Anda di halaman 1dari 5

INDUSTRI GAS BUMI DI INDONESIA

Gas alam telah ditemukan di Indonesia sejak abad ke-18; namun, komersialisasi gas alam
dimulai pada tahun 1970-an. Saat harga minyak melambung tinggi, negara-negara di dunia
mencari energi alternatif dan Indonesia merupakan salah satu produsen gas alam terbesar. Pipa
gas tersebut berasal dari zaman kolonial Belanda pada tahun 1859, dengan perusahaan I.J.
Eindhoven & Co. Gravenhage kemudian diambil alih oleh pemerintah Belanda dan diberi nama
Nederlandsch Indische Gas Maatschappij . Setelah kemerdekaan, pemerintah menasionalisasi
perusahaan tersebut menjadi Perusahaan Gas Negara (PGN) dan Perusahaan Listrik Negara
(PLN) pada tahun 1965. Selain itu, pada masa kemerdekaan, gas tersebut diproduksi oleh
Stanvac Indonesia di Sumatera Bagian Selatan (yang kemudian berubah menjadi PT. Pertamina).
Lapangan ini memiliki cadangan gas non-associated yang ditemukan pada tahun 1958, tiga tahun
kemudian, produksi gas digunakan untuk industri pupuk pertama di Palembang, Sumatera
Selatan. Ini merupakan momen penting dalam perkembangan bisnis gas bumi Indonesia.
Pemanfaatan gas bumi di Indonesia kemudian mengalami peningkatan pesat, sejak tahun 1974
ditandai dengan dibangunnya sistem perpipaan gas dari lapangan Limau ke Prabumulih dan dari
Prabumulih ke Palembang. Pada tahun yang sama, Pertamina memasok gas dari lapangan gas
lepas pantai Laut Jawa dan Cirebon ke kawasan industri di Jawa Barat. Selanjutnya, PGN
mendistribusikan gas bumi di Kota Jakarta pada tahun 1978 dan di Kota Bogor pada tahun 1981
dan kemudian diperluas ke kota-kota lainnya. PGN kemudian mengoperasikan pipa transmisi gas
Grissik-Batam-Singapura pada tahun 2003 dan pipa transmisi dari Sumatera Selatan ke Jawa
Barat pada tahun 2007 (Direktorat Jendral Minyak dan Gas, 2015)

Liquefied Natural Gas (LNG) merupakan salah satu bisnis penting bagi Indonesia,
sebagai penyumbang pendapatan negara terbesar, dan Indonesia juga merupakan pengekspor
LNG terbesar dunia. Produksi gas Indonesia meningkat hingga puncak produksinya pada tahun
2010, sebesar 7500 MMSCFD, dan turun menjadi 6900 MMSCFD pada tahun 2013 karena
penurunan produksi alami di Jawa dan Sumatera; tidak ada cadangan baru yang signifikan yang
ditemukan. Perusahaan minyak dan gas milik negara (Pertamina) menyumbang kurang dari 13%
dari produksi gas alam pada tahun 2013. Perusahaan multinasional seperti Total E&P, Conoco
Phillips, BP, Vico dan Exxon Mobil memegang saham terbesar di sektor hulu gas. Pemanfaatan
gas domestik, termasuk LPG, meningkat tajam dari 25% dari total produksi . Kecenderungan ini
menunjukkan bahwa kebutuhan domestik menjadi prioritas pemanfaatan gas sebagai dampak
dari pertumbuhan ekonomi nasional. Pada tahun 2013, pengguna gas bumi terbesar di dalam
negeri, selain LPG, adalah sektor industri, termasuk pupuk (31%), diikuti oleh sektor
ketenagalistrikan (14%), enhanced oil recovery (EOR) dan penggunaan pribadi (5%). ,
sedangkan sisanya diekspor (50%). Pemanfaatan gas untuk transportasi dan rumah tangga masih
jauh lebih kecil, masing-masing hanya sekitar 0,04% dan 0,01%. Untuk mengamankan pasokan
gas nasional, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.55 Tahun 2009 tentang gas
DMO, yang menyatakan bahwa 25% gas bumi yang dihasilkan dari kontrak PSC harus memasok
pasar gas dalam negeri. Pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Menteri No.3/2010 untuk
memprioritaskan alokasi gas domestik dari DMO, terutama untuk EOR, industri pupuk, sektor
pembangkit listrik, dan industri lainnya. Untuk proyek gas baru-baru ini, pemerintah telah
menetapkan alokasi yang lebih besar untuk pasar gas domestik sekitar 25%-40% dari produksi
gas yang disetujui (Direktorat Jendral Minyak dan Gas, 2015)

Pada akhir 2012, Mahkamah Konstitusi Indonesia membatalkan beberapa ketentuan


dalam UU Migas, No. 22/2001, dan membubarkan BP Migas, dengan alasan bahwa pengawasan
migas harus berada di tangan negara, bukan badan pengawas independen. Menanggapi
keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut, Presiden mengeluarkan beberapa Peraturan Presiden
dan Kementerian ESDM mendelegasikan pengelolaan kegiatan hulu minyak dan gas bumi
kepada SKK Migas (Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas
Bumi). Angkatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi) pada tahun 2013 sebagai badan pengatur
sementara sampai dengan diterbitkannya undang-undang migas yang baru (Migas, 2014).
Rancangan Undang-Undang Migas yang baru bertujuan untuk meningkatkan peran negara dalam
penguasaan dan pengusahaan sumber daya migas, pemenuhan konsumsi dalam negeri dan
pelaksanaan fungsi perizinan usaha dan pengawasan kegiatan hulu migas secara langsung
melalui Kementerian Energi dan Sumber daya Mineral (Tampubolon & Kiono, 2021).

Undang-undang yang baru membentuk badan usaha milik negara (Badan Usaha Milik
Negara Pelaksana Kerja Sama Hulu atau BUMN-K) yang bertanggung jawab atas kontrak
kerjasama dengan perusahaan minyak dan gas swasta untuk eksplorasi dan produksi wilayah
kerja. Pertamina dan perusahaan swasta nasional memiliki keistimewaan untuk izin usaha.
Rancangan undang-undang yang baru tidak mengubah pengaturan kegiatan hilir migas, dan
bisnis masih dapat beroperasi di bawah izin, tetapi rancangan undang-undang yang baru
menciptakan badan usaha penyangga untuk bertindak sebagai agregator (Badan Usaha
Penyangga atau BUP) yang bertanggung jawab untuk mengelola kegiatan hilirisasi dengan
melakukan sentralisasi wajib beli dan jual minyak dan gas bumi untuk pasar domestik. Semangat
nasionalisme RUU Migas yang baru berpotensi mencemaskan investor asing dan swasta.
Pemerintah harus memastikan ketentuan dan jaminan transisi yang lancar sehubungan dengan
investasi yang ada di Indonesia.

Pada tahun 2019, Indonesia tidak dapat memenuhi kebutuhan gas baik untuk konsumsi
domestik maupun kontrak ekspor. Kondisi ini akan membutuhkan impor gas sebesar d47,8% dari
total kebutuhan pada tahun tersebut. Hal ini terjadi karena rata-rata permintaan tahunan tumbuh
sebesar 5,4%, sedangkan pasokan berkurang 9,8% per tahun mulai tahun 2019. Untuk memenuhi
kebutuhan dalam negeri harus ada penambahan cadangan gas yang besar pada potensi pasokan,
khususnya Kilang FLNG Masela 2 pada tahun 2019. Lapangan ini diharapkan dapat
menghasilkan gas bumi sebesar 190 MMSCFD untuk keperluan domestik. Dalam skenario ini,
Indonesia masih harus mengandalkan gas impor karena kebutuhan tahunan jauh lebih tinggi dari
kemampuan produksi. Namun terdapat opsi yaitu percepatan pengembangan gas Natuna Timur.
Blok gas ini memiliki cadangan gas alam sekitar 46 TCF yang mengandung lebih dari 70% CO2
dan kaya akan belerang. Konsorsium bersama Pertamina-ExxonMobil-Total-PTTEP berencana
mengembangkan lapangan ini, dan mulai beroperasi pada 2020. Namun, pengembangan ini
terkendala oleh mahalnya biaya pemisahan CO2-metana dan penyimpanan CO2 di akuifer.
Untuk cadangan inkonvensional, potensi pasokan gas dari Coal Bed Methane (CBM) tidak dapat
diprediksi karena produksi CBM masih jauh dari target pemerintah sebesar 500 MMSCFD; pada
tahun 2015, produksi CBM Indonesia kurang dari 1 MMSCFD. Hambatan utama yang dihadapi
dalam pengembangan CBM Indonesia adalah kebijakan dan birokrasi. Skema Kontrak Bagi
Hasil yang diterapkan pada operasional CBM tidak sesuai dengan karakteristik pengembangan
CBM. Operasi CBM membutuhkan tingkat fleksibilitas yang lebih tinggi dalam kegiatan
eksplorasi mereka dibandingkan dengan gas konvensional. Masalah utama adalah regulasi yang
rumit dan birokrasi yang panjang, terkait penundaan dalam mendapatkan izin terkait akses lahan
dan eksplorasi dari berbagai otoritas di berbagai tingkat pemerintahan, dan pengadaan untuk
memprioritaskan konten lokal meskipun tidak memiliki rig domestik yang dirancang khusus
untuk operasi CBM (Kalpikajati & Hermawan, 2022).

Pengembangan kendaraan berbahan bakar gas memiliki potensi besar untuk


menggantikan kendaraan berbahan bakar minyak bumi. Di sektor komersial, terdapat peluang
bisnis penerapan teknologi pembangkit listrik tenaga pendinginan-pemanas gabungan berbasis
gas untuk menghemat energi. Sedangkan Indonesia bagian timur, dengan potensi kebutuhan gas
yang rendah, membutuhkan logistik gas yang spesifik, seperti LNG kecil dan CNG marine. Di
Indonesia bagian timur, potensi bisnis yang terkait dengan pengembangan infrastruktur gas skala
kecil adalah untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar pembangkit listrik kecil atau industri
offgrid. Pembangunan infrastruktur skala besar, terutama untuk memenuhi kebutuhan bahan
bakar smelter, juga dimungkinkan. Meskipun potensi permintaan gas tambahan tinggi, Indonesia
perlu menangani percepatan pembangunan infrastruktur gas baru di dalam negeri; namun
demikian, beberapa kendala masih menghambat pengembangan gas bumi dan pemanfaatan gas
bumi secara luas untuk menggerakkan perekonomian nasional yang berkelanjutan. Untuk
mengatasi kendala tersebut, pemerintah harus melakukan upaya serius untuk mendorong
pengembangan industri gas bumi di dalam negeri (Yuliant & Fitrhatin, 2020).

Ada beberapa hambatan untuk mengembangkan lapangan gas yang terletak di lokasi
terpencil, jauh dari pusat permintaan seperti Jawa dan Sumatera. Semua kilang LNG Indonesia
memiliki indeks keterpencilan lebih besar dari 4 karena isolasi geografis dan kurangnya
infrastruktur yang dikembangkan dengan baik (IGU, 2015a). Ladang-ladang tersebut
menghadirkan beberapa risiko besar untuk pengembangan dan membutuhkan teknologi gas
khusus. Lapangan gas Natuna Timur, dengan cadangan yang dapat diperoleh sebesar 50 TCF,
menghasilkan gas alam dengan kandungan CO2 dan sulfur yang tinggi. Aplikasi komersial dari
bidang ini akan membutuhkan investasi yang besar, terutama untuk pemisahan dan penyerapan
CO2. Blok Masela dari 15 TCF terletak di Laut Arafura yang terpencil. Lapangan ini akan
dikembangkan dengan menggunakan teknologi khusus (sistem produksi bawah laut dan LNG
terapung) yang membutuhkan investasi besar. Ladang gas kecil lainnya terletak di pulau-pulau
terpencil dengan pasar gas kecil; memonetisasi ladang tersebut membutuhkan pendekatan sistem
LNG dan CNG kecil (IGU, 2015b). Selain itu, logistik untuk mengangkut gas alam di negara
kepulauan seperti Indonesia juga menjadi kendala lain dalam pemanfaatan gas alam yang dapat
menyebabkan tingginya biaya transportasi. Proses kontrak pasokan gas yang rumit juga dapat
menghambat laju aliran gas dari lapangan ke pasar. Pemerintah harus menarik lebih banyak
investasi dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi gas hulu dengan menyederhanakan dan
meningkatkan kinerja birokrasi untuk perizinan dan persetujuan serta mengatasi masalah
perpajakan (Pratomo & TK, 2022).

Pembangunan infrastruktur jaringan pipa hampir stagnan, terutama karena


ketidaksesuaian antara alokasi gas untuk domestik dan perencanaan infrastruktur, masalah
pembebasan lahan dan beberapa pedagang bertindak sebagai perantara tanpa membangun
infrastruktur. Sebagian besar jaringan pipa gas tidak terintegrasi, sehingga pemerintah harus
membangun jaringan pipa gas yang terintegrasi lebih awal dan lebih banyak keterlibatan
pemerintah untuk mengurangi risiko investasi infrastruktur dengan skema kemitraan publik-
swasta. Pemerintah juga harus mengefektifkan perencanaan infrastruktur gas, alokasi gas
domestik, dan pengembangan industri. Indonesia akan menjadi pengimpor gas dalam waktu
dekat, dan bisnis gas di Indonesia akan mengikuti perubahan cepat permintaan gas domestik
yang tidak hanya dipengaruhi oleh pasar gas domestik tetapi juga oleh pasar gas internasional.
Perubahan ini harus diantisipasi oleh pemerintah, industri, dan pengguna gas. Pemerintah harus
mengatasi perbedaan antara harga gas internasional dan harga gas domestik dan mengelola
kebijakan yang efektif secara hati-hati untuk menghindari hilangnya produktivitas pengguna gas
domestik, seperti dengan membangun pasar hybrid (Arindya, 2019).

Semangat nasionalisme RUU Migas baru yang melahirkan entitas baru bernama BUMN-
K untuk kegiatan hulu dan BUP untuk kegiatan hilir berpotensi menyurutkan minat investor.
Oleh karena itu, pemerintah harus segera menyelesaikan undang-undang baru ini dan
memastikan ketentuan dan jaminan transisi yang lancar untuk menghormati investasi swasta dan
asing yang ada di Indonesia, memberikan kejelasan dan kepastian hukum bagi industri. Setelah
reformasi subsidi energi diumumkan pada awal tahun 2015, pemerintah memiliki kesempatan
untuk menggunakan penghematan dari belanja subsidi untuk belanja infrastruktur gas dan,
dikombinasikan dengan rendahnya harga minyak saat ini, pemerintah memperoleh momentum
untuk meningkatkan penggunaan gas alam dalam negeri atau untuk mengurangi ketergantungan
negara pada minyak dengan menerapkan sistem harga gas domestik yang efektif, pedoman
peraturan yang sistematis, peran pemerintah yang lebih besar untuk mendukung pembangunan
infrastruktur gas yang terintegrasi, dan kesiapan industry. Hal ini akan menentukan keberhasilan
pembangunan industri gas nasional yang pada akhirnya akan mengarah pada pilihan sumber
energi bersih dengan harga yang lebih murah bagi masyarakat.

Indonesia menghadapi tantangan peningkatan pesat konsumsi gas dalam negeri yang
didorong oleh pertumbuhan ekonomi yang meningkat, produksi gas yang menurun, dan
infrastruktur gas yang terbatas, serta perubahan undang-undang migas yang terus berlanjut.
Pemanfaatan gas domestik dinilai memiliki peran vital dalam merespon pesatnya pertumbuhan
ekonomi Indonesia dan dalam mencapai portofolio bauran energi nasional yang lebih bersih.
Proyeksi tersebut memperkirakan bahwa permintaan gas dalam negeri akan meningkat secara
signifikan, menjadi dua atau tiga kali lipat dari permintaan gas saat ini, dan dengan melanjutkan
produksi gas saat ini, Indonesia akan menjadi net importir gas dalam waktu dekat. Untuk mengisi
kesenjangan tersebut, Indonesia perlu menarik investasi besar untuk infrastruktur gas, eksplorasi
gas hulu, dan eksploitasi lapangan gas baru. Namun, pengembangan gas mengalami hambatan
yaitu lapangan gas yang jauh dari pusat permintaan, kinerja birokrasi dan perpajakan yang buruk,
ketidaksesuaian antara alokasi gas dan perencanaan infrastruktur gas, masalah proses
pembebasan lahan, kurangnya jaringan pipa yang terintegrasi, harga yang mahal, kesenjangan
antara gas domestik dan internasional, dan ketidakpastian hukum migas. Berdasarkan tantangan
di atas dan keberhasilan reformasi subsidi BBM di awal tahun 2015, serta upaya yang lebih besar
untuk menetapkan kebijakan fundamental yang efektif seperti dukungan sistematis dan pedoman
kebijakan, kejelasan dan kepastian hukum, kinerja birokrasi yang baik, peran pemerintah yang
lebih besar dalam memitigasi risiko pembiayaan infrastruktur, dan penetapan harga gas domestik
yang efektif, Indonesia diharapkan dapat memperluas pasar gas alam domestik secara signifikan
untuk mencapai target bauran energi nasional yang lebih bersih dan membantu menjauh dari
subsidi minyak.

REFERENSI

Arindya, R. (2019). Efektivitas organisasi tata kelola minyak dan gas bumi. Jakarta: Media
Sahabat Cendekia.

Direktorat Jendral Minyak dan Gas. (2015). Roadmap National Gas Policy 2014-2030. Jakarta:
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia.

Kalpikajati, S. Y., & Hermawan, S. (2022). Hambatan Penerapan Kebijakan Energi Terbarukan
di Indonesia. Batulis Civil Law Review,, 187-207.

Pratomo, L., & TK, B. F. (2022). TINJAUAN SINGKAT OPTIMALISASI PENGGUNAAN


GAS BUMI PADA SEKTOR RUMAH TANGGA. Eksergi, 1-11.

Tampubolon, A. P., & Kiono, B. F. (2021). Overview Perkembangan Pemanfaatan Energi Primer
Gas Bumi Di Indonesia. Jurnal Energi Baru dan Terbarukan, 36-52.

Yuliant, R., & Fitrhatin, D. (2020). Kebijakan Politik Pemerintahan Bojonegoro dalam
Mengelola Sumber Daya Alam Minyak Bumi. adani Jurnal Politik Dan Sosial
Kemasyarakatan, 40-153.

Anda mungkin juga menyukai