Pabrik Aluminium Oksida dirancang untuk memenuhi kebutuhan di dalam maupun di luar negeri.
Kapasitas yang direncanakan dengan bahan baku Bauksit dan Larutan Natrium Hidroksida
sebesar 760.000 ton/tahun. Pabrik ini beroperasi secara kontinyu selama 330 hari dalam setahun.
Pabrik ini direncanakan berdiri di wilayah Pulau Bintan Kepulauan Riau, Provinsi Riau di atas
tanah seluas 17.144 m2. Proses pembuatan Aluminium Oksida dilakukan dalam Reaktor Alir
Tangki Berpengaduk (RATB). Pada reaktor ini reaksi berlangsung pada fase padat – cair,
irreversible, eksotermis, pada suhu 140 ℃ dan tekanan 4 atm, sehingga untuk menjaga suhu
reaksi digunakan jaket pendingin.
Untuk memproduksi Aluminium Oksida dengan kapasitas 760.000 ton/tahun diperlukan bahan
baku Bauksit sebesar 294.563,0053 kg/jam dan Larutan Natrium Hidroksida sebesar
166.793,1547 kg/jam. Utilitas pendukung proses meliputi penyediaan air proses sebesar
149.417,805 kg/jam, penyediaan udara tekan sebesar 48 m 3/jam, penyediaan listrik sebesar
4.561,3153 kW diperoleh dari PLN dan 1 buah generator sebesar 6000 kW, dan kebutuhan fuel
oil sebanyak 207,9303 liter/jam.
Dari analisis ekonomi terhadap pabrik ini menunjukkan keuntungan sebelum pajak Rp
304.872.278.096,70 /tahun setelah dipotong pajak 50% keuntungan mencapai Rp
152.436.139.048,00 /tahun. Percent Return On Investment (ROI) sebelum pajak 76% dan setelah
pajak 38%. Pay Out Time (POT) sebelum pajak 1,16 tahun dan setelah pajak 2,07 tahun. Break
Even Point (BEP) sebesar 42,27%, dan Shut Down Point (SDP) sebesar 32,42%.
PENDAHULUAN
a. Impor
Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa industry di Indonesia masih membutuhkan
Aluminium Oksida dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan bahan baku dalam usahanya.
Berdasarkan data impor alumina di atas dapat di buat grafik linier antara data tahun pada
sumbu x
1.2.2. Demand
Nilai demand merupakan salah satu nilai yang digunakan untuk mengetahui nilai kapasitas yang
diperlukan. Nilai ini akan didapatkan dari nilai ekspor dan konsumsi. Berdasarkan data yang
diperoleh Indonesia belum melakukan ekspor Aluminium Oksida ke luar negeri berdasarkan data
yang ada tersebut penyediaan aluminium oksida dari impor merupakan usaha untuk pemenuhan
konsumsi dalam negeri.
Dari data yang didapatkan diketahui bahwa jumlah konsumsi Aluminium Oksida di Indonesia
sama dengan jumlah impor Aluminium Oksida di Indonesia, dan berdasarkan data pabrik
alumina yang telah berdiri, juga karena alumina menjadi bahan dasar pembuatan aluminium,
dan aluminium banyak diproduksi di Indonesia, maka diambil asumsi konsumsi Alumina di
Indonesia adalah sebesar 1.000.000 ton/tahun.
Bahan baku merupakan hal yang penting bagi suatu pabrik. Kaena itu sumber bahan baku
merupakan salah satu faktor dalam pemilihan lokasi pabrik. Bahan baku bauksit banyak terdapat
di daerah ini dan mudah didapat karena itu cocok untuk mendirikan pabrik di daerah ini seingga
pabrik bias berjalan continyu. Sedangkan bahan baku NaOH dapat diperoleh dari pabrik dalam
negeri.
2. Sarana transportasi
Daerah lokasi pabrik telah tersedia jalur transportasi ,baik jalur darat maupun laut, sehingga
dapat memudahkan transportasi dalam hal pengambilan bahan baku dan pemasaran produk.
Daerah sekitar lokasi pabrik ini terdapat banyak sungai yang berasal dari gunung lengkuas yang
dapat menyediakan air untuk keperluan pabrik maupun rumahan.
5. Pemasaran
Sebagian besar produk alumina yang dihasilkan pabrik dapat dipasarkan sebagai bahan baku
aluminium di Kuala tanjung proyek Asahan di Sumatra Utara. Dan sebagiannya lagi dapat di
pasarkan di pabrik – pabrik aluminium yang membutuhkan.
Proses ekstraksi alumina dengan mereaksikan dengan senyawa alkali adalah proses yang pertama
kali ditemukan untuk mengekstraksi alumina dari bauksit. Proses sinter ditemukan oleh ilmuwan
perancis Le Chatelier pada tahun 1854 yang kemudian dikembangkan oleh G. Muller pada tahun
1880 yang dinamakan proses sinter. Pada proses ini bauksit direaksikan dengan natrium karbonat
(NaCO3) yang kemudian menjadi natrium aluminat. Proses selanjutnya adalah tahap dekomposisi
alumina menggunakan karbon(karbonatasi). Alumina yang terbentuk selanjutnya melalui proses
filtrasi dan kalsinasi. Proses sinter memiliki keuntungan dapat mengolah bahan baku berkualitas
rendah, dan pada pengembangannya dapat menggunakan non – bauxite material seperti batu
kapur dan tanah liat. Namun proses ini memiliki kekurangan jika menggunakan bahan baku
dengan alkalinitas rendah dapat menurunkan yield, memerlukan energi yang besar dan pada saat
ini natrium karbonat tidak ekonomis (Senyuta, 2013).
2. Proses bayer
Proses bayer pertama kali ditemukan pada tahun 1888 oleh ilmuwan Austria Karl Josef Bayer.
Proses ini mengalami pengembangan di tahun 1892 dengan penggantian soda abu menjadi
pressure leaching. Proses bayer dibagi menjadi tiga tahap yaitu tahap digestion (ekstraksi), tahap
precipitation (kristalisasi), dan tahap kalsinasi (seecharran, 2010).
Pada proses bayer bahan baku yang digunakan adalah bauksit high grade yaitu bauksit yang
mempunyai kadar alumina diatas 50 %. Bauksit mengandung senyawa Al2O3, SiO2, Fe2O3, TiO2
dan sisanya H2O. Prosentase kandungannya bervariasi secara umum adalah Al2O3 (45-65%), SiO2
(1-12%), Fe2O3 (2-25%), TiO2 (>3%), dan H2O (14-36%). Senyawa Al2O3 dalam bauksit,
membentuk komplek dengan air membentuk Al2O3.H2O (aluminium oxide monohidrat) dan
Al2O3.3H2O (aluminium oxide trihidrat) jika ditulis rata – rata adalah Al2O3.2H2O (aluminium
oxide dihidrat) (ESDM, 2012).