Bidang Perekonomian
Republik Indonesia
DEPUTI BIDANG KOORDINASI PENGELOLAAN ENERGI,
SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP
2019
Pendahuluan
Program peningkatan nilai tambah mineral yang merupakan amanah UU No. 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara merupakan upaya untuk mendorong industri hilir
pertambangan mineral melalui kebijakan pelarangan ekspor mineral dalam bentuk bijih (raw
material) dengan mewajibkan perusahaan pertambangan mineral untuk mengolah dan/atau
memurnikan hasil tambangnya di dalam negeri.
Meski saat ini telah selesai terbangun 31 unit smelter1, namun demikian terdapat beberapa
permasalahan yang terus mengemuka, kurangnya stok bahan baku menyebabkan beberapa
smelter yang sudah selesai terbangun berhenti beroperasi. Selain itu, walaupun smelter mineral
telah banyak dibangun di dalam negeri, masih terdapat beberapa industri hilir yang justru
mengimpor bahan bakunya (PT Krakatau Posco, PT Inalum, PT Pindad), padahal sektor hulu
dari bahan baku utama tersedia di dalam negeri. Ada permasalahan supply & demand dan link
and match antara hulu dan hilir di sektor industri pertambangan.
Kajian ini melakukan analisis mendalam terkait dengan hal tersebut seperti:
• Mengidentifikasi kapasitas input dan kapasitas output per tahun untuk semua smelter
berbasis mineral logam, untuk saat ini terbatas pada: tembaga, nikel, bauksit, besi, timah
yang ada di dalam negeri sampai dengan tiga tahun kedepan.
• Mengidentifikasi kebutuhan input per tahun untuk industri pengguna akhir (end user)
pengguna produk smelter sesuai struktur pohon industri yang disepakati.
1Smelter: perlalatan yang digunakan untuk memperoleh logam dari bijih logam dengan pemanasan
melebihi titik lebur logam tersebut dengan bantuan agen oksidator seperti udara atau agen reduktor seperti
kokas. (sumber: Encyclopaedia Britannica)
Metodologi
Dalam menyusun Kajian Akademis Pemetaan Supply dan Demand Industri Pengolahan dan/atau
Pemurnian Mineral, dilakukan pengumpulan data baik data sekunder maupun data primer yang
diperoleh melalui studi literatur, survei lapangan, rapat-rapat, maupun Focus Group Discussion.
Hasil pengumpulan data tersebut kemudian di analisis terutama aspek supply-demandnya agar
didapatkan usulan rekomendasinya. Pembahasan dan analisis dilakukan per komoditi karena
karekteristik kondisi industrinya yang berbeda-beda.
• Menurut Permen ESDM No.5 Tahun 2017, pengolahan mineral merupakan upaya untuk
meningkatkan nilai Mineral yang menghasilkan produk dengan sifat fisik dan kimia yang
tidak berubah dari Mineral asal. Sedangkan pemurnian mineral merupakan upaya untuk
meningkatkan nilai Mineral Logam melalui proses ekstraksi serta proses peningkatan
kemurnian lebih lanjut untuk menghasilkan produk dengan sifat fisik dan kimia yang
berbeda dari Mineral asal.
• Industri mineral hulu adalah industri yang hanya mengolah mineral bijih logam menjadi
bahan setengah jadi. Industri ini melakukan pengolahan mineral logam hanya untuk
menyediakan bahan baku untuk kegiatan produksi industri lain.
• Industri mineral hilir adalah industri yang mengolah bahan baku yang dihasilkan oleh
industri mineral hulu atau produk antara menjadi barang jadi.
• Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktorat Jendral Mineral dan Batubara per tahun
2017 bahwa cadangan bauksit Indonesia adalah 2,4 milyar ton dengan umur cadangan
mencapai 422 Tahun.
• Pada prinsipnya, mineral bauksit dapat dimanfaatkan dengan diolah menjadi alumina
terlebih dahulu sebelum digunakan untuk proses selanjutnya. Alumina yang dihasilkan
dari bauksit, secara umum dibagi kedalam 2 jenis grade alumina, yaitu (1) chemical grade
alumina, dan (2) smelter grade alumina.
• Chemical grade alumina digunakan sebagai bahan baku antara lain untuk batu tahan api
(refractories), juga untuk industri kimia/kosmetik seperti pasta gigi, katalis, kosmetik dan
lainnya.
• Saat ini di Indonesia chemical grade alumina (CGA) diproduksi oleh 1 perusahaan saja
yaitu PT. Indonesia Chemical Alumina yang memiliki kapasitas 300.000 ton dengan
produksi yang ada saat ini sebesar 111.620 ton per tahun. Sifatnya yang customized juga
membuat perusahaan CGA harus pandai-pandai memilih varian produk yang diproduksi
dan memilih pasar yang tepat. ICA sendiri setidaknya sudah dapat menghasilkan 30-an
jenis varian produk turunan untuk digunakan di industri hilirnya.
• Smelter Grade Alumina digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan logam
aluminium, dan saat ini di Indonesia kebutuhan untuk logam aluminium memang relatif
tinggi.
• Dalam rantai industri Aluminium Indonesia, kondisi industri hulu sebagai pemasok bahan
baku bagi industri hilir perlu mendapat perhatian. Produsen alumina hingga saat ini hanya
PT. Well Harvest Winning, dan produsen aluminium hanya PT. Inalum.
• Alumina PT. WHW yang memproduksi 1 juta ton alumina per tahun dengan kapasitas
produksi mencapai 3 juta ton per tahun pun belum menjadi bahan baku untuk PT. Inalum.
Kebutuhan alumina PT. Inalum dengan perkiraan kebutuhan 500 ribu ton per tahun, masih
diimpor dari luar Indonesia.
• Untuk menjaga kebutuhan dalam negeri, karena produk PT. WHW ditujukan untuk
kebutuhan ekspor (sister company), maka perlu dibuat perusahaan dalam negeri (BUMN)
yang bisa memproduksi alumina. Saat ini, PT Borneo Alumina Indonesia adalah
perusahaan yang sedang dalam tahap pembangunan untuk memproduksi smelter grade
Chemical
Grade Chemical Industries
Alumina
Bauxite
Casting Casting 320.000 tpy
• Berdasarkan proyeksi Lemtek UI, kebutuhan alumunium nasional tahun 2017 - 2025.
Proyeksi kebutuhan alumunium nasional dibandingkan dengan proyeksi Kemenperin
2013, dapat dilihat di Gambar 2. sebagai berikut:
1,200.0 1,332.7
1,263.3
1,197.4 1,000.0
1,000.0 1,135.5
1,076.8
1,021.7
969.8
800.0 889.0 921.8
847.7 876.3
823.7
600.0 500.0 500.0 500.0 500.0
200.0
-
2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025
Gambar 2. Produksi Aluminium Inalum vs Proyeksi Kebutuhan Alumunium Nasional 2020 – 2025
• Proyeksi ini memperkirakan kebutuhan alumunium nasional tahun 2017 ini sebesar 876,3
ribu ton, akan melampaui besaran 1 juta ton pada tahun 2020 dan pada tahun 2025
diperkirakan masih di kisaran 1,333 juta ton, jauh dibawah perkiraan Kemenperin senilai
2,265 juta ton. Proyeksi ini sangat konservatif dengan perkiraan pertumbuhan kebutuhan
alumunium sama dengan estimasi pertumbuhan ekonomi nasional, antara 5,1% - 5,5%.
• Kebutuhan (demand) logam aluminium dalam negeri yang tinggi dan pemasok (supply)
dalam negeri yang hanya 1 (satu) membuat impor logam aluminum menjadi cukup
banyak. Berdasarkan data impor dari Kementerian Perdagangan, impor dalam 3 tahun
(2015-2017) terlihat terus mengalami kenaikan, mulai dari 573 ribuan ton per tahun hingga
765 ribuan ton per tahun. Tahun 2019 diperkirakan jumlah impor aluminum sudah
mencapai 800 ribuan ton per tahun.
• Kebutuhan aluminium nasional tersebut, dipasok oleh produsen/smelter aluminium baik
dari luar maupun dalam negeri. Dari dalam negeri, seperti yang diketahui saat ini suplai
aluminium hanya dilakukan oleh PT. Inalum yang dapat memproduksi 280.000 ton primary
aluminium pure ingot per tahun. Meski PT. Inalum sudah merencanakan akan
meningkatkan kapasitas produksi hingga 500.000 ton per tahun pada tahun 2021 dan
• Melihat kapasitas supply dan kondisi demand 3-5 tahun ke depan, dapat diperkirakan
bahwa supply dalam negeri tidak akan dapat memenuhi demand-nya. Kebutuhan
aluminium di sisi hilir yang tinggi, akan selalu menyebabkan impor aluminium karena
pasokan dari dalam negeri tidak pernah mencukupi. Dengan demikian kebijakan
membuka keran impor akan tetap diperlukan.
• Pembangunan pabrik alumina dan aluminium tetap diperlukan karena Indonesia memiliki
bahan bakunya berupa bijih bauksit, serta juga memiliki pasarnya yang terus bertumbuh.
• Mengejar defisit sangat diperlukan apalagi menjadi surplus, karena logam aluminium
menjadi logam masa depan, terutama industri otomotif yang memerlukan bahan yang
ringan namun kuat, logam aluminium memang menjadi pilihan utama. Tiga industri yang
menjadi champion pada sektor industri logam aluminium adalah: Industri Otomotif (parts),
Industri konstruksi (extrusion), dan Industri Energi (kabel listrik berbasis Aluminium).
Sehingga ke 3 sektor ini yang menjadi prioritas pengembangan kebutuhan dan industri
aluminium.
• Dengan demikian type aluminium yang jadi prioritas adalah A356.x (aluminium alloy
ingot), dan 6xxx Series (billet)
• Energi menjadi masalah utama dalam membangun pabrik aluminium. Oleh karena itu,
kebijakan dan strategi yang mendorong terciptanya energi listrik murah yaitu energi listrik
dari pembangkit listrik tenaga air (PLTA) perlu dibuat dan dijaga implementasinya.
• Sinergi antara BUMN Tambang dan BUMN Transportasi (terutama KAI) perlu dilakukan
untuk menambah pasar baru (kebutuhan baru) agar kemandirian dalam negeri terus
dijaga.
• Nikel merupakan salah satu mineral unggulan yang ada di Indonesia. Selain
keberadaannya yang melimpah yaitu sebanyak 3,57 milyar ton (Ditjen Minerba, 2019).
Sumber daya mineral nikel banyak terdapat di Provinsi Sulawesi Tenggara, sebarannya
hampir di seluruh wilayah Sulawesi Tenggara dengan perkiraan luas sebaran mencapai
480.032,13 ha [Kajian Resources Rent Tax Mineral Nikel di Indonesia, 2017
Kementerian ESDM ISBN: 978-602-0836-27-0].
• Fasilitas pengolahan dan pemurnian nikel yang tersedia saat ini dapat menampung 17,9
juta ton bijih nikel dan rencana pembangunan unit pengolahan dan pemurnian nikel dapat
menampung 14,5 jutan ton bijih nikel sehingga total produksi nikel yang dapat ditampung
di dalam negeri mencapai 32,4 juta ton. Jika membandingkan total cadangan yang dimiliki
dengan total produksi tahunan nikel, maka prediksi umur cadangan nikel di Indonesia
masih sekitar 116 tahun lagi.
• Nikel ditambang dari dua jenis bijih: laterit dan sulfida. Meskipun sekitar 70% dari
cadangan bijih ditemukan di bijih laterit, hanya sekitar 40% dari produksi nikel berasal dari
laterit. Laterit sebagian besar digunakan untuk memproduksi feronikel, yang nantinya
akan digunakan langsung dalam pembuatan baja (baja tahan karat), sekitar 80% produk
pengolahan nikel digunakan untuk stainless steel. Beberapa bijih laterit digunakan untuk
membuat melting-grade nikel (NPI) dan nikel matte. Sedangkan nikel sulfida dilakukan
proses refining untuk menghasilkan high-grade nikel.
• Industri Nikel di Indonesia sebetulnya sudah lama berkembang, banyak perusahaan
sudah masuk dalam industri ini, sepeti PT. Aneka Tambang Tbk., PT. Inco, PT. VALE dan
lainnya.
• Selain memproduksi bijih nikel, Indonesia juga memproduksi nikel intermediet/nikel
olahan, yaitu berupa feronikel (20% Ni) dan nikel matte (78% Ni). Kapasitas produksi nikel
intermediete Indonesia saat ini adalah sekitar 89.000 ton (ekuivalen dengan 34.900 ton
nikel murni) atau hanya sekitar 2% dari kapasitas produksi nikel antara dunia yang
sebesar 1,7 juta ton. Semua hasil produksi nikel antara Indonesia digunakan untuk
diekspor ke luar negeri.
• Industri nikel hulu Indonesia saat ini menghasilkan produk berupa ferronickel, nickel-
matte, dan nickel pig iron dimana produk antara ini memang banyak dibutuhkan pasar
dunia. Di sisi lain, industri hilir nikel saat ini memiliki kebutuhan (demand) yang kecil.
Nickel
Pig
Iron
• Sebagian besar produk
FeNi, NPI, Nickel Matte
PT. Aneka diekspor
FeNi Tambang, Vale,
• Hanya Thingshan Group
Thingshan
yang membuat SS plate
Nickel hingga 3 juta ton
Nickel
Matte
• Demand nikel yang ada, saat ini sangat kecil yaitu dari industri pengecoran (casting) yang
umumnya memerlukannya untuk paduan (Ni-alloy), dan demand juga datang dari industri
plating (pelapisan) terutama pada Ni-plating. Berdasarkan data impor stainless steel dapat
diperkirakan besarnya demand total hanya sekitar 300 ribu ton per tahun, dengan
sebagian besar berbentuk pelat (plate).
• Kebutuhan nikel dalam negeri yang sangat kecil, menyebabkan pasokan produk antara
(NPI, Nickel-matte, Ferronickel) menjadi berlimpah dan membuka peluang untuk
diekspor.
• Supply produk nikel berupa stainless-steel saat ini sebetulnya sudah bertambah dengan
beroperasinya pabrik stainless steel Thingshan Group di Morowali yang menghasilkan SS
• Hingga 2025, penyerapan produk antara nikel Indonesia masih sangat kecil. Kebutuhan
yang meningkat pesat hanya dapat terjadi ketika industri stainless steel tumbuh
berkembang juga.
• Peluang yang terbuka untuk turunan produk nikel adalah digunakannya nikel sebagai
bahan baku untuk pembuatan baterai mobil listrik. Saat ini masih dalam tahap rencana
• Mendorong terus untuk dapat melakukan substitusi produk yang kini diimpor.
• Mendorong DMO untuk Thingshan Group, terutama spesifikasi produk pelat SS 304 yang
sesuai dengan kebutuhan industri hilir dalam negeri. Selama belum ada produsen dalam
negeri yang memproduksinya.
• Untuk tidak bergantung pada Thingshan Group maka perusahaan dalam negeri juga
didorong untuk mengakselerasi produk antara untuk kebutuhan industri hilir dalam negeri.
• Demand nikel dalam negeri hanya dapat ditingkatkan dengan bertumbuhnya industri hilir
nikel dalam negeri, oleh karenanya kebijakan yang dibuat harus mendorong dan
mendukung bertumbuhnya industri hilir ini, baik melalui insentif fiskal maupun non fiskal.
• Karena mineral nikel menjadi salah satu bahan baku industri yang diperlukan di masa
depan (baterai mobil listrik) maka perlu kebijakan dan strategi yang mengatur penggunaan
mineral (ekspor-impor maupun pengembangan industri hulu-hilirnya) untuk menjaga
ketahanan mineral nikel Indonesia.
• Mineral besi pada umumnya berbentuk bijih besi dan pasir besi. Cadangan mineral besi
sebesar 3 milyar ton, dengan produksi pada tahun 2018 sebanyak 3,9 juta ton bijih besi
dan pasir besi, atau 3,1 juta ton per tahun konsentrat besi.
• Smelter yang beroperasi saat ini sebanyak 2 smelter dengan output 501 ribu ton Fe.
Ada beberapa smelter yang ditutup karena masalah pasokan bahan baku bijih/pasir
besi serta sumber energi yang diperlukan.
• KS-POSCO dibangun untuk memberikan supply slab dan billet pada KS, karena
produksi slab dan billet KS terhenti akibat alasan ketidakekonomisan. Slab dan billet
merupakan produk antara (intermediate products) yang oleh KS selanjutnya dibuat
menjadi long products dan plate products. Pada kenyataannya tidak semua produk KS-
POSCO dapat diterima oleh KS. Untuk mengatasi kekurangan terhadap slab dan billet,
PT. KS mengimpornya untuk selanjutnya diproses menjadi long dan plate products.
• Dari sisi pasokan raw material bijih besi dan pasir besi, memang secara geografis
letaknya menyebar (scattered) sehingga dari sisi ekonomis menjadi tidak feasible.
Begitu juga dengan kebutuhan kokas, tidak ada kokas (batubara berkalori tinggi) yang
ada di Indonesia, sehingga kebutuhan ini harus diimpor, atau jika pun dibuat harganya
menjadi tidak kompetitif.
• Konsumsi nasional akan produk hilir atau produk akhir besi baja semakin meningkat
seiring dengan berkembangnya kebutuhan masyarakat. Besarnya proyek infrastruktur
pemerintah dan tren kenaikan harga baja diperkirakan mendongkrak penjualan baja
maupun profitabilitas perusahaan-perusahaan di subsektor manufaktur ini. Di samping
itu ada multiple effect ke kebutuhan yang lain seperti otomotif yang relatif stabil. Adapun
proyek-proyek yang saat ini sudah berjalan antara lain proyek swasta dan BUMN
berupa jalan tol dan tower listrik.
• Tahun 2017, pasar baja domestik diperkirakan sekitar 14 juta ton, hampir dua kali lipat
dibanding 10 tahun terakhir. Dari sisi volume, pasokan baja dari pemain lokal
mengalami kenaikan, tetapi dari prosentase relatif tetap sekitar 53,7% (Ijang
Suherman, 2018).
25000
Proyeksi
20000
Aktual
15000
dalam ribu ton
10000
5000
0
2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024
Konsumsi Produksi
Sumber: IISIA 2017, assumption GDP 5-6% (telah diolah kembali)
• Pada dasarnya supply-demand produk industri besi-baja didorong oleh long product dan
flat product. Demand yang besar tidak sepenuhnya dapat dipasok oleh produsen baja
dalam negeri, sehingga dapat dipastikan kebijakan impor besi-baja terus dilanjutkan.
• Penggunaan bahan baku bijih besi atau pasir besi lokal dapat dikesampingkan karena
karakternya yang scattered, dan secara ekonomis not feasible. Jika ada smelter yang
beroperasi, maka keran impor bahan baku untuk industri antara ini, yang menggunakan
bahan baku impor (bijih besi, batubara/kokas) dapat dijalankan dengan tujuan
menyelamatkan industri antara dalam negeri.
• Untuk memenuhi kebutuhan 14 juta tpy besi baja, sementara produksi lokal dengan
kapasitas maksimal 7 juta tpy atau setengah dari kebutuhan baja total, maka yang dapat
dilakukan adalah:
• Untuk mengontrol impor produk jadi, karena juga ada kesepakkatan WTO, maka
yang dapat dilakukan adalah dengan technical barrier/instrument (harus dibuat di
dalam negeri, SNI dll.)
• Pemangku kepentingan perlu duduk bersama kembali terkait dengan scrap. Yang
perlu dijaga untuk lingkungan lebih tepat adalah emisi gas buangnya.
• Utilisasi industri baja dalam negeri masih bisa ditingkatkan, utilisasi tidak maksimal hanya
karena harga baja impor murah yang menjadikan industri dalam negeri kalah bersaing.
Artinya produsen ini tidak akan memproduksi maksimal.
• Perlu perbaikan efisiensi industri baja dalam negeri, dalam hal Kualitas, Harga dan
Pengirimannya (Quality, Cost, Delivery) untuk mampu bersaing dengan besi-baja impor.
Program ke arah ini harus didukung pemerintah, dan mendapat monitoring dan apresiasi
yang baik.
• Berdasarkan data dari Dirjen Minerba tahun 2019 bahwa cadangan mineral tembaga
Indonesia sebesar 2,76 milyar ton dengan umur cadangan yakni 39 tahun. Proses
penambangan mineral logam tembaga dilakukan oleh PT Freeport Indonesia yang
memiliki konsesi penambangan di Papua Barat dan PT Newmont Nusa Tenggara di pulau
Nusa Tenggara Barat yang berganti nama menjadi PT Amman Mineral Nusa Tenggara.
• Selain dua perusahaan besar ini, terdapat juga perusahaan lain yang bergerak dalam
penambangan mineral bijih tembaga yakni PT Kalimantan Surya Kencana dan PT Batutua
Tembaga Raya. PT Kalimantan Surya Kencana ditargetkan mulai beroperasi pada 2020
sedangkan PT Batutua Tembaga Raya sudah beroperasi dan juga merupakan anak
perusahaan PT Merdeka Copper & Gold.
• Industri hulu mineral bijih tembaga mengolah mineral bijih menjadi konsentrat tembaga
sebaga komoditas jual atau juga bahan baku di smelter. Komoditas konsentrat tembaga
sudah terdaftar di LME.
• Logam tembaga adalah logam dengan konduktivitas listrik sangat baik sehingga banyak
digunakan dibidang pembangkitan listrik. Sejajar dengan proyek 35.000 MW yang
diperkirakan akan selesai di tahun 2026 maka kebutuhan akan logam tembaga
diperkirakan terus mengalami kenaikan untuk mendukung terselesaikannya proyek ini
dengan baik.
• Berkaitan dengan kebijakan pemerintah untuk membuat smelter, maka telah ada
beberapa perusahaan yang akan membangun smelter konsentrat tembaga seperti PT
Freeport Indonesia (500.000 tpy), PT Amman Mineral Nusa Tenggara (375.000 tpy), PT
Batutua Tembaga Raya (23.000 tpy) dan PT Kalimantan Surya Kencana (25.000 tpy).
Jika semua smelter ini beroperasi penuh maka akan ada tambahan produk katoda
tembaga sebanyak 923.000 ton per tahun. Sehingga potensi over supply dapat terjadi dan
membuka pintu ekspor untuk katoda tembaga.
250000
TPY
200000
150000
Impor
100000
50000
0
2006 2008 2010 2012 2014 2016 2018 2020 2022 2024 2026
Series1 Series2 Series3 Series4 Linear (Series1)
• Adapun hal yang menjadi keengganan pembangunan smelter konsentrat tembaga oleh
perusahaan-perusahaan tambang mineral tembaga adalah marjin keuntungan yang tipis
yakni sebesar 5-6% jika mengolah konsentrat tembaga menjadi katoda tembaga. Jika
dibandingkan dengan mengolah mineral bijih tembaga menjadi konsentrat tembaga
memberikan marjin keuntungan yang besar (94-95%).
• Supply bahan baku tembaga tidak mencukupi kebutuhan demand, terutama untuk pasar
utama yaitu cable. Begitu juga dengan kebutuhan pada industri hilir yang lain, sehingga
masih banyak bahan baku tembaga yang diimpor.
• Dengan adanya prediksi over supply yang di masa depan maka pemerintah perlu
mendorong industri-industri hilir yang memproduksi barang jadi dari logam tembaga
sehingga mengurangi ketergantungan terhadap impor produk hilir logam tembaga.
• Indonesia merupakan produsen timah kedua terbesar di dunia memiliki 7% sumber timah
dunia dan 15% cadangan timah dunia (data: ITRI 2015), setelah Tiongkok yang memiliki
35% sumber timah dunia dan 43% cadangan timah dunia pada tahun 2017. Sementara
PT Timah Tbk (TINS) adalah perusahaan produsen timah kedua terbesar di dunia di
bawah Yunnan Tin dari Tiongkok. Ironisnya, hingga saat ini harga acuan komoditi timah
masih ditentukan oleh London Metal Exchange (LME) di Inggris, negara yang memiliki
tambang timah tetapi hanya dalam sejarah.
• Update data mengenai cadangan mineral bijih timah Indonesia menurut data dari Dirjen
Minerba tahun 2019 adalah sebanyak 1.500.000 ton dengan umur cadangan diperkirakan
selama 18 tahun.
• Diperkirakan 70.900 ton timah ditambang pada 2015. PT Timah, Tbk memiliki cadangan
sebesar 328.392 ton timah dimana sebanyak 276.772 ton (84%) berada di lepas pantai
(offshore). Meskipun begitu, proporsi signifikan dari produksi timah di Indonesia berasal
dari sektor privat (sekitar 60% di tahun 2015) dan sektor penambang informal yang tidak
memiliki estimasi cadangan.
• Industri hulu mineral bijih timah mengolah mineral bijih menjadi ingot logam sebagai
komoditas jual. PT Timah Tbk merupakan satu-satunya smelter timah di Indonesia yang
menghasilkan logam timah dengan kapasitas produksi 35.000 ton per tahun.
• Industri hilir timah di Indonesia yang tercatat adalah industri Tin Plate yakni PT Latinusa
yang memproduksi Tin Plate sebanyak 160.000 tpy (membutuhkan timah sebanyak
~2.400 ton) sehingga mensuplai 56% kebutuhan di pasar domestik. Selain itu, industry
solder masih sepenuhnya melakukan impor bahan baku timah. Fakta lain yang terjadi di
lapangan adalah, Indonesia masih mengimpor sebanyak 863,66 tpy Tin Alloy.
Produksi Nasional
100,000
Ekspor Proyeksi
80,000
TPY
60,000
40,000
20,000 Impor
-
2006 2008 2010 2012 2014 2016 2018 2020 2022 2024 2026
Series1 Series2 Series3 Series4 Linear (Series1)
• PT Timah, Tbk juga menghasilkan produk sampingan dari pengolahan mineral bijih timah
yang masih bernilai ekonomis. Hasil sampingan tersebut adalah mineral-mineral ikutan
daripada mineral utama Cassiterite yakni Zircon, Ilmenite dan Monazit. Hasil sampingan
ini belum dilakukan komersialisasi, dan disimpan pada stock-pile serta direncanakan
untuk diolah sendiri sebagai rare-earth (monazite).
• Orientasi ekspor produk timah (ingot) terus dilanjutkan, karena kebutuhan (demand)
dalam negeri masih relatif kecil. Produk yang menggunakan timah terutama untuk tin-
plate dan timah solder.
• Proses eksplorasi cadangan bijih timah hendaknya terus dilakukan. Selain untuk
mendapatkan tin-ingot sebagai produk utama, namun potensi adanya kandungan rare-
earth (logam tanah jarang) menjadi salah satu pertimbangan utama.
• Mendorong pertumbuhan dan terbangunnya industri hilir timah agar bisa seoptimal
mungkin memanfaatkan supply timah (ingot) dalam negeri.
• Rare-earth mineral (logam tanah jarang) yang terkandung dalam logam timah
memerlukan kebijakan dan strategi yang tepat. Sebelum memiliki roadmap yang jelas
terhadap pemanfaatan rare earth akan lebih baik jika bahan baku ini tidak
diperdagangkan terlebih dahulu. Prinsip scarcity dalam ekonomi mineral perlu
dipertimbangkan
• Kebijakan dan strategi yang diambil, selain berkepentingan untuk investasi dan
pengembangan bisnis, namun harus tetap mengedepankan sustainability
(keberlangsungan) industri mineral logam ke masa depan.
• Pengelolaan sumber daya alam (mineral resources) dari hulu hingga ke hilir, juga tetap
menjaga ketahanan sumber mineral logam negara untuk kesejahteraan rakyat
Indonesia.