Anda di halaman 1dari 24

BERITA LNG

Bangun Gas Persada dirikan Terminal LNG


berkapasitas jumbo di Cilacap
Minggu, 21 Januari 2018 / 17:19 WIB

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. PT Bangun Gas Persada (BGP) berencana membangun


Terminal Penerima LNG di Cilacap, Jawa Tengah berkapasitas 80.000-260.000 metrik ton
plus pembangunan pipa sepanjang 110 kilometer (km) dengan investasi sebesar US$ 370
juta. Adapun pembangunan pipa transmisi itu juga akan mendukung program city gas yang
sedang dijalankan pemerintah di Pulau Jawa.

Dalam mewujudkan proyek besar itu, BGP tengah menanti perizinan dari Kesyahbandaran
dan Otoritas Pelabuhan Cilacap Jawa Tengah guna memperoleh restu melakukan reklamasi
seluas 12 hektare (ha). Pasalnya, proyek yang awalnya direncanakan menggunakan
Floating LNG, kini diubah menjadi Onshore Terminal.

Rosadi Darwis Presiden Direktur PT Bangun Gas Persada menceritakan, proyek ini
sebenarnya sudah berjalan sejak dua tahun lalu dengan lokasi yang terus berubah.
Pertama, proyek Terminal Penerima LNG ini awalnya bakal dibangun di Medan, namun
demikian rupanya PT Pertamina pada 2017 lalu membangun Terminal Regasifikasi Arun,
akhirnya perusahaan harus memindahkan proyek ke Banten karena terlalu dekat dengan
proyek Pertamina. "Kami pindahkan ke Banten," ujar dia kepada KONTAN, Jumat (20/1) di
kantornya.

Saat di Banten, perusahaan sudah membuat desain proyek di Pulau Panjang, bahkan sudah
memberikan konsep proyek ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di
Pulau Panjang yang akan menjadi basis Terminal Penerima LNG menggunakan Floating
LNG. Namun lagi-lagi, ada perusahaan yang mengadopsi proyek Bangun Gas Persada
tersebut. "Kami akhirnya pindah ke Cilacap," imbuh dia.

Tidak berhenti di sana, proyek yang sudah mendapat restu dari berbagai pihak misalnya
dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bupati Cilacap soal surat kepemintan
investasi, Kementerian ESDM soal izin usaha sementara penyimpanan LNG, serta dari
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan untuk meminjam
lahan seluas 3,5 ha yang dikelola oleh TNI AD Kodam Diponogoro. Ternyata, di tengah
jalan PT Pertamina meminta lahan 3,5 hektare (ha) untuk proyek Refinery Development
Master Plan (RDMP) Cilacap.

"Akhirnya kami serahkan lahan itu ke Pertamina dengan menyampaikan surat ke DJKN
bahwa kami tidak akan memakainya dan diserahkan ke Pertamina. Kami juga sudah
sampaikan ke Kodam bahwa Pertamina yang akan memakai lahan itu," imbuh dia.
Tak patah arang, Bangun Gas Persada, kata Rosadi tengah meminta izin kepada
Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Cilacap untuk melakukan reklamasi seluas 40
hektare dekat dengan lahan yang diserahkan ke Pertamina. "Tetapi dalam prosesnya hanya
diizinkan 12 hektare saja. Katanya takut mengganggu sinyal kalau sampai 40 ha. Saya
sudah bertemu dengan KSOP Cilacap, responnya positif," imbuh dia.

Dengan hanya diizinkan 12 hektare, maka perusahaan tidak akan membangun pembangkit
listrik tenaga gas (PLTG). Alhasil, perusahaan hanya akan membangun Terminal Penerima
LNG saja lantaran lahan yang diperlukan tidak cukup. "Investasi terminal dan pipa gas
sebesar US$ 370 juta, ada investor asing dan lokal yang siap," ungkap Rosadi.

Dia mengatakan, untuk pasokan gas pihaknya juga bisa mendapat dari BP Tangguh,
maupun dari Australia yang jaraknya dekat dengan Cilacap. Saat ini banyak LNG yang dijual
di spot sehingga sangat mudah mendapatkan LNG. "Singapura sekarang membuka basis
penjualan spot LNG, latar belakangnya penjualan spot LNG meningkat," ujarnya. Maklum,
saat ini banyak negara yang tidak lagi menjual LNG melalui skema kontrak jangka panjang
hingga 30 tahun.

Dia juga mengatakan, jika proyek Terminal Penerima LNG di Cilacap sudah sukses,
perusahaan akan membangun basis penjualan spot di Lampung. "Harusnya kita jangan
kalah dengan Singapura. Kita akan saingi mereka," ujar dia.

Konsep Bisnis Bersama

Sementara itu, Rosadi menerangkan, proyek ini akan menjadi percontohan dalam
pengelolaan proyek gas di hilir, sebabnya Bangun Gas Persada akan membuka seluas-
luasnya para investor untuk memiliki saham di proyek infrastruktur itu.

Alhasil, semua perusahaan trader gas nantinya bisa memanfaatkan Terminal Penerima LNG
itu untuk menjual gas ke konsumennya. "Sudah ada investor dari Malaysia dan Inggris yang
ingin membiayai proyek ini. Tetapi saya bilang nanti dulu, kalau sudah beres semua akan
kami buka untuk investor." ujar dia.

Dia menerangkan, Indonesia saat ini memang menjadi incaran para investor asing. Mereka
berbondong-bondong untuk menanamkan modalnya di sini. Namun demikian, proses
untuk membuat proyek di suatu daerah tidak mudah dan membutuhkan waktu untuk
merealisasikannya.

Meski akan membuka dengan investor asing, Rosadi mengatakan, pihaknya juga ingin
menggandeng beberapa investor lokal semacam pengelola dana pensiun. "Nanti konsep
Terminal Penerima LNG dimiliki bersama, termasuk pipanya. Setelah itu, kami akan bentuk
anak usaha baru khusus menjual gas. Jadi tidak boleh dicampur antara pemilik
infrastruktur gas dengan penjual gas," imbuh dia.

Proyek PT Bangun Gas Persada untuk Terminal Penerima LNG Cilacap:


1. Fasilitas unloading: 80.000-260.000 metrik ton LNG
2. Back loading: 1.500-30.000 metrik ton LNG
3. Storage: 2x160.000 metrik ton
4. Regasifikasi: 600 mmscfd
5. Truk Loading: 12 bay, 180 truk per hari.
6. Pipa gas: 110 km dengan kapasitas 300-1.000 mmscfd menuju Wangon, Ajibarang,
Buumiayu, Prupuk, Bulakamba. Lalu dibangun lagi ke Bulakamba ke Babakan, Cirebon, dan
Cilegon. Selain itu juga dibangun pipa dari Bulakamba ke Brebes, Tegal, Pemalang,
Pekalongan, Batang, Kendal, Semarang, dan Gresik.
7. Small Cale Tangker juga disiapkan untuk menuju Lampung, Padang, Bengkulu, Bali,
Lombok, dan Sumbawa.
8. Truk disiapkan menuju Yogyakarta, Solo, Purwokerto, Boyolali, Purbalingga,
Banjarnegara, Bandung, Garut, Tasikmalaya, dll.

BERITA BISNIS

Jadwal Produksi Tiga Proyek Migas


Meleset
Jumat, 20 September 2019 | 07:36 WIB

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tiga proyek minyak dan gas bumi (migas) yang
dijadwalkan beroperasi komersial (onstream) pada kuartal ketiga tahun ini
meleset dari target. Satuan Kerja Khusus Pelaksana Tugas Hulu Migas (SKK
Migas) mencatat, ada beberapa kendala yang mesti diselesaikan.

Adapun proyek yang mundur dari target operasional di antaranya adalah Ario-
Damar-Sriwijaya-Phase 2 yang ditargetkan pada Juli 2019 dan Suban
Compression pada Agustus 2019.

Wakil Kepala SKK Migas, Fatar Yani Abdurrahman, menyebutkan proyek Ario-
Damar sejatinya telah onstream pada 1 September lalu, di mana fasilitasnya
sudah siap sejak 1 Agustus.
"Namun saat itu perlu penyelesaian administrasi untuk transporter gas," terang
dia kepada KONTAN, Kamis (19/8).

Mengacu data SKK Migas, proyek Ario-Damar memiliki estimasi produksi gas
sebesar 20 juta standar kaki kubik per hari (mmscfd). Proyek yang dikelola PT
Tropik Energi Pandan ini menelan investasi sekitar US$ 11 juta.

Sementara untuk proyek Suban Compression yang dikelola oleh ConocoPhillips


(Grissik) Ltd, Fatar enggan menjelaskan kenapa proyek itu mundur dari jadwal
yang dicanangkan. "Paling lambat bulan Oktober 2019 (onstream)," ungkap dia.
Satu hal yang pasti, proyek dengan estimasi produksi 100 mmscfd itu sudah
memasuki tahap comissioning. Proyek ini menelan investasi berkisar US$ 440
juta.

Selain kedua proyek tersebut, satu lagi proyek yang sudah pasti mundur adalah
Proyek Lapangan YY milik Pertamina Hulu Energi ONWJ. Proyek yang tertimpa
kejadian kebocoran gas dan tumpahan minyak ini semula akan onstream pada
awal kuartal keempat tahun ini.

Baca Juga: Pertamina yakin killing well YYA-1 pada September 2019

"Untuk Lapangan YY sudah tidak bisa (onstream pada tahun ini)," terang Fatar.
Padahal sebelum kebocoran gas, progres proyek YY telah mencapai 96%.

Meski ada sejumlah proyek yang mengalami kemunduran, SKK Migas


mengharapkan proyek migas lainnya yang dijadwalkan bisa beroperasi produksi
pada tahun ini tidak mengalami hal serupa.

Setidaknya ada enam proyek migas yang mungkin bisa onstream pada kuartal
keempat tahun ini. Pertama, proyek minyak dan gas Bukit tua Phase 3 dengan
Petronas Carigali Ketapang II Ltd.
Kedua, Proyek Buntal 5 dengan Medco E&P Natuna Ltd. Ketiga, Bison-Iguana-
Gajah Puteri yang dikelola Premier Oil Natuna Sea B. V.

Keempat, proyek Temelat yang memiliki estimasi produksi sekitar 10 mmscfd


dikelola PT Medco E&P Indonesia. Kelima, proyek Lapangan Panen dengan
pengelola PetroChina International Jabung Ltd. Keenam, proyek Kedung Keris
yang dikelola oleh ExxonMobil Cepu Ltd.

PGN Bangun 486 KM Pipa Gas Sampai 2021


NEWS - Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia

27 August 2019 18:13

Jakarta, CNBC Indonesia - PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) tengah


menyelesaikan proyek pembangunan pipa gas sepanjang 486 kilometer (km)
sampai dengan 2021.

Proyek tersebut terdiri dari pipa gas Duri-Dumai tahap II sepanjang 67 km, yang
nantinya diharapkan akan dapat menyalurkan gas untuk memenuhi kebutuhan
Refinery Unit (RU II) Dumai dan rencana pengembangan pipa distribusi Dumai
sepanjang 56 km untuk melayani kebutuhan industri, komersial dan rumah
tangga di wilayah Dumai, Pekanbaru, dan sekitarnya.
Selain di Duri-Dumai, Sekretaris Perusahaan PGN Rachmat Hutama
menjelaskan, untuk memenuhi kebutuhan gas bumi di Jawa Tengah, PGN
sedang membangun proyek pipa gas Gresik-Semarang sejauh 267 km yang
akan mengalirkan gas dari blok migas Jambaran Tiung Biru. Selain mengalirkan
gas, ke PLTGU Tambak Lorok milik PLN, kehadiran jaringan pipa gas berukuran
28 inchi ini juga akan dapat menyalurkan gas untuk industri di wilayah Jawa
Tengah.

Selanjutnya, PGN akan membangun pipa distribusi jalur Semarang-Kendal-


Ungaran sepanjang 96 km dengan pipa berukuran 4"- 16" sampai 2021
mendatang untuk memenuhi pemanfaatan kebutuhan energi gas bumi.

"Jaringan pipa gas ini akan menjamin wilayah Jawa Tengah dan sekitarnya
mendapatkan pasokan gas secara berkelanjutan. Infrastruktur ini juga dapat
mendukung berkembangnya sentra industri baru di Jawa tengah sejalan dengan
pembangunan tol Trans Jawa," jelas Rachmat, di Jakarta, Selasa (27/8/2019).

Rachmat juga menyatakan, ke depan koneksi infrastruktur gas bumi trans Jawa
diharapkan akan tersambung sampai Jawa Barat dan Sumatra sehingga akan
meningkatkan kehandalan pasokan serta perluasan pasar gas bumi untuk
utilisasi gas bumi domestik.

Lebih lanjut, Rachmat mengatakan, pembangunan berbagai infrastruktur gas itu


menjadi prioritas utama PGN, mengingat semakin besarnya kebutuhan energi
yang lebih efisien di berbagai wilayah di Indonesia, terutama untuk daerah-
daerah yang selama ini belum terjamah gas bumi dan memiliki potensi ekonomi
yang sangat baik untuk pengembangan sektor kelistrikan, industri, transportasi,
dan rumah tangga.

Adapun, di Jawa Timur, saat ini PGN tengah membangun fasilitas LNG Terminal
dengan kapasitas 40 BBTUD untuk meningkatkan realibility dan sustainability
pasokan gas bumi yang mengalami kendala karena kondisi sumur gas yang ada.
Hal ini untuk mengakomodir kebutuhan kelistrikan, industri dan retail di Jawa
Timur yang meningkat.

"Infrastruktur gas adalah kunci bagi optimalisasi pemanfaatan gas bumi yang
berkelanjutan serta menjangkau lebih banyak wilayah dan pasar," pungkas
Rachmat.

Sesuai rencana kerja PGN sampai dengan 2024, perusahaan


akan membangun sejumlah infrastruktur baru diantaranya membangun jaringan
pipa distribusi sepanjang 500 km, pipa transmisi 528 km, 7 LNG filling station
untuk truk/kapal, 5 FSRU, 3,59 juta sambungan rumah tangga dan 17 fasilitas
LNG untuk mensuplai kebutuhan kelistrikan dan menjangkau wilayah geografis
dengan karakteristik kepulauan di seluruh wilayah Indonesia.
+

Garap Blok Gas Raksasa RI, Repsol Diminta


Kebut Rencana PoD
NEWS - Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia

26 August 2019 16:37

jakarta, CNBC Indonesia - Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha


Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mengharapkan Repsol dapat
menyampaikan Rencana Pengembangan (POD) Blok Sakakemang hingga akhir
2019.

Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan, pihaknya akan mengejar Blok
Sakakemang untuk bisa berproduki lebih cepat. Saat ini, SKK Migas tengah
menunggu hasil kajian dari Lemigas.

Dwi menjelaskan POD dapat disampaikan setelah Lemigas menerbitkan


sertifikat besaran cadangan migas yang ada di Blok Sakakemang. Jika hasil
kajian tersebut mengatakan, cukup ekonomis dengan satu sumur, Repsol bisa
langsung melanjutkan ke tahap pengembangan.

"Kalau misalnya Lemigas bisa ngasih sertifikat tanpa pengeboran lagi, kami
harapkan POD nya tahun ini," katanya saat dijumpai di Kementerian ESDM,
Jakarta, Senin (26/8/2019).

"Konsentrasinya kita bisa mempercepat produksi, meski belum total, dari


cadagangannya. Karena berapa yang ada, bisa dimulai dari POD-nya,"
tambahnya.

Sebelumnya, berdasarkan keterangan resmi Repsol, perusahaan migas global


ini berhasil menemukan cadangan gas bumi sekurang-kurangnya 2 TFC (trillion
feet cubic) pada Februari 2019. Hanya saja, untuk memastikan besaran
cadangan, Repsol setidaknya memerlukan satu pengeboran lagi di Sakakemang.
Repsol kini berencana untuk mengebor sumur kedua atau sumur kajian di blok
Sakakemang pada kuartal IV-2019, sebagai bagian dari upayanya untuk
mempercepat produksi gas pertama dari penemuan terbesar saat ini.

Melalui keterangan resmi perusahaan, Repsol mengatakan, akan berkerja


dengan mitra kerjanya, Petronas dan MOECO sepanjang tahun depan, untuk
meningkatkan kajian teknis sumber daya yang dimiliki dalam penemuan tersebut,
maupun, opsi-opsi pengembangan yang matang agar dapat dilanjutkan ke
pengembangan lapangan.

"Repsol sepenuhnya berkomitmen untuk pengembangan lebih lanjut penemuan


sumur Kaliberau Dalam (KBD-2X) Sakakemang dan mencermati berbagai
kesempatan dalam rangka mempercepat produksi agar dapat memenuhi
kebutuhan energi yang terus berkembang dari perekonomian Indonesia," tulis
Repsol, Kamis (9/5/2019).

"Dengan dukungan kuat dari pemerintah Indonesia, perusahaan dan mitra


kerjanya berharap dapat mencapai gas pertama dalam waktu tiga tahun, jauh di
depan dari apa yang telah dicapai oleh proyek-proyek serupa sebelumnya,"
tambahnya.
Mengurai Problematika Infrastruktur
Gas
Selasa, 14/03/2017 12:15:57

Persoalan tingginya harga gas di Tanah Air kembali menyeruak. Sejumlah asosiasi industri masih
mempermasalahkan tingginya harga gas domestik dibandingkan harga gas di negara tetangga.
Asosiasi Aneka Keramik Indonesia (Asaki) misalnya, menyorot soal harga gas yang masih tinggi.
Ketua Umum Asaki Elisa Sinaga, pekan lalu, menyatakan dibandingkan negara-negara lain yang
memproduksi keramik dengan kapasitas besar seperti di Eropa, harga gas di Indonesia dianggap
terlalu mahal.

Di Eropa, keramik merupakan industri uggulan sehingga gas sangat murah, yaitu sekitar US$ 3 per
Million Metric British Thermal Unit (MMBTU). Harga gas industri di Indonesia disebut sebagai yang
termahal di kawasan Asia, lebih mahal dari negara yang tidak memiliki cadangan gas. Menurut
Asaki, di Indonesia, saat ini ada tiga harga variasi berdasarkan pembatasan wilayah. Di Jawa
bagian barat US$ 9,15 dan di Jawa bagian timur US$ 8,03. Sementara itu, di Medan, Sumatera
Utara, sudah diputuskan penurunan harga gas yang sebelumnya US$ 12 menjadi US$ 9,8 per
MMBTU kendati para pelaku industri di Medan mengharapkan penurunan harga menjadi US$ 9 per
MMBTU. Apalagi sekitar 35% biaya produksi bergantung pada energi gas.

Para pelaku industri keramik tidak meminta harga gas yang murah, tetapi lebih kepada harga yang
berdaya saing. Mereka mencontohkan Medan dan Malaysia, ketimpangan harga gas terlalu jauh. Di
Malaysia, harga gas hanya US$ 6 per MMBTU. Sementara di Medan, harga gas sebelum turun bisa
US$ 12 per MMBTU. Akibatnya, tren pemakaian gas industri di Sumatera Utara terus turun selama
20 tahun terakhir. Sebelum tahun 2000, konsumsi gas mencapai lebih dari 25 juta MMBTU. Angka
itu terus merosot dengan minimnya pasokan gas ke Sumut dan naiknya harga gas dari US$ 8,7 per
MMBTU ke sektar US$ 14 per MMBTU. Kendati harga diturunkan menjadi US$ 12,2 per MMBTU,
konsumsi terus turun. Saat ini, konsumsi gas tinggal sekitar 8,6 juta MMBTU atau sekitar 35%.
(Kompas, 14-3-2017).

Para pelaku industri berharap pemerintah merealisasikan janjinya menurunkan harga gas agar
industri di Sumut tidak makin terpuruk. Apalagi pemerintahs ebelumnya telah menerbitkan Perpres
No.40/2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi dan Permen ESDM No.16/2016 tentang Tata Cara
Penetapan Harga dan Pengguna Gas Bumi Tertentu. Melalui regulasi tersebut pemerintah
membentuk tim taks force harga gas lintas kementerian, termasuk Kementerian Perindustrian agar
daya saing industri dalam negeri kembali menguat. Tinggal konsistensi dan keseriusan pemerintah
dalam mengimplementasikan beleid itu. Jika harga gas turun, konsumsi gas diproyeksikan naik.
Urgensi Gas

Peranan gas bumi sebagai sumber energi di Indonesia secara perlahan mulai mengimbangi minyak
bumi. Pengunaan gas bumi meningkat dari 1.577 BCF pada 2013 menjadi 2.596 BCF pada 2025
dan diproyeksikan menjadi 7.497 BCF pada 2050. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi atau
BPPT (2015) memperkirakan dalam kurun waktu 2013-2050, total pemanfaatan gas bumi di
Indonesia diproyeksikan tumbuh rata-rata sebesar 4,3% per tahun atau naik mencapai hingga 4,8
kali selama kurun waktu 37 tahun tersebut.

Menurut taksiran BPPT, kebutuhan gas bumi untuk dalam negeri meningkat dari 1,577 BCF pada
2013 menjadi 2,596 BCF pada 2025 dan menjadi 7,497 BCF pada 2050 atau meningkat rata-rata
4,3% per tahun.

Pertumbuhan pemanfaatan gas bumi terbesar adalah di sektor komersial yang meningkat rata-rata
sebesar 7,1% per tahun diikuti oleh sektor industri (5,6%), transportasi (5,0%),pembangkit listrik
(3,6%), dan rumah tangga (1,0%). Saat ini pangsa terbesar pemanfaatan gas adalah untuk sektor
industri dengan pangsa mencapai 44% dari total pemanfaatan gas dan akan meningkat pada 2050
menjadi 69%. Gas bumi di sektor industri selain untuk bahan bakar juga digunakan sebagai bahan
baku. Pada 2050 sektor pembangkit listrik, komersial dan transportasi masing-masing pangsanya
sebesar 26%, 13% dan 1%. Sedangkan sektor rumah tangga pangsanya di bawah 1%.

Sejauh ini penggunaan gas belum optimal, salah satunya karena keterbatasan penggunaan
infrastruktur. Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) mencatat, dibandingkan negara
lain, infrastruktur gas di Indonesia tergolong miskin. Indeks panjang jaringan gas bumi di Indonesia
hanya tercatat 6,4 km/m2. Indeks ini merupakan perbandingan antara panjang pipa gas dengan luas
area. Sementara, indeks infrastruktur gas Thailand dan Malaysia masing-masing sebesar 11 km/ m2
dan 19 km/m2.

Dibandingkan negara lain, menurut Peta Jalan Kebijakan Gas Bumi Nasional 2014-2030
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, panjang pipa transmisi dan distribusi gas Indonesa
terbilang pendek. Turki, misalnya, pada 2008 memiliki jaringan pipa transmisi dan distribusi gas
sepanjang 11.094 km. Padahal, pada 2002, Turki hanya memiliki jaringan pipa gas sepanjang 4.410
km. Di Indonesia, pengembangan infrastruktur pipa gas tampaknya berjalan lambat. Pada 2012,
jumlah jaringan pipa transmisi dan distribusi gas nasional baru mencapai 8.000 km. Jumlah tersebut
hanya bertambah 200 km dibandingkan dengan panjang pipa pada 2010 sepanjang 7.800 km.
Karena itu, percepatan pembangunan dan pengembangan infrastruktur gas di Indonesia sudah
sangat mendesak demi pemerataan dan pemenuhan pasokan gas di seluruh wilayah Indonesia.

Infrastruktur gas terdiri atas beberapa kategori, seperti jaringan pipa (pipleine). Pipa gas (pipeline)
merupakan perangkat transportasi untuk mengangkut dan enyalurkan gas dari sumber gas ke
pengguna gas. Berdasarkan Keputusan Menteri ESDN Nomor 2700 Tahun 2012 tentang Rencana
Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional Tahun 2012-2025, jaringan pipa dibagi
dalam beberapa kategori, yaitu open access, dedicate hulu, dedicated hilir, dan kepentingan sendiri.

Selain itu, ada kilang pengolahan LNG dan regasifikasi (gas bumi cair). Kilang likufaksi digunakan
sebagai tempat memproses gas alam menjadi gas alam cair atau LNG. Kemudian ada terminal
regasifikasi merupakan kebalikan dari proses lkuifaksi. Ini berfungsi mengubah kembali gas alam
cair menjadi gas, yang terdiri atas dua kategori yaitu floating storage unit dan floating storage
regasification unit serta land based storage and regasification. Juga ada storage compressed natural
gas (CNG) plant yang merupakan unit untuk penyuimpanan sekaligus tranportasi CNG ke industri
atau pembangkit listrik. Kemudian, jaringan gas rumah tangga serta SPBG, baik menggunakan CNG
maupun LNG. Terkahir adalah LNG station yang merupakan fasilitas yang menghubungkan
penyaluran LNG terminal penerima utama ke sarana transportasi gas seperti truk, kapal atau pun
kereta.

Saat ini, menurut Peta Jalan Kebijakan Gas Bumi Nasional 2014-2030 Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral, infrastruktur gas bumi Indonesia masih perlu banyak pengembangan
khususnya di wilayah tengah dan timur Indonesia. Infrastruktur gas bumi Wilayah barat Indonesia
didominasi oleh jaringan pipa yang di masa depan akan menyambungkan tiga pulau besar yakni
pulau Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Walaupun infrastruktur gas bumi saat ini masih berada
pada developing phase, yakni masih pada skema point to point, ke depannya Indonesia akan
mengembangkan infrastruktur gas bumi ke dalam growth phase di mana skema pada phase ini
adalah hub and spoke. Di masa depan, seiring berkembangnya negeri ini, phase yang terakhir
adalah mature phase di mana skema yang diambil adalah multiple networks.

Untuk wilayah timur Indonesia, pengembangan infrastruktur gas bumi masih sangat sulit karena
kontur geografis yang tidak memungkinkan untuk dibangun jaringan pipa gas bumi sehingga saat ini
wilayah timur Indonesia masih dikuasai oleh energi yang berasal dari minyak bumi. Jika
dikembangkan metode lain, yakni metode virtual pipeline, wilayah timur Indonesia bakal semakin
maju. Potensi anchor buyer di wilayah timur sangat besar seperti yang ditunjukkan oleh gambar.

Anehnya, minimnya infrastruktur pipa ternyata tidak membuat Indonesia bergegas mengejar
ketinggalan. Pengembangan infrastruktur pipa berjalan lambat. Selama periode 2010-2014, panjang
pipa hanya bertambah 700 km, dari 7.800 km (2010) menjadi 8.500 km (2014). Rencana
pembangunan pipa Kalimantan-Jawa, Gresik-Semarang, dan Cirebon-Semarang yang sudah
dicanangkan sejak 2006 sampai sekarang belum terealisasi. Bandingkan dengan Turki dengan
jaringan pipa bertambah dari 4.410 km (2002) menjadi 16.094 km (2013).

Di masa silam, mandeknya pengembangan infrastruktur gas, salah satunya disebabkan oleh
kebijakan dan peraturan sektor migas yang sangat liberal, antara lain dengan pemberlakuan pola
open access sesuai dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No 19 Tahun
2009. Ketentuan dalam pasal 9 Permen ESDM No 19 Tahun 2009 memberi peluang munculnya
trader gas yang tidak berkontribusi dalam pembangunan infrastruktur. Saat ini terdapat 74 trader
gas, namun yang memiliki fasilitas hanya sekitar 15 trader. Selebihnya adalah trader yang
mempunyai kesempatan berniaga gas, tetapi tidak memiliki fasilitas pipa transmisi dan distribusi.
Praktis, saat ini pengembangan jaringan infrastruktur gas, khususnya pipa gas, saat ini baru
didominasi oleh dua perusahaan, yaitu PT Pertamina Gas, anak usaha PT Pertamina (Persero) dan
PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk.

Dominasi Pertamina Gas dan PGN dalam pengembangan infrastruktur pipa gas di Tanah Air
memang tak terelakkan. Pertamina Gas ditopang oleh pendanaan yang kuat dari Pertamina,
sedangkan PGN mengandalkan kemapuan pendanaan di pasar modal. Apalagi,
pembangunan jaringan distribusi dan infrastuktur gas bumi di Indonesia membutuhkan investasi
sangat besar. Sementara tingkat pengembalian investasinya tergolong kecil sehingga kurang
diminati oleh investor maupun perusahaan swasta. Padahal, ketersediaan infrastruktur gas selama
ini menjadi masalah utama penyerapan gas di dalam negeri.

Menurut perhitungan Komisaris Utama PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) Muhammad
Lutfi, investasi yang dibutuhkan untuk membangun jaringan distribusi dan infrastruktur gas di
Indonesia berkisar US$ 42 miliar atau setara dengan Rp 562,8 triliun. Lantaran membutuhkan dana
yang jumbo, tingkat pengembalian investasinya pun harus besar. Lutfi memprediksi, Investment
Rate of Return (IRR) proyek infrastruktur gas harus di atas 20%. Kalau di bawah itu, tidak ada
perusahaan yang sanggup membiayainya (katadata.com, 26 Mei 2016).
Pemerintah memang berharap swasta membantu pembangunan jaringan pipa dan terminal
penerimaan gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) untuk menyerap gas di dalam negeri. Selain
itu, pemerintah pada tahun ini berencana menambah pipa yang dapat digunakan secara bersama
menjadi 6.153 kilometer (km), dari sebelumnya 4.165 km. Tidak hanya itu, pemerintah akan
menambah pipa khusus untuk hilir meningkat dari 4.337 km menjadi 9.177 km.

Sementara itu, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 06 tahun 2016
tentang tata cara penetapan alokasi dan pemanfaatan serta harga gas bumi yang diterbitkan
Februari 2016, mewajibkan badan usaha yang mendapatkan alokasi gas bumi memiliki atau
menguasai infrastruktur fasilitas penyaluran dan penggunaan gas.

Meski begitu, pemerintah memberikan tenggang waktu kepada para badan usaha yang belum
memiliki infrastruktur gas untuk membangunnya. Alternatifnya membangun pipa bersama. Misalnya,
jika dalam satu pipa sepanjang 10 km ada lima badan usaha yang memanfaatkan itu, lebih baik
kelima badan usaha tersebut bekerjasama membangun jaringan pipa gas. Dengan begitu biaya
yang dikeluarkan akan lebih murah.

Namun, membangun infrastruktur gas bumi juga tidak mudah karena harus melalui berbagai macam
izin dan biaya pembebasan lahan yang mahal. Ketika beroperasi, biaya pengelolaannya pun tidak
murah. Contohnya, seperti halnya jalan tol, pengembang infrastruktur harus membayar pajak bumi
dan bangunan di wilayah jaringan pipanya. Dengan berbagai macam risiko tersebut, setiap
perusahaan tidak akan gegabah membangun infrastruktur gas bumi.

Kenaikan permintaan gas gagal diantisipasi dengan instalasi jaringan pipa transmisi dan distribusi
yang memadai. Alhasil, banyak daerah di Indonesia yang belum tersambung oleh jaringan pipa.
Indonesia selama berpuluh-puluh tahun adalah negara eksportir gas, sehingga pembangunan
jaringan pipa gas tidak berkembang. Menurut Sampe L Purba (Kompas, 27-7-2012), minimnya
infrastruktur gas menyebabkan pemasok kesulitan untuk memasok gas ke konsumen.

Permasalahan infrastruktur menurut Sampe, layaknya ayam dan telur. Satu pihak menyatakan
infrastruktur gas sulit dibangun selama tidak ada kepastian pasokan dari hulu (produsen).
Pengembang enggan membangun jaringan pipa transmisi karena dikhawatirkan ketika pipa sudah
terbangun tidak ada supply gas yang memadai. Pihak lain justru mengatakan minimnya pasokan
gas disebabkan tidak adanya infrastruktur gas yang memadai. Hal ini yang menyebabkan deadlock
atas solusi permasalahan gas dan memperlihatkan tidak adanya koordinasi antara sektor hulu dan
hilir.

Di sisi lain, tingginya ekspor gas, yang mencapai angka 44%, juga bisa jadi kendala. Pada awalnya,
tingginya tingkat ekspor disebabkan permintaan dalam negeri yang masih sedikit sehingga produksi
gas alam diarahkan untuk pembeli luar. Apalagi Indonesia sudah terikat kontrak ekspor dengan
sejumlah pembeli dari tujuh negara, dan terikat kontrak pembelian gas antara 2013 hingga 2029.
Tingginya tingkat ekspor ini terjadi karena adanya perbedaan antara harga jual gas di dalam negeri
dan luar negeri.

Faktor lainnya adalah kebijakan bauran energi yang kurang tepat. Pemerintah Indonesia
menggalakkan penggunaan gas (konversi minyak ke gas) pada saat infrastruktur dan pasokan gas
belum memadai. Contohnya, konsumsi gas untuk pembangkit sempat naik kala harga BBM di atas
US$ 100 per barel. Belum lagi soal ketidakpastian pasokan dari produsen dan distributor. Konsumen
gas mengeluhkan ketidakpastian pasokan gas dari distributor.
Di sisi lain, distributor juga mengeluhkan pasokan gas dari hulu (produsen gas). Beruntung bagi
perusahaan distribusi gas yang memiliki induk usaha yang salah satu anak usahanya menjadi
produsen gas. Pasokan gas dari hulu hingga hilir bisa lancar sepanjang tersedia jaringan
infrastruktur gas yang memadai. Celakanya, perusahaan yang memiliki kemampuan seperti itu,
menjadi perusahaan energi terintegrasi dari downstream, midstream, hingga upstream hanya ada
satu, yaitu Pertamina. Karena itu, Pertamina lah yang kemudian menjadi andalan dalam penyediaan
dan pengembangan gas secara terintegrasi. Di hulu mereka memiliki sejumlah anak usaha yang
memproduksi migas, yaitu PT Pertamina EP, PT Pertamina Hulu Energi, PT Pertamina EP Cepu,
serta PT Pertamina International EP. Di midstream, Pertamina memiliki jaringan distribusi dan
transportasi yang sangat kuat melalui kepemilikan armada kapal dan juga FSRU. Sementara di hilir,
pasokan gas disalurkan melalui pipa ke konsumen rumah tangga dan industri melalui Pertamina
Gas dan anak usahanya.

Kita berharap di era Pemerintahan Joko Widodo dan Menteri ESDM dijabat oleh Ignasius Jonan,
persoalan yang membelit seputar gas domestik–mulai dari pasokan, infrastruktur, dan harga–bisa
terselesaikan. Dengan demikian, optimalisasi penggunaan gas sebanyak-banyaknya untuk
kepentingan masyarakat dan industri nasional bisa tercapai. Wallahuallam bissawab.

Liquefied Natural Gas ( LNG )


aspirasi September 13, 2017 0

Pengertian LNG

Oleh: Eko Setiadi – Alumni ITS

Singkatan LNG berasal dari istilah bahasa inggris, Liquefied Natural Gas ( predominantly methane,
CH4, with some mixture of ethane C2H6) , dalam bahasa indonesia berarti Gas Alam Cair. LNG adalah
gas alam yang telah diubah menjadi cairan. Hal ini dilakukan untuk menghemat ruang, karena 610
kaki kubik gas alam dapat diubah menjadi 1 kaki kubik LNG. Mengkonversi gas alam menjadi LNG
membuat kita lebih mudah untuk menyimpan dan lebih mudah untuk mengangkut disaat jaringan pipa
tidak tersedia.

Proses pendinginan (refrigeration process) digunakan untuk mengkondensasi gas alam menjadi LNG
dengan pendinginan sampai minus 260 derajat Fahrenheit. Proses pendinginan ini biasanya disertai
dengan proses menghilangkan air, karbondioksida, hidrogen sulfida dan bahan/unsur pengotor
lainnya.

Tangki Penyimpanan Gas Alam Cair (LNG)

Untuk mempertahankan suhu rendah selama penyimpanan dan transportasi, LNG harus ditempatkan
ke dalam tangki kriogenik (cryogenic tanks). Tangki Kriogenik ini merupakan tangki penyimpanan gas
yang besar yang terisolasi dan dilengkapi dengan unit pendingin.

Ketika pengiriman LNG mencapai tujuan atau bila LNG sedang dikeluarkan dari penyimpanan, maka
LNG wajib di regasifikasi. Tujuan proses regasifikasi adalah untuk memanaskan LNG, sehingga
memungkinkan LNG akan menguap kembali menjadi gas alam. Regasifikasi biasanya dilakukan di
fasilitas di mana gas dapat ditempatkan ke dalam penyimpanan atau langsung ke pipa untuk
transportasi.

Proses Pencairan Gas Alam

Ada dua jenis terminal LNG, yaitu terminal yang mengubah gas alam menjadi LNG dan terminal LNG
yang mengkonversi kembali menjadi gas alam. Masimg-masing disebut sebagai terminal pencairan
dan terminal regasifikasi. Terminal pencairan berada pada sisi transaksi ekspor dan terminal
regasifikasi berada pada sisi transaksi impor.

Terminal pencairan umumnya menerima gas alam melalui jaringan pipa dari lapangan. Sebelum itu
cair gas harus dibersihkan dari air, karbondioksida, hidrogen sulfida dan kotoran lainnya yang mungkin
membeku dan menjadi korosif atau mengganggu proses pencairan. Setelah itu baru cairan LNG
dikirim melalui pipa ke kapal pembawa LNG atau ke penyimpanan untuk menunggu transportasi.

Terminal regasifikasi menerima gas alam biasanya dengan kapal dari lokasi lain. Di terminal
regasifikasi, LNG mungkin disimpan sementara atau dikirim langsung ke pabrik regasifikasi. Setelah
regasifikasi, LNG dikirim oleh pipa untuk didistribusi atau ditempatkan di penyimpanan sementara
sampai dibutuhkan.

Opsi Skema Hulu-Hilir LNG

Pada awalnya, pola komersial bisnis LNG berdasarkan kepemilikan dan pengelolaan mata rantai LNG
di Indonesia menganut pola terintegrasi. Pemilik/pengelola sumber gas, operator kilang LNG sampai
transportasi dilakukan oleh pihak yang sama. Sesuai dengan UU Migas no.8/1971, Pertamina sebagai
pemimpin untuk melaksanakan bisnis LNG yang diproduksi di kilang LNG Badak dan Arun. Kegiatan
operasional kilang dilaksanakan oleh operator kilang, yakni PT Badak dan PT Arun. Kedua
perusahaan nirlaba ini dibentuk dengan saham mayoritas dimiliki Pertamina, dan sebagian lainya
dimiliki oleh KKKS sebagai operator wilayah kerja yang memasok produksi gasnya ke kilang LNG.

Pengembangan kilang LNG Bontang menggunakan skema hulu yang terintegrasi dengan
pengembangan gas Blok Mahakam dan Blok Sanga-Sanga. Skema hulu tersebut mengintegrasikan
investasi pembangunan kilang LNG dengan kegiatan pemboran dan pembangunan fasilitas produksi
di bagian hulu. Dengan integrasi tersebut, maka bisnis LNG mulai dari produksi gas sampai
pemasarannya dilakukan secara efisien, karena tidak ada keuntungan komersial yang dihasilkan dari
kegiatan operasional setiap mata rantainya.

Konsekuensi menggunakan skema hulu adalah negara membiayai dan mengganti biaya-biaya
yang dikeluarkan, mulai tahap engineering, konstruksi hingga operasional melalui
mekanisme cost recovery. Semakin tinggi cost recovery yang dikeluarkan, maka pendapatan
negara semakin berkurang.

Dengan berlakunya UU Migas no.22/2001, bisnis migas dipisahkan antara skema hulu dan hilir.
Namun baru di tahun 2009, pemerintah mulai mendorong perubahan skema ini untuk proyek-
proyek migas. Contohnya, untuk kegiatan pengiriman dan pengangkutan gas yang semula
merupakan kegiatan hulu, kini dialihkan menjadi kegiatan hilir. Demikian pula dengan
pembangunan terminal LNG yang sebelumnya dimasukkan dalam cost recovery karena
merupakan bagian kegiatan hulu migas (upstream), kini menjadi bagian dari hilir migas
atau downstream.

Mekanisme cost recovery hanya diberlakukan untuk kegiatan upstream. Selain menekan cost
recovery, pengalihan kegiatan hulu menjadi hilir juga bertujuan untuk mengembangkan bisnis hilir
migas. Hal ini merupakan paradigma baru industri migas yang selama ini lebih didominasi sektor
hulu. Sebagai contoh, kilang Donggi Senoro LNG yang mulai beroperasi sejak Agustus 2015 lalu,
adalah proyek kilang LNG pertama di Indonesia yang menggunakan skema hilir.

Dengan skema hilir, biaya pembangunan, pengembangan dan operasional kilang LNG, sekaligus
risiko investasi ditanggung oleh operator kilang selaku pengelola. Pemerintah tidak perlu
menanggung dan mengembalikan biaya investasi serta biaya operasional kilang melalui
mekanisme cost recovery. Cost recovery di industri migas dipahami sebagai pengembalian biaya
yang dipergunakan kontraktor untuk operasi di industri perminyakan. Bukankah dalam model
bisnis LNG, yang menjadi concern utama investor dan offtaker adalah jaminan atas keberlanjutan
pasokan LNG, selain tentunya layak secara keekonomian dan adanya kepastian investasi.

Sebagai gambaran, nilai investasi pembangunan kilang DSLNG sebesar 2,8 milyar USD dengan
kapasitas 2,1 juta ton per tahun (MTPA). Sedangkan FLNG Petronas, yang pertama di dunia dan
baru saja diluncurkan, berkapasitas produksi 1,2 juta ton per tahun dengan biaya investasi
sebesar 800 juta USD juga menggunakan skema hilir.

Opsi atas skema hulu atau hilir pembangunan LNG dan kajian kelebihan-kekurangan masing-
masing skema tersebut beserta dampaknya terhadap potensi penerimaan negara, hendaknya
menjadi substansi evaluasi terhadap skenario pengembangan blok Masela. Apabila orientasinya
adalah optimalisasi penerimaan negara, dengan efisiensi cost recovery, maka pilihannya adalah
pengembangan proyek LNG on shore dengan skema hilir.
LNG Plant : Natuna ( program
), Bontang, Donggi-Senoro, Tangguh, Masela.

Saat ini, Pertamina dalam proses membangun


lima terminal dan regasifikasi LNG di pulau Jawa, Bali dan Sulawesi. Empat terminal dan
regasifikasi LNG berada di darat, berlokasi di Bojonegara Banten, Porong, Benoa Bali dan
Makassar. Satu unit FSRU berlokasi di Cilacap.

Setelah meng-identifikasi lokasi potensi cadangan gas dan peningkatan kebutuhan domestik,
maka tantangan bisnis LNG ke depan adalah koordinasi antara strategi pengembangan kapasitas
LNG, optimasi pendapatan negara melalui harga jual LNG, dan ketersediaan infrastuktur
gas/LNG. Beberapa strategi pengembangan kapasitas produksi LNG dalam kaitannya dengan
upaya pemenuhan kebutuhan domestik, antara lain: optimalisasi utilisasi kilang eksisting,
pembangunan kilang LNG baru dengan strategi LNG base load mendekat dengan sumber
cadangan gas, monetisasi potensi sumber gas volume kecil dan kawasan remote melalui kilang
LNG skala mini dan sedang, dan pengembangan infrastruktur domestik.

Dalam konteks Masela, pemerintah hendaknya mengalokasikan produksi LNG Masela untuk
penyerapan gas domestik, sebagai prioritas. Apabila serapan gas domestik sudah terpenuhi,
barulah dialokasikan untuk eksport. Hal ini sejalan dengan peraturan menteri ESDM no. 37 tahun
2015 tentang alokasi, pemanfaatan dan harga gas bumi yang memproritaskan pada penyediaan
gas bumi untuk domestik, baik untuk transportasi, pelanggan kecil, industri pupuk- petrokimia dan
penyediaan tenaga listrik. Kebijakan ini juga memprioritaskan BUMN yang mendapatkan
penugasan penyediaan dan pendistribusian gas bumi sekaligus menggandeng BUMD di daerah
penghasil migas. Pertamina sebagai BUMN migas tentunya dapat turut berperan mengelola blok
Masela ini, selain Inpex-Shell sebagai operator.

Mendorong Multiplier Effect dan Added Value Creation

Selain wacana penerimaan negara, yang selalu dibahas dalam pelaksanaan proyek berskala besar
adalah seberapa besar proyek tersebut menciptakan multiplier effect atau efek pengganda.
Penyusunan skenario pengembangan dan pembangunan LNG yang mempertimbangkan efek
pengganda ini akan berpengaruh pada keputusan model bisnis pengembangan LNG. Proses
pembangunan dan pengoperasian kilang LNG, merupakan salah satu tahap rantai bisnis dari hulu
sampai hilir, yang seharusnya mampu mendorong tumbuhnya industri lain, baik industri penunjang
yang terkait langsung, maupun sektor lainnya. Industri LNG secara komersial dikembangkan melalui
kaidah rantai bisnis LNG (LNG chain) yang terdiri atas kepastian sumber gas, fasilitas produksi gas
alam, kilang produksi LNG, transportasi, terminal regasifikasi serta market pengguna gas.

Pembangunan kilang LNG, baik dalam bentuk kilang terapung maupun kilang
onshore, membutuhkan jasa rancang bangun atau sering disebut Engineering, Procurement,
Construction (EPC), mulai dari fase konseptual study, Front End Engineering Design (FEED),
detail engineering, pembelian material dan kontrak jasa, hingga konstruksi, instalasi,
commissioning sampai kilang beroperasi. Nilai kontrak EPC sangat besar, mendominasi dari total
investasi proyek. Dari nilai kontrak EPC, rata-rata 80% nya digunakan untuk pembelian material
dan peralatan. Kontraktor EPC, dalam bekerja akan ditunjang oleh perusahaan sub-kontraktor,
fabricator, vendor, dan supplier dengan keahlian dan spesifikasi masing-masing. Dari sektor EPC
dan rantai bisnisnya saja, berdampak pada kebutuhan ribuan tenaga kerja dan jasa-jasa lainnya,
seperti transportasi, catering, keamanan dan lain-lain. Ketika proyek pembangunan kilang
selesai, maka kegiatan operasional juga masih membutuhkan kontraktor jasa pemeliharaan,
perawatan fasilitas dan utility, penyediaan peralatan, dan jasa penunjang lainnya.

Di sektor transportasi LNG, rancang bangun kapal pengangkut LNG selain harus memenuhi
spesifikasi sebagai kapal tanker, juga harus memiliki spesifikasi khusus mengingat kondisi
muatan yang spesifik, karena LNG diklasifikasikan sebagai gas yang mudah terbakar. Produsen
kapal LNG selama ini masih didominasi oleh galangan dari Korea Selatan dan Jepang. Peluang
galangan kapal nasional untuk terlibat di sektor ini dapat diawali dari rancang-bangun kapal
pengangkut LNG skala mini, karena secara teknologi dan kompleksitasnya relatif serupa.

Terlebih apabila alokasi LNG ditujukan untuk pasar domestik, maka dibutuhkan terminal
penerima dan regasifikasi. Proses pembangunan dan pengoperasian terminal regasifikasi, tentu
juga memberikan dampak berganda yang significant: penyerapan tenaga kerja, menggerakkan
industri jasa penunjang dan pengadaan. Gas alam yang dihasilkan dari proses regasifikasi,
dibutuhkan untuk pasokan pembangkit listrik atau langsung terserap oleh industri sebagai
pengguna akhir (end buyer).

Dampak nyata dari optimalisasi rantai bisnis sektor LNG adalah penyerapan lapangan kerja,
pesatnya pertumbuhan ekonomi kawasan dan meningkatnya industri baik lokal, maupun skala
nasional. Pembangunan dan operasi kilang LNG Bontang, berhasil mengubah kawasan Bontang
yang sebelumnya hanya sebuah perkampungan, menjadi kota besar dan mandiri, dengan
tumbuhnya industri pupuk, batubara, dan kawasan industri petrokimia kaltim industrial estate.

Pertanyaan selanjutnya yang masih terkait dengan multiplier effect, adalah sejauh mana penciptaan
nilai tambah (added value) atas setiap rantai bisnis LNG tersebut.
Concern bisnisnya adalah bagaimana memaksimalkan added value dan meminimalkan added
cost, sehingga meng-optimalkan penambahan nilai dari produk atau jasa yang dihasilkan.
Perusahaan jasa penunjang ditargetkan mampu meningkatkan kapasitas dan keahliannya, dengan
indikator meningkatnya kandungan local (local content) dalam setiap jasa dan barang yang
digunakan. Perusahaan EPC nasional tidak semata-mata sebagai kontraktor, tapi juga naik kelas,
memperkuat risetnya menjadi licensor dan pengembang teknologi LNG. Vendor tidak sekedar menjadi
supplier dengan mengimpor peralatan dari principal, namun didorong menjadi industri manufacture di
dalam negeri. Perusahaan perakit (fabrikator) nasional mampu sejajar dengan fabricator
multinasional, yang akan memicu industi lainnya, seperti semakin berkembangnya pabrik logam, pipa,
galangan kapal, boiler, turbin, kabel dan panel listrik, dan masih banyak lagi.

Prioritas Alokasi Gas Domestik

Optimalisasi kemanfaatan sektor LNG erat kaitannya dengan kebijakan prioritas alokasi gas domestik.
Sejak tahun 2011, volume gas yang dialokasikan untuk kebutuhan domestic mencapai lebih dari 50%
dari keseluruhan volume produksi gas nasional. Tahun 2015 lalu, Indonesia mengekspor LNG
sebanyak 3.063 bbtud atau setara dengan 47% dari total produksi gas nasional. Pasar domestik
mendapatkan alokasi LNG sebanyak 3.848 bbtud atau sekitar 53% dari total produksi gas dalam
negeri. Pasar domestic ini diserap dan dipasarkan oleh terminal apung atau Floating Storage
Regasification Unit (FSRU) Jawa Barat berkapasitas 3 MTPA, FSRU Lampung berkapasitas 3 MTPA,
terminal regasifikasi Arun berkapasitas 1,5 MTPA.

Misteri Impor LNG dari Singapura

Oleh Reinhard Hutabarat, 12 September 2017 08:40

Akhir-akhir ini isu impor LNG dari Singapura mencuat ke permukaan. Sebenarnya ini adalah isu
ekonomi biasa saja yang lazim terjadi dalam aturan hukum bisnis supply and demand. Akan tetapi isu
ini kemudian dimanfaatkan oleh para mafia migas dan pihak-pihak tertentu untuk menjadi ajang hate
speech dan komoditas politik.

Isu ini bermula ketika PLN berencana hendak membeli LNG yang ditawarkan oleh konsorsium Keppel
Offshore and Marine Corporation, Singapura. Lalu kemudian Menteri ESDM dan Menko Kemaritiman
segera meresponnya dengan cepat. Salah satu yang menjadi pertimbangan Menteri ESDM adalah
terkait harga yang lebih murah. Keppel Corporation menawarkan harga regasifikasi dan transportasi
LNG di angka US $3,8 per MMBTU, diluar harga gas hulunya.

Lalu tak lama kemudian isu miring terkait nasionalisme merebak. Mengapa harus impor kalau di dalam
negeri banyak? Lalu ada pertanyaan, mengapa Singapura yang tidak memiliki sumur minyak atau gas
alam bisa mengekspor LNG? Lalu ada lagi yang mengatakan bahwa LNG tersebut berasal dari sumur
di dalam negeri, dan setelah “pat gulipat” dengan memakai Singapura, lalu dijual kembali ke dalam
negeri.

Supaya semuanya terang benderang, mari kita cermati uraian dibawah ini.

Menurut data Kementerian Perindustrian, harga gas bumi di Singapura hanya sekitar US $4,5 per
MMBTU, Malaysia US $4,47 per MMBTU dan Filipina US $5,43 per MMBTU. Berdasarkan data
Kementerian ESDM (Energi Sumber Daya Mineral) harga jual gas bumi di sejumlah KKKS sudah
cukup tinggi, berkisar US $ 5-8 per MMBTU. (Catat, harga ini masih di hulu, belum termasuk ongkos
transpor dan regasifikasi!)
Setelah diperintahkan oleh Presiden Jokowi, BPH Migas (Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi)
akhirnya menurunkan toll fee (tarif pengangkutan) gas bumi pipa Arun-Belawan dari sebelumnya US
$2,53/MSCF menjadi US $1,546/MSCF pada akhir Agustus kemarin. Dengan penurunan toll fee ini,
BPH Migas berharap harga gas untuk PLN dan industri bisa ditekan dibawah US $ 10 per MMBTU.

Coba bandingkan tarif pipa Arun-Belawan yang jaraknya 340 kilo meter itu dengan tarif pipa para
traders yang “hanya sejengkal,” namun biayanya bisa menjapai US $0,50/MSCF!!

Akan tetapi bagi PLN harga gas yang kini berkisar US $ 10 per MMBTU itu tetaplah berat. Apalagi
PLN punya beban sosial harus menopang listrik bagi rakyat prasejahtera. Di sisi lain sebagai BUMN,
PLN dituntut juga harus menguntungkan. Pasar utama PLN tentulah industri. Untuk itu harga jual listrik
PLN harus bisa bersaing, padahal BBM/BBG menjadi komponen utama dari biaya produksi PLN.

Ada satu hal yang sangat menarik perhatian saya terkait penawaran Keppel ini. Semua juga tahu
kalau Jonan yang koppig itu sudah menetapkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 45 Tahun 2017
untuk melindungi Pertamina/PGN. Harga gas LNG impor maksimal harus 14,5% dari
ICP, Indonesian Crude Price (harga minyak mentah Indonesia) diplant gate (pembangkit listrik) .

Misalnya harga ICP bulan Juli 2017 sebesar US $45,48/barel. Maka harga gas maksimal di plant
gate PLTGU PLNadalah US $45,48/barel X 14,5% = US $ 6,59 per MMBTU

Ini adalah satu tantangan yang sangat luar biasa bagi Keppel. Sebagai informasi, harga gas LNG di
PLTG Belawan berkisar US $ 10 per MMBTU. Gas LNG tersebut berasal dari kilang LNG Tangguh di
Teluk Bintuni, Papua Barat. Dari Tangguh, LNG yang telah dicairkan tersebut di kirim ke Arun untuk
di regasifikasi terlebih dahulu. Lalu dari Arun gas tersebut dikirim ke Belawan melalui pipa gas
sepanjang 340 km.

Dalam kunjungannya ke Medan akhir Maret 2017 lalu, Jonan menyoroti mahalnya biaya distribusi gas
ke pembangkit PLTGU Sicanang, Belawan ini. Ada sejumlah komponen biaya yang dibebankan
kepada PLN sehingga harga gas menjadi mahal sampai di PLTGU Belawan. Akibatnya produksi listrik
menjadi mahal, dan tarif listrik untuk masyarakat jadi susah diturunkan. Total biaya distribusi ini ditaksir
lebih dari US $ 4 per MMBTU

Lalu bagaimana cara Keppel memangkas harga agar bisa lolos dari jebakan Peraturan Menteri ESDM
Nomor 45 Tahun 2017 itu? Dari segi transportasi jelas Keppel lebih murah, karena jarak Singapura-
Belawanjauh lebih dekat daripada jarak Papua-Lhok Seumawe-Belawan!!! Dari sini saja harga sudah
terpangkas sekitar US $ 3 per MMBTU.

Masalahnya di Medan itu tidak ada Terminal regasifikasi karena di Sumatera hanya ada di Lhok
Seumawe dan di Lampung. Apalagi membangun Terminal Regasifikasi itu biayanya bisa mencapai
puluhan bahkan ratusan miliar rupiah.

Tetapi saya yakin, Keppel pasti tidak akan memakai Terminal regasifikasi Arun, melainkan akan
memakai FSRU(Floating Storage Regasification Unit) FSRU ini sejatinya adalah sebuah kapal yang
dilengkapi dengan peralatan yang mampu merubah LNG dari bentuk cair ke bentuk gas (regasifikasi)
untuk kemudian disalurkan ke konsumen melalui jaringan pipa gas.

FSRU yang mobile ini tentu saja sangat fleksibel dan murah karena dapat langsung hadir di “halaman
depan rumah konsumen” (PLTGU Sicanang berada persis di pinggir laut dan memiliki dermaga
sendiri) Kalau sekiranya kontrak lama habis, FSRU dapat berpindah ke “halaman depan rumah
konsumen” yang lain tanpa harus melakukan demobilisasi pada instalasi regasifikasinya. Jadi
memang wajar Keppel bisa memangkas harga LNG nya. Tetapi kondisi ini hanya berlaku pada daerah
Sumatera, atau yang jaraknya lebih dekat ke Singapura saja. Kalau misalnya konsumen di Kupang,
tentu saja akan lebih menguntungkan LNG dari kilang Tangguh.

Kehadiran Keppel ini tentu saja bagaikan “petir di siang bolong” bagi para trader “bermodal pipa”
maupun para calo dan pemburu rente yang selama ini sudah keenakan. Kini jasa mereka sudah tidak
diperlukan lagi! Ini bukan soal nasionalisme atau pat gulipat yang dihembuskan oleh para mafia migas
dan kaum sumbu pendek yang ingin mengambil kesempatan untuk memojokkan pemerintah.
Sejatinya ini adalah murni kalkulasi bisnis semata, dimana efisiensi dan keunggulan teknik menjadi
pembeda.

PLN selama ini membeli LNG sangat mahal. Ketika harga toll fee pipa sudah dipangkas, harganya
masih dikisaran US $ 10 per MMBTU. Lalu Keppel datang. Jonan lalu membentengi Pertamina/PGN
dengan Permen ESDM Nomor 45 Tahun 2017, sehingga harga LNG Keppel di halaman rumah
PLTGU Belawan tidak boleh lebih mahal dari US $ 6,59 per MMBTU. Namun Keppel tidak gentar dan
siap memasok LNG ke Pertamina dan Industri dalam negeri.

Bagi PLN, perbedaan harga LNG berkisar US $ 3,41 per MMBTU itu akan menghemat biaya BBG
hingga triliunan rupiah per tahun. Bagi duet Jonan-Arcandra Tahar, isu Keppel ini terasa pas sebagai
“menu pembuka” untuk membenahi mafia gas di Indonesia. Mafia minyak sudah dibabat. Mafia
tambang yang doyan minta saham juga sudah gigit jari. Kini menyusul mafia gas yang selama ini bisa
seenaknya mengatur negeri ini.

Pemerintah Tinjau Ulang Harga Impor Gas dari Singapura

Oleh Patchow25 , 24 Agustus 2017

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan meninjau kembali rencana impor gas
alam cair (Liquefied Natural Gas/LNG) dari Singapura. Sebab, pemerintah masih mempertimbangkan
harga jual LNG yang akan digunakan untuk pembangkit listrik itu.

Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan, konsorsium pengekspor LNG pimpinan Keppel
Corporation sudah menyambangi kantornya beberapa waktu lalu. Ia hanya mengatakan, tawaran
tersebut sedang dievaluasi.

“Saya sudah panggil company-company itu, saat ini kami sedang evaluasi,” ujar Arcandra ditemui di
Kementerian ESDM, Selasa malam (22/8).

Ia mengatakan, salah satu yang menjadi pertimbangan impor tersebut adalah masalah harga.
Menurut Arcandra, konsorsium tersebut menawarkan harga regasifikasi dan transportasi LNG di
angka US$3,8 per MMBTU hingga US$4 per MMBTU, dan belum memasukkan harga gas hulunya.

Dengan demikian, ia khawatir bahwa harga impor LNG yang diterima bisa lebih besar dari ketentuan
yang ada saat ini. Menurut Peraturan Menteri ESDM Nomor 45 Tahun 2017, harga gas LNG maksimal
harus 14,5 persen dari harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) di pembangkit
listrik (plant gate).

Dengan mengambil contoh ICP bulan Juli sebesar US$45,48 per barel, maka harga gas di plant
gate harus berada di angka US$6,59 per MMBTU. Melihat contoh tersebut, biaya regasifikasi dan
transportasi yang ditawarkan perusahaan Singapura tercatat 57,66 persen hingga 60,69 persen dari
harga gas maksimal yang diperbolehkan pemerintah.
“Semua hal-hal yang berkaitan tawaran impor harus hati-hati dievaluasi. Nah, US$3,8 per MMBTU
hingga US$4 per MMBTU itu setahu saya baru regasifikasi dan transportasi. Kalau harga impornya
mahal, maka nanti yang kena ya harga listrik ke bawah,” ungkapnya.

Meski demikian, ia masih belum tahu apakah konsorsium Singapura itu juga akan ikut membangun
pembangkit listrik di Indonesia. “Kalau itu nanti saja dibahasnya,” paparnya.

Sehari sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menyebut,
impor LNG dari Singapura dipengaruhi hubungan politik antara kedua negara. Maka dari itu,
kesepakatan impor ini akan ditandatangani saat pertemuan antara Indonesia dan Singapura.

Pemerintah memiliki dua pilihan opsi untuk mendatangkan LNG dari Singapura. Yang pertama, adalah
opsi pertukaran penggunaan LNG (swap), sementara satunya lagi adalah murni impor dari Singapura.

“Kalau mereka kasih harga yang menarik, kami pertimbangkan dong. Kan ujung-ujungnya ke harga
jual masyarakat juga,” terang Luhut.

Menurut Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2017 hingga 2026, pembangkit listrik
tenaga gas akan mengambil porsi 26,7 persen dari bauran energi (energy mix) di tahun 2026 sesuai
Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2017 hingga 2026 mendatang.

Oleh karenanya, Indonesia membutuhkan gas sebanyak 1.193 Trilion British Thermal Unit (TBTU),
atau tiga kali lipat dibanding tahun 2016 sebanyak 606,5 TBTU. Dari jumlah tersebut, sebanyak 851
TBTU, atau 71,33 persen dari kebutuhan gas bagi pembangkit akan disediakan dari LNG.

Belum Dapat Komitmen

Di sisi lain, Direktur Gas PT Pertamina (Persero) Yenni Andayani menyebut bahwa perseroan masih
harus mencari pembeli bagi 36 kargo LNG di tahun ini. Sebab, dari 164 kargo LNG yang diproduksi
hingga akhir tahun, baru 138 kargo saja yang memiliki komitmen pembeli.

“Akhirnya 36 kargo ini kami lempar ke pasar spot, dilakukan tender. Delivery mungkin baru bisa di
akhir tahun nanti. Semua LNG ini dari produksi Badak NGL di Bontang,” terangnya.

Hingga semester I tahun ini, penjualan LNG Pertamina tercatat 258,01 juta MMBTU atau turun 3,22
persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya 266,60 juta MMBTU.

dikumpulkan dari berbagai sumber oleh gandatmadi46@yahoo.com

Alumni ITB paparkan kelebihan


pembangunan pipa di Blok Masela
Selasa, 6 Oktober 2015 17:12Reporter : Moch Wahyudi
Merdeka.com - Alumni Institut Teknologi Bandung yang tergabung dalam Forum
angkatan tujuh tiga (Fortuga-ITB) memaparkan kelebihan dari pembangunan pipa laut
untuk pengembangan Lapangan Gas Abadi-Masela. Ini untuk menandingi keputusan
pemerintah yang condong memilih proyek terminal gas apung di Blok gas terletak di
Laut Arafuru, Maluku, tersebut.
"Kami sudah melakukan berbagai penelitian, kajian dan perhitungan ulang serta
membandingkan beberapa proyek pengembangan migas di darat dan laut dalam
seperti di Gulf of Mexico, North Sea, Afrika-Eropa (Medgaz Pipeline), Rusia – Turki
(pipa gas Laut Hitam), Australia dan Indonesia," demikian isi siaran pers Fortuga ITB,
Selasa (6/10).

Forum itu diisi tokoh terkenal semacam Alhilal Hamdi (eks Menakertrans); Suwito
Anggoro (eks CEO Chevron Indonesia); Yoga Suprapto (eks Dirut LNG Bontang);
Fathor Rahman (eks Tenaga Ahli Kepala BP Migas); dan Ali Herman Ibrahim (eks
Direktur PLN).

Adapun beberapa kelebihan tersebut adalah:

Pertama, terdapat kajian konsultan bahwa pembangunan jalur pipa laut ke darat melalui
palung Selaru-Tanimbar secara teknis dan konstruksi adalah aman dan layak.

Kedua, biaya Investasi (Capex) proyek LNG Abadi – Masela di darat sebesar USD 16
miliar, sedangkan bila dibangun terapung akan mencapai USD 22 miliar.

Ketiga, total kandungan dalam negeri (TKDN) pada LNG Terapung maksimal 10 persen
atau USD 2,2 miliar. Sementara bila dipilih LNG di Darat, dari pengalaman Indonesia
membangun, mencapai 35 persen atau USD 5,6 miliar. Manfaat TKDN ini akan
langsung dirasakan oleh warga Maluku maupun pihak Indonesia lainnya.
Keempat, pembangunan LNG Terapung Abadi-Masela hanya menghasilkan penjualan
USD 4 miliar per tahun. Jika dibangun di darat, selain USD 4 miliar tersebut, juga akan
diperoleh tambahan penjualan USD 5 miliar per tahun dari proses gas menjadi industri
petrokimia.

Kelima, biaya operasi (Opex) per tahun LNG Darat sebesar USD 2 miliar, jauh lebih
rendah dibanding LNG Terapung yang USD 7 miliar.

Keenam, pilihan LNG darat akan menampung pengembangan lapangan migas baru
yang bertebaran mulai dari Aru, Tanimbar hingga Celah Timor. Hingga, wilayah Maluku
bisa menjadi sentra baru industri Gas dan Petrokimia di Timur.

Ketujuh, pembangunan LNG darat membuka peluang bangkitnya ekonomi, sosial,


kewilayahan dan ketahanan nasional di Indonesia Timur (Maluku-NTT).

Anda mungkin juga menyukai