Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN KASUS

TUGAS UJIAN

Disusun oleh :

Mochamad Deya Najmuddin


1102015137

Pembimbing:
dr. Dini Adriani Sp.S

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf


Rumah Sakit Bhayangkara Tk.I R.S.Sukanto
Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi
Periode 24 Juni – 3 Agustus 2019
ARAS

Gambar 1. ARAS

Struktur anatomi di otak yang berperan dalam mengatur kesadaran meliputi ascending reticular
activating system (ARAS), talamus, dan korteks hemisfer serebri bilateral. Struktur ARAS
merupakan kumpulan serabut saraf yang berasal dari formasio retikularis di batang otak, terutama
tegmentum paramedian mesensefalon dan pons bagian atas. Serabut-serabut ini menerima input
dari jaras-jaras sensorik umum (raba, nyeri, suhu, posisi) dan khusus (penginderaan), untuk
selanjutnya berproyeksi ke inti-inti di talamus, kemudian ke seluruh korteks serebri.

Korteks hemisfer serebri yang telah teraktivasi ini akan memproses semua informasi sensorik
termasuk informasi dari lingkungan eksternal, menganalisis satu persatu input yang sampai,
sehingga pada akhirnya tersusun suatu kesadaran yang penuh.

Peran korteks serebri sebagai prosesor informasi ini berkaitan dengan fungsi yang diembannya
dalam hal fungsi luhur manusia, misalnya memori, bahasa, dan visuospasial, serta penginderaan.

Twaits Score
Analisa LCS berdasarkan etilogi penyakit
Stadium Meningitis TB
Meningitis tuberkulosa biasanya diawali dengan gejala yang tidak jelas ditandai dengan
anak terlihat sakit, iritabilitas dan apatis (stadium I). Pada anak yang lebih kecil, demam, batuk
dan penurunan kesadaran, fontanel anterior yang membonjol, dan kejang umum tonik-klonik
adalah gejala yang sering ditemukan. Pada anak yang lebih besar, demam yang tidak terlalu tinggi,
mual, muntah, sakit kepala, sakit yang menyerupai flu sering muncul, sehingga riwayat kontak
serumah dengan penderita TB aktif dan persistensi dari keluhan merupakan petunjuk yang sangat
penting. Kaku kuduk bukan merupakan gejala yang paling menonjol. Pada stadium II, gangguan
saraf unilateral atau bilateral terjadi akibat meningitis basiler. Perubahan neuro-optalmologis,
termasuk neuritis retrobulbar, gangguan pandangan, dan lesi dari korioretina sering ditemukan.
Saat penyakit berkembang ke stadium III, pada pasien terjadi penurunan kesadaran, kejang,
papiledema, dan defisit neurologis yang luas. Tuberkulosis berpengaruh terhadap sumsum tulang
belakang secara langsung, melalui penekanan dari abses vertebra, dan produksi dari arachnoiditis.
Banyak pasien dengan gejala hiponatremia, Syndrome Inappropriate Anti Diuretic Hormone
(SIADH), dan yang jarang adalah dengan cerebral salt-wasting syndrome (CSW).

Stadium meningitis TB ditetapkan berdasarkan rekomendasi British Medical Research


Council yang membagi meningitis TB berdasarkan derajat keparahan. Stadium I merupakan fase
prodromal tanpa adanya gejala neurologis yang nyata. Stadium II ditandai dengan adanya rangsang
meningeal dengan sedikit penurunan kesadaran dan kelumpuhan saraf kranial yang ringan.
Stadium III dengan penurunan kesadaran yang berat, kejang, adanya defisit neurologi fokal dan
gerakan involunter.

Penatalaksanaan Meningitis

Penatalaksanaan meningitis mencakup penatalaksanaan kausatif, komplikatif dan suportif.


1. Meningitis Virus
Sebagian besar kasus meningitis dapat sembuh sendiri. Penatalaksanaan umum meningitis virus
adalah terapi suportif seperti pemberian analgesik, antpiretik, nutrisi yang adekuat dan hidrasi.
Meningitis enteroviral dapat sembuh sendiri dan tidak ada obat yang spesifik, kecuali jika terdapat
hipogamaglobulinemia dapat diberikan imunoglonbulin. Pemberian asiklovir masih kontroversial,
namun dapat diberikan sesegera mungkin jika kemungkinan besar meningitis disebabkan oleh
virus herpes. Beberapa ahli tidak menganjurkan pemberian asiklovir untuk herpes kecuali jika
terdapat ensefalitis. Dosis asiklovir intravena adalah (10mg/kgBB/8jam).
Gansiklovir efektif untuk infeksi Cytomegalovirus (CMV), namun karena toksisitasnya hanya
diberikan pada kasus berat dengan kultur CMV positif atau pada pasien dengan
imunokompromise. Dosis induksi selama 3 minggu 5 mg/kgBB IV/ 12 jam, dilanjutkan dosis
maintenans 5 mg/kgBB IV/24 jam.
2. Meningitis Bakteri
Meningitis bakterial adalah suatu kegawatan dibidang neurologi karena dapat menyebabkan
morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Oleh karena itu pemberian antibiotik empirik yang
segera dapat memberikan hasil yang baik.

Age or Predisposing Feature Antibiotics


Age 0-4 wk Amoxicillin or ampicillin plus either cefotaxime or an
aminoglycoside
Age 1 mo-50 y Vancomycin plus cefotaxime or ceftriaxone*
Age >50 y Vancomycin plus ampicillin plus ceftriaxone or cefotaxime
plus vancomycin*
Impaired cellular immunity Vancomycin plus ampicillin plus either cefepime or
meropenem
Recurrent meningitis Vancomycin plus cefotaxime or ceftriaxone
Basilar skull fracture Vancomycin plus cefotaxime or ceftriaxone
Head trauma, neurosurgery, or Vancomycin plus ceftazidime, cefepime, or meropenem
CSF shunt
CSF = cerebrospinal fluid.
*Add amoxicillin or ampicillin if Listeria monocytogenes is a suspected pathogen.

Tabel 2. Rekomendasi Terapi Empirik dengan Meningitis Suspek Bakteri

a. Neonatus-1 bulan
1) Usia 0-7 hari, Ampicillin 50 mg/kgBB IV/ 8 jam atau dengan tambahan
gentamicin 2.5 mg/kgBB IV/ 12 jam.
2) Usia 8-30 hari, 50-100 mg/kgBB IV/ 6 jam atau dengan tambahan gentamicin
2.5 mg/kgBB IV/ 12 jam.
b. Bayi usia 1-3 bulan
1) Cefotaxim (50 mg/kgBB IV/ 6 jam)
2) Ceftriaxone (induksi 75 mg/kg, lalu 50 mg/kgBB/ 12 jam)
Ditambah ampicillin (50-100 mg/kgBB IV/ 6 jam)

Alternatif lain diberikan Kloramfenikol (25 mg/kgBB oral atau IV/ 12 jam)
ditambah gentamicin (2.5 mg/kgBB IV or IM / 8 hours).

c. Bayi usia 3 bulan sampai anak usia 7 tahun


1) Cefotaxime (50 mg/kgBB IV/ 6 jam, maksimal 12 g/hari)
2) Ceftriaxone (induksi 75 mg/kg, lalu 50 mg/kgBB IV/ 12 jam, maksimal 4
g/hari)
d. Anak usia 7 tahun sampai dewassa usia 50 tahun
1) Dosis anak
Cefotaxime (50 mg/kgBB IV/ 6 jam, maksimal 12 g/hari)

Ceftriaxone (induksi 75 mg/kg, lalu 50 mg/kgBB IV/ 12 jam, maksimal 4


g/hari)

Vancomycin – 15 mg/kgBB IV/ 8 jam

2) Dosis dewasa
Cefotaxime – 2 g IV/ 4 jam

Ceftriaxone – 2 g IV/ 12 jam

Vancomycin – 750-1000 mg IV/ 12 jam atau 10-15 mg/kgBB IV/ 12 jam

Beberapa pengalaman juga diberikan rifampisin (dosis anak-anak, 20


mg/kgBB/hari IV; dosis dewasa, 600 mg/hari oral). Jika dicurigai infeksi listeria
ditambahkan ampicillin (50 mg/kgBB IV/ 6 jam).

e. Usia lebih dari atau sama dengan 50 tahun


1) Cefotaxime – 2 g IV/ 4 jam
2) Ceftriaxone – 2 g IV/ 12 jam
Dapat ditambahkan dengan Vancomycin – 750-1000 mg IV/ 12 jam atau 10-15
mg/kgBB IV/ 12 jam atau ampicillin (50 mg/kgBB IV/ 6 jam). Jika dicurigai basil
gram negatif diberikan ceftazidime (2 g IV/ 8 jam).
Selain antibiotik, pada infeksi bakteri dapat pula diberikan kortikosteroid (biasanya
digunakan dexamethason 0,25 mg/kgBB/ 6 jam selama 2-4 hari). meskipun pemberian
kortikosteroid masih kontroversial, namun telah terbukti dapat meningkatkan hasil keseluruhan
pengobatan pada meningitis akibat H. Influenzae, tuberkulosis, dan meningitis pneumokokus.
Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Brouwer dkk., pemberian kortikosteroid dapat
mengurangi gejala gangguan pendengaran dan gejala neurologis sisa tetapi secara umum tidak
dapat mengurangi mortalitas.

Bagan 2. Algoritma Tatalaksana Meningitis Suspek Bakteri pada Orang Dewasa Meningitis
Sifilitika

Terapi pilihan pada meningitis sifilitika adalah penisilin G kristal aqua dengan dosis 2-4
juta unit/hari setiap 4 jam selama 10-14 hari, sering pula diikuti pemberian penisilin G benzatin
IM dengan dosis 2.4 juta unit. Pilihan alternatif adalah penisilin G prokain dosis 2.4 juta unit/hari
IM dan probenesid dosis 500 mg oral setiap 6 jam selama 14 hari, diikuti pemberian penisilin G
benzatin IM dengan dosis 2.4 juta unit. Pasien dengan meningitis sifilitika disertai HIV dapat
diberikan yang serupa. Oleh karena penisilin G merupakan obat pilihan, pasien dengan alergi
penisilin harus menjalani penisilin desensitisasi. Setelah dilakukan pengobatan, pemeriksaan
cairan serebrospinal harus dilakukan secara teratur setiap 6 bulan sekali, hal ini penting dilakukan
untuk melihat keberhasilan terapi.

3. Meningitis Fungal
Pada meningitis akibat kandida dapat diberikan terapi inisial amphotericin B (0.7 mg/kgBB/hari),
biasanya ditambahkan Flucytosine (25 mg/kgBB/ 6 jam) untuk mempertahankan kadar dalam
serum (40-60 µg/ml) selama 4 minggu. Setelah terjadi resolusi, sebaiknya terapi dilanjutkan
selama minimal 4 minggu. Dapat pula diberikan sebagai follow-up golongan azol seperti
flukonazol dan itrakonazol.

4. Meningitis Tuberkulosa
Pengobatan meningitis tuberkulosa dengan obat anti tuberkulosis sama dengan tuberkulosis paru-
paru. Dosis pemberian adalah sebagai berikut :
a. Isoniazid 300 mg/hari
b. Rifampin 600 mg/hari
c. Pyrazinamide 15-30 mg/kgBB/hari
d. Ethambutol 15-25 mg/kgBB/hari
e. Streptomycin 7.5 mg/kgBB/ 12 jam

Atau dapat menggunakan acuan dosis sebagai berikut :

Tabel 3. Dosis Obat Antituberkulosis


Pengobatan dilakukan selama 9-12 bulan. Jika sebelumnya telah mendapat obat
antituberkulosis, pengobatan tetap dilanjutkan tergantung kategori. Pemberian kortikosteroid
diindikasikan pada meningitis stadium 2 atau 3. Hal ini dapat mengurangi inflamasi pada proses
lisis bakteri karena obat anti tuberkulosis. Biasanya dipilih dexamethason dengan dosis 60-80
mg/hari yang diturunkan secara bertahap selama 6 minggu.

5. Meningitis Parasitik
Meningitis karena cacing ditatalaksana dengan terapi suportif seperti analgesia yang adekuat,
terapi aspirasi cairan serebrospinal dan antiinflamasi seperti kortikosteroid. Pemberian obat
antihelmintic dapat menjadi kontraindikasi karena dapat memperparah gejala klinis dan bahkan
menyebabkan kematian sebagai akibat dari peradangan hebat yang merupakan respon terhadap
proses penghancuran cacing.

Meningitis amuba yang diakibatkan oleh Naegleria fowleri adalah fatal. Diagnosis dini dan
pemberian dosis tinggi IV amfoterisin B atau mikonazol dan rifampisin dapat memberikan manfaat
terapi.

Anda mungkin juga menyukai