Anda di halaman 1dari 15

Abstrak

Latar belakang
Kortikosteroid merupakan salah satu obat yang paling sering digunakan untuk mengobati alergi
serta penyakit peradangan lain, atau dapat juga digunakan untuk menekan aktivitas imun dalam
tubuh yang berlebihan. Struktur tersebut memiliki kesamaan dengan hormon yang ada di dalam
tubuh, hal ini akan menjelaskan efek samping dan reaksi yang dapat ditimbulkan berkaitan dengan
farmakologi terhadap pemberian dosis dari kortisol dan agen sintetis lainnya. Pemberian
Kortikosteroid banyak memberikan manfaat terutama pada penyakit-penyakit kronik yang
membutuhkan terapi imunosupresan. Namun disamping itu harus dipikirkan kembali efek samping
yang diberikan, juga pemberian dosis yang sesuai agar efek samping yang ditimbulkan tidak akan
memperparah keadaan
Tujuan
Untuk memberikan informasi terkini tentang pemahaman, evaluasi dan cara pemberian dosis
kortikosteroid yang tepat
Metode
Pencarian PubMed diselesaikan dalam pertanyaan Klinis menggunakan istilah kunci ‘Efek
samping Kortikosteroid’. Strategi pencarian termasuk meta-analisis, uji coba terkontrol, penelitian
kohort retrospektif, uji klinis dan ulasan
Hasil
Meskipun penggunaan kortikosteroid sudah meluas, namun tetap harus diperhatikan efek samping
dari penggunannya. Pemberian kortikosteroid dosis tinggi atau penggunaan dalam jangka waktu
yang lama, akan muncul perubahan pada penampilan seperti “moon face”, kenaikan berat badan,
distribusi lemak ke tubuh bagian sentral, kehilangan massa otot, berjerawat, lebam, penipisan
lapisan kulit, serta timbul stretch mark. Penggunaan dosis tinggi juga dapat menimbulkan diabetes
mellitus dan hipertensi, sedangkan penggunaan dalam jangka waktu yang lama akan menurunkan
proses fisiologi massa tulang yang akan menimbulkan peningkatan risiko osteoporosis dan
menekan hormone pertumbuhan pada usia anak-anak. Selain itu penggunaan secara terus menerus
tanpa ada tapering off akan menimbulkan katarak dan glaucoma, serta menurunkan imunitas tubuh
yang akan mengakibatkan terjadinya infeksi yang serius. Oleh karena itu pada dokter sebelum
memberikan terapi kortikosteroid, diharapkan dapat mempertimbangkan efek samping yang
terdapat pada kortikosteroid, terutama dalam penggunaan jangka waktu yang lama.

Kesimpulan
Meskipun penggunaan kortikosteroid ini memberikan efek samping yang berlebihan apabila
digunakan dalam jangka waktu yang lama, namun efek dari obat untuk fase penyembuhannya
masih diperlukan pada sebagian penyakit dengan ganguan inflamasi atau keadaan imunosupresi.
I. Pendahuluan
Kortikosteroid merupakan salah satu obat yang paling sering digunakan untuk mengobati alergi
serta penyakit peradangan lain, atau dapat juga digunakan untuk menekan aktivitas imun dalam
tubuh yang berlebihan. Kortisol merupakan turunan dari kortikosteroid golongan glukokortikoid
yang berkaitan dengan metabolisme glukosa yang mana hal ini juga mempengaruhi keaadaan
imunitas dalam tubuh akibat penggunaan kortikosteroid. Jenis-jenis hormon lainnya seperi
mineralokortikoid, aldosteron, serta hormone pada pria dan wanita, diproduksi melalui
metabolisme kolesterol. Struktur tersebut memiliki kesamaan dengan hormon yang ada di dalam
tubuh, hal ini akan menjelaskan efek samping dan reaksi yang dapat ditimbulkan berkaitan dengan
farmakologi terhadap pemberian dosis dari kortisol dan agen sintetis lainnya.1
Kortikosteroid sendiri merupakan derivat kortikosteroid yang diproduksi dalam kelenjar adrenal.
Hormon ini memliki peranan penting termasuk mengontrol respon inflamasi. Kortikosteroid
hormonal dapat digolongkan menjadi glukokortikoid dan mineralokortikoid yang efek utamanya,
memiliki penyimpanan glikogen dalam hepar dan hasil antiinflamasinya yang nyata. Prototip
golongan ini kortisol dan kortison, yang merupakan glukokortikoid alami. Terdapat glukokortikoid
sintetik seperti prednisolon, triamsinolon dan betametason. Golongan mineralokortikoid adalah
golongan kortikosteroid yang memiliki aktivitas utama menahan garam dan terhadap
keseimbangan air dan elektrolit. Umumnya golongan mineralokortikoid ini memiliki efek
antiinflamasi yang tidak begitu nyata sehingga jarang digunakan. Pada manusia yang termasuk ke
dalam golongan mineralokortikoid adalah aldosteron. Berdasarkan cara penggunaanya,
kortikosteroid terbagi menjadi dua yaitu kotrikosteroid sistemik dan kortikosteroid topikal.1
Meskipun penggunaan kortikosteroid sudah meluas, namun tetap harus diperhatikan efek samping
dari penggunannya. Pemberian kortikosteroid dosis tinggi atau penggunaan dalam jangka waktu
yang lama, akan muncul perubahan pada penampilan seperti “moon face”, kenaikan berat badan,
distribusi lemak ke tubuh bagian sentral, kehilangan massa otot, berjerawat, lebam, penipisan
lapisan kulit, serta timbul stretch mark. Penggunaan dosis tinggi juga dapat menimbulkan diabetes
mellitus dan hipertensi, sedangkan penggunaan dalam jangka waktu yang lama akan menurunkan
proses fisiologi massa tulang yang akan menimbulkan peningkatan risiko osteoporosis dan
menekan hormone pertumbuhan pada usia anak-anak. Selain itu penggunaan secara terus menerus
tanpa ada tapering off akan menimbulkan katarak dan glaucoma, serta menurunkan imunitas tubuh
yang akan mengakibatkan terjadinya infeksi yang serius. Oleh karena itu pada dokter sebelum
memberikan terapi kortikosteroid, diharapkan dapat mempertimbangkan efek samping yang
terdapat pada kortikosteroid, terutama dalam penggunaan jangka waktu yang lama.1
II. Definisi
Sediaan kortikosteroid sistemik dapat diberikan oral, intravena atau intramuskular, penggunaan
jangka pendek tidak akan menimbulkan efek samping. Penggunaan terus-menerus akan
menimbulkan efek samping yang berat, maka dari itu penggunaan steroid oral jarang diberikan,
jika diperlukan maka akan diberikan pada pasien dengan penyakit kronik. Meskipun begitu,
penggunaan kortikosteroid tidak dapat dielakkan pada pasien dengan kelainan imunologi, yang
tidak dapat diberikan terapi alternatif lainnya.3
Kortikosteroid sistemik digunakan untuk menggantikan fungsi fisiologis dari glukokortikoid atau
dengan tujuan sebagai pengobatan untuk menekan inflamasi atau proses peradangan atau reaksi
imunitas yang berlebihan atau tidak diinginkan. Pemberian dosis kortikosteroid sistemik harus
diberikan dengan dosis yang lebih tinggi dari dosis fisiologis kortikosteroid dalam tubuh. Indikasi
pemberian kortikosteroid dapat diberikan dalam jangka pendek ketika terjadi proses peradangan
atau respon imun yang serius, selain itu dapat diberikan pada keadaan yang mengancam nyawa,
contohnya adalah serangan asma akut atau COPD (PPOK). Apabila membutuhkan dosis yang
lebih kecil, kortikosteroid dapat diberikan dengan dosis minimal sesuai dengan waktu paruh obat
3-8 jam. Walaupun kortikosteroid sistemik ini menimbulkan efek samping seperti kemerahan
(acute flares) atau eksaserbasi keadaan yang lebih serius, kortikosteroid ini tidak dapat dijadikan
sebagai terapi utama (first line therapy) pada pasien dengan penyakit kronik. Karena efek samping
yang ditimbulkan akan lebih besar dari pada manfaatnya.1
Apabila terjadi kegagalan atau penurunan fungsi pada hypothalamic pituitary adrenal axis, maka
dapat digantikan dengan kortikosteroid golongan mineralokortikoid. Tujuan pemberian terapi ini
adalah untuk menyerupai tingkat kortisol dalam darah, untuk mencegah terjadinya insufisiensi
adrenal. Hidrokortison merupakan salah satu obat pilihan yang dapat diberikan dalam keadaan
tersebut. Dosis yang diberikan antara lain 20mg pada pagi hari dan 10mg pada sore hari pukul
16.00, hal ini bertujuan untuk menyerupai jam fisiologis dari hypothalamic pituitary adrenal axis
tersebut. Dosis maksimal yang dapat diberikan hingga 300mg dalam sehari, hal ini untuk
mencegah dari tanda dan gejala insufisiensi adrenal, seperti hipoglikemia, hipotensi hingga kolaps
jantung. Titrasi dosis mungkin dibutuhkan jika terapi sudah berjalan dengan baik. Pemberian
fluticasone juga dapat diberikan untuk meningkatkan hormone aldosterone, tujuannya untuk
mencegah perburukan dari insufisiensi adrenal, dengan dosis yang dapat diberikan 0.1mg perhari.1

III. Mekanisme Kerja Kortikosteroid


Penggunaan kortikosteroid dalam kehidupan sehari hari memberikan manfaat yang besar terutama
saat dibutuhkan terapi antiinflamasi atau immunosupresan. Kortikosteroid sendiri mempengaruhi
beberapa tahap proses terjadinya inflamasi. Untuk meningkatkan cara kerja kortikosteroid ini,
molekul dari steroid akan diserap sepanjang membrane sel, dan kemudian berikatan dengan
reseptor glukokortikoid (GR) sehingga akan mengubah formasi dari reseptor tersebut. Kompleks
dari reseptor glukokortikoid ini dapat bergerak menuju inti sel, dimana sel tersebut membentuk
dimer dan berikatan dengan respon elemen glukokortikoid (Fig.1)1
Elemen-elemen respon glukokortikoid berhubungan dengan gen yang berfungsi menekan atau
menstimulasi proses transkripsi, kemudian menghasilkan asam ribonukleat dan sitesis protein.
Proses ini disebut trans represi atau aktivasi trans. Kemudian, agen ini akan menghambat factor
transkripsi yang mengontrol sintesis dari mediator pro-inflamasi, seperti makrofag, eosinophil,
limfosit, sel mast, dan sel dendritic. Efek yang penting lainnya adalah menghambat fosfolipase A2
dimana fosfolipase ini memiliki tanggung jawab sebagai tempat memproduksi mediator-mediator
inflamasi.1
Kortikosteroid juga menghambat gen-gen untuk ekpresi siklooksigenase-2, yang meningkatkan
sintesis nitrit oksida dan sitokin pro-inflamasi, termasuk TNF-α dan interleukin-interleukin
lainnya. Sebaliknya, kortikosteroid memulai regulasi dari lipokortin dan annexin A1, yang
merupakan salah satu jenis protein yang mengurangi sintesis prostaglandin dan leukotrin, serta
menghambat aktivitas COX-2, dan mengurangi perpindahan neutrophil ke bagian yang sedang
mengalami peradangan. Karena cara kerja kortikosteroid terjadi secara interseluler, efek yang
ditimbulkan akan terlihat, namun untuk diperiksa melalui plasma tidak ditemukan kadar
kortikosteroid.1
Kortikosteroid merupakan immudulator yang poten. Karena tidak ada system imun yang tidak
berikatan dengan kortikosteroid. Mengenai imun system, kortikosteroid melemahkan respon imun
inangnya dengan cara menghambat aktivasi antigen-presenting cell (APC), peningkatan aktivitas
endositas dan mengurangi sekresi dari mediator pro-inflamasi seperti sitokin. Daripada itu,
meningkatkan kadar neutofil pada bagain yang mengalami peradangan dan meningkatkan basophil
untuk melakukan apoptosis. Selain itu, imunitas yang adaptif juga dapat dipengaruhi oleh pajanan
kortikosteroid, seperti T-limfosit yang matur ataupun imatur akan mengalami apoptosis. Selain
meningkatkan proses apoptosis sel, kortikosteroid juga mengatur polarisasi sel T. Respon dari sel
T digantikan dari Th1 kepada Th2 fenotip, walaupun menghambat Th1 faktor regulator dan
meningkatkan ekspresi Itk. Tec Kinase menginduksi Th 2 untuk melakukan diferensiasi melewati
regulasi negatif T-bet. Juga limfosit B berkurang jumlahnya akibat penggunaan kortikosteroid,
meskipun tidak memiliki kesamaan tingkat dengan sel T. pada respon imun humoral, penggunaan
kortikosteroid akan meningkatan sintesis IgE, yang memiliki kerterikatan dengan hormone-
hormon lainnya dan IL-4.2
Efek terapeutik kortikosteroid pada system imun serta sel-sel imun, dimediasikan oleh
transaktivasi dan transupresi yang berasal dari transkripsi gen. Target kortikosteroid gen adalah
yang memiliki bagian anti-inflamasi yang menginduksi hormone melewati dimer dari GR dan
GRE direct binding. Banyak gen-gen yang memiliki efek anti-inflamasi yang berkontribusi dalam
aksi imunomodulator pada kortikosteroid. Kortikosteroid diregulasi oleh gen yang menghambat
kemotaksis, seperti adenosine 3 reseptor (ADORA), clara cell 10kDa (CC10), thymosin dan β4
sulfoksida (CYP1A2) serta imunosupresi seperti CD1d, FOXP3, IL-10, reseptor dari IL-1R dan
reseptor antagonis IL-1. Leih dari itu, kortikosteroid sendiri menginduksi transkripsi dari inhibitor
regulasi pro-inflamasi seperti IkBα dan KLF2.2
Mekanisme dari GR yang menginhibisi transkrip gen melalui DNA indirect binding. GR sendiri
dapat mengaktivasi factor transkripsi pro inflamasi seperti AP-1, NF-kB, cAMP response element-
binding protein (CREB), interferon regulating factor-3 (IRF-3), buclear factor of activated T cell
(NFAT), Th1-spesifik T box transcription factor (TBT-1) dan GATA3. Dibandingkan dengan gen
regulasi anti-inflamasi, hambatan dari GR pada proses faktor transkripsi diperkuat dengan
fenomena regulasi imun yang menghasilkan represi dari kemokin ( seperti eotaxin, macrophage
inflammatory protein, dan teregulasi, serta sel T normal yang diekspresikan dan disekres
(RANTES)), sitokin pro-inflamasi (TNF, granulocyte machrophage colony stimulating factor, IL-
1β, IL-2, IL-3, dan IL-6), molekul adhesi, dan enzim (nitrit oksida, dan COX2).2
Jumlah gen yang ditekan oleh kortikosteroid melalui GR menyimpulkan para ilmuwan bahwa
mekanisme ini dapat cukup mengerahkan efek dari anti-inflamasi. 2

III.1 Farmakodinamik dan Farmakokinetik


Kortikosteroid sistemik yang digunakan terbagi atas cara kerjanya seperti efek mineralokortikoid
dan ketahanan dalam menekan hypothalamic pituitary adrenal axis. Potensi ini diekspresikan
dengan obat turunan dari hidrokortison dengan dosis yang sudah ditentukan. Aktivitas dari
mineralokortikoid hampir sama dengan hidrokortison, dan strukturalnya telah dimodifikasi dengan
molekul steroid yang fungsinya untuk mengurangi efek dari mineral kortikosteroid, saat
penggunaan farmakologinya untuk mengobati alergi, peradangan, atau menekan respon imun.
Walaupun mengurangi efek mineralokortikoid, pemberian dosis normal, efek samping yang
ditimbulkan bisa saja terjadi pada semua jenis agen-agen yg tersedia. Agen-agen tersebut dibagi
berdasarkan durasi dari efek obat untuk mensupresi hypothalamic pituitary adrenal axis yaitu
waktu paruh pendek, medium atau long acting (waktu paruh yang panjang). Waktu paruh
berdasarkan aksi obat tidak berkorelasi dengan baik dengan durasi dari efek yang timbulkan agen
tersebut. Kemungkinan besar dipengaruhi oleh mekanisme intraselular. Karena mekanisme
kortikosteroid adalah intraselular, maka jika sudah habis masa paruh waktu obat, efeknya tidak
akan berada dalam sirkulasi kembali. Onset dari efek kortikosteroid sistemik sering terhambat
selama 3-8 jam. Kemungkinan bisa terjadi akibat efek dari interaselular tersebut.1
Penggunaan kortikosteroid sistemik digunakan untuk penggantian glukokortikoid secara fisiologis
dan selain itu digunakan untuk menekan proses peradangan dan reaksi imunitas yang berlebihan
atau tidak diperlukan. Dosis farmakologi kortikosteroid yang digunakan harus lebih tinggi dari
dosis fisiologisnya, seperti yang tertera pada tabel 1.1

III.2 Reaksi Obat yang Berlebihan serta Efek Sampingnya


Keuntungan yang banyak didapatkan dari kortikosteroid sebagai immunomodulatory, namun
seiring banyak sekali kerja obat yang diregulasi oleh kortikosteroid ini, penggunaan dalam jangka
waktu yang lama menyebabkan banyak efek samping yang buruk. 1
Pengobatan kronik menggunakan terapi kortikosteroid berkaitan dengan beberapa risiko
perburukan dari reaksi yang ditimbulkan hingga toksisitas. Obat-obatan ini mempengaruhi setiap
organ system dan proses metabolik yang ada dalam tubuh manusia. Risiko dari efek yang
berlebihan yang berasal dari penggunaan kortikostreoid ini, berkaitan dengan pemberian dosis dan
durasi terapi yang spesifik dengan agen yang digunakan. Secara historis, belum ada yang pernah
melaporkan kejadian toksisitas dari kortikosteroid ini bertahan lama, walaupun ada beberapa kasus
yang dilaporkan, menolak pernyataan ini. Pemberian dosis kortikosteroid sesuai dengan dosis
fisiologis juga akan menyebabkan efek yang tidak diinginkan dan toksisitas dari obat tersebut.
Kejadian yang paling signifikan terjadi dan menimbulkan efek yang buruk salah satunya adalah
supresi hypothalamic pituitary adrenal axis. Hal ini berkaitan dengan dosis pemberian, durasi
pemberian obat, agen spesifik yang diberikan, serta tujuan dari cara kerja obat itu sendiri. Untuk
terapi yang kronik, pemberian kortikosteroid baik local atau topikal dibenarkan apabila pegobatan
tersebut diperlukan. pengobatan ini termasuk pengobatan pada kulit, saluran pernapasan atas
ataupun bagian bawah, musculoskeletal, mata, hidung, tenggorokan dan saluran pencernaan.
Penggunaan jangka pendek menimbulkan gangguan siklus normal, akan tetapi tidak sesignifikan
dalam penggunaan jangka panjang. Penggunaan jangka pendek akan meningkatkan kadar gula
darah (hiperglikemia), gangguan tekanan darah, edema, perdarahan gastrointestinal, dan masalah
serius lainnya seperti gangguan psikiatrik, penyembuhan luka yang lambat serta peningkatan risiko
infeksi, dan yang terakhir adalah gangguan pada keseimbangan elektrolit termasuk hypokalemia
dan hyperkalemia.1
Beberapa laporan menyatakan penolakan terhadap konsep yang menyatakan bahwa penggunaan
kortikosteroid jangka pendek tidak akan menimbulkan kejadian yang berat. Namun pada penelitian
kohort retrospektif dengan subjek penelitian >1 juta pasien membuktikan bahwa 21% dari mereka
yang diberikan pengobatan jangka pendek dengan kortikosteroid oral, memberikan pernyataaan
bahwa ada yang menimbulkan alergi, infeksi pada saluran pernapasan atas (ISPA), serta gangguan
pada tulang belakang. Adapula dalam pemberian selama 30 hari inisial terapi, meningkatkan risiko
sepsis (5.3), tromboemboli vena (3.33), dan fraktur (1.87). Walaupun data ini berasal dari
penelitian observasional, risiko yang telah disebutkan tadi menjadikan tanda bahaya dan sebagai
patokan nilai selanjutnya dan untuk lebih mengeksplor agar kejadian seperti ini dapat dikurangi.1
Aktivitas glukokortikoid yang normal memainkan peran tahanan penting pada metabolisme dan
fungsi imun. Kortiosteroid penggunaan jangka panjang akan mempengaruhi supresi hyphotalamic
pituitary adrenal axis, osteoporosis, immunosupresan, kehilangan massa otot, dan perubahan
penampilan fisik. Cakupan dari efek yang berbahaya serta toksisitas yang ditimbulkan dalam
penggunaan kortikosteroid sangat luas, dapat menganggu proses metabolisme tubuh, dan yang
lainnya. Beberapa efek-efek yang berat akibat penggunaan kortikosteroid ini dijelaskan pada Tabel
2.1

Pasien yang mengkonsumsi kortikosteroid jangka panjang harus di monitor terhadap kemungkinan
efek buruk yang akan terjadi. Pada pasien dewasa yang harus dimonitor meliputi profil
metabolisme, termasuk lipid dan darah rutin. Densitas tulang dan pemeriksaan rutin mata harus
dilakukan secara berkala. Pada anak-anak dan dewasa muda, tanda-tanda pertumbuhan juga harus
diperhatian menggunakan stadiometer.1
Penggunaan dosis kortikosteroid harian berkaitan dengan risiko yang lebih tinggi pada supresi
hypothalamic pituitary axis dibandingkan dengan pemberian dosis kortikosteroid harian yang
rendah. Ketika pemberian dosis harian yang sama diberikan, dan dosisnya dinaikkan misalnya:
10mg tiga kali sehari memiliki risiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian dosis
15mg untuk dua kali sehari. Dosis harian yang dikonsumsi di atas waktu pagi hari memiliki risko
supresi lebih tinggi misalnya pemberian 20mg prednisone pada siang hari atau pukul 3 sore,
memiliki risiko tinggi dibandingkan pada pemberian pada jam 8 pagi.2
Secara keseluruhan mekanisme molecular dari kortikosteroid ini jarang diketahui dapat
menimbulkan efek samping yang besar, kecuali pada penderita sindrom cushing yang mana
gangguan tersebut berasal dari efektivitas endokrin kortikosteroid pada jaringan metabolisme yang
terganggu. Sudah diketahui aktivasi gen melalui dimer dari GR dan GREs direct binding,
meregulasi beberapa enzim yang menyebabkan peningkatan glukosa darah dan metabolisme
lemak( seperti phosphoenol pyruvate carboxykinase, tyrosine aminotransferase, dan glukosa 6-
fosfat). Pajanan kronik terhadap glukokortikoid menyebabkan menifestasi dari efek diabetogenik
akibat hiperkortisol. Otot-otot skeletal, hepar, jaringan adiposa, dan pankrean merupakan target
utama yang dipengaruhi oleh sindrom cushing. Tambahan lagi, peningkatan risiko infeksi
merupakan salah sau faktor yang diakbatkan oleh penggunaan kortikosteroid dalam jangka waktu
yang lama.2
Kadar kortikosteroid sistemik yang tinggi dapat meningkatkan tidak hanya disregulasi dari
metabolisme tetapi mengakibatkan resistensi penggunaan obat golongan glukokortikoid. Pada
konteks resistensi glukokortikoid, kortikosteroid ini seringkali tidak dapat meredam atau
mengontrol respon dari imun. Untuk mengurangi efek dari kortikosteroid dapat terjadi dengan
berbagai cara termasuk kortikosteroid yang menginduksi regulasi tingkat bawah pada GR, GR
nitrosilasi oleh nitrit oksida, atau ekpresi isoform GRβ yang meningkat dan bertindak sebagai
ngatif yang dominan dari GRα. Faktor genetik juga dapat berkontribusi terhadap resistensi
glukokortikoid, contohnya adalah timbulnya polimorfisme GR yang dapat timbul pada beberapa
keluarga. Sebagai contoh, reseptor glukokortikoid yang dtiandai adalah 646 C> G polimorfisme,
yang mengakibatkan serangan asma bronkial yang berat.2

III.3 Tapering Terapi Kortikosteroid


Ketika kortikosteroid sistemik digunakan sebagai terapi intensif atau penggunaan yang
berkepanjangan, harus ada penurunan dosis (Tapering off) untuk mencegah tanda dan gejala dari
insufisiensi adrenal. Rekomendasi yang disarankan berdasarkan regimen terapi yang ditapering
(1) prednisone ≥ 30mg dalam sehari selama 2 minggu
(2) dosis berapapun dengan pemberian sekurang-kurangnya 1 bulan
(3) jika tanda dan gejala dari insufiseinsi adrenal timbul.1
Beberapa dokter melakukan tapering untuk mencegah terjadinya eksaserbasi atau gejala
kemerahan yang ditimbulkan. Walaupun banyak bukti yang dari penggunaan kortikosteroid untuk
peradangan yang terjadi dan gangguan imunitas, fase eksaserbasi akan timbul jika penggunaan
kortikosteroid tiba-tiba dihentikan, namun untuk kejadian seperti ini pun sangat langka.1
Tapering kortikosteroid ini jika dibutuhkan merupakan seni, ketimbang ilmu sains dan
membutuhkan penyesuaian yang sering, tergantung dari bagaimana pasien dapat mentoleransi
penurunan dosis dari kortikosteroid tersebut. Walaupun belum ada strategi yang tepat dalam
menurunkan dosis penggunaan kortikosteroid. Pada umumnya penggunaan kortikosteroid jangka
pendek dapat diturunkan dosisnya dengan cepat, dibandingkan dengan penggunaan kortikosteroid
dalam durasi yang lebih lama.1
Ketika menggunakan prednisone, penurunan dosis harian dari >20mg dapat diturunkan menjadi
10mg, dengan pengaturan dari beberapa hari ke beberapa minggu, tergantung lamanya tapering
off itu sendiri Tabel .3. Ketika dosis harian 20mg tercapai, hal ini sangat berguna untuk para dokter
mengevaluasi bagaiamana menurunkan regimen yang sudah dapat ditoleransi oleh tubuh. Pada
poin ini, menurunkan dosis harian menjadi 2,5mg atau 5mg sehari kadang mengalami
keberhasilan. Namun jika pada saat menurunkan dosis penggunaan, pasien mengalami keadaan
insufisiensi adrenal, maka perubahan pemberian dosis obat dapat dihentikan atau perlahan-lahan
diturunkan hingga pasien dalam keadaan stabil. 1

III.4 Interaksi obat


Iteraksi obat dengan penggunaan kortikosteroid sistemik dapat terjadi dimana saja, dan memiliki
dasar farmakodinamik serta farmakokinetik. Banyak terapi yang memliki efek samping serupa,
padahal interaksi farmakokinetik berdasarkan interaksi isoenzim sitrokrom P450 3A4.
Kortikosteroid merupakan substrat dari sitokrom 3A4, maka dari itu agen-agen yang menghambat
atau meningkatkan aktivitas 3A4 akan meningkatkan atau menurunkan aktivitas kortikosteroid.
Contoh agen yang berinteraksi dengan kortikosteroid semua dirangkum dalam Tabel 4. 1
Indikasi Pemberian Kortikosteroid
A. Gangguan Rhematoid
Idiopatik juvenile arthritis2
Idiopatik juvenile arthritis (JJA) ini merupakan penyakit rematik yang sering disertia anak-anak
atau bayi, jika tidak diterapi makan akan menimbulkan disabilitas jangka pendek ataupun jangka
panjang.
Definisi dari JIA itu sendiri adalah suatu kondisi yang digambarkan dengan adanya proses
peradangan kronik yang mempengaruhi persendian. Oleh karena itu heterogenitas penyakit JIA
mencakup definisi dari JIA sendiri karena terjadinya proses peradangan kronik, maka pasien
dengan JIA sistemik memiliki kemungkinan besar untuk menerima terapi dengan menggunakan
kortikosteroid sistemik untuk 6 bulan pertama setelah didiagnosis.
Sebagai JIA sistemik yang merupakan penyakit yang dapat mengancam kehidupan, maka
pemberian kortikosteroid secara luas diberikan untuk memastikan pengobatan tersebut dapat
mengontrol peradangan ekstra articular yang hebat, seperti anemia berat, gangguan pada
pericardial atau pleura, sindrom aktivasi makrofag yang tertunda atau myocarditis. Pada pasien ini
diberikan kortikosteroid dosis tinggi secara intravena dengan regimen metilprednisolon
30mg/kgBB/hari (maksimal dosis 1g/hari) kemudian selama hari ke1-3 diberi sisipan prednisone
oral (1-2mg/kgBB/ hari dengan maksimal dosis 60mg/hari).
Meskipun peran dari agen biologi bertindak terhadap interleukin 1 (IL-1) dan Interleukin 6 (IL-6),
banyak pasien dengan JIA ini yang masih membutuhkan kortikosteroid untuk mendapatkan fase
remisi dari penyakit tersebut. Diantara itu, subtipe dari JIA, memperluas penggunaan dari penyakit
nonbiologi dan biologi untuk memodifikasi anti-rheumatic drugs (DMARDs) yang pada akhirnya
mengurangi penggunaan kortikosteroid. Meskipun begitu, berdasarkan riset yang dilakukan oleh
Zamora-Legoff et al. menyampaikan bahwa penggunaan kortikosteroid pada 27% pasien dengan
JIA masih menggunakan glukokortikoid suntik dari setengah pasien JIA saat melakukan follow
up. Menariknya pada beberapa kasus dengan JIA, terkadang diberikan terapi kortikosteroid oral
dengan dosis yang rendah (prednison 5-10mg/hari) sebagai terapi tambahan untuk pasien dengan
polyarthritis, setelah ditemukannya DMARDs ini lebih sering penggunaan kortikosteroid
diberikan untuk injeksi intraartikular yang memiliki waktu paruh yang lebih lama (Triamcinolone
hexacetonide) pada sendi yang sedang meradang.
Meskipun pada JIA terjadi peradangan monoartikular berespon baik pada pemberian
kortikosteroid intraartikular, pada JIA dengan polyarthritis dapat diberikan metotrexat (MTX)
untuk meningkatkan efek dari anti-inflamasi yang berasal dari kortikosteroid dan hanya muncul
ketika relaps yang terlambat pada sendi yang telah dilakukan pengobatan.

Vasculitis pediatric2
Penyebab yang paling sering terjadinya vasculitis pada anak adalah timbulnya reaksi IgA vasculitis
(Henoch-Schonlein puppura), dengan insiden yang terjadi sekitar 6-24 : 100.000 pada pasien yang
berumur 17 tahun. Non trombositopenia purpura ini terutama yang paling sering diserang adalah
ekstremitas bagian bawah dan bisa juga muncul gejala predominan lainnya yang berhubungan
engan arthritis, peradangan abdomen, atau berkurangnya fungsi ginjal. Meskipun pada umumnya
prognosisnya baik dan dapat remisi secara spontan, 11,3% kasus pada anak-anak membutuhkan
perawatan di rumah sakit. Pada vasculitis ini, penggunaan kortikosteroid dibutuhkan untuk terapi
jika terjadi komplikasi pada perdarahan gastrointestinal, seperti perdarahan gastrointestinal yang
massif, iskemia atau perforasi, hingga intususepsi.
Gangguan fungsi renal ditandai dengan adanya proteinuria dana tau hematuria, merupakan idikasi
untuk diberikan kortikosteroid, keparahan pada gangguan ginjal merupakan factor risiko utama
yang tidak menguntungkan untuk prognosis kedepannya. Bahkan nefritis Henoch Schonlein
memberikan pengaruh terhadap gangguan ginjal menjadi gagal ginjal stadium akhir (end-state
renal failure). Pemberian metilprednisolon oral ataupun intravena biasanya diberikan pada pasien
dengan proteinuria yang berat dan atau gangguan pada filtrasi glomerulus dan dengan proteinuria
yang menetap.
Review terbaru dari Chochrane tahun 2015, tidak menjelaskan efek dari pemberian kortikosteroid
ini dalam mencegah gangguan ginjal pada vasukilits IgA. Khususnya, pada anak-anak dengan
tidak ditemukan atau dengan gangguan ginjal minimal, pemberian kortikosteroid tidak
memberikan pengurangan hasil yang signifikan. Kemudian dua penelitian lainnya
mengungkapkan bahwa efektifitas prednisone pada pasien dengan gangguan nefropati yang berat
(sindrom nefrotik, sindrom nefritik, dan gangguan fungsi ginjal) juga tidak menunjukan hasil yang
signifikan. Akan tetapi studi retrospektif oleh Delbet et al. mendokumentasikan bahwa
penggunaan steroid memberikan hasil yang baik terhadap prognosis pasien dengan nefritis
Henoch-Schonlein purpura dengan gejala proteinuria.
Juvenile Dermatomyositis2
Juvenile dermatomyositis (JDM) merupakan kasus yang paling umum pada pediatric dengan
gejala peradangan pada miopati. Gangguan ini terjadi akibat gangguan pada otot-otot yang dapat
menimbulkan kelemahan otot paroksismal, peningkatan enzim otot dan pada pemeriksaan
radiografi atau biopsy membuktikan terjadi myositis. Kebanyakan pasien akan mengeluhkan
adanya rash pada kulit dan pengisian kapiler yang berubah. Meskipun ini jarang terjadi, penyakit
ini sering menjadi penyebab morbiditas dan mortalitas diantara pasien pediatri dengan penyakit
rematoid dan pen gobatan dengan kortikosteroid masih menjadi terapi utama pada JDM.
Berdasarkan the single hub and access point for pediatric rheumatology in Europe (SHARE)
merekomendasikan pemberian kortikosterois dosis tinggi (oral atau intravena) sebagai regimen
yang menginduksi pada pasien yang pertama kali didiagnosis dengan JDM, dapat juga
dikombinasikan dengan metotrexat (MTX). Pada komplikasi yang menetap seperti kelemahan
tubuh yang berat, berkurangnya cara kerja dari otot-otot pernapasan atau menelan atau penyakit
paru yang progresif, maka dapat diberikan metilprednisolon dosis tinggi dengan pemberian dosis
denyut 20-30mg/kgbb/hari (maksimal dosis 1gr), kemudian diikuti dengan pemberian prednisone
dosis rendah ≤0.2mg/kgbb/hari atau dosis moderate > 0.2 hingga <1mg/kgbb/hari. Pada penelitian
yang dilakukan oleh dokter anak di German pemberian regimen metilprednisolon dapat diberikan
20mg/kgbb/hari setiap hari selama 3 hari setiap 4 minggu atau 6 bulan.
Meskipun setengah dari pasien yang diterapi menggunakan metilprednisolon saja menunjukkan
kemajuan yang baik dalam 6 bulan dengan dosis awal 2mg/kgbb/hari dan diturunkan menjadi lebih
dari 24 bulan, persentasenya meningkat dengan tambahan pemberian MTX atau siklosprorin.
Keamanannya lebih terjamin pada pemberian MTX.
Skelroderma2
Skelroderma merupakan kelompok yang mencakup penyakit peradangan yang sangat langka yang
digambarkan dengan fibrosis, pada konteks peradangan dan vaskulopati. Dua kelompok utama
seperti sistemik juvenile sclerosis (JSSc) dan scleroderma terlokalisasi (LS). Pada usia pediatric
LS sangat sering terjadi.
JSSc merupakan salah satu dari penyakit peradangan yang berat yang mempengarui connective
tissue akibat vasculopati fibrosis dari internal organ. Pada penelitian kohort multicenter memiliki
morbiditas yang signifikan dengan 93% pasien memiliki gangguan multisistemik dan 40% pasien
memiliki gangguan organ. Untuk saat ini belum ada guideline yang tersedia untuk pengobatan
pediatric JSSc, jadi pengobatan yang dilakukan berdasarkan pada pemberian kombinasi dari
immunosupresif agen.
Sebaliknya pada pasien dengan gangguan rematoid penggunaan kortikosteroid tidak
diperkenankan pada pasien ini, karena akan meningkatkan angka kejadian krisis ginjal saat dewasa
jika diterapi dengan kortikosteroid dosis tinggi.
Localized scleroderma (LS) (nama lain dari morphea) sangatlah berbeda dibandingkan dengan
skelrosis sistemik karena tidak adanya fenomena Raynaund, tidak adanya pola auto antibodi yang
spesifik dan tidak ada keterkaitannya dengan organ-organ internal tubuh lainnya. Meskipun begitu,
jika tidak diobati LS ini akan menjadi morbiditas permanen dan gangguan disabilitas. Pengobatan
harus segera dilakukan sejak terjadinya proses peradangan sebelum mengarah ke fibrosis.
Berdasarkan data analisa, pemberian metotrexat menunjukkan efektifitas yang besar dibandingkan
dengan pemberian fototerapi UVA, bahkan pada pasien yang diberi pengobatan MTX ini tidak
menunjukkan risiko tinggi dari LS subtipe lainnya. Menariknya pada kelompok MTX hampir
semua pasien juga mendapatkan terapi kortikosteroid. Beberapa pasien pemberian kortikosteroid
intravena merupakan pengobatan yang terpilih dengan dosis awal 30mg/kgbb/hari
(metilprednisolon)setidaknya diberikan selama 3 hari. Meskipun begitu pemberian kortikosteroid
ini tidak efektif untuk mencegah terjadinya relaps setelah dierhentikan. Protocol yang berlaku saat
ini yaitu menggunakan kombinasi MTX + prednisone.
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE)2
Sistemik Lupus Eritematosus merupakan kelaianan peradangan autoimun yang sifatnya kronik
dengan spectrum yang luas dengan target bermacam-macam organ dan jaringan, dan tidak dapat
diprediksi keparahannya pada masing-masing individu. Kortikosteroid masih menjadi satu-
satunya pengobatan yang diakui.
Pemberian dosis pada SLE tergantung tipe dan keparahannya dilihat dari gejala klinis yang
ditumbulkan. Kortikosteroid topikal dapat diberikan pada lupus kutaneus. Perbedaan preparat
kortikosteroid dapat digunakan, mulai dari dosis yang rendah, moderat dan dosis yang tinggi.
Pilihan tersebut dapat diberikan untuk hasil yang terbaik, digunakan dalam waktu yang singkat
akan mengurangi kemungkinan terjadinya efek samping local seperti atrofi dan telengiektasis.
Pada penggunaan pengobatan topikal seperti krim atau salep merupakan pilihan yang tepat untuk
bagian tubuh. Ketika sabun muka, lotion, dan slousion lainnya dapat digunakan untuk kulit kepala.
Regimen intralesi melalui intravena harus dibatasi dengan dosis 2.5 hingga 10 mg/mL
triamcinolone solution untuk lesi kulit. Dosis medium dari pemberian kortikosteroid oral
(penggunan dosisnya kurang dari 1 mg/kgbb/hari) bisa juga dikombianasi dengan pengobatan yang
lain.
Dosis kortikosteroid yang tinggi >2mg/kgbb/ hari biasanya digunakan untuk gejala yang berat
seperti ditemukannya lesi nekrolisis, anemia hemolitik, leukopeni, dan trombositopenia. Dosis
denyut steroid diberikan 30mg/kgbb maksimal dosis 100mg dari pemberian metilprednisolon
untuk penggunaan 3 hari haru dipertimbangkan pemberiannya pada pasien kegawatan contonya:
perdarahan pulmonal, acute lupus central nervous system yang ditandai dengan psikosis (kejang,
gangguan berjalan, atau myelopati atau serositis). Pemberian dosis tinggi akan menunjukkan
kemajuan klinis pada pasien dengan SLE karena saat glukokortikoid diperkenalkan dalam tubuh
akan menjadi “dua mata pisau” yang saling memberikan efek. Obat-obatan ini pada peggunaannya
yg lama akan menimbulkan infeksi, osteoporosis, disfungsi metabolik, gangguan psikiatri yang
berat, serangan kardiovaskular, katarak, glaucoma, dll. Peggunaan kortikosteroid yang bijaksana
akan berfokus pada dosis minimal yang efektif serta durasi pemberiannya adalah bagian yang
paling penting dari perawatan SLE.
Gangguan Pada Hematologi2
Gangguan autoimun sitopenia merupakan kelompok kelainan yang diakibatkan sel hematopioetik
yang dihancurkan oleh system imun dalam tubuh. Penyakit yang berasal dari garis keturunan ini
digambarkan dengan produksi dari antibosi yang menyerang sel darah merah (autoimmune
hemolytic anemia (AHA)), trombosit (Autoimmune thrombocytopenia (ITP)), dan neutrophil
(Autoimun neutropenia (AIN))meskipun penyakit ini meliputi kombinasi dari beberapa kondisi.
Pada keduanya primer (idiopatik) dan sekunder (akibat keganasan, gangguan sistemik autoimun,
penyakit infeksi, atau penggunaan obat-obatan yang spesifik) pemberian kortikosteroid merupakan
pilihan utama.
Faktanya pemberian kortikosteroid ini merupakan pilihan utama pada setiap kasus AIHA. Terapi
inisial yang diberikan adalah oral prednisone dengan dosis 1-2mg/kgbb/hari, jika pasien dalam
keadaan yang tidak memungkinkan diberikan terpai oral, maka dapat diberikan metilprednisolon
intravena 0.8mg-1.6mg/ kgbb/hari; pada kasus-kasus yang berat dapat diberikan dosis yang lebih
tinggi contohnya metilprednisolon intravena 1-2mg/kgbb setiap 6-8jam selama 1-3 hari.
Terapi steroid pada kasus ITP akut merupakan landasan utama dalam pemberian obat-obatan.
Fungsinya adalah untuk mengembalikan jumlah trombosit yang hilang. Sangat tepat pemberian
kortikosteroid ini untuk mengobati ITP asimptomatik dengan jumlah trombosit <20 x 103/ L karena
jika dibiarkan, akan sangat mudah terjadi risiko perdarahan intracranial, mudah memar, lebih
banyak timbul petekie, perdarahan mukosa hingga sampai mengancam jiwa dengan kondisi ITP
yang parah.

Kesimpulan
Meskipun ada kemajuan dengan imunosupresif baru yang efektif dan obat antiinflamasi dan obat
yang ditargetkan, seperti agen biologis, kortikosteroid masih tetap menjadi terapi landasan
beberapa penyakit pada anak, terutama untuk perawatan akut. Mereka semakin lama digantikan
perawatan waktu sebagai gantinya, karena timbulnya daftar panjang efek samping. Dokter harus
hati-hati untuk mempertimbangkan potensi keuntungan terhadap risiko sebelum meresepkan
kortikosteroid sistemik.
Dokter tidak perlu takut untuk meresepkan kortikosteroid untuk asma dan penyakit radang lainnya
jika diindikasikan dengan baik. Ia seharusnya hanya sadar bahwa kebutuhan itu harus tepat dan
bahwa penggunaan siklus berulang, dengan dosis kumulatif lebih besar dari 1 g / tahun, dapat
mengganggu kesehatan tulang. Pencarian saat ini yang perlu dilakukan adalah untuk bentuk
sintetis dari glukortikoid, yang hanya bekerja pada antiinflamasi dan mekanisme imunomodulator,
tanpa merusak efek samping, adalah harapan saat ini.
Daftar Pustaka
1. AE-C, Dennis M Williams PharmD BCPS. 2018. "Clinical Pharmacology of Corticosteroids."
Respiratory Care, June 2018, Vol. 63 No. 6 655-669.

2. Giovanna Ferrara, Maria Grazia Petrillo, et al. 2019. "Clinical Use and Molecular Action of
Corticosteroid in the Pediatric Age." International Journal od Molecular Sciences, Vol 20 1-25.

3. Johan, Reyshiani. 2015. "Penggunaan Kortikosteroid Topikal yang Tepat." CDK-227/ vol. 42, no.
4, 1-5.

Anda mungkin juga menyukai