Anda di halaman 1dari 26

Makalah Farmasi

BELL’S PALSY

DISUSUN OLEH :
Bagas Muhammad
G991906003
Periode : 16 – 29 Desember 2019

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI SURAKARTA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Bell palsy, disebut juga idiopathic facial paralysis (IFP), adalah umumnya terjadi pada paralisis
wajah unilateral yang paling sering terjadi didunia salah satu kelainan umum neurologi nervus cranial.
Bell palsyini terjadi secara bertahap dan tidak diketahui penyebabnya. Bell palsy adalah kelumpuhan
perifer pada saraf wajah yang menyebabkan kelemahan otot pada satu sisi wajah. Pasien yang terkena
kelumpuhan wajah unilateral timbul selama satu hingga tiga hari dengan keterlibatan dahi dan tidak
ada kelainan neurologis lainnya.

Di Indonesia, insiden Bell’s palsy secara pasti sulit ditentukan. Data yang dikumpulkan dari 4
buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bell’s palsy sebesar 19,55 % dari seluruh kasus
neuropati dan terbanyak pada usia 21 – 30 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita daripada pria.
Tidak didapati perbedaan insiden antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita
didapatkan adanya riwayat terpapar udara dingin atau angin berlebihan.

Di USA insiden bell palsy terjadi 23 kasus per 100.000 penduduk.insiden tertinggi di Negara
jepang pada tahun 1986 dan insiden terkecil di swedia pada tahun 1971. Secara umum insiden yang
terjadi 15-30 kasus per 100.000 populasi. Pada pasien dengan paralisis unilateral akut sebanyak 60-
75% kasus, dan dengan sisi kanan yang terkena sebanyak 63% kasus.dan kasus kekambuhan sekitar
4-14%. Perempuan muda berusia 10-19 tahun lebih mudah terkena bell palsy daripada laki-laki dalam
kelompok usia yang sama.Sebuah dominasi sedikit lebih tinggi diamati pada pasien yang lebih tua
dari 65 tahun (59 kasus per 100.000 orang), dan tingkat insiden lebih rendah diamati pada anak-anak
dari usia 13 tahun (13 kasus per 100.000 orang). Insiden terendah ditemukan pada orang muda dari
10 tahun, dan insiden tertinggi adalah pada orang berusia 60 tahun atau lebih. Usia puncak adalah
antara 20 dan 40 tahun. Penyakit ini juga terjadi pada orang tua berusia 70-80 tahun.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Bell’s palsy adalah paralisis wajah unilateral yang timbul mendadak akibat lesi nervus fasialis,
dan mengakibatkan distorsi wajah yang khas. Dengan kata lain Bell’s palsy merupakan suatu kelainan
pada saraf wajah yang menyebabkan kelemahan atau kelumpuhan tiba-tiba pada otot di satu isi
wajah1. Istilah Bell’s palsy biasanya digunakan untuk kelumpuhan nervus VII jenis perifer yang
timbul secara akut2. Kebanyakan orang belum mengetahui nama dari panyakit ini. Adalah Sir Charles
Bell seorang ilmuan dari Skotlandia yang pertama kali menemukan penyakit ini pada abad ke-19.

B. Etiologi
Penyebab dari penyakit ini belum diketahui secara pasti tetapi dapat diduga bahwa penyebab dari
penyakit ini adalah karena saraf yang mengendalikan otot wajah membengkak, terinfeksi, atau
mampat karena aliran darah berkurang. Ada pula para ahli yang menyatakan bahwa pada kasus Bell’s
palsy terjadi proses inflamasi akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen
stilomastoideus.
Penyebab kelumpuhan saraf fasialis bisa disebabkan oleh kelainan kongenital, infeksi, tumor,
trauma, gangguan pembuluh darah, idiopatik, dan penyakit-penyakit tertentu.

1. Kongenital
Kelumpuhan yang didapat sejak lahir (kongenital) bersifat irreversible dan terdapat bersamaan
dengan anomaly pada telinga dan tulang pendengaran.1 Pada kelumpuhan saraf fasialis bilateral dapat
terjadi karena adanya gangguan perkembangan saraf fasialis dan seringkali bersamaan dengan
kelemahan okular (sindrom Moibeus).
2. Infeksi
Proses infeksi di intraKranial atau infeksi telinga tengah dapat menyebabkan kelumpuhan saraf
fasialis. Infeksi intracranial yang menyebabkan kelumpuhan ini seperti pada Sindrom Ramsay-Hunt,
Herpes otikus. Infeksi Telinga tengah yang dapat menimbulkan kelumpuhan saraf fasialis adalah
otitis media supuratif kronik (OMSK ) yang telah merusak Kanal Fallopi.
3. Tumor
Tumor yang bermetastasis ke tulang temporal merupakan penyebab yang paling sering
ditemukan. Biasanya berasal dari tumor payudara, paru-paru, dan prostat. Juga dilaporkan bahwa
penyebaran langsung dari tumor regional dan sel schwann, kista dan tumor ganas maupun jinak dari
kelenjar parotis bisa menginvasi cabang akhir dari saraf fasialis yang berdampak sebagai bermacam-
macam tingkat kelumpuhan. Pada kasus yang sangat jarang, karena pelebaran aneurisma arteri karotis
dapat mengganggu fungsi motorik saraf fasialis secara ipsilateral.
4. Trauma
Kelumpuhan saraf fasialis bisa terjadi karena trauma kepala, terutama jika terjadi fraktur basis
cranii, khususnya bila terjadi fraktur longitudinal. Selain itu luka tusuk, luka tembak serta penekanan
forsep saat lahir juga bisa menjadi penyebab. Saraf fasialis pun dapat cedera pada operasi mastoid,
operasi neuroma akustik/neuralgia trigeminal dan operasi kelenjar parotis.
5. Gangguan pembuluh darah
Gangguan pembuluh darah yang dapat menyebabkan kelumpuhan saraf fasialis diantaranya
thrombosis arteri karotis, arteri maksilaris dan arteri serebri media.
6. Idiopatik
Parese Bell merupakan lesi nervus fasialis yang tidak diketahui penyebabnya atau tidak
menyertai penyakit lain. Pada parese Bell terjadi edema fasialis. Karena terjepit di dalam foramen
stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan tipe LMN yang disebut sebagai Bell’s Palsy.
7. Penyakit-penyakit tertentu
Kelumpuhan fasialis perifer dapat terjadi pada penyakit-penyakit tertentu, misalnya DM,
hepertensi berat, anestesi lokal pada pencabutan gigi, infeksi telinga tengah, sindrom Guillian Barre.
Bell’s palsy dapat terjadi pada pria atau wanita segala usia dan disebabkan oleh kerusakan saraf
fasialis yang disebabkan oleh radang, penekanan atau pembengkakan. Penyebab kerusakan ini tidak
diketahui dengan pasti, kendati demikian para ahli meyakini infeksi virus Herpes Simpleks sebagai
penyebabnya. Sehingga terjadi proses radang dan pembengkakan saraf. Pada kasus yang ringan,
kerusakan yang terjadi hanya pada selubung saraf saja sehingga proses penyembuhannya lebih cepat,
sedangkan pada kasus yang lebih berat dapat terjadi jeratan pada kanalis falopia yang dapat
menyebabkan kerusakan permanen serabut saraf.
Faktor-faktor yang diduga berperan menyebabkan BP antara lain: sesudah bepergian jauh dengan
kendaraan, tidur di tempat terbuka, tidur di lantai, hipertensi, stres, hiperkolesterolemi, diabetes
mellitus, penyakit vaskuler, gangguan imunologik dan faktor genetik.

C. Patofisiologi
Bell’s Palsy merupakan lesi nervus fasialis yang terjadi secara akut,yang tidak diketahui
penyebabnya atau menyertai penyakit lain. Teori yang dianut saat ini yaitu teori vaskuler. Pada Bell’s
Palsy terjadi iskemi primer n. fasialis yang disebabkan oleh vasodilatasi pembuluh darah yang
terletak antara n. fasialis dan dinding kanalis fasialis. Sebab vasodilatasi ini bermacam-macam, antara
lain: infeksi virus, proses imunologik dll. Iskemi primer yang terjadi menyebabkan gangguan
mikrosirkulasi intraneural yang menimbulkan iskemi sekunder dengan akibat gangguan fungsi n.
fasialis. Terjepitnya n. fasialis di daerah foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan tipe
LMN yang disebut sebagai Bell’s Palsy. Perubahan patologik yang ditemukan pada n. fasialis sebagai
berikut:
1. Tidak ditemukan perubahan patologik kecuali edema.
2. Terdapat demielinisasi atau degenerasi mielin.
3. Terdapat degenerasi akson.
4. Seluruh jaringan saraf dan jaringan penunjang rusak.
Perubahan patologik ini bergantung kepada beratnya kompresi atau strangulasi terhadap Nv.
VII.

Gambar 1. Nervus Facialis

D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik Bell’s Palsy khas dengan memperhatikan riwayat penyakit dan gejala
kelumpuhan yang timbul mendadak. Perasaan nyeri, pegal, linu dan rasa tidak enak pada telinga atau
sekitamya sering merupakan gejala awal yang segera diikuti oleh gejala kelumpuhan otot wajah
berupa :
- Dahi tidak dapat dikerutkan atau lipat dahi hanya terlihat pada sisi yang sehat.
- Kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata pada sisi yang lumpuh (lagophthalmus).
- Gerakan bola mata pada sisi yang lumpuh lambat, disertai bola mata berputar ke atas bila
memejamkan mata, fenomena ini disebut Bell's sign.
- Sudut mulut tidak dapat diangkat, lipat nasolabialis mendatar pada sisi yang lumpuh dan
mencong ke sisi yang sehat.
- Selain gejala-gejala diatas, dapat juga ditemukan gejala lain yang menyertai antara lain :
gangguan fungsi pengecap, hiperakusis dan gangguan lakrimasi.

Gambar 2. Gejala bell’s palsy berhubungan dengan lokasi lesi

E. Diagnosis
Umumnya diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik adanya kelumpuhan n. fasialis
perifer diikuti pemeriksaan untuk menyingkirkan penyebab lain dad kelumpuhan n. fasialis
perifer. Beberapa pemeriksaan penunjang yang penting untuk menentukan letak lesi dan derajat
kerusakan n. Fasialis.
1. Anamnesis
Pasien biasa mengeluhkan; perasaan nyeri, pegal, linu dan rasa tidak enak pada telinga atau
sekitamya sering merupakan gejala awal yang segera diikuti oleh gejala kelumpuhan otot wajah
yang terjadi secara mendadak.
2. Pemeriksaan fisik
a. Pemeriksaan saraf motorik
Terdapat 10 otot-otot utama wajah yang bertanggung jawab untuk terciptanya mimic dan
ekspresi wajah seseorang. Adapun urutan ke-10 otot-otot tersebut dari sisi superior adalah
sebagai berikut :
- M. Frontalis : diperiksa dengan cara mengangkat alis ke atas.
- M. Sourcilier : diperiksa dengan cara mengerutkan alis.
- M. Piramidalis : diperiksa dengan cara mengangkat dan mengerutkan hidung ke atas.
- M. Orbikularis Okuli : diperiksa dengan cara memejamkan kedua mata kuat-kuat.
- M. Zigomatikus : diperiksa dengan cara tertawa lebar sambil memperlihatkan
gigi.
- M. Relever Komunis : diperiksa dengan cara memoncongkan mulut kedepan sambil
memperlihatkan gigi.
- M. Businator : diperiksa dengan cara menggembungkan kedua pipi.
- M. Orbikularis Oris : diperiksa dengan cara menyuruh penderita bersiul.
- M. Triangularis : diperiksa dengan cara menarik kedua sudut bibir ke Bawah.
- M. Mentalis : diperiksa dengan cara memoncongkan mulut yang Tertutup
rapat ke depan.
Pada tiap gerakan dari ke 10 otot tersebut, kita bandingkan antara kanan dan kiri :
- Untuk gerakan yang normal dan simetris dinilai dengan angka tiga ( 3 )
- Sedikit ada gerakan dinilai dengan angka satu ( 1 )
- Diantaranya dinilai dengan angka dua ( 2 )
- Tidak ada gerakan sama sekali dinilai dengan angka nol ( 0 )
Seluruh otot ekspresi tiap sisi muka dalam keadaan normal akan mempunyai nilai tiga puluh
( 30 ).
b. Tonus
Pada keadaan istirahat tanpa kontraksi maka tonus otot menentukan terhadap kesempurnaan
mimic / ekspresi muka. Freyss menganggap penting akan fungsi tonus sehingga mengadakan
penilaian pada setiap tingkatan kelompok otot muka, bukan pada setiap otot. Cawthorne
mengemukakan bahwa tonus yang jelek memberikan gambaran prognosis yang jelek.
Penilaian tonus seluruhnya berjumlah lima belas (15) yaitu seluruhnya terdapat lima
tingkatan dikalikan tiga untuk setiap tingkatan. Apabila terdapat hipotonus maka nilai
tersebut dikurangi satu (-1) sampai minus dua (-2) pada setiap tingkatan tergantung dari
gradasinya.
c. Gustomeri
Sistem pengecapan pada 2/3 anterior lidah dipersarafi oleh n. Korda timpani, salah satu
cabang saraf fasialis.1 Kerusakan pada N VII sebelum percabangan korda timpani dapat
menyebabkan ageusi (hilangnya pengecapan).
Pemeriksaan dilakukan dengan cara penderita disuruh menjulurkan lidah, kemudian
pemeriksa menaruh bubuk gula, kina, asam sitrat atau garam pada lidah penderita. Hali ini
dilakukan secara bergiliran dan diselingi istirahat. Bila bubuk ditaruh, penderita tidak boleh
menarik lidahnya ke dalam mulut, sebab bubuk akan tersebar melalui ludah ke sisi lidah
lainnya atau ke bagian belakang lidah yang persarafannya diurus oleh saraf lain. Penderita
disuruh untuk menyatakan pengecapan yang dirasakannya dengan isyarat, misalnya 1 untuk
rasa manis, 2 untuk rasa pahit, 3 untuk rasa asin, dan 4 untuk rasa asam.
Pada pemeriksaan fungsi korda timpani adalah perbedaan ambang rangsang antara kanan dan
kiri. Freyss menetapkan bahwa beda 50% antara kedua sisi adalah patologis.
d. Salivasi
Pemeriksaan uji salivasi dapat dilakukan dengan melakukan kanulasi kelenjar
submandibularis. Caranya dengan menyelipkan tabung polietilen no 50 kedalam duktus
Wharton. Sepotong kapas yang telah dicelupkan kedalam jus lemon ditempatkan dalam
mulut dan pemeriksa harus melihat aliran ludah pada kedua tabung. Volume dapat
dibandingkan dalam 1 menit. Berkurangnya aliran ludah sebesar 25 % dianggap abnormal.
Gangguan yang sama dapat terjadi pada jalur ini dan juga pengecapan, karena keduanya
ditransmisi oleh saraf korda timpani.
e. Schimer Test atau Naso-Lacrymal Reflex
Dianggap sebagai pemeriksaan terbaik untuk pemeriksaan fungsi serabut-serabut pada
simpatis dari saraf fasialis yang disalurkan melalui saraf petrosus superfisialis mayor setinggi
ganglion genikulatum. Kerusakan pada atau di atas saraf petrosus mayor dapat menyebabkan
berkurangnya produksi air mata.
Tes Schimer dilakukan untuk menilai fungsi lakrimasi dari mata. Cara pemeriksaan dengan
meletakkan kertas hisap atau lakmus lebar 0,5 cm panjang 5-10 cm pada dasar konjungtiva.
Setelah tiga menit, panjang dari bagian strip yang menjadi basah dibandingkan dengan sisi
satunya. Freys menyatakan bahwa kalau ada beda kanan dan kiri lebih atau sama dengan 50%
dianggap patologis.
f. Refleks stapedius
Untuk menilai reflex stapedius digunakan elektoakustik impedans meter, yaitu dengan
cara memberikan ransangan pada muskulus stapedius yang bertujuan untuk mengetahui
fungsi N. stapedius cabang N.VII.
g. Uji audiologik
Setiap pasien yang menderita paralisis saraf fasialis perlu menjalani pemeriksaan
audiogram lengkap. Pengujian termasuk hantaran udara dan hantaran tulang, timpanometri
dan reflex stapes. Fungsi saraf cranial kedelapan dapat dinilai dengan menggunakan uji
respon auditorik yang dibangkitkan dari batang otak. Uji ini bermanfaat dalam mendeteksi
patologi kanalis akustikus internus. Suatu tuli konduktif dapat memberikan kesan suatu
kelainan dalam telinga tengah, dan dengan memandang syaraf fasialis yang terpapar pada
daerah ini, perlu dipertimbangkan suatu sumber infeksi. Jika terjadi kelumpuhan saraf
ketujuh pada waktu otitis media akut, maka mungkin gangguan saraf pada telinga tengah.
Pengujian reflek dapat dilakukan pada telinga ipsilateral atau kontralateral dengan
menggunakan suatu nada yang keras, yang akan membangkitkan respon suatu gerakan reflek
dari otot stapedius. Gerakan ini mengubah tegangan membrane timpani dan menyebabkan
perubahan impedansi rantai osikular. Jika nada tersebut diperdengarkan pada belahan telinga
yang normal, dan reflek ini pada perangsangan kedua telinga mengesankan suatu kelainan
pada bagian aferen saraf kranialis.
h. Sinkinesis
Sinkinesis menetukan suatu komplikasi dari kelumpuhan saraf fasialis yang sering kita
jumpai. Cara mengetahui ada tidaknya sinkinesis adalah sebagai berikut :
- Penderita diminta untuk memenjamkan mata kuat-kuat kemudian kita melihat
pergerakan otot-otot pada daerah sudut bibir atas. Kalau pergerakan normal pada
kedua sisi dinilai dengan angka dua (2). Kalau pergerakan pada sisi paresis lebih
(hiper) dibandingkan dengan sisi normal nilainya dikurangi satu (-1) atau dua (-2),
tergantung dari gradasinya.
- Penderita diminta untuk tertawa lebar sambil memperlihatkan gigi, kemudian kita
melihat pergerakan otot-otot pada sudut mata bawah. Penilaian seperti pada (a).
- Sinkinesis juga dapat dilihat pada waktu penderita berbicara (gerakan emosi) dengan
memperhatikan pergerakan otot-otot sekitar mulut. Nilai satu (1) kalau pergerakan
normal. Nilai nol (0) kalau pergerakan tidak simetris.

Pemeriksaan House-Brackman
Gambaran dari disfungsi motorik fasial ini sangat luas dan karakteristik dari kelumpuhan ini
sangat sulit. Beberapa sistem telah usulkan tetapi semenjak pertengahan 1980 sistem House-
Brackmann yang selalu atau sangat dianjurkan . pada klasifikasi ini grade 1 merupakan fungsi
yang normal dan grade 6 merupakan kelumpuhan yang komplit. Pertengahan grade ini sistem
berbeda penyesuaian dari fungsi ini pada istirahat dan dengan kegiatan. Ini diringkas dalam
tabel:6
Grade Penjelasan Karakteristik
I Normal Fungsi fasial normal
II Disfungsi ringan Kelemahan yang sedikit yang terlihat pada inspeksi
dekat, bisa ada sedikit sinkinesis.
Pada istirahat simetri dan selaras.
Pergerakan dahi sedang sampai baik
Menutup mata dengan usaha yang minimal
Terdapat sedikit asimetris pada mulut jika
melakukan pergerakan
III Disfungsi Terlihat tapi tidak tampak adanya perbedaan antara
sedang kedua sisi
Adanya sinkinesis ringan
Dapat ditemukam spasme atau kontraktur
hemifasial
Pada istirahat simetris dan selaras
Pergerakan dahi ringan sampai sedang
Menutup mata dengan usaha
Mulut sedikit lemah dengan pergerakan yang
maksimum
IV Disfungsi Tampak kelemahan bagian wajah yang jelas dan
sedang berat asimetri
Kemampuan menggerakkan dahi tidak ada
Tidak dapat menutup mata dengan sempurna
Mulut tampak asimetris dan sulit digerakkan.
V Disfungsi berat Wajah tampak asimetris
Pergerakan wajah tidak ada dan sulit dinilai
Dahi tidak dapat digerakkan
Tidak dapat menutup mata
Mulut tidak simetris dan sulit digerakkan
VI Total parese Tidak ada pergerakkan

3. Pemeriksaan penunjang
Salah satu pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengetahui kelumpuhan saraf
fasialis adalah dengan uji fungsi saraf. Terdapat beberapa uji fungsi saraf yang tersedia antara
lain Elektromigrafi (EMG), Elektroneuronografi (ENOG).
a. Elektromiografi (EMG)
EMG sering kali dilakukan oleh bagian neurologi. Pemeriksaan ini bermanfaat untuk
menentukan perjalanan respons reinervasi pasien. Pola EMG dapat diklasifikasikan sebagai
respon normal, pola denervasi, pola fibrilasi, atau suatu pola yang kacau yang mengesankan suatu
miopati atau neuropati. Namun, nilai suatu EMG sangat terbatas kurang dari 21 hari setelah
paralisis akut. Sebelum 21 hari, jika wajah tidak bergerak, EMG akan memperlihatkan potensial
denervasi. Potensial fibrilasi merupakan suatu tanda positif yang menunjukkan kepulihan
sebagian serabut. Potensial ini terlihat sebelum 21 hari.
b. Elektroneuronografi (ENOG)
ENOG memberi informasi lebih awal dibandingkan dengan EMG. ENOG melakukan
stimulasi pada satu titik dan pengukuran EMG pada satu titik yang lebih distal dari saraf.
Kecepatan hantaran saraf dapat diperhitungkan. Bila terdapat reduksi 90% pada ENOG bila
dibandingkan dengan sisi lainnya dalam sepuluh hari, maka kemungkinan sembuh juga
berkurang secara bermakna. Fisch Eselin melaporkan bahwa suatu penurunan sebesar 25 persen
berakibat penyembuhan tidak lengkap pada 88 persen pasien mereka, sementara 77 persen pasien
yang mampu mempertahankan respons di atas angka tersebut mengalami penyembuhan normal
saraf fasialis.

F. Penatalaksanaan
a) Glukokortikoid
Farmakologi dan penggunaan klinis
Glukokortikoid berperan dalam menghambat tiap fase dari respon inflamasi, obat-obat ini
juga memainkan peran penting dalam parahnya inflamasi dan kelainan “immune-immediate”.
Mekanisme pasti oleh keuntungan steroid digunakan tidak begitu jelas ditemukan dalam banyak
kondisi dimana steroid ini digambarkan. Pada berbagai petunjuk dan indikasi menyatakan
penggunaan steroid sebagai empiris. Penggunaan steroid lebih diarahkan ke fase aku saat
serangan, contohnya pada Cerebral Palsy, tapi tidak berefek penuh pada pemulihan total.
Respon inflamasi di mediasi oleh beberapa bahan-bahan intermediate dan tipe-tipe sel. Efek
anti inflamasi umum dari kortikosteroid antara lain adalah efek dari denyut pembuluh darah,
permiabilitas, dan penekanan dari produksi leukosit dan biosintesis kolagen. Demopilus et al
menerangkan buktti bawa peroksidasi lemak menginduksi radikal-radikal oksigen bebas
membenttuk basis molekul untuk degenerasi neuron postraumatik dan steroid mengambat proses
tersebut. Hall dan Braugter mengamati secara luas dosis-dosis pre-penatalaksanaan
metilprednisolon yang dibutuhkan untuk memproduksi pengaruh anti-oksidan ini, dan pre-
penatalaksanaan dengan dosis yang lebih rendah tidak efektif.
Terapi steroid untuk inlamasi neouropati seperti neuritis optic idiopatik masih menadi
controversial. Sementara glukokortikoid nampak dalam penggunaanya untuk mengurangi rasa
sakit dan memperpendek periode dari kebutaan, ada sedikit bukti bahwa steroid tersebut
mempengaruhi level utama dari penyembuhan visual.
Sebagai tambahan dari keuntungan ani inflamasi glukokortikoid, glokokortikoid steroid
memfasilitasi aksi dari neuromuscular junction. Efek-efek yang saling mempengaruhhi dari
steroid ini dapat mengkontribusikan penyembuhan fungsi neuromuskular pada kelainan seperti
inflamasi polyradiculoneuropati (Guilan Barre Syndrom), patologi yang disebabkan inflamasi,
demyelinisasi segmental.
Penggunaan steoid pada tatalaksana Bell’s Palsy
Adour, Stankevitch, dan May telah menyediakan pandangan komprehensiv dalam
penggunaan terapi steroid pada Bell’s Palsy. Kebanyakan pembelajaran akhir-akhir ini mengenai
kegunaan steroid pada Belss Palsy didasarkan pada pasien yang diperlakukan dengan control
sebelumnya.
Berdasarkan penelitian ini, yang menggunakan dosis yang lebih besar dari steroid dan dosis
luas gllukokortikoid dengan dextrran dan pentoxiflin memberikan dampak rata-rata
perkembangan kesembuhan dari pasien yang mendapat tindakan walaupun penatalaksanaan
tersebut tidak menampakkan statistic yang signifikan pada sudi-studi sebelumnya.
Hasil evaluasi dari Stankewicz, steroid diberikan pada pasien Bells Palsy dengan alasan
stetroid dapat:
 Mengurangi resiko denervasi jika diberikan secara dini
 Mencegah atau mengurangi sinkinesis
 Mencegah dari perkembangan inkompit menjadi komplit paralisis
 Mencegah sinkinesis autonomic
Tujuan utama dari terapi glukokortikoid pada facial paralysis akut adalah menginduksi
kontrol anti inflamasi efektif. Regimen dosis glukokortikoid yang optimal untuk penanganan
inflamasi neuritis tergantung dari pemberian kortikosteroid saat proses penyakit berlangsung.
Seperti yang telah ditunjukkan pada respon EEMG, pemberian glokokortikoid pada Bells Palsy
dalam 5-10 hari. Lesi-lesi pada pada organ-organ lain biasanya hilang 1 sampai 2 minggu,
tampaknya pada inflamasi saraf facial (saraf VII) pada virus ini dapat ditangani pada periode
ini.
Strategi pemberian steroid pada Belss Palsy disarankan dengan oral prednisone
(1mg/kgBB/hari)dibagi menjadi 3 dosis tiap harinya selama 7-10 hari. Dosis harian harus
ditappering off setelah 10 hari. Secara teori regimen dosis ini memaksimalkan aktivitas anti
inflamasi sementara meminimalkan efek samping dan konsisten dengan anti inflamasi yang
efektif pada hipersensitiv akut, autoimun, dan kelainan inflamasi lainnya.
Efek samping
Efek samping biasanya manifestasi selama tatalaksana steroid jangka pendek termasuk aksi
hiperglikemik. Harus diwaspadai pemberian steroid pada pasien palsy facial akut yang
berhubungan dengan intoleransi glukosa. Efek samping akut lainnya termasuk perubahan CNS
seperti psychotic breaks, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, dan iritasi gastrointestinal.
Efek glukokortikoid pada seluler dan komponen-komponen jaringan inflamasi dapat
mengurangi imunitas host terhadap bakteri, virus, dan infeksi jamur. Infeksi laten dapat reaktivasi
dan berkembang. Ditambah lagi pemberian steroid yang menekan system imun bisa menutupi
gejala adanya tanda klinik dari suatu peyakit infeksi.
b) Terapi Antivirus
Kemoterapi antivirus menghadirkan cara yang lebih baru dalam menangani facial palsy akut
dari penyebab virus. Berdasarkan spectrum dari aktivitasnya, toksisitas yang rendah, asiklovir
(acycloguanosine), analog nukleosida purin sintetik, telah digunakan untuk mencegah HS tipe I
dan II, VZ, dan Epstein Barr virus dan cytomegalovirus. Asiklovir mencegah DNA polymerase
dan replikasi DNA virus dengan bentuk yang dikonversi (difosforilasi), itulah asiklovir bertindak
sebagai analog nukleosida.
Pemberian asiklovir pada deficit neurologic yang dihasilkan herpes zoster otikus adalah
asiklovir intravena (10mg/kgBB setiap 8 jam selama 7 hari). Pemberian antivirus secara dini ini
telah dibuktikan oleh Given mencegah degenerasi dari saraf yang dapat menyebab hilangnya
pendengaran.
c) Dekompresi nervus
Pembedahan dekompresi dari saraf fasial untuk Bells Palsy pernah dilakukan Balance dan
Duel pada tahun 1932. Kemudian penggunaan stimulasi listrik nervus fasial mulai ditinggalkan.
Yang terpenting, segen vertical telah didekompresi, lalu dekompresi dari seluruh segmen mastoid
direkomendasi (prosedur yang dilakukan adalah termasuk htimpani dan segmen mastoid), dan
akhir-akhir ini segmen labirin termasuk foramen meatal.
Menggunakan pendekatan transmastoid untuk dekompesi saraf, May menemukan bahwa
dekompresi meningkatkan penyembuhan pada pasien yang stimulasi nervusnya telah berkurang
75%atau lebih. Bagaimanapun, prosedur ini tidak menampakkan bukti signifikan antara yang
mendapatkan operasi yang sembuh (87% dari 273pasien) dengan pasien yang sembuh dengan
sendirinya.

G. Gejala Sisa
Setelah melakukan terapi tersebut sebagian penderita akan sembuh total dan sebagian akan
meninggalkan gejala sisa yang dapat berupa:
1. Kontraktur
Hal ini dapat terlihat dari tertariknya otot, sehingga plika nasolabialis lebih jelas terlihat
dibanding pada sisi yang sehat. Bagi pemeriksa yang belum berpengalaman mungkin bagian
yang sehat ini yang disangkanya lumpuh, sedangkan bagian yang lumpuh disangkanya sehat.
2. Sinkinesia (associated movement)
Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri, selalu timbul
gerakan bersama. Bila pasien disuruh memejamkan mata, maka otot orbikularis orispun akan
akan ikut berkontraksi dan sudut mulut terangkat. Bila ia disuruh menggembungkan pipi, kelopak
mata ikut merapat.
3. Spasme spontan
Dalam hal ini otot-otot wajah bergerak secara spontan, tidak terkendali. Hal ini disebut juga
tic facialis. akan tetapi tidak semua tic facialis merupakan gejala sisa dari Bell’s palsy.

H. Prognosis
Sangat bergantung kepada derajat kerusakan n. fasialis. Pada anak prognosis umumnya baik
oleh karena jarang terjadi denervasi total. Penyembuhan spontan terlihat beberapa hari setelah
onset penyakit dan pada anak 90% akan mengalami penyembuhan tanpa gejala sisa. Jika dengan
prednison dan fisioterapi selama 3 minggu belum mengalami penyembuhan, besar kemungkinan
akan terjadi gejala sisa berupa kontraktur otot-otot wajah, sinkinesis, tik fasialis dan sindrom air
mata buaya.
BAB III
IDENTITAS PASIEN
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. K
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 41 tahun
Agama : Islam
Alamat : Fakfak
Pendidikan : SMA
Status : Menikah
Pekerjaan : Supir

B. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Merasa wajahnya mencong ke arah kanan

Riwayat Penyakit Sekarang


Hal tersebut dirasakan sejak 2 hari yang lalu, mencong dirasakan saat aktivitas , mata sebelah
kiri selalu mengeluarkan air mata, saat minum air mengalir dari bibirnya sebelah kiri. Susah
makan, sakit kepala kiri berdenyut. Tidak ada mual dan muntah. Tidak ada sesak. BAB dan BAK
normal.

Riwayat Penyakit Dahulu

Sebelumnya tidak mempunyai penyakit seperti ini. Riwayat penyakit herpes disangkal.
Hipertensi disangkal, penyakit jantung disangkal, stroke disangkal, diabetes melitus disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada anggota keluarga pasien yang menderita hal yang serupa seperti pasien. sepupu
mempunyai penyakit diabetes melitus.

Riwayat Pengobatan
Decolgen dan panadol jika saat sakit kepala
Riwayat Kebiasaan
Makan bergizi, merokok, dan tidak minum Alkohol. Os tidur di rumah tepat dibawah AC.

Riwayat Sosial Ekonomi


Penderita adalah seorang laki-laki berusia 41 tahun. Pasien adalah seorang sopir. Pasien
berobat dengan biaya BPJS Kelas 3.

C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : pasien tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
GCS : 15  Eye: 4, Verbal: 5, Motorik: 6
Tanda Vital
Tekanan darah : 120/90 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 37oC

D. STATUS GENERALIS
Kepala : normochepal
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : deviasi septum (-), sekret (-)
Telinga : normotia, sekret (-)
Mulut : bibir tampak kering
Leher : tidak ada pembesaran KGB, tidak ada pembesaran tiroid
Thoraks
Inspeksi : pergerakan dada simetris, tidak ada lesi
Palpasi : Vocal fremitus normal
Perkusi : Tidak dilakukan
Auskultasi
Paru : suara napas vesikular, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung : bunyi jantung I dan II normal, regular, tidak ada gallop dan murmur

Abdomen
Inspeksi : abdomen datar
Auskultasi : bising usus normal
Perkusi : timpani di seluruh region abdomen
Palpasi : nyeri tekan (-), hepatomegali (-), splenomegaly (-)
Ekstremitas
Superior : akral hangat, RCT < 2detik, edema (-), sianosis (-)
Inferior : akral hangat, RCT < 2 detik, edema (-), sianosis (-)

E. STATUS NEUROLOGIS
Kesadaran : compos mentis
GCS : 15  Eye: 4, Verbal: 5, Motorik: 6
Rangsang Meningeal
Kaku kuduk : negatif
Kernig : negatif
Lasegue : negatif
Brudzinski I, II: negative

F. PEMERIKSAAN NERVUS CRANIAL


1. Nervus Olfaktorius

Dextra Sinistra

Daya pembau Normosmia Normosmia

2. Nervus Optikus

Dextra Sinistra
Tajam Penglihatan Normal Normal
Lapang Pandang Normal Normal
Pengenalan Warna Normal Normal
Funduskopi
Papil edema Tidak dilakukan
Arteri:Vena

3. Nervus Okulomotorius

Dextra Sinistra
Ptosis - +
Gerakan Bola Mata
Baik Baik
 Medial
Baik Baik
 Atas
Baik Baik
 Bawah

Ukuran Pupil Pupil bulat isokor Ø ODS 3 mm

Refleks Cahaya
+ +
Langsung
Refleks Cahaya
+ +
Konsensual
Akomodasi Baik Baik

4. Nervus Trokhlearis

Dextra Sinistra
Gerakan Mata
Baik Baik
Medial Bawah

5. Nervus Trigeminus
Menggigit Normal
Membuka mulut Normal
Sensibilitas
 Oftalmikus + +
 Maksilaris + +
 Mandibularis + +
Refleks kornea Tidak dilakukan
Refleks bersin Tidak dilakukan

6. Nervus Abdusens

Dextra Sinistra
Gerakan mata ke lateral + +

7. Nervus Facialis

Dextra Sinistra
Mengangkat alis + -
Kerutan dahi + -
Menutup mata + -
Menyeringai + -
Daya pengecap 2/3
Tidak dapat merasakan manis.
depan

8. Nervus Vestibulochoclearis

Dextra Sinistra
Tes Romberg Tidak dilakukan
Tes bisik Normal Normal
Tes Rinne
Tes Weber Tidak dilakukan
Tes Schwabach

9. Nervus Glosofaringeus & Nervus Vagus


Arkus faring Gerakan simetris
Daya Kecap Lidah 1/3 belakang Tidak dilakukan
Uvula Letak di tengah
Menelan Normal
Refleks muntah Tidak dilakukan

10. Nervus Assesorius

Dextra Sinistra
Memalingkan kepala Baik Baik
Mengangkat bahu Baik Baik
11. Nervus Hipoglosus

Sikap lidah Tidak ada deviasi

Fasikulasi -

Tremor lidah -

Atrofi otot lidah -

G. PEMERIKSAAN MOTORIK
Anggota Gerak Atas
Dextra Sinistra
Bentuk Tidak ada deformitas
Kontur Otot Eutrofi Eutrofi
Kekuatan 5 5 5 5 5 5 5 5
Reflex Bisep + +
Reflex Trisep + +

Anggota Gerak Bawah


Dextra Sinistra
Bentuk Tidak ada deformitas
Kontur Otot Eutrofi Eutrofi
Kekuatan 5 5 5 5 5 5 5 5
Reflex Patella + +
Reflex Achilles + +

Refleks Patologis
Dextra Sinistra
Babinski - -
Chaddocck - -
Oppenheim - -
Gordon - -
Schaeffer - -
Gonda - -
Hoffman Trommer - -

H. PEMERIKSAAN SENSORIK
Dextra Sinistra
Rasa Raba
- Ekstremitas Atas + +
- Ekstremitas Bawah + +
Rasa Nyeri
- Ekstremitas Atas + +
- Ekstremitas Bawah + +
Rasa Suhu
- Ekstremitas Atas Tidak dilakukan
- Ekstremitas Bawah

I. FUNGSI OTONOM
Miksi Defekasi
Inkontinensia urin - Inkontinensia alvi -
Retensio urine - Retensio alvi -
Poliuria -
Anuria -

J. RESUME
Pasien Laki-laki 41 tahun datang dengan keluhan merasa wajahnya mencong ke arah kanan
Hal tersebut dirasakan sejak 2 hari yang lalu, mencong dirasakan saat aktivitas , mata sebelah kiri
selalu mengeluarkan air mata, saat minum air mengalir dari bibirnya sebelah kiri. Susah makan,
sakit kepala kiri berdenyut.
Pemeriksaan fisik
Keadaan Umum : Pasien tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 120/90 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 37oC
Status neurologis
Di dapatkan pasien terjadi gangguan di nervus vii
Nervus Facialis

Dextra Sinistra
Mengangkat alis + -
Kerutan dahi + -
Menutup mata + -
Menyeringai + -
Daya pengecap 2/3
Tidak dapat merasakan manis.
depan

K. DIAGNOSA
Diagnosa Klinis : Ipsiparese nervus VII sinistra
Diagnosa Etiologi : Susp. Bells palsy
Diagnosa Topis : Nervus VII

L. ANJURAN PEMERIKSAAN PENUNJANG


• CT-Scan

M. TERAPI
Non-farmakologis:
1. Istirahat terutama pada keadaan akut .
2. Tiap malam mata diplester .
Gunanya melatih mata yang tidak dapat menutup supaya dapat menutup bersamaan.
Farmakologis:
1. Prednison 60mg per hari untuk 7 hari
2. Acyclovir 400mg 5x sehari untuk 7 hari
Penulisan Resep

dr. Bagas Muhammad


SIP 100203019203245
Jl. Kemerdekaan, Papua Barat

21 Desember 2019
R / Prednison tab mg 20 No. XXI
S 3 dd tab 1
R/ Zovirac tab mg 400 No. XXXV
S 5 dd tab 1

Pro : Tn. K (41 tahun)


Alamat : Fakfak

N. PROGNOSIS
• Quo ad vitam : dubia ad bonam
• Quo ad functionam : dubia ad bonam
BAB IV
PEMBAHASAN OBAT TERKAIT KASUS

A. PREDNISON
Adour, Stankevitch, dan May telah menyediakan pandangan komprehensiv dalam
penggunaan terapi steroid pada Bell’s Palsy. Kebanyakan pembelajaran akhir-akhir ini mengenai
kegunaan steroid pada Belss Palsy didasarkan pada pasien yang diperlakukan dengan control
sebelumnya.
Berdasarkan penelitian ini, yang menggunakan dosis yang lebih besar dari steroid dan dosis luas
gllukokortikoid dengan dextrran dan pentoxiflin memberikan dampak rata-rata perkembangan
kesembuhan dari pasien yang mendapat tindakan walaupun penatalaksanaan tersebut tidak
menampakkan statistic yang signifikan pada sudi-studi sebelumnya.
Hasil evaluasi dari Stankewicz, steroid diberikan pada pasien Bells Palsy dengan alasan
stetroid dapat:
 Mengurangi resiko denervasi jika diberikan secara dini
 Mencegah atau mengurangi sinkinesis
 Mencegah dari perkembangan inkompit menjadi komplit paralisis
 Mencegah sinkinesis autonomic
Tujuan utama dari terapi glukokortikoid pada facial paralysis akut adalah menginduksi
kontrol anti inflamasi efektif. Regimen dosis glukokortikoid yang optimal untuk penanganan
inflamasi neuritis tergantung dari pemberian kortikosteroid saat proses penyakit berlangsung.
Seperti yang telah ditunjukkan pada respon EEMG, pemberian glokokortikoid pada Bells Palsy
dalam 5-10 hari. Lesi-lesi pada pada organ-organ lain biasanya hilang 1 sampai 2 minggu,
tampaknya pada inflamasi saraf facial (saraf VII) pada virus ini dapat ditangani pada periode
ini. Strategi pemberian steroid pada Belss Palsy disarankan dengan oral prednisone
(1mg/kgBB/hari) dibagi menjadi 3 dosis tiap harinya selama 7-10 hari. Dosis harian harus
ditappering off setelah 10 hari. Secara teori regimen dosis ini memaksimalkan aktivitas anti
inflamasi sementara meminimalkan efek samping dan konsisten dengan anti inflamasi yang
efektif pada hipersensitiv akut, autoimun, dan kelainan inflamasi lainnya.
Efek samping biasanya manifestasi selama tatalaksana steroid jangka pendek termasuk aksi
hiperglikemik. Harus diwaspadai pemberian steroid pada pasien palsy facial akut yang
berhubungan dengan intoleransi glukosa. Efek samping akut lainnya termasuk perubahan CNS
seperti psychotic breaks, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, dan iritasi gastrointestinal.
Efek glukokortikoid pada seluler dan komponen-komponen jaringan inflamasi dapat mengurangi
imunitas host terhadap bakteri, virus, dan infeksi jamur. Infeksi laten dapat reaktivasi dan
berkembang. Ditambah lagi pemberian steroid yang menekan system imun bisa menutupi gejala
adanya tanda klinik dari suatu peyakit infeksi.

B. ACYCLOVIR
Kemoterapi antivirus menghadirkan cara yang lebih baru dalam menangani facial palsy akut
dari penyebab virus. Berdasarkan spectrum dari aktivitasnya, toksisitas yang rendah, asiklovir
(acycloguanosine), analog nukleosida purin sintetik, telah digunakan untuk mencegah HS tipe I
dan II, VZ, dan Epstein Barr virus dan cytomegalovirus. Asiklovir mencegah DNA polymerase
dan replikasi DNA virus dengan bentuk yang dikonversi (difosforilasi), itulah asiklovir bertindak
sebagai analog nukleosida.
Pemberian asiklovir pada deficit neurologic yang dihasilkan herpes zoster otikus adalah
asiklovir intravena (10mg/kgBB setiap 8 jam selama 7 hari). Pemberian antivirus secara dini ini
telah dibuktikan oleh Given mencegah degenerasi dari saraf yang dapat menyebab hilangnya
pendengaran.
BAB V
DAFTAR PUSTAKA

Mardjono M, Sidharta P. Nervus fasialis. Dalam Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian
Rakyat, 2004.
Sjarifuddin, Bashiruddin J, Bramantyo B. Kelumpuhan Nervus Fasialis Perifer. Dalam Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. 6th ed. Jakarta : Balai Penerbit
FK-UI, 2007.
Aminoff, MJ et al. Lange medical book : Clinical Neurology, Sixth Edition, Mcgraw-Hill.
2005.
Ropper, AH., Brown, Robert H. Adams & Victors’ Principles of Neurology, Eight Edition,
McGraw-Hill. 2005.
Maisel R, Levine S. Gangguan Saraf Fasialis. Dalam Boies Buku Ajar Penyakit THT edisi
6. Jakarta : EGC, 1997.
SM. Lumbantobing. Neurologi Klinik, Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta : Balai Penerbit
FK-UI, 2006.

Anda mungkin juga menyukai