orang yang selalu menumpuk kekayaan dan tidak mau mengeluarkan zakatnya
dicap sebagai orang yang arogan (al-mustakbirin). Secara alamiah Islam dimulai dari gerakan
moral dan kemanusiaan. Seperti pengakuan Nabi sendiri dia diutus oleh Allah SWT untuk
menyempurnakan akhlak manusia (Innama Buistu Li utammimma Husn al-Akhlaq). Gerakan
yang dilakukan Nabi berorientasi pada masalah-masalah pembangunan umat dan pembinaan
masyarakat yang bebas dari eksploitasi, penindasan, dominasi dan ketidakadilan dalam bentuk
apapun. Seperti ungkap Ali (1993: 89), ketika al-Qur’an secara tegas mengutuk penindasan dan
ketidakadilan, maka perhatiannya terhadap wujud sosial yang baik dari masyarakat yang
egaliter tidak bisa disangkal lagi. Karena itu menurut Ali, terlepas dari signifikansinya, istilah-
istilah al-Qur’an juga mempunyai konotasi-konotasi sosial-ekonomi.

Dengan demikian, term kafir dalam al-Qur’an tidak hanya bermakna ingkar terhadap
Tuhan, malainkan secara tidak langsung juga menentang terhadap keadilan dan kejujuran yang
seharusnya diwujudkan dalam suatu masyarakat. Orang yang mengaku beriman kepada Allah
harus menunjukkan keberpihakannya (komitmen) terhadap orang-orang yang lemah (al-
mustadh’afin) seperti: anak-anak yatim, orang miskin dan orang terlantar dan menegakkan
keadilan di muka bumi ini. Bahkan jika kita cermati ayat-ayat al-Qur’an dalam surat al-
Qashash:77 misalnya, maka akan kita dapatkan tiga persoalan besar, yaitu: teologis,
antropologis dan kosmologis. Secara teologis manusia diperintahkan untuk beribadah kepada
Allah SWT untuk memperoleh keuntuingan akhirat, tetapi di sisi lain tetap diperintahkan untruk
bekerja, mencari rizki di dunia. Tidak boleh salah satu diabaikan. Kemudian secara
antropologis-sosiologis, manusia harus selalu berbuat baik kepada orang lain. Tidak boleh
dengki, iri hati, arogan dan segala macam keburukan lainnya. Dan secara kosmologis manusia
tidak boleh membuat kerusakan (distruktif) terhadap alam, merusak lingkungan. Karena
manusia dipercaya Tuhan sebagai khalifah fil-Ardh, maka ia harus memelihara dan

11
melestarikannya, bahkan mendayagunakannya untuk kepentingan dan kesejahteraan umat
manusia seluruhnya.

Di sinilah manusia dituntut untuk mengaplikasikan ajaran Islam yang disebut-sebut


sebagai agama rahmatan lil-‘alamin itu. Dan ini adalah tanggung jawab manusia beriman untuk
senantiasa mematuhinya sebagai khalifah fil-‘Ardh tadi, jika tidak mampu, tidak amanah, maka
predikat itu tercabut dengan sendirinya. Di dalam struktur keagamaan Islam, seperti kata
Kuntowijoyo (1991:167), tidak dikenal dokotomi antara domain duniawi dan domain agama.
Konsep tentang agama didalam Islam bukan semata-mata teologi, sehingga serba
pemikiran. Teologi bukanlah karakter Islam. Nilai-nilai Islam pada dasarnya bersifat all –
embracing- bagi penataan sistem kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya.

Oleh karena itu, tugas terbesar Islam sesungguhnya adalah melakukan transformasi
sosial dan budaya dengan nilai-nilai Islam. Didalam Al-Qur’an, kita sering kali membaca
seruan agar manusia itu beriman, dan kemudian beramal. Dalam surat al- Baqarah ayat kedua
misalnya, disebutkan bahwa agara manusia itu menjadi Muttaqin, pertama-tama yang harus dia
miliki adalah iman, “percaya kepada yang ghaib”, kemudian mendirikan shalat dan menunaikan
zakat. Didalam ayat tersebut kita melihat adanya trilogi: iman-shalat-zakat; sementara dalam
formulasi lain, kita juga mengenal trilogi iman-ilmu-amal. Dengan memperhatikan ini kita
dapat menyimpulkan bahwa iman berujung pada amal, aksi. Artinya tawhid harus
diaktualisasaikan: pusat keimanan Islam memang Tuhan, tetapi ujung aktualilsasinya adalah
manusia. Dengan demikian, Islam menjadikan tawhid sebagai pusat dari semua orientasi nilai,
sementara pada saat yang sama melihat manusia sebagai tujuan dari transformasi nilai.

Dalam kontek inilah Islam itu disebut sebagai rahmatal lil ‘alamin, rahmat untuk alam
semesta termasuk kemanusiaan. Islam adalah sebuah humanisme, yaitu agama yang sangat
mementingkan manusia sebagai tujuan sentral. Inilah dasar Islam. Tapi berbeda dengan
prinsip-prinsip filsafat dan prinsip-prinsip agama lain, humanisme Islam adalah humanisme
teosentrik, artinya ia merupakan sebuah agama yang memusatkan dirinya pada keimanan
terhadap Tuhan, tetapi mengarahkan perjuangannya untuk kemuliaan peradaban manusia.

12
Prinsip humanisme teosentrik inilah yang kemudian di transformasikan senagai nilai yang
dihayati dan dilaksanakan sepenuhnya dalam masyarakat dan budaya.

Atas dasar prinsip nilai humanisme-teosentrik itu kita dapat melihat bahwa konsep
didalam Islam sangat jauh berbeda dengan konsep yang terdapat dalam agama lain. Islam
misalnya tidak mengenal sistem pemikiran panteologisme atau pemikiran serba teologi yang
cenderung meremehkan pemikikran rasio. Memang wahyu bertindak sebagai Furqon, pembeda
kebenaran dari kepalsuan, dan sebagai petunjuk. Namun demikian, al-Qur’an jelas sekali
senantiasa menekankan digunakannya akal, observasi empiris atau pengalaman dan bahkan
intuisi, untuk memperoleh kebenaran atas dasar petunjuk wahyu itu. Itulah sebabnya Islam tidak
pernah mengalami konflik dengan sistem pengetahuan rasional.

Dalam masalah relasi sosial, Nabi juga menegaskan: “Bahwa tidak dianggap sempurna
iman seseorang sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”.
Apa yang ditegaskan Nabi ini sebetulnya memiliki makna yang dalam jika dikaitkan dengan
issu kontemporer dan problema sosial sat ini, misalnya masalah hak asasi manusia (HAM),
keadilan, persatuan, pengentasan kemiskinan dlsb. Ini artinya juga, bahwa dimensi Islam itu
tidak hanya bercorak teosentris, tetapi juga antroposentris. Karena agama diturunkan Tuhan
untuk manusia dan manusia tidak lepas dari ketergantungannya dengan manusia lain, atau juga
alam ciptaan Tuhan, maka bagaimanapun persoalan ini harus tidak terabaikan. Sehingga dengan
demikian ajaran tauhid tidak terlepas dari dimensi sosialnya. Dan yang perlu diketahui bahwa
diantara penyakit kaum khawarij yang terbresar adalah bodoh terhadap al-kitab dan as-sunnah,
buruknya pemahaman mereka yang tidak boleh kita ikuti.

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari bab I dan bab II kami dapat menyimpulkan sebagai manusia kita semestinya hidup
dengan berdasarkan Al-Quran.Paradigma Qurani adalah cara Pandang dan cara berpikir tentang
suatu realitas atau suatu permasalahan berdasarkan Al-Quran. “Dia menurunkanAl Kitab (Al
Qur’an) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya
dan menurunkan Taurat dan Injil” Qs.Annisa (3).

Tantangan-tantangan teknologi informasi yang baru harus dihadapi bukan dengan


optimisme maupun pesimisme yang berlebihan, tetapi dengan tindakan penuh pertimbangan.
Satu hal yang paling penting dimiliki olehsetiap orang atau bangsa dalam rangka
mengembangkan kehidupannya secara ideal adalah memahami dan mengerti siapa dirinya
(hakikat kemanusiaannya) dan kemudian mengembangkannya dengan penuh kearifan hati
nurani dan akal pikiran yang sehat dengan bimbingan hidayah ilahi. konsep dasar tentang Al-
Quran dan As-Sunnah dan metode pemahamannya Al-Qur’an adalah sebuah dokumen untuk
umat manusia. Sedangkan konsep Sunnah di sini sebagai pengayom dan petunjuk arah,
sementara dalam perkembangannya hendaknya disesuaikan dengan kondisi dan situasi
zaman.Metode pemahaman Al-Qur’an : Memahami ayat demi ayat, Memahami Al- Qur’an
dengan hadist yang shahih, Memahami ayat dengan pemahaman sahabat, Harus mengetahui
gramatika bahasa arab. Metode Pemahaman As-Sunnah : Untuk memahami sunnah dengan
baik jauh dari penyimpangan pemalsuan dan perwakilan yang keliru kita harus memahami
sesuai dengan petunjuk Al-qur’an yaitu dalam bingkai tuntunan ilahi yang sebenarnya dan
keadilannya bersifat pasti.

B. Saran

Kami menyadari bahwa makalah diatas banyak sekali kesalahan nya dan jauh dari kata
kesempurnaan. Maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran mengenai pembahasan
makalah dalam kesimpulan diatas.

14
DAFTAR PUSTAKA

Referensi: https://tafsirweb.com/691-surat-al-baqarah-ayat-185.html

Tafsir ilmi, 2012 Penciptaan Manusia Kementrian Agama RI, Jakarta.

Biografi Ali Bin Abi Thalib, 2014, Jakarta Timur

Crapps, Robert W. Gaya Hidup Beragama, 1993, yogyakarta.

Al-bikhal, Abu Ali. Ayat-ayat motivasi, 2013, Jawa Barat

Syafri, Ulil Amri, Pendidikan Karakter Berbasis Al-qur’an, 2012, Bogor

M,Nur Faizin, Rezeki Al-qur’an, 2015, Surakarta

Ahmad, yusuf Al-Hajj, Mukjizat Al-Qur’an Yang Tak Terbantahkan, 2016, Solo

Abidin, Zainal Muhammad, Paradigma Islam Dalam Pembangunan Ilmu Integralistik,


2016, Yogyakarta

15

Anda mungkin juga menyukai