Anda di halaman 1dari 134

%$'$1.

225',1$6,3(1$1$0$102'$/
2#0&7#0+08'56#5+5'-614-'6(1$*$/,675,.$1',,1'21(6,$

1"/%6"/*/7&45"4*
4&,503,&5&/"("-*453*,"/
%**/%0/&4*"

.#214#0#-*+4

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

KATA PENGANTAR

Penyusunan Panduan Investasi Sektor Ketenagalistrikan didasarkan pada surat perjanjian


kerjasama antara Badan Koordinasi Penanaman Modal (selaku pengguna jasa) dengan
PT Eltra Wiratama Konsultan (selaku penyedia jasa). Berdasarkan perjanjian tersebut, ada
beberapa laporan yang harus disampaikan oleh penyedia jasa kepada pengguna jasa, antara
lain adalah Laporan Akhir.
Panduan Investasi Sektor Ketenagalistrikan ini disusun sebagai hasil kajian terhadap berbagai
perizinan dan nonperizinan yang terkait dengan investasi sektor ketenagalistrikan. Berbagai
peraturan perundang-undangan menjadi acuan dalam mengidentifikasi satu per satu jenis
perizinan dan nonperizinan di sektor ini, termasuk insentif fiskal yang digulirkan pemerintah.
Hasil identifikasi disusun menjadi skema perizinan investasi sektor ketenagalistrikan pada
berbagai jenis pembangkit. Meskipun relatif sama, pemisahan berdasarkan jenis pembangkit
dan juga unit pelaksana (investor, khususnya IPP) dalam mendukung program pengadaan
tenaga listrik 35.000 MW.
Harapannya, dokumen ini dapat diterima dengan baik, sebagai laporan hasil pelaksanaan
pekerjaan dan bermanfaat bagi pengguna jasa. Atas perhatian dan kerjasama para pihak,
Kami mengucapkan terima kasih.

Jakarta, Oktober 2015

Tim Penyusun

PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

003 I

KATA PENGANTAR

005 I

DAFTAR ISI

008 I

DAFTAR TABEL

010 I

DAFTAR GAMBAR

DAFTAR ISI

BAB I
PENDAHULUAN
012 I

1.1

Latar Belakang

014 I

1.2

Maksud Pelaksanaan Kegiatan

015 I

1.3

Tujuan Pelaksanaan Kegiatan

015 I

1.4

Ruang Lingkup

015 I

1.5

Waktu Pelaksanaan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA: SEKTOR
KETENAGALISTRIKAN DI
INDONESIA
016 I

2.1

Gambaran Umum Sektor Ketenagalistrikan di Indonesia

017 I

2.1.1

Pembangunan Sektor Ketenagalistrikan dalam Rencana


Pembangunan Nasional

019 I

2.1.2

Kapasitas Ketenagalistrikan Indonesia

020 I

2.1.3

Kebutuhan listrik Indonesia

023 I

2.2

Peluang Investasi Sektor Ketenagalistrikan di Indonesia

023 I

2.2.1

Kebutuhan Investasi Sektor Ketenagalistrikan

026 I

2.2.2

Profil dan Kebutuhan Investasi Sektor Kelistrikan Regional

PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

Wilayah Sumatera
035 I

2.2.3

Profil dan Kebutuhan Investasi Sektor Kelistrikan


Regional Wilayah Jawa - Bali

042 I

2.3

Skema Investasi Sektor Ketenagalistrikan di Indonesia

042 I

2.3.1

Landasan Hukum

043 I

2.3.2

Independent Power Producers (IPP)

047 I

2.3.3

Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS)

054 I

2.3.4

Swasta Murni

DAFTAR ISI

BAB 3
METODOLOGI

056 I

3.1

Pendekatan

058 I

3.2

Metodologi

058 I

3.2.1

Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data

059 I

3.2.2

Metode Pengolahan Data

060 I

3.2.3

Beberapa Analisis yang Digunakan

061 I

3.2.4

Policy Dialogue dan Focus Discussion Group (FGD)

062 I

3.3

Penyusunan Buku Panduan Investasi Sektor


Ketenagalistrikan

BAB 4
IDENTIFIKASI PERIZINAN
INVESTASI SEKTOR
KETENAGALISTRIKAN
064 I

4.1

Program Pembangkit Listrik 35.000 MW

065 I

4.2

Mekanisme Pengadaan Listrik 35.000 MW

071 I

4.3

Identifikasi Perizinan Dalam Rangka Program Pengadaan Listrik


35.000 MW

071 I

4.3.1

Izin Prinsip Penamaman Modal

073 I

4.3.2

Pendirian Badan Usaha di Indonesia

079 I

4.3.3

Perizinan Ketenagakerjaan

080 I

4.3.4

Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (IUPTL)

108 I

4.4

Skema Perizinan Investasi Sektor Ketenagalistrikan

BAB 5
INSENTIF INVESTASI SEKTOR
KETENAGALISTRIKAN
BAB 6
SISTEM AKUNTANSI SEKTOR
KETENAGALISTRIKAN
127 I

6.1

ISAK 8 : Interpretasi Perjanjian Mengandung Sewa

128 I

6.2

PSAK 30: Sewa

129 I

6.3

Sewa Dalam Laporan Keuangan Lessee Pada Sewa Pembiayaan

130 I

6.4

Transaksi Jual dan Sewa-Balik

BAB 7
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
133 I

7.1

Kesimpulan

133 I

7.2

Rekomendasi

PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

020 I

Tabel 1

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

021 I

Tabel 2

Pertumbuhan Ekonomi, Proyeksi Kebutuhan Tenaga


Listrik dan Beban Puncak Periode Tahun 20152024

021 I

Tabel 3

Proyeksi Jumlah Penduduk, Pertumbuhan Pelanggan


dan Rasio Elektrifikasi Periode Tahun 2015 2024

022 I

Tabel 4

Prakiraan Kebutuhan Listrik, Angka Pertumbuhan dan


Rasio Elektrifikasi

DAFTAR TABEL

024 I

Tabel 5

Proyeksi Penjualan Tenaga Listrik PLN Tahun 20152024 per Kelompok Pelanggan (TWh)

025 I

Tabel 6

Kebutuhan Tambahan Pembangkit Tahun 2015-2019


(MW)

025 I

Tabel 7

Kebutuhan Tambahan Pembangkit berdasarkan


Status Proyek

027 I

Tabel 8

Kapasitas Terpasang Pembangkit Wilayah Sumatera


(MW) sampai dengan Bulan Desember Tahun 2014

027 I

Tabel 9

Perkembangan Kapasitas Trafo GI Wilayah Sumatera


(MVA)

027 I

Tabel 10

Perkembangan Saluran Transmisi Wilayah Sumatera


(kms)

028 I

Tabel 11

Rencana Pengembangan MPP di Sumatera

030 I

Tabel 12

Kebutuhan Pembangkit Wilayah Sumatera (MW)

032 I

Tabel 13

Kebutuhan Fasilitas Transmisi Wilayah Sumatera

032 I

Tabel 14

Kebutuhan Fasilitas Trafo dan Gardu Induk Wilayah


Sumatera

033 I

Tabel 15

Kebutuhan Fasilitas Distribusi Wilayah Sumatera

034 I

Tabel 16

Total Kebutuhan Dana Investasi PLN untuk Wilayah Sumatera

035 I

Tabel 17

KapasitasTerpasang Pembangkit Sistem Jawa-Bali Tahun 2014

035 I

Tabel 18

Perkembangan Kapasitas Trafo GI Sistem Jawa-Bali

035 I

Tabel 19

Perkembangan Saluran Transmisi Sistem Jawa Bali

038 I

Tabel 20

Rencana Penambahan Pembangkit Sistem Jawa-Bali (MW)

039 I

Tabel 21

Kebutuhan Saluran Transmisi Sistem Jawa-Bali

039 I

Tabel 22

Kebutuhan Trafo Sistem Jawa-Bali

040 I

Tabel 23

Kebutuhan Fasilitas Distribusi Sistem Jawa-Bali

041 I

Tabel 24

Kebutuhan Dana Investasi untuk Sistem Jawa Bali

048 I

Tabel 25

Kerangka Regulasi Investasi Pola KPS

049 I

Tabel 26

Bentuk dan Modalitas KPS

059 I

Tabel 27

Jenis data dan informasi yang dibutuhkan

066 I

Tabel 28

Proyek pembangkit listrik investasi PLN yang pengadaannya akan


dibuka (pelelangan)

067 I

Tabel 29

Proyek pembangkit listrik investasi swasta yang pengadaannya


akan dibuka (pelelangan)

068 I

Tabel 30

Proyek pembangkit listrik investasi swasta yang pengadaannya


akan dibuka (penunjukan langsung)

082 I

Tabel 31

Identifikasi berbagai perizinan / non perizinan terkait investasi


sektor ketenagalistrikan

114 I

Tabel 32

Bidang Usaha Tertentu Dan Daerah Tertentu Yang Mendapat


Fasilitas Tax Allowance

118 I

Tabel 33

Jenis-Jenis Insentif Fiskal Dalam Rangka Pembangkitan Tenaga


Listrik

PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

018 I

Gambar 1

Strategi Pembangunan Nasional, 2015-2019

022 I

Gambar 2

Proyeksi Penjualan Tenaga Listrik PLN Tahun 2015


dan 2024

023 I

Gambar 3

Proyeksi Penjualan Tenaga Listrik PLN Tahun 2015-

DAFTAR GAMBAR

2024

10

031 I

Gambar 4

Rencana Pengembangan transmisi Sistem


sumatera Tahun 2015-2024

034 I

Gambar 5

Kebutuhan Dana Investasi PLN untuk Wilayah


Sumatera

039 I

Gambar 6

Rencana Pengembangan transmisi Sistem Jawa-bali


Tahun 2015-2024

041 I

Gambar 7

Kebutuhan Dana Investasi PLN untuk Sistem Jawa


Bali

044 I

Gambar 8

Mekanisme Pengadaan Ketenagalistrikan dengan


Penunjukkan Langsung

045 I

Gambar 9

Mekanisme Pengadaan Ketenagalistrikan dengan


Pemilihan Langsung

045 I

Gambar 10 Mekanisme Pengadaan Ketenagalistrikan dengan


Lelang Terbuka

046 I

Gambar 11 Tahapan Bisnis Ketenagalistrikan Pola IPP

049 I

Gambar 12 Bentuk dan modalitas KPS

051 I

Gambar 13 Tahapan Pembiayaan Infrastruktur Kerjasama


Pemerintah Swasta

060 I

Gambar 14 Sistem kebijakan

061 I

Gambar 15 Proses analisis kebijakan berdasarkan masalah

kebijakan
069 I

Gambar 16 Skema pengadaan pembangkit listrik 35.000 MW oleh


Pengembang Swasta (IPP)

069 I

Gambar 17 Skema pengadaan pembangkit listrik 35.000 MW melalui


Penunjukan Langsung

070 I

Gambar 18 Skema pengadaan pembangkit listrik 35.000 MW melalui


Pemilihan Langsung

070 I

Gambar 19 Skema pengadaan pembangkit listrik 35.000 MW melalui


Pelelangan Umum

108 I

Gambar 20 Skema umum perizinan investasi sektor ketenagalistrikan

109 I

Gambar 21 Skema Perizinan untuk PLTA oleh IPP

109 I

Gambar 22 Skema Perizinan untuk PLTU Mulut Tambang / Batubara oleh IPP

110 I

Gambar 23 Skema Perizinan untuk PLTG / PLTGU / PLTMG oleh IPP

110 I

Gambar 24 Skema Perizinan untuk PLTP oleh IPP

114 I

Gambar 25 Skema Fasilitas Fiskal Mendukung Pembangunan Proyek


Ketenagalistrikan 35 000 MW

PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

11

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada periode
2010-2014 rata-rata tumbuh sebesar 5,8%. Pada
tahun 2013 pendapatan perkapita Indonesia
mencapai USD 3.500 yang menempatkan
Indonesia berada pada lapis bawah negaranegara berpenghasilan menengah. Untuk dapat
lepas dari middle income trap dan mencapai
target sebagai negara berpenghasilan tinggi
pada tahun 2030, perekonomian nasional
dituntut tumbuh rata-rata antara 6-8 persen per
tahun.

12

Sebagai salah satu upaya mencapai


pertumbuhan 6-8 persen per tahun, pemerintah
telah menetapkan program-program prioritas
infrastruktur untuk lima tahun kedepan melalui
Nawacita. Pembangunan infrastruktur juga
diperlukan untuk mendorong penanaman
modal yang lebih merata. Pada tahun 20152019 Pemerintah telah berkomitmen untuk
membangun infrastruktur tenaga listrik sebesar
35 ribu MW. Selain itu, akan dibangun 24
pelabuhan baru, 60 pelabuhan penyeberangan,
15 bandara baru, 3.258 km jalur kereta, 2.650 km
jalan baru, dan 1.000 km jalan tol.
Untuk mencapai target tersebut, dalam lima
tahun kedepan kebutuhan investasi infrastruktur
Indonesia adalah Rp 5.519,4 triliun. Dimana
dari jumah tersebut, pendanaan pemerintah
hanya berkisar 40,14% atau sekitar Rp 2.215,6
triliun selama 5 (lima) tahun ke depan. Sehingga
terdapat selisih pendanaan sekitar Rp 3.303,8
trilliun yang akan dikejar dengan partisipasi
swasta.
Dari seluruh proyek infrastruktur yang akan
dibangun selama lima tahun kedepan,
infrastruktur sektor ketenagalistrikan menjadi
perhatian utama pemerintah. Listrik merupakan
kebutuhan dasar yang dibutuhkan Indonesia
untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi
rata-rata 6-8 persen selama 2015-2019. Tidak
hanya penting bagi pertumbuhan ekonomi, listrik
juga memberikan pengaruh yang signifikan bagi
perbaikan Human Development Index (HDI).
Dalam *OURNALOFTHESIA0ASIC%CONOMY 2011,
seorang peneliti Indonesia yang mengadakan
penelitian di Pulau Jawa menemukan bahwa
setiap kenaikan 1% dari rumah tangga yang
menggunakan listrik akan menaikkan HDI
sebesar 0,2% dalam jangka panjang. Kenaikan
HDI yang dihasilkan dari pembangunan
listrik paling tinggi dibandingkan dengan
pembangunan infrastruktur lainnya seperti 1%
kenaikan di infrastruktur air dan jalan hanya akan
menaikkan HDI sebesar masing-masing 0,03%
dan 0,01%.
Konsumsi listrik dalam kurun waktu tahun
2000-2012 mengalami pertumbuhan rata-rata
6,2% per tahun. Rendahnya pertumbuhan ini
PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

13

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

menyebabkan rasio elektrifikasi nasional masih


tertinggal dibadingkan dengan negara-negara
ASEAN lainnya. Data dari (ANDBOOKOF%NERGY
%CONOMIC3TATITICS tahun 2013 dari Kementerian
ESDM menunjukkan bahwa rasio elektrifikasi
Indonesia hanya sebesar 76,56% masih jauh bila
dibandingkan dengan Malaysia (99,4%), Vietnam
(97,6%), Thailand (87,7%), dan bahkan Filipina
(83,3%).
Dalam rangka mencapai target pembangunan
35 ribu GW selama lima tahun kedepan, PLN
melalui RUPTL 2015-2024 telah menetapkan
proyek-proyek infrastruktur ketenagalistrikan.
Selama tahun 2015-2019 akan dibangun 42GW
pembangkit listrik dimana 7 GW merupakan
bagian dari Fast Track Program II dan 35 GW
adalah tambahan program pemerintahan baru.
Dari jumlah tersebut PLN akan membangun
pembangkit sebesar 17,4 GW, transmisi
sepanjang 50 ribu kms dan gardu induk di 743
lokasi dengan kebutuhan capital expenditure
sebesar Rp545 trilliun. Sedangkan sisanya akan
ditawarkan kepada swasta untuk membangun
pembangkit sebesar 24,9 GW dan transmisi
sepanjang 360 kms dengan kebutuhan capital
expenditure sebesar Rp435 trilliun. Proyekproyek ketenagalistrikan ini masih akan
ditambahkan dengan proyek-proyek listrik
diluar rencana PLN. Baik yang diajukan oleh
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian,
Bappenas, pengelola kawasan industri maupun
pemerintah daerah seperti yang tertuang dalam
Lampiran III Infrastruktur Rencana Strategis
BKPM 2015-2019.

ketenagalistrikan melalui Investor Relation


Unit di BKPM. Selama bulan Januari-Februari
2015 saja sudah ada 12 (dua belas) pertanyaan
dari calon investor yang masuk. Minat yang
tinggi juga terlihat dari izin Prinsip untuk sektor
ketenagalistrikan yang dikeluarkan BKPM.
Selama kurun waktu 2010-2014 tercatat ada
114 proyek PMA di sektor ketenagalistrikan
dengan nilai investasi sebesar US$ 22.592,50
juta. Namun selama kurun waktu 2011-2014
hanya terdapat realisasi sebanyak 3 proyek PMA
dengan nilai investasi sebesar US$ 215 juta. Agar
minat investasi di sektor listrik dapat terealisasi,
Direktorat Perencanaan Industri Agribisnis dan
Sumber Daya Alam Lainnya merasa perlu untuk
membuat panduan investasi sektor listrik di
Indonesia. Panduan investasi ini akan memuat
peluang investasi di sektor listrik, regulasiregulasi terkait yang perlu diperhatikan oleh
penanam modal baik regulasi teknis maupun
non teknis seperti lahan, penjelasan mengenai
skema-skema investasi, serta penjelasan
mengenai perpajakan di Indonesia.
Dengan adanya panduan investasi ini diharapkan
informasi mengenai investasi di sektor listrik
dapat lebih transparan dan terpercaya sehingga
dapat mendukung perbaikan iklim investasi.
Selain itu, buku panduan investasi ini juga dapat
digunakan sebagai media promosi untuk menarik
lebih banyak calon penanam modal.

1.2
MAKSUD PELAKSANAAN
KEGIATAN
Maksud dari kegiatan ini adalah:

Untuk mencapai target pembangunan


infrastruktur ketenagalistrikan, tantangan
pemerintah khususnya BKPM adalah mendorong
partisipasi swasta dalam pembangunan
infrastruktur baik melalui skema Kerjasama
Pemerintah Swasta (KPS) maupun non KPS
(Business to Business). Untuk itulah diperlukan
perbaikan iklim investasi dan promosi yang tepat
dalam menarik calon penanam modal yang
serius.
Ketertarikan calon penanam modal untuk
berinvestasi di sektor ketenagalistrikan
terlihat dari banyaknya pertanyaan mengenai

14

1. Mendukung perbaikan iklim investasi dengan


menyediakan informasi yang transparan dan
kredibel.
2. Menyediakan buku panduan investasi sektor
ketenagalistrikan bagi calon penanam
modal.
3. Menyediakan buku panduan investasi sektor
ketenagalistrikan sebagai media promosi.

1.3
TUJUAN PELAKSANAAN
KEGIATAN
Tersedianya buku panduan investasi, khususnya
di sektor ketenagalistrikan, yang dapat
dimanfaatkan oleh calon penanam modal untuk
mendukung terealisasinya investasi di sektor
listrik.

1.4
RUANG LINGKUP

3. Focus Group Discussion



Koordinasi dan pertemuan dengan
stakeholder terkait dengan tujuan untuk
memperoleh masukan dan klarifikasi
informasi dari berbagai stakeholder terkait
baik di pusat maupun di daerah untuk
berbagi pengalaman dan memperoleh
gambaran mengenai investasi di sektor
ketenagalistrikan yang dilaksanakan dalam
bentuk Focus Group Discussion (FGD)
bekerjasama dengan pihak BKPM.

Ruang lingkup pelaksanaan kegiatan adalah:

4. Melakukan koordinasi dengan BKPM secara


intensif minimal 2 (dua) kali dalam sebulan,
dalam hal penyusunan materi kajian;

 $ESK3TUDY

Melakukan studi literatur dari berbagai
sumber yang terkait dengan investasi di
sektor ketenagalistrikan.

5. Membuat Laporan hasil survei pengumpulan


data dan informasi;

2. Policy Dialogue

Pengkayaan informasi yang diperoleh
dari wilayah survei di dalam maupun luar
negeri bekerjasama dengan pihak BKPM
dengan tujuan mengumpulkan data primer
dan sekunder dari berbagai instansi terkait
maupun dari industri yang telah ada
mengenai kebijakan investasi di sektor
ketenagalistrikan.

6. Menyusun buku panduan investasi sektor


listrik di Indonesia dalam bahasa Indonesia
dan Inggris.

1.5
WAKTU PELAKSANAAN
Kegiatan dilaksanakan dalam jangka waktu 4
(empat) bulan, sejak penandatanganan Surat
Perjanjian Kerjasama.

PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

15

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

TINJAUAN PUSTAKA:
SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA
2.1

GAMBARAN UMUM SEKTOR


KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

16

2.1.1
Pembangunan Sektor
Ketenagalistrikan dalam Rencana
Pembangunan Nasional
Pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah
tahun 2015-2019, sektor ketenagalistrikan
menjadi bagian dari strategi pembangunan
nasional, yaitu menjadi salah satu dari tiga
dimensi pembangunan nasional:
1. Dimensi pembangunan manusia dan
masyarakat.
2. Dimensi pembangunan sektor unggulan
dengan prioritas
3. Dimensi pemerataan dan kewilayahan.
Sektor ketenagalistrikan masuk dalam dimensi
salah satu sektor unggulan dan prioritas nasional
selain pangan, energi, kemaritiman, kelautan,
pariwisata dan industri.
Pada tahun 2015 ini dengan jumlah penduduk
yang diperkirakan sudah mencapai 257,9 juta
jiwa, jumlah pelanggan listrik PLN baru mencapai
60,3 juta jiwa atau rasio elektrifikasi sebesar 84%.
Kebutuhan listrik saat ini sudah mencapai 219,1
TWH. Tahun 2024 jumlah penduduk Indonesia
diperkirakan mencapai 284,8 juta jiwa dengan
jumlah pelanggan listrik mencapai 78,4 juta
jiwa, bila pertumbuhan ekonomi diperkirakan
sebesar 6,1 hingga 7,1% maka pada tahun 2024
tambahan kapasitas listrik nasional mencapai
70.400 MW dengan asumsi pertumbuhan
kebutuhan listrik sebesar 8,7% per tahun, rasio
elektrifikasi mencapai 99,4% maka kebutuhan
listrik nasional akan mencapai 464,2 TWH.
Hasil penelitian yang dipublikasikan dalam
*OURNALOFTHESIA0ASIC%CONOMY 2011,sektor
ketenagalistrikan merupakan sektor yang
memberikan pengaruh signifikan terhadap
peningkatan kualitas pembangunan manusia
suatu daerah. Setiap kenaikan 1% dari rumah
tangga yang menggunakan listrik akan
menaikkan HDI (Human Development Index)
sebesar 0,2% dalam jangka panjang. Kenaikan
HDI yang dihasilkan dari pembangunan
PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

17

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

453"5&(*1&.#"/(6/"//"4*0/"/03."-1&.#"/(6/"/,"#*/&5,&3+"
.FNCBOHVONBOVTJBEBONBTZBSBLBU
6QBZBNFOJOHLBULBOLFTFKBIUFSBBO LFNBLNVSBO QSPEVLUJWJUBTUJEBLCPMFINFODJQUBLBO
LFUJNQBOHBOZBOHTFNBLJONFMFCBS1FSIBUJBOLIVTVTEJCFSJLBOLFQBEBQFOJOHLBUBO
QSPEVLUJWJUBTSBLZBUMBQJTBONFOFOHBICBXBI UBOQBNFOHIBMBOHJ NFOHIBNCBU 
NFOHFDJMLBOEBO
NFOHVSBLOHJLFMFMVBTBBOQFMBLVQFMBLVCFTBSVOUVLUFSVTNFOKBEJCBHJBOQFSUVNCVIBO
y BLUJWJUBTQFNCBOHVOBOUJEBLCPMFINFSVTBL NFOVSVOLBOEBZBEVLVOHMJOHLVOHBOEBO
LFTFJNCBOHBO
FLPTJTUFN

y
y

%*.&/4*1&.#"/(6/"/
%*.&/4*1&.#"/(6/"/
."/64*"

%*.&/4*1&.#"/(6/"/
4&,5036/((6-"/

%*.&/4*1&.&3"5""/
%"/1&8*-":")"/

1&/%*%*,"/

,&%"6-"5"/1"/("/

"/5"3,&-0.10,
1&/%"1"5"/

,&%"6-"5"/&/&3(*
,&5&/"("-*453*,"/
,&."3*5*."/
,&-"65"/

1&/%*%*,"/
1&/%*%*,"/
1&/%*%*,"/

1"3*8*4"5"*/%6453*

"/5"38*-":")
%&4"
1*/((*3"/
-6"3+"8"
,"8"4"/5*.63

,0/%*4*1&3-6
,&1"45*"/

1&/&(","/)6,6.

,&"."/"/
,&5&35*#"/

10-*5*,
%&.0,3"4*

5"5",&-0-"3#

15)#+7).3130(3".-"/+65"/-"*//:"
Gambar 1
Strategi Pembangunan Nasional, 2015-2019
listrik paling tinggi dibandingkan dengan
pembangunan infrastruktur lainnya seperti 1%
kenaikan di infrastruktur air dan jalan hanya
akan menaikkan HDI sebesar masing-masing
0,03% dan 0,01%. Hal ini menunjukkan betapa
pentingnya sektor ketenagalistrikan bagi
peningkatan kualitas pembangunan manusia di
Indonesia.
Pada tahun 2014, kapasitas pembangkit listrik
nasional baru mencapai 50,7 Giga Watt, selama
masa pembangunan lima tahun saat ini (20152019) peningkatan kapasitas pembangkit
listrik nasional diharapkan mampu mencapai
peningkatan sebesar 35,9 Giga Watt atau

18

mencapai 86,6 Giga Watt pada akhir tahun


2019. Kondisi ini diharapkan mampu mendorong
rasio elektrifikasi nasional hingga mencapai
96,6 % pada akhir tahun 2019, atau mengalami
peningkatan sebesar 15,1% dari yang saat
ini sudah dicapai. Saat ini masih ada 18,5 %
penduduk Indonesia belum menikmati layanan
energi listrik. Dari tingkat rasio elektrifikasi
tersebut, pelayanan dasar bagi penduduk
rentan dan kurang mampu (40% penduduk yang
berpendapatan terendah), peningkatan akses
penerangan ditargetkan mencapai 100% dari
yang saat ini dicapai (52,3%) atau meningkat
47,7% untuk kurun waktu 5 tahun kedepan.

Arah kebijakan umum pembangunan


nasional 2015-2019 (Perpres Nomor 2 tahun
2015 tentang RPJMN) saat ini terkait sektor
ketenagalistrikan adalah melakukan percepatan
pembangunan infrastruktur untuk pertumbuhan
dan pemerataan. Pembangunan infrastruktur
diarahkan untuk memperkuat konektivitas
nasional untuk mencapai keseimbangan
pembangunan, mempercepat penyediaan
infrastruktur kelistrikan, menjamin ketahanan
energi untuk mendukung ketahanan
nasional. Pelaksanaan pembangunan sektor
ketenagalistrikan ini dilaksanakan secara
terintegrasi dan dengan meningkatkan peran
kerjasama Pemerintah-Swasta.

2.1.2
Kapasitas Ketenagalistrikan Indonesia
Kapasitas ketenagalistrikan di Indonesia
ditinjau berdasarkan daya tersambung. Daya
tersambung, energi terjual, jumlah pelanggan
dan kapasitas terpasang merupakan gambaran
umum dari kemampuan Indonesia dalam
menyediakan energi listrik saat ini. Daya
tersambung yang merupakan besaran daya
yang disepakati oleh PLN dan pelanggan
dalam perjanjian jual beli tenaga listrik,
daya tersambung ini yang menjadi dasar
penghitungan beban.
Daya tersambung listrik di Indonesia totalnya
mencapai 100.030,53 MVA. Pembagian
berdasarkan kelompok pelanggan di Indonesia,
untuk rumah tangga mencapai 48,374,47 MVA
atau 48, 36% dari total daya tersambung, untuk
industri mencapai 23.541,96 MVA atau 23,53%,
untuk bisnis sebesar 21,22% atau mencapai
21.223,71 MVA. Sedangkan sisanya untuk
kebutuhan sosial, gedung kantor pemerintahan
dan penerangan jalan umum.
Daya tersambung untuk Pulau Jawa pada
tahun 2014 mencapai 69.874,20 MVA atau
mencapai 69,85% dari total nasional, dengan
tingkat pemanfaatan daya tersambung terbesar
pada kelompok pelanggan rumah tangga yang
mencapai 30.414,07 MVA atau mencapai 43,16%
dari total daya tersambung di Pulau Jawa.
Sedangkan jumlah energi yang terjual kepada

pelanggan adalah energi (kWh) yang terjual


kepada pelanggan TT (tegangan tinggi), TM
(tegangan menengah) dan TR (tegangan rendah)
sesuai dengan jumlah kWh yang dibuat rekening.
Jumlah energi listrik terjual pada tahun 2014
sebesar 198.601,78 GWh meningkat 5,90%
dibandingkan tahun sebelumnya. Kelompok
pelanggan Industri mengkonsumsi 65.908,68
GWh (33,19%), Rumah Tangga 84.086,46 GWh
(42,34%), Bisnis 36.282,42 GWh (18,27%),
dan Lainnya (sosial, gedung pemerintah dan
penerangan jalan umum) 12.324,21 GWh
(6,21%). Penjualan energi listrik untuk semua
jenis kelompok pelanggan yaitu industri,
rumah tangga, bisnis dan lainnya mengalami
peningkatan masing-masing sebesar 2,37%,
8,90%, 5,17% dan 7,63%. Sedangkan jumlah
pelanggan pada akhir tahun 2014 baru mencapai
57.493.234 pelanggan atau meningkat 6,48%
dari akhir tahun 2013. Harga jual listrik rata-rata
per kWh selama tahun 2014 sebesar Rp 939,74
lebih tinggi dari tahun sebelumnya sebesar Rp
818,41.
Kapasitas terpasang dan unit pembangkit PLN
(holding dan anak perusahaan) pada akhir
Desember 2014 mencapai 39.257,53 MW dan
5.007 unit, dengan 31.062,19 MW (79,12%)
berada di Pulau Jawa. Total kapasitas terpasang
meningkat 14,77% dibandingkan dengan akhir
Desember 2013.
Persentase kapasitas terpasang per jenis
pembangkit sebagai berikut : PLTU 20.451,67
MW (52,10%), PLTGU 8.886,11 MW (22,64%),
PLTD 2.798,55 (7,13%), PLTA 3.526,89 MW
(8,98%), PLTG 3.012,10 MW (7,67%), PLTP 573
MW (1,46%), PLT Surya dan PLT Bayu 9,20 MW
(0,02%). Adapun total kapasitas terpasang
nasional termasuk sewa dan IPP adalah
51.620,58 MW.
Selama tahun 2014, jumlah energi listrik produksi
sendiri (termasuk sewa) sebesar 175.296,98
GWh meningkat 6,91% dibandingkan tahun
sebelumnya. Dari jumlah tersebut, 59,12%
diproduksi oleh PLN Holding, dan 40,88%
diproduksi Anak Perusahaan yaitu PT Indonesia
Power, PT PJB, PT PLN Batam dan PT PLN
PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

19

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

Tarakan. Persentase energi listrik produksi sendiri


(termasuk sewa) per jenis energi primer adalah:
gas alam 49.312,48 GWh (28,13%), batubara
84.076,12 GWh (47,96%), minyak 26.433,18
GWh (15,08%), tenaga air 11.163,62 GWh
(6,37%), dan 4.285,37 GWh (2,44%) berasal dari
panas bumi.

unit, sistem 150 kV sebanyak 1.179 unit, sistem


70 kV sebanyak 192 unit, dan sistem < 30 kV
sebanyak 1 unit. Kapasitas terpasang dan jumlah
trafo gardu distribusi menjadi 46.779 MVA dan
389.302 unit. Kapasitas terpasang dan jumlah
trafo mengalami peningkatan masing-masing
sebesar 8,32% dan 7,32%.

Dibandingkan tahun sebelumnya penggunaan


bahan bakar minyak untuk pembangkit listrik di
Indonesia mengalami peningkatan, sedangkan
pangsa gas alam, batubara, panas bumi dan
air mengalami penurunan. Produksi total PLN
(termasuk pembelian dari luar PLN) pada tahun
2014 sebesar 228.554,91 GWh, mengalami
peningkatan sebesar 12.366,36 GWh atau 5,72%
dari tahun sebelumnya. Dari produksi total PLN
tersebut, energi listrik yang dibeli dari luar PLN
sebesar 53.257,93 GWh (23,30%). Pembelian
energi listrik tersebut meningkat 1.035,14 GWh
atau 1,98% dibandingkan tahun 2013. Dari total
energi listrik yang dibeli, pembelian terbesar
sebanyak 8.434 GWh (21,31%) berasal dari PT
Jawa Power, dan 7.435 GWh (18,79%) berasal
dari PT Paiton Energy Company.

2.1.3
Kebutuhan listrik Indonesia

Pada akhir tahun 2014, total panjang jaringan


transmisi mencapai 39.909,80 kms, yang
terdiri atas jaringan 500 kV sepanjang 5.053,00
kms, 275 kV sepanjang 1.374,30 kms, 150 kV
sepanjang 29.352,85 kms, 70 kV sepanjang
4.125,49 kms dan 25 & 30 kV sepanjang 4,16
kms. Total panjang jaringan distribusi sepanjang
925.311,61 kms, terdiri atas JTM sepanjang
339.558,24 kms dan JTR sepanjang 585.753,37
kms. Kapasitas terpasang trafo gardu induk
sebesar 86.472 MVA, meningkat 6,30% dari
tahun sebelumnya. Jumlah trafo gardu induk
sebanyak 1.429 unit, terdiri atas trafo sistem 500
kV sebanyak 52 unit, sistem 275 kV sebanyak 5
PDB

2004

2005

2006

2007

Pertumbuhan perekonomian Indonesia selama


10 tahun terakhir yang dinyatakan dalam
Produk Domestik Bruto (PDB) dengan harga
konstan tahun 2000 mengalami kenaikan ratarata 5,8% per tahun. Pertumbuhan 4 tahun
terakhir mencapai nilai tertinggi 6,5% seperti
diperlihatkan pada tabel di bawah ini:
Berdasarkan angka pertumbuhan ekonomi pada
RPJMN tahun 2015-2019 yang dikeluarkan oleh
BAPPENAS, ekonomi Indonesia untuk tahun
2015-2019 diperkirakan akan tumbuh antara
6,1%-7,1%, dan untuk periode tahun 2020-2024
mengacu pada RUKN 2015-2034, yaitu rata-rata
7,0% per tahun.
Berdasarkan hal tersebut maka kebutuhan
tenaga listrik selanjutnya diproyeksikan pada
tahun 2024 akan menjadi 464 TWh, atau tumbuh
rata-rata dari tahun 2015-2024 sebesar 8,7% per
tahun. Sedangkan beban puncak non coincident
pada tahun 2024 akan menjadi 74.536 MW atau
tumbuh rata-rata 8,2% per tahun.
Jumlah pelanggan pada tahun 2014 sebesar
57,3 juta akan bertambah menjadi
78,4 juta pada tahun 2024 atau bertambah ratarata 2,2 juta per tahun.

2008

2009

2010

2011

2012

2013

PDB
(103 Triliun, Rp)
Harga Konstan

1,66

1,75

1,85

1,96

,2,08

2,17

2,22

2,46

2,62

2,77

Growth PDB
(%)

5,05

5,67

5,50

6,32

6,06

4,63

6,22

6,49

6,26

5,78

Tabel 1
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Sumber: Statistik Indonesia, BPS

20

Tahun

Pertumbuhan Ekonomi (%)

Sales (TWh)

Beban Puncak (Non-coicident)


(MW)

2015

6,1

219

36.787

2016

6,4

239

39.880

2017

6,8

260

43.154

2018

7,0

283

46.845

2019

7,1

307

50.531

2020

7,0

332

54.505

2021

361

58.833

2022

392

63.483

2023

427

68.805

2024

464

74.536

Tabel 2
Pertumbuhan Ekonomi, Proyeksi Kebutuhan Tenaga Listrik dan Beban Puncak Periode Tahun 20152024
Sumber : RUPTL PLN 2015-2024

Tahun

Penduduk
(Juta)

Pelanggan
(Juta)

RE RUPTL 2015-2024
(%)

RE RUKN 2008-2027
(%)

RE Draft RUKN
2015-2034 (%)

2015

257,9

60,3

87,7

79,2

85,2

2016

261,1

63,6

91,3

88,2

2017

264,3

66,2

93,6

91,1

2018

267,4

68,7

95,8

93,9

2019

270,4

71,0

97,4

96,6

2020

273,5

72,9

98,4

2021

276,5

74,4

98,9

99,3

2022

279,3

75,8

99,1

99,4

2023

282,1

77,1

99,3

99,4

2024

284,8

78,4

99,4

99,5

90,4

99,2

Tabel 3
Proyeksi Jumlah Penduduk, Pertumbuhan Pelanggan dan Rasio Elektrifikasi Periode Tahun 2015 2024
Sumber : RUPTL PLN 2015-2024

Penambahan pelanggan tersebut akan


meningkatkan rasio elektrifikasi dari
84,4% pada 2014 menjadi 99,4% pada tahun
2024. Proyeksi jumlah penduduk,
pertumbuhan pelanggan dan rasio elektrifikasi
periode tahun 2015-2024.
Proyeksi kebutuhan listrik periode tahun 2015
2024 ditunjukkan pada tabel 4 dan gambar 2.
Pada periode tahun 2015-2024 kebutuhan
listrik diperkirakan akan meningkat dari 219,1
TWh pada tahun 2015 menjadi 464,2TWh pada
tahun 2024, atau tumbuh rata-rata 8,7% per
tahun. Untuk wilayah Sumatera pada periode
yang sama, kebutuhan listrik akan meningkat

dari 31,2TWh pada tahun 2015 menjadi 82,8


TWh pada tahun 2024 atau tumbuh rata-rata
11,6% per tahun. Wilayah Jawa-Bali tumbuh dari
165,4 TWh pada tahun2015 menjadi 324,4 TWh
pada tahun 2024 atau tumbuh rata-rata 7,8%
pertahun. Wilayah Indonesia Timur tumbuh dari
22,6 TWh menjadi 57,1 TWh atau tumbuh ratarata 11,1% per tahun.
Proyeksi penjualan tenaga listrik per kelompok
pelanggan memperlihatkan bahwa pada
sistem Jawa Bali, kelompok pelanggan industri
mempunyai porsi yang cukup
besar, yaitu rata-rata 41,4% dari total penjualan.
Sedangkan di Indonesia Timur dan Sumatera
rata-rata porsi pelanggan industri adalah
PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

21

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

Uraian
%NERGI$EMAND

Satuan

2014*

2015

2016

2018

2020

2022

2024

Twh

Indonesia

201,5

219,1

238,8

282,9

332,3

392,3

464,2

Jawa Bali

153,6

165,4

178,3

207,1

239,5

278,6

324,4

20,0

22,6

25,8

33,1

40,0

47,8

57,1

27,9

31,2

34,7

42,7

52,8

65,9

82,8

8,6

8,7

9,0

8,9

8,4

8,7

8,8

Indonesia Timur
Sumatera
Pertumbuhan

Indonesia
Jawa Bali

8,2

7,6

7,8

7,6

7,5

7,9

7,8

12,2

12,9

14,5

14,2

9,9

9,2

9,2

8,5

11,7

11,1

11,1

11,2

11,8

12,2

Indonesia

84,4

87,7

91,3

95,7

98,4

99,1

99,4

Jawa Bali

96,8

90,5

94,6

98,4

99,8

99,9

99,9

Indonesia Timur

76,1

79,2

82,1

87,9

92,9

95,8

97,5

Sumatera

84,8

87,2

89,8

95,0

99,2

99,9

99,9

Indonesia Timur
Sumatera
Rasio Elektrifikasi

*Estimasi realisasi Energi Jual

Tabel 4
Prakiraan Kebutuhan Listrik, Angka Pertumbuhan dan Rasio Elektrifikasi
Sumber : RUPTL PLN 2015-2024

Gambar 2
Proyeksi Penjualan Tenaga Listrik PLN Tahun 2015 dan 2024
Sumber : RUPTL PLN 2015-2024

relatif kecil, yaitu masing-masing hanya 12%


dan 14,7%. Pelanggan residensial masih
mendominasi penjualan hingga tahun 2024,

22

yaitu 55% untuk Indonesia Timur dan 59% untuk


Sumatera.

Gambar 3
Proyeksi Penjualan Tenaga Listrik PLN Tahun 2015-2024
Sumber : RUPTL PLN 2015-2024

2.2
PELUANG INVESTASI SEKTOR
KETENAGALISTRIKAN DI
INDONESIA
2.2.1
Kebutuhan Investasi Sektor
Ketenagalistrikan
Kebijakan harga energi (BBM dan listrik)
dengan beban subsidi yang masih sangat besar,
mengakibatkan antara lain pengembangan
infrastruktur energi yang memanfaatkan gas
maupun energi baru terbarukan (EBT) menjadi
terkendala. Hal ini mendorong pemanfaatan
energi secara boros, dan tidak memberikan
insentif bagi pengembangan energi non-BBM
untuk rumah tangga, transportasi, industri
maupun bisnis, serta tercermin dari tingkat
elastisitas energi yang masih cukup tinggi yaitu
sekitar 1,63 (Thailand 1,4 dan Singapura 1,1,
negara maju 0,1 hingga 0,6), tingkat intensitas
energi pada indeks 400 (Amerika Utara 300,
OECD sekitar 200, Thailand 350, dan Jepang
100). Sejak tahun 2010, subsidi BMM telah
meningkat hampir rata-rata sekitar 100 persen
setiap tahun, sedangkan subsidi listrik telah
meningkat rata-rata hampir 20 persen setiap
tahun.

Isu lainnya yang dihadapi adalah masalah


pengadaan lahan. Sifat yang khusus dari sektor
energi dan ketenagalistrikan menimbulkan
berbagai kendala yang belum diakomodasi
secara memadai oleh peraturan yang ada
saat ini. Misalnya untuk memenuhi kewajiban
penyediaan lahan di awal proses pengadaan /
tender pembangunan pembangkit listrik ternyata
tidak dapat dilakukan dalam kasus pembangunan
pembangkit Mulut Tambang dimana lokasi
pembangunan tidak dapat ditentukan di awal.
Selain itu, pengembangan panas bumi untuk
pembangkit listrik lebih banyak berada di area
hutan lindung maupun di kawasan konservasi.
Demikian pula halnya dengan pembangunan
jaringan transmisi baik gas bumi maupun
ketenagalistrikan yang membentang ratusan
kilometer yang membutuhkan waktu yang
sangat panjang untuk proses pengadaan
lahannya. Selanjutnya, penciptaan industri
yang lebih efisien menjadi salah satu kunci
pokok keberhasilan pembangunan energi
dan ketenagalistrikan. Industri energi dan
ketenagalistrikan masih ditandai oleh perilaku
monopoli yang dapat menghambat efisiensi
maupun efektifitas sistem industri secara
keseluruhan. Kebijakan akses terbuka untuk
pemakaian infrastruktur secara bersama (open
access) sebagai prasyarat bagi tumbuhnya
industri yang efisien masih belum berkembang.
PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

23

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

3FHJPOBM





















+BXB#BMJ
3VNBI5BOHHB

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

#JTOJT

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

1VCMJL

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

*OEVTUSJ

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

+VNMBI

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

#JTOJT

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

1VCMJL

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

*OEVTUSJ

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

+VNMBI

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

#JTOJT

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

1VCMJL

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

*OEVTUSJ

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

+VNMBI

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

3VNBI5BOHHB

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

#JTOJT

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

1VCMJL

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

*OEVTUSJ

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

+VNMBI

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

4VNBUFSB
3VNBI5BOHHB

*OEPOFTJB5JNVS
3VNBI5BOHHB

*OEPOFTJB

4VNCFS3615-1-/
Tabel 5
5BCFM1SPZFLTJ1FOKVBMBO5FOBHB-JTUSJL1-/5BIVOQFS,FMPNQPL1FMBOHHBO 58I

Proyeksi
Penjualan Tenaga Listrik PLN Tahun 2015-2024 per Kelompok Pelanggan (TWh)
Sumber : RUPTL PLN 2015-2024

Kesetaraan akses terhadap sistem transmisi


(jaringan gas bumi dan ketenagalistrikan)
diperlukan untuk mendorong kondisi yang lebih
kompetitif baik di sisi pemanfaatan maupun
penyediaannya.
Pembangunan infrastruktur dasar
ketenagalistrikan dalam RPJMN 2015-2019
diarahkan pada Penyediaan Listrik Untuk
Rakyat. Total rasio elektrifikasi pada tahun 2014
diperkirakan baru mencapai sekitar 81,51 persen
atau masih ada sekitar 18,5 persen penduduk
Indonesia belum dapat menikmati layanan
ketenagalistrikan. Aksesibilitas sarana prasarana
ketenagalistrikan sangat timpang, beberapa
daerah yang masih memiliki tingkat rasio
elektrifikasi di bawah 60 persen pada tahun 2013

24

yaitu NTT dan Papua, dimana masing-masing


sebesar 57,58 persen, dan 35,55 persen. Tingkat
layanan ketenagalistrikan yang masih relatif
rendah juga dapat ditunjukkan dari besarnya
konsumsi tenaga listrik per kapita dimana pada
tahun 2012, tingkat konsumsi tenaga listrik
perkapita adalah 0.6 MWh/kapita dengan
produksi tenaga listriksebesar 173,51 ribu GWh.
Penyediaan listrik secara umum untuk menunjang
pertumbuhan ekonomi, dalam kurun lima tahun
terakhir telah dilakukan penambahan kapasitas
pembangkit listrik lebih kurang sebesar 17
GW, sehingga kapasitas pembangkit listrik
nasional sampai akhir tahun 2014 diperkirakan
akan mencapai sekitar 50,7 GW. Hal ini telah
mampu menunjang pertumbuhan ekonomi

1FNCBOHLJU1-/
5BIVO

1FNCBOHLJU*11
5PUBM

5PUBM

,BQBTJUBT

-PLBTJ

5PUBM

5PUBM

5BIVO

,BQBTJUBT

-PLBTJ

.8

.8





 





 





 





 





 





 





 





 





 





 

5PUBM



 

5PUBM



 

Tabel 6
Kebutuhan Tambahan Pembangkit Tahun 2015-2019 (MW)
5BCFM,FCVUVIBO5BNCBIBO1FNCBOHLJU5BIVO .8

1FOHFNCBOH









5PUBM



5BIBQ,POTUSVLTJ
1-/

 









 

*11

 









 

4VC5PUBM

 

 







 

1-/



 



 

 

*11





 

 

 

4VC5PUBM



 

 

 

 

1-/

 

 

 

 

 

*11







 

 

4VC5PUBM

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

#OMMITED

5BIBQ3FODBOB

5PUBM

Tabel 7
Kebutuhan Tambahan Pembangkit berdasarkan Status Proyek
Sumber : RUPTL PLN 2015-2024

nasional. Namun, menghadapi kesinambungan


penyediaan listrik untuk kurun waktu beberapa
tahun mendatang, berdasarkan perkiraan
proyeksi neraca daya, diperkirakan akan
terjadi penurunan cadangan daya listrik yang
cukup signifikan, bahkan potensial terjadi
kembali krisis listrik. Hal ini dikarenakan dalam
beberapa tahun terakhir ini, pembangkit
listrik yang sedang berjalan pembangunannya
belum dapat diselesaikan dan masuk ke
dalam sistem ketenagalistrikan sesuai dengan
perencanaan,sehingga perlu segera dilakukan
percepatan pembangunan berbagai pembangkit
listrik.
Program pembangunan ketenagalistrikan

tahun 2015-2019 meliputi pengembangan


pembangkit, jaringan transmisi dan Gardu Induk
(GI) dan jaringan distribusi. Pengembangan
tersebut untuk memenuhi pertumbuhan ekonomi
6,7%, pertumbuhan kebutuhan listrik 8,8% dan
rasio elektrifikasi 97% pada 2019. Program ini
merupakan bagian dari rencana pengembangan
ketenagalistrikan 10 tahun ke depan.
Pembangunan Pembangkit Listrik Tahun 20152019
Tingkat kebutuhan elektifikasi yang masih
tinggi memerlukan tambahan pembangkit baru.
Pembangkit baru yang diperlukan untuk 5 tahun
ke depan sebesar 35 GW tidak termasuk yang
PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

25

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

sedang dalam tahap konstruksi sebesar 6,6 GW,


seperti terlihat dalam tabel 6.
Berdasarkan rencana pengembangan listrik
35.GW, persiapan infrastruktur pembangkit listrik
sebesar 6,6 GW saat ini sudah dalam tahap
konstruksi, 17 GW telah committed dan 18,7 GW
saat ini masih dalam tahap rencana. Kondisil ini
ditampilkan pada tabel 7
Pembangunan kelistrikan di Indonesia untuk
tahun 2015-2019 telah ditetapkan dalam
Kepmen 0074.K/21/MEM/2015 tentang rencana
usaha penyediaan tenaga listrik 2015-2024.
Target pengembangan pembangkit listrik
sebesar 35 GW akan dilaksanakan dengan
pembangunan 109 pembangkit listrik baru.
Pengembangan pembangkit listrik ini tidak
hanya dilaksanakan oleh PT PLN (Persero) saja,
tetapi juga akan melibatkan pihak swasta.
Keterlibatan pihak swasta dalam pengembangan
listrik nasional direncanakan mencapai 71%
dari total pembangunan pembangkit listrik yang
direncanakan di Indonesia. Pengembangan listrik
swasta mencapai 25.904 MW dari rencana 36,6
MW, sedangkan sisanya sebesar 29% ( 10.681
MW) dilaksanakan oleh pihak PT PLN (Persero).
Dari 109 pembangkit listrik yang akan
dibangun di seluruh Indonesia, ada 24
rencana pembangunan pembangkit listrik
yang akan dilaksanakan di regional JawaBali, 42 pembangkit listrik akan dibangun di
regional Sumatera, 37 pembangkit listrik yang
akan dibangun di Indonesia Timur (termasuk
Kalimantan) dan sisanya sebanyak 6 pembangkit
listrik yang bersifat mobile yang dapat dipindahpindahkan akan dikembangkan juga di
Indonesia.
Saat ini dari 109 pembangkit listrik yang
akan dibangun tersebut, ada 35 proyek yang
ditangani PT PLN (Persero) dan delapan (8)
proyek pembangkit listrik pengadaannya sudah
berlangsung. Pengadaan pembangkit listrik milik
PLN yang akan dilakukan pelelangan sebanyak
27 proyek. Sedangkan pengembangan listrik
swasta yang saat ini proyek pengadaannya sudah
berlangsung sebanyak 21 proyek, 9 proyek
pengadaannya merupakan penunjukan langsung,

26

1 proyek melalui proses pemilihan langsung,


dan sisanya sebanyak 11 proyek pengadaannya
sudah dilakukan dengan mekanisme pelelangan.
Pengembangan listrik swasta yang
pengadaannya akan dibuka, 16 proyek akan
dilakukan penunjukkan langsung, dan 35 proyek
yang pengadaannya akan dibangun melalui
mekanisme pelelangan.
Rencana pengembangan pembangkit listrik
nasional tahun 2015-2019, ada 45 proyek
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) atau
mencapai 41% dari total proyek pembangkit
listrik yang akan dikembangkan, 15 proyek
atau 14% berupa Pembangkit Listrik Tenaga
Air (PLTA). 10 proyek atau 9% merupakan
Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU),
9 proyek atau 8% merupakan Pembangkit Listrik
Tenaga Gas atau Mesin Gas (PLTG/MG), 15
proyek atau 15% merupakan Pembangunan
Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap atau
Mesin Gas Uap. Ada 10 proyek atau 9% yang
merupakan Pembangkit Listrik Tenaga Mesin
Gas (PLTMG), 4 proyek berupa Pembangkit
Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), 1 proyek yang
merupakan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel
(PLTD), 1 proyek Pembangkit Listrik Tenaga Gas
(PLTG), 2 proyek Pembangkit Listrik Tenaga
Bayu/Angin (PLTB) dan 1 proyek Pembangkit
Listrik Tenaga Gas/Uap.

2.2.2
Profil dan Kebutuhan Investasi Sektor
Kelistrikan Regional Wilayah Sumatera
1. Sistem Pembangkitan
Kapasitas terpasang pembangkit milik PLN
dan IPP yang tersebar di Sumatera sampai
dengan bulan September 2014 adalah 6.116
MW dengan perincian ditunjukkan pada
tabel 8.
Kapasitas pembangkit tersebut sudah
termasuk IPP dengan kapasitas 818 MW.
Walaupun kapasitas terpasang pembangkit
adalah 6.116 MW, kemampuan netto dari
pembangkit tersebut lebih rendah dari angka
tersebut karena banyak PLTD yang telah

1-/
6OJU

1-56

1-5(6

1-5%

1-5(

1-51

1-5"

*11

+VNMBI

&#5
-BJO

1-56

1-5(6

1-/ *11

1-5%

1-5(

1-51

+VNMBI

&#5

1-5"

1-/ *11

-BJO

"DFI













4VNVU







4VNCBS







3JBV









4+#















#BCFM











-BNQVOH

,JU4VNCBHVU











 

 

,JU4VNCBHTFM













 

 

1#4VNBUFSB













 









 









 

5PUBM

Tabel 8
Kapasitas Terpasang Pembangkit Wilayah Sumatera (MW) sampai dengan Bulan Desember Tahun 2014
3FHJPO
4VNBUFSB









4FQU

 

 

 

 

 

 













 

 

 

 

 

 













L7
L7



L7

Tabel 9
Perkembangan Kapasitas Trafo GI Wilayah Sumatera (MVA)
3FHJPO











4FQU

4VNBUFSB

 

 

 

 

 

 

L7

 

 

 

 

 

 

L7

 

 

 

 

 

 













L7

Tabel 10
Perkembangan Saluran Transmisi Wilayah Sumatera (kms)
berusia lebih dari 10 tahun dan mengalami
derating.
Beban puncak sistem kelistrikan wilayah
Sumatera sampai dengan bulan September
2014 mencapai 5.017 MW. Jika beban
puncak dibandingkan dengan daya mampu
pembangkit pada saat ini dan apabila
menerapkan kriteria cadangan 35%, maka
diperkirakan terjadi kekurangan sekitar 2.000
MW. Untuk menanggulangi kekurangan
pembangkit tersebut, hampir seluruh unit
usaha PLN di Wilayah Sumatera telah
melakukan sewa pembangkit.
2. Sistem Transmisi
Sistem penyaluran di Wilayah Sumatera
dalam kurun waktu 5 tahun terakhir
menunjukkan perkembangan yang cukup

berarti terutama di sistem Sumatera.


Pada tabel dibawah ini diperlihatkan
perkembangan kapasitas trafo pada
gardu induk di Luar Jawa-Bali selama 5
tahun terakhir. Kapasitas terpasang gardu
induk pada tahun 2009 sekitar 5.680 MVA
meningkat menjadi 9.396 MVA pada bulan
September 2014. Hal ini menunjukkan
pembangunan gardu induk meningkat ratarata 10,7% per tahun dalam periode tahun
2009-bulan September 2014.
Untuk pengembangan saluran transmisi
dapat dilihat pada tabel 9, yang
menunjukkan bahwa pembangunan sarana
transmisi meningkat rata-rata 4% pertahun
dalam kurun waktu tahun 2009-2014, dimana
panjang saluran transmisi pada tahun 2009
sekitar 9.769 kms meningkat menjadi 11.299
kms pada bulan September 2014.
PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

27

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

3. Kondisi Sistem Distribusi

Merang sebesar 10 bbtud dan disimpan


sebagai CNG.

Berikut ini diberikan perbaikan susut jaringan


dan keandalan sistem distribusi pada
lima tahun terakhir. Kondisi susut jaringan
distribusi di wilayah Sumatera, realisasi
susut distribusi 12,43% diatas target RKAP
8,82%. Dari perhitungan menggunakan
formulasi Peraturan Dirjen Ketenagalistrikan
susut teknis Sumatera adalah 11,18%. Susut
teknis ini jauh diatas target RKAP. Mengingat
workplan teknis untuk mengatasi susut teknis
tersebut baru dapat dikerjakan fisiknya pada
triwulan IV tahun 2014, maka hasil workplan
tersebut baru bisa berkontribusi pada tahun
2015.

PLTG/MG Jambi 100 MW yang


diharapkan dapat memperoleh gas dari
Jambi Merang dan disimpan sebagai
CNG.
PLTG/MG Lampung 200 MW yang
diharapkan akan mendapatkan gas dari
beberapa alternatif sumber gas, juga
perlu disimpan sebagai CNG.
PLTGU/MGU Sumbagut-3 dan
Sumbagut-4 masing-masing dengan
kapasitas 250 MW akan menggunakan
sumber gas Arun.

4. Penanggulangan Jangka Menengah Tahun


2015-2019
Berdasarkan gambaran diatas maka
upaya-upaya mendesak yang hendaknya
dilaksanakan/diselesaikan pada wilayah
Sumatera adalah sebagai berikut:
A. Pembangkitan
Menyelesaikan pembangunan pembangkit
tenaga listrik dengan total kapasitas 9.915
MW dalam kurun waktu tahun 2015-2019,
yang terdiri dari PLTP sebesar 790 MW, PLTU
Batubara 5.475 MW, PLTA/M 741 MW, PLTG/
MG 1.618 MW dan PLTGU 1.280 MW. Secara
khusus berikut ini disebutkan proyek-proyek
pembangkit peaker dan Load Follower untuk
memenuhi kebutuhan sistem kelistrikan
Sumatera :
PLTMG Arun 200 MW dan PLTGU/MGU
Sumbagut-1 250 MW yang keduanya
direncanakan beroperasi dengan gas
yang akan dipasok dari regasifikasi LNG di
Arun.
PLTMG Sei Gelam 104 MW yang akan
dipasok dari gas CNG Sei Gelam sebesar
4,5 bbtud.
PLTG/MG Riau 200 MW yang
direncanakan akan dipasok dari gas Jambi

28

PLTGU IPP Riau 250 MW.


/P

4JTUFN,FMJTUSJLBO

1SPWJOTJ

,BQBTJUBT
.8

4VNCBHVU

4VNVU



4VNCBHVU

4VNVU



4VNCBHUFOH

+BNCJ



4VNCBHTFM

-BNQVOH



/JBT

4VNVU



#BOHLB

#BOHLB



Tabel 11
Rencana Pengembangan MPP di Sumatera
Mempercepat pembangunan proyekproyek pembangkit lainnya
Untuk mengurangi pembangkit sewa dalam
mengatasi kondisi kekurangan pasokan daya,
perlu dibangun MPP (Barge Mounted atau
Truck Mounted) dengan total kapasitas 625 MW
dengan rincian seperti dalam tabel 11.
B. Transmisi dan Gardu Induk
Pembangunan Saluran UdaraTegangan
Ekstra Tinggi (SUTET) 500 kV Sumatera
dari New Aur Duri Peranap Perawang
sebagai Back Bone koridor timur
Sumatera.
Percepatan konstruksi transmisi 275 kV
PLTU Pangkalan Susu - Binjai dan IBT
275/150 kV di Binjai yang harus dapat

beroperasi seiring dengan beroperasinya


PLTU Pangkalan Susu pada tahun 2014.
Percepatan pembangunan gardu
induk dan IBT 275/150 kV pada sistem
transmisi 275 kV di jalur barat Sumatera
(Lahat - Lubuk Linggau - Bangko - Muara
Bungo - Kiliranjao) untuk meningkatkan
kemampuan transfer daya dari Sistem
Sumbagsel ke sistem Sumbagteng.
Percepatan pembangunan transmisi
275 kV jalur timur Sumatera dari New
Aur Duri - Betung - Palembang, untuk
dapat mengevakuasi power dari PLTU IPP
Sumsel-5, Sumsel-7 dan Sumsel-1.
Pembangunan transmisi 275 kV Muara
Enim - double pi incomer (Lahat Gumawang) dan Gumawang - Lampung
untuk mengevakuasi power dari PLTU IPP
Sumsel-6.
Percepatan pembangunan transmisi 275
kV Arun Langsa Pangkalan Susu untuk
dapat mengevakuasi power dari PLTMG
Arun (200 MW) dan PLTGU Sumbagut-2
(250 MW).
Percepatan pembangunan transmisi 275
kV Kiliranjao - Payakumbuh - Padang
Sidempuan dan Payakumbuh - Perawang
untuk meningkatkan kemampuan transfer
daya ke provinsi Sumbar dan Riau.
Percepatan penyelesaian konstruksi
transmisi 275 kV Simangkok - Galang dan
IBT 275/150 kV di Galang untuk evakuasi
daya pembangkit besar berbahan bakar
murah menuju pusat beban di Medan.
Percepatan pembangunan T/L 150 kV
Tenayan - Teluk Lembu, untuk dapat
mengevakuasi power dari PLTU Tenayan
yang diperkirakan dapat beroperasi pada
akhir tahun 2015.

yang diperkirakan dapat beroperasi pada


bulan Oktober 2015.
Percepatan interkoneksi 150 kV Batam
Bintan melalui kabel laut untuk memenuhi
kebutuhan sistem Bintan dan menurunkan
biaya produksi di pulau Bintan.
Percepatan interkoneksi 150 kV Sumatera
Bangka melalui kabel laut. Tujuan
interkoneksi adalah untuk memenuhi
kebutuhan listrik di pulau Bangka karena
ketidakpastian penyelesaian proyek
PLTU disana, menurunkan biaya produksi
dan meningkatkan keandalam sistem
kelistrikan di pulau Bangka. Interkoneksi
dengan kabel laut ini diharapkan dapat
beroperasi pada tahun 2017.
Percepatan proyek transmisi 275 kV
interkoneksi Kalbar Serawak agar dapat
beroperasi pada akhir tahun 2015 untuk
memenuhi kebutuhan sistem Kalbar,
mengurangi ketidakpastian kecukupan
daya, menurunkan biaya produksi dan
meningkatkan keandalan.
5. Penambahan Kapasitas Pembangkit
Sistem PLN di wilayah Sumatera terdiri dari 1
sistem interkoneksi, yaitu: Sistem Sumatera.
Di luar sistem interkoneksi tersebut pada
saat ini terdapat 2 sistem isolated yang
cukup besar dengan beban puncak di atas
50 MW, yaitu Bangka dan Tanjung Pinang
serta terdapat beberapa sistem isolated
dengan beban puncak di atas 10 MW, yaitu
Takengon, Sungai Penuh, Rengat, Tanjung
Balai Karimun dan Belitung.
Penambahan Pembangkit Wilayah Sumatera
pada tabel dibawah ini diperlihatkan jumlah
kapasitas dan jenis pembangkit yang
dibutuhkan dalam kurun waktu Tahun 20152024 untuk wilayah Sumatera.
Tabel 12 menunjukkan hal-hal sebagai berikut:

Percepatan pembangunan GI 150 kV


Arun dan transmisi terkait, untuk dapat
mengevakuasi power dari PLTMG Arun

Tambahan kapasitas pembangkit


tahun 2015-2024 adalah 17,7 GW atau
PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

29

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

5BIVO





















+VNMBI

1-/
1-56











 

1-51









1-5(6







 

1-5(











 

1-5%

1-5.

1-5"













 



 

1-5-BJO
+VNMBI

















 













 































 







 

 





 











 

*11
1-56
1-51
1-5(6
1-5(
1-5%
1-5.
1-5"
1-5-BJO
+VNMBI





















 



   


5NALLOCATED

1-56











1-51

1-5(6

1-5(







1-5%

1-5.

1-5"







1-5-BJO

+VNMBI











 

1-56

 







 









 

1-51



















 

1-5(6







 

1-5(

















 

1-5%

1-5.











1-5"











 



 

 





 



 

 

 

 

 

 

 

5PUBM

1-5-BJO
+VNMBI

Tabel 12
Kebutuhan Pembangkit Wilayah Sumatera (MW)

30

   

penambahan kapasitas rata-rata 1,7


GW per tahun yang terdiri dari sistem
interkoneksi Sumatera 16,2 GW dan luar
sistem interkoneksi sumatera 1,5 GW.
PLTU batubara akan mendominasi jenis
pembangkit thermal yang akan dibangun,
yaitu mencapai 8,1 GW atau 45,5%,
disusul oleh PLTG/MG dengan kapasitas
1,8 GW atau 10,3% dan PLTGU 1,3 GW
atau 7,2%. Sementara untuk energi
terbarukan khususnya panas bumi sebesar
2,6 GW atau 14,6%, PLTA/PLTM/pumped
storage sebesar 3,9 GW atau 22,3%, dan
pembangkit lainnya 0,01 GW atau 0,1%.
6. Pengembangan Sistem Penyaluran
Pengembangan transmisi di Sumatera
akan membentuk transmisi back-bone 500
kV yang menyatukan sistem interkoneksi
Sumatera pada koridor timur. Pusat-pusat
pembangkit skala besar dan pusat-pusat
beban yang besar di Sumatera akan
tersambung ke sistem transmmisi 500 kV ini.
Transmisi ini juga akan mentransfer tenaga

listrik dari pembangkit listrik di daerah


yang kaya sumber energi primer murah
(Sumbagsel dan Riau) ke daerah pusat beban
yang kurang memiliki sumber energi primer
murah (Sumbagut). Selain itu transmisi 500
kV juga dikembangkan di Sumatera Selatan
sebagai feeder pemasok listrik dari PLTU
mulut tambang ke stasiun konverter transmisi
HVDC yang akan menghubungkan pulau
Sumatera dan pulau Jawa. Pengembangan
transmisi sistem Sumatera sebagaimana
ditunjukkan pada gambar 4.
Rencana pengembangan sistem transmisi
dalam RUPTL 2015-2024 akan banyak
mengubah topologi jaringan dengan
terwujudnya sistem interkoneksi 275 kV
di koridor barat dan 500 kV di koridor
timur Sumatera. Pengembangan juga
banyak dilakukan untuk memenuhi
pertumbuhan demand dalam
bentuk penambahan kapasitas trafo.
Pengembangan untuk meningkatkan
keandalan dan debottlenecking yang juga
terdapat di beberapa sistem, antara lain
rencana pembangunan sirkit kedua dan
reconductoring beberapa ruas transmisi di

Gambar 4
Rencana Pengembangan transmisi Sistem Sumatera Tahun 2015-2024
PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

31

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

sistem Sumbagut dan Sumbagsel. Rencana


interkoneksi dengan tegangan 275 kV di
Sumatera diprogramkan untuk terlaksana
seluruhnya pada tahun 2017. Selain itu
terdapat pembangunan beberapa gardu
induk dan transmisi 150 kV untuk mengambil
alih beban dari pembangkit diesel ke sistem
interkoneksi (dedieselisasi).

Pengembangan transmisi 150 kV yang


ada di lokasi tersebar di sistem Sumatera
dalam rangka memenuhi kriteria
keandalan (N-1) dan untuk mengatasi
bottleneck penyaluran, perbaikan
tegangan pelayanan, dediselisasi dan
fleksibilitas operasi.
Pembangunan transmisi 275 kV mulai
dari Lahat - Lubuk Linggau Bangko

Rencana pengembangan sistem penyaluran


Wilayah Sumatera hingga tahun 2024
diproyeksikan sebesar 49.016 MVA untuk
pengembangan gardu induk (500 kV, 275
kV, 150 kV dan 70 kV) serta 23.613 kms
pengembangan transmisi dengan perincian
pada tabel 13 dan tabel 14

Muara Bungo Kiliranjau Payakumbuh


Padangsidempuan Sarulla Simangkok
Galang Binjai Pangkalan Susu
sebagai tulang punggung interkoneksi
Sumatera koridor barat yang akan
mengevakuasi daya dari Sumatera
bagian selatan yang kaya akan sumber
energi primer ke pusat beban terbesar
di Sumatera bagian utara. Interkoneksi
275 kV ini akan dapat beroperasi secara
bertahap mulai tahun 2015, tahun 2016
dan tahun 2017.

Beberapa proyek transmisi strategis di Sumatera


antara lain:
Pembangunan transmisi baru 150 dan
275 kV terkait dengan proyek pembangkit
PLTU percepatan, PLTA, PLTU IPP dan
PLTP IPP.

3ATUANKMS
53"/4.*4*





















5PUBM

L7"$











L7%$





L7

















L7









































L7
5PUBM

 




 

Tabel 13
Kebutuhan Fasilitas Transmisi Wilayah Sumatera
3ATUAN-6
53"'0





















5PUBM

L7







L7







L7%$





L7













L7







L7











































L7
5PUBM

Tabel 14
Kebutuhan Fasilitas Trafo dan Gardu Induk Wilayah Sumatera

32

 




 




 

Proyek transmisi 500 kV mulai dari


Muara Enim New Aur Duri Peranap
Perawang Rantau Parapat Kuala
Tanjung Galang, sebagai tulang
punggung interkoneksi Sumatera koridor
timur yang akan mengevakuasi daya
dari Sumatera bagian selatan yang kaya
akan sumber energi primer ke pusat
beban terbesar di Sumatera bagian
utara. Interkoneksi 500 kV ini akan dapat
beroperasi secara bertahap mulai tahun
2017 sampai dengan tahun 2022.

Dengan adanya interkoneksi tersebut,


maka di Bangka dapat dibangun
PLTU dengan kelas yang lebih besar
dibandingkan jika seandainya tidak ada
interkoneksi, yaitu kelas 100 MW.
Dalam kurun waktu tahun 2015-2024,
panjang transmisi yang akan dibangun
mencapai 23.613 kms dan trafo dengan
kapasitas total mencapai 49.016 MVA.
7. Pengembangan Sistem Distribusi

Pembangunan transmisi dan kabel laut


500 kV HVDC Sumatera Peninsular
Malaysia yang bertujuan untuk
mengoptimalkan operasi kedua sistem
dengan memanfaatkan perbedaan waktu
terjadinya beban puncak pada kedua
sistem tersebut.
Interkoneksi Batam Bintan dengan
kabel laut 150 kV dimaksudkan untuk
memenuhi sebagian kebutuhan
tenaga listrik pulau Bintan dengan
tenaga listrik dari Batam 53 dengan
mempertimbangkan rencana
pengembangan pembangkit di Batam
yang akan mencukupi kebutuhan
Batam dan sebagian Bintan 54. Adanya
interkoneksi 150 kV tersebut tidak ada
hubungannya dengan perluasan wilayah
usaha PLN Batam.
Interkoneksi 150 kV Sumatera Bangka
dengan kapasitas 200 MW pada kondisi
N-1 dengan perkiraan COD tahun 2017.
6SBJBO

4BUVBO 

+BSJOHBO

SJCV

5.

LNT

+BSJOHBO

SJCV

53

LNT

5SBGP

SJCV

%JTUSJCVTJ

.7"

5BNCBIBO

+VUB

1FMBOHHBO

QMHO

Rencana pengembangan sistem distribusi


untuk Regional Sumatera dapat dilihat
pada tabel di bawah ini. Kebutuhan fisik
sistem distribusi Sumatera hingga tahun
2024 adalah sebesar 40 ribu kms jaringan
tegangan menengah 41 ribu kms jaringan
tegangan rendah 5,3 ribu MVA tambahan
kebutuhan trafo distribusi. Kebutuhan fisik
tersebut diperlukan untuk mempertahankan
keandalan serta untuk menampung
tambahan sekitar 4,8 juta pelanggan.
8. Proyeksi Kebutuhan Investasi
Proyeksi kebutuhan investasi pembangkit, sistem
penyaluran dan distribusi dalam kurun waktu
tahun 2015-2024 untuk Wilayah Sumatera adalah
sebesar US$ 17,8 miliar atau rata-rata US$ 1,78
miliar per tahun, tidak termasuk proyek IPP,
dengan disbursement tahunan seperti pada
tabel 16 dan gambar 5.
Kebutuhan investasi Wilayah Sumatera untuk
proyek pembangkitan sampai tahun 2024 adalah

















 +VNMBI

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tabel 15
Kebutuhan Fasilitas Distribusi Wilayah Sumatera
PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

33

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

+VUB64


*UFN

1FNCBOHLJU

1FOZBMVSBO

5PUBM

















5PUBM

'D

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

-D

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

5PUBM

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

'D

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

-D

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

'D

-D

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

5PUBM

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

'D

 

 

 

 

 

 

 

 

 

   

-D

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

5PUBM

%JTUSJCVTJ



5PUBM

 

   

Tabel 16
Total Kebutuhan Dana Investasi PLN untuk Wilayah Sumatera
.JMJBS64%


5PUBM*OWFTUBTJ




1FOZBMVSBO




1FNCBOHLJU




%JTUSJCVTJ





















Gambar 5
Kebutuhan Dana Investasi PLN untuk Wilayah Sumatera
sebesar US$ 8,2 miliar, proyek penyaluran
sebesar US$ 6,6 miliar dan distribusi sebesar US$
3,0 miliar. Disbursement proyek pembangkitan
mencapai puncaknya pada tahun 2018 yang
sebagian besar merupakan proyek reguler
dan percepatan tahap 2 (FTP2). Sedangkan
disbursement proyek pembangkitan pada tahun
berikutnya terus menurun karena proyek-proyek

34

IPP akan semakin mendominasi sistem Sumatera.


Proyek transmisi Sumatera didominasi oleh
pengembangan transmisi 275 kV dan 500 kV
untuk interkoneksi seluruh Sumatera, di samping
pengembangan transmisi 150 kV.

2.2.3
Profil dan Kebutuhan Investasi Sektor
Kelistrikan Regional Wilayah Jawa Bali
1. Sistem Pembangkitan
Pembangkit baru yang masuk ke sistem
Jawa-Bali pada tahun 2014 adalah PLTU
Pelabuhan Ratu unit 2-3 (2x350 MW), PLTU
Tanjung Awar-Awar unit 1(1x350 MW)
dan PLTP Patuha (55 MW). Sedangkan
pembangkit yang akan beroperasi tahun
2015 adalah PLTU Adipala (660 MW), PLTMG
Peaker Pesanggaran (200 MW), PLTU
Celukan Bawang unit 1-2-3 (380 MW), PLTU
Cilacap Ekspansi (614 MW) dan PLTP Karaha

/P

+FOJT1FNCBOHLJU

1-/

Bodas (30 MW) dengan total penambahan


kapasitas pembangkit tahun 2014-2015
sebesar 2.990 MW. Penambahan pasokan
daya pembangkit tersebut membantu
meningkatkan kemampuan pasokan sistem
Jawa Bali menjadi total sebesar 35.300
MW pada tahun 2015. Rincian kapasitas
pembangkit sistem Jawa-Bali berdasarkan
jenis pembangkit dapat dilihat pada tabel
17.
2. Sistem Transmisi
Perkembangan kapasitas trafo gardu induk
dan sarana penyaluran sistem Jawa Bali
untuk 5 tahun terakhir ditunjukkan pada
tabel 18 dan tabel 19.

+VNMBI

*11

.8

1-5"







 

1-56







 

1-5(





 

1-5(6







 

1-51







 

1-5%





 







 

+VNMBI

Tabel 17
Kapasitas Terpasang Pembangkit Sistem Jawa-Bali Tahun 2014
-FWFM5FHBOHBO

6OJU











L7

.7"













L7

.7"













+VNMBI

.7"













#FCBO1VODBL

.8























Tabel 18
Perkembangan Kapasitas Trafo GI Sistem Jawa-Bali
-FWFM5FHBOHBO

6OJU

L7

,NT













L7

,NT













L7

,NT

















Tabel 19
Perkembangan Saluran Transmisi Sistem Jawa Bali

PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

35

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

3. Penanggulangan Jangka Menengah Tahun


2015-2019
Untuk menjaga reserve margin tahun
2015-2017 yang di bawah 30% tidak
makin menipis, diperlukan percepatan
pembangunan pembangkit sebagai berikut:
Mempercepat penyelesaian
pembangunan PLTU Adipala (660 MW),
PLTMG Peaker Pesanggaran (200 MW),
PLTU Celukan Bawang (380 MW), PLTU
Cilacap ekspansi (614 MW), PLTU Tanjung
Awar-Awar unit-2 (350 MW) dan PLTU
Banten (625 MW) yang diharapkan dapat
beroperasi tahun 2015/2016.
Mempercepat pembangunan PLTGU
Muara Tawar Add-on (650 MW), PLTGU
Grati Add-on (150 MW), PLTGU Peaker
Grati (450 MW), PLTGU Peaker Muara
Karang (500 MW), PLTGU/MG Peaker
Jawa-Bali 1 (400 MW) indikasi lokasi
Sunyaragi, PLTGU/MG Peaker JawaBali 2 (500 MW) indikasi lokasi Perak,
PLTGU Peaker Jawa-Bali 3 (500 MW)
indikasi lokasi di Provinsi Banten dan
PLTGU/MG Peaker Jawa-Bali 4 (450 MW)
indikasi lokasi di Provinsi Jawa Barat,
yang diharapkan dapat beroperasi tahun
2016/2017.
Untuk menjaga reserve margin sesuai
kriteria pada tahun 2018-2019, diperlukan
percepatan pembangunan pembangkit
sebagai berikut:
Mempercepat pembangunan PLTGU
Load Follower Jawa-1 (2x800 MW) lokasi
di Provinsi Jawa Barat dengan koneksi ke
GITET Muara Tawar atau GITET Cibatu
Baru, PLTGU Load Follower Jawa-2 (1x800
MW) lokasi Priok, PLTGU Load Follower
Jawa-3 (1x800 MW) lokasi Gresik, PLTU
Lontar ekspansi (315 MW), PLTU Jawa8 (1.000 MW) indikasi lokasi di Provinsi
Jawa Tengah dan PLTU Jawa-9 (600 MW)
indikasi lokasi di Provinsi Banten, yang
diharapkan dapat beroperasi tahun 2018.
Mempercepat pembangunan PLTU

36

Indramayu-4 (1.000 MW), PLTA Upper


Cisokan (1.040 MW), PLTU Jawa Tengah
(2x950 MW), PLTA Jatigede (110 MW),
PLTU Jawa-1 (1.000 MW), PLTU Jawa-4
(2x1.000 MW), PLTU Jawa-5 (2x1.000
MW), PLTU Jawa-7 (2x1.000 MW), PLTU
Jawa-10 (660 MW), PLTU Sumsel-8 (2x600
MW) dan beberapa PLTP (220 MW) yang
diharapkan dapat beroperasi tahun 2019.
Transmisi dan Gardu Induk
Diperlukan perkuatan SUTET dan GITET 500
kV untuk evakuasi daya dari pembangkit
pembangkit skala besar yang terhubung ke
sistem 500 kV sebagai berikut:
Mempercepat penyelesaian
pembangunan SUTET 500 kV dari
PLTU Cilacap PLTU Adipala Rawalo
/ Kesugihan, untuk evakuasi daya dari
PLTU Cilacap ekspansi dan PLTU Adipala,
diharapkan dapat beroperasi tahun 2015.
Mempercepat pembangunan looping
SUTET 500 kV Kembangan Duri
Kosambi Muara Karang Priok Muara
Tawar dan GITET 500 kV terkaitnya.
SUTET ini diperlukan untuk evakuasi
daya dari PLTGU Jawa-1, PLTGU Jawa2 dan PLTU Jawa-12, diharapkan dapat
beroperasi tahun 2018.
Mempercepat pelaksanaan
rekonduktoring SUTET 500 kV Suralaya
Baru Bojanegara- Balaraja, dan
pembangunan SUTET 500 kV Balaraja
Kembangan untuk evakuasi daya PLTU
Jawa-5, PLTU Jawa-7 dan PLTU Jawa-9,
diharapkan dapat beroperasi tahun 2019.
Mempercepat pembangunan SUTET
500 KV Tanjung Jati B Tx Ungaran,
sirkit ke-2 Tx Ungaran Pedan, sirkit 2-3
(rekonfigurasi sirkit 1 menjadi 2 sirkit)
ruas Mandirancan Bandung Selatan
dan Bandung Selatan incomer (Tasik
Depok) untuk evakuasi daya PLTU Jawa1, PLTU Jawa Tengah dan PLTU Jawa-4,
diharapkan dapat beroperasi tahun 2019.

Mempercepat pembangunan SUTET 500


kV PLTU Indramayu Delta Mas dan
GITET baru Delta Mas, untuk evakuasi
daya dari PLTU Indramayu-4, diharapkan
dapat beroperasi tahun 2019.
Mempercepat pembangunan GITET/
IBT baru yaitu: GITET Lengkong, GITET
Cawang Baru, GITET Cibatu Baru,
GITET Tambun, GITET Delta Mas, GITET
Cikalong, GITET Ampel, GITET Surabaya
Selatan termasuk SUTET Grati Surabaya
Selatan, GITET Pemalang dan beberapa
tambahan IBT di GITET eksisting.
Rekonfigurasi SUTET Muara Tawar cibinong Bekasi Cawang.

per tahun, termasuk PLTM skala kecil


tersebar sebesar 333 MW dan PLT Bayu
50 MW.
PLTU batubara akan mendominasi jenis
pembangkit yang akan dibangun, yaitu
mencapai 27,0 GW atau 70,1%, disusul
oleh PLTGU gas dengan kapasitas 6.8 GW
atau 17,7% dan PLTG/MG 0,2 GW atau
0,6%.
Sementara untuk energi terbarukan
khususnya panas bumi sebesar 1,9 GW atau
4,9%, PLTA/PLTM/pumped storage sebesar
2,6 GW atau 6,7%, dan pembangkit lainnya
0,05 GW atau 0,1%.
5. Pengembangan Sistem Penyaluran

Penguatan pasokan lainnya terdiri dari


beberapa program, yaitu:
Mempercepat pembangunan transmisi
interkoneksi HVDC 500 kV Sumatera-Jawa
untuk menyalurkan daya dari PLTU mulut
tambang di Sumsel sebesar 3.000 MW
pada tahun 2019.
Mempercepat pembangunan Jawa Bali
Crossing 500 kV dari PLTU Paiton ke New
Antosari (tahun 2018) dan GITET Antosari,
untuk memperkuat pasokan ke sistem
Bali.
Mempercepat pembangunan sirkit 3-4
SUTET 500 kV Tx Ungaran Pemalang
Mandirancan Indramayu Delta Mas.
4. Penambahan Kapasitas Pembangkit
Penambahan Pembangkit Sistem Jawa Bali
pada tabel 20 diperlihatkan jumlah kapasitas
dan jenis pembangkit yang dibutuhkan pada
tahun 2015-2024 untuk wilayah Jawa-Bali.
Tabel 20 menunjukkan hal-hal sebagai
berikut:
Tambahan kapasitas pembangkit
tahun 2015-2024 adalah 38,5 GW atau
penambahan kapasitas rata-rata 3,8 GW

Pengembangan transmisi 500 kV di Jawa


pada umumnya dimaksudkan untuk
mengevakuasi daya dari pembangkitpembangkit baru maupun ekspansi skala
besar dan untuk menjaga kriteria security
N-1, baik statik maupun dinamik.Sedangkan
pengembangan transmisi 150 dimaksudkan
untuk menjaga kriteria security N-1 dan
sebagai transmisi yang terkait dengan gardu
induk 150 kV baru. Pengembangan transmisi
Sistem Jawa-Bali sebagimana ditunjukkan
pada Gambar 6.
Memperhatikan pembangunan SUTET dan
SUTT yang sering terlambat karena masalah
perizinan, ROW dan sosial, serta kebutuhan
tambahan daya yang mendesak, maka
PLN perlu melakukan usaha meningkatkan
kapasitas transmisi dalam waktu dekat.
Pembangunan SUTET dengan menggunakan
rute baru akan memerlukan waktu yang lama
sehingga upaya yang dapat dilakukan adalah
rekonduktoring beberapa ruas transmisi
500 kV/150 kV dan mulai akan membangun
under ground cable 500 kV disekitar Jakarta.
Pada tabel 21 dan tabel 22 diperlihatkan
kebutuhan fisik fasilitas penyaluran dan
gardu induk di sistem Jawa-Bali.

PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

37

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

5BIVO





















+VNMBI

1-/
1-56











1-51

1-5(6









1-5(





1-5.

1-5"





14





1-5-BJO







































 









+VNMBI











*11
1-56
1-51
1-5(6
1-5(
1-5.
1-5"
14
1-5-BJO
+VNMBI
























  





 

 


5NALLOCATED

1-56











1-51





1-5(6

1-5(

1-5.

1-5"





14







1-5-BJO

+VNMBI













1-56





 









 

1-51



























1-5(





1-5.















1-5"









14









1-5-BJO











 









5PUBM

1-5(6

+VNMBI

Tabel 20
Rencana Penambahan Pembangkit Sistem Jawa-Bali (MW)

38

 

Gambar 6 (BNCBS3FODBOB1FOHFNCBOHBO5SBOTNJTJ4JTUFN+BXB#BMJ5BIVO
Rencana Pengembangan transmisi Sistem Jawa-bali Tahun 2015-2024
Dari Tabel 21 dan 22 terlihat bahwa
sampai dengan tahun 2024 akan dibangun
transmisi 500 kV AC sepanjang 2.806 kms
dan transmisi 500 kV DC sepanjang 300
kms. Transmisi tersebut dimaksudkan untuk
mengevakuasi daya terkait dengan program
percepatan pembangkit PLTU Suralaya

Baru, PLTU Adipala, PLTU IPP Tanjung Jati


Unit 3 dan 4, PLTU IPP Jawa Tengah, PLTU
Indramayu Unit 4 dan 5, Jawa-Bali Crossing
dari Paiton hingga ke pusat beban di Bali,
PLTA pumped storage Upper Cisokan dan
Matenggeng, dan beberapa PLTU skala
besar baru lainnya.
3ATUANKMS

53"/4.*4*





















L7"$

















L7%$











































L7
L7
5PUBM

5PUBM

Tabel 21
Kebutuhan Saluran Transmisi Sistem Jawa-Bali
3ATUAN-6
53"'0











L7















 





L7







L7































   











L7%$

L7
5PUBM











5PUBM

 




 

Tabel 22
Kebutuhan Trafo Sistem Jawa-Bali
PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

39

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

Ruas SUTET 500 kV yang harus segera


direkonduktoring terkait dengan evakuasi
daya PLTU Jawa-7 adalah SUTET Suralaya
Baru-Bojanegara-Balaraja (tahun 2019),
SUTET Suralaya Lama-Balaraja-Gandul (tahun
2020).

pengembangan sistem transmisi Sumatra.

Selain itu ruas SUTET 500 kV yang harus


segera dilaksanakan adalah sirkit 2 dari
Ungaran-Pedan, sirkit ke 2-3 MandirancanBandung Selatan (modifikasi tower 1 sirkit
menjadi 2 sirkit) dan Bandung Selatan
Incomer (Tasik Depok) untuk evakuasi daya
dari PLTU Jawa-1, PLTU Jawa-4 dan PLTU
Jawa Tengah.

Rencana proyek reconductoring SUTT 70 kV


yang memasok konsumen besar dan saluran
distribusi khusus. Program pemasangan
trafo-trafo 50/70 kV dan 70/20 kV pada tabel
tersebut juga hanya merupakan relokasi
trafo-trafo dari Jawa Barat ke Jawa Timur.

Sistem transmisi 70 kV pada dasarnya


sudah tidak dikembangkan lagi, bahkan di
sistem 70 kV di Jawa Barat banyak yang
ditingkatkan menjadi 150 kV.

Beberapa proyek transmisi strategis di JawaBali antara lain:

Rencana pembangunan SUTET 500 kV


baru adalah ruas SUTET dari Tanjung Jati
B-Pemalang-Indramayu-Delta Mas, ruas
SUTET Balaraja-Kembangan-Durikosambi
dan Durikosambi-Muara Karang-PriokMuaratawar membentuk looping SUTET
jalur utara Jakarta, untuk perkuatan dan
peningkatan keandalan serta fleksibilitas
operasi sistem Jakarta.

Proyek transmisi SUTET 500 kV Tx


Ungaran-Pemalang-MandirancanIndramayu tahun 2020.
Pembangunan transmisi 500 kV HVDC
bipole 3,000 MW Sumatra - Jawa
berikut GITET X Bogor - Incomer (Tasik
- Depok dan Cilegon Cibinong) untuk
menyalurkan listrik dari PLTU mulut
tambang di Sumatra Selatan ke sistem
Jawa Bali tahun 2019.

Rencana kebutuhan GITET 500 kV dan


tambahan trafo interbus 500/150 kV yang
direncanakan merupakan perkuatan grid
yang tersebar di Jawa.

Pembangunan SUTET 500 kV Paiton


New Kapal termasuk overhead line 500
kV menyeberangi selat Bali (Jawa Bali
Crossing) tahun 2018 sebagai solusi
jangka panjang pasokan listrik ke pulau
Bali.

Transmisi 500 kV DC adalah transmisi


HVDC interkoneksi SumateraJawa, di sini
hanya diperhitungkan bagian kabel laut
dan overhead line yang berada di pulau
Jawa, selebihnya diperhitungkan sebagai
6SBJBO

4BUVBO 

+BSJOHBO

SJCV

5.

LNT

+BSJOHBO

SJCV

53

LNT

5SBGP

SJCV

%JTUSJCVTJ

.7"

5BNCBIBO

+VUB

1FMBOHHBO

QMHO

















 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tabel 23
Kebutuhan Fasilitas Distribusi Sistem Jawa-Bali

40

 +VNMBI

SUTET 500 kV Balaraja-KembanganDurikosambi-Muara Karang (tahun 2018)


dan Muara Karang-Priok-Muara Tawar
tahun 2018.

Dalam kurun waktu 10 tahun mendatang


dari tahun 2015 sampai dengan tahun 2024
untuk sistem Jawa Bali diperlukan tambahan
jaringan tegangan menengah sebanyak 70
ribu kms, jaringan tegangan rendah 53 ribu
kms, kapasitas trafo distribusi 28 ribu MVA
dan jumlah pelanggan 11,2 juta.

6. Pengembangan Sistem Distribusi


Perencanaan kebutuhan fisik untuk
mengantisipasi pertumbuhan penjualan
energi listrik dapat diproyeksikan seperti
pada tabel 23.

7. Proyeksi Kebutuhan Investasi


Pengembangan pembangkitan,
+VUB64



*UFN

1FNCBOHLJU

1FOZBMVSBO

5PUBM

















   

5PUBM

'D

 

 

 

 

 

 

 

 

 

-D

 

 

 

 

 

 

 

 

 

5PUBM

 

 

 

 

 

 

 

 

 

'D

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

-D

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

'D

-D

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

5PUBM

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

'D

 

 

 

 

 

 

 

 

 

   

-D

 

 

 

 

  

 

 

 

 

   

5PUBM

 

 

 

 

 

 

 

 

 

   

5PUBM

%JTUSJCVTJ



 

 

   

Tabel 24
Kebutuhan Dana Investasi untuk Sistem Jawa Bali
.JMJBS64%



5PUBM*OWFTUBTJ




1FNCBOHLJU

1FOZBMVSBO


%JTUSJCVTJ

























Gambar 7
Kebutuhan Dana Investasi PLN untuk Sistem Jawa Bali

PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

41

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

transmisi dan distribusi oleh PLN sampai


dengan tahun 2024 di sistem Jawa Bali
membutuhkan dana investasi sebesar US$
33,6 miliar dengan disbursement tahunan
sebagaimana diperlihatkan pada tabel dan
gambar dibawah ini. Kebutuhan investasi
untuk proyek pembangkitan sampai tahun
2024 adalah sebesar US$ 16,5 miliar atau
sekitar US$ 1,65 miliar per tahun.
Pembiayaan proyek pembangkitan PLN
berasal dari beberapa sumber. Proyek
percepatan pembangkit melalui Peraturan
Presiden Nomor 71 tahun 2006 didanai
dengan pinjaman luar negeri (Cina) dan
dalam negeri yang diusahakan oleh PLN
dengan jaminan Pemerintah. Proyek Upper
Cisokan pumped storage senilai US$ 800
juta telah diusulkan mendapat pendanaan
dari IBRD yang merupakan lender
multilateral, sedangkan PLTU Indramayu
1x1.000 MW senilai US$ 2.000 juta dengan
pendanaan dari lender bilateral.
Kebutuhan dana investasi untuk penyaluran
dan distribusi masing-masing sebesar
US$ 9,6 miliar dan US$ 7,4 miliar. Proyek
penyaluran pada tahun 2018 cukup besar
karena merupakan disbursement proyek
transmisi interkoneksi HVDC Sumatera
Jawa dan transmisi Jawa Bali Crossing 500
kV. Proyek tersebut menurut rencana akan
didanai dari APLN, pinjaman luar negeri (two
step loan) dan kredit ekspor.

1. Pengadaan Investasi Untuk Ketenagalistrikan


Umum
UU Nomor 30 Tahun 2009 tentang
Ketenagalistrikan
PP Nomor 14 Tahun 2012 tentang
Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik
sebagaimana telah diubah dengan PP No
23 Tahun 2014
Peraturan Menteri ESDM Nomor 03
Tahun 2015 tentang Prosedur Pembelian
Tenaga Listrik dan Harga Patokan
Pembelian Tenaga Listrik dari PLTU Mulut
Tambang, PLTU Batubara, PLTG/PLTMG,
dan PLTA oleh Perusahaan Listrik Negara
(Persero) Melalui Pemilihan Langsung dan
Penunjukkan Langsung
Peraturan Menteri ESDM Nomor 01
Tahun 2006 jo No 04 Tahun 2007 tentang
Prosedur Pembelian Tenaga listrik dan
atau Sewa Menyewa Jaringan dalam
Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk
Kepentingan Umum
Peraturan Menteri ESDM Nomor 05 Tahun
2009 tentang Pedoman Harga Pembelian
Tenaga Listrik oleh PT PLN Persero dari
Koperasi atau Badan Usaha Lain
2. Pengadaan Investasi Khusus Energi
Geothermal, ditambah dengan

2.3
SKEMA INVESTASI SEKTOR
KETENAGALISTRIKAN DI
INDONESIA

UU Nomor 21 Tahun 2016 tentang


Geothermal

2.3.1
Landasan Hukum

Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun


2009 tentang Pedoman Penyelenggaraan
Kegiatan Panas Bumi

Landasan hukum investasi sektor


ketenagalistrikan baik melalui melalui skema
Independent Power Producers (IPP), Kerjasama
Pemerintah Swasta (KPS), %NGINEERING,
Production and Construction (EPC), maupun
Swasta Murni adalah sebagai berikut :

42

PP Nomor 59 Tahun 2007 jo No 70 Tahun


2010 tentang Kegiatan Geothermal

Peraturan Menteri ESDM Nomor 17 Tahun


2014 tentang Pembelian Tenaga Listrik
dari PLTP dan Uap Panas Bumi untuk
PLTP oleh PT Perusahaan Listrik Negara
(Persero)

3. Regulasi Pembiayaan melalui Public Private


Partnership (PPP)
Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005
tentang Kerjasama Pemerintah dan Badan
Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur dan
telah direvisi dengan Perpres Nomor 13
Tahun 2010 (perubahan pertama), Perpres
Nomor 56 Tahun 2011 (perubahan kedua),
dan Perpres Nomor 66 Tahun 2013
(perubahan ketiga).
Peraturan Menteri Perencanaan
Pembangunan Nasional/Kepala
BAPPENAS Nomor 3 Tahun 2012 tentang
Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan
Infrastruktur melalui Public Private
Partnership (PPP).

2.3.2
Independent Power Producers (IPP)
1. Konsep
Pembelian Tenaga Listrik dan Harga Patokan
Pembelian Tenaga Listrik oleh PT PLN
(Persero) Melalui Pemilihan Langsung dan
Penunjukan Langsung, diatur dalam Permen
ESDM Nomor 3 tahun 2015. Regulasi ini
disusun untuk meningkatkan kapasitas
pembangunan tenaga listrik nasional,
khususnya untuk mendorong pembangunan
pembangkit listrik melalui mekanisme
Independent Power Producers (IPP).
Ketentuan itu untuk mendukung
penyediaan tenaga listrik yang tertuang
dalam RUPTL PT PLN (Persero) 2015-2024
telah mempertimbangkan perencanaan
penyediaan tenaga listrik yang ada dalam
Draft Rencana Umum Ketenagalistrikan
Nasional (RUKN) 2012 hingga 2031 dan
Draft RUKN 2015 hingga 2034. Untuk
sepuluh tahun mendatang, PLTU batubara
masih mendominasi jenis pembangkit yang
akan dibangun, yaitu mencapai 42 GW (60%)
sementara PLTGU sekitar 9 GW (13%) dan
PLTG/MG sekitar 5 GW (7%). Adapun energi
terbarukan yang akan dikembangkan adalah
PLTP sekitar 4,8 GW (7%) dan PLTA/PLTM

dan 0UMP3TORAGE sebesar 9.250 MW (13%).


PT PLN wajib memenuhi kebutuhan tenaga
listrik dalam wilayah usahanya dengan
melakukan pembelian tenaga listrik dari
PLTU Mulut Tambang, PLTU Batubara,
PLTG/PLTMG dan PLTA. Pembelian dengan
pemegang izin usaha penyediaan tenaga
listrik lainnya dilakukan berdasarkan rencana
usaha penyediaan tenaga listrik.
Pembelian tenaga listrik itu dapat dilakukan
melalui pemilihan langsung dan penunjukkan
langsung sepanjang memenuhi kriteria
sebagai berikut:
Pembelian tenaga listrik dilakukan dari
PLTU Mulut Tambang, PLTG marginal dan
PLTA
Pembelian kelebihan tenaga listrik dari
PLTU Mulut Tambang, PLTU Batubara,
PLTG/ PLTMG dan PLTA
Pembelian tenaga listrik dari PLTU
Mulut Tambang, PLTU Batubara,PLTG/
PLTMG dan PLTA jika sistem tenaga listrik
setempat dalam kondisi krisis atau darurat
penyediaan listrik dan/atau
Pembelian tenaga listrik dari PLTU Mulut
Tambang, PLTU Batubara,PLTG/PLTMG
dan PLTA dalam rangka penambahan
kapasitas pembangkitan pada pusat
pembangkit tenaga listrik yang telah
beroperasi di lokasi yang sama
2. Mekanisme Pengadaan
A. Prosedur Penunjukan Langsung
Proses penunjukan langsung dengan
uji tuntas atas kemampuan teknis dan
finansial yang dapat dilakukan oleh pihak
procurement agent yang ditunjuk oleh
PT PLN Persero dan sampai dengan
penandatanganan perjanjian jual beli tenaga
listrik, paling lama 30 (tiga puluh) hari.
Mekanisme IPP untuk Penunjukkan Langsung
sebagaimana gambar 8
PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

43

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

B. Prosedur Pemilihan Langsung

waktu 321 hari jika tidak ada tender ulang.


Adapun mekanisme disajikan pada gambar
10.

Proses pemilihan langsung didahului


dengan uji tuntas atas kemampuan teknis
dan finansial yang dapat dilakukan oleh
pihak procurement agent yang ditunjuk
oleh PT PLN Persero dan sampai dengan
penandatanganan perjanjian jual beli
tenaga listrik, paling lama 45 (empat puluh
lima) hari. Mekanisme IPP untuk Pemilihan
Langsung sebagaimana gambar 9.

3. Tahapan Bisnis IPP


Tahapan bisnis ketenagalistrikan melalui
Pola IPP mencakup:
Tahap pra kualifikasi
Tahap permintaan proposal

C. Tender / Lelang Terbuka


Tahap pengajuan surat penawaran
Lelang terbuka dilaksanakan apabila
kondisi IPP tidak layak untuk penunjukkan
langsung atau pemilihan langsung atau
PLN menginginkan Lelang Terbuka
untuk semua jenis tenaga pembangkit.
Pemenang ditetapkan pada pengajuan
tarif terendah. Berdasarkan peraturan IPP,
proses lelang terbuka dengan kapasitas >/=
15 MW dari pengumuman tender sampai
penandatanganan kontrak memerlukan

-JTUFEJO3615-

%VF%JMJHFODF%PDVNFOU
4VCNJTTJPO

%VF%JMJHFODF
%PDVNFOU
&WBMVBUJPO

Tahap pembayaran sesuai tanggal yang


telah disepakati
Tahap pelaksanaan komersial
Tahap akhir masa kontrak

4ZTUFN
1MBOOJOHBOE
1SPKFDU
'FBTJCJMJUZ
&WBMVBUJPO

1BTT

%VF%JMJHFODF*OWJUBUJPO

Tahap penandatangan kontrak

5NSOLICITED0ROPOSALAND
&EASIBILITY3TUDY3UBMISSION

3FKFDUFEGPS3FWJTJPO

3FRVJSFE%PDVNFOUT

%JSFDU"QQPJONFOU
EBZT

$MBSJmDBUJPO
BOE
3FWJTJPO

)000ROCUREMENT0ROCEDURE
COMPLIESTO-%-22EGULATION
.O

1BTT
"QQPJOUJOH2VBMJmFE%FWFMPQFSBOE
0CUBJOJOH%JSFDUPS T
"QQSPWBM
EBZT
11"'JOBMJ[BUJPO

11"4JHOJOH

1SF1SPDVSFNFOU1SPDFTT
1SPDVSFNFOU1SPDFTT

Gambar 8
Mekanisme Pengadaan Ketenagalistrikan dengan Penunjukkan Langsung

44

-JTUFEJO3615-

%JSFDU4FMFDUJPO
EBZT

%VF%JMJHFODF*OWJUBUJPOUP
41$4QPOTPSXIPIBWF*11
DPOOFDUFEUPUIFTBNFTZTUFN
BOE.JOF.PVUI$%411XJUI
DBOEJEBUFQBSUJDJQBOU

)000ROCUREMENT0ROCEDURE
COMPLIESTO-%-22EGULATION
.O

%VF%JMJHFODF%PDVNFOU
4VCNJTTJPO

%VF%JMJHFODF
%PDVNFOU
&WBMVBUJPO

3FKFDUFE
'BJM

1BTT
-JTUJOH2VBMJmFE%FWFMPQFSBOE
0CUBJOJOH%JSFDUPS T
"QQSPWBM
EBZT
11"'JOBMJ[BUJPO

11"4JHOJOH

Gambar 9
Mekanisme Pengadaan Ketenagalistrikan dengan Pemilihan Langsung

12%PD
DPMMFDUJPO

12QSPQPTBM
TVCNJTTJPO
12
BQQMJDBOUT

@

"OOPVODFNFOU
"EWFSUJTFNFOU

4UBSU

)000ROCUREMENT0ROCEDURE
BASEDON-%-22EGULATION
.O*O

:FT

:FT

0QFO
5FOEFS

12FWBMVBUJPO
010ROCESSES
1BTTJOH
BQQMJDBOUT

@

/P

1BTTJOH
BQQMJDBOUT

@

3F12

:FT
#JEEJOH1SPDFTTFT
3'1JTTVBODF

"IDDING
0ROCESSES

#JEEFST

@

:FT

/P

#JEEFST

@

3F#JE

:FT

/P

1BTJOH
"ENUFDI
SFRVJSFNFOUT

:FT
8JOOJOHCJEEFS
EFUFSNJOBUJPO

/P

:FT

#JE&WBMVBUJPO

'BJM

/P

-PM11"
4JHOJOH

%JSFDU
BQQPJONFOU

Gambar 10
Mekanisme Pengadaan Ketenagalistrikan dengan Lelang Terbuka

PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

45

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

Ketentuan Harga Patokan


Berdasarkan Lampiran Permen ESDM Nomor 3
Tahun 2015 tentang tentang Prosedur Pembelian
Tenaga Listrik dan Harga Patokan Pembelian
Tenaga Listrik dari PLTU Mulut Tambang,

1SF
2VBMJmDBUJPO

PLTU Batubara, PLTG/PLTMG, dan PLTA oleh


Perusahaan Listrik Negara (Persero) Melalui
Pemilihan Langsung dan Penunjukkan Langsung,
telah ditetapkan Harga Patokan Tertinggi
Pembelian Tenaga Listrik.

e $SJUFSJB
e 'JOBODJBM4USFOHUI"TTFUT /FUQSPmU
e 5FDIOJDBM4USFOHUIFYQFSJFODFJO*11EFWFMPQNFOU &1$BOE0.
e $POUBJOT
e *OGPSNBUJPO'PS#JEEFST
e 1SPKFDUEFTDSJQUJPO

3FRVFTUGPS
1SPQPTBM

e .PEFM1PXFS1VSDIBTF"HSFFNFOU
e *OTUSVDUJPOTUP#JEEFST
e 1SPQPTBMSFRVJSFNFOUT
e &WBMVBUJPO1SPDFEVSF
e $POUBJOT
e "HSFFENBKPSUFSNTDPOEJUJPOT

-FUUFSPG
*OUFOU

e "HSFFEFMFDUSJDJUZUBSJGBOECBTJDGPSNVMB
e 3FRVJSFNFOUT1FSGPSNBODF4FDVSJUZ4UBHF* 1-/TDPSQPSBUFBQQSPBM

.&.3UBSJGGBQQSPWBM 41$
e 5FSNPGUIF"HSFFNFOU$PBM ZFBST
)ZESP ZFBST
(FPUIFSNBM

ZFBST
(BT ZFBST

e 1SPKFDUTDIFNF#00PS#05

11"
4JHOJOH

e 5BSJGGBOEQBZNFOU
e 'PSDFNBKFVSFOBUVSBMQPMJUJDBM
e (PWFSONFOU(VBSBOUFF JGBQQMJDBCMF

e 5FSNJOBUJPO
e 0UIFSSJHIUTBOEPCMJHBUJPOTPGUIFQBSUJFT
e 4QPOTPST"HSFFNFOU
e 3FRVJSFNFOUT BNPOHPUIFSUIJOHT

e $PQJFTPG&1$$POUSBDUQPMJDJFTPGJOTVSBODFSFRVJSFECZUIF11"GVFM

'JOBODJBM
$MPTVSF
'JOBODJOH
%BUF

TVQQMZQMBO'JOBODJOH"HSFFNFOUT'PSFJHO*OWFTUNFOUBQQSPWBM

e 5IF-FHBM0QJOJPOJTTVFEGPS1-/
e 5IF-FHBM0QJOJPOJTTVFEGPS4&--&3
e "DPQZPGEPDVNFOU T
QSPWJEJOHMFHBMSJHIUUPVTFBOEDPOUSPMPWFSUIF4JUF
e 1FSGPSNBODF4FDVSJUZ4UBHF**
e 3FRVJSFNFOUT

$PNNFSDJBM
0QFSBUJPO
%BUF $0%

e /FU%FQFOEBCMF$BQBDJUZUFTUQSPDFEVSFTDPNQMFUFE

e 5SBOTGFSQSPDFEVSFUP1-/ JGBQQMJDBCMF

&OEPG
$POUSBDU

Gambar 11
Tahapan Bisnis Ketenagalistrikan Pola IPP

46

2.3.3
Kerjasama Pemerintah dan Swasta
(KPS)
1. Kerangka Regulasi
Di tengah keterbatasan anggaran pemerintah
untuk mengalokasikan belanja modal untuk
mempercepat pembangunan infrastruktur,
pemerintah memilih suatu konsep yang
mengundang para investor untuk bekerjasama
dan berkontribusi secara aktif dalam penyediaan
pembangunan infrastruktur. Konsep itu dikenal
dengan skema Public Private Partnership (PPP)
atau Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS). Konsep
ini secara intensif mulai diperkenalkan sejak
tahun 2005.
Regulasi yang terkait dengan proyek KPS
khususnya dalam penyediaan infrastruktur telah
berkembang sejak masa pemerintahan Orde
Baru. Dalam masa tersebut Pemerintah telah
menerbitkan beberapa regulasi sektoral yang
didalamnya terdapat pengaturan berkaitan
dengan KPS, contohnya UU dan PP tentang
Ketenagalistrikan serta UU dan PP tentang Jalan
Tol. Pada masa Orde Baru hanya beberapa jenis
infrastruktur saja yang dikerjasamakan dengan
Badan Usaha Swasta, misalkan jalan tol dan
ketenagalistrikan.
Saat ini kebijakan dan dukungan yang strategis
yang sudah dilakukan oleh Pemerintah dalam
rangka mendukung pelaksanaan pembangunan
infrastruktur dengan skema KPS diantaranya
adalah dengan menerbitkan Peraturan Presiden
Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama
Pemerintahdan Badan Usaha dalam Penyediaan
Infrastruktur dan telah direvisi dengan Perpres
Nomor 13 Tahun 2010 (perubahan pertama),
Perpres Nomor 56 Tahun 2011 (perubahan
kedua), dan Perpres Nomor 66 Tahun 2013
(perubahan ketiga). Adapun kerangka regulasi
mengenai KPS disajikan pada tabel 25
2. Konsep
Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS)
merupakan kerjasama pemerintah dengan swasta
dalam penyediaan infrastruktur yang meliputi:

desain dan konstruksi, peningkatan kapasitas/


rehabilitasi, operasional dan pemeliharaan dalam
rangka memberikan pelayanan Pengembangan
KPS di Indonesia utamanya didasari oleh
keterbatasan sumber pendanaan yang bisa
dialokasikan oleh pemerintah.
Prinsip Dasar KPS adalah :
Adanya pembagian risiko antara
pemerintah dan swasta dengan memberi
pengelolaan jenis risiko kepada pihak
yang dapat mengelolanya;
Pembagian risiko ini ditetapkan dengan
kontrak di antara pihak dimana pihak
swasta diikat untuk menyediakan layanan
dan pengelolaannya atau kombinasi
keduanya;
Pengembalian investasi dibayar melalui
pendapatan proyek (revenue) yang
dibayar oleh pengguna (user charge);
Kewajiban penyediaan layanan kepada
masyarakat tetap pada pemerintah, untuk
itu bila swasta tidak dapat memenuhi
pelayanan (sesuai kontrak), pemerintah
dapat mengambil alih.
Tujuan pelaksanaan KPS adalah :
Mencukupi kebutuhan pendanaan secara
berkelanjutan melalui pengerahan dana
swasta;
Meningkatkan kuantitas, kualitas dan
efisiensi pelayanan melalui persaingan
sehat;
Meningkatkan kualitas pengelolaan
dan pemeliharaan dalam penyediaan
infrastruktur;
Mendorong dipakainya prinsip pengguna
membayar pelayanan yang diterima atau
dalam hal tertentu mempertimbangkan
kemampuan membayar pengguna.
Manfaat Skema KPS meliputi:

PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

47

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

1&3"563"/
1FSQSFT

,&5&/56"/
1FSBUVSBO1SFTJEFO/PNPS5BIVOUFOUBOH,FSKBTBNB1FNFSJOUBI
EFOHBO#BEBO6TBIBEBMBN1FOZFEJBBO*OGSBTSVLUVSTFCBHBJNBOBUFMBIEJVCBI
EFOHBO1FSBUVSBO1SFTJEFO/PNPSUBIVOEBO1FSBUVSBO1SFTJEFO
/PNPSUBIVO

1FSQSFT

1FSBUVSBO1SFTJEFO/PNPS5BIVOUFOUBOH,PNJUF,FCJKBLBO
1FSDFQBUBO1FOZFEJBBO*OGSBTUSVLUVS ,,11*
TFCBHBJNBOBUFMBIEJVCBIEFOHBO
1FSBUVSBO1SFTJEFO/PNPSUBIVO

1FSQSFT

1FSBUVSBO1SFTJEFO/PNPS5BIVOUFOUBOH1FOKBNJOBO*OGSBTUSVLUVS
EBMBN1SPZFL,FSKB4BNB1FNFSJOUBIEFOHBO#BEBO6TBIBZBOHEJMBLVLBO
NFMBMVJ1FOKBNJOBO*OGSBTUSVLUVS

1.,

1FUVOKVL1FMBLTBOBBO1SPZFL,14ZBOHNFSVQBLBOBDVBOEBTBSEBSJ
QFMBLTBOBBOQSPZFL,14EJUBOBIBJS

1FSNFO11/

5BUB$BSB1FOZVTVOBO%BGUBS3FODBOB1SPZFL,FSKBTBNBEFOHBO#BEBO6TBIB



EBMBN1FOZFEJBBO*OGSBTUSVLUVS

1FSNFO11/

1BOEVBO6NVN1FMBLTBOBBO,FSKBTBNB1FNFSJOUBIEFOHBO#BEBO6TBIB



EBMBN1FOZFEJBBO*OGSBTUSVLUVS

1FSNFOLP

0SHBOJTBTJEBO5BUB,FSKB,PNJUF,FCJKBLBO1FSDFQBUBO1FOZFEJBBO



*OGSBTUSVLUVS

1FSNFOLP

1FSBUVSBO.FOUFSJ,PPSEJOBUPS#JEBOH1FSFLPOPNJBO 



/PNPS.&LPOUFOUBOH5BUB$BSB&WBMVBTJ1SPZFL,FSKBTBNB

1FNFSJOUBIEBO#BEBO6TBIBEBMBN1FOZFEJBBO*OGSBTUSVLUVSZBOH
NFNCVUVILBO%VLVOHBO1FNFSJOUBI
1FSQSFTKP 5FOUBOH1FOHBEBBO5BOBI#BHJ1FMBLTBOBBO1FNCBOHVOBO6OUVL
1FSQSFT

,FQFOUJOHBO6NVN

1FSNFOLP

1FSBUVSBO.FOUFSJ,PPSEJOBUPS#JEBOH1FSFLPOPNJBO 



/PNPS.&LPOUFOUBOH1SPTFEVSEBO,SJUFSJB1FOZVTVOBO%BGUBS

1SJPSJUBT1SPZFL*OGSBTUSVLUVS,FSKBTBNB1FNFSJOUBIEBO#BEBO6TBIB

Tabel 25
Kerangka Regulasi Investasi Pola KPS
Tersedianya alternatif berbagai sumber
pembiayaan;

Kinerja layanan masyarakat semakin baik;


Akuntabilitas dapat lebih ditingkatkan;

Pelaksanaan penyediaan infrastruktur


lebih cepat;
Berkurangnya beban (APBN/APBD) dan
risiko pemerintah;
Infrastruktur yang dapat disediakan
semakin banyak;

48

Swasta menyumbangkan modal,


teknologi, dan kemampuan manajerial.
3. Kerangka Pengaturan
Kerjasama Pemerintah Swata (KPS) - merupakan

mekanisme pembiayaan alternatif dalam


pengadaan pelayanan publik yang telah
digunakan secara luas di berbagai negara
khususnya negara maju. KPS sering dipandang
sebagai alternatif dari pembiayaan pengadaan
tradisional melalui desain, pengadaan
dan konstruksi (%NGINEERING 0ROCUREMENT 
Construction) kontrak, di mana sektor publik
melakukan kompetitif penawaran untuk
membuat kontrak terpisah untuk elemen desain
dan konstruksi dari sebuah proyek.

aset dan bertanggung jawab untuk pembiayaan


kebijakan tersebut. KPS atau memungkinkan
sektor publik untuk memanfaatkan kemampuan
manajemen dan keahlian pihak swasta dan juga
meningkatkan dana tambahan untuk mendukung
layanan tertentu. Tergantung pada derajat
keterlibatan swasta dan penggunaan keuangan
swasta, pengaturan pengalihan resiko dalam
proyek KPS dapat bervariasi di seluruh spektrum
risk-return sebagaimana pada gambar 12 dan
tabel 26.

Sektor publik mempertahankan kepemilikan

*ODSFBTJOH
5PUBMMZ1SJWBUF

QSJWBUFTFDUPS
SFTQPOTJCJMJUZ

5PUBMMZ1SJWBUF

mOBODJOH BOE

$PODFTTJPO

SJTLUBLJOH

#05BOEPS#00
+PJOU*OJUJBUJWFT

111
4ZTUFN

-FBTJOH
.BOBHFNFOU$POUSBDU

*ODSFBTJOH
DPOUSBDU
EVSBUJPO

5PUBMMZ1VCMJD
*NQSPWJOH$PVOUSZBOE4FDUPS$POUFYU

#00CVJMEPXOPQFSBUF #05CVJMEPQFSBUFUSBOTGFS 111QVCMJDQSJWBUFQBSUOFSTIJQ

Gambar 12
Bentuk dan modalitas KPS
Sumber : Dokumentasi Kerjasama Pemerintah dan Swasta ADB (2012)
No

Jenis

Uraian

DesignBuild

Sektor publik melakukan kontrak dengan swasta sebagai penyedia tunggal untuk melakukan
desain dan konstruksi. Dengan cara ini, Pemerintah mendapatkan keuntungan dari economies of
scale dan mengalihkan resiko yang terkait dengan desain kepada sektor swasta.

$ESIGN "UILD
Operate

Sektor publik melakukan kontrak dengan penyedia swasta untuk merancang, membangun dan
mengoperasikan aset modal. Sektor publik tetap bertanggung jawab untuk meningkatkan modal
yang dibutuhkan dan mempertahankan kepemilikan fasilitas.

$ESIGN "UILD
&INANCE /PERATE

Sektor publik melakukan kontrak dengan penyedia swasta untuk merancang, membangun,
membiayai dan mengoperasikan (DBFO) aset modal. Model ini biasanya melibatkan perjanjian
konsesi jangka panjang. Sektor publik memiliki pilihan untuk mempertahankan kepemilikan aset
atau sewa aset ke sektor swasta untuk periode waktu. Jenis pengaturan ini umumnya dikenal
sebagai inisiatif keuangan swasta (PFI)

$ESIGN "UILD
/WN
Operate

Sebuah penyedia swasta bertanggung jawab untuk semua aspek proyek. Kepemilikan fasilitas
baru ditransfer kepenyedia swasta,baik tanpa batas waktu atau untuk jangka waktu yang tetap.
Kesepakatan jenis ini juga termasuk dalam domain dari sebuah inisiatif keuangan swasta. Susunan
ini juga dikenal sebagaimembangun, mengoperasikan, memiliki, Transfer atau BOOT.

Tabel 26
Bentuk dan Modalitas KPS
PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

49

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

Contoh pengaturan KPS umum meliputi sebagai


berikut:

Konstruksi dan
Operasional Pengelolaan proyek.

Kontrak sektor publik untuk membeli jasa


dari perusahaan swasta atas dasar jangka
panjang, seringkali 15-30 tahun.
Sesuai dengan kontrak, perusahaan
membangun dan memelihara infrastruktur
untuk memberikan layanan yang
dibutuhkan.
Kontrak biasanya disampaikan melalui
special purpose vehicle (SPV) yang
menggunakan keuangan swasta
(campuran dari ekuitas dan utang limited
recourse) untuk membiayai pekerjaan
konstruksi awal.
SPV kemudian membebankan fee - sering
disebut sebagai unitary charge yang
mencakup pembayaran pokok dan bunga,
biaya layanan manajemen fasilitas yang
dibutuhkan, dan keuntungan ekonomi ke
penyedia swasta.
Pembayaran unitary charge akan berkaitan
erat terhadap kinerja kontraktor selama
masa kontrak, yaitu pembayaran menurun
jika kinerja berada di bawah standar
yang diperlukan. Dengan demikian,
sektor swasta menerima insentif untuk
memberikan layanan tepat waktu, sesuai
anggaran, serta memenuhi standar yang
dibutuhkan.
Alokasi risiko publik dan swasta harus
dipahami dan didokumentasikan
secara baik, contoh: penyedia
swasta menanggung biaya overruns,
keterlambatan dan risiko layanan standar.
4. Tahapan Kerjasama Pemerintah Swasta
Tahapan KPS mencakup empat tahap:
Identifikasi proyek yang dapat dibiayai
dengan pola KPS,
Penyiapan proyek

50

Tahapan disajikan pada gambar 13.


Pada tahap awal pengusahaan infrastruktur,
pengadaan tanah merupakan titik kritis
dan mengandung risiko yang paling besar.
Pengelolaan risiko yang telah dilakukan
oleh Pemerintah berupa pengelolaan dana
tanah melalui dana talangan Badan Layanan
Umum (BLU). Untuk memberikan kepastian
terkait besaran biaya pengadaan tanah
juga telah dilaksanakan pengelolaan dana
dukungan Pemerintah (Land Capping). Agar
pengusahaan KPS dapat diterima pasar dan
perbankan (bankable) diperlukan jaminan
atas risiko yang mungkin terjadi (contingent
liability). Proses penjaminan ini diproses
sebelum pelelangan oleh PT PII atas usulan
BPJT selaku Contracting Agency yang
mencakup risiko selama pengusahaan. Risiko
tersebut antara lain menyangkut jaminan
pendapatan minimum, keterlambatan
pengoperasian jaminan konektivitas, dan
sebagainya.
5. Skema Pembiayaan KPS
Proyek KPS digagas untuk mengundang
lebih banyak peran dan inisiatif swasta dalam
percepatan pembangunan infrastruktur
di Indonesia. Sementara dana yang
disediakan oleh APBN dipastikan tidak
mampu menutupi keseluruhan biaya yang
dibutuhkan. Dengan menggandeng pihak
swasta, kebutuhan dana ini diharapkandapat
tercukupi. Pihak swasta yang tertarik ambil
bagian dalam program KPS tidak perlu
khawatir atas risiko yang mungkin terjadi.
Melalui PT PII (Penjaminan Infrastruktur
Indonesia), Pemerintah akan menjamin
keberlangsungan proyek yang dijalankan
atas tiga risiko penting investasi di sektor
infrastruktur.
Pemerintah memberikan jaminan bahwa
proyek KPS prioritas yang dibangun oleh
pihak swasta akan dijamin cukup untuk

1FNFSJOUBI

%BOB1FOHBEBBO
-BIBO ",5,AND
#APPING

1FNCFCBTBOEBO
1FNCFSTJIBO
-BIBO

1BTBS.PEBM
%BOB+BNJOBO

EBO

151**

3FGPSNBTJ

15**' 0RIVATE
3ECTOR
154.*
40&

,FCJKBLBO

%BOB1FNVMJIBO

1FNCJBZBBO

,FCJKBLBO3FTJLP

1SPZFL
%BOB1FNCJBZBBO

1FSTJBQBO

-FMBOH

#BEBO6TBIB
,ENDERS

2ENANCING

,POTUSVLTJ

0QFSBTJ

Gambar 13
Tahapan Pembiayaan Infrastruktur Kerjasama Pemerintah Swasta
mengembalikan nilai investasinya yang
disebut juga sebagai resiko pengembalian
atas investasi. Pemerintah juga akan
memberikan jaminan terhadap risiko politik,
apabila selama masa konsesi Pemerintah
melakukan perubahan peraturan yang
mengakibatkan proyek dipandang tidak akan
mampu mengembalikan investasi sesuai
dengan yang diperjanjikan, Pemerintah
akan memberikan kompensasi kepada
penyelenggara proyek.
Sementara itu, risiko ketiga disebut
dengan risiko terminasi. Apabila ke
depan Pemerintahan berganti, sehingga
memungkinkan Pemerintah yang baru
mengubah kebijakan terkait program KPS,
maka jaminan Pemerintah terhadap program
yang sudah berjalan akan tetap diberikan.
Dengan cara seperti itu diharapkan swasta
bersedia membiayai proyek dalam nuansa
atau kerjasama yang disebut dengan
Kemitraan PemerintahSwasta.
Tiga risiko di atas akan memberikan
dampak berupa timbulnya term contingent
liabilities atau kewajiban bersyarat bagi
Pemerintah. Meskipun risiko yang dijamin
belum tentu terjadi, sebagai Penjamin

yang sudah menandatangani perjanjian,


Pemerintah harus tetap memasukkan
risiko kontingensi ke dalam APBN. Namun
demikian, penjaminan risiko yang langsung
terekspos ke APBN berpotensi mendorong
terjadinya instabilitas jika seandainya dalam
satu tahun tertentu ada sejumlah klaim atas
risiko yang harus dibayar sekaligus. Untuk itu
dibentuk dua lembaga penjaminan yaitu PT
Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII) dan
PT Sarana Multi Finance (SMF)
A. PT PII
PT PII dibentuk dengan modal dari
Pemerintah dan selanjutnya lembaga
tersebut yang akan melakukan penjaminan
terhadap tiga risiko KPS. Pemerintah
tentunya, melalui mekanisme APBN,
melakukan penambahan atau penanaman
modal. Kemudian PT PII melakukan
penjaminan atas nama Pemerintah. Dengan
demikian contingent liabilities di APBN
menjadi berkurang. Dengan kata lain, PT PII
dapat dikatakan sebagai wadah penjamin
yang memungkinkan klaim dari swasta
tidak mempengaruhi stabilitas APBN secara
langsung.

PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

51

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres)


Nomor 78 Tahun 2010 tentang Penjaminan
Infrastruktur dalam Proyek Kerja Sama
Pemerintah dengan Badan Usaha yang
Dilakukan melalui Badan Usaha Penjamin
Infrastruktur pasal 18 ayat 1b, dalam rangka
meningkatkan kredibilitas penjaminan
infrastruktur, PT PII dapat bekerja sama
dengan lembaga keuangan multilateral
atau pihak lain yang memiliki maksud dan
tujuan yang sejenis. PT PII tengah menjalin
kerja sama dengan World Bank (WB) dan
juga anak perusahaannya yang bernama
Multilateral Investment Guarantee Agency
(MIGA).
Selain dengan badan tersebut, PT PII
juga menggagas kerjasama dengan Asian
Development Bank (ADB). Berbeda dengan
WB, ADB hanya melakukan kerja sama
penjaminan secara langsung dan tidak
membentuk anak perusahaan. Untuk kerja
sama dengan World Bank yang dilakukan
adalah apabila ada penjaminan oleh PT PII,
maka World Bank memberikan stand by
loan. Sebagai BUMN yang terhitung baru
dibentuk, modal PT PII masih terbatas.
Secara garis besar, fasilitas stand by loan
yang diberikan oleh WB akan memungkinkan
PTPII menjamin proyek proyek bernilai lebih
besar dari modal yang dimilikinya.
Contohnya, modal PT PII saat ini hanya
Rp 3 triliun, akan tetapi PT PII menjamin
proyek senilai Rp 10 triliun, yang sisanya
itu dijamin oleh World Bank berdasarkan
stand by loan. Dengan mengadopsi pola
ini, dapat dikatakan bahwa Pemerintah
tidak berutang kepada WB secara langsung.
Jika tidak ada klaim atas risiko yang harus
dibayarkan, maka Pemerintah hanya harus
membayar fee kepada WB dan biaya
fee tersebut tidak terlalu besar. Dengan
keberadaan PT PII sebagai guarantee fund,
Pemerintah menerapkan kebijakan satu
pelaksana (single window policy) dalam
penyediaan penjaminan Pemerintah atas
proyek-proyek kemitraan. Ini berarti bahwa
semua permintaan penjaminan Pemerintah
harus terlebih dahulu melalui PT PII. Dan

52

semua pemeriksaan serta penilaian terkait


penjaminan akan dilakukan oleh PT PII.
Keterlibatan Kementerian Keuangan dalam
penyediaan penjaminan masih dimungkinkan
sepanjang kemitraan dan kerja sama
dengan penyedia jaminan laintidak mampu
menyediakan penjaminan penuh atas
keputusan penjaminan yang telah disepakati.
Proyek KPS pertama berupa pembangunan
pembangkit tenaga listrik di Jawa Tengah
Proyek IPP PLTU Jawa Tengah (Central Java
Power Plant/CJPP). Nilainya mencapai sekitar
Rp 30 triliun. Mengingat modal PT PII masih
senilai 3 triliun, maka penjaminan proyek
tersebut sekarang dilakukan secara bersamasama antara PT PII dengan Pemerintah.
Mekanisme penjaminan semacam ini juga
dimungkinkan berdasarkan Perpes Nomor
78 tahun 2010. Pasal 25 peraturan tersebut
mengatur bahwa Menteri Keuangan dapat
memberikan penjaminan bersama dengan
Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur dalam
hal modal lembaga bersangkutan belum
mencukupi.
Untuk proyek pembangkit listrik di Jawa
Tengah yang nilainya 30 triliun rupiah,
sebanyak 99% penjaminan dari dana APBN
dijamin oleh Pemerintah. Hanya 1% yang
dijamin oleh PT PII dikarenakan keterbatasan
modalnya. Meskipun begitu, sebagaimana
kebijakan single window policy yang
disebutkan di atas, PT PII berperan sebagai
penanggung jawab utama atas setiap
pemrosesan penjaminan proyek KPS yang
dilaksanakan Pemerintah.
Pada tanggal 6 Oktober 2011 telah dilakukan
penandatanganan dokumen pelaksanaan
dan penjaminan proyek KPS IPP PLTU
Jawa Tengah, yang meliputi (1) Perjanjian
Regres (Recourse Agreement); (2) Perjanjian
Penjaminan (Guarantee Agreement); dan (3)
Perjanjian Jual Beli Listrik (Power Purchase
Agreement).
Proyek CJPP diperkirakan mulai beroperasi
komersial (Commercial Operation Date/
COD) pada akhir 2016. Teknologi yang

digunakan dalam proyek tersebut adalah


ultrasupercritical, yang memiliki tingkat
efisiensi dan emisi karbon lebih baik dari
pembangkitbatu bara yang dimiliki PT PLN
(Persero) saat ini sehingga merupakan proyek
PLTU yang ramah lingkungan.
B. PT SARANA MULTI FINANCE (SMF)
Pembentukan PT SMI sebagai infrastructure
fund menjadi salah satu langkah Pemerintah
merangkul swasta. Selain memberikan
dukungan institusi, yaitu melalui perusahaan
pembiayaan dan perusahaan penjaminan
infrastruktur, Pemerintah juga membuat
kerangka kerja, kebijakan, serta regulasi
yang mendukung percepatan pembangunan
sarana infrastruktur.
PT SMI merupakan salah satu bentuk
dukungan institusi Pemerintah untuk
mengurangi adanya ketidaksesuaian
pembiayaan pembangunan infrastruktur.
Melalui PT SMI, mekanisme pembiayaan
LONGTERMNANCING yang dapat dikatakan
identik dengan pola pembiayaan
pembangunan infrastruktur diharapkan
dapat dicapai. Ini menjadi penting
mengingat perbankan pada umumnya
hanya menyediakan produk atau instrumen
investasi dengan tenor jangka pendek.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
75 tahun 2008 tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2007
tentang Penyertaan Modal Negara Republik
Indonesia untuk Pendirian Perusahaan
Perseroan (Persero) di Bidang Pembiayaan
Infrastruktur, PT SMI antara lain memiliki
visi untuk memberikan dan mendukung
percepatan pembangunan infrastruktur yang
menyediakan fungsi cathalical role. Meskipun
baru berdiri pada awal tahun 2009, PT SMI
tetap berkomitmen menjalankan misinya
dalam memitigasi mismatch pembiayaan
infrastruktur. PT SMI berfungsi membuat
suatu industri pembiayaan infrastruktur
yang bisa menyediakan LONGTERMNANCING
dengan dukungan dana loan dari World
Bank dan Asian Development Bank.

Menyadari adanya keterbatasan budget


untuk membiayai pembangunan infrastruktur
maka dianggap perlu untuk membuat
vehicle untuk menarik minat investor swasta
dalam pembiayaan infrastruktur. Dalam
menghimpun dana pembiayaan infrastruktur
yang lebih besar, PT SMI menggandeng
sejumlah institusi multilateral untuk
mendirikan anak perusahaan. Saat ini anak
perusahaan yangsudah beroperasi bernama
PT Indonesia Infrastruktur Finance (PT IIF)
agar pola pembiayaan LONGTERMNANCING
dapat terpenuhi. PT IIF saat ini memiliki
modal sebesar Rp1,6 triliun serta dukungan
loan Rp 2 triliun dari World Bank dan Asian
Development Bank (ADB) dengan tenor
25 tahun. Jangka waktu tersebut tidak bisa
ditutup oleh instrument investasi perbankan
yang tenornya rata-rata hanya selama
5 hingga 7 tahun. Diharapkan dengan
terbentuknya PT SMI bisa lebih fleksibel
dalam bekerjasama dengan investor
Selama tiga tahun berdirinya PT SMI,
animo investor lokal maupun asing untuk
membiayai proyek-proyek infrastruktur
sebenarnya sangat besar. Yang menjadi
handicap terbesar adalah kesiapan
dari proyeknya itu sendiri. Terlebih jika
dihadapkan dengan konsep Public
Private Partnership (PPP) atau Kemitraan
Pemerintah-Swasta (KPS). PPP merupakan
proyek Pemerintah sehingga membutuhkan
government support. Tidak hanya
Pemerintah Pusat, tetapi juga Pemerintah
Daerah.
Dengan adanya otonomi daerah, maka
kekuasaan Pemerintah Pusat semakin
tersebar. Ada pro dan kontra terkait
kebijakan otonomi di mana kebijakan pusat
tidak bisa serta merta dilaksanakan dengan
kebijakan pemerintah daerah. Contohnya
adalah industri air minum di mana tarifnya
diputuskan oleh Pemerintah Daerah.
Pemerintah Pusat tidak bisa mengintervensi.
C. %NGINEERING 0RODUCTIONAND#ONSTRUCTION
(EPC)

PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

53

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

Selain fasilitas jaminan Pemerintah


untuk proyek KPS, Pemerintah juga
memberikan jaminan untuk proyek
Percepatan Pembangunan Pembangkit
Listrik yang menggunakan Batubara (Fast
Track Program-I) dan Proyek Percepatan
Pembangunan Pembangkit Listrik yang
Menggunakan Energi Terbarukan, Batubara,
dan Gas (Fast Track Program-II).
Dasar hukum Proyek Percepatan
Pembangunan Pembangkit Listrik yang
Menggunakan Batubara (FastTrack
Program-I) adalah Peraturan Presiden
Nomor 71 Tahun 2006 tentang Penugasan
Kepada PT Perusahaan Listrik Negara
(Persero) untuk Melakukan Percepatan
Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik
yang Menggunakan Batubara.
Selanjutnya jaminan pemerintah atas
proyek ini diberikan berdasarkan Peraturan
Presiden Nomor 91 Tahun 2007 tentang
Perubahan Atas Peraturan Presiden
Nomor 86 Tahun 2006 tentang Pemberian
Jaminan Pemerintah untuk Percepatan
Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik
yang Menggunakan Batubara.
Dalam skema ini, PT PLN (Persero)
melaksanakan sendiri pembangunan
pembangkit listrik dengan pola %NGINEERING
Procurement and Construction (EPC).
Pembiayaan proyek ini berasal dari Lenders
sebesar 85% dan anggaran PT PLN (Persero)
sebesar 15%. Penjaminan Pemerintah
diberikan secara penuh terhadap kredit
yang diberikan Lenders, bersifat irrevocable
dan unconditional serta mencakup seluruh
kewajiban PT PLN (Persero) dalam Perjanjian
Kredit.
Sampai dengan Desember 2012, Pemerintah
telah mengeluarkan 35 (tiga puluh lima) Surat
Jaminan Pemerintah termasuk untuk tiga
paket proyek transmisi porsi rupiah dan satu
paket proyek transmisi porsi dolar Amerika
Serikat dengan total nilai kredit yang dijamin
sebesar Rp71,8 Triliun.

54

2.3.4
Swasta Murni
Sesuai dengan program Pemerintah tahun
2015-2019, PT PLN dalam RUPTL 2015-2024
telah mencantumkan program pembangunan
ketenagalistrikan sebesar 35.000 MW untuk
periode tahun 2015 2019, di mana peran listrik
swasta diharapkan dapat meningkat secara
signifikan. Peran swasta akan meningkat dari
kontribusi kapasitas sekitar 15% menjadi 32%
pada tahun 2019, dan 41% pada tahun 2024.
Pembiayaan ketenagaan Listrik oleh Swasta
didasarkan pada Keputusan Presiden Nomor
37 Tahun 1992 tentang Usaha Penyediaan
Tenaga Listrik oleh Swasta, yaitu semua usaha
penyediaan tenaga listrik yang diselenggarakan
oleh badan usaha Swasta dan Koperasi selaku
Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk
Kepentingan Umum.
Dalam ketentuan itu, Pemerintah mengundang
partisipasi swasta didalam proyek-proyek yang
ditentukan Pemerintah dan disamping itu atas
prakarsa sendiri swasta dapat mengusulkan
proyek-proyek tenaga listrik lain untuk
dipertimbangkan oleh Pemerintah.
Usaha penyediaan tenaga listrik oleh swasta
diutamakan pola pelaksanaan Membangun,
Memiliki dan Mengoperasikan. Selain itu
dipertimbangkan kemungkinan penggunaan
pola pelaksanaan lain yang menguntungkan pola
pelaksanaan lain yang menguntungkan bagi
Negara.
Menteri memberikan Izin Usaha Ketenagalistrikan
untuk Kepentingan Umum sebagai dasar
bagi Usaha Penyediaan Tenaga Listrik oleh
Swasta. Izin Usaha Ketenagalistrikan dapat
diberikan untuk salah satu atau gabungan usaha
pembangkitan tenaga listrik, usaha transmisi
dan/atau usaha distribusi untuk dijual kepada
Perusahaan Umum Listrik Negara atau kepada
pihak lain. Penjualan tenaga listrik, sewa jaringan
transmisi dan sewa jaringan distribusidari
Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk
Kepentingan Umum kepada Perusahaan Umum
Listrik Negara atau kepada pihak lain diatur

dalam suatu perjanjian berupa perjanjian jual


beli tenaga listrik atau perjanjian sewa jaringan
transmisi atau perjanjian sewa jaringan distribusi.
Harga jual tenaga listrik, harga sewa jaringan
transmisi dan harga sewa jaringan distribusi
dinyatakan dalam mata uang rupiah dan
dicantumkan dalam perjanjian penjualan yang
dapat disesuaikan berdasarkan perubahan
unsur biaya tertentu yang dicantumkan
dalam perjanjian penjualan. Harga itu wajib
mencerminkan biaya yang paling ekonomis atas
dasar kesepakatan bersama dan perlu mendapat
persetujuan Menteri.
Usaha penyediaan tenaga listrik oleh swasta
hanya dapat dilaksanakan dengan pembiayaan
tanpa jaminan Pemerintah terhadap modal yang
ditanamkan dan kewajiban membayar pinjaman.
Atas impor barang modal dalam rangka Usaha
Penyediaan Tenaga Listrik oleh Swasta diberikan
fasilitas berupa:
Pembebasan atas pembayaran bea masuk;
Tidak dipungut pajak sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang Pajak Penghasilan;
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan

Atas Barang Mewah (PPn dan PPn BM) yang


terhutang ditangguhkan.
Pembangunan pembangkit tenaga listrik oleh
swasta dilaksanakan sesuai kebijaksanaan
Pemerintah dalam bidang energi dan didasarkan
atas ketersediaan sumber energi primer yang
diperlukan serta pertimbangan keekonomian
usaha tersebut dan dengan memperhatikan
pertimbangan-pertimbangan pelestarian
lingkungan hidup.
Untuk usaha pembangkitan tenaga listrik oleh
swasta diutamakan penggunaan sumber energi
primer di luar minyak bumi, kecuali apabila di
lokasi proyek pembangkitan yang diusulkan
tidak tersedia atau atas dasar keekonomian
tidak mungkin digunakan sumber energi primer
di luar minyak bumi. Pemegang Izin Usaha
Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum
mengusahakan sendiri pemasokan energi primer
yang diperlukannya agar dapat menghasilkan
biaya pembangkitan tenaga listrik yang paling
ekonomis. Pemasokan energi primer di luar
minyak bumi diutamakan yang berasal dari
dalam negeri.

PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

55

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

METODOLOGI
3.1
PENDEKATAN
Dengan mencermati maksud, tujuan dan ruang
lingkup sebagaimana dijelaskan dalam subbab
sebelumnya, maka ada beberapa pendekatan
yang dapat digunakan untuk mengoptimalkan
hasil / keluaran yang diharapkan.

56

Beberapa pendekatan tersebut adalah:


Document review
Pendekatan valuatif normatif
Pendekatan partisipatoris / dialogis
1. Document Review

Document review merupakan aktivitas


untuk melakukan kajian terhadap berbagai
dokumen kebijakan pemerintah pusat
dan daerah, baik berupa data-data
atau informasi, maupun hasil kajian /
penelitian terkait pengembangan sektor
ketenagalistrikan.
2. Pendekatan Valuatif Normatif
Pendekatan ini merupakan pendekatan
untuk menganalisis kebijakan. Metode yang
digunakan adalah sinergisitas / sinkronisasi
kebijakan. Analisis ini membahas tentang
hubungan antar kebijakan baik yang bersifat
paralel maupun yang bersifat horizontal.
Setelah melihat dan mencermati dari
beberapa kebijakan yang ada maka hal yang
paling penting dilakukan adalah membuat
sinergi di antara beberapa kebijakan yang
terkadang saling tumpang tindih.
Dalam analisis sinergitas / sinkronisasi
kebijakan pengembangan investasi sektor
ketenagalistrikan, dilakukan dengan:
A. Sinkronisasi Vertikal
Dilakukan dengan melihat apakah suatu
peraturan perundang-undangan yang
berlaku dalam suatu bidang tertentu
tidak saling bertentangan antara satu
dengan yang lain, serta mengikuti jenis
dan hirarkinya secara jelas. Di samping
harus memperhatikan hirarkhi peraturan
perundang-undangan tersebut di atas,
dalam sinkronisasi vertikal, harus juga
diperhatikan kronologis tahun dan nomor
penetapan peraturan perundang-undangan
yang bersangkutan.

PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

57

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

B. Sinkronisasi Horisontal
Dilakukan dengan melihat pada berbagai
peraturan perundang-undangan yang
sederajat dan mengatur bidang yang sama
atau terkait. Sinkronisasi horisontal juga
harus dilakukan secara kronologis, yaitu
sesuai dengan urutan waktu ditetapkannya
peraturan perundangan-undangan yang
bersangkutan.
3. Pendekatan Partisipatoris / Dialogis
Pendekatan partisipasif merupakan model
pemberdayaan stakeholders terkait sesuai
dengan peranan fungsinya masing-masing
secara proporsional dan seimbang. Inti dari
pendekatan ini adalah pelibatan dalam
pengambilan keputusan atas berbagai
permasalahan yang sedang dihadapi
bersama. FAO (1989b) sendiri melihat
pendekatan ini dalam beberapa pengertian,
antara lain:
Partisipasi adalah pemekaan
(membuat peka) pihak masyarakat untuk
meningkatkan kemauan menerima dan
kemampuan untuk menanggapi proyekproyek pembangunan;
Partisipasi adalah proses yang aktif, yang
mengandung arti bahwa orang atau
kelompok yang terkait, mengambil inisiatif
dan menggunakan kebebasannya untuk
melakukan hal itu;
Partisipasi adalah pemantapan dialog
antara pelaku pembangunan yang
melakukan persiapan, pelaksanaan,
monitoring proyek, agar memperoleh
informasi tentang konteks lokal, dan
dampak-dampak sosial;
Partisipasi adalah keterlibatan sukarela
oleh masyarakat dalam perubahan yang
ditentukan sendiri;
Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat
dalam pembangunan diri, kehidupan, dan
lingkungan mereka.

58

Dalam konteks penyusunan panduan


investasi sektor ketenagalistrikan, pengertian
pendekatan partisipasif merupakan
upaya-upaya pemberdayaan stakeholders
(pemerintah daerah, perguruan tinggi,
pelaku usaha / calon investor, asosiasi
dan masyarakat umum maupun lembaga
keuangan). 3TAKEHOLDERS tersebut dilibatkan
dalam perancangan, perencanaan,
pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta
dalam pengambilan keputusan dalam rangka
sektor ketenagalistrikan.
Jamieson (1989) menyatakan bahwa model
partisipasif diarahkan pada dua perspektif,
yaitu: (1) pelibatan stakeholders dalam
pemilihan, perancangan, perencanaan dan
pelaksanaan, sehingga dapat dijamin bahwa
persepsi setempat, pola sikap dan pola
berpikir serta nilai-nilai dan pengetahuan
dapat dipertimbangkan secara penuh; dan
(2) membuat umpan balik (feedback) yang
pada hakikatnya merupakan bagian tak
terlepaskan dari kegiatan partisipatoris.
Model yang digunakan untuk melakukan
pendekatan partisipasif ini adalah melalui
dialog dan Focussed Discussion Group
(FGD).

3.2
METODOLOGI
3.2.1
Metode Pengumpulan dan
Pengolahan Data
Beberapa jenis data dan informasi terkait dengan
sektor ketenagalistrikan diperlukan sebagai
kajian dokumen (document review) dan sekaligus
sebagai informasi awal dalam melakukan kajian
dan analisis berikutnya. Beberapa jenis data
yang diperlukan untuk mendukung kegiatan ini,
disajikan di tabel 27
Data dan informasi, baik primer maupun
sekunder, tersebut di atas dapat dikumpulkan
dengan beberapa metode pengumpulan data,
dengan menggunakan instrumen-instrumen
berikut ini:

No.

Jenis Data dan Informasi

Klasifikasi Data

Metode Pengumpulan Data

1.

Data jenis-jenis perizinan : dasar hukum, prosedur dan


skema perizinan, persyaratan, dan lain sebagainya

Data primer dan data


sekunder

Studi instansional/ statistik,


FGD dan dialog.

2.

Data statistik sektor ketenagalistrikan (sebaran, kapasitas


terpasang, saluran distribusi, dan lain lain sebagainya).

Data primer dan data


sekunder

Studi instansional/ statistik,


FGD.

3.

Kondisi eksisting sektor ketenagalistrikan, yang mencakup


potensi yang dapat dikembangkan

Data primer dan data


sekunder

Studi instansional/ statistik.

4.

Peraturan perundangan yang berlaku, kebijakan dan


strategi pengembangan sektor ketenagalistrikan di
pusat dan daerah

Data sekunder

Studi instansional / BKPM,


BKPMD, Biro Hukum Daerah

5.

Data-data lainnya yang relevan

Data primer dan data


sekunder

Metode yang relevan sesuai


kebutuhan pengumpulan
data

Tabel 27
Jenis data dan informasi yang dibutuhkan
1. Wawancara Mendalam (In-depth Interview)

Menghitung instrumen yang terkumpul,


kaitannya dengan kecukupan jumlah
sampel;

Wawancara mendalam merupakan instrumen


yang secara langsung menghadapkan
pewawancara dengan responden melalui
serangkaian kegiatan tanya jawab yang
berkaitan dengan calon investor. Jenis
wawancara yang digunakan adalah
wawancara mendalam (in- depth interview)
dengan kombinasi wawancara berstruktur
dan tidak berstruktur.

Pemeriksaan isian instrumen;


Penomoran dan kode terhadap instrumen;
dan
Pembuat pedoman skoring.
2. Memilah data dan informasi

2. Diskusi Publik / Focussed Discussion Group


(FGD)

Diskusi publik ataupun FGD diperlukan untuk


menjaring masukan atau saran dari berbagai
stakeholders yang terlibat, yang dapat
dikategorikan sebagai data primer, yang
dipergunakan sebagai bahan pertimbangan
dalam menentukan sektor ketenagalistrikan.

Data dan informasi dipilah berdasarkan


jenis dan kebutuhan akan informasi. Data
dan informasi yang dibangun (dalam sistem
database) mempengaruhi hasil diagnosis
dan analisa. Pemilahan data dan informasi
dilakukan melalui penomoran, penamaan,
tingkat pengukuran, dan kode kategori.
3. Entry data

3.2.2
Metode Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan melalui beberapa


tahap berikut ini :

Entri data ke komputer dengan


menggunakan software SPSS, excel atau
yang lainnya, untuk kemudahan aplikasi dan
perhitungan.

1. Pengorganisasian dan editing data

4. Penyajian dan interpretasi data

Pengorganisasian untuk menelaah dan


memeriksa kembali isi dari instrumen. Cara
yang digunakan :

Penyajian data hasil olahan di atas


diinterpretasikan serta dianalisa untuk
mendapatkan kesimpulan. Penyajian data

PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

59

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

dapat meliputi tabel-tabel dan grafik yang


sudah memiliki keterwakilan dengan sampel
dan kebutuhan data.

nilai konsekuensi alternatif kebijakan di masa


mendatang.

3.2.3
Beberapa Analisis yang Digunakan

D. Deskripsi, menghasilkan informasi tentang


konsekuensi sekarang dan masa lalu dari
diterapkannya alternatif kebijakan.

1. Review / Analisis Kebijakan (dalam Rangka


Kajian Dialogis dan FGD)

E. Evaluasi, kegunaan alternatif kebijakan


dalam memecahkan masalah.

Review atau analisis kebijakan adalah


aktivitas intelektual dan praktis yang
ditujuan untuk menciptakan, menilai dan
mengkomunikasikan pengetahuan dalam
proses kebijakan (Dunn, 1990). Analisis
kebijakan diletakkan dalam sistem kebijakan,
yang oleh Dunn (dengan mengutip Thomas
R. Dye) digambar 14.

Proses analisis kebijakan (yang berorientasi


pada masalah kebijakan) pada gambar 15.

Menurut Dunn, metode analisis kebijakan


menggabungkan lima prosedur umum dalam
pemecahan masalah, yaitu :

Nilai, yang pencapaiannya merupakan


tolok ukur utama untuk menilai, apakah
suatu masalah telah teratasi.

Analisis kebijakan diambil dari berbagai


disiplin ilmu dengan tujuan memberikan
informasi yang bersifat deskriptif, evaluatif
dan preskriptif. Analisis kebijakan menjawab
tiga macam pertanyaan, yaitu :

A. Definisi, menghasilkan informasi mengenai


kondisi kondisi yang menimbulkan masalah
kebijakan.

Fakta, yang keberadaannya dapat


membatasi atau meningkatkan
pencapaian nilai-nilai.

B. Prediksi, menyediakan informasi mengenai


konsekuensi di masa datang dari penerapan
alternatif kebijakan, termasuk jika tidak
melakukan sesuatu.

Tindakan, yang penerapannya dapat


menghasilkan pencapaian nilai-nilai.

C. Preskripsi, menyediakan informasi mengenai

Pendekatan valuatif-normatif dalam analisis


kebijakan berorientasi pada penilaian atau
evaluasi program yang sedang atau telah

1FMBLV,FCJKBLBO

-JOHLVOHBO,FCJKBLBO
Gambar 14
Sistem kebijakan (Thomas R. Dye)

60

,FCJKBLBO1VCMJL

,JOFSKB
,FCJKBLBO
%VALUASI

)BTJM
,FCJKBLBO

0ERAMALAN

0ERUMUSAN
-ASALAH

0ERUMUSAN
-ASALAH

0EMANTAUAN

0ERUMUSAN
-ASALAH

0ERUMUSAN
-ASALAH

.BTB%FQBO
,FCJKBLBO

2EKOMENDASI

"LTJ
,FCJKBLBO

Gambar 15
Proses analisis kebijakan berdasarkan masalah kebijakan
berjalan. Terdapat dua substansi yang
didekati secara valuatif normatif, yaitu:
Berkaitan dengan evaluasi terhadap
perkembangan kebijakan, baik yang
sedang dalam masa persiapan maupun
yang sedang berjalan; dan
Berkaitan dengan analisa terhadap
kebijakan-kebijakan yang selama ini telah
dikeluarkan oleh pemerintah.
Melalui pendekatan ini, dapat dikembangkan
suatu sistem evaluasi secara komprehensif
berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan.
Pendekatan ini juga berorientasi pada
penilaian terhadap kelebihan dan kelemahan
program yang telah dijalankan untuk
mendapatkan input berkaitan dengan
upaya perbaikan yang diterapkan, sehingga
menjadi dasar pertimbangan dalam
menentukan kebijakan di masa yang akan
datang.
2. Analisis Pendukung
A. NALISIS3UPPLYdan Demand
Analisis supply demand atau analisis

permintaan dan penawaran digunakan untuk


melihat tingkat ketersediaan pasokan sektor
ketenagalistrikan dan tingkat permintaannya.
Berbagai faktor yang mempengaruhi
permintaan dan penawaran terhadap sektor
ini dianalisis dan diperhitungkan untuk
melihat titik kesetimbangannya.
B. Analisis Perwilayahan
Secara deskriptif, analisis perwilayahan
digunakan untuk melihat sebaran / lokasi dari
objek-objek pada sektor ketenagalistrikan,
sehingga dapat tergambarkan secara lebih
detail.
C. Analisis Deskriptif Kualitatif
Merupakan analisis deskriptif untuk
menterjemahkan tabel dan data agar lebih
mudah dipahami.

3.2.4
Policy Dialogue dan Focus Discussion
Group (FGD)
Policy dialogue merupakan kegiatan untuk
pengkayaan informasi yang diperoleh dari
wilayah survei di dalam maupun luar negeri
PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

61

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

bekerjasama dengan pihak BKPM dengan tujuan


mengumpulkan data primer dan sekunder
dari berbagai instansi terkait maupun dari
industri yang telah ada mengenai kebijakan
investasi di sektor ketenagalistrikan. Kegiatan ini
dilaksanakan di Yogyakarta dengan mengundang
para pihak yang terkait, baik dari pihak BKPM,
BKPMD, Kementerian / Dinas ESDM, Calon
Investor, Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi,
dan lain sebagainya
Focus Group Discussion (FGD), merupakan
koordinasi dan pertemuan dengan stakeholder
terkait dengan tujuan untuk memperoleh
masukan dan klarifikasi informasi dari berbagai
stakeholder terkait baik di pusat maupun
di daerah untuk berbagi pengalaman dan
memperoleh gambaran mengenai investasi di
sektor ketenagalistrikan.

Profil proyek yang siap ditawarkan


2. Skema Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
di Indonesia
A. Independent Power Producers
B. Kerjasama Pemerintah dan Swasta
C. %NGINEERING 0RODUCTIONAND#ONSTRUCTION
(EPC)
D. Swasta Murni
3. Kerangka Regulasi
A. Daftar Negatif Investasi
B. Regulasi Sektor Ketenagalistrikan

3.3
PENYUSUNAN BUKU
PANDUAN INVESTASI SEKTOR
KETENAGALISTRIKAN

C. Regulasi Bidang Tarif

Hasil kajian literatur, penelusuran data primer,


data sekunder, review kebijakan, serta serta
analisis-analisis pendukung dituangkan dalam
buku panduan investasi sektor ketenagalistrikan
di Indonesia. Sebagai outline atau usulan naskah
panduan investasi, disajikan berikut ini :

F. Insentif Non Fiskal

1. Overview Sektor Ketenagalistrikan di


Indonesia

D. Regulasi Bidang Pertanahan


E. Jaminan Investasi

4. Perpajakan
A. Sistem Perpajakan di Indonesia
B. Insentif Fiskal untuk Sektor Ketenagalistrikan
di Indonesia
5. Akunting untuk Sektor Ketenagalistrikan

A. Kondisi terkini sektor ketenagalistrikan di


Indonesia

A. Sistem akuntansi di Indonesia

B. Kebutuhan listrik Indonesia (supply dan


demand)

B. Akuntasi untuk Sektor Ketenagalistrikan di


Indonesia

C. Kebutuhan investasi sektor ketenagalistrikan


D. Peluang Investasi Pembangkit Listrik
Kondisi Eksisting
Daftar proyek

62

PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

63

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

IDENTIFIKASI PERIZINAN INVESTASI


SEKTOR KETENAGALISTRIKAN
4.1
PROGRAM PEMBANGKIT LISTRIK 35.000 MW
Saat ini, pemerintah sedang menggalakkan
program pembangkitan listrik 35.000 MW, yang
direncanakan terealisasi pada tahun 2015-2019.
Sebagaimana dalam RUPTL PLN, bahwa skema
pembangkitan tersebut dilaksanakan oleh PLN
(10.681 MW) dan Pengembang Listrik Swasta
/ Independent Power Producer (IPP) sebesar
25.904 MW. Dalam rilisnya, PLN membagi
program 35.000 MW tersebut, kedalam
beberapa skema pengadaan. Disajikan di tabel
28, tabel 29 dan tabel 30.

64

4.2
MEKANISME PENGADAAN
LISTRIK 35.000 MW
Pengadaan tenaga listrik 35.000 MW
sebagaimana dijelaskan di atas, dilakukan
melalui beberapa metode, baik pelelangan
umum, penunjukan langsung, maupun pemilihan
langsung. Terkait dengan pelelangan umum,
mengikuti prosedur pelelangan yang telah
dilaksanakan selama ini, sebagaimana tertuang
dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 01
Tahun 2006 jo Nomor 04 Tahun 2007 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri ESDM Nomor
01 Tahun 2006 tentang Prosedur Pembelian
Tenaga Listrik dan/atau Sewa Menyewa
Jaringan dalam Usaha Penyediaan Listrik untuk
Kepentingan Umum.
Secara skematik, keseluruhan proses pengadaan
listrik 35.000 MW yang dicanangkan oleh
Presiden RI Joko Widodo, dapat dilihat pada
Bagan 4.1. Beberapa catatan untuk kriteria
pemilihan langsung adalah:
1. Diversifikasi energi untuk pembangkit listrik
ke non bahan bakar minyak; dan/atau
2. Penambahan kapasitas pembangkit tenaga
listrik yang telah beroperasi di lokasi
yang berbeda pada sistem setempat,
antara badan usaha pemegang izin usaha
penyediaan tenaga listrik atau badan usaha
baru yang dibentuk oleh pengembang
setempat
Sedangkan kriteria untuk penunjukan langsung
adalah:
1. Pembelian tenaga listrik dilakukan dari PLTU
Mulut Tambang, PLTG Marginal dan PLTA
2. Pembelian kelebihan tenaga listrik dari
PLTU Mulut Tambang, PLTU Batubara, PLTG/
PLTMG, dan PLTA
3. Pembelian tenaga listrik dari PLTU Mulut
Tambang, PLTU Batubara, PLTG/PLTMGl,
dan PLTA jika sistem tenaga listrik setempat
PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

65

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

No.

Jenis Pembangkit

Lokasi

Kapasitas (MW)

1.

PLTP

Hululais / Bengkulu

2.

PLTU

Indramayu 4 / Jawa Barat

3.

PLTGU

Muara Karang Peaker / Jakarta

500

4.

PLTGU

Jawa 2 (Tanjung Priok) / Jakarta

800

5.

PLTGU

Grati Add On Blok 2 / Jawa Timur

150

6.

PLTGU

Muara Tawar Add On Unit 2,3,4

650

7.

PLTU

Kalselteng 2 / Kalimantan Tengah

8.

PLTG/PLTMG

Lampung Peaker / Lampung

200

9.

PLTP

Tulehu / Maluku

20

10.

PLTU

Lombok (FTP 2) / Nusa Tenggara Barat

11.

PLTU

Lombok 2 / Nusa Tenggara Barat

12.

PLTU

Timor 1 / Nusa Tenggara Timur

13.

PLTP

Mataloko / Nusa Tenggara Timur

20

14.

PLTP

Ulumbu 5 / Nusa Tenggara Timur

15.

PLTG/PLTMG

Riau Peaker / Riau

16.

PLTU

Sulsel Barru 2 / Sulawesi Selatan

17.

PLTGU

Makassar Peaker / Sulawesi Selatan

450

18.

PLTGU

Sulsel Peaker / Sulawesi Selatan

450

19.

PLTU

Sulsel 2 / Sulawesi Selatan

200

20.

PLTU

Palu 3 / Sulawesi Tengah

2x50

21.

PLTU

Bau Bau / Sulawesi Tenggara

2x25

22.

PLTU

Sulut 1/ Sulawesi Utara

2x25

23.

PLTG/PLTMG Mobile Power Plant

Tersebar

1.565

24.

PLTMG

Tersebar

665

25.

PLTGU/MGU

Tersebar

450

26.

PLTG/MG

Tersebar

250

27.

PLTM

Tersebar

50

Tabel 28
Proyek pembangkit listrik investasi PLN yang pengadaannya akan dibuka (pelelangan)

66

55

1.000

2x100

2x50

50

2x25

200

1x100

No.

Jenis Pembangkit

Lokasi

Kapasitas (MW)

1.

PLTU

Muko Muko / Bengkulu

2x7

2.

PLTU

Jambi / Jambi

3.

PLTMG

Luwuk / Sulawesi Tengah

40

4.

PLTGU

Riau / Riau

250

5.

PLTGU

Jawa-1 / Jawa Barat

6.

PLTU

Sinabang / Aceh

2x7

7.

PLTG/MG

Pontianak Peaker/ Kalimantan Barat

100

8.

PLTGU/MGU

Sumut / Belawan / Sumatera Utara

250

9.

PLTGU/MGU

Sulbagut 3 / Sulawesi Utara

200

10.

PLTGU/MGU

Sulsel / Sulawesi Selatan

150

11.

PLTGU/MGU

Kalselteng / Kalimantan Selatan / Tengah

200

12.

PLTGU/MGU

Peaker Jawa-Bali 1 / Jawa Barat

400

13.

PLTGU/MGU

Peaker Jawa-Bali 2 / Jawa Timur

500

14.

PLTGU/MGU

Peaker Jawa-Bali 3 / Banten

500

15.

PLTGU/MGU

Peaker Jawa-Bali 4 / Jawa Barat

450

16.

PLTG/MG

Jambi Peaker / Jambi

100

17.

PLTGU

Jawa-3 / Jawa Timur

1x800

18.

PLTGU/MGU

Sumbagut-1 / Sumatera Utara

250

19.

PLTGU/MGU

Sumbagut-3 / Sumatera Utara

250

20.

PLTGU/MGU

Sumbagut-4 / Aceh

250

21.

PLTU

Sulut-3 / Sulawesi Utara

2x50

22.

PLTG/MG

TB. Karimun / Riau

40

23.

PLTG/MG

Natuna-2 / Riau

25

24.

PLTMG

Tanjung Pinang 2 / Riau

30

25.

PLTMG

Dabo Singkep-1 / Riau

16

26.

PLTMG

Bengkalis / Riau

18

27.

PLTMG

Selat Panjang-1 / Riau

15

28.

PLTMG

Tanjung Batu / Riau

15

29.

PLTG/MG

Belitung / Kep. Bangka Belitung

30

30.

PLTU

Jawa-10 / Jawa Tengah

1x660

31.

PLTU

Riau Kemitraan / Riau

2x600

32.

PLTU

Bangka-1 / Kep. Bangka Belitung

2x100

33.

PLTU

Kalselteng-3 / Kalimantan Tengah

2x100

34.

PLTU

Kalbar-2 / Kalimantan Barat

2x200

35.

PLTG/MG

Natuna-3 / Riau

25

36.

PLTMG

Dabo Singkep-2 / Riau

16

37.

PLTU

Kaltim-3 / Kalimantan Timur

2x600

2x800

2x200

Tabel 29
Proyek pembangkit listrik investasi swasta yang pengadaannya akan dibuka (pelelangan)
PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

67

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

No.

Jenis Pembangkit

Lokasi

Kapasitas (MW)

1.

PLTG/U

Senipah Exp. (ST) / Kalimantan Timur

1x35

2.

PLTU

Kaltim 4 (Exp-2 Embalut) / Kalimantan Timur

2x100

3.

PLTU

Jawa-4 (Exp. Tj. Jati B) / Jawa Tengah

4.

PLTU

Sulbagut-3 (Exp. Molotabu) / Gorontalo

5.

PLTA

Wai Tina / Maluku

12

6.

PLTA

Sidikalang-1 / Sumatera Utara

15

7.

PLTA

Tabulahan / Sulawesi Barat

20

8.

PLTA

Masupu / Sulawesi Barat

36

9.

PLTA

Salu Uro / Sulawesi Selatan

95

10.

PLTU

Sumsel-7 (Exp. Sumsel-5) / Sumatera Selatan

11.

PLTU

Jawa-8 (Exp. Cilacap)/ Jawa Tengah

12.

PLTA

Kalaena-1 / Sulawesi Selatan

54

13.

PLTA

Paleleng / Sulawesi Selatan

40

14.

PLTA

Poso 1 / Sulawesi Tengah

120

15.

PLTU

Jawa-9 (Exp. Banten) / Banten

16.

PLTA

Air Putih / Sumatera Barat

2x1.000
2x50

1x300
1x1.000

1x600
21

Tabel 30
Proyek pembangkit listrik investasi swasta yang pengadaannya akan dibuka (penunjukan langsung)
dalam kondisi krisis atau darurat penyediaan
tenaga listrik; dan/atau
4. Pembelian tenaga listrik dari PLTU Mulut
Tambang, PLTU Batubara, PLTG/PLTMG, dan
PLTA dalam rangka penambahan kapasitas
pembangkitan pada pusat pembangkit
tenaga listrik yang telah beroperasi di lokasi
yang sama.

68

Skema pengadaan untuk masing-masing


metode pengadaan pembangkit, baik pemilihan
langsung, penunjukan langsung, maupun
pelelangan umum, dapat dilihat pada gambar
16,17,18 dan 19.

3"(".1*-*)"/

.&50%&1&/("%""/

1304&41&/("%""/

1FOVOKVLBO-BOHTVOH

1FNBTVLBO1SPQPTBMPMFI$BMPO
1FOHFNCBOHBO*11

1-5"

1-5(
(BT.BSKJOBM

&YDFTT
1PXFS
%BGUBS
1FOHBEBBO
1FNCBOHLJU
.8
3615-


,POEJTJ4JTUFN
,SJUJT

6KJ5VOUBTPMFI
1SPDVSFNFOU"HFO

&LTQBOTJ
1FNBTVLBO1SPQPTBMPMFI1BSB
$BMPO1FOHFNCBOH*11
1-56.VMVU
5BNCBOH

&WBMVBTJ
)BSHB

5BOEB5BOHBO
,POUSBL

%JWFSTJmLBTJ
&OFSHJ

1FNJMJIBO-BOHTVOH

#6,"/3"(".

1FNBTVLBO1SPQPTBM-FMBOH
PMFI1BSB$BMPO1FOHFNCBOH
*11

1FMFMBOHBO6NVN

1*-*)"/

Gambar 16
Skema pengadaan pembangkit listrik 35.000 MW oleh Pengembang Swasta (IPP)

130$63&.&/5130$&%63&%*3&$5"110*/.&/5

-JTUFEJO3615-

4ZTUFN
1MBOOJOHBOE
1SPKFDU
'FBTJCJMJUZ
&WBMVBUJPO

1BTT

%VF%JMJHFODF*OWJUBUJPO

%VF%JMJHFODF%PDVNFOU
4VCNJTTJPO

%VF%JMJHFODF
%PDVNFOU
&WBMVBUJPO

5NSOLICITED0ROPOSALAND
&EASIBILITY3TUDY3UBMISSION

3FKFDUFEGPS3FWJTJPO

%JSFDU"QQPJONFOU
EBZT

3FRVJSFE%PDVNFOUT

)000ROCUREMENT0ROCEDURE
COMPLIESTO-%-22EGULATION
.O

$MBSJmDBUJPO
BOE
3FWJTJPO

y $POEJUJPO T
.JOF.PVUI$'411

1BTT
"QQPJOUJOH2VBMJmFE%FWFMPQFSBOE
0CUBJOJOH%JSFDUPS T
"QQSPWBM
EBZT

$PBM'JSFE4UFBN1PXFS1MBOU

.BSHJOBM(BT'JSFE1PXFS1MBOU 
)ZESPFMFDUSJD1PXFS1MBOU 
&NFSHFODZPS$SJTJTPG&MFDUSJDJUZ
1PXFS4VQQMZ FYQBOTJPOQSPKFDUPG
1PXFS1MBOUJOUIFTBNFMPDBUJPOPG
UIFTZTUFN
y 1SPKFDU5ZQF.JOF.PVUI$'411

11"'JOBMJ[BUJPO

$PBM'JSFE4UFBN1PXFS1MBOU
/PO
.JOF.PVUI4'411 &OHJOF5VSCJOF
$PNCJOF$ZDMF
(BT'JSFE1PXFS
1MBOU )ZESPFMFDUSJD1PXFS1MBOU
y 5BSJGG#BTFEPO.&.33FHVMBUJPO

11"4JHOJOH

1SF1SPDVSFNFOU1SPDFTT
1SPDVSFNFOU1SPDFTT

/P BOEPSOFHPUJBUJPO 
BOEPSBQQMJDBCMFSFHVMBUJPOJTTVFE
CZ.&.3

4PVSDF*11#PPL 151-/ 1FSTFSP




Gambar 17
Skema pengadaan pembangkit listrik 35.000 MW melalui Penunjukan Langsung
PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

69

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

130$63&.&/5130$&%63&%*3&$54&-&$5*0/
-JTUFEJO3615-

%VF%JMJHFODF*OWJUBUJPOUP
41$4QPOTPSXIPIBWF*11
DPOOFDUFEUPUIFTBNFTZTUFN
BOE.JOF.PVUI$%411XJUI
DBOEJEBUFQBSUJDJQBOU

%JSFDU4FMFDUJPO
EBZT

)000ROCUREMENT0ROCEDURE
COMPLIESTO-%-22EGULATION
.O

3FRVJSFE%PDVNFOUT

%VF%JMJHFODF%PDVNFOU
4VCNJTTJPO

y $POEJUJPO T
&OFSHZEJWFSTJmDBUJPO

%VF%JMJHFODF
%PDVNFOU
&WBMVBUJPO

UP/PO'VFM0JM FYQBOTJPOQSPKFDUPG
1PXFS1MBOUJOEJGGFSFOUMPDBUJPOPG
UIFTBNFTZTUFN NPSFUIBOPOF 

EJSFDUBQQPJONFOUQSPQPTBMT

3FKFDUFE
'BJM

y 1SPKFDU5ZQF.JOF.PVUI$'411

$PBM'JSFE4UFBN1PXFS1MBOU
/PO
.JOF.PVUI4'411 &OHJOF5VSCJOF
$PNCJOF$ZDMF
(BT'JSFE1PXFS
1MBOU )ZESPFMFDUSJD1PXFS1MBOU

1BTT
-JTUJOH2VBMJmFE%FWFMPQFSBOE
0CUBJOJOH%JSFDUPS T
"QQSPWBM
EBZT

y 5BSJGG#BTFEPO.&.33FHVMBUJPO

/P BOEPSMPXFTUQSJDF
QSPQPTBMTVCNJUUFECZUIF
QBSUJDJQBOUT

11"'JOBMJ[BUJPO

4PVSDF*11#PPL 151-/ 1FSTFSP




11"4JHOJOH

1SF1SPDVSFNFOU1SPDFTT
1SPDVSFNFOU1SPDFTT

Gambar 18
Skema pengadaan pembangkit listrik 35.000 MW melalui Pemilihan Langsung
130$63&.&/5130$&%63&01&/5&/%&3
12%PD
DPMMFDUJPO

12QSPQPTBM
TVCNJTTJPO

12130$&44

12
BQQMJDBOUT

@

4UBSU

:FT

12FWBMVBUJPO

:FT

1BTTJOH
BQQMJDBOUT

@

/P

3F12

#JEEFST

@

/P

3F#JE

/P

)000ROCUREMENT0ROCEDURE
BASEDON-%-22EGULATION
.O*O

#JEEFST

@

/P

FMJHJCMFGPSEJSFDUBQQPJONFOUPS
EJSFDUTFMFDUJPO PS1-/SFRVJSFT
EPJOHBOPQFOUFOEFS

y 1SPKFDU5ZQF"MMLJOEPGQPXFS

QMBOU

y 5BSJGG-PXFTUQSJDFQSPQPTBM

TVCNJUUFECZUIFCJEEFST

:FT

#JE&WBMVBUJPO

:FT
8JOOJOHCJEEFS
EFUFSNJOBUJPO

0QFO
5FOEFS

y $POEJUJPO T
*111SPKFDU T
UIBUOPO

:FT

1BTJOH
"ENUFDI
SFRVJSFNFOUT

1BTTJOH
BQQMJDBOUT

@
:FT

#JEEJOH1SPDFTTFT
3'1JTTVBODF

#*%%*/(130$&44

"OOPVODFNFOU
"EWFSUJTFNFOU

/P

'BJM

%JSFDU
BQQPJONFOU

-PM11"
4JHOJOH

Gambar 19
Skema pengadaan pembangkit listrik 35.000 MW melalui Pelelangan Umum

70

4.3
IDENTIFIKASI PERIZINAN
DALAM RANGKA PROGRAM
PENGADAAN LISTRIK 35.000
MW
Dalam tahapan pengadaan tenaga listrik,
selain diidentifikasi proses pengadaannya, juga
diidentifikasi berbagai perizinan / non perizinan
yang terkait, baik pra konstruksi, konstruksi,
maupun operasi (COD, commercial operation
date). Hasil telaah konsultan terhadap berbagai
skema perizinan / non perizinan, antara lain:

4.3.1
Izin Prinsip Penamaman Modal
Izin Prinsip Penanaman Modal diatur dalam Perka
BKPM Nomor 5 Tahun 2013 tentang Pedoman
dan Tata Cara Perizinan dan Non Perizinan
Penanaman Modal. Tujuan dari terbitnya Perka
BKPM ini adalah : (a) terwujudnya kesamaan
dan keseragaman prosedur pengajuan dan
persyaratan tata cara perizinan dan non perizinan
penanaman modal di instansi penyelenggara
PTSP di bidang penanaman modal di seluruh
Indonesia; (b) memberikan informasi kepastian
waktu penyelesaian permohonan perizinan
dan non perizinan penanaman modal; dan (c)
tercapainya pelayanan yang mudah, cepat,
tepat, akurat, transparan dan akuntabel.
Dalam Pasal 5, dijelaskan bahwa urusan
pemerintah di bidang penanaman modal
yang menjadi kewenangan pemerintah yang
diselenggarakan di PTSP BKPM, terdiri atas:
1. Penyelenggaraan penanaman modal yang
ruang lingkupnya lintas provinsi
2. Urusan pemerintahan di bidang penanaman
modal, yang meliputi:

yang merupakan prioritas tinggi pada


skala nasional;
C. Penanaman modal yang terkait pada
fungsi pemersatu dan penghubung antar
wilayah atau ruang lingkupnya lintas
provinsi;
D. Penanaman modal yang terkait pada
pelaksanaan strategi pertahanan dan
keamanan nasional;
E. Penanaman modal asing dan penanaman
modal yang menggunakan modal asing,
yang berasal dari pemerintah negara lain,
yang didasarkan perjanjian yang dibuat
oleh pemerintah dan pemerintah negara
lain; dan
F. Bidang penanaman modal lain yang
menjadi urusan pemerintah menurut
Undang-Undang.
Ruang lingkup layanan di PTSP di bidang
penanaman modal terdiri dari:
Layanan Perizinan Penanaman Modal;
Layanan Non Perizinan Penanaman
Modal.
Layanan perizinan penanaman modal, terdiri
atas :
1. Izin Prinsip Penanaman Modal;
2. Izin Usaha untuk Berbagai Sektor Usaha;
3. Izin Prinsip Perluasan Penanaman Modal;
4. Izin Usaha Perluasan untuk Berbagai Sektor
Usaha;
5. Izin Prinsip Perubahan Penanaman Modal;

A. Penanaman modal yang terkait dengan


sumberdaya alam yang tidak terbarukan
dengan tingkat risiko kerusakan
lingkungan yang tinggi;
B. Penanaman modal pada bidang industri

6. Izin Usaha Perubahan Untuk Berbagai Sektor


Usaha;
7. Izin Prinsip Penggabungan Perusahaan
Penanaman Modal;
PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

71

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

8. Izin Usaha Penggabungan Perusahaan


Penanaman Modal untuk Berbagai Sektor
Usaha;
9. Izin Pembukaan Kantor Cabang;

B. Rekaman anggaran dasar bagi badan usaha


koperasi, yayasan, dilengkapi pengesahan
anggaran dasar badan usaha koperasi
oleh instansi yang berwenang serta NPWP
perusahaan; atau

10. Izin Kantor Perwakilan Perusahaan Asing


(Kppa); dan

C. Rekaman KTP yang masih berlaku dan NPWP


untuk usaha perorangan.

11. Surat Izin Usaha Perwakilan Perusahaan


Perdagangan Asing (SIUP3A)

2. Keterangan rencana kegiatan:

Sedangkan layanan non perizinan penanaman


modal, terdiri atas :

A. Untuk industri, berupa diagram alir produksi


(OWCHARTOFPRODUCTION) dilengkapi dengan
penjelasan detail uraian proses produksi
dengan mencantumkan jenis bahan baku;

1. Fasilitas Bea Masuk atas Impor Mesin;


2. Fasilitas Bea Masuk atas Impor Barang dan
Bahan;
3. Usulan Fasilitas Pajak Penghasilan (PPh)
Badan untuk Penanaman Modal di BidangBidang Usaha Tertentu dan / atau di DaerahDaerah Tertentu;
4. Angka Pengenal Importir Produsen (API-P);

B. Untuk sektor jasa, berupa uraian kegiatan


yang akan dilakukan dan penjelasan produk
jasa yang dihasilkan.
3. Rekomendasi dari Kementerian / Lembaga
pembina, apabila dipersyaratkan sesuai
ketentuan bidang usaha;
4. Permohonan ditandatangani di atas meterai
cukup oleh direksi / pimpinan perusahaan
dan stempel perusahaan, sebagai pemohon;

5. Angka Pengenal Importir Umum (API-U);


6. Rekomendasi Penggunaan Tenaga Kerja
Asing (RPTKA);

5. Permohonan yang tidak disampaikan secara


langsung oleh pemohon ke PTSP bidang
penanaman modal, harus dilampiri surat
kuasa asli bermeterai cukup.

7. Rekomendasi Visa untuk Bekerja (TA.01); dan


8. Izin Memperkerjakan Tenaga Kerja Asing
(IMTA).
Permohonan Izin Prinsip Penanaman Modal
Dalam Negeri dilengkapi persyaratan sebagai
berikut :
1. Kelengkapan data pemohon:
A. Rekaman akta pendirian perusahaan
dan perubahannya untuk PT, CV dan Fa
dilengkapi dengan pengesahan anggaran
dasar perusahaan dan persetujuan/
pemberitahuan perubahan, apabila ada,
dari Menteri Hukum dan HAM serta NPWP
perusahaan;

72

Sedangkan untuk permohonan Izin Prinsip


Penanaman Modal Asing dilengkapi
persyaratan sebagai berikut:
1. Bagi pemohon yang belum berbadan hukum
Indonesia, dan pemohon adalah
A. Pemerintah negara lain, melampirkan
surat dari instansi pemerintah negara yang
bersangkutan atau surat yang dikeluarkan
oleh Kedutaan Besar / Kantor Perwakilan
negara yang bersangkutan di Indonesia;
B. Perorangan asing, melampirkan rekaman
lembar paspor yang masih berlaku yang
mencantumkan nama dan tandatangan
pemilik dengan jelas;

C. Badan usaha asing, melampirkan rekaman


anggaran dasar (article of association)
dalam Bahasa Inggris atau terjemahannya
dalam Bahasa Indonesia dari penerjemah
tersumpaj;
D. Untuk peserta Indonesia :
Perorangan Indonesia, melampirkan
rekaman KTP yang masih berlaku dan
rekaman NPWP; dan/atau

Perorangan Indonesia, melampirkan


rekaman KTP yang masih berlaku dan
rekaman NPWP;
Badan Hukum Indonesia, melampirkan
rekaman Akta Pendirian Perusahaan
dan perubahannya lengkap dengan
pengesahan dan persetujuan/
pemberitahuan dari Menteri Hukum dan
HAM serta rekaman NPWP perusahaan.
3. Keterangan rencana kegiatan:

Badan Hukum Indonesia, melampirkan


rekaman Akta Pendirian Perusahaan
dan perubahannya lengkap dengan
pengasahan dan perserujuan /
pemberitahuan dari Menteri Hukum dan
HAM serta rekaman NPWP perusahaan.
2. Bagi pemohon yang telah berbadan hukum
Indonesia dalam bentuk Perseroan Terbatas,
melampirkan:
A. Rekaman Akta Pendirian Perusahaan
dan perubahannya dilengkapi dengan
pengesahan Anggaran Dasar Perusahaan
dan persetujuan/pemberitahuan perubahan,
apabila ada, dari Menteri Hukum dan HAM,
serta NPWP perusahaan.
B. Bukti diri pemegang saham, dalam hal
pemegang saham adalah:
Pemerintah negara lain, melampirkan
surat dari instansi pemerintah negara yang
bersangkutan atau surat yang dikeluarkan
oleh Keduataan Besar / Kantor Perwakilan
negara yang bersangkutan di Indonesia;
Perorangan asing, melampirkan rekaman
paspor yang masih berlaku yang
mencantumkan nama dan tandatangan
pemilik paspor dengan jelas;

Badan usaha asing, melampirkan rekaman


Anggaran Dasar (Article of Association/
Incorporation) dalam Bahasa Inggris atau
terjemahannya dalam Bahasa Indonesia
dari penerjemah tersumpah;

Untuk industri, berupa diagram alir


produksi (OWCHARTOFPRODUCTION)
dilengkapi dengan penjelasan detail
uraian proses produksi dengan
mencantumkan jenis bahan baku;
Untuk sektor jasa, berupa uraian kegiatan
yang akan dilakukan dan penjelasan
produk jasa yang dihasilkan.
4. Rekomendasi dari Kementerian / Lembaga
pembina, apabila dipersyaratkan sesuai
ketentuan bidang usaha;
5. Permohonan ditandatangani di atas meterai
cukup oleh seluruh calon pemegang saham
atau kuasanya; atau direksi / pimpinan
perusahaan dan stempel perusahaan,
sebagai pemohon;
6. Permohonan yang tidak disampaikan secara
langsung oleh pemohon ke PTSP bidang
penanaman modal, harus dilampiri surat
kuasa asli bermeterai cukup.
Proses pengajuan izin prinsip penanaman
modal dilakukan secara online, melalui
aplikasi website: https://online-spipise.bkpm.
go.id/. Paling lambat, 3 (tiga) hari setelah
aplikasi dikirimkan secara lengkap, izin prinsip
penanaman modal dapat diperoleh.

4.3.2
Pendirian Badan Usaha di Indonesia
Beberapa jenis perizinan / non perizinan yang

PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

73

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

saling terkait dengan pendirian badan usaha /


badan hukum di Indonesia, antara lain adalah:
Pengajuan Nama Badan Usaha (Perseroan
Terbatas)
Pembuatan Akta Pendirian dan Anggaran
Dasar Badan Usaha
Surat Keterangan Domisili Perusahaan
(SKDP)
Pembuatan Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP), Surat Keterangan Terdaftar (SKT),
serta Pengusaha Kena Pajak (PKP, untuk
yang telah beroperasi)
Pengesahan Akte Pendirian dan Anggaran
Dasar Badan Usaha
Pembuatan Surat Izin Usaha Perdagangan
(SIUP) dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP)
1. Pengajuan Nama Badan Hukum (Perseroan)
Pengajuan Nama Badan Hukum merupakan
tahap paling pertama dalam prose pendirian
badan usaha di Indonesia. Proses ini juga
menjadi prasyarat sebelum mendapatkan
Izin Prinsip Penanaman Modal secara online.
Dasar hukum yang digunakan adalah:
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
Tentang Perseroan Terbatas
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 43 Tahun 2011 Tentang Tata
Cara Pengajuan dan Pemakaian Nama
Perseroan Terbatas
Peraturan Menteri Hukum dan HAM
Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Tata Cara
Pengajuan Permohonan Pengesahan
Badan Hukum dan Persetujuan Perubahan
Anggaran Dasar serta Penyampaian
Pemberitahuan Perubahan Anggaran
Dasar dan Perubahan Data Perseroan
Terbatas
Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun

74

2007, didefinisikan bahwa Perseroan


Terbatas adalah badan hukum yang
merupakan persekutuan modal, didirikan
berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan
usaha dengan modal dasar yang seluruhnya
terbagi dalam saham dan memenuhi
persyaratan yang ditetapkan.
Dalam rangka pengajuan nama perseroan,
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2011
mengatur beberapa persyaratan, yaitu:
Ditulis dengan huruf latin;
Belum dipakai secara sah oleh Perseroan
lain atau tidak sama pada pokoknya
dengan Nama Perseroan lain;
Tidak bertentangan dengan ketertiban
umum dan/atau kesusilaan;
Tidak sama atau tidak mirip dengan nama
lembaga negara, lembaga pemerintah,
atau lembaga internasional, kecuali
mendapat izin dari lembaga yang
bersangkutan;
Tidak terdiri atas angka atau rangkaian
angka, huruf atau rangkaian huruf yang
tidak membentuk kata;
Tidak mempunyai arti sebagai Perseroan,
badan hukum, atau persekutuan perdata;
Tidak hanya menggunakan maksud dan
tujuan serta kegiatan usaha sebagai Nama
Perseroan; dan
Sesuai dengan maksud dan tujuan serta
kegiatan usaha Perseroan, dalam hal
maksud dan tujuan serta kegiatan usaha
akan digunakan sebagai bagian dari
Nama Perseroan.
Pengajuan nama perseroan secara elektronik
(online) dilakukan melalui alamat website:
www.ahu.go.id. Dalam jangka watu paling
lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak
tanggal pengajuan diterima secara lengkap.

2. Pembuatan Akta Pendirian Badan Usaha


(Perseroan)
Setelah nama perseroan dinyatakan diterima
dan dapat digunakan, maka wajib segera
membuat Akta Pendirian perusahaan di
Kantor Notaris. Perseroan didirikan oleh 2
(dua) orang atau lebih dengan Akta Notaris
yang dibuat dalam Bahasa Indonesia. Setiap
pendiri perseroan wajib mengambil bagian
saham pada saat perseroan didirikan. Akte
Pendirian yang dimaksudkan, setidaktidaknya memuat anggaran dasar dan
keterangan lainnya, sekurang-kurangnya
adalah:
Nama lengkap, tempat dan tanggal
lahir, pekerjaan, tempat tinggal, dan
kewarganegaraan pendiri perseroan,
atau nama, tempat kedudukan dan
alamat lengkap serta nomor dan
tanggal Keputusan Menteri mengenai
pengesahan badan hukum dan pendiri
perseroan.

Surat Keterangan Domisili Perusahaan


(SKDP). Selain itu, dalam Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007 disebutkan bahwa
domisili perusahaan harus sesuai dengan
penataan ruang.
Dalam implementasinya, persyaratan dan
prosedur penerbitan Surat Keterangan
Domisili Perusahaan diatur oleh Perda, yang
biasanya diterbitkan oleh Lurah / Camat
setempat. Sebagai contoh adalah Keputusan
Camat Lubuk Baja Batam Nomor 9 Tahun
2014 tentang Penetapan Standar Pelayanan
Domisili Usaha. Dalam keputusan tersebut,
untuk mendapatkan Surat Keterangan
Domisili Usaha diperlukan beberapa
persyaratan, yaitu:
Surat Permohonan Kepada Camat
Rekomendasi Lurah Setempat
Rekaman KTP Penanggung Jawab
Rekaman Akte Pendiri Pusat / Cabang

Nama lengkap, tempat dan tanggal


lahir, pekerjaan, tempat tinggal,
kewarganegaraan anggota direksi dan
dewan komisaris yang pertama kali
diangkat.
Nama pemegang saham yang telah
mengambil bagian saham, rincian jumlah
saham, dan nilai nominal saham yang
telah ditempatkan dan disetor.
Lama proses pembuatan Akta Pendirian
sangat tergantung pada kesepakatan para
pendirian perseroan dengan notaris yang
ditunjuk. Lama prosesnya bisa 3 hari kerja,
hingga 14 hari kerja.
3. Surat Keterangan Domisili Perusahaan dan
Surat Izin Tempat Usaha (Izin Gangguan /
HO)
Amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 dijelaskan bahwa suatu perseroan harus
memiliki tempat kedudukan dan alamat
lengkap perseroan, sehingga diperlukan

Surat Keterangan Sewa Menyewa Tempat


Usaha
Denah Lokasi
Pas photo 3 x 4 sebanyak 2 lembar
Surat Keterangan Sempadan dari Lurah
Untuk usaha Perorangan melampirkan
surat pernyataan kepemilikan usaha
Diatas materai 6000
Perolehan Surat Keterangan Domisili
Perusahaan sebagaimana ditetapkan di
atas, paling lama 2 (dua) hari kerja setelah
permohonan dan persyaratannya diterima
secara lengkap dan benar.
Selain Surat Keterangan Domisili Perusahaan,
biasanya juga diberlakukan Izin Gangguan,
yang dinyatakan dalam Surat Izin Tempat
Usaha (SITU), yang juga diatur melalui
peraturan daerah. Sebagai contoh adalah
PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

75

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

Perda Kota Bandung Nomor 19 Tahun 2012


tentang Izin Gangguan dan Retribusi Izin
Gangguan. Beberapa persyaratan yang
dinyatakan dalam perda tersebut adalah :
Mengisi formulir permohonan izin;
Rekaman KTP pemohon;
Rekaman Akta Pendirian Perusahaan;
Rekaman Status Kepemilikan Tanah/Bukti
Kepemilikan Tanah/Surat Perjanjian Sewa/
Surat Persetujuan Pemilik Tanah;
Rekaman Surat Izin Mendirikan Bangunan
(IMB) berikut Lampiran Gambar Denah
dan Situasi;
Surat Pernyataan Tertulis Tidak Keberatan
dari Lingkungan Sekitar, yang diketahui
pihak RT dan RW setempat;
Keterangan Domisili Perusahaan dari
Lurah dan Camat;
Rekaman Lunas PBB Tahun Terakhir;
Dokumen Lingkungan, khusus terhadap
kegiatan usaha yang berpotensi
menimbulkan pencemaran lingkungan;
dan
Surat Pernyataan Kesanggupan
Memenuhi / Mentaati Ketentuan
Peraturan Perundang-Undangan.
Dalam perda tersebut, ditetapkan penerbitan
perizinan paling lambat 14 hari kerja sejak
dokumen permohonan dan persyaratannya
diterima lengkap dan benar.
4. Pembuatan NPWP, SKT dan PKP
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah
nomor yang diberikan kepada Wajib
Pajak sebagai sarana dalam administrasi
perpajakan yang dipergunakan sebagai
tanda pengenal diri atau identitas Wajib
Pajak dalam melaksanakan hak dan

76

kewajiban perpajakannya. Nomor ini dipakai


oleh setiap wajib pajak setiap kali mereka
berurusan dengan kantor pajak.
Untuk Wajib Pajak badan yang memiliki
kewajiban perpajakan sebagai pembayar
pajak, pemotong dan/atau pemungut
pajak sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan, termasuk
bentuk usaha tetap dan kontraktor dan/
atau operator di bidang usaha hulu minyak
dan gas bumi yang berorientasi pada profit
(PROTORIENTED) berupa :
Rekaman akta pendirian atau dokumen
pendirian dan perubahan bagi Wajib
Pajak badan dalam negeri, atau surat
keterangan penunjukan dari kantor pusat
bagi bentuk usaha tetap;
Rekaman Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak
salah satu pengurus, atau fotokopi paspor
dan surat keterangan tempat tinggal dari
Pejabat Pemerintah Daerah sekurangkurangnya Lurah atau Kepala Desa dalam
hal penanggung jawab adalah Warga
Negara Asing; dan
Rekaman dokumen izin usaha dan/atau
kegiatan yang diterbitkan oleh instansi
yang berwenang atau surat keterangan
tempat kegiatan usaha dari Pejabat
Pemerintah Daerah sekurang-kurangnya
Lurah atau Kepala Desa atau lembar
tagihan listrik dari Perusahaan Listrik/bukti
pembayaran listrik.
Wajib Pajak badan yang hanya memiliki
kewajiban perpajakan sebagai pemotong
dan/atau pemungut pajak sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan,
termasuk bentuk kerja sama operasi (Joint
Operation), berupa :
Rekaman Perjanjian Kerjasama/Akte
Pendirian sebagai bentuk kerja sama
operasi (Joint Operation);
Rekaman Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak
masing-masing anggota bentuk kerja

sama operasi (Joint Operation) yang


diwajibkan untuk memiliki Nomor Pokok
Wajib Pajak;
Rekaman Kartu Nomor Pokok Wajib
Pajak orang pribadi salah satu pengurus
perusahaan anggota bentuk kerja sama
operasi (Joint Operation), atau fotokopi
paspor dan surat keterangan tempat
tinggal dari Pejabat Pemerintah Daerah
sekurang-kurangnya Lurah atau Kepala
Desa dalam hal penanggung jawab
adalah Warga Negara Asing; dan
Rekaman dokumen izin usaha dan/atau
kegiatan yang diterbitkan oleh instansi
yang berwenang atau surat keterangan
tempat kegiatan usaha dari Pejabat
Pemerintah Daerah sekurang-kurangnya
Lurah atau Kepala Desa.
Pengurusan NPWP Badan dapat dilakukan
melalui 2 (dua) cara, yaitu :
Secara Elektronik melalui e-Registration
Dilakukan secara elektronik dengan
mengisi Formulir Pendaftaran Wajib
Pajak pada Aplikasi e-Registration yang
tersedia pada laman Direktorat Jenderal
Pajak di www.pajak.go.id. Dokumendokumen yang dipersyaratkan di atas,
kemudian dikirimkan ke KPP tempat
Wajib Pajak mendaftar. Dokumendokumen tersebut paling lambat 14
(empat belas) hari kerja sudah diterima
oleh KPP. Pengiriman dokumen yang
disyaratkan dapat dilakukan dengan cara
mengunggah (upload) salinan digital
(softcopy) dokumen melalui Aplikasi
e-Registration atau mengirimkan
dengan menggunakan Surat Pengiriman
Dokumen yang telah ditandatangani.
Secara Langsung
Dalam hal Wajib Pajak tidak
dapat mengajukan permohonan
pendaftaran secara elektronik,
permohonan pendaftaran dilakukan

dengan menyampaikan permohonan


secara tertulis dengan mengisi dan
menandatangani Formulir Pendaftaran
Wajib Pajak. Permohonan tersebut
harus dilengkapi dengan dokumen
yang disyaratkan. Permohonan secara
tertulis disampaikan ke KPP atau
KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi
tempat tinggal atau tempat kedudukan
atau tempat kegiatan usaha Wajib
Pajak. Penyampaian permohonan
secara tertulis dapat dilakukan: secara
langsung, melalui pos; atau melalui
perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir.
Setelah seluruh persyaratan
Permohonan Pendaftaran diterima
KPP atau KP2KP secara lengkap, KPP
atau KP2KP akan menerbitkan Bukti
Penerimaan Surat. KPP atau KP2KP
menerbitkan Kartu NPWP dan Surat
Keterangan Terdaftar (SKT) paling
lambat 1 (satu) hari kerja setelah Bukti
Penerimaan Surat diterbitkan. NPWP
dan SKT akan dikirimkan melalui Pos
Tercatat.
5. Pengesahan Akte Pendirian Perusahaan
Untuk pembuatan Akta Pendirian, dalam
jangka waktu paling lambat 60 hari,
perseroan wajib mengajukan permohonan
pengesahan badan hukum perseroan melalui
teknologi informasi sistem administrasi dan
badan hukum secara elektronik kepada
Menteri, dengan mengisi format isian
sekurang-kurangnya:
Nama dan tempat kedudukan perseroan
Jangka waktu berdirinya perseroan
Maksud dan tujuan serta kegiatan usaha
perseroan
Jumlah modal dasar, modal yang
ditempatkan, dan modal disetor
Alamat lengkap perseroan.
Persyaratan yang ditetapkan dalam Peraturan
PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

77

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

Menteri Hukum dan HAM Nomor 4 Tahun


2014 adalah:
Mengisi Format Pendirian Perusahaan;
Bukti Bayar Biaya Pengesahan Badan
Hukum Perseroan yang dibayarkan
melalui Bank Persepsi;
Minuta Akta Pendirian Perseroan atau
Minuta Akta Perubahan Pendirian
Perseroan;
Bukti Setor Modal Perseroan;
Surat Pernyataan Kesanggupan dari
Pendiri untuk memperoleh keputusan,
persetujuan, atau rekomendasi dari
instansi teknis untuk perseroan bidang
usaha tertentu, atau fotokopi keputusan,
persetujuan, dan rekomendasi dari
instansi teknis terkait untuk perseroan
bidang usaha tertentu;
Rekaman surat keterangan mengenai
alamat lengkap perseroan dari pengelola
gedung atau instansi yang berwenang
atau asli surat pernyataan mengenai
alamat lengkap perseroan yang
ditandatangani oleh semua anggota
direksi bersama-sama semua pendiri
dan semua anggota dewan komisaris
perseroan.
Permohonan dan pendaftaran dilakukan
secara elektronik melalui laman Sistem
Administrasi Badan Hukum (SABH)
Kementerian Hukum dan HAM, dengan
alamat: www.ahu.go.id. Paling lambat
14 (empat belas) hari, Menteri telah
menerbitkan Keputusan Menteri mengenai
pengesahan badan hukum.
Notaris dapat melakukan pencetakan sendiri
Keputusan Menteri mengenai Pengesahan
Badan Hukum Perseroan, menggunakan
kertas berwarna putih ukuran F4/Folio
dengan berat 80 (delapan puluh) gram.
Keputusan tersebut wajib ditandatangani
dan dibubuhi cap jabatan oleh Notaris, serta

78

memuat frasa yang menyatakan Keputusan


Menteri ini dicetak dari SABH.
6. Pembuatan SIUP (Surat Izin Usaha
Perdagangan)
SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan) adalah
surat izin untuk dapat melaksanakan kegiatan
usaha perdagangan. Ketentuan mengenai
SIUP diatur dalam Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 46/M-DAG/PER/9/2009
tentang Perubahan Permendag Nomor
36/M-DAG/PER/9/2007 tentang Penerbitan
Surat Izin Usaha Perdagangan. Penerbitan
SIUP dilakukan berdasarkan tempat
kedudukan tempat usaha, sehingga Menteri
memberikan kewenangan penerbitan
kepada Gubernur / Bupati / Walikota yang
menunjuk dinas setempat yang membidangi
perdagangan.
Berdasarkan peraturan tersebut, persyaratan
penerbitan SIUP untuk perseroan, adalah:
Surat Permohonan;
Rekaman Akta Notaris Pendirian
Perusahaan;
Rekaman Surat Keputusan Pengesahan
Badan Hukum Perseroan Terbatas dari
Kementerian Hukum dan HAM;
Rekaman Kartu Tanda Penduduk
Penanggungjawab / Direktur Utama
Perusahaan;
Surat Pernyataan dari Pemohon SIUP
tentang Lokasi Usaha Perusahaan;
Foto Penanggungjawab / Direktur Utama
Perusahaan 3x4 (2 lembar)
Proses penerbitan SIUP paling lama 3 (tiga)
hari kerja, setelah dokumen persyaratan
diterima secara lengkap dan benar.
7. Pembuatan TDP (Tanda Daftar Perusahaan)
Wajib Daftar Perusahaan (WDP) diatur dalam

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982


tentang Wajib Daftar Perusahaan. Dalam
ketentuan ini, Daftar Perusahaan adalah
daftar catatan resmi yang diadakan menurut
atau berdasarkan ketentuan Undangundang ini dan atau peraturan-peraturan
pelaksanaannya, dan memuat hal-hal yang
wajib didaftarkan oleh setiap perusahaan
serta disahkan oleh pejabat yang berwenang
dari kantor pendaftaran perusahaan.
Perusahaan yang wajib didaftar dalam Daftar
Perusahaan adalah setiap perusahaan yang
berkedudukan dan menjalankan usahanya di
wilayah Negara Republik Indonesia menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, termasuk di dalamnya kantor
cabang, kantor pembantu, anak perusahaan
serta agen dan perwakilan dari perusahaan
itu yang mempunyai wewenang untuk
mengadakan perjanjian.
Pengaturan lebih lanjut dapat ditemukan
dalam Peraturan Menteri Perdagangan
Nomor 37/M-DAG/PER/2007 tentang
Penyelenggaraan Pendaftaran Perusahaan
juncto Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun
1998 tentang Usaha atau Kegiatan yang
tidak dikenakan Wajib Daftar Perusahaan.
Pengertian Tanda Daftar Perusahaan (TDP)
menurut peraturan di atas surat tanda
pengesahan yang diberikan oleh Kantor
Pendaftaran Perusahaan kepada perusahaan
yang telah melakukan pendaftaran
perusahaan. Lebih lanjut diatur tentang
usaha atau kegiatan yang bergerak di
luar bidang perekonomian dan sifat serta
tujuannya tidak semata-mata mencari
keuntungan dan/atau laba, sehingga dengan
demikian tidak dikenakan wajib daftar
perusahaan.
Penerbitan TDP dilimpahkan oleh menteri
kepada gubernur / walikota / bupati, sesuai
kedudukan perseroan terbatas berada. Untuk
mendapatkan TDP, beberapa persyaratannya
diatur sebagai berikut:
Rekaman Akta Pendirian Perseroan;
Rekaman Akta Perubahan Perndirian

Perseroan (apabila ada);


Asli dan rekaman Keputusan Pengesahan
sebagai Badan Hukum dan Persetujuan
Perubahan bagi PT yang telah berbadan
hukum sebelum diberlakukannya UndangUndang Perseroan Terbatas;
Rekaman Kartu Tanda Penduduk
atau Paspor Pemilik, Pengurus atau
Penanggung Jawab Perusahaan;
Rekaman Izin Usaha atau Surat
Keterangan yang dipersamakan dengan
itu yang diterbitkan oleh instansi yang
berwenang;
Rekaman Nomor Pokok Wajib Pajak.
Proses penerbitan TDP adalah 3 (tiga)
hari kerja, sejak diterimanya dokumen
persyaratan secara lengkap dan benar.

4.3.3
Perizinan Ketenagakerjaan
Tenaga Kerja Asing (TKA) adalah warga negara
asing pemegang visa dengan maksud bekerja
di Indonesia. Untuk memperkerjakan TKA
di Indonesia, perusahaan PMA memerlukan
beberapa perizinan yang telah diatur melalui
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 16
Tahun 2015 tentang Tata Cara Penggunaan
Tenaga Kerja Asing. Ada dua tahapan prosedur
perizinan yang diperlukan PMA untuk dapat
memperkerjakan TKA, yaitu:
mengajukan Rencana Penggunaan Tenaga
Kerja Asing (RPTKA); dan
Izin Memperkerjakan Tenaga Kerja Asing
(IMTA).
RPTKA adalah rencana penggunaan TKA pada
jabatan tertentu yang dibuat oleh pemberi
kerja TKA untuk jangka waktu tertentu yang
disahkan oleh menteri atau pejabat yang
ditunjuk. Sedangkan IMTA adalah izin tertulis
yang diberikan oleh menteri atau pejabat yang
ditunjuk kepada pemberi kerja TKA.
PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

79

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

Prosedur dan pelayanan RPTKA dan IMTA


dilakukan melalui aplikasi sistem online: http://
tka-online.depnakertrans.go.id. Persyaratan yang
ditetapkan untuk mendapatkan pengesahan
RPTKA dan IMTA, dijelaskan berikut ini:

Copy paspor TKA yang akan


dipekerjakan;

1. Pengesahan RPTKA

Copy ijazah Sarjana atau keterangan


pengalaman kerja TKA atau sertifikat
kompetensi sesuai dengan jabatan yang
akan diduduki;

Surat Permohonan

Daftar riwayat hidup TKA yang akan


dipekerjakan;

Alasan penggunaan TKA;


Formulir RPTKA yang sudah diisi;

Copy surat penunjukan tenaga kerja


Indonesia pendamping; dan

Surat izin usaha dari instansi yang


berwenang;

Pas photo berwarna ukuran 4 x 6 cm


sebanyak 1 (satu) lembar.

Akte pendirian sebagai badan hukum


yang sudah disahkan oleh instansi yang
berwenang;

Lama waktu perizinan untuk masing-masing


adalah 3 (tiga) hari kerja, setelah dokumen
diterima (online) secara lengkap dan benar.
Jadi, total waktu yang diperlukan adalah 6
(enam) hari.

Keterangan domisili perusahaan dari


pemerintah daerah setempat;
Bagan struktur organisasi perusahaan;
Surat penunjukan TKI sebagai
pendamping TKA dan rencana program
pendampingan;

4.3.4
Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik
(IUPTL)

Copy bukti wajib lapor ketenagakerjaan


yang masih berlaku sesuai UndangUndang Nomor 7 Tahun 1981; dan

Usaha Penyediaan Tenaga Listrik adalah


pengadaan tenaga listrik meliputi pembangkitan,
transmisi, distribusi, dan penjualan tenaga
listrik kepada konsumen. Izin Usaha Penyediaan
Tenaga Listrik (IUPTL) adalah izin untuk
melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk
kepentingan umum. Dalam pelaksanaannya,
IUPTL dibuat dalam dua tahap, yaitu: IUPTL
Sementara dan IUPTL Tetap. Penerbitan IUPTL
diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 35
Tahun 2013 tentang Tata Cara Perizinan Usaha
Ketenagalistrikan.

Rekomendasi jabatan yang akan diduduki


oleh TKA dari instansi teknis apabila
diperlukan.

Dalam peraturan tersebut di atas, beberapa


persyaratan yang diperlukan untuk mendapatkan
IUPTL Sementara adalah:

Surat pernyataan kesanggupan untuk


melaksanakan pendidikan dan pelatihan
kerja bagi tenaga kerja Indonesia sesuai
dengan kualifikasi jabatan yang diduduki
TKA;

2. Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing

1. Persyaratan Administratif :

Surat Permohonan

Identitas Pemohon

Copy keputusan pengesahan RPTKA;

Profil pemohon

80

NPWP
2. Persyaratan Teknis :

Izin lokasi dari instansi yang berwenang


kecuali untuk usaha penjualan tenaga
listrik;

Studi kelayakan awal

Diagram satu garis

Surat penetapan sebagai calon


pengembang penyediaan tenaga listrik
dari pemegang IUPL (PT PLN) selaku
calon pembeli tenaga listrik

Jenis dan kapasitas usaha yang akan


dilakukan;

Sedangkan untuk mendapatkan IUPTL, beberapa


persyaratannya adalah:

Jadwal pembangunan dan pengoperasian


Persetujuan harga jual tenaga listrik atau
sewa jaringan tenaga listrik, dalam hal
permohonan Izin Usaha Penyediaan

1. Persyaratan Administratif :

Profil pemohon

Tenaga Listrik diajukan untuk usaha


pembangkitan tenaga listrik, usaha
transmisi tenaga listrik, atau usaha
distribusi tenaga listrik;

NPWP

Kesepakatan jual beli tenaga listrik;

Identitas Pemohon

Pengesahan sebagai badan hukum


Kemampuan pendanaan

3. Persyaratan Lingkungan :
Dokumen AMDAL (KA, Andal, RKL-RPL)
atau UKL-UPL

2. Persyaratan Teknis :
Dokumen ANDAL Lalu Lintas
Studi kelayakan Usaha Penyediaan Tenaga
Listrik
Lokasi instalasi kecuali untuk usaha
penjualan tenaga listrik;

Pelayanan IUPTL (baik sementara maupun tetap)


untuk PMA, saat ini dilakukan di PTSP BKPM,
sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor
35/2014 tanggal 19 Desember 2014.

PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

81

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

/P

+FOJT1FSJ[JOBO
*OTUBOTJ1FOFSCJU



*[JO1SJOTJQ
1FOBOBNBO
.PEBM

1FSTZBSBUBO
1FOEBGUBSBO1FOBOBNBO.PEBM

 4VSBUEBSJJOTUBOTJQFNFSJOUBIOFHBSBZBOH
CFSTBOHLVUBOBUBVTVSBUZBOHEJLFMVBSLBO

1541#,1.

PMFILFEVUBBOCFTBSLBOUPSQFSXBLJMBO

1VTBU1541

OFHBSBZBOHCFSTBOHLVUBOEJ*OEPOFTJB

#,1.%BFSBI

VOUVLQFNPIPOBEBMBIQFNFSJOUBIOFHBSB

1FOEBGUBSBO
0OMJOF
IUUQTPOMJOF
TQJQJTFCLQN
HPJE

MBJO
 3FLBNBOQBTQPSZBOHNBTJICFSMBLVVOUVL
QFNPIPOBEBMBIQFSTFPSBOHBOBTJOH
 3FLBNBO"OHHBSBO%BTBS "SUJDMFPG
"TTPDJBUJPO
EBMBN#BIBTB*OHHSJTBUBV
UFSKFNBIBOOZBEBMBN#BIBTB*OEPOFTJBEBSJ
QFOUFSKFNBIUFSTVNQBIVOUVLQFNPIPO
BEBMBIVOUVLCBEBOVTBIBBTJOH
 3FLBNBO"LUB1FOEJSJBOQFSVTBIBBOEBO
QFSVCBIBOOZBCFTFSUBQFOHFTBIBOEBSJ
.FOUFSJ)VLVNEBO)".VOUVLQFNPIPO
BEBMBICBEBOVTBIB*OEPOFTJB
 3FLBNBO/181CBJLVOUVLQFNPIPOBEBMBI
QFSTFPSBOHBO*OEPOFTJBNBVQVOCBEBO
VTBIB*OEPOFTJB
 1FSNPIPOBO1FOEBGUBSBOEJUBOEBUBOHBOJEJ
BUBTNFUFSBJDVLVQPMFITFMVSVIQFNPIPO
CJMBQFSVTBIBBOCFMVNCFSCBEBOIVLVN

BUBVPMFIEJSFLTJQFSVTBIBBO CJMB
QFSVTBIBBOTVEBICFSCBEBOIVLVN

 4VSBU,VBTBBTMJCFSNFUFSBJDVLVQVOUVL
QFOHVSVTBOQFSNPIPOBOZBOHUJEBL
EJMBLVLBOTFDBSBMBOHTVOHPMFI
QFNPIPOEJSFLTJQFSVTBIBBO
 ,FUFSBOHBO3FODBOB1FOBOBNBO.PEBM 
NFODBLVQ

82

 #JEBOHVTBIB

 -PLBTJQSPZFL

 1SPEVLTJEBOQFNBTBSBOQFSUBIVO

 -VBTUBOBIZBOHEJQFSMVLBO

 5FOBHBLFSKB*OEPOFTJB

 3FODBOBJOWFTUBTJ

 3FODBOBQFSNPEBMBO

%VSBTJ
)BSJ

%BTBS)VLVN
1FSLB#,1.

/P5BIVO

/P

+FOJT1FSJ[JOBO
*OTUBOTJ1FOFSCJU

1FSTZBSBUBO

%VSBTJ
)BSJ

%BTBS)VLVN

 6OEBOH6OEBOH

*[JO1SJOTJQ1FOBOBNBO.PEBM
 #VLUJEJSJQFNPIPO ZBJUV


 1FOEBGUBSBOCBHJCBEBOVTBIBZBOHUFMBI

 3FLBNBO"LUB1FOEJSJBOQFSVTBIBBOEBO

NFMBLVLBOQFOEBGUBSBO
QFSVCBIBOOZB


 3FLBNBO1FOHFTBIBO"OHHBSBO%BTBS
1FSVTBIBBOEBSJ.FOUFSJ)VLVNEBO
)".

 3FLBNBO/PNPS1PLPL8BKJC1BKBL
/181

 ,FUFSBOHBOSFODBOBLFHJBUBO CFSVQB




 6SBJBOQSPTFTQSPEVLTJZBOH
NFODBOUVNLBOKFOJTCBIBOCBIBOEBO
EJMFOHLBQJEFOHBOEJBHSBNBMJS
nPXDIBSU


 6SBJBOLFHJBUBOVTBIBTFLUPSKBTB

 3FLPNFOEBTJEBSJJOTUBOTJQFNFSJOUBI
UFSLBJU CJMBEJQFSTZBSBULBO



1FOHBKVBO/BNB  1FOHBKVBOOBNBQFSTFSPBOUFSCBUBT


#BEBO)VLVN
4JTNJOCBLVN 

 1FOHBKVBOCJBTBOZBEJMBLVLBOPMFI

/P5BIVO

/PUBSJT.FMBMVJ4JTUFN"ENJOJTUSBTJ

EJBLTFTNFMBMVJ

5FOUBOH

#BEBO)VLVN 4JTNJOCBLVN


IUUQBIVHPJE

1FSTFSPBO

,FNFOLVNIBN

5FSCBUBT

 1FSTZBSBUBOOZB


 .FMBNQJSLBOBTMJGPSNVMJSEBOQFOEJSJBO
TVSBULVBTB

 .FMBNQJSLBOGPUPLPQJ,BSUV*EFOUJUBT
1FOEVEVL ,51QBTQPS
QBSBQFOEJSJOZB
EBOQBSBQFOHVSVTQFSVTBIBBO

 .FMBNQJSLBOGPUPLPQJ,BSUV,FMVBSHB ,,

QJNQJOBOQFOEJSJ15VOUVL8/*

 1FSBUVSBO
1FNFSJOUBI
3FQVCMJL
*OEPOFTJB
/PNPS5BIVO
5FOUBOH
5BUB$BSB
1FOHBKVBOEBO
1FNBLBJBO
/BNB1FSTFSPBO
5FSCBUBT

PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

83

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

/P

+FOJT1FSJ[JOBO
*OTUBOTJ1FOFSCJU



1FNCVBUBO"LUB

1FSTZBSBUBO
 1FNCVBUBOBLUBQFOEJSJBOEJMBLVLBOPMFI

%VSBTJ
)BSJ

%BTBS)VLVN



 6OEBOH6OEBOH

1FOEJSJBOEBO

OPUBSJTZBOHCFSXFOBOHEJTFMVSVIXJMBZBI

/P5BIVO

"OHHBSBO%BTBS

OFHBSB3FQVCMJL*OEPOFTJBVOUVLTFMBOKVUOZB

5FOUBOH

1FSTFSPBO

NFOEBQBULBOQFTFUVKVBOEBSJ.FOUFSJ

1FSTFSPBO

5FSCBUBT
,BOUPS/PUBSJT

,FNFOLVNIBN

5FSCBUBT

 #FCFSBQBIBMZBOHQFSMVEJQFSIBUJLBO


 1FSBUVSBO

 ,FEVEVLBO15 ZBOHNBOB15IBSVT

1FNFSJOUBI

CFSBEBEJXJMBZBI3FQVCMJL*OEPOFTJB

3FQVCMJL

EFOHBONFOZFCVULBOOBNB,PUBEJNBOB

*OEPOFTJB

15NFMBLVLBOLFHJBUBOVTBIBTFCBHBJ

/PNPS5BIVO

,BOUPS1VTBU


 1FOEJSJ15NJOJNBMPSBOHBUBVMFCJI

 .FOFUBQLBOKBOHLBXBLUVCFSEJSJOZB15

5FOUBOH
5BUB$BSB
1FOHBKVBOEBO

TFMBNBUBIVO UBIVOBUBVMFCJIBUBV

1FNBLBJBO

CBILBOUJEBLQFSMVEJUFOUVLBOMBNBOZB

/BNB1FSTFSPBO

BSUJOZBCFSMBLVTFVNVSIJEVQ


5FSCBUBT

 .FOFUBQLBO.BLTVEEBO5VKVBOTFSUB
LFHJBUBOVTBIB15

 "LUB/PUBSJTZBOHCFSCBIBTB*OEPOFTJB

 4FUJBQQFOEJSJIBSVTNFOHBNCJMCBHJBO
BUBTTBIBN LFDVBMJEBMBNSBOHLB
QFMFCVSBO

 .PEBMEBTBSNJOJNBM3Q 
MJNBQVMVIKVUB3VQJBI
EBONPEBM
EJTFUPSNJOJNBM EVBQVMVIMJNB
QFSTFSBUVT
EBSJNPEBMEBTBS

 .JOJNBMPSBOH%JSFLUVSEBOPSBOH
,PNJTBSJTEBO

 1FNFHBOHTBIBNIBSVT8/*BUBV#BEBO
)VLVNZBOHEJEJSJLBONFOVSVUIVLVN
*OEPOFTJB LFDVBMJ15EFOHBO.PEBM
"TJOHBUBVCJBTBEJTFCVU151."



4VSBU,FUFSBOHBO  1FSNPIPOBO4,%1EJBKVLBOLFQBEBLBOUPS


%PNJTJMJ

LFMVSBIBOTFUFNQBUTFTVBJEFOHBOBMBNBU

1FSVTBIBBO
,BOUPS,FMVSBIBO

LBOUPS15BOEBCFSBEB ZBOHNBOBTFCBHBJ

,FDBNBUBOEJ

QFSVTBIBBO EPNJTJMJHFEVOH KJLBEJ

.BTJOH.BTJOH
%BFSBI

84

CVLUJLFUFSBOHBOLFCFSBEBBOBMBNBU
HFEVOH

1FSEB

/P

+FOJT1FSJ[JOBO
*OTUBOTJ1FOFSCJU

%VSBTJ
)BSJ

1FSTZBSBUBO

%BTBS)VLVN

 1FSTZBSBUBO


 'PUPLPQJ1BKBL#VNJEBO#BOHVOBO 1##


 1FSKBOKJBO4FXBBUBVLPOUSBLUFNQBU

UBIVOUFSBLIJS 
VTBIBCBHJZBOHCFSEPNJTJMJCVLBOEJ
HFEVOHQFSLBOUPSBO 


 ,BSUV5BOEB1FOEVEVL ,51
%JSFLUVS 

 *[JO.FOEJSJLBO#BOHVO *.#
KJLB15UJEBL
CFSBEBEJHFEVOHQFSLBOUPSBO



1FSNPIPOBO

1FSTZBSBUBOOZB

1FNCVBUBO

 /181QSJCBEJ%JSFLUVS15

/PNPS1PLPL

 'PUPLPQJ,51%JSFLUVS BUBVGPUPLPQJ1BTQPS

8BKJC1BKBL



CBHJ8/" LIVTVT151."


/181
EBO

 4,%1

1FOHVTBIB,FOB

 "LUBQFOEJSJBO15

1BKBL 1,1

,BOUPS1BKBL
8JMBZBI


1FOHFTBIBO

 1FSNPIPOBOJOJEJBKVLBOLFQBEB.FOUFSJ



 6OEBOH6OEBOH

"LUF1FOEJSJBO

,FNFOLVNIBNVOUVLNFOEBQBULBO

/P5BIVO

EBO"OHHBSBO

QFOHFTBIBO"OHHBSBO%BTBS1FSTFSPBO BLUB

5FOUBOH

%BTBS1FSTFSPBO

QFOEJSJBO
TFCBHBJCBEBOIVLVN15TFTVBJ

1FSTFSPBO

5FSCBUBT
,FNFOUFSJBO

EFOHBO6615

5FSCBUBT

)VLVNEBO
)".

 #VLUJTFUPSCBOLTFOJMBJNPEBMEJTFUPSEBMBN
BLUBQFOEJSJBO
 #VLUJ1FOFSJNBBO/FHBSB#VLBO1BKBL
1/#1
TFCBHBJQFNCBZBSBOCFSJUBBDBSB
OFHBSB
 "TMJBLUBQFOEJSJBO

 1FSBUVSBO
1FNFSJOUBI
3FQVCMJL
*OEPOFTJB
/PNPS5BIVO
5FOUBOH
5BUB$BSB
1FOHBKVBOEBO
1FNBLBJBO
/BNB1FSTFSPBO
5FSCBUBT

PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

85

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

/P

+FOJT1FSJ[JOBO
*OTUBOTJ1FOFSCJU



5BOEB%BGUBS
1FSVTBIBBO
5%1

%JOBT%BFSBI

1FSTZBSBUBO
 "LUF/PUBSJT1FOEJSJBOEBO1FSVCBIBO KJLB

%VSBTJ
)BSJ

%BTBS)VLVN

 6OEBOHVOEBOH

BEB


3FQVCMJL

 4,.FOUFSJ)VLVNEBO)". CBEBOVTBIB

*OEPOFTJB/P

CFSCFOUVL1FSTFSPBO5FSCBUBT<15>
5FSEBGUBS

UBIVO

1BEB,BOUPS1FOHBEJMBO/FHFSJ CBEBO

UFOUBOH8BKJC

VTBIBCFSCFOUVL1FSTFLVUVBO,PNBOEJUFS

%BGUBS

<$7>


1FSVTBIBBO

 4VSBU,FUFSBOHBO%PNJTJMJ1FSVTBIBBO

 1FSEB

 /181 /PNPS1PLPL8BKJC


1BKBL
1FSVTBIBBO 
 4*61 4VSBU*[JO6TBIB1FSEBHBOHBO

 *[JO*OWFTUBTJBUBV41#,1. VOUVL
1.%/1."

 ,51%JSFLUVS1FOBOHHVOH+BXBC
1FSVTBIBBO
 ,BSUV,FMVBSHB%JSFLUVS1FOBOHHVOH+BXBC
1FSVTBIBBO
 4VSBU,FUFSBOHBO%PNJTJMJEBSJ1FOHFMPMB
(FEVOH KJLBEJ,PNQMFL1FSLBOUPSBO



*[JO1FOHHVOBBO
5FOBHB,FSKB
"TJOH
,FNFOUFSJBO
5FOBHB,FSKB

1FOHFTBIBO315,"

 1FNCFSJLFSKB5,"IBSVTNFOHBKVLBO
QFSNPIPOBOTFDBSBUFSUVMJTBUBVPOMJOF
LFQBEB%JSFLUVS+FOEFSBM1FNCJOBBO
1FOFNQBUBO5FOBHB,FSKBNFMBMVJ%JSFLUVS
1FOHFOEBMJBO1FOHHVOBBO5FOBHB,FSKB
"TJOHEFOHBONFMBNQJSLBO
 "MBTBOQFOHHVOBBO5,"
 'PSNVMJS315,"ZBOHTVEBIEJJTJ
 4VSBUJ[JOVTBIBEBSJJOTUBOTJZBOH
CFSXFOBOH
 "LUFQFOEJSJBOTFCBHBJCBEBOIVLVNZBOH
TVEBIEJTBILBOPMFIJOTUBOTJZBOH
CFSXFOBOH
 ,FUFSBOHBOEPNJTJMJQFSVTBIBBOEBSJ
QFNFSJOUBIEBFSBITFUFNQBU
 #BHBOTUSVLUVSPSHBOJTBTJQFSVTBIBBO
 4VSBUQFOVOKVLBO5,*TFCBHBJQFOEBNQJOH
5,"EBOSFODBOBQSPHSBNQFOEBNQJOHBO
 4VSBUQFSOZBUBBOLFTBOHHVQBOVOUVL

86

1FSBUVSBO.FOUFSJ
5FOBHB,FSKBEBO
5SBOTNJHSBTJ/PNPS
5BIVO
UFOUBOH5BUB$BSB
1FOHHVOBBO
5FOBHB,FSKB"TJOH

/P

+FOJT1FSJ[JOBO
*OTUBOTJ1FOFSCJU

%VSBTJ
)BSJ

1FSTZBSBUBO

%BTBS)VLVN

NFMBLTBOBLBOQFOEJEJLBOEBOQFMBUJIBOLFSKB
CBHJUFOBHBLFSKB*OEPOFTJBTFTVBJEFOHBO
LVBMJmLBTJKBCBUBOZBOHEJEVEVLJ5,"
 $PQZCVLUJXBKJCMBQPSLFUFOBHBLFSKBBOZBOH
NBTJICFSMBLVTFTVBJ6OEBOH6OEBOH
/PNPS5BIVOEBO
 3FLPNFOEBTJKBCBUBOZBOHBLBOEJEVEVLJ
PMFI5,"EBSJJOTUBOTJUFLOJTBQBCJMB
EJQFSMVLBO
 %BMBNIBMIBTJMQFOJMBJBOLFMBZBLBO315,"
UFMBITFTVBJ EBMBNXBLUVQBMJOHMBNB
FNQBU
IBSJLFSKB %JSFLUVS+FOEFSBM
1FNCJOBBO1FOFNQBUBO5FOBHB,FSKBBUBV
%JSFLUVS1FOHFOEBMJBO1FOHHVOBBO5FOBHB
,FSKB"TJOHIBSVTNFOFSCJULBOLFQVUVTBO
QFOHFTBIBO315,"
*[JO.FOHHVOBLBO5FOBHB,FSKB"TJOH *.5,"


 4FUJBQQFNCFSJLFSKBZBOHNFNQFLFSKBLBO
5,"XBKJCNFNJMJLJJ[JOUFSUVMJTEBSJ.FOUFSJ
5FOBHB,FSKBEBO5SBOTNJHSBTJBUBVQFKBCBU
ZBOHEJUVOKVL,FXBKJCBONFNJMJLJJ[JOUJEBL
CFSMBLVCBHJQFSXBLJMBOOFHBSBBTJOHZBOH
NFNQFSHVOBLBO5,"TFCBHBJQFHBXBJ
EJQMPNBUJLEBOLPOTVMFS
 1FNCFSJLFSKB5,"ZBOHBLBONFOHVSVT
*.5" UFSMFCJIEBIVMVIBSVTNFOHBKVLBO
QFSNPIPOBOTFDBSBUFSUVMJTLFQBEB%JSFLUVS
1FOHFOEBMJBO1FOHHVOBBO5FOBHB,FSKB
"TJOHVOUVLNFOEBQBULBOSFLPNFOEBTJ
LBXBUQFSTFUVKVBOWJTB 5"
EFOHBO
NFMBNQJSLBO
 $PQZLFQVUVTBOQFOHFTBIBO315,"
 $PQZQBTQPS5,"ZBOHBLBOEJQFLFSKBLBO
 %BGUBSSJXBZBUIJEVQ5,"ZBOHBLBO
EJQFLFSKBLBO
 $PQZJKB[BI4BSKBOBBUBVLFUFSBOHBO
QFOHBMBNBOLFSKB5,"BUBVTFSUJmLBU
LPNQFUFOTJTFTVBJEFOHBOKBCBUBOZBOH

PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

87

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

/P

+FOJT1FSJ[JOBO
*OTUBOTJ1FOFSCJU

1FSTZBSBUBO

%VSBTJ
)BSJ

%BTBS)VLVN

BLBOEJEVEVLJ
 $PQZTVSBUQFOVOKVLBOUFOBHBLFSKB
*OEPOFTJBQFOEBNQJOHEBO
 1BTQIPUPCFSXBSOBVLVSBOYDN
TFCBOZBL TBUV
MFNCBS


*[JO6TBIB
1FOZFEJBBO
5FOBHB-JTUSJL
4FNFOUBSB
1541#,1.









1FSTZBSBUBO"ENJOJTUSBUJG
 *EFOUJUBT1FNPIPO
 1SPmMQFNPIPO
 /181
1FSTZBSBUBO5FLOJT
 4UVEJLFMBZBLBOBXBM
 4VSBUQFOFUBQBOTFCBHBJDBMPO
QFOHFNCBOHQFOZFEJBBOUFOBHBMJTUSJL
EBSJQFNFHBOH*61- 151-/
TFMBLV
DBMPOQFNCFMJUFOBHBMJTUSJL

 1FSBUVSBO
1FNFSJOUBI/P
5BIVO
UFOUBOH6TBIB
1FOZFEJBBO
5FOBHB-JTUSJLKP
11/P5BIVO

 1FSBUVSBO
.FOUFSJ&4%.
/P5BIVO
UFOUBOH
5BUB$BSB
1FSJ[JOBO6TBIB
,FUFOBHBMJTUSJLBO
 1FSBUVSBO
.FOUFSJ&4%.
/P5BIVO
KP
1FSBUVSBO
.FOUFSJ&4%.
/P5BIVO
UFOUBOH
1FNCFMJBO
5FOBHB-JTUSJL
EBSJ1FNCBOHLJU
-JTUSJL5FOBHB"JS
PMFI15
1FSVTBIBBO
-JTUSJL/FHBSB
1FSTFSP

88

/P

+FOJT1FSJ[JOBO
*OTUBOTJ1FOFSCJU

 *[JO)(#EBO
)BL1BLBJ

1FSTZBSBUBO
 *OGPSNBTJ,FUFSTFEJBBO5BOBI

%VSBTJ
)BSJ



%BTBS)VLVN
 1FSBUVSBO

 1FSNPIPOBO

.FOUFSJ"HSBSJB

 *EFOUJUBTQFNPIPOEBOLVBTBBQBCJMB

EBO5BUB3VBOH

EJLVBTBLBO

#1//P

 4VSBU,VBTBBQBCJMBEJLVBTBLBO

 UHM

 %PLVNFOZBOHNFOKBEJQFSTZBSBUBOZBOH

%FTFNCFS

CFSCFOUVLGPUPLPQJ EJMFHBMJTJSPMFI
QFKBCBUCFSXFOBOH

 1FSBUVSBO
.FOUFSJ"HSBSJB

 1FOHVLVSBO#JEBOH5BOBI

EBO5BUB3VBOH

 1FSNPIPOBO

 4ZBSBUQBEBQFMBZBOBOQFSUJNCBOHBO
UFLOJT

 *[JOMPLBTJ BQBCJMBEJQFSTZBSBULBO

 1FUBBSFBMUBOBIZBOHEJNPIPOLBO

 #VLUJQFSPMFIBOUBOBIBMBTIBL "LUB+VBM

#1//P 
UHM+BOVBSJ

 1FSBUVSBO
.FOUFSJ"HSBSJB

#FMJ 1FMFQBTBOIBL -FUUFS$ 4,

EBO5BUB3VBOH

1FMFQBTBO,BXBTBO)VUBO
%BGUBS

#1//P 

3FLBQJUVMBTJ1FSPMFIBO-BIBOEBO1FUB

UHM"QSJM

1FSPMFIBO-BIBOTFTVBJEFOHBOBMBT
IBL
#VLUJ1FSPMFIBO-BJOOZB

 4VSBUQFSOZBUBBOQFNBTBOHBOUBOEB
CBUBT

 4VSBUQFSOZBUBBOUJEBLTFOHLFUB

 4VSBUQFSOZBUBBOQFOHVBTBBOmTJLCJEBOH
UBOBI

 %PLVNFOZBOHNFOKBEJQFSTZBSBUBOZBOH
CFSCFOUVLGPUPLPQJ EJMFHBMJTJSPMFI
QFKBCBUZBOHCFSXFOBOH


EBMBNCFOUVLDFUBLEBOmMFFMFLUSPOJLEBMBN
EXHBUBV TIQ1BEBQFUBBSFBMZBOH
EJNPIPOUFSNBTVLMBZFSUBOEBCBUBTZBOH
TVEBIUFSQBTBOHTFTVBJEBGUBSLPPSEJOBU

VOUVLBSFBMZBOHCFSBTBMEBSJLBXBTBOIVUBO
 1FOFUBQBO)BLBUBT5BOBI)(#EBO)1


 1FSNPIPOBO

 4ZBSBUQBEBQFMBZBOBOQFOHVLVSBO
CJEBOHUBOBI

 1FUB#JEBOH5BOBI

 1FSTFUVKVBO1FOBOBNBO.PEBMCBHJ
QFSVTBIBBOZBOHNFOHHVOBLBOGBTJMJUBT

PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

89

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

/P

+FOJT1FSJ[JOBO
*OTUBOTJ1FOFSCJU

 *[JO-JOHLVOHBO

1FSTZBSBUBO
 %PLVNFO1FOEJSJBO6TBIBBUBV,FHJBUBO

%VSBTJ
)BSJ



%BTBS)VLVN
1FSBUVSBO.FOUFSJ

".%"- 6,-

 1SPmM6TBIBBUBV,FHJBUBO

-JOHLVOHBO

61-

,FNFOUFSJBO-)

 %PLVNFO".%"-

)JEVQ/PNPS

5BIVO

 ,"EBO4,QFSTFUVKVBOBUBVLPOTFQ,"

EBO,FIVUBOBO

CFTFSUBQFSOZBUBBOLFMFOHLBQBO
BENJOJTUSBTJ

 *[JO1JOKBN1BLBJ
,BXBTBO)VUBO
1541#,1.

 %SBGU"OEBM

 %SBGU3,-31-

*[JO1SJOTJQ1FOHHVOBBO,BXBTBO)VUBO
 1FSTZBSBUBO"ENJOJTUSBTJ


r 4VSBUQFSNPIPOBO

r *[JO6TBIB1FSUBNCBOHBO&LTQMPSBTJ *61
&LTQMPSBTJ
*[JO6TBIB1FSUBNCBOHBO
0QFSBTJ1SPEVLTJ *610QFSBTJ1SPEVLTJ

BUBVQFSJ[JOBOQFSKBOKJBOMBJOOZBZBOH
UFMBIEJUFSCJULBOPMFIQFKBCBUTFTVBJ
LFXFOBOHBOOZB LFDVBMJVOUVLLFHJBUBO
ZBOHUJEBLXBKJCNFNJMJLJ
QFSJ[JOBOQFSKBOKJBO

 1FSBUVSBO
.FOUFSJ
,FIVUBOBO
/PNPS1
.FOIVU**
UFOUBOH
1FEPNBO1JOKBN
1BLBJ,BXBTBO
)VUBO
 ,FQVUVTBO
%JSFLUVS+FOEFSBM

r 3FLPNFOEBTJ

1MBOPMPHJ

,FIVUBOBO

 HVCFSOVSVOUVLQJOKBNQBLBJLBXBTBO
IVUBOCBHJQFSJ[JOBOEJMVBSCJEBOH

/PNPS4,7**

LFIVUBOBOZBOHEJUFSCJULBOPMFI

1,)

CVQBUJXBMJLPUBEBO1FNFSJOUBIBUBV


 CVQBUJXBMJLPUBVOUVLQJOKBNQBLBJ
LBXBTBOIVUBOCBHJQFSJ[JOBOEJMVBS
CJEBOHLFIVUBOBOZBOHEJUFSCJULBO
PMFIHVCFSOVSBUBV

 CVQBUJXBMJLPUBVOUVLQJOKBNQBLBJ
LBXBTBOIVUBOZBOHUJEBLNFNFSMVLBO
QFSJ[JOBOTFTVBJCJEBOHOZB

r 1FSOZBUBBOEBMBNCFOUVLBLUBOPUBSJJM

ZBOHNFOZBUBLBO
 LFTBOHHVQBOVOUVLNFNFOVIJTFNVB
LFXBKJCBOEBO
LFTBOHHVQBONFOBOHHVOHTFMVSVI
CJBZBTFIVCVOHBOEFOHBO
QFSNPIPOBO


90



 TFNVBEPLVNFOZBOHEJMBNQJSLBO

/P

+FOJT1FSJ[JOBO
*OTUBOTJ1FOFSCJU

%VSBTJ
)BSJ

1FSTZBSBUBO

%BTBS)VLVN

QFOBOBNBONPEBMEBSJJOTUBOTJUFLOJT


 ,FUFSBOHBOTUBUVTLBXBTBOIVUBOEBSJ

 ,FUFSBOHBOTUBUVTBSFBMQFSUBNCBOHBO

JOTUBOTJUFLOJT KJLBEJQFSMVLBO

EBSJJOTUBOTJUFLOJT KJLBEJQFSMVLBO



 ,FUFSBOHBOCFCBTHBSBQBONBTZBSBLBU
BQBCJMBUBOBIOZBCFSBTBMEBSJUBOBI
/FHBSBZBOHUJEBLBEBQFOHVBTBBO
NBTZBSBLBU

 4VSBU1FSOZBUBBO5BOBI5BOBIZBOH
EJQVOZBJPMFI1FNPIPOUFSNBTVLUBOBI
ZBOHEJNPIPO

 44111I BQBCJMBUBOBIZBOHEJNPIPO
NFSVQBLBOPCKFLQFOHFOBBO44111I

 %PLVNFOZBOHNFOKBEJQFSTZBSBUBO
CFSCFOUVLGPUPLPQJ EJMFHBMJTJSPMFI
QFKBCBUZBOHCFSXFOBOH

 1FOEBGUBSBO,FQVUVTBO)BLBUBT5BOBI


 1FSNPIPOBO

 "TMJ4VSBU,FQVUVTBO1FNCFSJBO)BL"UBT
5BOB

 41151##5BIVOCFSKBMBO

 "TMJ1FOZFSBIBO#VLUJ44# #1)5#

 "TMJCVLUJBMBTIBL

 %PLVNFOZBOHNFOKBEJQFSTZBSBUBOZBOH
CFSCFOUVLGPUPLPQJ EJMFHBMJTJSPMFI
QFKBCBUCFSXFOBOH

 *[JO-PLBTJ


 5FMBINFNQFSPMFI*KJO1FSUJNCBOHBO
5FLOJT1FSUBOBIBO

 4FCBHBJTZBSBUQFSNPIPOBOIBLBUBT
UBOBI

 6OUVLTBUVLBCVQBUFOLPUB
EJUBOEBUBOHBOJ#VQBUJ8BMJLPUB LFDVBMJ
%,*+BLBSUBPMFI(VCFSOVS

 6OUVLMJOUBTLBCVQBUFOLPUB
EJUBOEBUBOHBOJ(VCFSOVS

 6OUVLMJOUBTQSPWJOTJEJUBOEBUBOHBOJ
.FOUFSJ"53,B#1/

PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

91

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

/P

+FOJT1FSJ[JOBO
*OTUBOTJ1FOFSCJU

1FSTZBSBUBO
EBMBNQFSNPIPOBOBEBMBITBIEBO


 UJEBLNFMBLVLBOLFHJBUBOEJMBQBOHBO

r %BMBNIBMQFSNPIPOBOEJBKVLBOPMFI

TFCFMVNBEBJ[JOEBSJ.FOUFSJ
CBEBOVTBIBBUBVZBZBTBO TFMBJO
QFSTZBSBUBOTFCBHBJNBOBEJNBLTVEQBEB
IVSVGBTBNQBJEFOHBOIVSVGEEJUBNCBI
QFSTZBSBUBO


 BLUBQFOEJSJBOEBOQFSVCBIBOOZB

 QSPmMFCBEBOVTBIBZBZBTBO

 /PNPS1PLPL8BKJC1BKBLEBO

 MBQPSBOLFVBOHBOUFSBLIJSZBOHUFMBI
EJBVEJUPMFIBLVOUBOQVCMJL

 1FSTZBSBUBO5FLOJT


r 3FODBOBLFSKBQFOHHVOBBOLBXBTBO
IVUBOEJMBNQJSJEFOHBOQFUBMPLBTJTLBMB
BUBVTLBMBUFSCFTBSQBEBMPLBTJ
UFSTFCVUEFOHBOJOGPSNBTJMVBTLBXBTBO
IVUBOZBOHEJNPIPO

r *[JOMJOHLVOHBOEBOEPLVNFO".%"-
BUBV6,-61-ZBOHUFMBIEJTBILBOPMFI
JOTUBOTJZBOHCFSXFOBOH VOUVLLFHJBUBO
ZBOHXBKJCNFOZVTVO".%"-BUBV6,-
61-TFTVBJEFOHBOLFUFOUVBOQFSBUVSBO
QFSVOEBOHVOEBOHBO

r 1FSUJNCBOHBOUFLOJT%JSFLUVS+FOEFSBM
ZBOHNFNCJEBOHJ.JOFSBMEBO#BUVCBSB
QBEB,FNFOUFSJBO&OFSHJEBO4VNCFS
%BZB.JOFSBMVOUVLQFSJ[JOBOLFHJBUBO
QFSUBNCBOHBOZBOHEJUFSCJULBOPMFI
HVCFSOVSBUBVCVQBUJXBMJLPUBTFTVBJ
LFXFOBOHBOOZB NFNVBUJOGPSNBTJ
BOUBSBMBJOCBIXBBSFBMZBOHEJNPIPOEJ
EBMBNBUBVEJMVBS861,ZBOHCFSBTBM
EBSJ81/EBOQPMBQFSUBNCBOHBO

r 6OUVLQFSJ[JOBOLFHJBUBOQFSUBNCBOHBO
LPNPEJUBTNJOFSBMKFOJTCBUVBOEFOHBO
MVBTBOQBMJOHCBOZBL TFQVMVI
IFLUBS 
QFSUJNCBOHBOUFLOJTTFCBHBJNBOB
EJNBLTVEQBEBIVSVGE EJCFSJLBOPMFI

92

%VSBTJ
)BSJ

%BTBS)VLVN

/P

+FOJT1FSJ[JOBO
*OTUBOTJ1FOFSCJU

%VSBTJ
)BSJ

1FSTZBSBUBO

%BTBS)VLVN

,FQBMB%JOBT,BCVQBUFO,PUBZBOH
NFNCJEBOHJQFSUBNCBOHBO


r 4VSBUQFSOZBUBBO1JNQJOBO#BEBO6TBIB
CFSNBUFSBJNFNJMJLJUFOBHBUFLOJT
LFIVUBOBOVOUVLQFSNPIPOBOLFHJBUBO
QFSUBNCBOHBOPQFSBTJQSPEVLTJ

r 1FSUJNCBOHBOUFLOJT%JSFLUVS6UBNB
1FSVN1FSIVUBOJ EBMBNIBMQFSNPIPOBO
CFSBEBEBMBNXJMBZBILFSKB1FSVN
1FSIVUBOJ

1SPTFEVS'MPXDIBSU
 .FOUFSJEBMBNKBOHLBXBLUVQBMJOHMBNB
MJNBCFMBT
IBSJLFSKBTFUFMBINFOFSJNB
QFSNPIPOBO NFNFSJOUBILBO%JSFLUVS
+FOEFSBMVOUVLNFMBLVLBOQFOJMBJBO
QFSTZBSBUBOEBOQFOFMBBIBO
 %BMBNIBMIBTJMQFOJMBJBOUJEBLNFNFOVIJ
LFUFOUVBO %JSFLUVSZBOHNFNCJEBOHJ
QFSJ[JOBOQFOHHVOBBOLBXBTBOIVUBOBUBT
OBNB%JSFLUVS+FOEFSBMEBMBNKBOHLBXBLUV
QBMJOHMBNB MJNBCFMBT
IBSJLFSKB 
NFOFSCJULBOTVSBUQFNCFSJUBIVBOEBO
NFOHFNCBMJLBOCFSLBTQFSNPIPOBO
 %BMBNIBMIBTJMQFOJMBJBOQFSTZBSBUBO
BENJOJTUSBTJEBOUFLOJTUFMBINFNFOVIJ
LFUFOUVBO %JSFLUVS+FOEFSBMEBMBNKBOHLB
XBLUVQBMJOHMBNB FNQBUQVMVIMJNB
IBSJ
LFSKBNFMBLVLBOQFOFMBBIBO
 %BMBNNFMBLVLBOQFOFMBBIBO %JSFLUVS
+FOEFSBMEBQBUCFSLPPSEJOBTJEFOHBO


B %JSFLUVS+FOEFSBM#JOB6TBIB,FIVUBOBO 
EBMBNIBMQFSNPIPOBOJ[JOQJOKBNQBLBJ
LBXBTBOIVUBOCFSBEBQBEB,BXBTBO
)VUBO1SPEVLTJBUBV

C %JSFLUVS+FOEFSBM1FSMJOEVOHBO)VUBO
EBO,POTFSWBTJ"MBN EBMBNIBM
QFSNPIPOBOJ[JOQJOKBNQBLBJLBXBTBO
IVUBOCFSBEBQBEB,BXBTBO)VUBO
-JOEVOH

PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

93

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

/P

+FOJT1FSJ[JOBO
*OTUBOTJ1FOFSCJU

1FSTZBSBUBO
 #FSEBTBSLBOIBTJMQFOFMBBIBO


B %JSFLUVS+FOEFSBMBUBTOBNB.FOUFSJ
EBMBNKBOHLBXBLUVQBMJOHMBNB MJNB

IBSJLFSKBNFOFSCJULBOTVSBUQFOPMBLBO 
EBMBNIBMQFSNPIPOBOUJEBLEBQBU
EJQFSUJNCBOHLBO

C .FOUFSJEBMBNKBOHLBXBLUVQBMJOHMBNB
 MJNBCFMBT
IBSJLFSKBNFOFSCJULBO
TVSBUQFSTFUVKVBOQSJOTJQQFOHHVOBBO
LBXBTBOIVUBOTFKBLEJUFSJNBOZBIBTJM
QFOFMBBIBOEBSJ%JSFLUVS+FOEFSBM EBMBN
IBMQFSNPIPOBOEBQBUEJQFSUJNCBOHLBO

 %BMBNIBMUFSEBQBUQFSNPIPOBOQFSVCBIBO
TVSBUEBOBUBVQFUBQFSTFUVKVBOQSJOTJQ
QFOHHVOBBOLBXBTBOIVUBO %JSFLUVS
+FOEFSBMBUBTOBNB.FOUFSJNFOFSCJULBO
QFOPMBLBOBUBVQFSTFUVKVBO
*[JO1JOKBN1BLBJ,BXBTBO)VUBO
1FNFOVIBO,FXBKJCBO
 .FMBLTBOBLBOUBUBCBUBTLBXBTBOIVUBO
ZBOHEJTFUVKVJEBOEJTVQFSWJTJPMFI#BMBJ
1FNBOUBQBO,BXBTBO)VUBO
 .FNCVBUQFSOZBUBBOEBMBNCFOUVLBLUB
OPUBSJJMZBOHNFNVBULFTBOHHVQBO


B .FMBLTBOBLBOSFLMBNBTJEBOSFWFHFUBTJ
QBEBLBXBTBOIVUBOZBOHTVEBIUJEBL
EJQFSHVOBLBOUBOQBNFOVOHHV
TFMFTBJOZBKBOHLBXBLUVJ[JOQJOKBNQBLBJ
LBXBTBOIVUBO

C .FMBLTBOBLBOQFSMJOEVOHBOIVUBOTFTVBJ
EFOHBOLFUFOUVBOQFSBUVSBOQFSVOEBOH
VOEBOHBO

D .FNCFSJLBOLFNVEBIBOCBHJBQBSBU
LFIVUBOBOCBJLQVTBUNBVQVOEBFSBI
QBEBTBBUNFMBLVLBONPOJUPSJOHEBO
FWBMVBTJEJMBQBOHBO

E .FNFOVIJLFXBKJCBOLFVBOHBOTFTVBJ
QFSBUVSBO QFSVOEBOHVOEBOHBO NFMJQVUJ 

94

 .FNCBZBSQFOHHBOUJBOOJMBJUFHBLBO 

%VSBTJ
)BSJ

%BTBS)VLVN

/P

+FOJT1FSJ[JOBO
*OTUBOTJ1FOFSCJU

%VSBTJ
)BSJ

1FSTZBSBUBO

%BTBS)VLVN

1SPWJTJ4VNCFS%BZB)VUBO 14%)
%BOB
3FCPJTBTJ %3

 .FNCBZBS1FOFSJNBBO/FHBSB#VLBO
1BKBL1FOHHVOBBO,BXBTBO)VUBO
EBMBNIBMLPNQFOTBTJCFSVQB
QFNCBZBSBO1FOFSJNBBO/FHBSB
#VLBO1BKBL1FOHHVOBBO,BXBTBO
)VUBOEBONFMBLVLBOQFOBOBNBO
EBMBNSBOHLBSFIBCJMJUBTJEBFSBIBMJSBO
TVOHBJ

 .FNCBZBSHBOUJSVHJOJMBJUFHBLBO
LFQBEBQFNFSJOUBIBQBCJMBBSFBMZBOH
EJNPIPONFSVQBLBOBSFBMSFCPJTBTJ
TFTVBJEFOHBOLFUFOUVBOQFSBUVSBO
QFSVOEBOHVOEBOHBOEBO

 LFXBKJCBOLFVBOHBOMBJOOZBBLJCBU
EJUFSCJULBOOZBJ[JOQJOKBNQBLBJ
LBXBTBOIVUBO TFTVBJEFOHBO
LFUFOUVBOQFSBUVSBO
QFSVOEBOHVOEBOHBO

F .FMBLVLBOQFOBOBNBOEBMBNSBOHLB
SFIBCJMJUBTJEBFSBIBMJSBOTVOHBJEBMBNIBM
LPNQFOTBTJCFSVQBQFNCBZBSBO
1FOFSJNBBO/FHBSB#VLBO1BKBL
1FOHHVOBBO,BXBTBO)VUBO

G .FMBLVLBOQFNCFSEBZBBONBTZBSBLBU
TFLJUBSBSFBMJ[JOQJOKBNQBLBJLBXBTBO
IVUBO

 .FOZBNQBJLBOCBTFMJOFQFOHHVOBBO
LBXBTBOIVUBO VOUVLQFSTFUVKVBOQSJOTJQ
EFOHBOLFXBKJCBOLPNQFOTBTJNFNCBZBS
1FOFSJNBBO/FHBSB#VLBO1BKBL
1FOHHVOBBO,BXBTBO)VUBOEBONFMBLVLBO
QFOBOBNBOEBMBNSBOHLBSFIBCJMJUBTJEBFSBI
BMJSBOTVOHBJ
 .FOZBNQBJLBOSFODBOBSFLMBNBTJEBO
SFWFHFUBTJQBEBLBXBTBOIVUBOZBOH
EJNPIPOJ[JOQJOKBNQBLBJLBXBTBOIVUBO
 .FOZBNQBJLBOQFUBMPLBTJSFODBOB
QFOBOBNBOEBMBNSBOHLBSFIBCJMJUBTJEBFSBI

PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

95

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

/P

+FOJT1FSJ[JOBO
*OTUBOTJ1FOFSCJU

1FSTZBSBUBO
BMJSBOTVOHBJEBMBNIBMLPNQFOTBTJCFSVQB
QFNCBZBSBOEBOB1FOFSJNBBO/FHBSB
#VLBO1BKBLQFOHHVOBBOLBXBTBOIVUBOEBO
QFOBOBNBOEBMBNSBOHLBSFIBCJMJUBTJEBFSBI
BMJSBOTVOHBJ
1SPTFEVS'MPXDIBSU
 #FSEBTBSLBOQFNFOVIBOLFXBKJCBOEBMBN
QFSTFUVKVBOQSJOTJQQFOHHVOBBOLBXBTBO
IVUBOTFCBHBJNBOBEJNBLTVEEBMBN1BTBM
 QFNFHBOHQFSTFUVKVBOQSJOTJQ
QFOHHVOBBOLBXBTBOIVUBONFOHBKVLBO
QFSNPIPOBOJ[JOQJOKBNQBLBJLBXBTBO
IVUBOLFQBEB.FOUFSJ
 .FOUFSJEBMBNKBOHLBXBLUVQBMJOHMBNB
MJNBCFMBT
IBSJLFSKBTFUFMBINFOFSJNB
QFSNPIPOBONFNFSJOUBILBO%JSFLUVS
+FOEFSBMVOUVLNFMBLVLBOQFOJMBJBO
QFNFOVIBOLFXBKJCBO
 %BMBNIBMQFSNPIPOBOCFMVNNFNFOVIJ
TFMVSVILFXBKJCBO %JSFLUVS+FOEFSBMEBMBN
KBOHLBXBLUVQBMJOHMBNB MJNBCFMBT
IBSJ
LFSKB NFOFSCJULBOTVSBUQFNCFSJUBIVBO
LFLVSBOHBOQFNFOVIBOLFXBKJCBO
 %BMBNIBMQFSNPIPOBOUFMBINFNFOVIJ
TFMVSVILFXBKJCBO %JSFLUVS+FOEFSBMEBMBN
KBOHLBXBLUVQBMJOHMBNB UJHBQVMVI
IBSJ
LFSKBNFOZBNQBJLBOVTVMBOQFOFSCJUBOJ[JO
QJOKBNQBLBJLBXBTBOIVUBOCFSJLVUQFUB
MBNQJSBOLFQBEB4FLSFUBSJT+FOEFSBM
 4FLSFUBSJT+FOEFSBMEBMBNKBOHLBXBLUV
QBMJOHMBNB MJNBCFMBT
IBSJLFSKBTFKBL
NFOFSJNBVTVMBOQFOFSCJUBOJ[JOQJOKBN
QBLBJLBXBTBOIVUBONFMBLVLBOUFMBBIBO
IVLVNEBONFOZBNQBJLBOLPOTFQ
,FQVUVTBOJ[JOQJOKBNQBLBJLBXBTBOIVUBO
EBOQFUBMBNQJSBOLFQBEB.FOUFSJ
 .FOUFSJEBMBNKBOHLBXBLUVQBMJOHMBNB
MJNBCFMBT
IBSJLFSKBTFUFMBINFOFSJNB
LPOTFQ NFOFSCJULBO,FQVUVTBOJ[JOQJOKBN

96

%VSBTJ
)BSJ

%BTBS)VLVN

/P

+FOJT1FSJ[JOBO
*OTUBOTJ1FOFSCJU

%VSBTJ
)BSJ

1FSTZBSBUBO

%BTBS)VLVN

QBLBJLBXBTBOIVUBO
 *[JO5FSNJOBM
,IVTVTEBO
4BSBOB#BOUV
/BWJHBTJ

*[JO5FSNJOBM,IVTVT



1FSTZBSBUBO%PLVNFO1FSNPIPOBOJKJO-PLBTJ
 1FSNPIPOBOLFQBEB.FOUFSJNFMBMVJ
%JSFLUVS+FOEFSBM1FSIVCVOHBO-BVU 
QFOJMBJBOQFNFOVIBOQFSTZBSBUBOEBMBN
KBOHLBXBLUVIBSJTFUFMBICFSLBTMFOHLBQ 

 1FSBUVSBO
.FOUFSJ
1FSIVCVOHBO
/PNPS5BIVO

 1FSBUVSBO

1FOFUBQBOPMFINFOUFSJKBOHLBXBLUVIBSJ

.FOUFSJ

TFUFMBIQFSTZBSBUBOMFOHLBQEBO

1FSIVCVOHBO

NFOEBQBULBOSFLPNFOEBTJEBSJ(VCFSOVS

/PNPS5BIVO

EBO#VQBUJ8BMJLPUB



 1FSTZBSBUBOOZBNFODBLVQ


B
 4BMJOBOTVSBUJ[JOhVTBIBQPLPLEBSJ
JOTUBOTJUFSLBJU

C
 -FUBLMPLBTJZBOHEJVTVMLBOEJMFOHLBQJ
EFOHBOLPPSEJOBUHFPHSBmTZBOH
EJHBNCBSLBOEBMBNQFUBMBVU

D
 4UVEJLFMBZBLBOZBOHQBMJOHTFEJLJU
NFNVBU

 SFODBOBWPMVNFCPOHLBSNVBUCBIBO
CBLV QFSBMBUBOQFOVOKBOHEBOIBTJM
QSPEVLTJ

 SFODBOBGSFLVFOTJLVOKVOHBOLBQBM

 BTQFLFLPOPNJZBOHCFSJTJUFOUBOH
FmTJFOTJEJCBOHVOOZBUFSNJOBMLIVTVT
EBOBTQFLMJOHLVOHBOEBO

 IBTJMTVSWFJZBOHNFMJQVUJ
IJESPPDFBOPHSBKJ QBTBOHTVSVU 
HFMPNCBOH LFEBMBNBOEBOBSVT

UPQPHSBKJ UJUJLOPM CFODINBSL
MPLBTJ
QFMBCVIBOZBOHEJOZBUBLBOEBMBN
LPPSEJOBUHFPHSBmT

E
 3FLPNFOEBTJEBSJ4ZBICBOEBS

F
 3FLPNFOEBTJHVCFOVSEBO
CVQBUJXBMJLPUBTFUFNQBU

1FSTZBSBUBO%PLVNFO1FSNPIPOBO*[JO
1FNCBOHVOBO

PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

97

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

/P

+FOJT1FSJ[JOBO
*OTUBOTJ1FOFSCJU

1FSTZBSBUBO
 1FSNPIPOBOLFQBEB%JSFLUVS+FOEFSBM
1FSIVCVOHBO-BVU QFOJMBJBOQFNFOVIBO
QFSTZBSBUBOEBMBNKBOHLBXBLUVIBSJ
TFUFMBICFSLBT1FSNPIPOBOMFOHLBQ
 1FSTZBSBUBO"ENJOJTUSBTJ


B
 "LUBQFOEJSJBOQFSVTBIBBO

C
 *[JOVTBIBQPLPLEBSJJOTUBOTJUFSLBJU

D
 /PNPS1PLPL8BKJC1BKBL /181


E
 #VLUJQFOHVBTBBOUBOBI CVLUJ
QFOHVBTBBOUBOBIZBOHEJUFSCJULBOPMFI
#BEBO1FSUBOBIBO/BTJPOBM


F
 #VLUJLFNBNQVBOmOBOTJBM LFUFSTFEJBBO
BOHHBSBOVOUVLQFNCBOHVOBOGBTJMJUBT
UFSNJOBMLIVTVT


G
 1SPQPTBMSFODBOBUBIBQBOLFHJBUBO
QFNCBOHVOBOKBOHLBQFOEFL KBOHLB
NFOFOHBIEBOKBOHLBQBOKBOHEBO

H
 3FLPNFOEBTJEBSJ4ZBICBOEBSQBEB
,BOUPS6OJU

 1FSTZBSBUBO5FLOJT


B
 HBNCBSIJESPHSBm UPQPHSBm EBO
SJOHLBTBOMBQPSBOIBTJMTVSWFJNFOHFOBJ
QBTBOHTVSVUEBOBSVT

C
 UBUBMFUBLEFSNBHB

D
 QFSIJUVOHBOEBOHBNCBSLPOTUSVLTJ
CBOHVOBOQPLPL

E
 IBTJMTVSWFJLPOEJTJUBOBI

F
 IBTJMLBKJBOLFTFMBNBUBOQFMBZBSBO
UFSNBTVLBMVSQFMBZBSBOEBOLPMBN
QFMBCVIBO

G
 CBUBTCBUBTSFODBOBXJMBZBIEBSBUBOEBO
QFSBJSBOEJMFOHLBQJUJUJLLPPSEJOBU
HFPHSBmTTFSUBSFODBOBJOEVLUFSNJOBM
LIVTVTZBOHBLBOEJUFUBQLBOTFCBHBJ
EBFSBIMJOHLVOHBOLFSKBEBOEBFSBI
MJOHLVOHBOLFQFOUJOHBOUFSUFOUVEBO

H
 LBKJBOMJOHLVOHBOCFSVQBTUVEJ MJOHLVOHBO
ZBOHUFMBIEJTBILBOPMFIQFKBCBUZBOH
CFSXFOBOHTFTVBJEFOHBOLFUFOUVBO
QFSBUVSBOQFSVOEBOHVOEBOHBOEJ

98

%VSBTJ
)BSJ

%BTBS)VLVN

/P

+FOJT1FSJ[JOBO
*OTUBOTJ1FOFSCJU

%VSBTJ
)BSJ

1FSTZBSBUBO

%BTBS)VLVN

CJEBOHMJOHLVOHBOIJEVQ
1FSTZBSBUBO1FSNPIPOBO*[JO1FOHPQFSBTJBO
+BOHLB8BLUV5BIVO

 1FSNPIPOBOLFQBEB.FOUFSJNFMBMVJ
%JSFLUVS+FOEFSBM1FSIVCVOHBO-BVU 
QFOJMBJBOQFNFOVIBOQFSTZBSBUBOEBMBN
KBOHLBXBLUVIBSJTFUFMBICFSLBTMFOHLBQ 
1FOFUBQBOPMFINFOUFSJKBOHLBXBLUVIBSJ
TFUFMBIQFSTZBSBUBOMFOHLBQ
 1FSTZBSBUBO


B
 3FLPNFOEBTJEBSJ,FQBMB,BOUPS6OJU
1FOZFMFOHHBSB1FMBCVIBOUFSEFLBUZBOH
TFLVSBOHLVSBOHOZBNFNVBU

 LFUFSBOHBOCBIXBQFNCBOHVOBO
UFSNJOBMLIVTVTUFMBITFMFTBJ
EJMBLTBOBLBOTFTVBJEFOHBOJ[JO
QFNCBOHVOBOZBOHEJCFSJLBOPMFI
%JSFLUVS+FOEFSBMEBOTJBQVOUVL
EJPQFSBTJLBO

 IBTJMQFNCBOHVOBOUFSNJOBMLIVTVT
UFMBINFNFOVIJBTQFLLFBNBOBO 
LFUFSUJCBO EBOLFTFMBNBUBO
QFMBZBSBOEBO

 QFSUJNCBOHBOEBSJ%JTUSJL/BWJHBTJ
TFUFNQBUNFOHFOBJLFTJBQBOBMVS
QFMBZBSBOEBO4BSBOB#BOUV/BWJHBTJ
1FMBZBSBO

C
 -BQPSBOQFOHFMPMBBOEBOQFNBOUBVBO
MJOHLVOHBOTFMBNBNBTBQFNCBOHVOBO

D
 .FNJMJLJTJTUFNEBOQSPTFEVSQFMBZBOBO
EBOUFSTFEJBOZBTVNCFSEBZBNBOVTJBEJ
CJEBOHUFLOJTQFOHPQFSBTJBOQFMBCVIBO
ZBOHNFNJMJLJLVBMJmLBTJEBOLPNQFUFOTJ
ZBOHEJCVLUJLBOEFOHBOTFSUJmLBU

1FSTZBSBUBO1FOFUBQBOUFSNJOBMLIVTVTZBOH
UFSCVLBCBHJQFSEBHBOHBOMVBSOFHFSJ
 1FSNPIPOBOLFQBEB.FOUFSJNFMBMVJ
%JSFLUVS+FOEFSBM1FSIVCVOHBO-BVU 

PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

99

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

/P

+FOJT1FSJ[JOBO
*OTUBOTJ1FOFSCJU

1FSTZBSBUBO
QFOJMBJBOQFNFOVIBOQFSTZBSBUBOEBMBNKBOHLB
XBLUVIBSJTFUFMBICFSLBTMFOHLBQ 
1FOFUBQBOPMFINFOUFSJKBOHLBXBLUVIBSJ
TFUFMBIQFSTZBSBUBO
 "TQFLBENJOJTUSBTJ


B
 SFLPNFOEBTJEBSJHVCFSOVS 
CVQBUJXBMJLPUBEBO

C
 SFLPNFOEBTJEBSJQFKBCBUQFNFHBOH
GVOHTJLFTFMBNBUBOQFMBZBSBOEJ
QFMBCVIBO

 "TQFLFLPOPNJ


B
 .FOVOKBOHJOEVTUSJUFSUFOUV

C
 "SVTCBSBOHNJOJNBMUPO+UBIVO

D
 "SVTCBSBOHFLTQPSNJOJNBMUPO
UBIVO

 "TQFLLFTFMBNBUBOEBOLFBNBOBO QFMBZBSBO 




B
 ,FEBMBNBOQFSBJSBONJOJNBMNFUFS-
84

C
 -VBTLPMBNDVLVQVOUVLPMBIHFSBL
NJOJNBM UJHB
VOJULBQBM

D
 4BSBOB#BOUV/BWJHBTJ1FMBZBSBO

E
 4UBTJVOSBEJPPQFSBTJQBOUBJ

F
 1SBTBSBOB TBSBOBEBOTVNCFSEBZB
NBOVTJBQBOEVCBHJUFSNJOBMLIVTVTZBOH
QFSBJSBOOZBUFMBIEJUFUBQLBOTFCBHBJ
QFSBJSBOXBKJCQBOEVEBO

G
 ,BQBMQBUSPMJBQBCJMBEJCVUVILBO

 "TQFLUFLOJTGBTJMJUBTLFQFMBCVIBOBO


B
 EFSNBHBCFUPOQFSNBOFONJOJNBMM TBUV

UBNCBUBO

C
 HVEBOHUFSUVUVQ

D
 QFSBMBUBOCPOHLBSNVBU

E
 1., TBUV
VOJU

F
 GBTJMJUBTCVOLFS EBO

G
 GBTJMJUBTQFODFHBIBOQFODFNBSBO

H
 'BTJMJUBTLBOUPSEBOQFSBMBUBOQFOVOKBOH
CBHJJOTUBOTJQFNFHBOHGVOHTJ
LFTFMBNBUBOEBOLFBNBOBO
QFMBZBSBO JOTUBOTJCFBDVLBJ JNJHSBTJ EBO
LBSBOUJOBEBO+FOJTLPNPEJUBTLIVTVT

100

%VSBTJ
)BSJ

%BTBS)VLVN

/P

+FOJT1FSJ[JOBO
*OTUBOTJ1FOFSCJU

%VSBTJ
)BSJ

1FSTZBSBUBO

%BTBS)VLVN

*[JO6OUVL,FQFOUJOHBO4FOEJSJ

 #VLUJLFSKBTBNBEFOHBOQFOZFMFOHHBSB
QFMBCVIBO
 %BUBQFSVTBIBBOZBOHNFMJQVUJBLUB
QFSVTBIBBO /PNPS1PLPL8BKJC1BKBL EBO
J[JOVTBIBQPLPL
 (BNCBSUBUBMFUBLMPLBTJUFSNJOBMVOUVL
LFQFOUJOHBOTFOEJSJEFOHBOTLBMBZBOH
NFNBEBJ HBNCBSLPOTUSVLTJEFSNBHB EBO
LPPSEJOBUHFPHSBmTMFUBLUFSNJOBMVOUVL
LFQFOUJOHBOTFOEJSJ
 #VLUJQFOHVBTBBOUBOBI
 1SPQPTBMUFSNJOBMVOUVLLFQFOUJOHBOTFOEJSJ
 3FLPNFOEBTJEBSJ4ZBICBOEBSQBEB
QFMBCVIBOTFUFNQBU
 #FSJUBBDBSBIBTJMQFOJOKBVBOMPLBTJPMFIUJN
UFLOJTUFSQBEVEBO
 4UVEJMJOHLVOHBOZBOHUFMBIEJTBILBOPMFI
QFKBCBUZBOHCFSXFOBOHTFTVBJEFOHBO
LFUFOUVBOQFSBUVSBOQFSVOEBOHVOEBOHBO
*[JO4BSBOB#BOUV/BWJHBTJ

 1FSNPIPOBO*[JOQFOHBEBBO4BSBOB#BOUV
/BWJHBTJ1FMBZBSBOPMFICBEBOVTBIBVOUVL
LFQFOUJOHBOUFSUFOUVEBOQBEBMPLBTJ
UFSUFOUVEJCFSJLBOPMFI%JSFLUVS+FOEFSBM
QBMJOHMBNCBUIBSJLFSKBTFKBLTVSWFZ
TFMFTBJEJMBLVLBOPMFIUJNUFLOJT

 "ENJOJTUSBTJ


B
 BLUFQFOEJSJBOQFSVTBIBBO

C
 OPNPSQPLPLXBKJCQBKBL

D
 J[JOVTBIBQPLPLEBSJJOTUBOTJZBOH
CFSXFOBOH

E
 CVLUJQFOHVBTBBOUBOBI

F
 QFOFUBQBOMPLBTJUFSNJOBMLIVTVTCBHJ
TBSBOBCBOUVOBWJHBTJQFMBZBSBOVOUVL
EJUFNQBULBOEJUFSNJOBMLIVTVT

G
 J[JOQFOHFSVLBOVOUVLLFHJBUBO
QFOHFSVLBO

PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

101

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

/P

+FOJT1FSJ[JOBO
*OTUBOTJ1FOFSCJU

1FSTZBSBUBO


H


%VSBTJ
)BSJ

%BTBS)VLVN

J[JOQFLFSKBBOCBXBIBJS

TBMWBHF
EBO


I
 SFLPNFOEBTJEBSJEJTUSJLOBWJHBTJ
TFUFNQBUUFSLBJUBTQFLUFLOJT

 5FLOJT


B
 QFUBZBOHNFOHHBNCBSLBOCBUBTCBUBT
XJMBZBIEBSBUBOEBOQFSBJSBOEJMFOHLBQJ
UJUJLUJUJLLPPSEJOBUHFPHSBmT

C
 QFUBMBVUZBOHNFOHHBNCBSLBOUJUJL
LPPSEJOBUMPLBTJZBOHBLBOEJCBOHVO

D
 QFUBCBUJNFUSJLZBOHEJQFSVOUVLLBOVOUVL
NFOHFUBIVJLPOEJTJLFEBMBNBOEBO
LPOEJTJEBTBSMBVUMPLBTJZBOHBLBO
EJCBOHVO

E
 IBTJMTVSWFJIJESPHSBm LPOEJTJQBTBOH
TVSVUEBOLFLVBUBOBSVT

F
 EJNFOTJLBQBMZBOHBLBOLFMVBSEBO
NBTVLQBEBBMVSQFMBZBSBO

G
 QPTJTJLPPSEJOBUEBOHBNCBSBOUBUBMFUBL
EFSNBHBCFTFSUBGBTJMJUBTOZBEBO

H
 SFODBOBJOEVLQFMBCVIBOCBHJLFHJBUBO
ZBOHCFSBEBEJEBMBN%BFSBI-JOHLVOHBO
,FSKBEBO%BFSBI-JOHLVOHBO

 *[JO1FOHHVOBBO
4VNCFSEBZB"JS
EBO*[JO
,POTUSVLTJ
4VNCFS"JS

 *[JO1FOHHVOBBO4VNCFSEBZB"JS


r 4VSBU1FSNPIPOBO*[JO1FOHHVOBBO
4VNCFSEBZB"JS

r (BNCBSMPLBTJQFUBTJUVBTJ EJTFSUBJUJUJL
LPPSEJOBUQFOHBNCJMBO


r (BNCBS%FTBJOCBOHVOBOQFOHBNCJMBO
EBOQFNCVBOHBOBJS

r 4QFTJmLBTJ5FLOJTCBOHVOBOQFOHBNCJMBO
BJS

r 1SPQPTBMUFLOJTQFOKFMBTBOQFOHHVOBBO
BJS

r 4VSBU,FQVUVTBO3FLPNFOEBTJ".%"-
6,-61-441-

r 3FLBQJUVMBTJWPMVNFQFOHBNCJMBOBJS
TBUV
UBIVOUFSBLIJS

102

r #VLUJTFUPSQFNCBZBSBOQBKBLBJS



1FSBUVSBO.FOUFSJ
1FLFSKBBO6NVN
EBO1FSVNBIBO
3BLZBU/P
.UFOUBOH
*[JO1FOHHVOBBO"JS
EBOBUBV4VNCFS
"JS

/P

+FOJT1FSJ[JOBO
*OTUBOTJ1FOFSCJU

%VSBTJ
)BSJ

1FSTZBSBUBO

%BTBS)VLVN

QFSNVLBBO TBUV
UBIVOUFSBLIJS

r #VLUJTFUPSQFNCBZBSBOCJBZBKBTB
QFOHFMPMBBOTVNCFSEBZBBJS TBUV

UBIVOUFSBLIJS

r -BQPSBOQFNBOUBVBOEBOQFOHFMPMBBO
MJOHLVOHBO

r #FSJUB"DBSB1FSUFNVBO,POTVMUBTJ
.BTZBSBLBU 1,.

r 'PUPLPQJLBSUVUBOEBQFOEVEVL GPUPLPQJ
BLUBQFOEJSJBOQFSVTBIBBOBUBVTVSBU
LFUFSBOHBOLFCFSBEBBOLFMPNQPLEBSJ
LFQBMBEFTBBUBVMVSBI

r *[JOMJOHLVOHBOEBOQFSTFUVKVBOBOBMJTJT
NFOHFOBJEBNQBLMJOHLVOHBOBUBVJ[JO
MJOHLVOHBOEBOSFLPNFOEBTJVQBZB
QFOHFMPMBBOMJOHLVOHBOIJEVQVQBZB
QFNBOUBVBOMJOHLVOHBOIJEVQBUBVTVSBU
QFSOZBUBBOLFTBOHHVQBOQFOHFMPMBBO
EBOQFNBOUBVBOMJOHLVOHBOIJEVQEBSJ
JOTUBOTJZBOHCFSXFOBOH

 *[JO1FMBLTBOBBO,POTUSVLTJQBEB4VNCFS "JS




r 4VSBU1FSNPIPOBO*[JO,POTUSVLTJQBEB
4VNCFS"JS

r (BNCBSMPLBTJBUBVQFUBTJUVBTJEJTFSUBJ
EFOHBOUJUJLLPPSEJOBUMPLBTJBUBVKBMVS
LPOTUSVLTJ

r (BNCBSEFTBJO

r 4QFTJmLBTJUFLOJT

r +BEXBMEBONFUPEFQFMBLTBOBBO

r .BOVBMPQFSBTJEBOQFNFMJIBSBBO

r #VLUJLFQFNJMJLBOMBIBO

r *[JOMJOHLVOHBOEBOQFSTFUVKVBOBOBMJTJT
NFOHFOBJEBNQBLMJOHLVOHBOBUBVJ[JO
MJOHLVOHBOEBOSFLPNFOEBTJVQBZB
QFOHFMPMBBOMJOHLVOHBOIJEVQVQBZB
QFNBOUBVBOMJOHLVOHBOIJEVQBUBVTVSBU
QFSOZBUBBOLFTBOHHVQBOQFOHFMPMBBO
EBOQFNBOUBVBOMJOHLVOHBOIJEVQEBSJ
JOTUBOTJZBOHCFSXFOBOH

PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

103

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

/P

+FOJT1FSJ[JOBO
*OTUBOTJ1FOFSCJU

1FSTZBSBUBO


r

%VSBTJ
)BSJ

%BTBS)VLVN

#FSJUBBDBSBIBTJMQFSUFNVBO

LPOTVMUBTJNBTZBSBLBU


r 'PUPLPQJLBSUVUBOEBQFOEVEVL LFQBMB
LFMVBSHBBUBVLFUVBLFMPNQPLBUBV
GPUPLPQJBLUBQFOEJSJBOQFSVTBIBBOBUBV
TVSBULFUFSBOHBOLFCFSBEBBOLFMPNQPL
EBSJLFQBMBEFTBBUBVMVSBI

 *[JO6TBIB
1FOZFEJBBO
5FOBHB-JTUSJL
5FUBQ

 1FSTZBSBUBO"ENJOJTUSBUJG

  *EFOUJUBT1FNPIPO


 1SPmMQFNPIPO

 /181

 1FOHFTBIBOTFCBHBJCBEBOIVLVN

 ,FNBNQVBOQFOEBOBBO

 1FSTZBSBUBO5FLOJT

  4UVEJLFMBZBLBO6TBIB1FOZFEJBBO
5FOBHB-JTUSJL


 -PLBTJJOTUBMBTJLFDVBMJVOUVLVTBIB
QFOKVBMBOUFOBHBMJTUSJL

 *[JOMPLBTJEBSJJOTUBOTJZBOHCFSXFOBOH
LFDVBMJVOUVLVTBIBQFOKVBMBOUFOBHB

 MJTUSJL

 %JBHSBNTBUVHBSJT

 +FOJTEBOLBQBTJUBTVTBIBZBOHBLBO
EJMBLVLBO

 +BEXBMQFNCBOHVOBOEBOQFOHPQFSBTJBO

 1FSTFUVKVBOIBSHBKVBMUFOBHBMJTUSJLBUBV
TFXBKBSJOHBOUFOBHBMJTUSJL EBMBNIBM
QFSNPIPOBO*[JO6TBIB1FOZFEJBBO

 5FOBHB-JTUSJLEJBKVLBOVOUVLVTBIB
QFNCBOHLJUBOUFOBHBMJTUSJL VTBIB
USBOTNJTJUFOBHBMJTUSJL BUBVVTBIB
EJTUSJCVTJUFOBHBMJTUSJL

 ,FTFQBLBUBOKVBMCFMJUFOBHBMJTUSJL

 1FSTZBSBUBO-JOHLVOHBO


 %PLVNFO".%"-"/%"--"-*/

 1FSBUVSBO
1FNFSJOUBI/P
5BIVO
UFOUBOH6TBIB
1FOZFEJBBO
5FOBHB-JTUSJLKP
11/P5BIVO

 1FSBUVSBO
.FOUFSJ&4%.
/P5BIVO
UFOUBOH
5BUB$BSB
1FSJ[JOBO6TBIB
,FUFOBHBMJTUSJLBO
 1FSBUVSBO
.FOUFSJ&4%.
/P5BIVO
KP
1FSBUVSBO
.FOUFSJ&4%.
/P5BIVO
UFOUBOH
1FNCFMJBO
5FOBHB-JTUSJL
EBSJ1FNCBOHLJU
-JTUSJL5FOBHB"JS
PMFI15
1FSVTBIBBO
-JTUSJL/FHBSB
1FSTFSP

104

/P

+FOJT1FSJ[JOBO
*OTUBOTJ1FOFSCJU

 4FSUJmLBU-BJL
0QFSBTJ
,FNFOUFSJBO

%VSBTJ
)BSJ

1FSTZBSBUBO
 1FSTZBSBUBO"ENJOJTUSBUJG
 *EFOUJUBT1FNPIPO

 *[JO6TBIB1FOZFEJBBO5-*[JO0QFSBTJ

-FNCBHB

 -PLBTJJOTUBMBTJ

*OTQLFTJ5FLOJT

 1FSTZBSBUBO5FLOJT

5FSBLSFEJUBTJ

 66/PNPS
5BIVO

&4%.



%BTBS)VLVN

UFOUBOH
,FUFOBHBMJTUSJLBO

 11/PNPS
5BIVO

 +FOJTEBOLBQBTJUBTJOTUBMBTJ

UFOUBOH6TBIB

 (BNCBSJOTUBMBTJEBOUBUBMFUBL

1FOZFEJBBO

 %JBHSBNTBUVHBSJT

5FOBHB-JTUSJL

 4QFTJmLBTJQFSBMBUBOVUBNB

 4QFTJmLBTJUFLOJLEBOTUBOEBSZBOH

 1FSBUVSBO
.FOUFSJ&4%.

EJHVOBLBO

/PNPS5BIVO
UFOUBOH
5BUB$BSB
"LSFEJUBTJEBO
4FSUJmLBTJ
,FUFOBHBMJTUSJLBO

 *[JO1BOBT#VNJ
1541#,1.

 1FSTZBSBUBO

  "LUB1FOEJSJBO#BEBO6TBIBCBSV BQBCJMB
QFNFOBOHQFMFMBOHBOCFSCFOUVL
LPOTPSTJVN

 66/P5BIVO
UFOUBOH
1BOBT#VNJ
 11/P5BIVO

 #VLUJQFNCBZBSBOIBSHBEBTBSEBUB

KP

8JMBZBI,FSKBBUBVCPOVTTFCBHBJ1/#1

5BIVO

EBOBUBV#VLUJQFNCBZBSBOLPNQFOTBTJ

UFOUBOH

EBUB BXBSEFEDPNQFOTBUJPO
LFQBEB

,FHJBUBO6TBIB

#BEBO6TBIBZBOHNFMBLVLBO141EBO

1BOBT#VNJ

UJEBLNFOKBEJQFNFOBOHQFMFMBOHBO
 1SPTFEVS

  6TVMBO1FSJOHLBU$BMPO1FNFOBOH
1FMFMBOHBOPMFI1BOJUJBEJTBNQBJLBO
LFQBEB.FOUFSJQBMJOHMBNBIBSJLFSKB
TFKBLUBOHHBMQSPTFTMFMBOHTFMFTBJ


 1FOFUBQBOQFNFOBOHQFMFMBOHBOPMFI
.FOUFSJEBMBNKBOHLBXBLUVQBMJOHMBNB

 1FSNFO&4%.
/P5BIVO
UFOUBOH
1FEPNBO
1FOZFMFOHHBSBB
O,FHJBUBO
6TBIB1BOBT
#VNJ

IBSJLFSKBTFKBLVTVMBODBMPOQFNFOBOH
QFMFMBOHBOEJUFSJNB

PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

105

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

/P

+FOJT1FSJ[JOBO
*OTUBOTJ1FOFSCJU

1FSTZBSBUBO


%VSBTJ
)BSJ

%BTBS)VLVN

 1FNFOBOH-FMBOHEBMBNKBOHLBXBLUV
QBMJOHMBNBIBSJLFSKBTFKBLEJUFUBQLBO
TFCBHBJQFNFOBOHQFMFMBOHBOXBKJC
NFNFOVIJLFXBKJCBOOZB

 3FODBOB*NQPS

 #BEBOVTBIBQFNFHBOH*6,6NFOHBKVLBO

1FSBUVSBO.FOUFSJ

#BSBOH1541

QFSNPIPOBOTFDBSBUFSUVMJTZBOHEJCVCVIJ

,FVBOHBO

#,1.

NFUFSBJDVLVQLFQBEB%JSFLUVS+FOEFSBM

/PNPS1.,

,FUFOBHBMJTUSJLBODR%JSFLUVS5FLOJLEBO

ZBOHUFMBI

-JOHLVOHBO,FUFOBHBMJTUSJLBOEFOHBOTVSBU

EJVCBIEFOHBO

QFOHBKVBOTVSWFZPSZBOHEJUVOKVLVOUVL

/PNPS

EJCFSJLBOQFOHVHBTBONFMBLVLBOWFSJmLBTJ

1.,

3*# EFOHBONFNFOVIJQFSTZBSBUBOB

EBO/PNPS

ENJOJTUSBTJEBOUFLOJT

1.,

 4VSBU1FSNPIPOBOEBO1FOHBKVBO4VSWFZPS

NFNCFSJLBOGBTJMJUBT

EJUBOEBUBOHBOJPMFIQJNQJOBOCBEBOVTBIB

QFNCFCBTBOCFB

UFSEBQBUEBMBNBLUB
EJCFSJOPNPSEBO

NBTVLBUBTJNQPS

UBOHHBM

CBSBOHNPEBM

 1FSTZBSBUBO"ENJOJTUSBTJ

QFNCBOHVOBO

r 'PUPLPQJ"LUB1FOEJSJBO#BEBO6TBIB

QFNCBOHLJUUFOBHB

r 'PUPLPQJ*6,6*615- *6,6*615-

MJTUSJLVOUVL

4FNFOUBSBUJEBLEJQFSLFOBOLBO



r 'PUPLPQJ/181

r 'PUPLPQJ1FSKBOKJBO+VBM#FMJ5FOBHB
-JTUSJL 11"
1FSKBOKJBO4FXB(VOB6TBIB
'-"
EFOHBO151-/1FSTFSPBUBV
'PUPLPQJ11"EFOHBOQFNFHBOH*6,6
ZBOHNFNJMJLJEBFSBIVTBIB

r +BEXBMQFNCBOHVOBOEBOQFNBTBOHBO
QFSBMBUBOQFNCBOHLJUUFOBHBMJTUSJL

r %BGUBS3*#

 1FSTZBSBUBO5FLOJT


r ,FTFTVBJBO3*#EFOHBOLPOUSBL KFOT 
TQFTJmLBTJEBOKVNMBICBSBOH


r #BSBOHJNQPSEJEBMBNLPOUSBLKVBMCFMJ
TFXBHVOBVTBIBUJEBLUFSNBTVLCFB
NBTVL

r #BSBOHJNQPSUJEBLUFSNBTVLEBMBNEBGUBS
CBSBOHZBOHUJEBLCPMFIEJJNQPS

106



r #BSBOHCFMVNEJQSPEVLTJEJEBMBNOFHFSJ

LFQFOUJOHBOVNVN

/P

+FOJT1FSJ[JOBO
*OTUBOTJ1FOFSCJU

%VSBTJ
)BSJ

1FSTZBSBUBO


%BTBS)VLVN

r #BSBOHTVEBIEJQSPEVLTJEJEBMBNOFHFSJ
OBNVOUJEBLNFNFOVIJTQFTJmLBTJZBOH
EJCVUVILBO

r #BSBOHTVEBIEJQSPEVLTJEJEBMBNOFHFSJ
UFUBQJUJEBLNFODVLVQJLFCVUVIBO
JOEVTUSJ

r #BSBOHZBOHEJJNQPSCVLBOTVLVDBEBOH 
CBSBOHIBCJTQBLBJEBOQFSBMBUBOCFOHLFM
WORKSHOPTOOL


Tabel 31
Identifikasi berbagai perizinan / non perizinan terkait investasi sektor ketenagalistrikan

PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

107

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

4.4
SKEMA PERIZINAN INVESTASI
SEKTOR KETENAGALISTRIKAN
Dari hasil identifikasi, digambarkan skema runtut
waktu, pada masing-masing jenis pembangkit,
khususnya pada IPP, sebagai berikut:

,POUSBLUPS&1$
%NGINEERING0ROCUREMENT
#ONSTRUCTION

0EMBANGKIT-ILIK040,.

151-/
1&34&30

1FNCBOHLJU-JTUSJL*11
)NDEPENDENT0OWER
0RODUCERS

1FNCBOHLJU-JTUSJL5FOBHB"JS
1-5"

*1&/%*3*"/
#"%"/
)6,6.

1FNCBOHLJU-JTUSJL5FOBHB6BQ
1-56
#BUVCBSB
.VMVU5BNCBOH
1FNCBOHLJU-JTUSJL5FOBHB(BT
.JOJ(BT(BT6BQ 1-5(
1-5(61-5.(

**4,&."
1&3*;*/"/
*/7&45"4*
4&,503
,&5&/"("
-*453*,"/


1FNCBOHLJU-JTUSJL5FOBHB
1BOBT#VNJ 1-51

1FNCBOHLJU4FOEJSJ
#APTIVE0OWER

-BJOOZB
*OTUBOTJ1FOFSCJU1FSJ[JOBO/PO1FSJ[JOBO

,FMPNQPL

1FMBZBOBO5FSQBEV4BUV1JOUV
1541
#,1.

#BEBO,PPSEJOBTJ
1FOBOBNBO.PEBM

"



*[JO1SJOTJQ

*[JO1SJOTJQ1FOBOBNBO.PEBM
1."1.%/

3FLPNFOEBTJ5FLOJT3FODBOB
1FOHHVOBBO5FOBHB,FSKB
"TJOH 315,"
EBO*[JO
.FOHHVOBLBO5FOBHB,FSKB
"TJOH *.5"










*[JO6TBIB1FOZFEJBBO
5FOBHB-JTUSJL4FNFOUBSB
*615-4




*[JO6TBIB1FOZFEJBBO
5FOBHB-JTUSJL4FNFOUBSB
*615-4

*[JO1JOKBN1BLBJ,BXBTBO
)VUBO *11,)

*[JO1BOBT#VNJLIVTVT1-51

$

*[JO6TBIB1FOZFEJBBO
5FOBHB-JTUSJL5FUBQ
*615-



*[JO6TBIB1FOZFEJBBO
5FOBHB-JTUSJL
*615-

GBTJMJUBT1FNCFCBTBO#FB
.BTVL

Gambar 20
Skema umum perizinan investasi sektor ketenagalistrikan

108

/PO1541













1FOEBGUBSBO/BNB1FSTFSPBO
"LUB1FOEJSJ1FSTFSPBO
*[JO)0EBO4VSBU,FUFSBOHBO
%PNJTJMJ1FSVTBIBBO 4,%1

1FOHFTBIBO"LUF1FOEJSJBO
4*61
5%1

1FOFUBQBO)BL(VOB
#BOHVOBO )(#
EBO)BL
1BLBJ )1

".%"-5FSJOUFHSBTJ "/%"-
-BMV-JOUBTEBO*[JO-JOHLVOHBO
*[JO5FSNJOBM,IVTVTEBO
4BSBOB/BWJHBTJ
*[JO1FOHHVOBBO4VNCFS%BZB
"JSEBO,POTUSVLTJ4VNCFS"JS
*[JO#FOEVOHBO
,IVTVT1-5"

4FSUJmLBU-BJL0QFSBTJ 4-0

*[JO.FOEJSJLBO#BOHVOBO
3FODBOB*NQPS#BSBOH 3*#

*[JO1FNCVBOHBO-JNCBI$BJS
*[JO1FNBOGBBUBO"JS5BOBI
#1+4
%BO-BJO-BJO

Gambar 21
Skema Perizinan untuk PLTA oleh IPP

Gambar 22
Skema Perizinan untuk PLTU Mulut Tambang / Batubara oleh IPP

PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

109

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

Gambar 23
Skema Perizinan untuk PLTG / PLTGU / PLTMG oleh IPP

Gambar 24
Skema Perizinan untuk PLTP oleh IPP

110

PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

111

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

INSENTIF INVESTASI SEKTOR


KETENAGALISTRIKAN
Dalam rangka mendukung investasi yang
menggunakan fasilitas penanaman modal
(termasuk pembangunan listrik 35.000 MW),
pemerintah telah menerbitkan kebijakan insentif
fiskal melalui fasilitas keringanan perpajakan dan
pengeluaran biaya.

112

Fasilitas keringanan perpajakan berupa :


Fasilitas Pembebasan Bea Masuk;
Tax Holiday dan Tax Allowance;
Fasilitas PPN.
Sedangkan terkait dukungan/jaminan pemerintah
diberikan fasilitas pembiayaan melalui skema
Proyek Kerjasama Pemerintah-Swasta (KPS), yang
saat ini dikenal sebagai Kerjasama PemerintahBadan Usaha (KPBU).
Secara umum kerangka fasilitas fiskal disajikan
pada gambar 25.
1. Fasilitas PPN
Pembebasan Pengenaan PPN diatur dalam
PP Nomor 31 Tahun 2007 tentang Perubahan
Keempat atas PP Nomor 12 Tahun 2001
Tentang Impor dan/atau Penyerahan Barang
Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis
yang dibebaskan dari Pengenaan PPN.
PP Nomor 31 Tahun 2007 Pasal 1 ayat (1)
huruf (a) menetapkan bahwa yang termasuk
pembebasan dari pengenaan PPN adalah
atas penyerahan barang modal berupa
mesin dan peralatan pabrik, baik dalam
keadaan terpasang maupun terlepas, tidak
termasuk suku cadang.
Ketentuan lebih lanjut Pembebasan PPN
diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 142/PMK.010/2015 tentang
Perubahan Keempat atas Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 231/KMK.03/2001
Tentang Perlakuan Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah atas Impor Barang Kena Pajak yang
Dibebaskan dari Pungutan Bea Masuk.
Dalam diktum pertimbangan disebutkan
bahwa dalam rangka mendorong
pengembangan energi panas bumi nasional,
perlu memberikan fasilitas tidak dipungut
Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah atas impor barang untuk
PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

113

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

'BTJMJUBT11)4AX(OLIDAY 4AXLLOWANCE

1FSQBKBLBO

'BTJMJUBT11/
'BTJMJUBT1FNCFCBTBO#FB.BTVL

'BTJMJUBT'JTLBMVOUVL
*OWFTUBTJ1FNCBOHLJU
5FOBHB-JTUSJL
%VLVOHBOEBO+BNJOBO
1FNFSJOUBI%BMBN
3BOHLB,14

1SPZFL,FSKBTBNB1FNFSJOUBITXBTUB

Gambar 25
Skema Fasilitas Fiskal Mendukung Pembangunan Proyek Ketenagalistrikan 35 000 MW
kegiatan usaha eksploitasi hulu panas bumi.
Pasal 2 ayat (3) huruf (m) menetapkan
bahwa Barang Kena Pajak yang dibebaskan
dari pungutan Bea Masuk adalah barang
yang dipergunakan untuk kegiatan usaha
eksplorasi dan eksploitasi hulu minyak dan
gas bumi serta eksplorasi dan eksploitasi
panas bumi.
2. Fasilitas Tax Allowance
Pemerintah telah menerbitkan PP Nomor
18 Tahun 2015 Fasilitas Pajak Penghasilan
Untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang
Usaha Tertentu dan/atau di DaerahDaerah Tertentu. PP itu adalah pengaturan
kembali ketentuan mengenai fasilitas Pajak
Penghasilan untuk penanaman modal di
bidang-bidang usaha tertentu dan/atau
di daerah-daerah tertentu sebagaimana
telah diatur dalam PP Nomor 1 Tahun
2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan
untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang
Bidang Usaha

KBLI

Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah


Tertentu sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan PP Nomor 52 Tahun
2011 tentang Perubahan Kedua atas PP
No 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak
Penghasilan untuk Penanaman Modal di
Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di
Daerah-daerah Tertentu.
Penerbitan PP Nomor 18 Tahun 2015
dimaksud untuk lebih meningkatkan kegiatan
investasi langsung guna mendorong
pertumbuhan ekonomi, serta untuk
pemerataan pembangunan dan percepatan
pembangunan bagi bidang-bidang usaha
tertentu dan/atau di daerah-daerah
tertentu. Bidang-bidang Usaha Tertentu
adalah bidang usaha di sektor kegiatan
ekonomi yang mendapat prioritas tinggi
dalam skala nasional. Sedangkan Daerahdaerah Tertentu adalah daerah yang secara
ekonomis mempunyai potensi yang layak
dikembangkan.

Cakupan Produk

Pengusahaan Tenaga
Panas Bumi

06202

Pengubahan tenaga panas bumi menjadi tenaga listrik

Pembangkitan Tenaga
Listrik

35101

Pengubahan tenaga energi baru (hidrogen, CBM, batubara tercairkan atau


batubara tergaskan) dan energi terbarukan (tenaga air dan terjunan air; tenaga
surya, angin atau arus laut) menjadi tenaga listrik

Tabel 32
Bidang Usaha Tertentu Dan Daerah Tertentu Yang Mendapat Fasilitas Tax Allowance

114

Fasilitas Pajak Penghasilan berupa:


Pengurangan penghasilan neto sebesar
30% (tiga puluh persen) dari jumlah
penanaman modal berupa aktiva tetap
berwujud termasuk tanah yang digunakan
untuk kegiatan utama usaha, dibebankan
selama 6 (enam) tahun masing-masing
sebesar 5% (lima persen) pertahun yang
dihitung sejak saat mulai berproduksi
secara komersial;
Penyusutan yang dipercepat atas aktiva
berwujud dan amortisasi yang dipercepat
atas aktiva tak berwujud yang diperoleh
dalam rangka penanaman modal baru
dan/atau perluasan usaha, dengan masa
manfaat dan tarif penyusutan serta tarif
amortisasi;
Pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen
yang dibayarkan kepada Wajib Pajak
luar negeri selain bentuk usaha tetap di
Indonesia sebesar 10% (sepuluh persen),
atau tarif yang lebih rendah menurut
perjanjian penghindaran pajak berganda
yang berlaku;
Kompensasi kerugian yang lebih lama dari
5 (lima) tahun tetapi tidak lebih dari 10
(sepuluh) tahun.

Dalam diktum pertimbangan disebutkan


bahwa PMK Nomor 159/PMK.010/2015
diterbitkan untuk lebih meningkatkan
kegiatan investasi langsung khususnya
pada industri pionir guna mendorong
pertumbuhan ekonomi, perlu mengganti
ketentuan mengenai pemberian fasilitas
Pajak Penghasilan Badan. Peraturan
Menteri Keuangan tersebut pada dasarnya
merupakan paket kebijakan pemberian
insentif berupa tax holiday bagi industri
pionir, yaitu industri yang memiliki
keterkaitan yang luas, memberi nilai
tambah dan eksternalitas yang tinggi,
memperkenalkan teknologi baru dan
memiliki milai strategis bagi perekonomian
nasional.
Fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan
badan diberikan atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh dari kegiatan utama
usaha yang merupakan Industri Pionir.
Kegiatan utama usaha dimaksud kegiatan
utama usaha sebagaimana tercantum
dalam izin prinsip dan/atau izin usaha Wajib
Pajak pada saat pengajuan; permohonan
pengurangan Pajak Penghasilan badan
termasuk perubahan dan perluasannya
sepanjang termasuk dalam kriteria Industri
Pionir.
Fasilitas PPh Badan berupa:

3. Tax Holiday (dengan Diskresi Menteri)


Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat
(7) UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal, Menteri Keuangan diberi
kewenangan untuk mengatur pemberian
fasilitas pembebasan atau pengurangan
Pajak Penghasilan Badan dalam rangka
penanaman modal. Sehubungan dengan
itu, Pemerintah telah menetapkan kebijakan
insentif perpajakan melalui penerbitan
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor
159/PMK.010/2015. PMK tersebut adalah
pengganti PMK Nomor 130/PMK.011/2011
tentang Pemberian Fasilitas Pembebasan
atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan
sebagaimana telah diubah dengan PMK
Nomor 192/PMK.011/2014.

Pengurangan Pajak Penghasilan badan


paling banyak 100% (seratus persen) clan
paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari
jumlah Pajak Penghasilan badan yang
terutang;
Pengurangan Pajak Penghasilan badan
dapat diberikan untuk jangka waktu
paling lama 15 (lima belas) Tahun Pajak
clan paling singkat 5 (lima) Tahun Pajak,
terhitung sejak Tahun Pajak dimulainya
produksi secara komersial;
Besarnya pengurangan Pajak Penghasilan
badan diberikan dengan persentase yang
sama setiap tahun selama jangka waktu
tahun pajak;
PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

115

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

Dengan mempertimbangkan kepentingan


inempertahankan daya saing industri
nasional dan nilai strategis dari kegiatan
usaha tertentu, Menteri Keuangan dapat
memberikan fasilitas pengurangan Pajak
Penghasilan badan dengan jangka waktu
paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Kriteria penerima fasilitas pengurangan PPH
Badan adalah Wajib Pajak yang memenuhi
ketentuan:

memenuhi persyaratan memperkenalkan


teknologi tinggi (high tech).
Besaran pengurangan Pajak Penghasilan
badan diberikan paling banyak
sebesar 50% (lima puluh persen) untuk
Industri Pionir dengan nilai rencana
penanaman modal baru kurang dari
Rp l.000.000.000.000,00 (satu triliun
rupiah) dan paling sedikit sebesar Rp
500.000.000.000,00 (lima ratus miliar
rupiah).

Merupakan wajib pajak baru


Merupakan Industri Pioner, yang
mencakup :
a).Industri logam hulu;

a).telah berproduksi secara komersial;

b).Industri pengilangan minyak bumi

b).pada saat mulai berproduksi


secara komersial, Wajib Pajak telah
merealisasikan nilai penanaman
modal paling sedikit sebesar rencana
penanaman modalnya; dan

c).Industri kimia dasar organik yang


bersumber dari minyak bumi dan gas
alam;
d).Industri permesinan yang
menghasilkan mesin industri
e).Industri pengolahan berbasis hasil
pertanian, kehutanan dan perikanan
f). Industri telekomunikasi, informasi dan
komunikasi
g).Industri transportasi kelautan
h).Industri pengolahan yang merupakan
industri utama di Kawasan Ekonomi
Khusus (KEK); dan/ atau
i). Infrastruktur ekonomi selain yang
menggunakan skema Kerjasama
Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU)
Batasan nilai rencana penanaman
modal baru yang telah mendapatkan
pengesahan dari instansi yang
berwenang paling sedikit sebesar
Rp 500.000.000.000,00 (lima ratus
miliar rupiah) untuk Industri Pionir dan

116

Fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan


badan dapat dimanfaatkan oleh Wajib
Pajak, sepanjang memenuhi persyaratan:

c).bidang usaha penanaman modal


sesuai dengan rencana bidang usaha
penanaman modal dan termasuk
dalam cakupan Industri Pionir.
Pengaturan apabila permohonan fasilitas
Tax Holiday Wajib Pajak ditolak, sesuai
Pasal 7 PMK Nomor 159/PMK.010/2015,
adalah bahwa terhadap Wajib Pajak yang
atas usulan pemberian fasilitas pengurangan
Pajak Penghasilan badan ditolak oleh
Menteri Keuangan dan telah diterbitkan
pemberitahuan secara tertulis mengenai
penolakan dimaksud, diberikan fasilitas Pajak
Penghasilah untuk penanaman modal di
bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di
daerah-daerah tertentu sepanjang memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2015
tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk
Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha
Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu
beserta peraturan pelaksanaannya.
Adapun Tata cara pemberian fasilitas Pajak

Penghasilan untuk penanaman modal di


bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di
daerah-daerah tertentu dilaksanakan sesuai
Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur
mengenai tata cara pemberian fasilitas Pajak
Penghasilan untuk penanaman modal di
bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di
daerah-daerah tertentu.
Fasilitas Pajak Penghasilan berupa:
Pengurangan penghasilan neto sebesar
30% (tiga puluh persen) dari jumlah
Penanaman Modal berupa aktiva tetap
berwujud termasuk tanah yang digunakan
untuk kegiatan utama usaha, dibebankan
selama 6 (enam) tahun masing-masing
sebesar 5% (lima persen) pertahun yang
dihitung sejak saat mulai berproduksi
secara komersial;

Penyusutan yang dipercepat atas aktiva


berwujud dan amortisasi yang dipercepat
atas aktiva tak berwujud yang diperoleh
dalam rangka Penanaman Modal baru
dan/atau perluasan usaha, dengan masa
manfaat dan tarif penyusutan serta tarif
amortisasi;
Pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen
yang dibayarkan kepada Wajib Pajak
luar negeri selain bentuk usaha tetap di
Indonesia sebesar 10% (sepuluh persen),
atau tarif yang lebih rendah menurut
perjanjian penghindaran pajak berganda
yang berlaku;
Kompensasi kerugian yang lebih lama dari
5 (lima) tahun tetapi tidak lebih dari 10
(sepuluh) tahun.

PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

117

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

,SJUFSJB1FSTZBSBUBO

+FOJT'BTJMJUBT'JTLBM

'BTJMJUBTZBOH%JQFSPMFI

*1&31"+","/
#BEBOVTBIBZBOHEBQBUEJCFSJLBO

1FNCFCBTBO#FB.BTVL

#FB.BTVL

GBTJMJUBT

BUBT*NQPS#BSBOH.PEBM

1.,/PNPS1.,

 151-/1FSTFSP5CL
 1FNFHBOH*615-ZBOHNFNJMJLJ

 'BTJMJUBT1FNCFCBTBO

5FOUBOH
1FNCFCBTBO#FB
.BTVLBUBT*NQPS
#BSBOH.PEBM%BMBN
3BOHLB1FNCBOHVOBO
BUBV1FOHFNCBOHBO
*OEVTUSJ1FNCBOHLJUBO
5FOBHB-JTUSJL6OUVL
,FQFOUJOHBO6NVN


ZBOHEJMBLVLBOPMFI
#BEBO6TBIB

XJMBZBIVTBIB
 1FNFHBOH*615-ZBOHNFNQVOZBJ
QFSKBOKJBOKVBMCFMJUFOBHBMJTUSJL
EFOHBO1-/
 1FNFHBOH*615-ZBOHNFNQVOZBJ
QFSKBOKJBOKVBMCFMJUFOBHBMJTUSJL
EFOHBOQFNFHBOH*615-ZBOH
NFNJMJLJXJMBZBIVTBIB
#BSBOHNPEBMZBOHOZBUBOZBUB
EJQFSHVOBLBOVOUVLJOEVTUSJ
QFNCBOHLJUBOUFOBHBMJTUSJLEFOHBO
LFUFOUVBO
 #FMVNEJQSPEVLTJEJEBMBNOFHFSJ
 4VEBIEJQSPEVLTJEJEBMBNOFHFSJ
OBNVOCFMVNNFNFOVIJTQFTJmLBTJ
ZBOHEJCVUVILBOBUBV
 4VEBIEJQSPEVLTJEJEBMBNOFHFSJ
OBNVOKVNMBIOZBCFMVNNFODVLVQJ
LFCVUVIBOJOEVTUSJ

 'BTJMJUBT11/

 11/PNPS5BIVO
UFOUBOH
1FSVCBIBO,FFNQBU
BUBT11/PNPS
5BIVO5FOUBOH
*NQPSEBOBUBV
1FOZFSBIBO#BSBOH
,FOB1BKBL5FSUFOUV
ZBOH#FSTJGBU4USBUFHJT
ZBOHEJCFCBTLBOEBSJ
1FOHFOBBO11/


118

#BSBOHNPEBMCFSVQBNFTJOEBO

1FNCFCBTBO1FOHFOBBO

QFSBMBUBOQBCSJL CBJLEBMBNLFBEBBO

11/

UFSQBTBOHNBVQVOUFSMFQBT UJEBL
UFSNBTVLTVLVDBEBOH

+FOJT'BTJMJUBT'JTLBM
 'BTJMJUBT11)
B 4AX(OLIDAY
EFOHBO%JLSFTJ
.FOUFSJ

1.,/PNPS
1.,
5FOUBOH1FNCFSJBO
'BTJMJUBT

,SJUFSJB1FSTZBSBUBO
 8BKJC1BKBL#BSV
 *OEVTUSJ1JPOJS
 .FNQVOZBJSFODBOBQFOBOBNBO
NPEBMCBSVQBMJOHTFEJLJU5SJMJVO
 .FNFOVIJLFUFOUVBOCFTBSBO
QFSCBOEJOHBOBOUBSBVUBOHEBO
NPEBMTFCBHBJNBOBEJBUVSQBEB1.,
ZBOHNFOHBUVSCFTBSOZB
QFSCBOEJOHBOVUBOHEBONPEBM
 .FOZBNQBJLBOTVSBUQFSOZBUBBO

1FOHVSBOHBO11I

LFTBOHHVQBOVOUVLNFOFNQBULBO

#BEBO


EBOBEBSJUPUBMSFODBOB
QFOBOBNBONPEBMEJQFSCBOLBO
*OEPOFTJB
 #FSTUBUVTTFCBHBJCBEBOIVLVN
*OEPOFTJBTFKBLBUBVTFUFMBI
"HVTUVT

'BTJMJUBTZBOH%JQFSPMFI
 1FOHVSBOHBO11I
#BEBOZBOHUFSVUBOH
TFMBNBUBIVO
%FOHBOEJTLSFTJ
.FOUFSJ,FVBOHBO 
EBQBUEJCFSJLBOQBMJOH
MBNBUBIVO
 #FTBSBOQFOHVSBOHBO
1BKBL1FOHIBTJMBO
#BEBOZBOHEJCFSJLBO
QBMJOHCBOZBL
EBOQBMJOHTFEJLJU

 6OUVLSFODBOB
QFOBOBNBONPEBM
TFCFTBS3Q5SJMJVO
BUBVMFCJI EBQBU
EJCFSJLBO
QFOHVSBOHBO1BKBL
1FOHIBTJMBO#BEBO
TFCFTBS

C 4AXLLOWANCE


11/PNPS
5BIVO
5FOUBOH'BTJMJUBT
11IVOUVL
1FOBOBNBO.PEBM
EJ#JEBOHCJEBOH
6TBIB5FSUFOUV
EBOBUBVEJ
%BFSBIEBFSBI
5FSUFOUV


 .FNJMJLJOJMBJJOWFTUBTJZBOHUJOHHJ
 .FNJMJLJQFOZFSBQBOUFOBHBLFSKB
ZBOHCFTBSBUBV

 1FOHVSBOHBO
1FOHIBTJMBOOFUUP
TFCFTBS UJHB

 .FNJMJLJLBOEVOHBOMPLBMZBOHUJOHHJ

QVMVIQFSTFO
EBSJOJMBJ
JOWFTUBTJTFMBNB
UBIVO NBTJOHNBTJOH
QFSUBIVO

 "LUJWBEJTVTVULBO
EJBNPSUJTBTJEBMBN
KBOHLBXBLUVMFCJI
DFQBU
 ,FSVHJBOmTLBMQBEB
TVBUVUBIVOQBKBL
EBQBUEJLPNQFOTBTJ
EFOHBOLFVOUVOHBO
QBEBUBIVOQBKBL
CFSJLVUOZB
 %JWJEFOZBOH
EJCBZBSLBOLFQBEB
QFNFHBOHTBIBNMVBS
OFHFSJ EJLFOBJQBKBL

PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

119

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

+FOJT'BTJMJUBT'JTLBM

'BTJMJUBTZBOH%JQFSPMFI

,SJUFSJB1FSTZBSBUBO


EFOHBOUBSJGTFCFTBS
 TFQVMVIQFSTFO

BUBVUBSJGNFOVSVU1#
KJLBUBSJGEBMBN1#
UFSTFCVUMFCJISFOEBI
EBSJ

**%6,6/("/+".*/"/1&.&3*/5")
 'BTJMJUBT,FSKBTBNB
1FNFSJOUBIEBO
4XBTUB1VCMJD1SJWBUF
1BSUOFSTIJQ 111




B ,AND&UND
 1FSQSFT/PNPS
5BIVOUFOUBOH
1FSVCBIBO,FEVB
BUBT1FSBUVSBO
1SFTJEFO/PNPS
5BIVOUFOUBOH

 .FNJMJLJOJMBJJOWFTUBTJZBOH

'BTJMJUBTZBOHEJTFEJBLBO

CFTBSTBOHBUCFTBS
 .FNQVOZBJEBNQBLOBTJPOBM
 .FNJMJLJKBOHLBXBLUVQFOHFNCBMJBO

1FNFSJOUBIVOUVL

ZBOHSFMBUJGQBOKBOH

NFNQFSDFQBU
QFMBLTBOBBOQFOHBEBBO
UBOBI'BTJMJUBTJOJUFSEJSJ
EBSJ
 ,ANDCAPPINGEBOB

,FSKBTBNB

EVLVOHBO1FNFSJOUBI

1FNFSJOUBIEFOHBO

BUBTZBOHEJCFSJLBO

#BEBO6TBIBEBMBN

BUBTSJTJLPLFOBJLBO

1FOZFEJBBO

IBSHBUBOBILBSFOB

*OGSBTUSVLUVS

QFSNBTBMBIBO
QFNCFCBTBOUBOBI
 ,AND2EVOLVING&UND
EBOBCFSHVMJSVOUVL
QFNCFCBTBOUBOBI
4LFNBQFOHHVOBBO
EBOBBEBMBICBIXB
1FNFSJOUBIBLBO
NFNCJBZBJ
QFNCFCBTBOUBOBI
UFSMFCJIEBIVMVEBO
TFMBOKVUOZBCJBZB
UFSTFCVUBLBO
EJLFNCBMJLBOPMFI
#BEBO6TBIBZBOH
EJUFUBQLBOTFCBHBJ
QFNFHBOHIBL
LPOTFTJ

120

+FOJT'BTJMJUBT'JTLBM

'BTJMJUBTZBOH%JQFSPMFI

,SJUFSJB1FSTZBSBUBO


-BOE3FWPMWJOH'VOE
EJBMPLBTJLBONFMBMVJ
BOHHBSBO"1#/

 ,ANDCQUISITION&UND
EBOBZBOHEJTFEJBLBO
PMFI1FNFSJOUBIVOUVL
QFNCFCBTBOUBOBI
EBMBNSBOHLB
NFNCFSJLBOEVLVOHBO
VOUVLNFOJOHLBULBO
LFMBZBLBOEBSJQSPZFL
QFOZFEJBBO
JOGSBTUSVLUVSZBOH
EJMBLTBOBLBOEFOHBO
TLFNB,FSKB4BNB
1FNFSJOUBI4XBTUB
,14

C 6IABILITY'AP&UND
 1.,/PNPS
1.,
5FOUBOH1FNCFSJBO
%VLVOHBO,FMBZBLBO
"UBT4FCBHJBO#JBZB
,POTUSVLTJ

 1SPZFL,FSKB4BNBZBOHUFMBI
NFNFOVIJLFMBZBLBOFLPOPNJ

EJCFSJLBOEBMBN

OBNVOCFMVNNFNFOVIJLFMBZBLBO

CFOUVLUVOBJLFQBEB

mOBOTJBM
 1SPZFL,FSKB4BNBNFOFSBQLBO

1SPZFL,FSKB4BNB

QSJOTJQQFOHHVOBNFNCBZBS
 1SPZFL,FSKB4BNBEFOHBOUPUBM

TFMVSVI#JBZB

1BEB1SPZFL,FSKB

CJBZBJOWFTUBTJQBMJOHLVSBOH

4BNB1FNFSJOUBI

3Q TFSBUVTNJMJBS

%FOHBO#BEBO6TBIB
%BMBN
1FOZFEJBBO
*OGSBTUSVLUVS

 %VLVOHBO,FMBZBLBO

VQJBI

 1SPZFL,FSKB4BNBEJKBMBOLBOPMFI
#BEBO6TBIB1FOBOEBUBOHBO
1FSKBOKJBO,FSKB4BNBZBOHEJCFOUVL
PMFI#BEBO6TBIB1FNFOBOH-FMBOH
ZBOHEJUFUBQLBOPMFI1+1,NFMBMVJ
QSPTFTMFMBOHZBOHUFSCVLBEBO
LPNQFUJUJGTFTVBJEFOHBOQFSBUVSBO
UFOUBOH,FSKB4BNB1FNFSJOUBIEBO

BUBTQPSTJUFSUFOUVEBSJ
,POTUSVLTJ1SPZFL
,FSKB4BNB
 #JBZB,POTUSVLTJ
1SPZFL,FSKB4BNB
NFMJQVUJCJBZB
LPOTUSVLTJ CJBZB
QFSBMBUBO CJBZB
QFNBTBOHBO CJBZB
CVOHBBUBTQJOKBNBO
ZBOHCFSMBLVTFMBNB
NBTBLPOTUSVLTJ EBO

#BEBO6TBIBEBMBN1FOZFEJBBO

CJBZBCJBZBMBJOUFSLBJU

*OGSBTUSVLUVS
 1SPZFL,FSKB4BNBEJMBLTBOBLBO

UFSNBTVLCJBZBUFSLBJU

LPOTUSVLTJOBNVOUJEBL

CFSEBTBSLBO1FSKBOKJBO,FSKB4BNB

QFOHBEBBOMBIBOEBO

ZBOHNFOHBUVSTLFNBQFOHBMJIBO

JOTFOUJGQFSQBKBLBO

BTFUEBOBUBVQFOHFMPMBBOOZBEBSJ

PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

121

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

,SJUFSJB1FSTZBSBUBO

+FOJT'BTJMJUBT'JTLBM


#BEBO6TBIB1FOBOEBUBOHBO
1FSKBOKJBO,FSKB4BNBLFQBEB1+1,

QBEBBLIJSQFSJPEFLFSKBTBNBEBO
 )BTJM1SBTUVEJ,FMBZBLBOQBEB1SPZFL
,FSKB4BNB J
NFODBOUVNLBO

'BTJMJUBTZBOH%JQFSPMFI
 1PSTJUJEBL
NFOEPNJOBTJ#JBZB
,POTUSVLTJ1SPZFL
,FSKB4BNB

QFNCBHJBOSJTJLPZBOHPQUJNBM
BOUBSB1FNFSJOUBI1+1,EJTBUV
QJIBLEBO#BEBO6TBIB
 1FOBOEBUBOHBO1FSKBOKJBO,FSKB
4BNB#BEBO6TBIB1FNFOBOH
-FMBOHEJQJIBLMBJO JJ

NFOZJNQVMLBOCBIXB1SPZFL,FSKB
4BNBUFSTFCVUMBZBLTFDBSBFLPOPNJ 
ZBOHKVHBNFMJQVUJBTQFLUFLOJT 
IVLVN MJOHLVOHBO EBOTPTJBMEBO
JJJ
NFOVOKVLLBOCBIXB1SPZFL,FSKB
4BNBUFSTFCVUNFOKBEJMBZBLTFDBSB
mOBOTJBMEFOHBOEJCFSJLBOOZB
%VLVOHBO,FMBZBLBO
D 'UARANTEE&UND 15


1**

1FSQSFT/PNPS
5BIVOUOUBOH
1FOKBNJOBO
*OGSBTUSVLUVSEBMBN
1SPZFL,FSKBTBNB
1FNFSJOUBIEFOHBO
#BEBO6TBIBZBOH
%JMBLVLBONFMBMVJ
#BEBO6TBIB
1FOKBNJOBO
*OGSBTUSVLUVS


 1FOKBNJOBOJOGSBTUSVLUVSEJCFSJLBO

*OGSBTUSVLUVS*OEPOFTJB

EBMBNSBOHLB1SPZFL,FSKBTBNB

151**
ZBJUVNFMBMVJ

NFNVBUQBMJOHLVSBOH
 1FNCBHJBOSJTJLPJOGSBTUSVLUVSBOUBSB

151FOKBNJOBO

LFEVBCFMBIQJIBLTFTVBJEFOHBO

ZBOHBLBOBLBO

BMPLBTJSJTJLP
 6QBZBNJUJHBTJZBOHSFMFWBOEBSJ
LFEVBCFMBIQJIBLVOUVLNFODFHBI
UFSKBEJOZBSJTJLPEBONFOHVSBOHJ
EBNQBLOZB BQBCJMBUFSKBEJ
 +VNMBILFXBKJCBOmOBOTJBM
QFOBOHHVOHKBXBCQSPZFLLFSKBTBNB
EBMBNIBMSJTJLPJOGSBTUSVLUVSZBOH
NFOKBEJUBOHHVOHKBXBC
QFOBOHHVOHKBXBCQSPZFLLFSKBTBNB
UFSKBEJ BUBVDBSBQFSIJUVOHBOVOUVL
NFOFOUVLBOKVNMBILFXBKJCBO
mOBOTJBMQFOBOHHVOHKBXBCQSPZFL
LFSKBTBNBEBMBNIBMKVNMBIUFSTFCVU
CFMVNEBQBUEJUFOUVLBOQBEBTBBU
QFSKBOKJBOLFSKBTBNB EJUBOEBUBOHBOHJ

122

 1FOKBNJOBO

TFQBOKBOH1FSKBOKJBO,FSKBTBNB

*OGSBTUSVLUVS*OEPOFTJB
NFNCFSJLBO
QFOKBNJOBOBUBTSJTJLP
SJTJLPJOGSBTUSVLUVS
EBMBN1SPZFL,FSKB
4BNB

+FOJT'BTJMJUBT'JTLBM

,SJUFSJB1FSTZBSBUBO

'BTJMJUBTZBOH%JQFSPMFI

 +BOHLBXBLUVZBOHDVLVQVOUVL
NFMBLTBOBLBOLFXBKJCBOmOBOTJBM
QFOBOHHVOHKBXBCQSPZFL
LFSKBTBNB UFSNBTVLNBTBUFOHHBOH
HSBDFQFSJPE

 1SPTFEVSZBOHXBKBSVOUVL
NFOFOUVLBOLBQBOQFOBOHHVOH
KBXBCQSPZFLLFSKBTBNBUFMBICFSBEB
EBMBNLFBEBBOUJEBLTBOHHVQVOUVL
NFMBLTBOBLBOLFXBKJCBOmOBOTJBM
QFOBOHHVOHKBXBCQSPZFL
LFSKBTBNB
 1SPTFEVSQFOZFMFTBJBOQFSTFMJTJIBO
ZBOHNVOHLJOUJNCVMBOUBSB
QFOBOHHVOHKBXBCQSPZFLLFSKBTBNB
EBOCBEBOVTBIBTFIVCVOHBO
QFMBLTBOBBOLFXBKJCBOmOBOTJBM
QFOBOHHVOHKBXBCQSPZFLLFSKBTBNB
ZBOHEJQSJPSJUBTLBONFMBMVJ
NFLBOJTNFBMUFSOBUJGQFOZFMFTBJBO
TFOHLFUBEBOBUBVMFNCBHB
BSCJUSBTF
 )VLVNZBOHCFSMBLVBEBMBIIVLVN
*OEPOFTJB
 1FOKBNJOBOJOGSBTUSVLUVSEJCFSJLBO
TFQBOKBOHQFOBOHHVOHKBXBC
QSPZFLLFSKBTBNBTBOHHVQ
 .FOFSCJULBOTVSBUQFSOZBUBBO
NFOHFOBJLFBCTBIBOQFSKBOKJBO
LFSKBTBNB
 .FNCFSJLBOLPNJUNFOUFSUVMJT
LFQBEBQFOKBNJOVOUVL
*
 .FMBLTBOBLBOVTBIBUFSCBJLOZB
EBMBNNFOHFOEBMJBO NFOHFMPMB
BUBVNFODFHBI EBONFOHVSBOHJ
EBNQBLUFSKBEJOZBSJTJLP
JOGSBTUSVLUVSZBOHNFOKBEJ
UBOHHVOHKBXBCOZBTFTVBJBMPLBTJ
SJTJLPTFCBHBJNBOBEJTFQBLBUJ
EBMBNQFSKBOKJBOLFSKBTBNB
TFMBNBCFSMBLVOZBQFSKBOKJBO
QFOKBNJOBO

PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

123

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

+FOJT'BTJMJUBT'JTLBM

,SJUFSJB1FSTZBSBUBO

'BTJMJUBTZBOH%JQFSPMFI

JJ
 .FNFOVIJSFHSFT ZBOH
EJUVBOHLBOEBMBNCFOUVL
QFSKBOKJBOEFOHBOCBEBOVTBIB
QFOKBNJOBOJOGSBTUSVLUVS
E )NFRASTRUCTURE&UND 15
4.***''

1FOKBNJOBOJOGSBTUSVLUVSEJCFSJLBO

 )NFRASTRUCTURE&UND

TFTVBJEFOHBOLFDVLVQBONPEBMCBEBO

ZBJUVNFMBMVJ154BSBOB

VTBIBQFOKBNJOBOJOGSBTUSVLUVS

.VMUJ*OGSBTUSVLUVS
EBO15*OEPOFTJB
)NFRASTRUCTURE&INANCE 
ZBOHBLBO
NFOBXBSLBOTVNCFS
TVNCFSQFOEBOBBO
VOUVLQFNCJBZBBO
1SPZFL,FSKB4BNB

Tabel 33
Jenis-Jenis Insentif Fiskal Dalam Rangka Pembangkitan Tenaga Listrik

124

PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

125

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

SISTEM AKUNTANSI SEKTOR


KETENAGALISTRIKAN
Kegiatan penyediaan tenaga listrik oleh PT PLN
dan IPP dituangkan dalam skema perjanjian
PPA (Purchasing Power Agreement) dan ESC
(%NERGY3ALES#ONTRACT). Kajian yang dilakukan
oleh berbagai pihak menunjukkan bahwa
skema PPA dan ESC merupakan perjanjian
yang mengandung sewa. Dalam penerapannya,
interpretasi akuntansi yang secara spesifik
mengatur mengenai akuntansi untuk perjanjian
jual beli tenaga listrik belum ada; sehingga PT
PLN secara sukarela menerapkan ISAK 8 dan
PSAK 30.

126

6.1
ISAK 8 : INTERPRETASI
PERJANJIAN MENGANDUNG
SEWA
ISAK 8 adalah suatu instrumen akuntansi yang
merupakan panduan untuk menilai suatu
perjanjian mengandung sewa atau tidak.
Panduan ini diadopsi daru IFRIC 4: Determining
Wheter an Arrangement Containsts a Leases.
Suatu entitas dapat melakukan suatu perjanjian,
yang terdiri dari satu atau serangkaian transaksi
terkait, dimana bentuk legal perjanjian tersebut
bukan sewa tetapi perjanjian itu memberikan
hak kepada pihak lain untuk menggunakan suatu
aset, dengan imbalan suatu atau serangkaian
pembayaran. Dalam praktiknya, untuk melihat
suatu perjanjian mengandung sewa atau pun
tidak, perlu diperhatikan dan dievaluasi subtansi
perjanjian tersebut, apakah:
1. Pemenuhan perjanjian bergantung pada
penggunaan aset tertentu
Aset bukan merupakan subjek sewa jika
pemenuhan perjanjian tidak sepenuhnya
bergantung pada aset tersebut, walaupun
secara eksplisit diidentifikasikan seperti itu di
dalam perjanjian.
2. Perjanjian memberikan hak untuk
menggunakan aset
Suatu perjanjian dianggap memberikan hak
untuk menggunakan aset jika perjanjian
tersebut memberikan hak kepada lessee
untuk mengendalikan penggunaan aset
tersebut. Di dalam ISAK 8, dijelaskan
kondisi-kondisi yang harus dipenuhi agar
dapat pengalihan hak untuk menggunakan
aset, yaitu:
Lessee mempunyai kemampuan
atau hak untuk mengoperasikan aset
atau mengarahkan pihak lain untuk
mengoperasikan aset tersebut sesuai
dengan cara ditentukan pembeli dan
pada saat yang bersamaan, pembeli
PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

127

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

mendapatkan atau mengendalikan


keluaran (output) atau kegunaan lainnya
atas aset tersebut, dalam jumlah yang
lebih dari tidak signifikan.
Pembeli mempunyai kemampuan atau
hak untuk mengendalikan akses fisik
terhadap aset tersebut dan pada saat
yang bersamaan, pembeli mendapatkan
atau mengendalikan keluaran atau
kegunaan lainnya atas aset tersebut,
dalam jumlah yang lebih dari tidak
signifikan.
Fakta dan kondisi yang ada menunjukkan
bahwa kecil kemungkinan bagi satu atau
lebih pihak lain seperti pembeli akan
mengambil keluaran atau kegunaan
lainnya dalam jumlah yang tidak lebih
dari tidak signifikan yang akan diproduksi
atau dihasilkan oleh aset tersebut selama
masa perjanjian; dan harga yang dibayar
pembeli untuk keluaran tersebut bukan
harga yang secara kontraktual tetap
untuk setiap unit keluaran ataupun harga
yang sama dengan harga pasar per unit
keluaran ada saat penyerahan keluaran
tersebut.

6.2
PSAK 30: SEWA
Sewa adalah suatu perjanjian dimana lessor
memberikan kepada lessee hak untuk
menggunakan suatu aset selama periode
waktu yang disepakati. Sebagai imbalannya,
lesse melakukan pembayaran atau serangkaian
pembayaran kepada lessor.
Suatu sewa diklasifikasikan sebagai sewa
pembiayaan jika sewa tersebut mengalihkan
secara substansial seluruh risiko dan manfaat
yang terkait dengan kepemilikan aset. Suatu
sewa diklasifikasikan sebagai sewa operasi jika
sewa tidak mengalihkan secara substansial
seluruh risiko dan manfaat yang terkait dengan
kepemilikan aset.
Terkait dengan perjanjian PPA dan/atau ESC

128

PT PLN dengan IPP, disepakati bahwa jenis


sewanya adalah sewa pembiayaan. Situasi yang
secara individual ataupun gabungan dapat
juga menunjukkan bahwa sewa diklasifikasikan
sebagai sewa pembiayaan adalah:
1. Sewa mengalihkan kepemilikan aset kepada
lessee pada akhir masa sewa;
2. Lessee memiliki opsi untuk membeli
aset pada harga yang cukup rendah
dibandingkan nilai wajar pada tanggal opsi
mulai dapat dilaksanakan, sehingga pada
awal sewa dapat dipastikan bahwa opsi akan
dilaksanakan;
3. Masa sewa adalah untuk sebagian besar
umur ekonomik aset meskipun hak milik
tidak dialihkan;
4. Pada awal sewa, nilai kini dari jumlah
pembayaran sewa minimum secara
substansial mendekati nilai wajar aset
sewaan; dan
5. Aset sewaan bersifat khusus dan hanya
lessee yang dapat menggunakannya tanpa
perlu modifikasi secara material.
Indikator dari situasi yang secara individual
ataupun gabungan dapat juga menunjukkan
bahwa sewa diklasifikasikan sebagai sewa
pembiayaan adalah:
1. Jika lessee dapat membatalkan sewa, maka
rugi lessor yang terkait dengan pembatalan
ditanggung oleh lessee;
2. Untung atau rugi dari fluktuasi nilai wajar
residu dibebankan kepada lessee (misalnya,
dalam bentuk potongan harga rental dan
yang setara dengan sebagian besar hasil
penjualan residu pada akhir sewa); dan
3. Lessee memiliki kemampuan untuk
melanjutkan sewa untuk periode kedua
dengan nilai rental yang secara substansial
lebih rendah dari nilai pasar rental.

6.3
SEWA DALAM LAPORAN
KEUANGAN LESSEE PADA
SEWA PEMBIAYAAN
1. Pengakuan Awal
Pada awal masa sewa, lesee mengakui sewa
pembiayaan sebagai aset dan liabilitas
dalam laporan posisi keuangan sebesar nilai
wajar aset sewaan atau sebesar nilai kini
dari pembayaran sewa minimum, jika nilai
kini lebih rendah dari nilai wajar. Tingkat
diskonto yang digunakan dalam perhitungan
nilai kini dari pembayaran sewa minimum
adalah tingkat suku bunga implisit dalam
sewa , jika dapat ditentukan secara praktis,
jika tidak, digunakan tingkat suku bunga
pinjaman inkremental lessee. Biaya langsung
awal yang dikeluarkan lesee ditambahkan ke
dalam jumlah yang diakui sebagai aset.
Meskipun bentuk legal perjanjian sewa
menyatakan bahwa lessee tidak memperoleh
hak legal atas aset sewaan, dalam hal sewa
pembiayaan secara substansi dan realitas
keuangan pihak lessee memperoleh manfaat
ekonomik dari dari pemakaian aset sewaan
tersebut selama sebagian besar umur
ekonomisnya. Sebagai konsekuensinya
lessee menanggung kewajiban untuk
membayar hak tersebut sebesar suatu
jumlah, pada awal sewa, yang mendekati
nilai wajar dari aset dan beban keuangan
terkait.
Jika transaksi sewa tersebut tidak tercermin
dalam laporan posisi keuangan lessee,
sumber daya ekonomi an tingkat kewajian
dari entitas menjadi terlalu rendah, sehingga
mendistorsi rasio keuangan. Oleh karena
itu, sewa pembiayaan diakui dalam laporan
posisi keuangan lessee sebagai aset dan
kewajiban untuk pembayaran sewa di masa
depan. Pada awal masa sewa, aset dan
liabilitas untuk pembayaran sewa di masa
depan diakui di laporan posisi keuangan
pada jumlah yang sama, kecuali untuk biaya
langsung awal dari lessee yang ditambahkan

ke jumlah yang diakui sebagai aset.


Liabilitas dari aset sewaan tidak dapat
disajikan sebagai pengurang aset sewaan
dalam laporan keuangan. Jika penyajian
liabilitas dalam laporan keuangan dibedakan
antara liabilitas jangka pendek dan liabilitas
jangka panjang, hal yang sama berlaku untuk
liabilitas sewa.
Biaya langsung awal umumnya terjadi
sehubungan dengan aktivitas negosiasi dan
pemastian pelaksanaan sewa. Biaya-biaya
yang dapat diatribusikan secara langsung
kepada aktivitas lessee untuk suatu sewa
pembiayaan ditambahkan ke jumlah yang
diakui sebagai aset.
2. Pengukuran Setelah Pengakuan Awal
Pembayaran sewa minimum dipisahkan
antara bagian yang merupakan beban
keuangan dan bagian yang merupakan
pelunasan liabilitas. Beban keuangan
dialokasikan ke setiap periode selama
masa sewa sedemikian rupa sehingga
menghasilkan suatu tingkat suku bunga
periodik yang konstan atas saldo liabilitas.
Rental kontijen dibebankan pada periode
terjadinya.
Suatu sewa pembiayaan menimbulkan
beban penyusutan untuk aset yang dapat
disusutkan dan beban keuangan dalam
setiap periode akuntansi. Kebijakan
penyusutan untuk aset sewaan konsisten
dengan aset dimiliki sendiri, dan
penghitungan penyusutan yang diakui
berdasarkan PSAK 16 (revisi 2011): Aset
Tetap dan PSAK 19(revisi 2010): Aset Tak
Berwujud. Jika tidak ada kepastian yang
memadai bahwa lessee akan mendapatkan
hak kepemilikan pada akhir masa sewa, aset
sewaan disusutkan secara penuh selama
jangka waktu yang lebih pendek antara
periode masa sewa dan umur manfaatnya.
3. Pengungkapan
Selain memenuhi ketentuan PSAK 60:
PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

129

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

Instrumen Keuangan: Pengungkapan, lessee


juga mengungkapkan hal-hal berikut yang
berkaitan dengan sewa pembiayaan:
Jumlah neto jumlah tercatat untuk setiap
kelompok aset pada tanggal pelaporan.
Rekonsiliasi antara total pembayaran sewa
minimum di masa depan pada tanggal
pelaporan, dengan nilai kininya. Selain itu,
entitas mengungkapan total pembayaran
sewa minimum di masa depan pada
tanggal pelaporan, dan nilai kininya,
untuk setiap periode berikut :
a).Sampai dengan satu tahun
b).Lebih dari satu tahun sampai lima
tahun
c).Lebih dari lima tahun
Rental kontijen yang diakui sebagai beban
pada periode tersebut.
Total perkiraan penerimaan pembayaran
minimum sewa-lanjut di masa depan dari
kontrak sewa-lanjut yang tidak dapat
dibatalkan (non-cancelable subleases)
Penjelasan umum isi perjanjian sewa
yang material, yang meliputi, tetapi tidak
terbatas pada, hal berikut :
a).Dasar penentuan utang rental
kontijen
b).Ada tidaknya klausul-klausul yang
berkaitan dengan opsi perpanjangan
atau pembelian dan eskalasi beserta
syarat-syaratnya
c).Pembatasan-pembatasan yang
ditetapkan dalam perjanjian sewa,
misalnya yang terkait dengan dividen,
tambahan utang, dan sewa-lanjut.

130

6.4
TRANSAKSI JUAL DAN SEWABALIK
Jika suatu transaksi jual dan sewa-balik
merupakan sewa pembiayaan, selisih lebih hasil
penjualan dari jumlah tercatat tidak dapat diakui
segera sebagai pendapatan oleh penjual-lessee,
tetapi ditangguhkan dan diamortisasi selama
masa sewa.
Jika transaksi jual dan sewa-balik merupakan
sewa operasi dan jelas bahwa transaksi tersebut
terjadi pada nilai wajar, maka laba rugi diakui
segera, kecuali rugi tersebut dikompensasikan
dengan pembayaran sewa di masa depan yang
lebih rendah dari harga pasar, maka rugi tersebut
harus ditangguhkan dan diamortisasi secara
proporsional dengan pembayaran sewa selama
periode penggunaan aset. Jika harga jual di atas
nilai wajar, selisih lebih dari nilai wajar tersebut
ditangguhkan dan diamortisasi selama periode
penggunaan aset.
Untuk sewa operasi, jika nilai wajar aset pada
saat transaksi jual dan sewa-balik lebih rendah
daripada jumlah tercatatnya, rugi sebesar selisih
antara jumlah tercatat dan nilai wajar diakui
segera.

PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

131

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

132

7.1
KESIMPULAN
Beberapa kesimpulan dari hasil penyusunan
buku Panduan Investasi Sektor Ketenagalistrikan
di Indonesia adalah:
1. Ditemukan banyak jenis perizinan di sektor
ketenagalistrikan, baik di pusat dan di
daerah yang memerlukan waktu cukup lama
untuk perolehannya. Sebagai akibatnya,
proses perizinan hingga operasi bisa
menghabiskan waktu hingga tiga tahun.
2. Berbagai upaya telah dilakukan untuk
dapat menyederhanakan perizinanperizinan sektor ketenagalistrikan, antara
lain melalui pendelegasian wewenang
penerbitan perizinan tersebut ke Pelayanan
Terpadu Satu Pintu (PTSP) BKPM. Namun,
rekomendasi teknis yang dipersyaratkan
dalam berbagai jenis perizinan tetap
memerlukan waktu lama, dan tetap
melibatkan instansi teknis di masing-masing
kementerian / lembaga.
3. Pemangkasan waktu perizinan juga menjadi
komitmen para pihak untuk mempercepat
proses perizinan.
4. Berbagai informasi terkait dengan
perizinan mudah diperoleh, namun masih
bersifat parsial, sehingga perlu dilakukan
penggabungan dan penyelarasan, agar lebih
komprehensif menjadi satu panduan untuk
sektor ketenagalistrikan.

7.2
REKOMENDASI
Buku panduan investasi ini perlu diperluas
lagi pada seluruh sektor ketenagalistrikan,
termasuk skema perizinan pengadaan listrik
untuk penggunaan sendiri, dan pengadaan listrik
melalui skema EPC (ENGINERING PROCUREMENT 
construction).
Perlu mengembangkan informasi dalam buku
panduan ini dalam suatu media / wadah online,
misalnya website, sehingga lebih mudah diakses.

PANDUAN INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

133

%$'$1.225',1$6,3(1$1$0$102'$/
-O-HQG*DWRW6XEURWR1R-DNDUWD
32%R[,QGRQHVLD

Anda mungkin juga menyukai