Anda di halaman 1dari 12

TINJAUAN PUSTAKA

POSTERIOR UVEITIS

I. DEFINISI
Uveitis merupakan proses peradangan yang terjadi pada traktus uvea pada
mata, yaitu meliputi iris, badan siliar, dan koroid.1-4 Secara anatomi, uveitis dapat
diklasifikasikan menjadi uveitis anterior, intermediet, posterior, dan panuveitis.1-3
Uveitis anterior merupakan peradangan yang mengenai bagian depan mata,
tepatnya pada iris dan badan siliar.2,4 Uveitis intermediet dikenal pula sebagai pars
planitis atau cyclitis, yaitu merujuk pada peradangan badan vitreus, selubung
pembuluh darah retina, dan/atau infiltrasi badan siliar, terutama pada bagian pars
plana sehingga sering pula dikenal dengan istilah pars planitis. Sedangkan
panuveitis merupakan peradangan paling berat oleh karena melibatkan seluruh
komponen uvea.2,4
Uveitis posterior, merupakan inflamasi intraokular yang terjadi pada retina
dan/atau koroid yang terletak pada bagian posterior uvea. Oleh karena
keterlibatannya berkaitan dengan retina dan saraf optik, maka kelainan ini dapat
menyebabkan hilangnya penglihatan permanen. Uveitis posterior adalah bentuk
kelainan yang jarang terjadi, namun merupakan jenis uveitis yang paling sering
mengakibatkan kebutaan.2-4 Kejadian uveitis posterior dapat terjadi pada pria dan
wanita dengan perbandingan yang sama. Uveitis posterior dapat terjadi pada hampir
semua usia, namun prevalensinya cenderung lebih sering ditemukan pada rentang
usia di bawah 40 tahun.5

II. ETIOPATOGENESIS
Menurut etiologinya, uveitis posterior dapat diklasifikasikan berdasarkan
penyebab infeksi dan non-infeksi.1,3,5-8 Penyebab infeksi meliputi infeksi bakteri,
jamur, parasit, dan virus.5-8 Beberapa patogen yang diketahui, yaitu Toxoplasma
gondii, Mycobacterium tuberculosis, Treponema pallidum, Bartonella, Herpes
Simplex Virus (HSV), Varicella Zoster Virus (VZV), Cytomegalovirus (CMV), dan
Human Immunodeficiency Virus (HIV).3,4,6-8 Penyebab non-infeksi meliputi
kelainan imunologi, alergi, keganasan, maupun penyebab idiopatik. Beberapa
gangguan yang dikaitkan dengan uveitis posterior adalah koroiditis multifokal,
sindrom Behçet, sindrom Vogt-Koyanagi-Harada, dan sarkoidosis,.3,4,6-8 Meskipun
demikian, patogenesis umum terjadinya uveitis posterior masih belum dapat
dijelaskan.2,9
2.1. Uveitis Posterior Infektif
a. Toksoplasmosis Okuli
Toksoplasmosis okuli disebabkan oleh infeksi protozoa Toxoplasma gondii.
Parasit ini merupakan penyebab tersering retinokoroiditis infektif, dengan
prevalensi yang mencapai 20-29%.2,6 Transmisi dapat terjadi secara maternal
saat kehamilan atau melalui makanan dan air minum yang terkontaminasi
kista parasit ini. Adanya peningkatan tekanan intraokular akibat terjadinya
trabekulitis merupakan salah satu petunjuk penting yang khas pada
toksoplasmosis okuli.1 Tanda khas lain yang dapat ditemukan adalah adanya
bercak berpigmen pada retina yang disertai dengan bercak putih halus pada
satu margin serta dapat ditemukan nekrosis retinokoroiditis fokal yang turut
disertai dengan vitritis, sehingga dapat memberikan gambaran “headlamp in
the fog”.1,6 Penegakan diagnosis secara umum hampir selalu bersifat klinis
dan ditunjang dengan hasil pemeriksaan titer antibodi antitoksoplasma. Titer
anti-toksoplasma imunoglobulin M (IgM) muncul lebih awal pada minggu
pertama infeksi dan kemudian menurun dalam beberapa bulan. Sedangkan
titer anti-toksoplasma imunoglobulin G (IgG) menunjukkan peningkatan
yang mencapai puncaknya sebanyak 4 kali lipat pada 6-8 minggu setelah
infeksi dan tetap dapat terdeteksi seumur hidup.6
b. Toksokariasis Okuli
Toksokariasis okuli disebabkan oleh infeksi larva cacing gelang pada anjing
(Toxocara canis) atau kucing (Toxocara cati). Risiko infeksi pada manusia
lebih tinggi terjadi pada anak-anak oleh karena seringkali tidak sengaja
memiliki kontak langsung dengan tanah ataupun melalui makanan yang
terkontaminasi. Toksokariasis okuli didiagnosis berdasarkan adanya riwayat
kontak dengan hewan peliharaan dan temuan mata yang sugestif. Infeksi
parasit ini mengakibatkan reaksi granulomatosa fokal di banyak organ, salah
satunya mata. Adanya temuan pemeriksaan berupa massa granuloma perifer
dengan ablasio retina traksional merupakan temuan khas pada kelainan ini.
Pemeriksaan titer Toxocara excretory-secretory antigen (TES-Ag) sangat
spesifik dilakukan terhadap kecurigaan infeksi toksocara. Peningkatan IgE
menunjukkan infeksi toksocara akut atau peradangan progresif. Sedangkan
peningkatan kadar IgG mengkonfirmasi infeksi di masa lampau ataupun
infeksi yang sedang berlangsung dengan peradangan minimal.1,6
c. Tuberkulosis Okuli
Tuberkulosis (TB) okuli merupakan kondisi tuberkulosis ekstrapulmoner dan
memiliki manifestasi klinis yang bervariasi. Infeksi TB disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium tuberculosis. Mata merupakan salah satu organ yang
turut dapat terinfeksi patogen ini dan perjalanan klinisnya cenderung
berlangsung kronis. Pada segmen posterior mata, TB okuli dapat
bermanifestasi sebagai tuberkel koroid atau tuberkuloma, abses subretinal,
serpiginous choroiditis (SC), atau vaskulitis retina. Presentasi paling umum
dari uveitis tuberkulosis adalah koroiditis diseminata, dengan gambaran
patologis yang tampak berupa lesi pada area koroid dengan diameter 0,5-3
milimeter, berwarna kuning-keabuan dan batas yang tegas. Lesi tersebut
dapat pula disertai dengan terjadinya ablasio retina berat ataupun abses
subretinal. Penegakan diagnosis didasarkan pada manifestasi klinis lokal,
gejala sistemik, serta hasil pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan darah
lengkap, dahak tiga waktu, tes Mantoux, dan pencitraan radiologis
merupakan penunjang yang dapat secara rutin dilakukan pada kasus yang
diduga TB okuli.6
d. Sifiis Okuli
Sifilis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram negatif
Treponema pallidum. Infeksi ini menyebar melalui kontak seksual, transfusi
darah, dan secara vertikal dari ibu melalui plasenta ke janin yang
dikandungnya. Uveitis posterior akut yang disebabkan oleh sifilis ditandai
oleh adanya lesi soliter berukuran besar pada bagian subretinal, berwarna
kuning pucat atau abu-abu keputihan, yang disertai dengan central fading dan
pola hiperpigmentasi kasar. Sifilis merupakan infeksi bakteri intraokular
yang paling umum dan dapat muncul berulang dalam berbagai bentuk,
terutama apabila disertai dengan komplikasi infeksi HIV/AIDS. Sekitar 1-2%
pasien terinfeksi HIV ditemukan memiliki sifilis okuli.6
e. Viral Retinitis
Kelompok virus herpes merupakan penyebab umum terjadinya uveitis
posterior yang disebabkan oleh infeksi virus. Manifestasinya pun bervariasi,
seperti acute retinal necrosis (ARN), progressive outer retinal necrosis
(PORN), dan CMV retinitis. Pada ARN, infeksi dapat ditandai oleh trias
klinis klasik, yaitu vitritis derajat sedang-berat, arteritis, dan nekrosis retina
perifer. Pada PORN, infeksi paling sering disebabkan oleh VZV dan terjadi
secara khusus hanya pada inang imunokompromis. Adapun temuan patologis
khas yang dapat ditemukan adalah gambaran retina yang berwarna putih-
kekuningan pucat, kerusakan pembuluh darah retina, dan vitritis yang dikenal
dengan istilah “cracked mud appearance”. Selanjutnya adalah CMV retinitis
yang ditandai dengan munculnya lesi “margherita pizza” pada retina berupa
titik putih granular dengan jumlah yang bervariasi, dan memiliki ciri khas
untuk membesar dan menyatu dari waktu ke waktu mengikuti arkade
vaskular, sehingga mengakibatkan arkuata atau zona segitiga infeksi. Sama
seperti PORN, pasien dengan CMV retinitis menunjukkan tanda definitif
inang imunokompromis, yang biasanya mengarah pada infeksi HIV/AIDS.
Apabila temuan patologis tersebut ditemukan, maka pemeriksaan serologis
untuk mengetahui infeksi HIV merupakan suatu indikasi bagi pasien.1,6
2.2. Uveitis Posterior Non-Infektif
a. Koroiditis Multifokal
Koroiditis multifokal merupakan gangguan peradangan yang ditandai dengan
timbulnya lesi multipel pada lapisan koroid. Gangguan ini diketahui
merupakan salah satu manifestasi uveitis posterior yang sering muncul,
dengan prevalensi 17,7%.8 Lesi tersebut dapat berupa titik-titik atau bintik-
bintik sangat mudah dikenali dan biasanya merupakan campuran dari lesi
berpigmen yang lebih lama dan lesi putih yang lebih baru, berukuran lebih
kecil dibandingkan dengan diskus optikus, dan biasanya terletak pada fundus
di luar makula. Timbulnya lesi juga dapat disertai dengan pembengkakan
diskus optikus.1
b. Sarkoidosis Okuli
Sarkoidosis merupakan gangguan peradangan multisistemik yang diduga
terjadi akibat respon imun berlebih terhadap berbagai antigen. Pada tubuh,
respon yang terjadi akibat proses tersebut menyebabkan timbulnya benjolan-
benjolan yang dikenal sebagai granuloma. Granuloma biasanya muncul pada
paru-paru, kulit, atau kelenjar getah bening, namun tidak jarang penyakit ini
juga menyerang organ lain, seperti mata. Uveitis anterior dan posterior
merupakan manifestasi gangguan mata yang paling sering pada sarkoidosis.6
Gambaran patologis mata yang dapat ditemukan pada sarkoidosis okuli
sedikit berbeda dengan kondisi lain, oleh karena pola bercak yang timbul
sangat bervariasi. Beberapa manifestasi yang dapat muncul, yaitu korioretinis
berupa bercak-bercak pada bagian perifer dan scarring yang menyerupai
multifokal koroiditis, granuloma koroidal berupa timbulnya nodul kepucatan
yang dapat disertai dengan penimbunan cairan subretina, serta granuloma
pada kepala saraf optik berupa timbulnya nodul keputihan tepat pada sisi saraf
optik.1 Pada pasien uveitis posterior yang ditemukan dengan temuan tersebut,
sebaiknya ditanyakan juga mengenai gejala yang berkaitan dengan masalah
pernapasan, persendian dan kulit. Selanjutnya dapat pula dilakukan
pemeriksaan radiologis (x-ray atau CT-scan dada) dan pemeriksaan kadar
serum angiotensin converting enzyme (ACE).1,4
c. Sindrom Behçet
Sindrom Behçet merupakan suatu penyakit langka akibat peradangan yang
timbul pada pembuluh darah di seluruh tubuh, ditandai dengan adanya ulkus
aptosa, ulkus genital, dan mata merah.4 Manifestasi patologis uveitis posterior
yang timbul adalah terjadinya vaskulitis dengan gambaran “sheating” atau
timbulnya lapisan keputihan pada pembuluh darah yang berasal dari sel-sel
inflamasi dan protein yang berkumpul akibat mediator inflamasi menembus
blood-retinal barrier. Selain itu, dapat pula ditemukan adanya oklusi vena
retina cabang.1,4 Untuk menunjang diagnosis, pada sindrom Behçet juga dapat
dilakukan pemeriksaan tambahan untuk memperoleh hasil positif terhadap tes
Pathergy dan pemeriksaan penanda genetik human leukocyte antigen (HLA)-
B51.4
d. Sindrom Vogt-Koyanagi-Harada (VKH)
Sindrom VKH merupakan peradangan pada jaringan yang mengandung
melanosit seperti uvea, telinga, dan meninges. Kelainan ini sering terjadi pada
ras Hispanik dan Jepang serta berhubungan dengan HLA-DR1 dan HLA-
DR4. Gejalanya berupa uveitis, kelainan kulit, gangguan pendengaran dan
sistem saraf. Uveitis anterior granulomatosa terjadi di kedua mata dan uveitis
posterior memberikan gambaran inflamasi multifokal dengan infiltrasi difus
pada koroid. Gejala lain yang dapat ditemukan, yaitu nodul dalen fuchs,
vitritis, papilitis, ablasio retina eksudatif, depigmentasi fundus dan limbus
(Sugiura’s sign). Kelainan kulit dapat bermanifestasi sebagai alopesia dan
vitiligo, sedangkan gangguan pendengaran dapat berupa tinitus, vertigo, dan
tuli. Gangguan saraf berupa paresis nervus kranial dan ensefalopati juga dapat
ditemukan.10

III. DIAGNOSIS
3.1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Uveitis posterior merupakan peradangan pada koroid dan retina yang
biasanya terjadi sebagai perluasan dari kelainan sistemik yang mendasari.1-3
Manifestasi klinis yang timbul biasanya tidak sulit menunjukkan diagnosis klinis,
namun mencari diagnosis etiologi dari uveitis posterior merupakan masalah utama
yang harus dicermati.3 Dengan demikian, langkah penting dalam mendiagnosis
uveitis posterior adalah menentukan penyebab dasar dalam perjalanan klinis uveitis
posterior.
Anamnesis dan pemeriksaan mata merupakan tahap awal yang harus
dikerjakan untuk menegakkan diagnosis uveitis posterior. Uveitis posterior
biasanya memiliki onset yang perlahan, namun dapat pula terjadi sebagai serangan
akut.3,5 Gejala umum yang dapat ditemukan pada uveitis posterior adalah
penurunan tajam penglihatan atau penglihatan yang kabur, gangguan lapang
pandang atau fotopsia, dan visual floaters yang biasanya tidak diikuti dengan nyeri,
mata merah, maupun fotofobia.1-3
Untuk menemukan penyebab dasar pada kasus uveitis posterior, dapat
ditanyakan riwayat penyakit, gejala, atau paparan faktor risiko pada pasien. Sebagai
contoh, pada kecurigaan infeksi HIV, sifilis, dan sindrom Behçet dapat ditanyakan
riwayat kontak seksual, penggunaan alat kontrasepsi saat berhubungan seksual, dan
gejala yang berkaitan, seperti ulkus genital, wasting syndrome, dan lainnya. Pada
kecurigaan infeksi toksoplasmosis, dapat ditanyakan riwayat paparan terhadap
hewan pembawa. Pada kecurigaan infeksi tuberkulosis, dapat ditanyakan adanya
paparan kontak dari lingkungan sekitar pasien serta gejala yang menyertai,
misalnya batuk kronis, demam, dan penurunan berat badan.1,3,4,6
Langkah berikutnya yang dapat dikerjakan adalah dengan melakukan
pemeriksaan fisik mata pada pasien. Pemeriksaan slit-lamp dapat digunakan untuk
memperlihatkan adanya injeksi siliar dan episklera, skleritis, edema kornea,
presipitat keratik, bentuk dan jumlah sel di bilik mata, hipopion, dan kekeruhan
lensa.1,8 Temuan tersebut merupakan beberapa tanda peradangan pada bilik mata
depan, sehingga ditemukannya tanda tersebut dapat menyingkirkan kemungkinan
uveitis posterior dan lebih merujuk pada diagnosis uveitis anterior atau panuveitis.3

Gambar 1. Gambaran Funduskopi pada Koroiditis: dapat ditemukan lesi peradangan pada sisi
nasal makula berupa bercak putih kekuningan dengan batas tidak tegas. 11

Pemeriksaan funduskopi dapat dilakukan untuk mengetahui kelainan di


bagian posterior mata. Dengan demikian, beberapa tanda yang dapat membantu
penegakan diagnosis uveitis posterior dapat ditunjukkan apa yang ditemukan pada
pemeriksaan funduskopi.1 Pemeriksaan funduskopi juga dapat digunakan untuk
mempermudah penentuan diagnosis etiologi dari uveitis posterior yang terjadi.
Pendekatan yang dapat dilakukan pertama adalah menentukan keterlibatan struktur
mata yang mengalami peradangan, apakah merupakan suatu koroiditis atau
retinitis. Kemudian dapat ditinjau apakah distribusi lesi bersifat fokal atau
multifokal. Keterlibatan saraf optikus (neuritis atau edema saraf optikus) dan
pembuluh darah (vaskulitis) juga penting dicari untuk dapat menentukan diagnosis
banding.1,6 Rangkuman temuan pemeriksaan funduskopi dan arah penegakan
diagnosis etiologi terangkum pada tabel 1.

Tabel 1. Diagnosis Etiologi Uveitis Posterior dan Temuan Klinisnya6


Diagnosis Neuritis/Edema
Lesi fokal Lesi multifokal Vaskulitis
Etiologi Saraf Optikus
Toksoplasmosis
okuli ✓ ✓ ✓
Toksokariasis
okuli ✓ ✓
Sifilis okuli ✓ ✓ ✓
Viral retinitis ✓ ✓ ✓
Sarkoidosis ✓ ✓ ✓
Sindrom Behçet ✓ ✓ ✓
Sindrom VKH ✓ ✓

3.2. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Optical Coherence Tomography (OCT) merupakan penunjang
non-invasif yang dapat dikerjakan untuk memperlihatkan adanya edema makula,
membran epiretinal, dan sindrom traksi vitreomakula. Pada keadaan media yang
keruh, seperti pada katarak, vitritis dan perdarahan vitreus, dapat pula dilakukan
pemeriksaan dengan menggunakan Ultrasonography B-scan (USG) atau spectral-
domain OCT. Pemeriksaan USG juga dapat membantu membedakan uveitis
posterior yang disebabkan oleh neoplasma ataupun abses. Pemeriksaan ini dapat
pula bermanfaat untuk mengevaluasi ketebalan koroid dan mengetahui penebalan
ruang tenon yang ditandai dengan “T-sign” yang merupakan tanda patognomonis
pada skleritis posterior.3,5 Adapun ketebalan koroid normal adalah 1,1 milimeter.6,7
Fundus Fluorescence Angiography (FFA) merupakan pemeriksaan fotografi
fundus yang dilakukan dengan adanya injeksi zat pewarna natrium fluoresen secara
intravena. Pemeriksaan ini dapat dikerjakan untuk menilai sirkulasi pembuluh
darah retina dan koroid serta mengetahui secara detail epitel pigmen retina.
Pemeriksaan FFA juga berguna untuk mendeteksi keberadaan, jenis, dan
progresivitas neovaskularisasi koroid.3,6,7 Alternatif lainnya, dapat pula dilakukan
pemeriksaan Indocyanine Green Angiography (ICG). Pemeriksaan ini sangat
berguna dalam deteksi, identifikasi, dan tindak lanjut dari entitas dengan lesi koroid
yang lebih dalam, di mana FFA biasanya tidak dapat mengkonfirmasi sepenuhnya.6
Pemeriksaan penunjang laboratorium, seperti pemeriksaan darah perifer, laju
endap darah, serologi, urinalisis, dan antinuclear antibody dapat dikerjakan untuk
menentukan diagnosis etiologi. Pada uveitis posterior yang dicurigai disebabkan
oleh infeksi tuberkulosis, pemeriksaan penunjang radiologis dapat dikerjakan.4,7
Namun demikian, pada uveitis ringan dan pada kasus trauma, pemeriksaan
penunjang tersebut biasanya tidak dikerjakan oleh karena tidak cukup memberikan
manfaat dalam penegakan diagnosis.3,4

IV. TATALAKSANA
4.1. Medikamentosa
Tatalaksana uveitis posterior memiliki prinsip yang bertujuan untuk menekan
reaksi peradangan, mencegah dan memperbaiki kerusakan struktur mata,
mempertahankan fungsi penglihatan, dan mengurangi gejala yang timbul. Reaksi
peradangan dapat dihambat dengan memberikan obat-obatan kortikosteroid
topikal, antara lain prednisolon 0,5%, prednisolon asetat 1%, betametason 1%,
deksametason 0,1%, dan fluorometolon 0,1%. Namun, penggunaan jangka panjang
kortikosteroid harus dipertimbangkan karena dapat menimbulkan risiko
peningkatan tekanan intraokular (glaukoma), katarak, dan risiko infeksi, sehingga
penggunaannya harus diawasi dengan cermat. Injeksi kortikosteroid periokular
dapat dilakukan untuk menghindari efek samping penggunaan steroid jangka
panjang dan pada kasus yang membutuhkan depo steroid. Sedangkan penggunaan
kortikosteroid sistemik dapat diberikan apabila uveitis dengan derajat yang cukup
berat atau apabila peradangan terjadi secara bilateral.3,5,6
Pada kasus peradangan yang tidak membaik dengan penggunaan
kortikosteroid, maka tatalaksana dapat dilanjutkan dengan pemberian agen
imunosupresan. Pemberian imunosupresan juga merupakan lini pertama pada
sindrom Behçet oleh karena dapat mengancam jiwa. Adapun agen imosupresan
tersebut terdiri dari golongan antimetabolit (azatioprin, metotreksat, dan
mikofenolat mofenil), supresor sel T (siklosporin dan tacrolimus) serta sitotoksik
(siklofosfamid dan klorambusil).3,6
Apabila pada pasien ditemukan gejala nyeri, dapat dipertimbangkan
pemberian golongan obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS) dan
midriatikum/siklopegik. Pemberian midriatikum bertujuan untuk merelaksasikan
otot-otot iris dan badan siliar, sehingga dapat mengurangi nyeri dan mempercepat
penyembuhan. Selain itu, midriatikum sangat bermanfaat untuk mencegah
terjadinya sinekia posterior atau melepaskan sinekia apabila telah terjadi.
Midriatikum yang biasanya digunakan adalah sulfas atropin 0,5 % dan 1% dalam
bentuk salep atau tetes mata, dan diberikan sebanyak 2-3 kali sehari. Pada kasus
alergi atropin, dapat diganti dengan homatropin 0,5-2% atau siklopentolat 0,5-2%
dalam bentuk tetes mata, dan diberikan sebanyak 3-4 kali sehari. Siklopegik dapat
di lanjutkan sampai 2-3 minggu setelah mata tenang untuk mencegah relaps yang
mungkin terjadi..3,6
Tatalaksana utama lain adalah pengobatan spesifik yang ditujukan untuk
mengobati penyebab dasar dari uveitis posterior. Beberapa pilihan terapi spesifik
berdasarkan etiologi dirangkum pada tabel 2.
Tabel 2. Tatalaksana Uveitis Posterior berdasarkan Etiologinya1,3,6,7,12
Diagnosis Etiologi Pilihan Terapi Medikamentosa
Toksoplasmosis okuli Pirimetamin (hari 1: 100 mg, hari 2: 75 mg, hari 3: 50 mg,
selanjutnya 25 mg/hari) + Sulfadiazine 4 x 1 gram + Asam folat 15
mg 2 kali/minggu, selama 4-6 minggu
Alternatif:
1. Klindamisin 4 x 300 mg, selama 6 minggu
2. Kotrimoksasol 2 x 960 mg, selama 6 minggu
3. Spiramisin 2 x 1 gram
4. Azitromisin 1 gram dilanjutkan dengan 1 x 500 mg, selama 3
minggu
5. Atovaquone 4 x 750 mg, selama 4-6 minggu
Toksokariasis okuli Albendazole 2 x 400 mg, selama 7-14 hari
Alternatif:
1. Tiabendazole 50 mg/kgBB/hari selama 3-7 hari
2. Diethylcarbamazine (DEC) 3-4 mg/kgBB/hari selama 21 hari
Tuberkulosis okuli Obat fixed dosed combination (FDC) yang terdiri dari isoniazid,
rifampisin, pirazinamid, dan etambutol
Sifilis okuli Penisilin G 2-5 juta unit IV, setiap 4 jam, selama 10-14 hari
Alternatif:
Penisilin G prokain 2,4 juta unit IM + Probenecid 4 x 500 mg PO
selama 10-14 hari
Viral retinitis Asiklovir 15 mg/kgBB/hari terbagi 3 dosis, selama 7-21 hari
Alternatif:
1. Valasiklovir 3 x 1 gram
2. Valgansiklovir
3. Gansiklovir 5 mg/kgBB/hari terbagi 2 dosis, selama 2
minggu
4. Foskarnet IV
5. Sidofovir
4.2. Non-Medikamentosa
Pembedahan dapat dipertimbangkan pada kasus uveitis yang sudah teratasi,
namun telah mengalami masalah okular permanen yang disebabkan oleh
komplikasi, seperti katarak, glaukoma sekunder, dan ablasio retina.1,13 Adapun
tujuan operasi adalah untuk memperbaiki fungsi penglihatan pasien.1 Kekeruhan
vitreus dapat ditemukan pada uveitis posterior, sehingga tindakan vitrektomi dapat
dilakukan untuk memperbaiki tajam penglihatan apabila kekeruhan tetap terjadi
meskipun pengobatan dengan medikamentosa telah dilakukan.3

V. PROGNOSIS
Prognosis uveitis posterior lebih buruk dibandingkan dengan uveitis jenis
lainnya, oleh karena dapat menurunkan tajam penglihatan dan menimbulkan
kebutaan apabila tidak dilakukan tatalaksana dengan baik.1 Menurut Dick dkk.,
risiko komplikasi, seperti glaukoma, katarak, gangguan penglihatan, kebutaan, dan
ablasio retina lebih sering ditemukan pada pasien dengan uveitis posterior.13

DAFTAR PUSTAKA
1. Williams GS, Westcott M. Practical uveitis: understanding the grape. Boca
Raton: CRC Press; 2018.
2. Edwar L. Uveitis. In: Sitorus RS, Sitompul R, Widyawati S, Bani AP. Buku
ajar oftalmologi. 1st Ed. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2017.
3. Sitompul R. Diagnosis dan penatalaksanaan uveitis dalam upaya mencegah
kebutaan. E-Jurnal Kedokteran Indonesia. 2016;4(1):60–70.
4. Harman LE, Margo CE, Roetzheim RG. Uveitis: the collaborative
diagnostic evaluation. Am Fam Physician. 2014;90(10):711–16.
5. National Organization for Rare Disorders. Posterior uveitis. In: Rare
Disease Database [Internet]. 2005. Accessed on: December 2nd 2019.
Available from: https://rarediseases.org/rare-diseases/posterior-uveitis/
6. Sharma P, Majumder PD. Diagnosis and management of posterior uveitis.
Current Indian Eye Research. 2015;2(2):42–51.
7. Sudharshan S, Ganesh SK, Biswas J. Current approach in the diagnosis and
management of posterior uveitis. Indian J Ophthalmol. 2010;58(1):29–43.
8. Barisani-Asenbauer T, Maca SM, Mejdoubi L, Emminger W, Machold K,
Auer H. Uveitis- a rare disease often associated with systemic diseases and
infections- a systematic review of 2619 patients. Orphanet J Rare Dis.
2012;7(57):1–7.
9. Duplechain A, Conrady CD, Patel BC, Baker S. Uveitis. [Updated 2019 Jun
3]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing;
2019. Accessed on: December 2nd 2019. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK540993/
10. Kiss S, Damico FM, Young LH. Ocular manifestations and treatment of
syphilis. Semin Ophthalmol. 2015;20(3):161–7.
11. Li J, Li Y, Li H, Zhang L. Imageology features of different types of
multifocal choroiditis. BMC Ophthalmology. 2019;19(39):1–7.
12. Ahn SJ, Ryoo NK, Woo SJ. Ocular toxocariasis: clinical features, diagnosis,
treatment, and prevention. Asia Pac Allergy. 2014;4(3):134–141.
13. Dick AD, Tundia N, Sorg R, Zhao C, Chao J, Joshi A, et al. Risk of ocular
complications in patients with noninfectious intermediate uveitis, posterior
uveitis, or panuveitis. Ophthalmology. 2016;123(3):655–62.

Anda mungkin juga menyukai