Anda di halaman 1dari 160

PATOFISIOLOFI KEPERAWATAN

DISUSUN OLEH :

1. CHERLY LINGGA PRITASARI


2. MURNIATI

DOSEN PENGAJAR: Ns. Lisda Maria, S. Kep, M. Kep

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MITRA ADIGUNA


PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN PALEMBANG
TAHUN 2019

DAFTAR ISI
UNIT I

 HEMOSTASIS SEL.............................................................................................. 1
 RESPON SEL....................................................................................................... 11
UNIT II

 NEOPLASMA...................................................................................................... 16
UNIT III

 GANGGUAN PADA SISTEM KARDIOVASKULER........................................ 22


o KONDISI PATOLOGIS PADA JANTUNG YANG
BERHUBUNGAN DENGAN:
 STREES LANGSUNG............................................................. 22
 STRESS TIDAK LANGSUNG............................................... 22
 PERUBAHAN PADA KARDIOVASKULER...................................................... 23
 ASKEP PADA PASIEN SISTEM KARDIOVASKULER.................................... 25
UNIT IV

 GANGGUAN SISTEM PERNAPASAN.............................................................. 34


o GANGGUAN VENTILASI.................................................................... 35
o GANGGUAN DIFUSI GAS.................................................................. 36
 ASKEP PASA PASIEN GANGGUAN SISTEM PERNAPASAN....................... 42
UNIT V

 GANGGUAN SISTEM PENCERNAAN............................................................. 69


 KONDISI PATOLOGIS PADA ESOFAGUS......................................... 69
 KONDISI PATOLOGIS PADA GASTER.............................................. 70
 KONDISI PATOLOGIS PADA USUS HALUS..................................... 73
 KONDISI PATOLOGIS PADA KOLON............................................... 74
 KONDISI PATOLOGIS PADA ELIMINASI BOWEL.......................... 75
 KONDISI PATOLOGIS PADA PANGKREAS...................................... 78
 KONDISI PATOLOGIS PADA HEPAR DAN EMPEDU...................... 79
 ASKEP PADA GANGGUAN SISTEM PENCERNAAN.................................... 83
UNIT VI

 GANGGUAN SISTEM URINARI....................................................................... 94


 KONDISI PATOLOGIS PADA GGA..................................................... 94
 KONDISI PATOLOGIS PADA GGK..................................................... 101
 ASKEP PADA GANGGUAN SISTEM URINARI.............................................. 105
UNIT VII

 GANGGUAN SISTEM SARAF........................................................................... 110


o KONDISI PATOLOGIS PADA OTAK................................................... 115
o KONDISI PATOLOGIS PADA MEDULA SPINALIS.......................... 115
UNIT VIII

 GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN................................................................... 121


o KONDISI PATOLOGIS YANG BERHUBUNGAN DENGAN:
 HIPOSEKRESI......................................................................... 122

ii
 HIPERSEKRESI...................................................................... 123
 ASKEP PADA PASIEN GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN........................... 124
UNIT IX

 GANGGUAN SISTEM MUSKULOSKELTAL................................................... 129


o KONDISI PATOLOGIS YANG BERHUBUNGAN DENGAN
INFLAMASI......................................................................................... 133
o KONDISI PATOLOGIS YANG BERHUBUNGAN DENGAN
DEGENERASI....................................................................................... 134
 ASKEP PADA PASIEN GANGGUAN SISTEM MUSKULOSKLETAL........... 137
UNIT X

 GANGGUAN SISTEM INTEGRUMEN ............................................................ 144


o KONDISI PATOLOGIS YANG BERHUBUNGAN DENGAN
TRAUMA............................................................................................... 154
o KONDISI PATOLOGIS YANG BERHUBUNGAN DENGAN
INFLAMASI........................................................................................... 156
 ASKEP PADA GANGGUAN SISTEM GANGGUAN SISTEM
INTEGRUMEN.................................................................................................... 159

DAFTAR PUSTAKA

iii
PATOFISILOGI
UNIT I
HEMOSTASIS

Hemostasis atau haemostasis berasal dari bahasa Yunani: aimóstasis


(αιμόστασις), yang terdiri dari dua kata yaitu aíma (αίμα) yang berarti “darah" dan
stásis (στάσις) yang berarti "stagnasi".
Hemostasis adalah mekanisme menghentikan dan mencegah perdarahan.
Bilamana terdapat luka pada pembuluh darah, segara akan terjadi vasokonstriksi
pembuluh darah sehingga aliran darah ke pembuluh darah yang terluka berkurang.
untuk Kemudian trombosit akan berkumpul dan melekat pada bagian pembuluh
darah yang terluka untuk membentuk sumbat trombosit. Faktor pembekuan darah
yang diaktifkan akan membentuk benang-benang fibrin yang akan membuat
sumbat trombosit menjadi non permeabel sehingga perdarahan dapat dihentikan.
Jadi dalam proses hemosatasis terjadi 3 reaksi yaitu reaksi vascular berupa
vasokontriksi pembuluh darah, reaksi selular yaitu pembentukan sumbat
trombosit, dan reaksi biokimiawi yaitu pembentukan fibrin. Faktor-faktor yang
memegang peranan dalam proses hemostasis adalah pembuluh darah, trombosit,
dan faktor pembekuan darah. Selain itu faktor lain yang juga mempengaruhi
hemostasis adalah faktor ekstravascular, yaitu jaringan ikat disekitar pembuluh
darah dan keadaan otot.Pedarahan mungkin diakibatkan oleh kelainan pembuluh
darah, trombosit, ataupun sistem pembekuan darah. Bila gejala perdarahan
merupakan kalainan bawaan, hampir selalu penyebabnya adalah salah satu dari
ketiga faktor tersebut diatas kecuali penyakit Von Willebrand.
Proses Hemostasis
Proses hemostasis terjadi melalui tiga proses yaitu :
1 Fase vascular
Karena akibat dari adanya trauma pada pembuluh darah maka respon yang
pertama kali adalah respon dari vaskuler/kapiler yaitu terjadinya kontraksi dari
kapiler disertai dengan extra-vasasi dari pembuluh darah, akibat dari extra vasasi

1
ini akan memberikan tekanan pada kapiler tersebut (adanya timbunan darah
disekitar kapiler).

2 Fase Platelet/trombosit
Pada saat terjadinya pengecilan lumen kapiler (vasokontriksi) dan extra
vasasi ada darah yang melalui permukaan asar (jaringan kolagen) dengan
akibatnya trombosit. Akibat dari bertemunya trombosit dengan permukaan kasar
maka trombosit tersebut akan mengalami adhesi serta agregasi.Setelah terjadinya
adhesi maka dengan pengaruh ATP akan terjadilah agregasi yaitu saling melekat
dan desintegrasi sehingga terbentuklah suatu massa yang melekat.
3 Fase koagulasi
Fase ini terdiri dari tiga tahapan yaitu :
a. Pembentukan prothrombinase/prothrombin activator
b. Perubahan prothrombine menjadi trombone
c. Perubahan fibrinogen menjadi fibrin
Faktor-Faktor Pembekuan Darah
1 Faktor I = fibrinogen
2 Faktor II = Prhotrombine
3 Faktor III = Fakotr jaringan
4 Faktor IV = Ion kalsium
5 Faktor V = Proaccelerine
6 Faktor VI = Accelerine
7 Faktor VIII = A.H.G (Anti Haemphilly Globulin)
8 Faktor IX = Christmas factor
9 Faktor X = Stuart factor
10 Faktor XI = Plasma thromboplastin antecedent
11 Faktor XII = Hagemen factor
12 Faktor XIII = Fibrine stabilizing factor (fibrinase)

Mekanisme Hemostasis

2
1. Primer
Mekanisme vasokonstriksi pembuluh darah pada luka yang kecil.
2. Sekunder
Mekanisme yang melibatkan faktor-faktor koagulasi dalam plasma dan
trombosit dengan tujuan akhir pembentukan jala-jala fibrin, terjadi
pada luka yang besar.
3. Tersier
Mekanisme kontrol yang menjaga agar hemostasis tidak berlebihan
melaku sistem fibrinolitik.
Hemostasis (Hemofilia)
merupakan salah satu gangguan dari hemostasis.Hemofilia berasal dari
bahasa Yunani Kuno, yang terdiri dari dua kata yaitu haima yang berarti darah dan
philia yang berarti cinta atu kasih sayang.Jadi dapat diartikan bahwa hemofilia
merupakan penyakit yang diturunkan dari ibu kepada anaknya pada saat anak
tersebut dilahirkan.
2.5.1 Jenis – Jenis Hemofilia
a. Hemofilia A
Hemofilia A dikenal juga dengan nama :
 Hemofilia Klasik ; karena jenis hemofilia ini adalah yang
paling banyak kekurangan faktor pembekuan pada darah ( FAH =
Factor Anti Hemophilia )
 Hemofilia FVIII : yaitu penyakit hemofilia yang terjadi karena
kekurangan faktor 8 (FVIII) protein pada darah yag menyebabkan
masalah pada proses pembekuan darah.
b. Hemofilia B
Hemofilia B terjadi karena penderita tidak mempunyai faktor KPT
( Komponen Plasma Tromboplastin ). Hemofilia B juga dikenal dengan
nama :
 Faktor 9 ( FIX ) protein pada darah yang menyebabkan
masalah pada proses pembekuan Christmas Desease ; ditemukan
pertama kali pada seorang yang bernama Steven Christmas yang berasal
dari Kanada. Penyakit hemofilia yang dideritanya diwariskan dari
ibunya yaitu Ratu Victoria.
 Hemophilia kekurangan faktor IX ; merupakan penyakit
hemofilia yang terjadi karena kekurangan darah.

3
Tingkatan Hemofilia
Pada dasarnya penyakit hemofilia mempunyai tinkatan yang berbeda – beda.
Hemofilia A dan B dapat digolongkan dalam 3 tingkatan yaitu :
Klasifikasi Kadar Faktor VIII dan Faktor IX di Dalam Darah
Berat Kurang dari 1 % dari jumlah normalnya

Sedang 1 % - 5 % dari jumlah normalnya

Ringan 5 % - 30 % dari jumlah normalnya


Berikut adalah penjabaran mengenai pembagian tingkatan dalam hemofilia A dan
Hemofilia B :
Hemofilia Parah / Berat
Penderita hemofilia pada tinkatan ini hanya memiliki faktor VIII dan
faktor IX kurang dari 1 % dari jumlah normal di dalam darahnya. Dalam artian
bahwa penderita hemofilia pada tingkatan ini akan megalami beberapa kali
perdarahan dalam sebulan. Kadang – kadang perdarahan terjadi begitu saja tanpa
ada sebab yang jelas.
Hemofilia Sedang
Seseorang yang menderita hemofilia tingkat sedang lebih jarang
mengalami perdarahan dibanding hemofilia tingkat berat. Perdarahan kadang
terjadi akibat dari aktivitas tubuh yang terlalu berat, seperti olah raga yang
berlebihan.
Hemofilia Ringan
Penderita hemofilia tingkat ringan ini lebih jarang sekali mengalami
perdarahan dibandingkan dengan hemofilia tingkat berat dan hemofilia tingkat
sednag. Yang menderita hemofilia tingkat ringan mengalami masalah perdarahan
hanya dalam situasi tertentu, seperti operasi, cabut gigi, atau mengalami luka yang
serius. Jika wanita mengalami hemofilia tingkat ringan kemungkinan akan
mengalami perdarahan lebih pada saat wanita tersebut mengalami menstruasi.

4
Hemofilia berat, perdarahan dapat terjadi spontan tanpa trauma.
Sedangkan yang sedang, biasanya perdarahan didahului trauma ringan. Hemofilia
ringan umumnya tanpa gejala atau dapat terjadi perdarahan akibat trauma berat.
Pemeriksaan Hemostasis
Pemeriksaan faal hemosatasis adalah suatu pemeriksaan yang bertujuan
untuk mengetahui faal hemostatis serta kelainan yang terjadi. Pemeriksaan ini
bertujuan untuk mencari riwayat perdarahan abnormal, mencari kelainan yang
mengganggu faal hemostatis, riwayat pemakaian obat, riwayat perdarahan dalam
keluarga. Pemeriksaan faal hemostatis sangat penting dalam mendiagnosis diatesis
hemoragik. Pemeriksaan ini terdiri dari
Tes penyaring meliputi :
a. Percobaan Pembendungan
Percobaan ini bermaksud menguji ketahanan dinding kapiler darah dengan
cara mengenakan pembendungan pada vena, sehingga tekanan darah di dalam
kapiler meningkat. Dinding kapiler yang kurang kuat akan menyebabkan darah
keluar dan merembes ke dalam jaringan sekitarnya sehingga nampak titik-titik
merah kecil pada permukaan kulit, titk itu disebut dengan petekia.
Pada orang normal tidak atau tidak sama sekali didapatkan petekia. Hasil
positif bila terdapat lebih dari 10 petekia. Seandainya di daerah tersebut tidak ada
petekia tetapi jauh di distal ada, hasil percobaan ini positif juga.
Jika pada waktu dilakukan pemeriksaan masa perdarahan sudah terjadi
petekie, berarti percobaan pembendungan sudah positif hasilnya dan tidak perlu
dilakukan sendiri. Pada penderita yang telah terjadi purpura secara spontan,
percobaan ini juga tidak perlu dilakukan.
Walaupun percobaan pembendungan ini dimaksudkan unntuk mmengukur
ketahanan kapiler, hasil tes ini ikut dipengaruhi juga oleh jumlah dan fungsi
trombosit. Trombositopenia sendiri dapat menyebabkan percobaan ini barhasil
positif.
b. Masa Perdarahan

5
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai kemampuan vascular dan
trombosit untuk menghentikan perdarahan.Prinsip pemeriksaan ini adalah
menentukan lamanya perdarahan pada luka yang mengenai kapiler.
Terdapat 2 macam cara yaitu : cara Ivy dan Duke.
Pada cara Ivy, mula-mula dipasang tensimeter dengan tekanan 40 mmHg pada
lengan atas. Setalah dilakukan tindakan antisepsis dengan kapas alkohol, kulit
lengan bawah bagian voler diregangkan lalu dilakukan tusukan denagn lancet
sedalam 3mm. Stopwatch dijalankan waktu darah keluar. Setiap 30 detik darah
dihisap dengan kertas saring. Setelah darah tidak keluar lagi, stopwatch
dihentikan. Nilai normal berkisar antara 1-6 menit.
Pada cara duke, mula-mula dilakukan tindakan antisepsis pada anak daun
telinga. Dengan lancet, dilakukan tususkan pada tepi anak daun telinga. Stopwatch
dijalankan waktu darah keluar. Setiap 30 detik, darah dapat dihisap dengan kertas
saring. Setelah darah tidak keluar lagi, stopwatch dihentikan. Nilai normal
berkiasar antara 1-3 menit. Cara Duke sebaiknya dipakai untuk bayi dan anak
kecil dimana sukar atau tidak mungkin dilakukan pembendungan.
Pemeriksaan masa perdarahan merupakan suatu tes yang kurang
memuaskan karena tidak dapat dilakukan standarisasi tusukan baik mengenai
dalamnya, panjangnya, lokalisasinya maupun arahnya sehingga korelasi antara
hasil tes ini dan keadaan klinik tidak begitu baik. Perbedaan suhu kulit juga dapat
mempengaruhi hasil tes ini.
Pada pemeriksaan ini tusukan harus cukup dalam, sehingga salah satu
bercak darah pada kertas saring mempunyai diameter 5 mm atau lebih. Masa
perdarahan yang kurang dari 1 menit juga disebabkan tusukan yang kurang dalam.
Dalam hal seperti ini, percobaan dianggap batal dan perlu diulang.
Hasil pemeriksaan menurut cara Ivy lebih dapat dipercaya daripada cara
Duke, karena pada cara Duke tidak dilakukan pembendungan sehingga
mekanisme hemostatis kurang dapat dinilai. Apabila pada cara Ivy perdarahan
berlangsung lebih dari 10 menit dan hal ini diduga karena tertusuknya vena, perlu
dilakukan pemeriksaan ulang pada lengan yang lain. Kalau hasilnya tetap lebih
dari 10 menit, hal ini membuktikan adanya suatu kelainan dalam mekanisme

6
hemostatis. Tindakan selanjutnya adalah mencari letak kelainan hemostatis
dengan mengerjakan pemeriksaan-pemeriksaan lain.
c. Hitung Trombosit
Hitung trombosit dapat dilakukan dengan cara langsung dan tak langsung.
Cara langsung dapat dilakukan dengan cara manual, semi otomatik, dan
otomatik.Pada cara manual, mula-mula darah diencerkan dengan larutan
pengencer lalu diidikan ke dalam kamar hitung dan jumlah trombosit dihitung
dibawah mikroskop. Untuk larutan pengencer yang dipakai larutan Rees Ecker
atau larutan amonium oksalat 1%. Cara manula mempunyai ketelitian dan
ketepatan yang kurang baik, karena trombosit kecil sekali sehingga sukar
dibedakan dari kotoran kecil. Lagi pula trombosit mudah pecah dan cenderung
saling melekat membentuk gumpalan serta mudah melekat pada permukaan asing.
Oleh karena itu alat-alat yang dipakai harus betul-betul bersih dan larutan
pengencer harus disaring terlebih dahulu. Sebagai bahan pemeriksaan d ipakai
darah dengan anticoagulant sodium ethylendiamine tetraacetate yang masih dalam
batas waktu yang diijinkan artinya tidak lebih dari 3 jam setelah pengambilan
darah.
Pada cara semi otomatik dan otomatik dipakai alat electronic particle counter
sehingga ketelitiannya lebih baik daripada cara manual. Akan tetapi cara ini masih
mempunyai kelemahan, karena trombosit yang besar (giant trombocyte) atau
beberapa trombosit yang menggumpal tidak ikut terhitung, sehingga jumlah
trombosit yang dihitung menjadi lebih rendah.
Pada cara tak langsung, jumlah trombosit pada sediaan hapus dibandingkan
jumlah trombosit dengan jumlah eritrosit kemudian jumlah mutlaknya dapat
diperhitungkan dari jumlah mutlak eritrosit.
Karena sukarnya dihitung, penilaian semi kuantitatif tentang jumlah trombosit
dalam sediaan hapus darah sangat besar artinya sebagai pemeriksaan penyaringan.
Pada sediaan hapus darah tepi, selain dapat dilakukan penilaian semi kuantitatif,
juga dapat diperiksa morfologi trombosit serta kelainan hematologi lain. Bila
sediaan hapus dibuat langsung dari darah tanpa antikoagulan, maka trombosit

7
cenderung membentuk gumpalan. Jika berarti membentuk gumpalan berarti
tedapat gangguan fungsi trombosit.
Dalam keadaan normal jumlah trombosit sangat dipengaruhi oleh cara
menghitungnya dan berkisar antar 150.000 – 400.000 per µl darah.
Pada umumnya, jika morfologi dan fungsi trombosit normal, perdarahan tidak
terjadi jika jumlah lebih dari 100.00/µl. Jika fungsi trombosit normal, pasien
dengan jumlah trombosit diatas 50.000/µl tidak mengalami perdarahan kecualai
terjadi trauma atau operasi. Jumlah trombosit kurang dari 50.000/µl digolongkan
trombositopenia berat dan perdarahan spontan akan terjadi jika jumlah trombosit
kurang dari 20.000/µl.
d. Masa Protrombin Plasma (protrombin time PT)
Pemeriksaan ini digunakan untuk menguji pembekuan darah melalui jalur
ekstrinsik dan jalur bersama yaitu faktor pembekuan VII, X, V, protrombin dan
fibrinogen. Selain itu juga dapat dipakai untuk memantau efek antikoagulan oral
karena golongan obat tersebut menghambat pembentukan faktor pembekuan
protrombin, VII, IX, dan X.
Prinsip pemeriksaan ini adalah mengukur lamanya terbentuk bekuan bila ke
dalam plasma yang diinkubasi pada suhu 37ºC, ditambahkan reagens
tromboplastin jaringan dan ion kalsium.
Hasil pemeriksaan ini dipengaruhi oleh kepekaan tromboplastin yangh dipakai
oleh teknik pemeriksaan. Karena itu pemeriksaan ini harus dilakukan duplo dan
disertai kontrol dengan plasma normal.
Nilai normal tergantung dari reagen, cara pemeriksaan dan alat, dan alat yang
digunakan. Sebaiknya tiap laboratorium mempunyai nilai normal yang ditetapkan
sendiri dan berlaku untuk laboratorium tersebut.

e. Masa Tromboplastin Parsial Teraktivasi (activated parsial thromboplastin


time APTT)
Pemeriksaan ini digunakan untuk menguji pembekuan darah melaui jalur
intrinsik dan jalur bersama yaitu faktor pembekuan XII, prekalikrein, kininogen,
XI, IX, VIII, X, V, protombin dan fibrinogen.

8
Pemeriksaan ini juga dipakai untuk memnatau pemberian heparin. Dosis
heparin diatur sampai APTT mencapai 1,5-2,5 kali nilai kontrol.
f. Masa Trombin (thrombin time TT)
Pemeriksaan ini digunakan untuk menguji perubahan fibrinogen menjadi
fibrin. Prinsip pemeriksaan ini adalah mengukur lamanya terbentuk bekuan pada
C bila ke dalam plasma ditambahkan reagens thrombin.suhu 37
g. Pemeriksaan Penyaring Untuk Faktor XIII
Pemeriksaan ini dimasukkan dalam pemeriksaan penyaring, karena baik PT,
APTT, maupun TT tidak menguji factor XIII, sehingga adanya defisiensi F XIII
tidak dapat di deteksi dengan PT, APTT, maupun TT.
Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai kemampuan factor XIII dalam
menstabilkan fibrin.
Bila factor XIII cukup, setelah 24 jam bekuan fibrin tetap stabil dalam larutan
urea 5M. jika terdapat defisiensi factor XIII bekuan akan larut kembali dalam
waktu 2-3 jam.
Tes khusus meliputi :
a. Tes faal trombosit
b. Tes Ristocetin
c. Pengukuran faktor spesifik (faktor pembekuan)
d. Pengukuran alpha-2 antiplasmin

Hal - hal yang perlu diperhatikan pada pemeriksaan Hemostasis


Antikoagulan
Untuk pemeriksaan koagulasi antikoagulan yang dipakai adalah natrium
sitrat 0,109 M dengan perbandingan 9 bagian darah dan 1 bagian natrium
sitrat.Untuk hitung trombosit antikoagulan yang dipakai adalah Na2EDTA.Jika
dipakai darah kapiler, maka tetes darah pertama harus dibuang.
Penampung
Untuk mencegah terjadinya aktivasi factor pembekuan, dianjurkan
memakai penampung dari plastic atau gelas yang telah dilapisi silicon.

Semprit dan Jarum

9
Setiap kali mengerjakan pemeriksaan koagulasi, sebaiknya diperiksa
juga satu kontrol normal dan satu kontrol abnormal. Selain tersedia secara
komersial, kontrol normal juga dapat dibuat sendiri dengan mencampurkan
plasma yang berasal dari 10 sampai 20 orang sehat, yang terdiri atas pria dan
wanita yang tidak memakai kontrasepsi hormonal. Plasma yang dipakai sebagai
kontrol tidak boleh ikterik, lipemik, maupun hemolisis.
Penyimpangan dan pegiriman bahan
Pemeriksaan koagulasi sebaiknya segara dikerjakan, karena beberapa
faktor pembekuan bersifat labil. Bila tidak dapat diselesaikan dalam waktu 4 jam
setelah pengambilan darah, plasma disimpan dalam tempat plastik tertutup dan
dalam keadaan beku. Untuk pemeriksaan APTT dan assay faktor VIII atau IX,
bahan yang dikirim adalah plasma citrat dalam tempat plastik bertutup dan diberi
pendingin, tetapi untuk PT dan agregasi trombosit jangan diberi pendingin karena
suhu dingin dapat mengaktifkan F VII tetapi menghambat agregasi trombosit.

RESPON SEL TERHADAP SEL

10
Sifat-sifat sel sbb :
 Sel berpartisipasi dalam lingkungan mereka
 Secara konstan mengatur struktur dan fungsi mereka untuk
mengakomodasi perubahan-perubahan dan stress ekstraseluler.
 Cenderung mempertahankan internal mileu dalam rentang yang cukup
sempit dari parameter-parameter fisiologis.--> mereka mempertahankan
homeostasis normal.
 Saat menghadapi stress fisiologis atau stimuli patologis mereka melakukan
adaptasi, menerima keadaan tetap dan memelihara fungsi dan
kelangsungan hidup.
 Prinsip-prinsip respon adaptasi meliputi : 1) hipertropi 2) hyperplasia 3)
atropi, 4) metaplasia
 Bila kapabilitas adaptif terlewati atau stress eksternal berbahaya, sel
berkembang menjadi terluka (injuri).
 Pada batas tertentu, injuri adalah reversible, dan sel kembali kepada
kondisi awal
 Stress yang terus menerus dapat menyebabkan injuri yang irreversible dan
mengakibatkan kematian sel.
Penyebab kematian sel :
 Iskemia (kekurangan aliran darah)
 Infeksi
 Toksin
 Reaksi imun.
Baiklah marilah kita mulai membahas tentang adaptasi sel terhadap stress.
1). Hipertropi
- Hipertropi adalah peningkatan ukuran sel yang menyebabkan peningkatan
ukuran organ juga.
- Sebaliknya hiperplasi adalah peningkatan jumlah sel.
- Sel membesar karena eningkatan jumlah dari struktur protein dan organel-
organelnya.

11
- Hipertropi dapat fisiologik atau patologik dan disebabkan oleh
peningkatak kebutuhan fugsi atau oleh stimulasi hormon yang spesifik.
- Hipertropi dan hiperplasi dapat bersamaan : Contoh uterus yang membesar
akibat stimulasi hormon estrogen juga mengalami hiperplasia otot polos.
2) Hiperplasia
Bertambahnya jumlah sel –> terjadi pada sel-sel yang mampu membelah.
Mungkin terjadi bersamaan dengan hipertropi dan sering berespeons terhadap
stimulus yang sama.
Hiperplasia dapat fisiologis maupun patologik.
Dua tipe hiperplasia fisiologis yaitu : 1) hormonal hiperplasia à misal proligerasi
epiter glandular saat kehamilan. 2) hiperplasia kompensatori -> terjadi saat
sebagian jaringan terambil akibat penyakit. -> aktivitas mitosis.
Kondisi patologis dapat terjadi akibat stimulasi hormon yang berlebihan.
Hiperplasia sangat diperlukan untuk penyembuhan jaringan akibat luka. Hal ini
dipicu oleh faktor pertumbuhan yang diproduksi oleh sel darah putih.
Faktor pertumbuhan dapat juga diproduksi oleh virus ataupun sel yang sedang
terluka.
Pasien dengan hiperplasia dapat juga mengalami proliferasi kanker.
3) Atrofi
Adalah penyusutan ukuran sel karena kehilangan substansi sel, sehingga organ
dan jaringan mengecil juga.
Meskipun sel menyusut, mereka tidak mati.
Penyebab atropi meliputi : penurunan load kerja (misal imobilisasi), kehilangan
inervasi, penuruhan suplai darah, nutrisi tidak adequat, kehilangan stimulasi
endokrin, penuaan (senile atrophy)
Atropi terjadi dari penurunan sistensi protein dan peningkatan degradasi protein
sel.

4) Metaplasia

12
Adalah perubahan reversibel dalam tipe sel dewasa (epitelial atau mesenchimal)
yang digantikan oleh tipe sel dewasa lain. Pada tipe adaptasi sel ini, sel-sel sensitif
kepada stress khusus digantikan oleh tipe sel lain yang lebih baik untuk dapat
bertahan terhadap lingkungan yang merugikan.
Misal pada perokok : sel epitel columnar ciliated pada trakea dan bronchi diganti
dengan stratified squamous epithelial cells.
Kematian Sel
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, akibat stress yang sangat berat sel
dapat mengalami injuri, kemudian bila ireversible, sel dapat mengalami kematian.
Ada 2 macam kematian sel yaitu : 1) necrosis dan 2) apoptosis.
Necrosis :
Bila cedera sangat hebat –> sel tidak dapat meneruskan metabolismenya.
Sifat ireversible
Sel memiliki enzim litik, yang akan melarutkan berbagai unsur sel
Bila terkena jaringan hidup yang bersebelahan akan menimbulkan reaksi
peradangan
Bila sebuah / sekelompok sel / jaringan dalam hospes yang hidup diketahui mati
disebut nekrosis = kematian sel lokal
Perubahan morfologis jaringan nekrosis
1) Piknosis = inti sel menyusut, batas tidak teratur, berwarna gelap
2) Karioreksis = inti hancur, meninggalkan pecahan zat kromatin
3) Kariolisis = inti sel menghilang karena sulit diwarnai
4) Nekrosis koagulativa = lisis yang terhambat oleh keadaan lokal sehingga
bentuk sel bertahan. Sering dijumpai pada nekrosis karena hilangnya suplai
darah
5) Nekrosis liquefaktiva = jaringan nekrosis sedikit demi sedikit mencair karena
kerja enzim. Sering pada daerah otak yang nekrotik, akibatnya ada lubang di
jaringan otak berisi cairan.
6) Nekrosis kaseosa = jaringan nekrotik yang hancur berkeping-keping terbagi
halus, nampak seperti keju yang hancur. Bertahan berbulan-bulan sampai
bertahun-tahun. Terjadi pada penyakit tuberkulosis
7) Ganggren = nekrosis koagulativa, disebabkan oleh tidak adanya suplai darah,
disertai oleh pertumbuhan bakteri saprofit.

13
8) Nekrosis akibat pecahnya pankreas àmemecah lipid jaringan adiposaà
menimbulkan endapan-endapan sabun
Akibat nekrosis
1) Hilangnya fungsi daerah yang mati
2) Fokus infeksi (mudah berkembang biaknya bakteri)
3) Menimbulkan demam, leukositosis, gejala-gejala subyektif
4) Membocorkan enzim-enzim
Nasib jaringan nekrotik selanjutnya :
1) Respon peradangan
2) Lisis nekrosis membuka jalan untuk proses perbaikan dengan sel-sel regenerasi
3) Jaringan parut
4) Kalsifikasi / tertutup jaringan fibrosa yang terisi dengan garam-garam kalsium.

Beda Necrosis dengan Apoptosis sbb :

14
Mekanisme injuri sel :
- Tergantung tipe, durasi, dan beratnya injuri.
- Akibat dari abnormaltas biokimia dan fungsional satu atau beberapa
komponen sel yang esensial.
- Target penting injuri sel :
1. Mitokondria –> tempat memproduksi ATP
2. Membran sel –> pada mana homeostasis ionic dan osmotic sel dan organel
nya bergantung.
3. Sintesa protein
4. Cytoskeleton
5. Genetic apparatus dari sel

UNIT II
NEOPLASMA

15
A. PENGERTIAN NEOPLASMA
Neoplasia secara harfiah berarti proses “pertumbuhan baru” dan suatu
pertumbuhan baru disebut neoplasma. Kata tumor semula diterapkan untuk
pembengkakan akibat peradangan. Neoplasma juga dapat memicu pembengkakan,
tetapi setelah beberapa lama pemakaian tumor untuk menerangkan hal selain
neoplasma mulai ditinggalkan. Oleh karena itu, kata ini sekarang berarti
neoplasma. Onkologi (Yunani oncos=tumor) adalah ilmu tentang tumor atau
neoplasma. Kanker adalah kata umum untuk semua tumor ganas. Meskupun asal
mula asal kata ini agak kurang jelas, diperkirakan kanker berasal dari kata lathin
untuk kepiting, cancer-mungkin karena kanker” melekat pada bagian apapun yang
dapat dicenghkramnya secara terus menerus, seperti kepiting”.
Onkologi ialah ilmu yang mempelajari penyakit yang disebabkan oleh
tumor. Dalam artian umum, tumor adalah benjolan atau pembengkakan abnormal
didalam tubuh, tetapi dalam artian khusus, tumor adalah benjolan yang
disebabkan neoplasma. Secara klinis secara klinis, tumor dibedakan atas
golongan neoplasma dan nonneoplasma misalnya, kista, akibat reaksi radang atau
hiper trofi.
Neoplasma dapat bersifat ganas atau jinak. Neoplasma ganas atau kanker
terjadi karena timbul atau berkembangbiaknya sel secara tidak terkendali sehingga
sel-sel ini tumbuh terus merusak bentuk dan fungsi organ tempat tumbuhnya.
Kanker karsinoma, atau sarkoma tumbuh menyusut (infiltratif) kejaringan
sekitarnya sambil merusaknya (destruktif), dapat menyebar kelain tubuh, dan
umumnya fatal jika dibiarkan. Neoplasma jinak tumbuh dengan batas tegas dan
tidak menyusup, tidak merusak, tetapi membesar dan menekan jaringan
disekitarnya (ekspansif), dan umumnya tidak bermetastasis misalnya lifoma.

B. MACAM – MACAM PENYAKIT NEOPLASMA


1. Nonneoplasma (biasanya akibat bekas dari infeksi ataupun trauma)
2. Neoplasma (tumor)

16
3. Kista
4. Hipertrofi
5. Ganas/maligna (kanker)
6. Karsinoma sarkoma
7. Benigna
8. Radang

a. Atas dasar sifat biologik tumor


Atas dasar sifat biologiknya tumor dapat dibedakan atas tumor yang
bersifat jinak (tumor jinak), tumor yang bersifat ganas (tumor ganas) dan tumor
yang terletak antara jinak dan ganas yang disebut “intermediate”.
· Tumor Jinak Atau Beligna
Tumor jinak tumbuhnya lambat dan biasanya mempunyai simpai (kapsul),
tidak tumbuh infiltrative, tidak merusak jaringan sekitarnya dan tidak
menimbulkan anak sebar pada tempat yang jauh. Tumor jinak pada umumnya
dapat disembuhkan dengan sempurna kecuali yang mensekresi horrmon atau yang
terletak pada tempat yang sangat penting, misalnya di sumsum tulang belakang
yang dapat menimbulkan paraplegia atau pada saraf otak yang menekan jaringan
otak.
Tumor ganas atau maligna
Tumor ganas pada umumnya tumbuh cepat, infiltrative dan merusak
jaringan sekitarnya. Disamping itu dapat menyebar ke seluruh tubuh melalui
aliran limfe atau aliran darah dan dapat menimbulkan kematian.
· Tumor intermediate
Di antara dua kelompok, terdapat segolongan tumor yang memiliki sifat
invasive local tetapi kemampuan metastasisnya kecil. Tumor demikian disebut
tumor yang agresif local atau tumor ganas berderajat rendah. Sebagai contoh ialah
karsinoma sel basal kulit.
b. Atas dasar sel atau jaringan
Tumor diklasifikasikan dan diberi nama atas dasar jaringan dasar sel tumor yaitu
· Berasal dari sel totipoten
Sel totipoten adalah sel yang dapat berdeferensiasi ke dalam tiap jenis sel
tubuh. Sebagai contoh ialah zigot yang berkembang menjadi janin. Paling sering

17
ditemui pada gonad yaitu sel germinal. Dapat pula terjadi retroperitoneal,
dimediastinum dan daerah pineal.
· Berasal dari sel embrional pluripoten
Sel embrional dapat berdeferensiasi ke dalam berbagai jenis sel dan
sebagai tumor akan membentuk berbagai jenis struktur alat tubuh. Sebagai contoh
ialah tumor sel embrional pluripoten yang berasal dari anak ginjal, disebut
nefroblastoma, sering berdeferensiasi ke dalam struktur yang menyerupai tubulus
ginajal dan kadang-kadang jaringan otot, tulang rawan atau tulang rudimenter.
Tumor ini contohnya dapat terdapat pada retinoblastoma, hepatoblastoma,
embrional rhabdomisarcoma.
· Berasal dari sel yang berdeferensiasi
Jenis sel dewasa yang bederensiasi, terdapat dalam bentuk sel alat-alat
tubuh pada kehidupan postnatal. Kebanyakan tumor pada manusia terbentuk dari
sel berdeferensiasi.
Perbedaan Neoplasma Jinak dan Ganas
Jinak Ganas
- Serupa sel asal - Tidak sama dengan sel asal
- Tepian licin (bersimpai) - Tepian tidak rata
- Menekan - Menyusup
- Tumbuh perlahan - Tumbuh Cepat
- Sedikit Vaskuler - Vaskuler/sangat Vaskuler
- Jarang Timbul Ulang - Sering residif setelah
- Jarang nekrosis dan ulserasi dibuang
- Jarang efek sistemik kecuali - Umumnya nekrosis dan
Neoplasma endokrin ulserasi
- Umumnya efek sistemik
C. PROSES PENYAKIT NEOPLASMA
· Invasi lokal
Tumor jinak tetap berada ditempatnya berasal, tidak memiliki kemampuan
menginfiltrasi, menginvasi, atau menyebar ke tempat yang jauh seperti kanker.
Contohnya, fibroma dan adenoma berkembang secara lambat, membentuk kapsul
fibrosa yang memisahkannya dari jaringan pejamu.

18
Kapsul ini mungkin berasal dari stroma jaringan asli karena sel parenkim
mengalami atrofi akibat tekanan tumor yang membesar, tidak semua neoplasma
jinak memiliki kapsul.
Kanker tumbuh dengan cara menginfiltrasi, menginvasi dan penetrasi
progresif ke jaringan sekitar, tidak membentuk kapsul yang jelas. Cara
pertumbuhan yang bersifat infiltratif menyebabkan perlunya pengangkatan
jaringan normal disekitar secara luas melalui bedah.

Metastasis
Metastasis menunjukkan terbentuknya implan sekunder yang terpisah dari
tumor primer, mungkin di jaringan yang jauh. Dibandingkan ciri-ciri neoplastik
lainnya, kemampuan invasi dan metastasis menunjukkan secara pasti suatu
neoplasma bersifat ganas.
Namun, tidak semua kanker memiliki kemampuan sel bermetasis yang
setara. Secara umum, semakin anaplastik dan besar neoplasma primernya,
semakin besar kemungkinan metastasis. Namun kanker yang sangat kecil juga
dapat mengakibatkan metastasis, dan sebaliknya, kanker yang besar mungkin
belum tentu menyebar saat ditemukan.
Neoplasma ganas menyebar melalui salah satu :
1. Penyemaian dalam rongga tubuh
2. Penyebaran limfatik
3. Penyebaran hematogen

D. RESPON SEL TERHADAP PENYAKIT TRAUMA


Apoptosis ialah kematian sel terprogram yang terjadi akibat beberapa
proses fisiologik atau neoplastik.Penumpukan sel pada neoplasma,tidak hanya
terjadi akibat aktifasi gen perangsang perumbuhan atau anti-onkogen,tapi juga
terjadinya mutasi gen pengatur apoptosis. Pertumbuhan sel diatur oleh proto-
onkogen dan onkogen,sedangkan kehidupan sel diatur oleh gen perangsang dan
penghambat apoptosis.Gen penghambat apoptosis ialag bcl-2 sedangkan yang

19
meningkatkan apoptosis adalah bax/bad.Hubungan kedua sel in menentukan
jumlah sel.

E. RESPON IMUN TERHADAP PENYAKIT NEOPLASMA


Sistem imun adalah semua mekanisme yang di gunakan untuk
mempertahankan ke utuhan tubuh sebagi perlindungan terhadap bahaya yang
dapat di timbulkan oleh berbagai bahan dalam dalam lingkungan hidup.
Pertahanan tersebut terdiri atas sistem imun spesifik adaptive/acquired dan
nonspesifik natural/innate. Respons imun spesifik bergantung pada adanya
pemaparan benda asing, pengenalan, kemudian reaksi terhadapnya. Sebaliknya,
Sebaliknya, respons nonspesifik terjadi sesudah pemaparan inisial dan pemaparan
lanjutan terhadap benda asing. Kemudian terjadi diferensiasi selektif self dan
nonself di mana respons nonspesifik ini tidak bergantung pada pengenalan
spesifik. Respons imunologik menjalankan 3 fungsi yaitu pertahanan,
homeostatis, dam pengawasan.
Sistem imun masih baru dikenal dan disebut sebagai fungsi pengawasan
diri surveillance. Fungsi pengawasan ini memonitor pengenalan jenis-jenis sel
abnormal yang secara tetap selalu timbul dalam tubuh. Sel-sel mutan ini dapat
terjadi secara spontan atau disebabkan oleh pengaruh virus tertentu atau zat-zat
kimia. Sistem imun diberi tugas pengenalan dan pembuangan benda-benda baru
yang di dapat yang sebagian besar dari tugas ini terjadi di permukaan sel.
Kegagalan mekanisme ini di tetapkan sebagai penyebab utama perkembangan
penyakit-penyakit neoplasma.

F. KOMPLIKASI PENYAKIT NEOPLASMA


Perdarahan dapat terjadi pada tumor-tumor jinak di selaput lender,
misalnya papilloma pada tractus digestivus dan tractus urinarius. Pada tumor-
tumor ini dapat juga terjadi tukak pada permukaannya yang kemudian akan diikuti
oleh infeksi. Pada tumor-tumor jinak yang bertangkai seperti pada myoma
subserosum atau suatuu cystadenoma ovarii dapat terjadi perputaran tangkai dan
dapat menimbulkan rasa nyeri yang sangat. Tumor-tumor yang bertangkai pada
usus dapat menimbulkan intususepsi (invaginasi).

20
Ada tiga bentuk yang umum :
 Leukimia Mielogenik akut yang ditandai oleh akumulasi sel-sel mieloid
immatur dalam sumsum tulang.
 Sindrom mielodisplastik yang ditandai oleh hematopoiesis yang tidak efektif
dan sitopenia yang kemudian terjadi.
 Kelainan mieloproliferatif kronik yang ditandi oleh peningkatan produksi sel-
sel mieloid yang mengalami diferensiasi terminal.

UNIT III
GANGGUAN PADA SOISTEM KARDIOVASKULER

A. KONDISI PATOLOGIS PADA JANTUNG YANG BERHUBUNGAN


STRES LANGSUNG DAN TIDAK LANGSUNG
1. STRES LANGSUNG
Pada dasarnya, stres bukanlah penyebab langsung dari penyakit jantung.
Hanya saja, orang yang memiliki stres memang cenderung rentan mengalami
penyakit jantung, khususnya serangan jantung atau gagal jantung. Tetapi, belum
tentu juga stres akan langsung mengakibatkan penyakit jantung. Jika dibiarkan
terus menumpuk dan tidak ditangani, stres berat barulah dapat meningkatkan
risiko penyakit jantung.
a. Saat stres tekanan darah meningkat
Stres yang Anda alami akan meningkatkan tekanan darah. Jika stres diatasi,
maka tekanan darah akan kembali normal dan tak berdampak apapun ke tubuh.
Namun, jika stres tak kunjung hilang dan malah semakin menjadi-jadi, maka
tekanan darah akan tetap tinggi.

21
Tekanan darah yang tinggi ini yang kemudian menyebabkan seseorang
berisiko terkena penyakit jantung. Ketika tekanan darah tinggi, maka aliran darah
tidak lancar, sehingga bisa saja menimbulkan gangguan pada kerja jantung.
Berbagai penelitian telah menyatakan bahwa tekanan darah tinggi adalah salah
satu faktor risiko dari serangan jantung, gagal jantung, bahkan stroke.
b. Bikin mulut ingin selalu ngunyah, bahkan di saat kenyang
Banyak orang yang mengalami stres berkepanjangan justru menjadikan
makanan sebagai pelariannya. Selain itu, terbukti juga jika stres bisa bikin nafsu
makan meningkat. Hal ini terkait dengan tingginya hormon kortisol ketika stres
terjadi.
Hormon ini memiliki kemampuan untuk meningkatkan nafsu makan, sehingga
membuatnya makan berlebihan dan tak terkendali. Makanan-makanan tersebut
tentu melebihi kebutuhan tubuh dan menyebabkan tumpukan lemak semakin
banyak. Nah, tumpukan lemak ini yang akan membuat seseorang terserang
penyakit jantung.
Lemak dapat membuat pembuluh darah tersumbat dan akhirnya aliran darah tidak
lancar. Kemudian, fungsi jantung pun terganggu.
c. Tidak ada gairah untuk melakukan aktivitas lain
Kalau sedang merasa stres, Anda pasti malas untuk melakukan kegiatan lain.
Rasanya murung dan sedih saja seharian. Kondisi ini membuat Anda tidak
melakukan aktivitas fisik apapun. Kalau hanya dilakukan sehari saja, tidak apa.
Tetapi, jika kondisi ini selama seminggu saja terjadi, maka selama satu
minggu tersebut Anda tidak melakukan aktivitas fisik. Jangan heran kalau nanti
berat badan Anda melonjak saat ditimbang. Sebab, gaya hidup sedentari atau tidak
melakukan aktivitas fisik sama sekali hanya akan membuat timbunan lemak tubuh
semakin banyak. Dan lagi-lagi, lemak memiliki kemampuan untuk menyumbat
aliran darah Anda dan akhirnya jantung tidak bisa memompa darah dengan baik.
d. Cenderung mencari pelarian dengan melakukan kebiasaan buruk
Tak hanya makanan, orang yang mengalami stres akan mencari pelarian lain
yang dapat membuat dirinya nyaman, seperti halnya mengonsumsi alhokol dan

22
merokok. Kebiasaan buruk tersebut tentu semakin meningkatkan risiko berbagai
penyakit kronis, tak hanya risiko penyakit jantung saja.

B. PERUBAHAN PADA KARDIOVASKULER


Perubahan-perubahan yang terjadi pada Jantung :
 Pada miokardium terjadi brown atrophy disertai akumulasi lipofusin (aging
pigment) pada serat-serat miokardium.
 Terdapat fibrosis dan kalsifikasi dari jaringan fibrosa yang menjadi rangka
dari jantung. Selain itu pada katup juga terjadi kalsifikasi dan perubahan
sirkumferens menjadi lebih besar sehingga katup menebal. Bising jantung
(murmur) yang disebabkan dari kekakuan katup sering ditemukan pada lansia.
 Terdapat penurunan daya kerja dari nodus sino-atrial yang merupakan
pengatur irama jantung. Sel-sel dari nodus SA juga akan berkurang sebanyak
50%-75% sejak manusia berusia 50 tahun. Jumlah sel dari nodus AV tidak
berkurang, tapi akan terjadi fibrosis. Sedangkan pada berkas His juga akan
ditemukan kehilangan pada tingkat selular. Perubahan ini akan mengakibatkan
penurunan denyut jantung.
 Terjadi penebalan dari dinding jantung, terutama pada ventrikel kiri. Ini
menyebabkan jumlah darah yang dapat ditampung menjadi lebih sedikit
walaupun terdapat pembesaran jantung secara keseluruhan. Pengisian darah ke
jantung juga melambat.
 erjadi iskemia subendokardial dan fibrosis jaringan interstisial. Hal ini
disebabkan karena menurunnya perfusi jaringan akibat tekanan diastolik
menurun.

Perubahan-perubahan yang terjadi pada Pembuluh darah :


 Hilangnya elastisitas dari aorta dan arteri-arteri besar lainnya. Ini
menyebabkan meningkatnya resistensi ketika ventrikel kiri memompa
sehingga tekanan sistolik dan afterload meningkat. Keadaan ini akan berakhir
dengan yang disebut “Isolated aortic incompetence”. Selain itu akan terjadi
juga penurunan dalam tekanan diastolik.

23
 Menurunnya respons jantung terhadap stimulasi reseptor ß-adrenergik.
Selain itu reaksi terhadap perubahan-perubahan baroreseptor dan
kemoreseptor juga menurun. Perubahan respons terhadap baroreseptor dapat
menjelaskan terjadinya Hipotensi Ortostatik pada lansia.
 Dinding kapiler menebal sehingga pertukaran nutrisi dan pembuangan
melambat.

Perubahan-perubahan yang terjadi pada Darah :


 Terdapat penurunan dari Total Body Water sehingga volume darah pun
menurun.
 Jumlah Sel Darah Merah (Hemoglobin dan Hematokrit) menurun. Juga
terjadi penurunan jumlah Leukosit yang sangat penting untuk menjaga
imunitas tubuh. Hal ini menyebabkan resistensi tubuh terhadap infeksi
menurun.

ASKEP PADA PASIEN GANGGUAN SISTEM KARDIOVASKULER


A. ANATOMI DAN FISIOLOGI JANTUNG
Jantung kira-kira sebesar kepalan tangan dengan berat antara 220-260
gram. Basis jantung bdari jantung. Sedangkan erada pada costa ke-3 kanan, 2 cm
dari sternum, ke atas ke costa kedua kiri, 1 cm dari jantung. Sedangkan apeks
jantung pada costa ke-5 dan ke-6 kiri atau ruang inetercostal kelima kiri 4 cm dan
garis medial.
Jantung tersusun atas:
1. Epicardium
Merupakan bagian terluar dan merupakan jaringan yang transparan.
2. Miokardium
Adalah bagian tengah yang terdiri atas serat otot strie yang bertanggung jawab
atas kekuatan kontraksi jantung.
3. Endokardium
Bagian jantung terdalam yang terdiri dari jaringan endotheal merupakan bagain
yang berbatasan dengan bilik jantung dan menutup 4 katup jantung.

24
Gambar 1: Ruang-ruang Jantung

Ruang- ruangan dalam jantung:


1. Bagian kanan jantung
Atrium kanan berupa dinding tipis yang menerima darah vena yang
teroksigenasi dari jaringan-jaringan perifer melalui vena cava superior dan inferior
dan dari otot jantung melalui sinus coronaria. Kebanyakan dari venous return
mengalir dengan pasif dari atrium kanan melalui katup trikuspidalis yang terbuka
ke ventrikel kanan selama diastole ventrikuler. Sisa dari venous return secara aktif
di dorong oleh atrium kanan selama atrium systole atau kontraksi. Ventrikel kanan
atau otot pemompa datar yang berada di belakang sternum ventrikel kanan
menghasilkan tekanan sekitar 25 mmHg untuk menutup katup trikuspidalis, untuk
membuka katup pulmonik dan untuk mendorong darah ke dalam arteri pulmonalis
dan paru-paru. Beban kerja ventrikel kanan berbeda dibandingkan dengan
ventrikel kiri Karen sistem pulmonary adalah sebuah sistem bertekanan rendah
yang membebankan sedikit tahanan pada aliran
2. Bagian kiri jantung
Setelah darah dioksigenasi dalam paru-paru, darah akan mengalir bebas
dari empat vena pulmonalis ke atrium kiri. Darah lalu mengalir melalui katup

25
mitral yang terbuka ke dalam ventrikel kiri selama diastole ventrikuler. Ketika
ventrikel kiri hampir penuh, atrium kiri berkontraksi memompa darah masuk ke
ventrikel kiri. Akhirnya dengan kontraksi sistol ventrikel kiri menghasilkan
tekanan sekitar 120 mmHg untuk menutup katup mital dan membuka katup aotrik.
Darah didorong ke aorta dan masuk ke sirkulasi sistemik arteri.
Ventrikel kiri berbentuk elips dan yang terbesar dan banyak terdapat otot
dalam jantung. Dindingnya 2 sampai 3 kali tebalnya dinding ventrikel kanan.
Ventrikel kiri menghasilkan tekanan yang lebih tinggi dari pda ventrikel kanan
karena ventrikel kiri harus berkontraksi melawan tekanan tinggi sirkulasi
sistemik, yang membebankan tahanan yang lebih besar pada aliran jika tekanan
meningkat dalam sistem sirkulasi (hipertensi) berarti ada tahanan yang lebih besar.
Lalu ventrikel kiri harus menghasilkan tekanan yang lebih tinggi untuk membuka
katup aortic dan mengosongkan isinya, meningkatkan beban kerja ventrikel kiri.
Darah didorong di aorta seluruhnya sirkulasi sistemik ke jaringan tubuh.
Darah kembali ke atrium kanan karena perbedaan tekanan. Tekanan darah di aorta
pada orang dewasa muda adalah sekitar 100-120mmHg, sedangkan tekanan darah
di atrium kanan adalah sekitar 0-5 mmHg. Perbedaan dalam tekanan
menghasilkan tekanan gradient, sehingga darah mengalir dari yang bertekanan
tinggi ke yang bertekanan rendah. Struktur jantung dan pembuluh darah
bertanggung jawab untuk mengatur tekanan ini.

B. KONSEP DASAR COR PULMONAL


1. Pengertian
Cor Pulmonal (CP) adalah suatu keadaan di mana terdapat hipertrofi atau
dilatasi dari ventrikel kanan sebagai akibat dari hipertensi (arteri) pulmonal yang
disebabkan oleh penyakit intrinsik dari parenkim paru, didinding toraks maupun
vaskuler paru. Cor Pulmonal dapat bersifat akut akibat adanya emboli paru yang
pasif, dan dapat juga bersifat kronis. (Yogiarto,M dan Baktiyasa,B: 2003).
Cor Pulmonal adalah penyakit jantung karena tekanan darah dalam
pembuluh-pembuluh nadi paru. Penyakit jantung Pulmonal terkadang timbul
sekunder dengan penyakit paru-paru seperti emfisema, silicosis atau fibrosis
pulmonal, yaitu darah dialirkan lewat paru-paru dengan sulit (F. Knight,Jhon:
1995).

26
2. Etiologi
Secara garis besar Cor Pulmonal dapat dibagi menjadi sebagai berikut:
a. Penyakit Parenkim Paru, Penyakit Paru Obstruktif Menahun (merupakan
penyebab tersrang CP kronis), Bronki Ektasis, Sistik Fibrosis,
pneumoconiosis.
b. Kelainan dinding thoraks dan otot pernapasan, Kiposkoliosis, Miastenia
Gravis
c. Penyakit Vaskuler Paru, embolo paru berulang atau emboli paru pasif. Emboli
paru myang masih pasif merupakan penyebab tersering dari Cor Pulmonal
Akut sedangkan emboli paru berulang dapat menyebabkan Cor Pulmonal
Kronis, Hipertensi Pulmonal Primer, Anemia sel sabit, scleroderma.
d. Penyakit pembuluh darah paru-paru. Terutama trombosis dan embolus paru-
paru, fibrosis akibat penyinaran menyebabkan penurunan elastisitas pembuluh
darah paru-paru.
e. Hipoventilasi alveolar menahun
Merupakan semua penyakit yang menghalangi pergerakan dada normal, misalnya:
a) Penebalan pleura bilateral
b) Kelainan neuromuskuler, seperti: poliomyelitis dan distrofi otot
c) Kiposkoliosis yang mengakibatkan penurunan kapasitas rongga toraks
sehingga pergerakan toraks berkurang.
3. Manifestasi
a. Umum
Batuk-batuk dengan dahak, sesak nafas, bengek, pembesaran jantung, dan gagal
jantung.
b. Klinis
a) CP akibat emboli paru: sesak tiba-tiba pada saat istirahat, batuk-batuk dan
hemoptisis.
b) CP dengan PPOM: sesak nafas disertai batuk yang produktif.
c) CP dengan hipertensi Pulmonal Primer: sesak nafas dan sering pingsan jika
beraktifitas ( exertional syncope).
d) CP dengan kelainan jantung kiri: sesak nafas ortopnea, dyspnea.
e) CP dengan kelaina jantung kanan: bengkak pada perut dan kaki serta cepat
lelah.
f) Gejala predominan cor pulmonal yang terkompensasi berkaitan dengan
penyakit parunya yaitu batuk produktif kronik, dyspnea karena olahraga,
wheezing respirasi, kelelahan dan kelemahan, nyeri kuadran kanan atas.

27
4. Patofisiologi
a. Akut
Pada emboli paru yang pasif terjadi obstruksi akut yang luas pada pembuluh
darah paru, akibatnya adalah:
Tahanan vaskuler paru meningkat, kemudian terjadi hipoksia akibat pertukaran
gas di tengah kapiler alveolar yang terganggu hipoksia tersebut akan
menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah arteri paru. Tahanan paru yang
meningkat dan vasokontriksi menyebabkan tekanan pembuluh darah arteri paru
meningkat (hipertensi pulmonal).
b. Kronik
Pada penyakit paru kronis maka akan terjadi penurunan vaskuler paru,
hipoksia, dan hiperkapnia/asidosis respiratorik. Hipoksia dapat menyebabkan
penyempitan pembuluh darah arteri paru. Disamping itu hipoksia dapat
menyebabkan polisitemia sehingga viskositas darah akan meningkat dan dapat
menyebabkan pembuluh darah arteri terjadi peningkatan.
Adanya penurunan vaskuler, hipoksia dan hiperkapnia akan meningkatkan
tekanan darah (arteri pulmonal), hal ini disebut hipertensi pulmonal. Adanya
hipertensi pulmonal menyebabkan beban tekanan pada ventrikel kanan melakukan
mekanisme kompensasi berupa hipertropi dan dilatasi. Jika kompensasi ini gagal
terjadilah gagal jantung kanan.
5. Komplikasi
a. Emfisema
b. Gagal jantung kanan
c. Gagal jantung kiri
d. Hipertensi pulmonal primer
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan EKG
- Biasanya menunjukkkan hipertrifi ventrikel kanan dana banormalitas atrium
kanan.
- EKG menunjukkan deviasi aksis ke kanan dan gelombang P lancip.
b. Pemerikasaan Foto Thoraks
- Kelainan pada parenkim paru
- Pelebaran trunkus pulmonalis pada daerah hilus disertai penurunan gambaran
vaskuler paru drastis di daerah perifer.
- Pembesaran ventrikel kanan
- Pelebaran Vena Cava Superior
- Jika ada emfisema maka diafragma agak rendah, conus pulmonalis melebar.

28
c. Pemeriksaan Laboratorium
Polisitemia ( hemoglobin dan eritrosit meninggi) akibat PPOM (Penyakit Paru
Obstruksi Menahun). Saturasi O2 kurang dari 85%; PCO2 dapat meningkat atau
normal.
Pemerikasaan AGD menunjukkan:
- PO2 kurang dari 60 mmHg
- PCO2 lebih dari 49 mmHg
- pH darah rendah
d. Pemerikasaan ekakardiografi
Tampak adanya pembesaran (dilatasi) ventrikel kanan, tanpa adanya kelainan
struktur pada jantung kiri. Pada pemeriksaan M mode, katup pulmonal
menunjukkan tanda hipertensi pulmonal. Pemerikasaan ekokardiografi dengan
doopler atau denan color mappingdapat ditunjukkan dengan adanya regurgitasi
trikuspidalis dan katup pulmonal.
e. Angiografi
Pemeriksaan angiografi pulmoner merupakan metode diagnosis yang paling
spesifik untuk adanya emboli paru, tetapi cara ini meningkatkan resiko jika
dilakukan pada pasien dengan hipertensi pulmonal.
f. Radiografi dada
Meningkirkan ada tidaknya penyakit parenkim paru dan ventrikel kanan dan arteri
pulmonalis yang menonjol atau membesar.

C. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Aktifitas / Istirahat
Gejala : Kelemahan, letih, nafas pendek.
Tanda : Frekuensi jantung meningkat, perubahan irama jantung dan takipnea.
b. Sirkulasi
Tanda : Kenaikan tekanan darah, pembesaran vena jugularis, perbedaan
denyut nadi, denyut femoral melambat sebagai kompensasi denyutan radialis atau
bradialis, pedialis teraba lemah.
Denyut apikal PMI (Point Of Maximal Impulse) kemungkinan bergeser atau
sangat kuat. Frekuensi/ irama: takikardia. Ekstremitas: perubahan warna kulit,
suhu dingin (vasokontriksi perifer), sianosis.
c. Eliminasi
Gangguan ginjal saat ini atau yang lalu (seperti infeksi/obstruksi atau riwayat
penyakit ginjal masa lalu).

29
d. Neurosensori
Gejala : terjadi kelemahan pada satu sisi tubuh
Tanda : status mental, perubahan proses piker, penurunan kekuatan
genggaman tangan, perubahan sklerotik atau edema.
e. Nyeri/ Ketidaknyamanan
Nyeri sering terjadi pada dada pada kuadaran kanan atas.
f. Pernafasan
Gejala : batuk produktif, sesak nafas, bengek,
Tanda : sianosis, bunyi wheezing,
2. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan peningkatan
afterload, vasokontriksi, hipertrofi (kekakuan) ventrikuler.
b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum,
ketidakseimbangan antara suplay dan kebutuhan oksigen.
c. Inefektif koping individu berhubungan dengan krisis situasional/ maturasional,
perubahan hidup beragam, relaksasi tidak adekuat, sistem pendukung tidak
adekuat, metode koping yang tidak adekuat.
d. Kurang pengetahuan mengenai kondisi, rencana pengobatan berhubungan
dengan kurang pengetahuan/ daya ingat, misinterpretasi informasi,
keterbatasan kognitif, menyangkal diagnosa.
3. Intervensi
a. Resiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan peningkatan
afterload, vasokontriksi, hipertrofi (kekakuan) ventrikuler.
Tujuan tindakan keperawatan
1) Berpartisipasi dalam aktivitas yang menurunkan beban kerja jantung.
2) Memperkihatkan irama dan frekuensi jantung stabil dalam rentang normal
pasien.
Intervensi keperawatan
1) Pantau Tekanan Darah
2) Catat keberadaan, kulaitas denyutan sentral dan perifer
3) Auskultasi tonus jantung dan bunyi nafas.
4) Amati warna kulit, kelemahan, suhu dan masa pengisian kapiler.
5) Catat edema umu/ tertentu.
6) Berikan lingkungan tenang dan nyaman, kurangi aktivitas.
7) Anjurkan teknik relaksasi, panduan imajinasi, aktifitas pengalihan.
b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum,
ketidakseimbangan antara suplay dan kebutuhan oksigen.
Tujuan tindakan keperawatan
1) Berpartisipasi dalam aktivitas yang di inginkan/ diperluakan.

30
2) Melaporkan peningkatan dalam toleransi aktivitas yang dapat diukur.
3) Menunjukkan penurunan dalam tanda-tanda intoleransi fisiologi.
Intervnsi keperawatan
1) Kaji repon pasien terhadap aktivitas.
2) Intruksikan pasien tentang teknik penghematan energy, missal menggunakan
kursi saat mandi, duduk saat menyisir rambut atau menyikat gigi, melakukan
aktivitas dengan perlahan.
3) Berikan dorongan untuk melakukan aktivitas/ perawatan diri bertahap jiak
dapat di toleransi, berikan bantuan sesuai kebutuhan.
c. Inefektif koping individu berhubungan dengan krisis situasional/
maturasional, perubahan hidup beragam, relaksasi tidak adekuat, sistem
pendukung tidak adekuat, metode koping yang tidak adekuat.
Tujuan tindakan keperawatan
1) Mengidentifikasi perilaku koping efektif dan konsekuensinya.
2) Menyatakan kesadaran kemampuan koping/ kekuatan pribadi.
3) Mendemontrasikan penggunaan keterlampilan/ metode koping efektif.

Intervensi keprawatan
1) Kaji keefektifan strategi koping dengan mengobservasi perilaku, misal
kemampuan menyatakan perasaan dan perhatian, keinginan berpartisipasi
dalam rencana pengobatan
2) Catat respon gangguan tidur, peningkatan keletihan, kerusakan konsentrasi.
3) Bantu pasien untuk mengidentifikasi stressor septic dan kemungkinan strategi
untuk melaksanakannya.
4) Dorong pasien untuk mengevaluasi prioritas/ tujuan hidup.
5) Bantu pasien untuk mengidentifikasi dan mulai merencanakan perubahan
hidup yang perlu.
d. Kurang pengetahuan mengenai kondisi, rencana pengobatan berhubungan
dengan kurang pengetahuan/ daya ingat, misinterpretasi informasi, keterbatasan
kognitif, menyangkal diagnosa.
Tujuan tindakan keperawatan
1) Menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan regimen pengobatan.
2) Intervensi keperawatan
3) Kaji kesiapan dan hambatan dalam belajar, termasuk orang terdekat.
4) Atasi masalah dengan pasien dengan untuk mengidentifikasi cara dimana
perubahan gaya hidup yang tepat dapat dibuat untuk mengurangi faktor-faktor.

31
5) Beri penguatan pentingnya kerja sama dalam regimen pengobatan dan
mempertahankan perjanjian tindak lanjut.
6) Berikan informasi tentang sumber-sumber di masyarakat dan dukungan pasien
dalam membuat perubahan pola hidup, lakukan untuk rujuk bila ada indikasi.

UNIT IV
GANGGUAN SISTEM PERNAPASAN

A. GANGGUAN VENTILASI
Penurunan cadangan energy yang mengakibatkan ketidakmampuan
individu untuk mempertahankan pernafasan yang adekuat untuk menyokong
kehidupan
Batasan Karakteristik :
· Penurunan kerjasama
· Penurunan PO2
· Penurunan SaO2
· Penurunan volume tidal
· Dispnea
· Peningkatan frekuensi jantung
· Peningkatan laju metabolism
· Peningkatan PCO2
· Peningkatan gelisah
· Peningkatan gangguan otot aksesorius
· Ketakutan
Faktor Yang Berhubungan :
· Faktor metabolic
· Keletihan otot pernafasan
Tujuan dan Kriteria Hasil :

32
NOC
· Respiratory status : airway patency
· Mechanical ventilation weaningresponse
· Respiratory status : Gas Exchange
· Breathing pattern, ineffective
Kriteria Hasil :
 Respon alergi sistemik : tingkat keparahan respons hipersensitivitas imun
sistemik terhadap antigen lingkungan (eksogen)
 Respons ventilasi mekanis : pertukaran alveolar dan perfusi jaringan di
dukung oleh ventilasi mekanik
 Status pernafasan Pertukaran Gas: pertukaran CO2 atau O2 di alveolus untuk
mempertahankan konsentrasi gas darah arteri dalam rentang norma
 Status pernafasan ventilasi : pergerakan udara keluar masuk paruadekuat
 Tanda vital : tingkat suhu tubuh, nadi, pernafasan, tekanan darahdalam rentang
normal
 Menerima nutrisi adekuat sebelum, selama, dan setelah proses penyapihan dari
ventilator
Intervensi Keperawatan :
NIC
Mechanical Ventilation management :
Invasive
 Pastikan alarm ventilator aktif
 Konsultasikan dengan tenaga kesehatan lainnya dalam pemilihan jenis
ventilator
 Berikan agens pelumpuh otot, sedative, dan analgesic narkotik, jika diperlukan
 Pantau adanya kegagalan pernafasanyang akan terjadi
 Pantau adanya penurunan volume ekshalasi dan peningkatan tekananinspirasi
pada pasien
 Pantau keefektifan ventilasi mekanik pada kondisi fisiologis dan
psikologispasien
 Pantau adanya efek yang merugikan dari ventilasi mekanik : infeksi,
barotraumas, dan penurunan curah jantung
 Pantau efek perubahan ventilator terhadap oksigenasi : GDA, SaO2, SvO2,
CO2, akhir-tidal, Qsp/Qt serta respons subjektif pasien

33
 Pantau derajat pirau, kapasitas vital, Vd, VT, MVV, daya inspirasi, FEV1, dan
kesiapan untuk penyapihan dan ventilasi mekanik, sesuai protocol institusi
 Auskultasi suara napas, catat area penurunan atau ketiadaan ventilasi dan
adanya suara napas tambahan
 Tentukan kebutuhan pengisapan dengan mengauskultasi suara ronki basah
halus dan ronki basah kasar di jalan nafas
 Lakukan higine mulut secara rutin
Oxygen Therapy
 Bersihkan mulut, hidung, dan trakea sekresi, sesuai
 Menjaga patensi jalan napas
 Mengatur peralatan oksigen dan mengelola melalui sistem, dipanaskan
dilembabkan
 Administer oksigen tambahan seperti yang diperintahkan
 Memantau aliran liter oksigen
 Memantau posisi perangkat pengiriman oksigen
 Secara berkala memeriksa perangkat pengiriman oksigen untuk memastikan
bahwa konsentrasi yang ditentukan sedang disampaikan
 Memantau efektivitas terapi oksigen (misalnya, nadi oksimetri, ABGs)
 Mengubah perangkat pengiriman oksigen dari masker untuk hidung garpu saat
makan, sebaI ditoleransi
 Amati tanda-tanda oksigen diinduksi hipoventilasi
 Memantau tanda-tanda toksisitas oksigen dan penyerapan atelektasis
 Menyediakan oksigen ketika pasien diangkut
 Atur untuk penggunaan perangkat oksigen yang memudahkan mobilitas dan
mengajarkan pasien sesuai

B. GANGGUAN DIFUSI GAS


Difusi adalah peristiwa mengalirnya/berpindahnya suatu zat dalam pelarut
dari bagian berkonsentrasi tinggi ke bagian yang berkonsentrasi rendah.
 Perbedaan konsentrasi yang ada pada dua larutan disebut gradien
konsentrasi.
 Difusi akan terus terjadi hingga seluruh partikel tersebar luas secara
merata atau mencapai keadaan kesetimbangan dimana perpindahan
molekul tetap terjadi walaupun tidak ada perbedaan konsentrasi.
 Contoh yang sederhana adalah peristiwa respirasi adanya gas yang
mengalir dari udara ke paru paru , ke alveolus dan berpidah lagi ke
pembuluh darah dan berakhir ke sel

34
 Unit alat pernafasan terdiri dari Trachea , Bronchus , Bronkhiolus, yang
semua organ pernafasan itu berupa saluran

35
 Saluran dari trachea hingga bronchiolus itu secara pasti membuat gas gas
pernafasan akan berjalan menerus berdifusi karena perbedaan tekanan tidak
mungkin berhenti ditempat
 dari sinilah keelokan Tuhan kemudian menciptakan kantung kantung kecil
alveoli agar difusi gas gas sementara bisa berhenti dan mengumpul tidak
berjalan terus karena berupa lorong
 adanya alveoli sangat baik seperti terminal untuk menaik turunkan
penumpang

36
 gas pernafasan yang berhenti memungkinkan terjadinya pengikatan /
berdifusi ke dalam pembuluh darah dan memasukkan gas pernafasan ke dalam
tubuh sehingga bisa berguna
 Gas gas pernafasan yang masuk dan keluar , atrium dan alveoli (kira-kira
300 juta pada kedua paru-paru
 masing-masing alveolus mempunyai diameter kira-kira 0,25 mm).
 Dinding alveoli sangat tipis, dan di antara banyak dinding itu terdapat
berbagai kapiler yang cukup kuat.
 Aliran darah pada dinding kapiler merupakan suatu sheet dari peredaran
darah.
 Jadi jelaslah bahwa gas alveoli hampir sama dengan gas darah kapiler.
 Konsekwensinya pertukaran gas antara udara alveoli dan darah volmonaris
terjadi di seluruh membrana terminal paru-paru.
 Membrana ini disebut membrana respirasi atau membrana vulmonaris.

Kapasitas Difusi Membrana Respirasi


 Kemampuan seluruh membrana respirasi untuk terjadinya pertukaran gas
antara alveoli dan darah pulmonaris dapat diekspresikan dengan istilah
kapasitas difusi
 kapasitas difusi yang dapat didefinisikan sebagai volume gas yang
berdifusi melalui membran

37
 Setiap menit untuk setiap perbedaan tekanan 1 mm Hg, kapasitas difusi O2
laki-laki muda dewasa pada waktu istirahat rata-rata 21 ml per menit per
mm Hg.
 Rata-rata perbedaan tekanan O2 menembus membrana respirasi selama
dalam keadaan normal yaitu dalam keadaan bernafas tenang (tidal
respiration) kira-kira 11 mm Hg.
 Peningkatan tekanan itu menghasilkan kira-kira 230 ml O2 berdifusi
normal melalui membrana respirasi setiap menit dari alveolus ke darah
 dan itu sama dengan kecepatan tubuh menggunakan O2 pada setiap selnya
 kapasitasnya membawa O2 ke dalam darah sering tidak cukup sehingga
menyebabkan kematian seseorang jauh lebih cepat daripada
ketidakseimbangan yang serius dari difusi CO2.

Faktor yang Mempengaruhi Difusi Gas


 Prinsip dan formula terjadinya difusi gas melalui membrana respirasi sama
dengan difusi gas melalui air dan berbagai jaringan. Jadi, faktor yang
menentukan betapa cepat suatu gas melalui membrana tersebut adalah :
1. Ketebalan membrana
2. Luas permukaan membrana
3. Koefisien difusi gas dalam substansi membrana
4. Perbedaan tekanan antara kedua sisi membrana.
 Sering terjadi kecepatan difusi melalui membrana tidak proporsional
terhadap ketebalan membrana sehingga setiap faktor yang meningkatkan
ketebalan melebihi 2 – 3 kali dibandingkan dengan yang normal dapat
mempengaruhi secara sangat nyata pertukaran gas pernafasan normal.
 Khusus pada olahragawan, luas permukaan membrana respirasi sangat
mempengaruhi prestasi dalam pertandingan maupun latihan.
 Luas permukaan paru-paru yang berkurang dapat berpengaruh serius
terhadap pertukaran gas pernafasan pada manusia , misalnya kakunya
alveolus pada penderita TBC

38
 Dalam hal koefisien difusi masing-masing gas kaitannya dengan
perbedaan tekanan ternyata CO2 berdifusi melalui membrana kira-kira 20
kali lebih cepat dari O2
 Dan Koefisien difusi O2 dua kali lebih cepat dari N2.
 Dalam hal perbedaan tekanan gas, tekanan gas parsial menyebabkan gas
mengalir melalui membrana respirasi. misalnya diudara PO2 160 mmHg
di Alveolus hanya 105 mmHg , maka terjadilah aliran dari udara ke
alveolus , begitu seterusnya
 Dengan demikian, bila tekanan parsial suatu gas dalam alveoli lebih besar
dibandingkan dengan tekanan gas dalam darah pada O2 maka terjadilah
difusi O2 dari alveoli ke arah darah
 Tetapi bila tekanan gas dalam darah lebih besar dibandingkan dengan
dalam alveoli seperti halnya CO2 maka difusi terjadi dari darah ke dalam
alveoli. OK

39
DISFUSI OKSIGEN PARU MANUSIA

ASKEP PADA GANGGUAN SISTEM PERNAFASAN


Secara garis besar pernapasan dibagi menjadi dua yaitu sebagai berikut:
1. Pernapasan dalam (internal)
Pertukaran gas antara organel sel (mitokondria) dan medium cairnya. Hal
tersebut menggambarkan proses metabolism intraseluler yang meliputi konsumsi

40
O2 (digunakan untuk oksidasi bahan nutrisi) dan pengeluaran CO2 (terdapat dalam
sitoplasma) sampai menghasilkan energy.
2. Pernapasan luar (eksternal)
Absorpsi O2 dan pembuangan CO2 dari tubuh secara keseluruhan ke lingkungan
luar. Urutan proses pernapasan eksternal adalah:
1) Pertukaran udara luar ke dalam alveoli melalui aksi mekanik pernapasan yaitu
melalui proses ventilasi.
2) Pertukaran O2 dan CO2 yang terjadi di antara alveolus dan darah pada
pembuluh kapiler paru-paru melalui proses difusi.
3) Pengangkutan O2 dan CO2 oleh system peredaran darah dari paru-paru ke
jaringan dan sebaliknya yang disebut proses transportasi.
4) Pertukaran O2 dan CO2 darah dalam pembuluh darah kapilerjaringan dengan
sel-sel jaringan melalui proses difusi.
Saluran pernapasan digolongkan menjadi dua berdasarkan letaknya, yaitu :
1. Saluran nafas bagian atas
Pada bagian ini memiliki fungsi utama yaitu :
1) Air conduction (penyalur udara) sebagai saluran yang meneruskan udara
menuju saluran napas bagian bawah untuk pertukaran gas.
2) Protection (perlindungan) sebagai pelindung saluran napas bagian bawah agar
terhindar dari masuknya benda asing.
3) Warming, filtrasi,dan humidifikasi sebagai bagian yang menghangatkan,
manyaring, dan member kelembapan udara yang dihirup.
2. Saluran nafas bagian bawah
Secara umum terbagi menjadi dua komponen ditinjau dari fungsinya yaitu:
1) Saluran udara konduktif, yang biasa disebut sebagai percabangan
trakheobronkhialis yang terdiri atas trakea, bronkus, dan bronkiolus.
2) Saluran respiratorius terminal, yang biasa disebut dengan acini yang berfungsi
sebagai penyalur (konduksi) gas masuk dan keluar dari saluran respiratorius
terminal yang merupakan tempat pertukaran gas yang sesungguhnya.

2.2 Mekanisme Pernafasan

41
Agar terjadi pertukaran sejumlah gas untuk metabolisme tubuh diperlukan
usahakeras pernafasan yang tergantung pada:
1. Tekanan intrapleural
Dinding dada merupakan suatu kompartemen tertutup melingkupi paru.
Dalamkeadaan normal paru seakan melekat pada dinding dada, hal ini disebabkan
karenaada perbedaan tekanan atau selisih tekanan atmosfir ( 760 mmHg) dan
tekanan intrapleural (755 mmHg). Sewaktu inspirasi diafrgama berkontraksi,
volume rongga dada meningkat, tekanan intra pleural dan intra alveolar turun
dibawah tekanan atmosfir sehingga udara masuk Sedangkan waktu ekspirasi
volum rongga dada mengecilmengakibatkan tekanan intra pleural dan tekanan
intra alveolar meningkat diatas atmosfir sehingga udara mengalir keluar.
2. Compliance
Hubungan antara perubahan tekanan dengan perubahan volume dan aliran dikenal
sebagai compliance. Ada dua bentuk compliance yaitu:
1) Static compliance, perubahan volum paru persatuan perubahan
tekanansaluran nafas (airway pressure) sewaktu paru tidak bergerak. Pada
orangdewasa muda normal : 100 ml/cm H2O
2) Effective Compliance: (tidal volume/peak pressure) selama fasepernafasan.
Normal ±50 ml/cm H2O
Penurunan compliance akan mengakibatkan meningkatnya usaha nafas.
Compliance dapat menurun disebabkan oleh:
1) Pulmonary stiffes : atelektasis, pneumonia, edema paru, fibrosis paru
2) Space occupying prosess: effuse pleura, pneumothorak
3) Chestwall undistensibility: kifoskoliosis, obesitas, distensi abdomen

1. Airway resistance (tahanan saluran nafas)


Resistensi saluran napas adalah oposisi terhadap mengalir disebabkan oleh
kekuatan gesekan. Hal ini didefinisikan sebagai rasio dari tekanan mengemudi
dengan laju aliran udara. Perlawanan mengalir di saluran udara tergantung pada

42
apakah aliran adalah laminar atau turbulen, pada dimensi jalan napas, dan pada
viskositas gas.
Untuk aliran laminar, resistensi cukup rendah. Artinya, tekanan
mengemudi relatif kecil dibutuhkan untuk menghasilkan laju aliran
tertentu. Perlawanan selama arus laminer dapat dihitung melalui penataan ulang
Hukum Poiseuille ini:
Variabel yang paling penting di sini adalah jari-jari, yang, berdasarkan
elevasi dengan kekuatan keempat, memiliki dampak luar biasa pada
perlawanan.Jadi, jika diameter tabung adalah dua kali lipat, ketahanan akan turun
dengan faktor enam belas.
Untuk aliran turbulen, resistensi relatif besar. Artinya, dibandingkan
dengan aliran laminar, tekanan mengemudi jauh lebih besar akan diperlukan untuk
menghasilkan laju alir yang sama. Karena hubungan tekanan-aliran berhenti
menjadi linier selama aliran turbulen, tidak ada persamaan untuk menghitung rapi
ada hambatannya.
2.3 Proses Keperawatan
Proses keperawatan adalah suatu pendekatan untuk pemecahan masalah yang
memampukan perawat untuk mengatur dan memberikan asuhan keperawatan
(Potter & Perry, 2005). Bandman dan Bandman (1995) menguraikan seluruh
proses keperawatan sebagai suatu rangkai hubungan cara-hasil (means-ends). Cara
adalah keakuratan perawat dalam mengkaji, mendiagnosis, menangani klien, dan
hasil adalah peningkatan fungsi dan kesejahteraan klien.
Dalam proses keperawatan terdapat empat tahapan yaitu:
2.3.1 Pengkajian
Pada dasarnya tujuan pengkajian adalah mengumpulkan data objektif dan
subjektif dari klien.Adapun data yang terkumpul mencakup klien, keluarga,
masyarakat, lingkungan, atau kebudayaan. (Mc Farland & mc Farlane, 1997)
Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan selama pengkajian antara lain:
1. Memahami secara keseluruhan situasi yang sedang dihadapi oleh klien
dengan cara memperhatikan kondisi fisik, psikologi, emosi, social kultural,
dan spiritual yang bisa mempengaruhi status kesehatannya.

43
2. Mengumpulkan semua informasi yang bersangkutan dengan masa lalu,
saat ini bahkan bahkan sesuatu yang berpotensi menjadi masalah bagi
klien guna membuat suatu database yang lengkap. Data yang terkumpul
berasal dari perawat-klien selama berinteraksi dan sumber yang lain.
(Gordon, 1994)
3. Memahami bahwa klien adalah sumber informasi primer.
4. Sumber informasi sekunder meliputi anggota keluarga, orang yang
berperan penting dan catatan kesehatan klien.
Pengkajian keperawatan adalah proses sistematis dari pengumpulan, verifikasi,
dan komunikasi data tentang klien. Fase proses keperawatan ini mencakup dua
langkah yaitu pengumpulan data dari sumber primer (klien) dan sumber sekunder
(keluarga, tenaga kesehatan), dan analisis data sebagai dasar untuk diagnosa
keperawatan (Bandman dan Bandman, 1995). Metode pengumpulan data meliputi
berikut ini :
1. Melakukan wawancara.
2. Riwayat kesehatan/keperawatan.
3. Pemeriksaan fisik.
4. Mengumpulkan data penunjang hasil laboratorium dan diagnostik lain
serta catatan kesehatan (rekam medik).
Pada pasien dengan gangguan system respirasi yaitu sebagai berikut :
1. a. Riwayat Kesehatan
Riwayat kesehatan yang dikaji meliputi data saat ini dan yang telah lalu.Perawat
juga mengkaji keadaan pasien dan keluarganya.Kajian tersebut berfokus kepada
manifestasi klinik keluhan utama, kejadian yang membuat kondisi sekarang ini,
riwayat kesehatan masa lalu, riwayat kesehatan keluarga, dan riwayat
psikososial.Riwayat kesehatan dimulai dari biografi pasien. Aspek yang sangat
erat hubungannya dengan gangguan sistem pernapasan adalah usia, jenis kelamin,
pekerjaan, tempat kerja dan tempat tinggal.
1) Keluhan Utama
Keluhan utama akan mentukan prioritas intervensi dan mengkaji pengetahuan
pasien tentang kondisinya saat ini. Keluhan utama yang biasa muncul antara lain :

44
a) Batuk (Cough)
Batuk merupakan gejala utama pada pasien dengan gangguan sistem pernapasan.
Tanyakan berapa lama pasien mengalami batuk dan bagaimana hal tersebut timbul
dengan waktu yang spesifik atau hubungannya dengan aktifitas fisik. Tentukan
apakah batuk produktif atau non produktif.
b) Peningkatan Produksi Sputum
Sputum merupakan suatu substansi yang keluar bersama dengan batuk atau
bersihan tenggorokan. Percabangan trakheobronkial secara normal memproduksi
sekitar 3ons mukus setiap hari sebagai bagian dari mekanisme pembersihan
normal. Produksi sputum akibat batuk adalah tidak normal. Tanyakan dan catat
warna, konsistensi, bau, dan jumlah dari sputum. Jika terjadi infeksi, sputum dapat
berwarna kuning atau hijau, putih atau kelabu dan jernih. Pada keadaan edema
paru-paru, sputum berwarna merah muda karena mengandung darah dengan
jumlah yang banyak.
c) Dispnea
Dispnea merupakan suatu persepsi kesulitan bernapas/napas pendek dan
merupakan perasaan subjektif pasien.Perawat mengkaji tentang kemampuan
pasien saat melakukan aktivitas.
d) Hemoptisis
Hemoptisis adalah darah yang keluar dari mulut saat batuk. Perawat mengkaji
apakah darah tersebut berasal dari paru-paru, perdarahan hidung atau perut.
Darah yang berasal dari paru-paru biasanya berwarna merah terang karena darah
dalam paru-paru distimulasi segera oleh reflek batuk.

e) Chest Pain
Nyeri dada dapat berhubungan dengan dengan masalah jantung dan paru-
paru.Gambaran lengkap dari nyeri dada dapat menolong perawat untuk
membedakan nyeri pada pleura, muskuloskeletal, kardiak dan gastrointestinal.
2) Riwayat Kesehatan Masa Lalu

45
Yang perlu ditanyakan perawat kepada pasien tentang riwayat penyakit
pernapasan adalah:
a) Riwayat merokok
Merokok merupakan penyebab utama kanker paru-paru, emfisemia, dan bronkitis
kronis.Semua keadaan itu sangat jarang menimpa. Anamnesis harus mencangkup
usia mulainya merokok secara rutin, rata-rata jumlah rokok yang dihisap per hari,
dan usia menghentikan kebiasaan merokok.
b) Pengobatan saat ini dan masa lalu
c) Alergi
d) Tempat tinggal
3) Riwayat Kesehatan Keluarga
Tujuan menanyakan riwayat keluarga dan sosial pasien penyakit paru-paru ada
tiga hal yaitu:
a) Penyakit infeksi
Khususnya tuberkulosis paru ditularkan melalui satu orang ke orang lain.
Manfaat menanyakan riwayat kontak dengan orang terinfeksi akan dapat diketahui
sumber penularannya.
b) Kelainan alergi
Contohnya asma bronkial
c) Pasien bronkitis kronis

1. b. Kajian Sistem (Review of System)


1) Inspeksi
Prosedur inspeksi yang dilakukan oleh perawat adalah:
a) Pemeriksaan dada dimulai dari dada posterior dan pasien harus dalam keadaan
duduk.
b) Dada diobservasi dengan membandingkan satu sisi dengan yang lainnya.
c) Tindakan dilakukan dari atas sampai ke bawah.
d) Inspeksi dada posterior terhadap warna kulit dan kondisinya (skar, lesi dan
massa) dan gangguan tulang belakang (kifosis, skoliosis dan lordosis).
e) Catat jumlah (frekuensi napas), irama (reguler/irreguler), kedalaman
pernapasan, dan kesimetrisan pergerakan dada.

46
f) Observasi tipe pernapasan seperti: pernapasan hidung atau pernapasan
diafragma serta penggunaan otot bantu pernapasan dan retraksi intercostae.
g) Saat mengobservasi respirasi, catat durasi dari fase inspirasi (I) dan fase
ekspirasi (E). Rasio pada fase ini normalnya adalah 1 : 2. Fase ekspirasi yang
memanjang menunjukkan adanya obstruksi pada jalan napas dan sering
ditemukan pada pasien dengan Chronic Airflow Limititation (CAL) / Chronic
Obstructive Pulmonary Disease (COPD).
h) Kaji konfigurasi dada dan bandingkan diameter anteroposterior (AP) dengan
diameter lateral/transversal (T). Rasio normal berkisar antara 1:2 sampai 5:7,
tergantung dari kondisi cairan tubuh pasien.
i) Kelainan pada bentuk dada adalah:
1) Barrel chest
Timbul akibat terjadinya over inflation paru-paru. Terdapat peningkatan diameter
AP:T (1:1), sering terjadi pada pasien emfisemia.
2) Funnel chest (pectus excavatum)
Timbul jika terjadi depresi pada bagian bawah dari sternum. Hal ini akan menekan
jantung dan pembuluh darah besar yang mengakibatkan murmur. Kondisi ini
dapat timbul pada ricketsia, marfan’s syndrome atau akibat kecelakaan kerja.
3) Pigeon chest (pectus carinatum)
Timbul sebagai akibat dari ketidaktepatan sternum yang mengakibatkan terjadi
peningkatan diameter AP. Terjadi pada pasien dengan kifoskoliosis berat.
4) Kyphoscoliosis (kifoskoliosis)
Terlihat dengan adanya elevasi scapula yang akan mengganggu pergerakan paru-
paru. Kelainan ini dapat timbul pada pasien dengan osteoporosis dan kelainan
musculoskeletal lain yang mempengaruhi toraks. Kifosis adalah meningkatnya
kelengkungan normal columna vertebrae thoracalis menyebabkan pasien tampak
bongkok. Sedangkan skoliosis adalah melengkungnya vertebrae thoracalis ke
samping, disertai rotasi vertebrae.
i) Observasi kesimetrisan pergerakan dada. Gangguan pergerakan atau tidak
adekuatnya ekspansi dada mengindikasikan penyakit pada paru-paru atau pleura.
j) Observasi retraksi abnormal ruang interkostal selama inspirasi, yang dapat
mengindikasikan obstruksi jalan napas.

47
2) Palpasi
Palpasi dilakukan untuk mengkaji kesimetrisan pergerakan dada dan
mengobservasi abnormalitas, mengidentifikasi keadaan kulit, dan mengetahui
vocal/tactile premitus (vibrasi). Palpasi toraks berguna untuk mengetahui
abnormalitas yang terkaji saat inspeksi seperti massa, lesi, dan bengak. Perlu
dikaji juga kelembutan kulit terutama jika pasien mengeluh nyeri.Perhatikan
adanya getaran dinding dada yang dihasilkan ketika berbicara (vocal premitus).
3) Perkusi
Perawat melakukan perkusi untuk mengkaji resonansi pulmoner, organ yang ada
di sekitarnya, dan pengembangan (ekskursi) diafragma. Jenis suara perkusi ada
dua jenis yaitu:
a) Suara perkusi normal
1) Resonan (sonor): dihasilkan pada jaringan paru-paru dan normalnya
bergaung dan bersuara rendah.
2) Dullness: dihasilkan di atas bagian jantung atau paru-paru
3) Tympany: dihasilkan di atas perut yang berisi udara umumnya bersifat
musical.
b) Suara perkusi abnormal
1) Hiperresonan: bergaung lebih rendah dibandingkan dengan resonan dan
timbul pada bagian paru-paru yang abnormal berisi udara.
2) Flatness: nadanya lebih tinggi dari dullness dan dapat didengar pada perkusi
daerah paha, dimana seluruh areanya berisi jaringan.

4) Auskultasi
Auskultasi merupakan pengkajian yang sangat bermakna mencangkup mendengar
suara napas normal dan suara tambahan (abnormal).Suara napas normal
dihasilkan dari getaran udara ketika melalui jalan napas dari laring ke alveoli dan
bersifat bersih.
a) Jenis suara napas normal adalah:
1) Bronchial: sering juga disebut tubular sound karena suara ini dihasilkan
oleh udara yang melalui suatu tube (pipa), suaranya terdngar keras, nyaring,

48
dengan hembusan yang lembut. Fase ekspirasinya lebih panjang daripada inspirasi
dan tidak ada jeda di antara kedua fase tersebut (E > I). Normal terdengar di atas
trachea atau daerah lekuk suprasternal.
2) Bronkovesikular: merupakan gabungan dari suara napas bronkhial dan
vesikular. Suaranya terdengar nyaring dengan intensitas sedang. Inspirasi sama
panjang dengan ekspirasi (E = I). Suara ini terdengar di daerah dada dimana
bronkus tertutupoleh dinding dada.
3) Vesikular: terdengar lembut, halus, seperti angin sepoi-sepoi. Inspirasi lebih
panjang dari ekspirasi, ekspirasi terdengar seperti tiupan (E < I).
b) Jenis suara napas tambahan adalah:
1) Wheezing: terdengar selama inspirasi dan ekspirasi, dengan karakter suara
nyaring, musical, suara terus-menerus yang disebabkan aliran udara melalui jalan
napas yang menyempit.
2) Ronchi: terdengar selama fase inspirasi dan ekspirasi, karakter suara
terdengar perlahan, nyaring, dan suara mengorok terus-menerus. Berhubungan
dengan sekresi kental dan peningkatan produksi sputum.
3) Pleural fiction rub: terdengar saat inspirasi dan ekspirasi. Karakter suara
kasar, berciut, dan suara seperti gesekan akibat dari inflamasi pada daerah pleura.
Sering kali pasien mengalami nyeri saat bernapas dalam.
4) Crackles, dibagi menjadi dua jenis yaitu:
1. Fine crackles: setiap fase lebih sering terdengar saat inspirasi. Karakter
suara meletup, terpatah-patah akibat udara melewati daerah yang lembab
di alveoli atau bronkhiolus. Suara seperti rambut yang digesekkan.
2. Coarse crackles: lebih menonjol saat ekspirasi. Karakter suara lemah,
kasar, suara gesekan terpotong akibat terdapatnya cairan atau sekresi pada
jalan napas yang besar. Mungkin akan berubah ketika pasien batuk.

1. c. Pengkajian psikososial
Pengkajian psikososial meliputi kajian tentang aspek kebiasaan hidup pasien yang
secara signifikan berpengaruh terhadap fungsi respirasi.Beberapa kondisi
respiratori timbul akibat stres. Penyakit pernapasan kronis dapat menyebabkan

49
perubahan dalam peran keluarga dan hubungan dengan orang lain, isolasi sosial,
masalah keuangan, pekerjaan, atau ketidakmampuan. Dengan mendiskusikan
mekanisme pengobatan, perawat dapat mengkaji reaksi pasien terhadap masalah
stres psikososial dan mencari jalan keluar.
2.3.2 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah menganalisis data subjektif dan objektif
untuk membuat diagnosa keperawatan. Diagnosa keperawatan melibatkan proses
berpikir kompleks tentang data yang dikumpulkan dari klien, keluarga, rekam
medik, dan pemberi pelayanan kesehatan yang lain.
Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang menguraikan respons aktual atau
potensial klien terhadap masalah kesehatan yang perawat mempunyai izin dan
berkompeten untuk mengatasinya (Carlson et al, 1991; Carpenito, 1995). Setelah
merumuskan diagnosa keperawatan spesifik, perawat menggunakan keterampilan
berpikir kritis untuk menetapkan prioritas diagnosa dengan membuat peringkat
dalam urutan kepentingannya.Prioritas ditegakkan untuk mengidentifikasi urutan
intervensi keperawatan ketika klien mempunyai masalah atau perubahan multiple
(Carpenito, 1995).
Proses diagnosa keperawatan dibagi menjadi kelompok interpretasi dan
menjamin keakuratan diagnosa dari proses keperawatan itu sendiri. Perumusan
pernyataan diagnosa keperawatan memiliki beberapa syarat yaitu mempunyai
pengetahuan yang dapat membedakan antara sesuatu yang aktual, risiko, dan
potensial dalam diagnosa keperawatan.

Pada pasien dengan gangguan system respirasi yaitu sebagai berikut :


1. a. Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas
1) Definisi
Yaitu ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi atau obstruksi saluran
pernapasan guna mempertahankan jalan napas yang bersih.
a) Subjektif
Dispnea.
b) Objektif

50
1) Bunyi napas tambahan (misalnya Ronkhi basah halus, ronchi basah
kasar, dan ronkhi kering).
2) Perubahan pada irama dan frekuensi pernapasan.
3) Batuk tidak ada atau tidak efektif.
4) Sianosis.
5) Kesulitan untuk bersuara.
6) Penurunan bunyi napas.
7) Orthopnea merupakan kesulitan bernafas kecuali dalam posisi
duduk atau berdiri dan sering ditemukan pada seseorang yang
mengalami kongestif paru.
8) Kegelisahan
9) Sputum.
10) Mata terbelalak (melihat).
2) Faktor yang berhubungan
a) Lingkungan
Merokok, menghirup asap rokok, dan perokok pasif.
b) Obstruksi Jalan Napas
Spasme jalan napas, pengumpulan sekresi, mucus berlebih, adanya jalan napas
buatan, terdapat benda asing dari jalan napas, sekresi pada bronchi, dan eksudat
pada alveoli.
c) Fisiologis
Disfungsi neuromuskuler, hiperplasi dinding bronchial, PPOK, Infeksi, asma,
alergi jalan napas, dan trauma.
4) Hasil yang Disarankan NOC
a) Status Pernapasan ; Pertukaran Gas.
Yaitu pertukaran CO2 atau O2 di alveolar untuk mempertahankan konsentrasi gas
darah arteri.
b) Status Pernapasan ; Ventilasi.
Yaitu perpindahan udara masuk dan dan keluar dari paru-paru.
c) Perilaku Mengontrol Gejala
Yaitu tindakan seseorang untuk meminimalkan perubahan sampingan yang
didapat pada fungsi fisik dan emosi.
d) Perilaku Perawatan : Penyakit atau Cidera
Yaitu tindakan seseorang untuk mengurangi atau menghilangkan patologi.

51
b. Ketidakefektifan Pola Nafas
Ketidakefektifan pola nafas merupakan kondisi ketika individu mengalami
penurunan ventilasi yang adekuat, actual atau potensial, karena perubahan pola
nafas.
1. Batasan karakteristik
a) Mayor (harus ada):
1) Perubahan frekuensi dan pola pernafasan (dari nilai dasar)
2) Perubahan nadi (frekuensi, irama, kualitas)
b) Minor (mungkin ada):
1) Ortopnea
2) Takipnea, hiperpnea, hiperventilasi
3) Pernafasan disritmik
4) Pernafasan yang hati-hati
2. Faktor yang berhubungan
a) Patofisiologis
1) Berhubungan dengan sekresi yang berlebihan atau kental ,sekunder
akibat: infeksi, inflamasi, alergi, merokok, penyakit jantung atau paru.
Berhubungan dengan immobilitas, sekresi yang statis, dan batuk tak
efektif, sekunder akibat:
1 Penyakit system persarafan, misal: miastenia gravis
2 Depresi system saraf pusat (SSP)/ trauma kepala
3 Cedera serebrovaskular (stroke)
4 Kuadriplegia
b) Terkait Pengobatan
1) Berhubungan dengan immobilitas, sekunder akibat:
1 Efek sedative obat (sebutkan)
2 Anestesia, umum atau spinal
3 Berhubungan dengan penekanan reflek batuk, sekunder akibat
(sebutkan)
4 Berhubungan efek trakeostomi (perubahan sekresi)
c) Situasional (Personal, Lingkungan)

52
1) Berhubungan dengan immobilitas, sekunder akibat:
1. Pembedahan atau trauma
2. Nyeri, takut, ansietas
3. Kelelahan
4. Gangguan persepsi/kognitif
2) Berhubungan dengan kelembaban yang sangat tinggi atau
rendah
3) Untuk bayi, yang berhubungan dengan tidur pada posisi
tengkurap
4) Pajanan terhadap udara dingin, tertawa, menangis, allergen,
asap.

c. Gangguan Pertukaran Gas


Kelebihan dan kekurangan oksigenasi dan/atau eliminasi karbondioksida
dimembrane kapiler-alveolar.Ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi atau
obstruksi saluran pernapasan guna mempertahankan jalan napas yang bersih.
1. Batasan Karakteristik
1. Subjektif
1) Dispnea.
2) Sakit kepala pada saat bangun.
3) Gangguan penglihatan.
1. Objektif
1) Gas darah arteri yang tidak normal.
2) pH arteri tidak normal.
3) Ketidaknormalan frekuensi, irama dan kedalaman pernapasan.
4) Warna kulit tidak normal (misalnya pucat atau kehitaman).
5) Konfusi.
6) Cianosis (hanya pada neonates).
7) Karbondioksida menurun.
8) Diaphoresis
9) Hiperkapnia.

53
10) Hiperkarbia.
11) Hipoksia.
12) Hipoksemia.
13) Iritabilitas.
14) Cuping hidung mengembang.
15) Gelisah.
16) Sputum.
17) Takhikardia.
18) Mata terbelalak.
1. Faktor yang berhubungan
a) Lingkungan
Merokok, menghirupasap rokok, dan perokok pasif.
b) Obstruksi jalan napas
Spasme jalan napas, pengumpulan sekresi, mucus berlebih, adanya jalan napas
bantuan, sekresi pada bronki, eksundat pada alveoli.
c) Fisiologis
Disfungsi neuro miskular, PPOK, hyperplasmia dinding bronchial, infeksi asma,
alergi jalan naps, dan trauma.

1. Hasil yang Disarankan NOC


a) Status Pernapasan: pertukaran gas, yaitu CO2 atau O2 di alveolar
untuk mempertahankan konsentrasi gas darah arteri.
b) Status Pernapasan Ventilasi, yaitu perpindahan udara masuk dan dan
keluar dari paru-paru.
c) Perilaku mengontrol gejala: tindakan seseorang yang yang
meminimalkan perubahan sampingan yang di dapat pada fungsi fisik
dan emosi.
d) Perilaku perawatan: penyakit atau cidera tindakanseseorang untuk
mengurangi atau menghilangkan patologi.

1. d. Fungsi Pernafasan, Resiko Ketidakefektifan

54
1. Definisi
Risiko ketidakefektifan pernapasan (ARF) merupakan kondisi ketika individu
berisiko mengalami ancaman pada jalan masuk udara menuju saluran pernapasan
dan/ ancaman pada pertukaran gas (O2-CO2) antara paru-paru dan system
vaskuler.
1. Faktor resiko
Adanya faktor risiko yang dapat mengubah fungsi pernapasan (lihat faktor yang
berhubungan)
1. Faktor yang berhubungan
a) Patofisiologis
1) Berhubungan dengan sekresi yang berlebihan atau kental ,sekunder akibat:
infeksi, inflamasi, alergi, merokok, penyakit jantung atau paru.
2) Berhubungan dengan immobilitas, sekresi yang statis, dan batuk tidak
efektif, sekunder akibat:
2.1 Penyakit system persarafan, missal: miastenia gravis
2.2 Depresi system saraf pusat (SSP)/ trauma kepala
2.3 Cedera serebrovaskular (stroke)
2.4 Kuadriplegia

b) Terkait Pengobatan
1) Berhubungan dengan immobilitas, sekunder akibat:
1.1 Efek sedative obat (sebutkan)
1.2 Anestesia, umum atau spinal
1.3 Berhubungan dengan penekanan reflek batuk, sekunder akibat (sebutkan)
1.4 Berhubungan efek trakeostomi (perubahan sekresi)
c) Situasional (Personal, Lingkungan)
1) Berhubungan dengan immobilitas, sekunder akibat:
1.5 Pembedahan atau trauma
1.6 Nyeri, takut, ansietas
1.7 Kelelahan
1.8 Gangguan persepsi/kognitif

55
2) Berhubungan dengan kelembaban yang sangat tinggi atau rendah
3) Untuk bayi, yang berhubungan dengan tidur pada posisi tengkurap
4) Pajanan terhadap udara dingin, tertawa, menangis, allergen, asap.

1. e. Disfungsi Respon Penyapihan Ventilator


2. Definisi:
Disfungsi respon penyapihan ventilator (DRPV) merupakan suatu keadaan ketika
individu tidak dapat menyesuaikan terhadap tingkat terendah dukungan ventilator
mekanik sehingga mengganggu dan memeperpanjang proses penyapihan.
1. Batasan karateristik:
1. a. Ringan
Mayor
1) Gelisah
2) Frekuensi pernapasan sedikit meningkat dari nilai dasar
Minor
1) Mengekspresikan perasaan tentang peningkatan kebutuhan oksigen,
pernapasan tidak nyaman, keletihan, dan hangat
1. b. Sedang

Mayor
1) Tekanan darah meningkat <20 mmHg dari nilai dasar
2) Frekuensi jantung meningkat <20 denyut/menit dari nilai dasar
3) Frekuensi pernapasan meningkat <5 kali/menit dari nilai dasar
Minor
1) Ketakutan
2) Berkeringat
3) Mata melebar
4) Perubahan warna kulit: pucat,agak sianosis
5) Sedikit menggunakan otot aksesoris pernapasan
1. c. Berat
Mayor

56
1) Agitasi
2) Penyimpangan yang signifikan dalam gas-gas darah arteri dari nilai dasar
3) Peningkatan tekanan darah > 20 mmHg dari nilai dasar
4) Peningkatan frekuensi jantung > 20 kali/menit dari nilai dasar
5) Pernapasan cepat, dangkal > 25 kali/menit
Minor
1) Penggunaan sempurna otot aksesoris pernapasan
2) Pernapasa abdomen paradoksikal
3) Bunyi napas tambahan
4) Sianosis
5) Banyak berkeringat
6) Pernapasan tidak terkoordinasi dengan ventilator
7) Penurunan tingkat kesadaran
1. Faktor yang berhubungan
1. Patofisiologis
1) Berhubungan dengan kelemahan dan keletihan sekunder akibat:
1.1 Status hemodinamik tidak stabil
1.2 Penurunan tingkat kesadaran
1.3 Anemia
1.4 Infeksi
1.5 Abnormalitas metabolic atau keseimbangan asam basa
1.6 Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
1.7 Proses penyakit berat
1.8 Penyakit pernapasan kronis
1.9 Ketidakmampuan neuromuscular kronis
1.10 Penyakit multisystem
1.11 Kurang nutrisi kronis
1.12 Kondisi yang melemah
2) Berhubungan dengan ketidakefektifan bersihan jalan napas
1. Tindakan yang Berhubungan
1) Berhubungan dengan obstruksi jalan napas

57
2) Berhubungan dengan kelemahan dan keletihan otot sekunder akibat:
2.1 Sedasi berlebihan
2.2 Nyeri tidak terkontrol
3) Berhubungan dengan ketidakadekuatan nutrisi (deficit kalori, kelebihan
karbohidrat, ketidakadekuatan asupan lemak dan protein)
4) Berhubungan dengan ketergantungan ventilator jangka panjang (> 1
minggu)
5) Berhubungan dengan ketidakberhasilan upaya penyapihan ventilator
sebelumnya
6) Berhubungan dengan langkah yang terlalu cepat dalam proses penyapihan
1. Situasional (Personal, Lingkungan)
1) Berhubungan dengan ketidakcukupan pengetahuan tentang proses
penyapihan
2) Berhubungan dengan kebutuhan energy yang sangat berlebihan (aktivitas
perawatan diri, prosedur diagnostic dan pengobatan, pengunjung)
3) Berhubungan dengan ketidakadekuatan dukungan social
4) Berhubungan dengan lingkungan tidak aman (bising, kejadian yang
membingungkan, ruangan sibuk)
5) Berhubungan dengan keletihan sekunder akibat gangguan pola tidur
6) Berhubungan dengan kemanjuran diri tidak adekuat
7) Berhubungan dengan ansietas sedang sampai berat yang berkaitan dengan
upaya pernapasan
8) Berhubungan dengan ketakutan akan perpisahan dari ventilator
9) Berhubungan dengan perasaan ketidakberdayaan
10) Berhubungan dengan perasaan keputusasaan

f. Resiko Disfungsi Respon Penyapihan Ventilator


1. Definisi
Risiko Disfungsi Respon Penyapihan Ventilator adalah keadaan ketika individu
beresiko untuk mengalami suatu ketidakmampuan penyesuaian terhadap

58
dukungan ventilator mekanik tingkat rendah selama proses penyapihan, yang
berhubungan dengan ketidaksiapan fisik dan atau psikologis terhadap penyapihan.
1. Faktor Resiko
a) Patofisiologis
1) Berhubungan dengan obstruksi jalan napas
2) Berhubungan dengan kelemahan otot dan keletihan sekunder akibat :
2.1 Gangguan fungsi pernapasan
2.2 anemia
2.3 penurunan tingkat kesadaran
2.4 Infeksi
2.5 Abnormalitas metabolic dan asam basa
2.6 Ketidakseimbangan cairan / elektrolit
2.7 Status hemodinamik yang tidak stabil
2.8 Disritmia
2.9 Kekacaun mental
2.10 Demam
2.11 Proses penyakit yang berat
2.12 Penyakit multisystem
b) Tindakan yang berhubungan
1) Dengan ketidakefektifan bersihan jalan napas
2) Dengan sedasi yang berlebihan, analgesia
3) Dengan nyeri tak terkontrol dan keletihan
4) Dengan ketidakadekuatan nutrisi
5) Dengan ketergantungan pada ventilator jangka panjang lebih dari 1 minggu
6) Dengan ketidakberhasilan upaya penyapihan sebelumnya dan terlalu cepat
melakukan proses penyapihan
c) Personal/ Lingkungan
1) Berhubungan dengan kelemahan otot dan keletihan sekunder
2) Berhubungan dengan deficit pengetahuan tentang proses penyapihan
3) Berhubungan dengan ansietas
4) Berhubungan dengan perasaan ketidakberdayaan dan putus asa

59
5) Berhubungan dengan dukungan sosial yang tidak memadai
6) Berhubungan dengan ketidakpastian lingkungan ( bising, ruangan sibuk, dll)
7) Berhubungan dengan ketakutan terlepas dari ventilator

g. Gangguan Ventilasi Spontan


1. Definisi
Suatu keadaan ketika individu tidak dapat memepertahankan pernapasan yang
adekuat untuk mendukung kehidupannya.Ini dilakukan karena penurunan gas
darah arteri, peningkatan kerja pernapasan dan penurunan energy.
1. Batasan Karakteristik

MAYOR
Dispnea Peningkatan laju metabolic
MINOR
Peningkatan kegelisahan ketakutan Peningkatan penggunaan otot-otot
Penurunan volume tidal Aksesori pernapasan
Peningkatan frekuensi jantung Penurunan PO2
Penurunan kerjasama , Penurunan SaO2
Peningkatan PCO2

2.3.3 Intervensi
Intervensi keperawatan adalah preskripsi untuk perilaku spesifik yang diharapkan
dari pasien dan/atau tindakan yang harus dilakukan oleh perawat.Intervensi
dilakukan untuk membantu pasien dalam mencapai hasil yang
diharapkan.Intervensi disebut juga implementasi yang merupakan kategori dari
perilaku keperawatan dimana tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan
dan hasil yang diperkirakan dari asuhan keperawatan dilakukan dan diselesaikan
(Griffith & Christensen, 1986).
Intervensi keperawatan harus spesifik dan dinyatakan dengan
jelas.Pengkualifikasian seperti bagaimana, kapan, di mana, frekuensi, dan
besarnya memberikan isi dari aktivitas yang direncanakan.Intervensi keperawatan
dapat dibagi menjadi dua yaitu mandiri yaitu dilakukan oleh perawat dan
kolaboratif yaitu yang dilakukan oleh pemberi perawatan lainnya.

60
Pada pasien dengan gangguan system respirasi yaitu sebagai berikut :
1. Intervensi Pernafasan, Resiko Gangguan
1. Intervansi Generik
1) Kaji adanya penurunan nyeri yang optimal dengan periode keletihan atau
depresi pernapasan yang minimal
2) Beri semangat untuk melakukan ambulasi segera setelah konsisten dengan
rencana perawatan medis
3) Jika tidak dapat berjalan, tetapkan suatu aturan untuk turun dari tempat tidur
duduk di kursi beberapa kali sehari (misalnya, 1 jam setelah makan dan 1 jam
sebelum tidur)
4) Tingkatkan aktivitas secara bertahap, jelaskan bahwa fungsi pernapasan
akan meningkat dan dispnea akan menurun dengan melakukan latihan
5) Bantu untuk reposisi, mengubah posisitubuh dengan sering dari satu sisi ke
sisi yang lainnya, (setiap jam jika mungkin)
6) Beri semangat untuk melakukan latihan napas dalam dan latihan batuk yang
terkontrol lima kali setiap jam
7) Ajarkan individu untuk menggunakan botol tiup atau spidometer intensif
setiap jam saat bangun (pada kerusakan neuromuskular berat, ada baiknya
individu dibangunkan selama malam hari)
8) Auskultasi bidang paru setiap 8 jam, tingkatkan frekuensi jika ada gangguan
bunyi napas
1. Intervensi Pediatrik
1) Observasi terhadap pernapasan cuping hidung, retraksi, atau sianosis
2) Izinkan anak untuk memilih warna air dalam botol tiup
3) Pantau masukan, keluaran, dan berta jenis urine
4) Beri penjelasan sesuai usia untuk latihan napas dalam

2. Intervensi Disfungsi Respons Penyapihan Ventilator


1. Intervensi Generik

61
1) Jika memungkinkan, kaji faktor penyebab ketidakberhasilan upaya
penyapihan sebelumnya
a) Ketidakadekutan substrat energi: oksigen nutrisi dan istirahat
b) Status kenyamanan takadekuat
c) Kebutuhan aktivitas berlebihan
d) Penurunan harga diri, rasa percaya diri, kontrol pernapasan
e) Kurangnya pengetahuan tentang perannya
f) Kurangnya hubungan saling percaya dengan staf
g) Keadaan emosional negatif
h) Lingkungan penyapihan yang merugikan
2) Tetapkan kesiapan penyapihan (Geisman, 1989)
a) Konsentrasi oksigen pada ventilator 50% atau kurang
b) Tekanan ekspirasi-akhir positif kurang dari 5 cm tekanan air
c) Frekuensi pernapasan kurang dari 30 kali permenit
d) Ventilasi menit kurang dari 10 liter per menit
e) Tekanan dinamik dan statik rendah, dengan komplains sedikitnya 35 cm
tekanan air
f) Kekuatan otot pernapasan adekuat
g) Istirahatkan, kontrol rasa tak nyaman
h) Keinginan untuk mencoba penyapihan
3) Jika kesiapan penyapihan ditetapkan ada, libatkan klien dalam penetapan
rencana
a) Jelaskan proses penyapihan
b) Bekerja sama dalam negosiasi tujuan penyapihan progresif
c) Jelaskan bahwa tujuan akan ditelaan kembali setiap hari bersama individu
4) Rujuk ke protokol unit untuk prosedur penyapihan yang khusus
5) Jelaskan perannya dalam proses penyapihan
a) Perkuat perasaan harga diri, kemanjuran diri dan kontrol diri
b) Perlihatkan kepercayaan pada kemampuan pasien untuk penyapihan

62
c) Pertahankan kepercayaan pasien dengan mengadopsi langkah penyapihan
(membutuhkan intruksi dokter) yang akan menjamin keberhasilan dan
meminimalkan kemunduran
d) Tingkatkan kepercayaan dalam staf dan lingkungan.
6) Kurangi pengaruh negatif dari ansietas dan keletihan
a) Pantau status dengan teratur untuk menghindari keletihan dan ansietas yang
tidak semestinya
b) Beri periode istirahat yang teratur sebelum keletihan berlanjut
c) Jika individu mulai gelisah, bicaralah padanya untuk menennagkan
sementara tetap di samping tempat tidur
d) Jika percobaan penyapihan dihentikan, arahkan persepsi pasien pada
kegagalan penyapihan. Yakinkan pasien bahwa percobaan adalah latihan yang
baik dan bentuk latihan yang sangat berguna.
7) Ciptakan lingkungan penyapihan yang positif, yang meningkatkan perasaan
aman individu.
8) Koordinasikan aktivitas yang perlu untuk meningkatkan waktu istirahat atau
relaksaai yang adekuat.
9) Koordinasikan jadwal analgesik dengan jadwal penyapihan.
10) Mulai percobaan penyapihan saat individu cukup istirahat, biasanya pada
pagi hari setelah tidur malam.
11) Diskusikan elemen proses penyapihan dengna petugas kesehatan lain untuk
memaksimalkan kemungkinan keberhasilan penyapihan.
1. Intervensi pediatrik
Tunda pemberian makan per oral 2 jam sebelum upaya penyapihan dan setelah
ekstubasi.

3. Intervensi Resiko Disfungsi Respons Penyapihan Ventilator


1. Intervensi Generik
1) Kaji faktor penyebab dan penunjang dari ketidakadekuatan keefektifan diri
tentang diri tentang kesiapan penyapihan
a) Ungkapkan kebutuhan lanjut untuk dukungan ventilator

63
b) Meminta untuk menunda dimulainya penyapihan
c) Merasa prihatin tentang kemempuan penyesuaian terhadap dukungan
ventilator derajat rendah atau tentang kemungkinan keberhasilan penyapihan
d) Agitasi ketika penyapihan dibicarakan
e) Peningkatan tekanan darah, nadi dan pernapasan ketika membicarakan
penyapihan.
2) Kurangi faktor risiko
Negosiasikan dengan staf medis untuk menunda dimulainya penyapihan dan
rencana penyapihan dengan langkah perlahan sehingga dapat memastikan
keberhasilan setiap langkah.

4. Intervensi Ketidakefektifan Pola Pernafasan


1. Intervensi Generik
Untuk Hiperventilasi
1) Pastikan individu bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk menjamin
keamanan
2) Alihkan perhatian individu dari memikirkan tentang keadaan ansietas
dengan meminta individu mempertahankan kontak mata dengan anda. Katakan,
“Sekarang perhatikan Saya dan bernapaslah perlahan-lahan bersama Saya seperti
ini”
3) Pertimbangkan penggunaan kantong kertas jika bermaksud mengeluarkan
kembali ekspirasi udara
4) Tetap bersama individu dan latih untuk bernapas perlahan-lahan, bernapas
lebih efektif
5) Jelaskan seorang dapat belajar untuk mengatasi hiperventilasi melalui
kontrol pernapasan secar sadar apabila penyebabnya tidak diketahui
6) Mendiskusikan kemungkinan penyebab, fisik dan emosional dan metoda
penanganan yang efektif
1. Intervensi Pediatrik
Jika anak cenderung bronkospasme, obat-obatan dapat diindikasikan

5. Intervensi Gangguan Pertukaran Gas

64
1. Aktivitas Utama
1) Kaji bunyi paru, frekuensi napas,kedalaman dan usaha napas serta produksi
sputum
2) Pantau saturasi O2 dengan oksimeter nadi
3) Pantau hasil gas darah (misal PaO2 yang rendah, PaCO2 yang meningkat,
kemunduran tingkat respirasi)
4) Pantau kadar elektrolit
5) Pantau status mental
6) Peningkatan frekuensi pemantauan pada saat pasien tampak somnolen
7) Observasi terhadap sianosis, terutama membran mukosa mulut
8) Identifikasi kebutuhan pasien akan insersi jalan napas aktual/potensial
9) Auskultasi bunyi napas, tandai area penurunan atau hilangnya ventilasi dan
adanya bunyi tambahan
10) Pantau status pernapasan dan oksigenasi
11) Jelaskan penggunaan alat bantu yang diperlukan (oksigen,
pengisap,spirometer)
12) Ajarkan teknik bernapas dan relaksasi
13) Jelaskan pada pasien dan keluarga alasan suatu tindakan dilakukan misal:
terapi oksigen
14) Ajarkan teknik perawatan di rumah (pengobatan, aktivitas, alat bantu, tanda
dan gejala yang perlu dilaporkan)
15) Ajarkan batuk efektif
1. Aktivitas Kolaboratif
1) Konsultasikan dengan dokter tentang kebutuhan akan pemeriksaan gas
darah arteri dan penggunaan alat bantu yang dianjurkan sesuai dengan adanya
perubahan kondisi pasien
2) Laporkan perubahan sehubungan dengan pengkajian data (misal: bunyi
napas, pola napas, analisa gas darah arteri,sputum,efek dari pengobatan)
3) Berikan obat yang diresepkan (misal: natrium bikarbonat) untuk
mempertahankan kesiembangan asam-basa
4) Siapkan pasien untuk ventilasi mekanis
5) Berikan oksigen sesuai dengan keperluan
6) Berikan bronkodilator, aerosol, nebulasi

65
1. Aktivitas Lain
1) Jelaskan kepada pasien sebelum memulai pelaksanaan prosedur untuk
menurunkan ansietas dan meningkatkan rasa kendali
2) Beri jaminan kepada pasien selama periode disstres atau cemas
3) Lakukan higiene mulut secara teratur
4) Lakukan tindakan untuk menurunkan konsumsi oksigen (misal mengurangi
kecemasan, pengendalian demam dan nyeri)
5) Atur posisi untuk memaksimalkan potensial ventilasi dan mengurangi
dispnea
6) Masukkan jalan napas buatan melalui hidung atau nasofaring
7) Lakukan fisioterapi dada sesuai kebutuhan
8) Bersihkan sekret dengan suctioning atau batuk efektif
9) Rencanakan perawatan pasien yang menggunakan ventilator:
a) Meyakinkan keadekuatan pemberian oksigen dengan melaporkan
ketidaknormalan gas darah arteri, menggunakan ambubeg yang dilekatkan pada
sumber oksigen di sisi bed dan melakukan hiperoksigenasi sebelum melakukan
pengisapan
b) Meyakinkan keefektifan pola napas dengan megkaji sinkronisasi dan
kemungkinan kebutuhan sedasi
c) Memertahankan kepatenan jalan napas dengan melakukan pengisapan dan
memertahankan selang endotrakea atau pindahkan ke sisi tempat tidur
d) Memantau komplikasi (pneumotoraks)
e) Memastikan ketepatan penempatan selang ET
2.3.4 Evaluasi
Evaluasi mengacu kepada penilaian, tahapan, dan perbaikan. Pada tahap ini
perawat menemukan penyebab mengapa suatu proses keperawatan dapat berhasil
atau gagal. (Alfaro-LeFevre, 1994).Evaluasi adalah perbandingan yang sistematis
dan terencana tentang kesehatan pasien dengan tujuan yang telah ditetapkan,
dilakukan dengan cara berkesinambungan dengan melibatkan pasien dan tenaga
kesehatan lainnya (Griffith & Christensen, 1986).
Perawat menemukan reaksi klien terhadap intervensi keperawatan yang telah
diberikan dan menetapkan apa yang menjadi sasaran dari rencana keperawatan
dapat diterima. Perencanaan merupakan dasar yang mendukung suatu evaluasi.

66
Menetapkan kembali informasi baru yang diberikan kepada klien untuk
mengganti atau menghapus diagnosa keperawatan, tujuan, atau intervensi
keperawatan. Menentukan target dari suatu hasil yang ingin dicapai adalah
keputusan bersama antara perawat dan klien (Yura & Walsh, 1988).
Evaluasi berfokus pada individu klien dan kelompok dari klien itu sendiri. Proses
evaluasi memerlukan beberapa keterampilan dalam menetapkan rencana asuhan
keperawatan, termasuk pengetahuan mengenai standar asuhan keperawatan,
respon klien yang normal terhadap tindakan keperawatan, dan pengetahuan
konsep teladan dari keperawatan.
Evaluasi disimpulkan berdasarkan pada sejauh mana keberhasilan mencapai
kriteria hasil, sehingga dapat diputuskan apakah intervensi tetap dilanjutkan,
dihentikan, atau diganti jika tindakan yang sebelumnya tidak berhasil.
Pasien mempertahankan patensi jalan napas yang ditunjukkan dengan:
1. Peningkatan jalan napas
2. Frekuaensi dan kedalaman napas sesuai
3. Gas-gas darah dalam batasan normal
Pasien mempertahankan pola pernapasan yang efektif, frekuensi, irama dan
kedalaman pernapasan normal, penurunan dispnea, gas-gas darah batas normal.

UNIT V
GANGGUAN SISTEM PENCERNAAN

A. KONDISI PATOLOIGIS PADA ESOFAGUS


1. Akalasia
Morfologi :
– Relaksasi inkompletsfingter esofagus bawah sebagai respon terhadap
menelan.
– Ditandai dengan disfagia progresif dan ketidakmampuan menyalurkan secara
total makanan ke dalam lambung.
Etiologi :
Tidak diketahui, autoimun dan riwayat infeksi virus diajukan sebagai hipotesis,
tetapi masih belum dibuktikan.

67
2. Esofagitis
Morfologi :
– Dapat terjadi secara akut maupun kronik.
– Esofagitis ringan secara makroskopis mungkin tampak sebagai hiperemia
biasa, tanpa kelainan histologik.
– Sebaliknya, mukosa pada esofagitis berat memperlihatkan erosi epitel
konfluen atau ulserasi total ke dalam sub mukosa.
Etiologi :
– Peradangan ini disebabkan oleh antara lain intubasi lambung berkepenjangan,
uremia, ingesit bahan korosif atau iritan, dan radiasi atau kemoterapi.
3. Karsinoma esofagus
Morfologi :
– Insiden sangat bervariasi secara geografik
– Berhubungan dengan faktor lingkungan
– Dua jenis utama: karsinoma epidermoid dan adenokarsinoma
– Kebanyakan adenokarsinoma berasal dari epitel kolumner metaplastik
(esofagus Barrett)
Etiologi :
– Esofagitis kronis; Esofagitis lama, akalasia, sindrom Plummer-Vinson
(selaput esofagus, anemia mikrositik hipokromik, glositis atrofikans)
– Gaya hidup; konsumsi alkohol, penyalahgunaan tembakau.
– Makanan; defisiensi vitamin (A,C, riboflavin, tiamin, piridoksin), defisiensi
trace metal (seng, molibdenum), pencernaan makanan oleh fungus, kandungan
nitrit/nitrosamin yang tinggi
– Predisposisi genetik; Tilosis (hiperkeratosis telapak tangan dan kaki)
4. Gastroesofagus Refluks (GERD)
Morfologi :
– Seringkali disebut nyeri ulu hati karena nyeri yang terjadi ketika cairan asam
yang normalnya hanya ada di lambung, masuk dan mengiritasi atau menimbulkan
rasa seperti terbakar di esofagus.
– Terjadi karena adanya aliran balik (refluks) isi lambung ke dalam esofagus.

68
Etiologi :
– GERD biasanya terjadi setelah makan dan disebabkan melemahnya tonus
sfingter esofagus atau tekanan di dalam lambung yang lebih tinggi dari esofagus.
– Hernia hiatus yang merupakan penonjolan sebagian lambung melalui lubang
diafragma juga dapat menyebabkan refluks.

B. KONDISI PATOLOGI PADA GASTER


1. Gastritis
Morfologi :
Gastritis Kronik :
– Apapun penyebab atau distribusi histologik gastritis kronis, peradangan terdiri
atas infiltrat limfosit dan sel plasma di lamina propria, kadang-kadang disertai
peradangan neutrofilik di regio leher lubang mukosa.
– Peradangan mungkin disertai oleh pengurangan kelenjar dengan derajat
bervariasi dan atrofi mukosa.
– Metaplasia intestinalis mengacu pada digantikannya epitel lambung oleh sel
kolumnar dan goblet varian usus.
– Profifersi jaringan limfoid di dalam mukosa lambung yang dipicu oleh
Helicobacter pylori diperkirakan sebagai prekursor limfoma lambung.
Gastritis Akut :
– Eoris dan pendarahan yang timbul mudah dilihat dengan endoskopi dan
disebut gastritis erosif akut.
– Semua varian ditandai dengan edema mukosa dan infiltrat peradangan
neutrofi dan mungkin oleh sel radang kronis.
– Gastritis akut mungkin lenyap dalam beberapa hari dengan mukosa normal.
Etiologi:
– Gastritis akut sering disebabkan oleh cedera kimia (misalnya alkohol, obat)
– Bentuk umu gastritis kronis merupakan akibat infeksi Helicobacter pylori
– Gastritis kronis juga disebabkan oleh proses autoimun, sering menyebabkan
defisiensi vitamin B12

69
– Gastritis kimia (reaktif) disebabkan oleh regurgitasi bilians atau kerusakan
akibat obat.
2. Ulkus Peptikum
Morfologi :
– Putusnya kontinuitas mukosa lambung yang meluas sampai di bawah epitel.
– Lesi kronis, umumnya solitar, yang dapar terjadi di setiap bagian saluran
cerna yang terpajan getah asam-peptik.
Etiologi:
– Hiperasiditas, gastritis Helicobacter, refluks duodenum, NSAIDs, merokok,
dan faktor genetik.
3. Karsinoma Lambung
Morfologi :
– Sebagian besar adenokarsinoma
– Kasus sebagian besar ditemukan secara klinis sudah lanjut
– Kasus dini (karsinoma terbatas pada mukosa atau submukosa) mempunyai
prognosis baik
– Semua ulkus gaster harus dianggap mempunyai potensi ganas.
Etiologi:
1. Adenokarsinoma Tipe-Intestinal
– Makanan;
1) Nitrit yan berasal dari nitrat (ditemukan dalam makanan dan air minum, dan
digunakan sebagai pengawet daging) dapat mengalami nitrosoamin dan
nitrosamida.
2) Makanan yang diasapkan dan acar
3) Asupan garam berlebihan
4) Menurunnya asupan buah dan sayuran segar;
– Gastritis kronis dengan metaplasia intestinal;
1) Infeksi Helicobacter pylori
2) Anemia pemisiosa
– Kelainan anatomi; Setelah gastektomi distal subtotal
1. Karsinoma Difus

70
– Faktor resiko belum diketahui kecuali muutasi herediter E-kaderin(jarang
ditemukan)
– Sering terdapat infeksi Helicobacter pyloriHelicobacter pylori dan gastritis
kronis
4. Dispepsia
Morfologi :
– Nyeri atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas atau dada, yang sering
dirasakan sebagai adanya gas, perasaan penuh atau rasa sakit atau rasa terbakar di
perut.
Etiologi:
Ketidakpatuhan diet, waktu makan tidak teratur, dan adakalanya berhubungan
dengan ketakutan dan tekanan jiwa.

C. KONDISI PATOLOGIS PADA USUS


1. Ulkus Duodenum
Morfologi :
– 90% Terjadi pada bulbus duodeni dan pendarahan sering pada dinding
posterior bulbus duodeni.
– Seringkali mengalami sekresi asam berlebihan.
Etiologi :
– Stress psikosial dan kecemasan kronis, obat ulsergenik, alkohol, dan
tembakau.
2. Obstruksi Usus
Morfologi :
– Gangguan (apapun penyebabnya) aliran isi usus sepanjang saluran usus dapat
bersifat akut maupun kronis, parsial maupun total.

71
– Obstruksi usus kronis biasanya mengenai kolon akibat adanya karsinoma atau
pertumbuhan tumor, dan pergerakannya lambat. Sebagian besar obstruksi
mengenai usus halus.
– Terdapat dua jenis obstruksi usus : (1) Non-Mekanis (misalnya, ileus paralitik
atau ileus adinamik), peristaltik usus dihambat akibat pengaruh toksin atau trauma
yang memengaruhi pengendalian otonom motilitas usus. (2) Mekanis, terjadi
obstruksi di dalam lumen usus atau obstruksi mural yang disebabkan oleh tekanan
ekstrinsik.
Etiologi :
– Obstruksi non-mekanis atau ileus adinamik; pembelahan abdomen karena
adanya penghambatan peristaltik akibat visera abdomen yang tersentuh tangan.
Refleks penghambatan peristaltik ini disebut ileus paralitik.
– Atoni usus dan peregangan gas sering timbul menyertai berbagai kondisi
traumatik, terutama setelah fraktur iga, trauma medula spinalis, dan fraktur tulang
belakang.
– Obstruksi mekanis; faktor usia, kanker kolon, benda asing dan kelainan
kongenital.

3. Divertikulosis
Morfologi :
Duplikasi usus berbentuk dua tabung tubulr atau berbentuk kista di mesenterium.
Merupakan penonjolan keluar dari keseluruhan tebal dinding usus, dan ini terjadi
pada duodenum dan jejenum.
Etiologi :
– Peningkatan kontraksi peristaltik disertai peningkatan abnormal tekanan
intralumen
– Defek lokal yang khas di dinding otot kolon normal

D. KONDISI PATOLOGIS PADA KOLON


1. Karsinoma Kolon (Kanker Usus Besar)
Morfologi :

72
– Perubahan kebiasaan defekasi, pendarahan, nyeri, anemia, anoreksia, dan
penuruan berat badan
Etiologi :
– Masih belum diketahui pasti, namun telah dikenali beberapa faktor disposisi.
– Faktor disposisi; Hubungan antara kolitis ulseratif (yaitu tipe polip kolon
tertentu) dengan kanker usus besar, kebiasaan makan.
2. Kolitis Ulseratif
Morfologi :
– Merupakan penyakit radang kolon nonspesifik yang umumnya berlangsung
lama disertai remisi dan eksaserbasi yang berganti-ganti
– Reaksi peradangan daerah subepitel yang timbul pada basis kripte
Lieberkuhnn, yang akhirnya menimbulkan ulserasi mukosa.
– Penyebaran lesi menyeluruh sampai rektum.
Etiologi :
Tidak diketahui
3. Penyakit Crohn (Kolitis Granulomatosa)
Morfologi :
– Bagian usus yang terserang adalah bagian transmural.
– Terkenanya penyakit Crohn kebanyakan segmental yaitu panjang usus yang
terkena penyakit dipisahkan oleh jaringan yang normal. Segmen penyakit yang
terpisah disebut sebagai ‘skip lesions’.
– Terdapat granuloma yang mengandung makrofag epiteloid dan sel datia, yang
umumnya jenis Langhans, dikelilingi oleh kelompok limfosit.

E. KONDISI PATOLOGIS PADA ELIMINASI BOWEL


Eliminasi bowel/ Buang Air Besar (BAB) atau disebut juga defekasi
merupakan proses pembuangan atau pengeluaran sisa metabolisme berupa feses
yang berasal dari saluran pencernaan melalui anus. ( Tarwoto dan Wartonah, 2004.
hal 48).
Saluran gastrointestinal (pencernaan) bawah meliputi usus halus dan usus besar.
Usus halus terdiri dari duodenum, jejunum, dan ileum yang panjangnya kira-kira

73
6 m dengan diameter 2,5 cm. Usus besar terdiri dari colon dan rectum yang
kemudian bermuara pada anus. Panjang usus besar sekitar 1,5 m dengan diameter
6 cm. usus menerima makanan yang sudah di bentuk chime (setengah padat) dari
lambung untuk mengabsorpsi air, nutrient, dan elektrolit. Usus sendiri mensekresi
mucus, potassium, bikarbonat, dan enzim. Chyme bergerak karena adanya
peristaltik usus dan akan berkumpul menjadi feses di usus besar. Dari makan
sampai mencapai rectum normalnya di perlukan waktu 12 jam.
Gerakan kolon di bagi menjadi tiga bagian yaitu :
haustral shuffing adalah gerakan mencampur chime untuk membantu
mengabsorpsi air, kontraksi haustral yaitu gerakan untuk mendorong materi air
dan semi padat sepanjang kolon, gerakan peristaltic yaitu gerakan maju ke anus
yang berupa gelombang.
Proses Defekasi
Dalam proses defekasi terjadi 2 macam refleks yaitu :
1. Refleks defekasi intrinsik
Refleks ini berawal dari feses yang masuk ke rectum sehingga terjadi
distensi rectum, yang kemudian menyebabkan rangsangan pada fleksus
mesentrikus dan terjadilah gerakan peristaltic. Setelah feses tiba di anus, secara
sistematis spinkter interna relaksasi maka terjadilah defekasi.
2. Refleks defekasi parasimpatis
Feses yang masuk ke rectum akan merangsang saraf rectum yang
kemudian di teruskan ke spinal cord. Dari spinal cord kemudian dikembalikan ke
kolon desenden, sigmoid dan rectum yang menyebabkan intensifnya peristaltic,
relaksasi sfingter interna, maka terjadilah defekasi. Dorongan feses juga di
pengaruhi oleh kontraksi otot abdomen, tekanan diafragma dan kontraksi otot
elevator ani. Defekasi dipermudah oleh fleksi otot femur dan posisi jongkok. Gas
yang di hasilkan dalam proses pencernaan normalnya 7-10 liter/24 jam. Jenis gas
yang terbanyak adalah CO2, metana, H2S, O2, dan Nitrogen. Feses terdiri 75% air
dan 25 % materi padat. Feses normal berwarna coklat karena pangaruh
sterkobilin, mobilin, dan aktivitas bakteri. Bau khas pengaruh dari
mikroorganisme. Konsistensi lembek namun berbentuk.

74
Factor-faktor yang Mempengaruhi Proses Defekasi
1. Usia
Pada usia bayi control defekasi belum berkembang, sedangkan pada usia
manula control defekasi menurun.
2. Diet
Makanan berserat akan mempercepat produksi feses, banyaknya makanan
yang masuk kedalam tubuh juga mempengaruhi proses defikasi.
3. Intake cairan
Intake cairan yang kurang akan menyebabkan feses menjadi lebih keras,
disebabkan karena absorpsi yang meningkat.
4. Aktivitas
Tonus otot abdomen, pelvis, dan diafragma akan sangat membantu proses
defekasi.gerakan peristaltic akan memudahkan bahan feses bergerak
sepanjang kolon.
5. Fisiologis keadaan cemas, takut, dan marah akan meningkatkan peristaltic,
sehingga menyebabkan diare.

6. Pengobatan
Beberapa jenis obat dapat mengakibatkan diare dan konstipasi.
7. Gaya Hidup
Kebiasaan untuk melatih pola buang air besar sejak kecil secara teratur,
fasilitas buang air besar, dan kebiasaan menahan buang air besar.
8. Prosedur diagnostic
Klien yang akan melakukan prosedur diagnostic biasanya dipuaskan atau
dilakukan klisma dahulu agar tidak dapat buang air besar kecuali setelah
makan.
9. Penyakit
Beberapa penyakit pencernaan dapat menimbulkan diare dan konstipasi
10. Anestesi dan pembedahan

75
Anestesi umum dapat menghalangi inpuls parasimpatis, sehingga kadang-
kadang dapat menyebabkan ileus usus. Kondisi ini dapat berlangsung 24-48
jam.
11. Nyeri
Pengalaman nyeri waktu buang air besar seperti adanya hemoroid, fraktur
ospubis, epesiotomi akan mengurangi keinginan untuk buang air besar.
12. Kerusakan sensorik dan motorik
Kerusakan spinal cord dan injuri kepala akan menimbulkan penurunan
stimulus sensorik untuk defekasi.
Masalah-masalah Umum pada Eliminasi Bowel
Konstipasi : Gangguan eliminasi yang di akibatkan adanya feses yang kering dan
keras melalui usus besar. Biasanya di sebabkan oleh pola defekasi yang tidak
teratur, penggunaan laksatif yang lama, stress psikologi, obat-obatan, kurang
aktivitas, usia.
Fecal infaction : masa feses yang keras di lipatan rectum yang diakibatkan oleh
retensi dan akumulasi material feses yang berkepanjangan. Biasanya di sebabkan
oleh konstipasi, intake cairan yang kurang, kurang aktivitas, diet rendah serat, dan
kelemahan tonus otot.
Diare : keadaan individu yang mengalami atau beresiko sering mengalami
pengeluaran feses dalam bentuk cair. usus besar tidak mempunyai waktu yang
cukup untuk menyerap air. Diare dapat disebabkan karena stress fisik, obat-
obatan, alergi, penyakit kolon, dan iritasi internal.
Inkontinensia alvi : hilangnya kemampuan otot untuk mengontrol pengeluaran
feses dan gas melalui spinter anus akibat kerusakan fungsi spinter atau persarapan
di daerah anus. Penyebabnya karena penyakit-penyakit neuromuskuler, trauma
spinal cord, tumor spinter anus eksterna.
Kembung : Flatus yang berlebihan di daerah intenstinal sehingga menyebabkan
distensi intestinal, dapat disebabkan karena konstipasi, penggunaan obat-obatan
(barbiturat, penurunan ansietas, penurunan aktivitas intestinal), mengkonsumsi
makanan yang banyak mengandung gas dapat berefek anestesi.

76
Hemorroid : pelebaran vena di daerah anus sebagai akibat peningkatan tekanan di
daerah tersebut. Penyebabnya adalah konstipasi kronis, peregangan maksimal saat
defekasi, kehamilan, dan obesitas.

F. KONDISI PATOLOGIS PADA PANGKREAS


1. Pankreatitis
Morfologi :
– Dapat diklasifikan bentuk akut dan kronis
– Pada pankreatitis akut, amilase dilepaskan ke dalam darah (bergunan untuk
diagnostik), sering timbul pendarahan (hemoragik), dan nekrosis lemak pada
jaringan sekitar akan mengikat kalsium.
– Pankreas menunjukkan fibrosis dan atrofi ensokrin pada pankreatitits kronis.
Dapat menyebabkan malabsorpsi intestinal akibat kehilangan sekresi pankreas.
Etiologi :
Pankreatitis Akut;
Termasuk obstruksi duktus pankreatikus, refluks empedu, alkohol, terutama
intoksikasi akut, insufisiensi vaskuler (misalnya syok), infeksi virus mumps,
hiperparatiroidisme, hipotermia, trauma, dan faktor iatrogenik (pasca ECRP).

Pankreatitis kronis;
Kejadian berulang dari proses klinis pankreatitis akut, minuman beralkohol yang
berlebihan dalam waktu lama.
2. Karsinoma pankreas
Morfologi :
– Biasanya adenokarsinoma; Kelenjar neoplastik dengan nukleus pleormorfik
yang atipik telah diinfiltrasi oleh jaringan ikat fibrosa yang padat.
– Dapat timbul bersama ikterus obstruktif, dan prognosis sangat buruk.
Etiologi : Merokok, diabetes melitus

G. KONDISI PATOLOGIS PADA HEPAR DAN EMPEDU

77
1. Hepatitis
2. Abses Hati
Morfologi :
– Biasanya timbul pada keadaan defisiensi imun –misalnya usia sangat lanjut,
imunosupresi, atau kemoterapi kanker disertai kegagalan sumsum tulang.
– Abses hati piogenik (bakteri) dapat terjadi sebagai lesi tunggal atau jamak,
dengan garis tengah berkisar dari milimeter hingga masif.
– Penyebaran bakteri melalui sistem arteri sistem arteri atau porta cenderung
menimbulkn abses kecil multipel, sedangkan perluasan langsung dan trauma
biasanya menyebabkan abses besar dan tunggal.
Etiologi :
– Di negara yang sedang berkembang. Sebagian besar disebabkan oleh infeksi
parasit, misalnya ameba, ekinokokus, serta (yang lebih karang) protozoa dan
cacing lainnya.
– Di negara maju, abses hati akibat parasit jarang ditemukan dan umumnya
mengenai migran.
– Di dunia barat, abses akibat bakteri atau jamur lebih sering terjadi,
mencerminkan komplikasi infeksi di tempat lain.

3. Karsinoma hepatoseluler (Karsinoma Sel hepar)


Morfologi :
– Gambaran spesifiknya adalah varian fibrolamelar dimana sel hepar
neoplastik tersusun dalam pita lebar atau lamela yang dipisahkan oleh jaringan
fibrosa padat. Varian ini kebanyakan timbul pada wanita muda, tanpa sirosis
sebagai faktor predisposisi.
Etiologi :
– Aflatoksin, mikotoksi karsinogenik yang diproduksi oleh jamur Aspergillus
flavus, yang mengkontaminasi makanan yang disimpan dalam keadaan lembab.
– Virus hepatitis B
– Sirosis hepar, tanpa memperhatikan sebabnya
4. Perlemakan Hati (Steatosis Hati)

78
Morfologi :
– Bahkan dengan asupan
Etiologi :
– Asupan alkohol dalam jumlah sedang, dapat terjadi penimbunan butir-butir
lemak kecil (mikrovesikular) dalam hepatosit.
– Pada asupan alkohol yang kronis, lemak tertimbun sampai tahap menciptakan
globulus makrovesikuler besar yang jernih serta menekan dan menggeser nukleus
ke perifer hepatosit. Tranformasi ini pada awalnya bersifat setrilobulus, tetapi
pada kasus yang parah perubahan dapat mengenai keseluruhan lobulus.
5. Sirosis
Morfologi :
– Proses difus, irreversibel, ditandai dengan fibrosis dan regenerasi noduler
Etiologi :
– Penyebabnya termasuk virus hepatitis (VHB dan VHC), alkohol,
hemokromatosis, penyakit autoimun hepar (hepatitis ‘lupoid’ dan sirosis biliaris
primer), obtruksi biliaris rekuren (misalnya baru empedu), penyakit Wilson.

6. Penyakit hati karena Alkohol


Morfologi :
– Menimbulkan kerusakan arsitektur hepar yang irreversibel, berawal dari
traktus portal dan/atau venula hepatik terminalis digantti dengan jaringan ikat
fibrosa, dan berakhir dengan terjadinya regenerasi noduler sel hepar, ini
merupakan sirosis hepar.
Etiologi : Disebabkan oleh penyalahgunaan alkohol.
7. Penyakit hati karena Zat Toksik
Morfologi :
– Prinsip cedera akibat obat dan toksin pada hati diklasifikasikan sebagai reaksi
yang dapat diduga (intrinsik) atau yang tidak dapat diduga (idosinkratik).

79
– Reaksi obat yang dapat diduga dapat terjadi pada semua orang yang
mengalami akumulasi obat hingga jumlah tertentu.
– Reaksi yang tidak dapat diduga bergantung pada idiosikrasi pejamu, terutama
kecenderungan pejamu menghasilkan respon imun terhadap rangsangan antigen,
dan kecepatan pejamu memetabolisme bahan penyebab.
Etiologi :
– Disebabkan oleh obat dan zat toksin
Kandung Empedu
1. Kolelitiasis (Batu Empedu)
Morfologi :
– Keadaan dimana batu empedu terbentuk dalam sistem biliaris.
Etiologi :
– Wanita, obesitas, dan diabetes melitus.
2. Kolangitis
Morfologi :
– Peradangan akut dinding saluran empedu atau batang bilier keseluruhan.
Etiologi :
– Hampir selalu disebabkan oleh infeksi bakteri pada lumen yang secara normal
steril
– Dapat terjadi akibat setiap lesi yang menghambat aliran empedu, terutama
koledokolitiasis dan rekonstruksi Roux-en-Y saluran empedu.
3. Kolesistitis
Morfologi :
– Radang vesika felea dan seringkali menyebabkan nyeri abdomen di daerah
sebelah kanan hipokondrium.
– Hampir selalu dihubungkan dengan batu empedu dan terjadi sebagai kondisi
akut dan kronis.
Etiologi :
Kolesistitis akut
– Umumnya obstruksi aliran keluar dari vesika felea oleh empedu.
Kolesistitis akut

80
– Dapat timbul secara insidensial (tersembunyi dan membahayakan) atau
setelah kolsistitis akut yang berulang-ulang.
4. Adenokarsinoma, kolangiokarsinoma
Morfologi :
– Adalah adenokarsinoma epitel duktus biliaris.
– Pada biopsi hepar, sering timbul kesulitan untuk membedakannya dengan
metastasis adenokarsinoma.
Etiologi :
– Infeksi cacing hati Cina, Clonorchis sinensis.
– Insiden kolangiokarsinoma juga meningkat pada penderita dengan kolitis
ulseratif.
5. Atresia Bilier
Morfologi :
– Penyumbatan pada saluran yang membawa cairan empedu dari hati ke
kandung empedu
– Terjadi kegagalan struktur biliaris untuk berkembang dan beranastomosis
secara normal dengan struktur intrahepatik.
Etiologi :
– Terjadi ketika saluran empedu di dalam atau di luar hati tidak berkembang
secara normal.

ASUHAN KEPERAWATAN PADA SISTEM PENCERNAAN

A. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1. IDENTITAS
a. Umur : Biasanya penderita gangguan sistem pencernaan berasal
dari segala usia.
b. Jenis kelamin : Biasanya gangguan sisitem pencernaan dapat dialami
baik wanita maupun pria.
c. Pekerjaan : Biasanya yang beresiko terkena gangguan sistem
pencernaan adalah pekerjaan berat dan cenderung mengalami stress.
d. Tempat tinggal : Biasanya gangguan sisitem penceranaan terjadi pada
lingkungan yang kumuh dapat juga mempengaruhi kualitas makanan
seseorang dan menyebabkan gangguan pada sistem pencernaan.
2. KELUHAN UTAMA

81
Biasanya pasien mengeluh nyeri pada bagian abdomen
3. RIWAYAT KESEHATAN
a. Riwayat kesehatan sekarang
Biasanya pasien mengeluh nyeri pada bagian abdomen Kaji lokasi,
durasi, pola, frekwensi, distribusi penyebaran dan waktu nyeri dan
faktor yang memperburuk dan yang meredakan nyeri,. biasanya pasien
juga merasa kembung, mual dan muntah, hematemesis, diare,
perubahan kebiasaan defekasi serta karakteristik urin dan feses.
b. Riwayat kesehatan dahulu
Biasanya pasien dengan gangguan sisitem pencernaan pernah di rawat
di rumah sakit sebelumnya dengan penyakit yang sama . pernah
mengalami pembedahan atau cidera saluran pencernaan atau abdomen
sebelumnya
c. Riwayat kesehatan keluarga
Biasanya penyakit sistem pencernaan tidak ada faktor keturunan tetapi
faktor dari lingkungan terutama keluarga yang mempunyai pola hidup
yang tidak sehat.
4. PENGKAJIAN DATA KEPERAWATAN
 Pola aktivitas / latihan
Biasanya pasien dengan gangguan sistem pencernaan tidak bisa
melakukan aktivitas seperti biasanya karena nyeri.
 Pola nutrisi dan cairan
Makan : Biasanya pasien tidak nafsu makan, porsi makan tidak habis
disebabkan mual muntah .
Minum : Biasanya pasien minum air putih tidak banyak sekitar 400-
500cc
 Pola persepsi dan penanganan kesehatan
Persepsi terhadap penyakit : biasanya pasien mengatakan kesehatan
merupakan hal yang penting, jika ada keluarga yang sakit maka akan
segera dibawa ke pelayanan kesehatan terdekat.
 Pola eliminasi

82
BAK : biasanya bisa terjadi gangguan seperti adanya perubahan warna
urin, retensi urin / inkonteninsia urine
BAB: biasanya bisa terjadi konstipasi
 Pola istirahat tidur
Biasanya pasien tidak bisa istirahat total seperti biasanya karena ada
nyeri
 Pola kognitif – persepsi
Biasanya pasien sudah mengerti tentang keadaanya dan merasa harus
segera berobat
 Pola peran hubungan
Biasanya pasien dapat berhubungan dengan orang lain secara baik tetapi
akibat kondisinya pasien malas untuk keluar dan memilih untuk istirahat.
 Pola seksualitas / reproduksi
Biasanya pasien mengalami kesulitan dalam hubungan seksualitas akibat
penyakit.
 Pola persepsi diri / konsep diri
Biasanya pasien ingin cepat sembuh dan tidak ingin mengalami
penyakit seperti ini lagi.
 Pola koping – toleransi stres
Biasanya pasien apabila merasakan tidak nyaman selalu memegangi
perutnya dan meringis kesakitan akibat nyeri yang dirasakan
 Pola keyakinan nilai
Biasanya berbeda pada setiap pasien. Biasanya pasien yakin akan cepat
sembuh menganggap ini merupakan cobaan dari Tuhan.
5. PEMERIKSAAN FISIK
a. Tanda-tanda vital
Biasanya pada pasien gangguan sistem pencernaan tekanan darah,
nadi, dan pernafasan meningkat karena adanya nyeri
b. Berat badan
Biasanya adanya penurunan berat badan ketika pasien mengalami
penyakit atau gangguan sistem pencernaan diakibatkan oleh
kekurangan cairan dan nutrisi
c. Mata

83
Biasanya pada pasien matanya terdapat konjungtiva anemis, sklera
ikterik.
d. Mulut
Biasanya bibir dan mukosa terlihat kering dan mengeluarkan bau
mulut yang tidak enak.
e. Lidah
Biasanya lidah pasien dengan gangguan system pencernaan
mengalami gangguan menelan.
f. Abdomen
I : Perubahan warna di abdomen scar atau ikterik, adanya jaringan
parut. Adanya benjolan, lesi, striae, petechie, kesimetrisan,
mendeteksi cairan.
A: Bising usus lebih dari batas normal.
P: Adanya nyeri tekan, adanya perubahan tekstur seperti pada hati,
adanya pembesaran ukuran organ (mis. hati ginjal limpa)
P: Adanya pembesaran hepar, nyeri tekan pada abdomen, adanya
rongga udara/cairan abnormal.
g. Kaki
Biasanya terjadi kelemahan pada otot kaki akibat gangguan pada
sistem pencerenaan.

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Diagnostik
1. Endoskop (tabung serat optik yang digunakan untuk melihat
struktur dalam dan untuk memperoleh jaringan dari dalam tubuh)
2. Rontgen Foto polos perut.
Foto polos perut merupakan foto rontgen standar untuk perut yang
tidak memerlukan persiapan khusus dari penderita
Sinar X biasanya digunakan untuk menunjukkan:
 suatu penyumbatan
 kelumpuhan saluran pencernaan
 pola udara abnormal di dalam rongga perut
 pembesaran organ (misalnya hati, ginjal, limpa)
3. Pemeriksaan barium.
Setelah penderita menelan barium, maka barium akan tampak putih
pada foto rontgen dan membatasi saluran pencernaan,

84
menunjukkan kontur dan lapisan dari kerongkongan, lambung dan
usus halus. Barium yang terkumpul di daerah abnormal
menunjukkan adanya ulkus, erosi, tumor dan varises
kerongkongan.
4. Ultrasonografi (USG)
USG menggunakan gelombang udara untuk menghasilkan
gambaran dari organ-organ dalam. USG bisa menunjukkan ukuran
dan bentuk berbagai organ (misalnya hati dan pankreas) dan juga
bisa menunjukkan daerah abnormal di dalamnya. USG juga dapat
menunjukkan adanya cairan.
b. Laboratorium
Hitung darah lengkap dan serum elektrolit dapat menunjukkan
hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit), peningkatan sel darah
putih (Leukosit : >10.000– 18.000/mm3) dan ketidak seimbangan
elektrolit.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis
2. Gangguan rasa nyaman b.d gejala terkait penyakit
3. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan b.d ketidakmampuan
makan, ketidakmampuan mencerna makanan, kedidakmampuan
mengabsorpsi nutrien, kurang asupan makanan

C. INTERVENSI KEPERAWATAN
No Dx. Kep NOC NIC

85
1 Nyeri akut 1. Kontrol nyeri 1. Pemberian analgesic
berhubungan dengan Indikator : Aktivitas – aktivitas:
agen cedera biologis  Mengenali kapan nyeri  Tentukan lokasi,
terjadi. karakteristik, kualitas dan
 Menggambarkan faktor keparahan nyeri sebelum
resiko. mengobati pasien
 Menggunakan tindakan  Cek perintah pengobatan
pencegahan. meliputi obat, dosis dan
 Menggunakan tindakan frekuensi, obat analgesik
pengurangan nyeri yang diresepkan
tanpa analgesik  Tentukan pilihan obat
 melaporkan nyeri yang analgesic(narkotik, non
terkontrol. narkotik, NSAID)
berdasarkan tipe dan
2. Tingkat nyeri keparahan nyeri
Indikator :  Berikan kebutuhan
 Nyeri yang dilaporkan. kenyaman dan aktivitas
 Panjangnya episode lain yang dapat
nyeri membantu relaksasi
 Mengerang dan untuk memfasilitasi
menangis. penurunan nyeri
 Ekspresi nyeri wajah.  Berikan analgesic sesuai
 Mengeluarkan keringat. waktu paruhnya,
 Berkeringat berlebihan. terutama pada nyeri yang
berat
 Mondar mandir
 Fokus menyempit.
2. Manajemen nyeri
 Ketegangan otot Aktivitas – aktivitas;
 Mual.  Lakukan pengkajian
 Frekuensi nafas nyeri komprehensif yang
 Tekanan darah meliputi lokasi,
karakteristik, onset atau
durasi, frekuensi,
kualitas, intensitas atau
beratnya nyeri dan factor
pencetus
 Pastikan perawatan
analgesic bagi pasien
dilakukan pemantauan
dengan ketat
 Gali bersama pasien
factor – factor yang dapat
menurunkan atau
memperberat nyeri
 Evaluasi bersama pasien
dan tim kesehatan
lainnya, mengenai
efektivitas
tindakanpengontrolan
nyeri yang digunakan

86
sebelumnya

3. Bantuan pasien untuk


mengopntrol pemberian
analgesic
Aktivitas – aktivitas:
 Berkolaborsi dengan
dokter, pasien dan
anggota keluarga dalam
memilihb jenis narkotik
yang akan digunakan
 Pastikan bahwa pasien
tidak alergi terhadap
analgesic yang akan
diberikan
 Instruksikan pasien dan
keluarga untuk
memonitor intensitas,
kualitas dan durasi nyeri
 Kolaborasi dengan pasien
dan keluarga untuk
memilih tipe alat infus
PCA yang sesuai
 Bantu pasien dan
keluarga untuk
memberikan dosis bolus
analgesic yang tepat
 Instruksikan pasien dan
anggota keluarga terkait
reaksi dan efek samping
dari agen pengurang rasa
nyeri
 Konsulatsikan dengan
ahlli nyeri diklinik bagi
opasien yang mengalami
kesulitan dalam
mencapai pengontrolan
nyeri
2. Gangguan rasa 1. Status kenyamanan : 1. Manajemen lingkungan
nyaman b.d gejala Indikator : kenyamanan
terkait penyakit  Kesejahteraan fisik. aktivitas aktivitas :
 Kontrol terhadap  Tentukan tujuan pasien
gejala. dan keluarga dalam
 Lingkungan fisik. mengelola lingkungan
 Dukungan sosial dari dan kenyaman yang
keluarga. optimal
 Dukungan sosial dari  Hindari gangguan yang
teman tidak perlu dan berikan
 Hubungan keluarga. untuk waktu istirahat.
 Ciptakan lingkungan

87
yang tenang dan
2.Status kenyamanan : fisik mendukung.
Indikator :  Sediakan lingkungan
 Kontrol terhadap yang aman dan bersih.
gejala.  Sesuaikan cahaya untuk
 Posisi yang nyaman. memenuhi kebutuhan
 Nyeri otot. kegiatan individu.
 Baju yang nyaman  Sesuaikan suhu ruangan
 Tingkat energi
 Mual 2. Peningkatan keamanan
 Muntah. Aktivitas – aktivitas :
 Sediakan lingkungan
3.Tingkat nyeri yang tidak mengancam.
Indikator :  Tunjukan ketenangan
 Nyeri yang dilaporkan.  Luangkan waktu
 Panjangnya episode bersama pasien.
nyeri  Tunjukan perubahan saat
 Mengerang dan berangsur.
menangis.  Jelaskan semua prosedur
 Ekspresi nyeri wajah. kepada pasien.
 Mengeluarkan keringat.  Jawablah semua
 Berkeringat berlebihan. pertanyaan mengenai
 Mondar mandir status kesehatan dengan
 Fokus menyempit. perilaku jujur.
 Ketegangan otot  Bantu pasien untuk
menggunakan koping
 Mual.
respon .
 Frekuensi nafas
 Jangan timbukan emosi
 Tekanan darah
yang kuat.

3 Ketidakseimbangan 1. Status nutrisi 1. Manajemen gangguan


nutrisi kurang dari Indicator : makan
kebutuhan tubuh  Asupan gizi Aktivitas aktivitas:
 Asupan makanan  Kalaborasi dengan tim
 energi kesehatan lain untuk
mengembangkan
2. Status nutrisi : asupan rencana perawatan
nutrisi  Dorong klien untuk
Indicator: mendiskusikan
 asupan kalori makanan yang
 asupan protein disukainya
 asupan karohidrat  Monitor asupan kalori
 asupan serat  Monitor asupan cairan
 asupan vitamin yang tepat
 asupan mineral(  Timbang berat badan
 asupan zat besi klien secara rutin
 asupan kalsium  Kembangkan hubungan
 asupan natrium yang mendukung
dengan klien

88
 Beriak dukungan dan
arahan jika diperlukan
 Beri tanggung jawab
terkait dengan pilihan –
pilihan makanan dan
aktivitas fisik
 Rundingkan dengan tim
kesehatan lainnya setipa
hari terkait dengan
perkembangan
 Bagun harapan terkait
dengan perilaku makan
yang baik
 Dorong klien untuk
memonitor asupan
makan harian.

2. Bantuan peningkatan berat


badan
Aktivitas aktivitas:
 Timbang pasien pada
jam yang sama setiap
hari.
 Monitor mual muntah
 Kaji penyebab mual dan
muntah.
 Monitor asupan kalori
setiap hari.
 Dukung peningkatan
asupan kalori .
 Beriakn istirahat yang
cukup.
 Bantu pasien untuk
makan.
 Sajikan makana yang
menarik.
 Ajrakan pasien dan
keluarga merencanakan
makan
 Kenali apakah
penurunan berat badan
yang dialami pasien
 Sediakan suplemen
makan jika diperlukan.

3. Manajemen nutrisi
Aktivitas aktivitas:
 Tentukan status gizi dan
kemampuan untuk

89
memenuhi kebutuhan
gizi
 Identifikasi alergi atau
intoleransi makanan
yang dimiliki pasien
 Intruksikan pasien
mengenai kebutuhan
nutrisi
 Bantu pasien dalam
menentukan pedoman
makanan yang paling
cocok dalam memenuhi
kebutuhan nutrisi
 Lakukan atau bantu
pasien terkait dengan
perawatan mulut
sebelum makan
 Monitor kalori dan
asupan makanan
 Bantu pasien untuk
mengakses program gizi
 Berikan arahan jika
diperlukan
 Ciptakan lingkungan
yang optimal pada saat
mengkonsumsi
makanan
 Intruksikan pasien
mengenai kebutuhan
nutrisi
 Tentuakan jumlah kalori
dan jenis nutrisi yang
dibutuhkan
 Tawarkan makan ringan
yang padat gizi

KESIMPULAN
Pengkajian pada pasien dengan gangguan sistem pencernaan meliputi:
1. identitas
 Umur : Biasanya penderita gangguan sistem pencernaan berasal dari
segala usia.
 Jenis kelamin : Biasanya gangguan sisitem pencernaan dapat dialami baik
wanita maupun pria.

90
 Pekerjaan : Biasanya yang beresiko terkena gangguan sistem
pencernaan adalah pekerjaan berat dan cenderung mengalami stress.
 Tempat tinggal : Biasanya gangguan sisitem penceranaan terjadi pada
lingkungan yang kumuh dapat juga mempengaruhi kualitas makanan
seseorang dan menyebabkan gangguan pada sistem pencernaan.
2. Keluhan Utama
Keluhan utama pada pasien gangguan sistem pencernaan secara umum antara
lain: Nyeri Mual muntah, Kembung dan Sendawa (Flatulens),
ketidaknyamanan abdomen, diare, konstipasi.
3. Riwayat kesehatan
Pengkajian riwayat kesehatan dilakukan dengan anamnesis atau wawancara
untuk menggali masalah keperawatan lainnya sesuai dengan keluhan utama
dari pasiennya. Riwayat kesehatan ada tiga yaitu Riwayat kesehatan sekarang,
Riwayat kesehatan dahulu, Riwayat
4. Pemerikasaan fisik
Pemeriksaan fisik meliputi ikterus, Pemeriksaan bibir, rongga mulut, lidah
dan dasar mulut, pemeriksaan , kerongkongan, pemeriksaan abdomen,
pemeriksaan rectal anus, pemeriksaan organ aksesori.
5. Pemerikasaan Diagnostik
a. Endoskop (tabung serat optik yang digunakan untuk melihat struktur
dalam dan untuk memperoleh jaringan dari dalam tubuh)
b. Rontgen
c. Ultrasonografi (USG)

91
UNIT VI
GANGGUAN SISTEM URINARI

A. PENGERTIAN
Urinaria adalah suatu sistem dimana terjadinya proses penyaringan darah
sehingga darah bebas dari zat – zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh dan
menyerap zat – zat yang masih dipergunakan oleh tubuh. Sistem urinaria terdiri
atas ginjal, ureter, kandung kemih, dan uretra. `Sistem ini membantu
mempertahankan homeostasis dengan menghasilkan urin yang merupakan hasil
sisa metabolisme. Gagal ginjal akut (GGA) dapat didefinisikan sebagai sindrom
klinis akibat kerusakan metabolic atau patologik pada ginjal yang ditandai dengan
penurunan fungsi yang nyata dan cepat serta terjadinya azotemia. Gagal ginjal
kronik adalah sindrom klinis yang umum pada stadium lanjut dari semua penyakit
ginjal kronik yang ditandai oleh uremia

B. SUSUNAN SINTEM URINARIA


1. GINJAL
a. Letak dan tampilan:
Terletak di bagian belakang kavum abdominalis di belakang
peritorium pada kedua sisi vertebra lumbalis III, melekat langsung
pada dinding belakang abdomen. Berbentuk seperti biji kacang,
jumlahnya ada 2 buah kiri dan kanan, ginjal kiri lebih besar dari
ginjal kanan, dan pada umumnya ginjal laki – laki lebih panjang
dari ginjal wanita.
b. Struktur Ginjal
Ginjal terbungkus oleh kapsula renalis yang terdiri dari
jaringan fibrus berwarna ungu tua, lapisan luar terdapat lapisan
korteks, dan lapisan sebelah dalam bagian medulal berbentuk
kerucut yang disebut renal piramid, yang terdiri dari lubang-lubang
kecil disebut papila renalis. Garis-garis yang terlihat pada piramid
disebut tubulus

92
Nefron yang terdiri dari; Glomerulus, Tubulus proksimal, Gelung handle, Tubulus
distal dan Tubulus urinarius.
Bagian Ginjal:
1) Jaringan Ikat Pembungkus
a. Fasta Renal (Pembungkus terluar).
b. Lemak Perirenal (Jaringan adipose yang terbungkus Fasia Ginjal).
c. Kapsul Fibrosa (Membran halus transparan yang langsung membungkus
Ginjal).
2) Hilus adalah tingkat kecekungan tepi medial Ginjal.
3) Kaliks adalah Organ atau rongga berbentuk mangkok.
4) Papilla renalis adalah Ujung pyramid ginjal yang tumpul.
5) Sinus Ginjal adalah rongga berisi lemak yang membuka pada hilus.
6) Pelvis Ginjal adalah perluasan ujung proksimal ureter.
7) Parenkim Ginjal adalah jaringan ginjal yang menyelubungi struktur sinus
ginjal,
a. Medula terdiri dari piramida ginjal dan papila.
b. Korteks tersusun dari tubulus dan pembuluh darah Nefron.
8) Lobus Ginjal terdiri dari satu piramipa ginjal.
9) Ureter adalah fibromuskuler yang mengalirkan urin dari ginjal ke kandung
kemih.
c. Fungsi Ginjal terdiri dari :
1) Ginjal memegang peranan penting dalam pengeluaran zat-zat toksis.
2) Mempertahankan suasana keseimbangan cairan.
3) Mempertahankan keseimbangan garam-garam dan zat-zat lain dalam tubuh.
4) Mengeluarkan sisa-sisa metabolisme hasil akhir dari protein ureum, kreatin
dan amoniak.
5) Mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan tubuh.
6) Pengaturan konsentrasi ion-ion penting.
7) Menghasilkan hormone Eritopoetin yang beredar dalam tubuh.
8) Pengatur produksi Sel Darah Merah.
9) Pengatur tekanan darah
Persarafan ginjal : Ginjal mendapat persarafan dari fleksus renalis (vasomotor).

2. STRUKTUR NEFRON
1) Glomerulus adalah gulungan kapiler yang dikelilingi kapsul Epitel berdinding
ganda disebut “Kapsul Bowman”.
a. Lapisan Viseral
• Pedikel (kaki kecil).
• Filtration Slits (pori-pori dari celah).
• Barier Filtrasi Glomerular terdiri dari : Endotelium Kapiler, Membran Dasar,
• Filtration Slits.

93
b. Lapisan Parietal.
1) Tubulus Kontortus Proksimal (terdapat sel-sel epitel kuboit yang kaya akan
Mikrovilus).
2) Tubulus Kontroktus Distal (membentuk segmen terakhir Nefron).
3) Tubulus dan Duktus Pengumpul (Tubulus ini akan mengalir ke sejumlah
Tubulus)
4) Kontrortus Distal membentuk Duktus Pengumpul besar yang lurus.
5) Apparatus jukstaglomerular (berdekatan atau dekat dengan glomerulus ginjal).

SUPLAI DARAH
 Arteri Renalis adalah Percabangan Aorta Abdomen yang mensuplai masing-
masing ginjal dan masuk ke Hilus melalui cabang Anterior dan Posterior.
 Cabang Anterior dan Posterior Arteri Renalis membentuk Arteri-arteri
Interiobaris yang mengalir diantara Piramida Ginjal.
 Arteri Arkuarta adalah Berasal dari Arteri Interlobaris pada area pertemuan
antara Korteks dan Medula.
 Arteri Interlobaris adalah Merupakan percabangan arteri arkuarta di sudut
kanan dan melewati Korteks.
 Arteriol Aferen adalah Berasal dari Arteri Interlobaris yang membentuk
Glomerulus.
 Kapiler Peritubular adalah yang mengelilingi Tubulus Proksimal dan Distal
untuk memberi Nutrien pada Tubulus.
 Kapiler Peritubuler mengalir kedalam Vena Korteks yang kemudian
membentuk Vena Interlobaris.

3. URETER
Ureter adalah saluran fibromuskular yang mengalirkan urin dari
ginjal ke kandung kemih. Sebagian terletak dalam rongga abdomen dan sebagian
terletak dalam rongga pelvis. Terdiri dari 2 saluran pipa, masing-masing
bersambung dari ginjal ke kandung kemih (vesika urinaria).
Lapisan dinding ureter terdiri dari :
a. Dinding luar jaringan ikat (jaringan fibrosa)
b. Lapisan tengah lapisan otot polos
c. Lapisan sebelah dalam lapisan mukosa

4. VESIKA URINARIA (Kandung Kemih)


Kandung kemih terletak dibelakang simfisis pubis, didalam rongga
panggul. Bentuknya seperti kerucut yang dikelilingi oleh otot yang kuat,

94
berhubungan dengan ligamentum vesika umbilikalis medius. Dapat mengembang
dan mengempis seperti balon karet.
Bagian vesika urinaria terdiri dari :
a. Fundus, yaitu bagian yang menghadap ke arah belakang dan bawah.
b. Korpus, yaitu bagian antara verteks dan fundus.
c. Verteks, yaitu bagian yang berhubungan dengan ligamentum vesika umbilikalis.
*Keterangan :
Urakhus : Saluran pada janin yang menghubungkan kandung kemih dengan
alantois, yang menetap selama hidup dengan tali (ligamentum umbilikalis
medianum).
Ujung potongan peritoneum : Ujung potongan membrane serosa yang melapisi
dinding rongga abdomen dan pelvis (parietal) dan melapisi visera (visceral),
kedua lapisan tersebut menutupi ruang potensial, rongga peritoneum.
Kelenjar prostate : Kelenjar yang mengelilingi leher kandung kemih dan uretra
pada laki-laki ; prostate turun membentuk secret cairan seminalis.
Kelenjar bulbouretral : Berkaitan dengan bulbus urethrae (bulbus penis) ; bulbus :
sebuah massa bundar atau pembesaran (bulbus).
Uretra prostatik : Saluran membranosa yang mengalirkan urin dari kandung kemih
keluar tubuh.
Trigone : Daerah segitiga.
Ureter : Saluran fibromuskular yang mengalirkan urin dari ginjal ke kandung
kemih.
Dinding kandung kemih terdiri dari lapisan :
a. Lapisan sebelah luar (peritoneum)
b. Lapisan otot (tunika muskularis)
c. Tunika submukosa
d. Lapisan bagian dalam (lapisan mukosa)
Persarafan vesika urinaria : Diatur oleh torako lumbal dan cranial dari system
persarafan otonom.

5. URETRA
Uretra merupakan saluran membranosa sempit yang berpangkal pada kandung
kemih yang berfungsi menyalurkan air kemih dari kandung kemih keluar tubuh.
Uretra pada pria : Berjalan berkelok-kelok melalui tengah-tengah prostate
kemudian menembus lapisan fibrosa yang menembus tulang pubis ke bagian
penis. Digunakan sebagai tempat pengaliran urine dan system reproduksi.
Uretra pada pria terdiri dari :
a. Uretra prostatia
b. Uretra membranosa
c. Uretra kavernosa

95
Lapisan uretra pria terdiri dari :
a. Lapisan mukosa (lapisan paling dalam)
b. Lapisan submukosa
Uretra pada wanita : Terletak dibelakang simfisis pubis, berjalan miring sedikit
kearah atas. Hanya berfungsi sebagai tempat menyalurkan urine ke bagian luar
tubuh.
Lapisan uretra wanita terdiri dari :
1. Tunika muskularis (lapisan sebelah luar)
2. Lapisan spongeosa
3. Lapisan mukosa (lapisan sebelah dalam)

3) Pembentukan Dan Ekskresi Kemih


A. Urine (Air Kemih)
Sifat fisis air kemih terdiri dari :
a. Jumlah ekskresi dalam 24 jam ±1.500 cc tergantung dari pemasukan (intake)
dan factor lainnya.
b. Warna : Bening kuning muda, tergantung dari kepekatan, diet, obat-obatan dan
sebagainya, dan bila dibiarkan akan menjadi keruh.
c. Bau : Khas air kemih, bila dibiarkan lama akan berbau amoniak.
d. Berat jenis : 1,015-1,020.
e. Reaksi : Asam, bila lama-lama menjadi alkalis juga tergantung dari pada diet.
Komposisi air kemih terdiri dari:
a. Air, kira-kira 95-96%
b. Larutan (4%) :
 Larutan organic : Protein asam urea, ammonia, kreatin, dan uric acid.
 Larutan anorganik : Natrium (sodium), klorida, kalium (potasium), sulfat,
magnesium, dan fosfor, elektrolit, kalsium, NH3, bikarbonat.
c. Pigmen (bilirubin, urobilin)
d. Toksin
e. Hormon

Proses pembentukan urin (air kemih) :


Arteri renalis → darah (sel darah dan plasma darah) → urin → ginjal
Ada 3 tahap pembentukan urin :
1. Proses filtrasi
Terjadi di glomerulus. Permukaan afferent lebih besar dari permukaan efferent →
penyerapan darah.
2. Proses reabsorpsi
Terjadi secara pasif (obligator reabsorpsi) pada tubulus atas → penyerapan
kembali sebagian besar glukosa, sodium, klorida, fosfat, dan beberapa ion
bikarbonat.

96
Terjadi secara aktif (reabsorpsi fakultatif) pada tubulus bawah → penyerapan
kembali sodium dan ion bikarbonat.
Sisanya dialirkan pada papilla renalis.
3. Proses sekresi
Sisa penyerapan pada tubulus → piala ginjal → ke luar.

B. Miksi
Air kemih → distensi kandung kemih (±250 cc) → stress reseptors → reflek
kontraksi dinding kandung kemih, relaksasi spinter internus, dan relaksasi spinter
eksternus → pengosongan kandung kemih.
 Rangsangan yang menyebabkan kontraksi kandung kemih dan relaksasi spinter
internus dihantarkan melalui serabut-serabut saraf para simpatis.
C. Mikturisi
 Kencing
 Peristiwa pembuangan urin yang mengalir melalui ureter ke dalam kandung
kemih.
* Keinginan untuk buang air kecil disebabkan penambahan tekanan di dalam
kandung kemih.
 Merupakan gerak reflek yang dapat dikendalikan dan dapat ditahan oleh pusat-
pusat persarafan yang lebih tinggi dari manusia.

1. KONDISI PATOLOGIS PADA GAGAL GINJAL AKUT


Gagal ginjal akut (acute kidney injury) adalah penyakit ginjal yang
ditandai dengan peningkatan kreatinin atau penurunan keluaran urin secara akut
sesuai dengan definisi yang berlaku.
Definisi
Gagal ginjal akut didefinisikan oleh Kidney Disease: Improving Global
Outcomes (KDIGO) sebagai penyakit yang memenuhi setidaknya satu dari hal-hal
ini:
 Peningkatan kreatinin serum ≥ 0.3 mg/dL dalam kurun waktu 48 jam, atau
 Peningkatan kreatinin serum ≥ 1.5 kali dari nilai dasar yang diperkirakan
terjadi dalam kurun waktu 7 hari, atau
 Keluaran urin kurang dari 0.5 mL/kgBB/jam dalam kurun waktu 6 jam
Terdapat 2 klasifikasi besar untuk gagal ginjal akut, yaitu kriteria RIFLE dan
kriteria dari KDIGO:
Stadium Kreatinin Serum Keluaran urin

97
1.5 – 1.9 kali nilai dasar, atau peningkatan ≥ 0.3 < 0.5 mL/kgBB/jam
1
mg/dL selama 6 – 12 jam
< 0.5 mL/kgBB/jam
2 2.0 – 2.9 kali nilai dasar
selama ≥ 12 jam
3.0 kali nilai dasar, atauPeningkatan kreatinin
serum ≥ 4.0 mg/dL, atauPermulaan dimulai < 0.3 mL/kgBB/jam
3 terapi pengganti ginjal, atauPada pasien < 18 selama ≥ 24 jam, atau
tahun,penurunan LFG < 35 mL/menit per 1.73 anuria selama ≥ 12 jam
m2
LFG: Laju Filtrasi Glomerulus
Tabel 1. Klasifikasi gagal ginjal akut dari KDIGO Clinical Practice Guideline for
Acute Kidney Injury (2012).

Stadium Kreatinin Serum atau LFG Keluaran urin


Kreatinin 1.5 kali nilai dasar, atau > 25% < 0.5 mL/kgBB/jam selama
Risk
penurunan LFG 6 jam
Kreatinin 2.0 kali nilai dasar, atau > 50% < 0.5 mL/kgBB/jam selama
Injury
penurunan LFG 12 jam
Kreatinin 3.0 kali nilai dasar, atau > 75% < 0.3 mL/kgBB/jam selama
Failure penurunan LFG, atau kreatinin > 4.0 mg/dL 24 jam, atau anuria selama
dengan peningkatan akut 0.5 mg/Dl 12 jam
Loss Kehilangan fungsi ginjal selama > 4 minggu
ESKD End stage kidney disease (penyakit ginjal tahap akhir) selama > 3 bulan
LFG: laju filtrasi glomerulus; ESKD: end stage kidney disease
. Tabel 2. Kriteria RIFLE untuk gagal ginjal akut

Penyebab dan patofisiologi dari gagal ginjal akut dibagi menjadi 3 kelompok
besar, yaitu:
 Prerenal, akibat dari hipoperfusi ke ginjal yang menyebabkan penurunan
LFG (laju filtrasi glomerulus), seperti pada hipovolemia, gangguan fungsi
jantung, vasodilatasi sistemik dan peningkatan resistensi vaskular

98
 Renal, akibat gangguan yang terjadi dalam ginjal seperti tubulus,
glomerulus, interstisial dan pembuluh darah intrarenal
 Pasca renal, akibat dari adanya obstruksi pada traktus urinarius dimulai
dari tubulus ginjal hingga uretra dimana terjadi peningkatan tekanan
intratubular[3-5]

2. KONDISI PATOLOGIS GAGAL GINJAL KRONIS


Patofisiologi penyakit ginjal kronis berupa kerusakan ginjal yang
direpresentasikan oleh penurunan laju filtrasi glomerulus yang berujung pada
berbagai komplikasi. Ginjal normal memiliki 1 juta nefron (unit satuan ginjal)
yang berpengaruh terhadap laju filtrasi glomerulus. Ginjal memiliki kemampuan
untuk menjaga laju filtrasi glomerulus dengan meningkatkan kerja nefron yang
masih sehat ketika ada nefron yang rusak. Adaptasi ini menyebabkan hiperfiltrasi
dan kompensasi hipertrofi pada nefron yang sehat. Hipertensi dan hiperfiltrasi
pada glomerulus merupakan faktor yang berpengaruh besar dalam progresivitas
penyakit ginjal kronis.
Laju aliran darah ke ginjal berkisar 400 mg / 100 gram jaringan per menit.
Laju ini lebih banyak dibandingkan dengan aliran ke jaringan lain seperti jantung,
hati dan otak. Selain itu, filtrasi glomerulus bergantung pada tekanan intra dan
transglomerulus sehingga membuat kapiler glomerulus sensitif terhadap gangguan
hemodinamik. Peningkatan dasar plasma kreatinin dua kali lipat kurang lebih
merepresentasikan penurunan laju filtrasi glomerulus sebanyak 50%. Contoh:
plasma kreatinin dasar senilai 0.6 mg/dL yang meningkat menjadi 1.2 mg/dL,
(masih dalam batas normal), menggambarkan terdapat 50% kerusakan massa
nefron.
Peningkatan tekanan kapiler glomerulus dapat menjadi cikal bakal
glomerulosklerosis fokal dan/atau segmental yang kemudian dapat berakhir
menjadi glomerulosklerosis global. Membran filtrasi glomerulus memiliki muatan
yang negatif, sehingga membuat hal tersebut menjadi penghalang dari
makromolekul anionik. Dengan penghalang elektrostatik ini, protein pada plasma
dapat menembus filtrasi glomerulus.

99
Faktor yang mempengaruhi terjadinya proses kerusakan ginjal antara lain:
 Hipertensi sistemik
 Obat-obatan nefrotoksik seperti obat anti inflamasi non-steroid (OAINS)
dan media kontras untuk pencitraan
 Penurunan perfusi seperti akibat dari syok hipovolemik
 Proteinuria
 Hiperlipidemia
 Hiperfosfatemia dengan deposisi kalsium fosfat
 Kebiasaan merokok
 Diabetes tidak terkontrol

Perjalanan penyakit ginjal kronis akan berujung menjadi beberapa


komplikasi, di antaranya adalah
 Anemia, akibat penurunan eritropoietin yang diproduksi oleh ginjal.
Penurunan eritropoietin ini seiring dengan penurunan laju filtrasi
glomerulus
 Osteodistrofi ginjal, akibat peningkatan hormon paratiroid akibat retensi
fosfat dan hipokalsemia akibat dari defisiensi vitamin D
 Penyakit kardiovaskular
Semua pasien PGK disarankan dipertimbangkan berada dalam risiko
tinggi penyakit kardiovaskular
 Malnutrisi protein
Penurunan LFG sering disertai dengan anoreksia, mual dan muntah
sehingga menyebabkan pemasukkan makanan dan nutrisi berkurang
 Asidosis metabolik
 Hiperkalemia
o Disebabkan karena ketidakmampuan ginjal untuk mengekskresikan
kalium dari makanan yang masuk.
o Dapat mempengaruhi kerja jantung dan pada EKG tampak
gelombang T tinggi, pemanjangan sistem konduksi, sine wave

100
(pelebaran gelombang QRS, tidak tampak gelombang P dan
gelombang T bersatu dengan gelombang QRS) ataupun asistol
 Edema paru
Kelebihan cairan terjadi karena terganggunya regulasi cairan di ginjal pada
pasien PGK terutama bila memiliki gagal jantung kongestif
 Risiko perdarahan: peningkatan risiko perdarahan akibat gangguan
hematologi seperti gangguan fungsi platelet

ASUHAN KEPERAWATAN SISTEM PERKEMIHAN

1. PENGKAJIAN
@ Gejala subjektif:
Ø Pasien mengeluh sering miksi dan bertanya tentang penyakitnya
Ø Pada waktu miksi terasa sakit
Ø Kadang-kadang urine keluar bercampur darah
Ø Terasa nyeri pada daerah suprapubik dan perineal

@ Gejala objektif:
Ø Pasien sering miksi
Ø Terdapat hematuri
Ø Pasien meringis kesakitan sewaktu miksi (disuria)
Ø Hasil pemeriksaan IVP dan sistoskopi menunjukkan adanya kelainan
Tanda dan gejala gangguan/penyakit pada sistem perkemihan dapat dilihat
atau ditanyakan langsung pada pasien, yang meliputi:
a. Frekwensi buang berkemih (miksi)
1) Poliuri (sering miksi)
2) Oliguri (jumlah urine yang keluar kurang dari normal, minimal urine
keluar kurang lebih 400 cc)
3) Stranguri (miksi sering tetapi sedikit-sedikit, lambat dan sakit).
4) Urgensi (pasien berkeinginan untuk miksi, tetapi tidak terkontrol untuk
keluar).
5) Nokturi (pasien terbangun tengah malam untuk miksi).

101
6) Pasien mengalami keraguan/kesukaran saat memulai untuk miksi.
Intermiten (pasien mengalami tempo berhenti arcs urinenya selama miksi).
7) Urine keluar secara menetes atau tidak memancar).
8) lnkontinen urine (urine keluar dengan sendirinya tanpa disadari).

b. Kelainan miksi
1) Disuri (adanya rasa sakit sewaktu miksi)
2) Adanya rasa papas sewaktu miksi
3) Hematuri (adanya darah yang keluar bercampur dengan urine).
4) Piuri (adanya nanah dalam urine, keadaan ini diketahui melalui pemeriksaan
mikroskopis, disebabkan tidak semua urine menjadi keruh karena
mengandung nanah.
5) Lituri (urine keluar bersama bate kecil sewaktu miksi)
Selain hal-hal di atas, dalam pengkajian pasien harus termasuk :
1) Identitas pasien;
2) Riwayat kesehatan umum meliputi berbagai gangguan/penyakit yang lalu,
yang berhubungan atau yang dapat mempengaruhi penyakit perkemihan,
riwayat kesehatan keluarga, dan riwayat kesehatan pasien;
3) Riwayat kesehatan sekarang meliputi keluhan/gangguan yang berhubungan
dengan gangguan/penyakit yang dirasakan saat ini.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Ø Perubahan ketidaknyamanan yang berhubungan dengan peradangan dan infeksi
kandung kemih.
Ø Perubahan pola eliminasi urinarius yang berhubungan dengan proses
peradangan.
Ø Kurang pengetahuan tentang penyakit, perawatan dan pengobatannya.

3. PERENCANAAN DAN IMPLEMENTASI


a. INTERVENSI
1. Pasien dianjurkan untuk banyak minum (air adalah pilihan terbaik) untuk
meningkatkan aliran darah ginjal dan membilas bakteri dari traktus urinarius.
Cairan yang dapat mengiritasi kandung kemih (mis. kopi, teh, cola, alkohol)
dihindari. Dianjurkan sering berkemih (setiap 2-3 jam) untuk mengosongkan

102
kandung kemih secara seksama, karena ini bermanfaat dalam menurunkan jumlah
bakteri urine, mengurangi stasis urine, dap mencegah infeksi ulang.
2. Perempuan yang mengalami infeksi urinarius berulang harus mendapat
instruksi detil tentang hal-hal berikut:
 Kurangi konsentrasi patogen pada liang vagina dengan tindakan higienik
(Mandi guyur daripada mandi rendam, karena bakteri di bak mandi banyak
yang memasuki uretra)
 Bersihkan sekitar perineum dap meatus uretra setelah setiap defekasi (dengan
gerakan dari depan ke belakang)
 Minum cairan dengan jumlah bebas selama sehari untuk membilas bakteri,
mengeluarkan kopi, teh, cola, clan alkohol.
 Berkemih setiap 2 sampai 3 jam selama sehari dap pengosongan kandung
kemih komplet. Tindakan ini mencegah distensi kandung kemih dap
menurunkan suplai darah ke dinding kandung kemih, yang
mempredisposisikan pasien pada ISK.
 Bila hubungan seksual menimbulkan kejadian bakteriuria: Berkemih dengan
segera setelah hubungan seksual.Gunakan dosis tunggal agens antimikroba
oral setelah hubungan seksual.
 Bila bakteri terus tampak dalam urine, terapi antimikroba jangka panjang
mungkin diperlukan untuk mencegah kolonisasi area periuretral dap
kambuhan infeksi. Obat harus digunakan setelah pengosongan kandung kemih
sebelum pergi tidur untuk menjamin konsentrasi obat adekuat selama periode
malam hari.

3. Memenuhi kebutuhan nutrisi. Penting sekali melindungi ginjal sementara


ginjal tersebut memulihkan fungsinya. Diet ditentukan oleh dokter yang secara
umum tinggi kalori dan rendah protein. Diet ini menghindari katabolisme protein
dan memungkinkan ginjal beristirahat karena ginjal berperan lebih sedikit
menangani molekul dan metabolit protein. Derajat pembatasan protein bergantung
pada jumlah protein yang diekskresikan dalam urine dan kebutuhan pasien.
Natrium juga dibatasi bergantung pada jumla edema yang ada. Anoreksia. mual
dan muntah dapat mempengaruhi masukan adekuat, yang menuntut intervensi

103
kreatif pada pihak perawat. Ahli diet dapat membantu merencanakan diet klien
dalam keadaan pembatasan ini.
4. Memenuhi kebutuhan istirahat. Istirahat adalah penting-baik secara fisik
dan emosi. Terdapat hubungan antara aktivitas dan jumlah hematuria dam
proteinuria. Latihan juga meningkatkan aktivitas katabolik. Aktivitas yang
diizinkan bergantung pada basil pemeriksaan urinalisis. Tirah baring dilakukan
sesuai dengan periode aktivitas yang sangat dibatasi, dapat dilanjutkan selama
beberapa minggu sampai bulan. Aktivitas pengalih yang tepat dapat membantu
pasien menghadapi imobilitas fisik yang lama ini.
5. Memelihara integritas kulit. Edema mempengaruhi nutrisi selular, yang
membuat klien lebih rentan terhadap kerusakan kulit. Gunakan kewaspadaan
untuk mencegah komplikasi ini. Intervensi meliputi higiene yang baik, masase,
dan perubahan posisi, serta penggunaan tindakan profilaktik seperti alat di tempat
tidur.
6. Mencegah infeksi. Glomerulus sangat menurunkan pertahanan tubuh
pasien terhadap infeksi, khususnya organisme streptokokal. Karenanya,
imunosupresif dan kortikosteroid lebih lanjut menurunkan pertahanan pasien.
Meskipun isolasi tidak perlu, diperlukan perlindungan klien dari orang yang
mengalami infeksi. Tindakan pendukung umum membantu menguatkan
mekanisme pertahankan pasien. Penyuluhan pasien harus mencakup cara yang
tepat untuk menghindari infeksi, khususnya infeksi pernapasan dan saluran kemih.

b. IMPLEMENTASI
1. Mengalami perbedaan nyeri:
Ø Melaporkan tidak ada nyeri, dorongan, disuria, atau hesitansi pada saat
berkemih.
Ø Menggunakan analgesik dap agens antimikroba sesuai ketentuan.
Ø Minum 8 sampai 10 gela cairan setiap hari.
Ø Berkemih setiap 2 sampai 3 jam.
Ø Urine jernih dan berbau.
2. Meningkatkan pengetahuan tentang tindakan pencegahan dan pengobatan.
3. Bebas dari komplikasi:
Ø Melaporkan tidak ada infeksi atau gagal ginjal (mual, muntah, keletihan,
pruritus).
Ø Mempunyai kadar kreatinin serum dap BUN normal, kultur darah dan urine
negatif.

104
Ø Menunjukkan tanda vital dap suhu normal; tidak ada tanda sepsis.
Ø Mempertahankan haluaran urine adekuat (>30 ml/jam).

4. EVALUASI
a. Pasien mempertahankan masukan nutrisi adekuat, dibuktikan oleh tidak
adanya penurunan berat badan, tidak ada keseimbangan nitrogen negatif, dan
elektrolit normal.
b. Pasien mempertahankan masukan dan haluaran seimbang, dibuktikan oleh
tidak adanya manifestasi edema atau kelebihan beban cairan.
c. Pasien mengalami keseimbangan istirahat dan aktivitas yang adekuat,
dibuktikan oleh tidak adanya keluhan keletihan.
d. Pasien tidak mengalami kerusakan kulit, dibuktikan oleh kulit tetap utuh.
e. Pasien tidak mengalami infeksi, dibuktikan oleh suhu normal.

UNIT VII
GANGGUAN SISTEM SARAF

A. SYARAF DAN BAGIAN-BAGIANNYA


Syaraf (neuron) terdiri dari :
a. Sel syaraf dan processusnya (dendrit) yang berfungsi untuk metabolisme,
penghasil energi guna transmisi impuls, juga merendam adanya aliran impuls
yang menuju ke dendrit.
b. Serabut syaraf (axon), berfungsi untuk transmisi atau konduksi impuls.
c. Ujung syaraf (telodendron) tempat produksi transmiter (acetylcholin,
norepinephrin).
Sel syaraf terpadu membentuk substansi kelabu, yang terdapat di otak bagian
korteks dan medula spinalis bagian medialnya, yang disebut nukleus. Sedang jika
kumpulan sel syaraf tersebut terdapat di luar susunan syaraf pusat maka disebut

105
ganglion. Penghantar rangsang pada sebuah syaraf adalah : Dendrit àsel syaraf
àaxon. Penghantaran tersebut dinamakan penghantar syaraf maju.
Ada tiga jenis batang-batang saraf yang dibentuk oleh saraf serebro-
spinal :
1) Saraf motorik atau saraf eferen yang menghantarkan impuls dari otak dan
sumsum tulang belakang ke saraf periferi ( tepi ).
2) Saraf sensorik atau saraf aferen yang membawa impuls dari periferi menuju
otak .
3) Batang saraf campuran yang mengandung baik serabut motorik, maupun
serabut sensorik, sehingga dapat menghantar impuls dalam dua jurusan. Saraf-
saraf pada umumnya adalah dari jenis yang terakhir ini.
MEKANISME TERJADINYA RANGSANG SYARAF
Proses terjadinya konduksi impuls syaraf terdapat dua teori antara lain:
a. Teori Membran
Yang menyatakan bahwa mekanisme induksi impuls syaraf tergantung
pada permeabilitas deferensial perbedaan permeabilitas dari ion Natrium dan
Kalium pada membran neuron yang dikendalikan oleh medan listrik.
Dari kedua faktor tersebut maka akan menimbulkan nilai ambang tertentu eksitasi
tersebut dapat terjadi. Eksitasi disalurkan ke sepanjang serabut berupa aksi
potensial.
b. Teori Penyaluran Sirkuit Lokal
Yang menyatakan bahwa aksi potensional disalurkan oleh adanya arus
elektronik yang mengalir mendahuluinya. Efektifitas arus elektronik dalam
meneruskan impuls tergantung pada besarnya arus, tahana membran, neuron,
sitoplasma, dan medium yang mengelilinginya.

C. PEMBAGIAN SISTEM SYARAF PADA MANUSIA


Sistem syaraf dibagi atas beberapa bagian antara lain :
1. Sistem syaraf pusat terdiri dari :
· Otak
· Medulla spinalis (sumsum tulang belakang)
2. Sistem syaraf tepi (perifer), yang dibentuk oleh beberapa syaraf yang
berhubungan dengan syaraf pusat secara langsung maupun tidak langsung.
· Syaraf cranial
· Syaraf otonom :
- syaraf simpatis
- syaraf parasimpatetis
1) Sistem syaraf pusat

106
Meningia
Otak dan sumsum tulang belakang diselimuti meningia yang melindungi
struktur saraf yang halus itu, membawa pembuluh darah ke situ, dan dengan
sekresi sejenis cairan yaitu cairan serebrospinal memperkecil benturan atau
goncangan. Meningia terdiri dari tiga lapis.
1. Pia mater yang menyelipkan dirinya kedalam celah yang ada pada otak dan
sumsum tulang belakang, dan sebagai akibat dari kontak yang sangat erst tadi
dengan demikian menyediakan darah untuk struktur-struktur ini.
2. Arakhnoid merupakan selaput halus yang memisahkan pia meter dari dura
mater.
3. Dura mater yang padat dan keras terdiri dari dua lapisan. Lapisan luar yang
melapisi tengkorak, dan lapisan dalam yang bersatu dengan lapisan luar, kecuali
pada bagian tertentu, dimana sinus-venus terbentuk, dan dimana dura mater
membentuk bagian-bagian berukut : Falx serebri yang terletak di antara kedua
hemisfer otak.
Diafragma sellae adalah sebuah lipatan berupa cincin dalam dura mater dan yang
menutupi sela tursika yaitu sebuah lekukan pada tulang sphenoid, yang berisi
hipofisis.
Meningitis adalah peradangan pada meningia, yang mempunyai gejala
berupa bertambahnya jumlah dan berubahnya susunan cairan serebro-spinal ( CSF
). Infeksi yang terjadi mungkin disebabkan bakteri atau virus dan diagnosa dapat
dilakukan dengan memeriksa cairan serebro-spinal yang diambil melalui punksi
lumbal.
Sistem ventrikuler terdiri dari beberapa rongga dalam otak yang
berhubungan satu sama lain. Ke dalam rongga-rongga itulah plexus khoroid
menyalurkan cairan serebo-spinal. Plexus khoroid dibentuk oleh jaringan
pembuluh darah kapiler yang sangat halus dan ditutupi oleh bagian pia mater yang
membelok kedalam ventrikel dan menyalurkan cairan serebro-spinal
Fungsi cairan serebo-spinal. Cairan ini bekerja sebagai bufer, melindungi
otak dan sumsum tulang belakang. Menghantarkan makanan ke jaringan sistem
persarafan pusat.

107
Punksi lumbal. Oleh karena sumsum tulang belakang berakhir pada
ketinggian vertebrata lumbalis pertama atau kedua dan ruang subarakhnoid
memanjang terus hingga ketinggian vertebra sakralis kedua, maka contoh cairan
serebro-spinal dapat disedot keluar dengan men yuntikan jarum punksi lumbal ke
dalam ruang subarakhnoid diantara titik-titik ini, dan tindakan ini disebut Punksi
lumbal
1. OTAK
a. Cerebrum
Cerebrum mengisi bagian depan dan atas rongga tengkorak, yang masing-
masing disebut fosa kranialis anterior dan kranialis tengah.
Cerebrum atau otak besar, di bagian kortex cerebri terdapat banyak
kumpulan sel-sel syaraf sehingga membentuk substansi kelabu atau ganglia
basalis. Pada korteks tersebut tersusun lipatan-lipatan tak teratur sehingga
menambah luas permukaan cerebrum. Sedang pada bagian medulla terdapat axon-
axon yang diselaputi oleh myelin sehingga membentuk substansi alba (putih)
karena lemak myelin tersebut.
fungsi Cerebrum :
1. Mengontrol mental; tingkah laku, pikairan, kesadaran, moral, kemauan,
kecerdasan, kemampuan berbicara, bahasa dan beberapa perasaan khusus. Fungsi
tersebut dilakukan oleh korteks cerebri yang mengandung pusat-pusat tertinggi.
2. Mengendalikan otot-otot tulang, sebab kortex cerebri tempat semua impuls
motoris.
3. Menilai dan menafsirkan impuls yang masuk termasuk sensibilitas kulit,
sentuhan, sakit, tekanan, suhu, getaran, jaringan, bentuk dan ukuran, serta
sensibilitas otot dan sendi. Fungsi ini dipertanggungjawabkan oleh kortex cerebri
yang merupakan tempat menerima impuls sensoris.
b. Cerebellum
Serebelum adalah bagian terbesar dari otak belakang yang menempati fosa
kranialis posterior dan diatapi oleh tentorium-serebeli, yang merupakan lipatan
dura mater yang memisahkannya dari lobus oksipitalis serebri.
Fungsi serebelum adalah untuk mengatur sikap dan aktivitas sikap badan.
Serebelum berperan penting dalam koordinasi otot dan menjaga keseimbangan.
Bila serabut kortiko-spinal yang melintas dari kortex serebri ke sumsum tulang
belakang mengalami penyilangan, dan dmikian mengendalikan gerakan sisi yang

108
lain dari tubuh, maka hemisfer serebri mengendalikan tonus otot dan sikap pada
sisinya sendiri.
c. Batang otak
1. Otak tengah (diensefalon)
merupakan bagian atas batang otak. Aqueduktus serebri yang menghubungkan
ventrikel ketiga dan keempat melintasi melalui otak tengah ini. Otak tengah dibagi
2 tingkat :
1) Atap yang mengandung banyak pusat-pusat refleks yang penting untuk
penglihatan dan pendengaran.
2) Jalur motorik yang besar, yang turun dari kapsula interna melalui bagian
dasar otak tengah, menurun terus menerus melalui pons dan medula oblongata
menuju sumsum tulang belakang.
Fungsi otak tengah : Mengendalikan kesetimbangan dan gerakan-gerakan mata
2. Pons Varoli
Merupakan bagian tengah otak dan karena itu memiliki jalur lintas naik dan turun
seperti pada otak tengah. Fungsi pons varolli :
1. Sebagai jalur lintas motorik mapun sensorik
2. Terdapat serabut penghubung lobus cerebellum
3. Menghubungkan cerebellum dengan kortex cerebri

3. Medula Oblongata
Membentuk bagian bawah batang otak serta mengubungkan pons dengan sumsum
tulang belakang, terletak dalam fosa kranialis posterior adn bersatu dengan
sumsum tulang belakang tepat dibawah foramen magnum tulang oksipital.
Fungsi medulla oblongata :
1. Mengendalikan pernafasan
2. Mengendalikan sistem cardiovaskuler
2. Medula Spinalis
Medulla spinalis bermula dari medulla oblongata menuju ke arah otak
caudal melalui foramen magnum dan berakhir pada daerah pinggang.
Penampangnya dari atas ke bawah semakin kecil kecuali pada daerah leher dan
daerah pinggang menebal/melebar.
Fungsi medula spinalis:
a. Mengadakan komunikasi antara otak dengan semua bagian tubuh
b. Gerak reflek
Gerakan tersebut dapat terjadi bila ada:

109
1. Organ sensorik yang menerima impuls misalnya kulit.
2. Serabut syaraf sensorik yang akan meneruskan.
1. KONDISI PATOLOGIS PADA OTAK
Otak terletak didalam rongga kranium tengkorak. Perkembangan otak
manusia, semula otak berbentuk silinder (bumbung/tabung). Otak berkembang
dari sebuah tabung yang mulanya memperlihatkan tiga gejala pembesaran.
a. Otak depan
berkembang menjadi belahan otak besar (hemisphaerum cerebri), Corpus
striatum dan Talami (talami 3 hipotalami). Sedang otak tengah menjadi otak
antara (Diencephalon). Otak belakang berupa Pons varolli (jembatan varol),
Medulla oblongata (sumsum lanjutan) dan Cerebellum (otak kecil). Ketiga otak
belakang tersebut membentuk batang otak.
b. Otak tengah (diensefalon)
merupakan bagian atas batang otak. Aqueduktus serebri yang
menghubungkan ventrikel ketiga dan keempat melintasi melalui otak tengah ini.
Otak tengah dibagi 2 tingkat :
1) Atap yang mengandung banyak pusat-pusat refleks yang penting untuk
penglihatan dan pendengaran.
2) Jalur motorik yang besar, yang turun dari kapsula interna melalui bagian
dasar otak tengah, menurun terus menerus melalui pons dan medula oblongata
menuju sumsum tulang belakang.
c. Medula Oblongata
membentuk bagian bawah batang otak serta mengubungkan pons dengan
sumsum tulang belakang, terletak dalam fosa kranialis posterior adn bersatu
dengan sumsum tulang belakang tepat dibawah foramen magnum tulang oksipital.
Sifat utama Medula Oblongata adalah bahwa disitu jalur motorik desendens
(menurun) melintasi batang otak dari sisi yang satu menuju sisi yang lain yang
disebut duktus motorik. Perpotongan seperti diatas yang dilakukan jalur sensorik
pada medula juga terjadi dan disebut duktus sensorik. Medula Oblongata
mengandung nukleus atau badan sel dari berbagai saraf otak yang penting dan
mengandung ”pusat-pusat vital” yang mengendalikan pernapasan dan
kardiovaskuler.Fungsi medulla oblongata :

1. Mengendalikan pernafasan
2. Mengendalikan sistem cardiovaskuler

110
2. KONDISI PATOLOGIS PADA MEDULA SPINALIS
Medulla spinalis bermula dari medulla oblongata menuju ke arah otak
caudal melalui foramen magnum dan berakhir pada daerah pinggang.
Penampangnya dari atas ke bawah semakin kecil kecuali pada daerah leher dan
daerah pinggang menebal/melebar. Dari penebalan tersebut plexus-plexus syaraf
bergerak guna mensyarafi anggota badan atas dan bawah, dan untuk daerah dada
tidak membentuk plexus tetapi tersebar membentuk syaraf intercostalis.
Pada penampang melintang medulla spinalis tampak gambaran seperti
kupu-kupu. Sayapnya dibentuk oleh tanduk depan/cornu anterior dan tanduk
belakang/cornu posterior di kanan dan kiri. Medulla spinalis juga mempunyai 3
substansi yaitu kelabu dan putih. Serabut-serabut syaraf tersebut tersusun menjadi
beberapa jalur. Medulla spinalis keluar syaraf-syaraf spinal yang tersusun menurut
segmen tubuh.
§ 8 pasang syaraf spinal leher
§ 12 pasang syaraf spinal dada
§ 5 pasang syaraf pinggang
§ 5 pasang syaraf spinal kelangkang
§ Beberapa syaraf pinggang tungging
Setiap syaraf spinal yang keluar dari medulla spinalis terdiri dua akar yaitu:
§ Akar depan (radix anterior)
§ Akar belakang (radix posterior)
Kedua radix tersebut mempunyai kumpulan sel syaraf yang disebut simpul syaraf
spinal (ganglion spinale). Kedua radix tersebut saling bertaut satu sama lain
membentuk sebuah syaraf spinal yang kemdian meninggalkan canalis vertebralis
melalui foramen intervertebralis. Kemudian segera bercabang menjadi cabang ke
depan, ke belakang dan cabang penghubung.

Cabang belakang syaraf spinal tersebut (ramus posterior nervi spinali) mensyarafi
- Otot punggung sejati dan sebagian kecil kulit punggung.
Cabang depan syaraf spinal mensyarafi :
· Semua otot kerangka badan
· Anggota gerak
· Semua kulit kecuali sebagian kecil kulit punggung
· Lengan atas yang disebut plexus branchialis, dicabangkan lagi keketiak,
bahu, lengan, dan tangan
· Anggota gerak bawah juga membentuk plexus yaitu plexus lumbosacralis
mensyarafi paha, tungkai atas dan bawah

111
Di daerah plexus brachialis dan plexus lumbosacralis, cabang – cabang
depan dari nervi spinalis tidak membentuk anyaman (plexus) tetapi terpisah
sendiri – sendiri sebagai syaraf – syaraf antar iga (n intercostalis) ke dinding dada
dan dinding perut. Plexus utama syaraf spinal :
1. Plexus cervicalis : di bentuk empat syaraf cervical pertama. Letak plexus ini
dibawah otot sterno-mastoid. Dari plexus ini timbul banyak cabang yang
berfungsi untuk mensyarafi beberapa otot leher dan diafragma (n frenicus)
2. Plexus brachialis : dibentuk oleh 4 syaraf cervical lebih rendah dari
pembentuk plexus cervicalis, dan syaraf thoracal pertama. Letaknya dibelakang
sagita posterior leher, dibelakang clavicula dan axila. Mula – mula membentuk
tiga berkas (n.c. 5&6) membentuk tangkai atas, (n.c. 7) membentuk tangkai
tengah dan (n.c.8 dan n. th.1) membentuk tangkai bawah.
3. Plexus lumbalis dibentuk oleh akar syaraf lumbal pertama, di dalam otot
psoas, dan mensyarafi otot tersebut.
plexus ini bercabang menjadi :
· nervus femoralis melalui bawah ligament inguinale melanjutkan mensyarafi
femur / paha sebelah anterior
· nervus obturatorius melalui foramen obturatorium masuk ke paha
mensyarafi paha sbelah dalam
4. Plexus sacralis dibentuk syaraf lumbal keempat dan kelima. Syaraf - syaraf
sacralis bergabung membentuk nervus ischiadichus yang masuk ke dalam paha
melalui celah sacrum melayani paha sebelah posterior, sampai di fossa poplitea,
bercabang menjadi n popliteus medialis dan lateralis yang melayani otot tungkai
bawah.
5. Plexus Lumbo-Sekralis menyalurkan saraf-saraf yang utama untuk
anggota bawah.
Fungsi medula spinalis:
a. Mengadakan komunikasi antara otak dengan semua bagian tubuh
b. Gerak reflek
Gerakan tersebut dapat terjadi bila ada:
1. Organ sensorik yang menerima impuls misalnya kulit.
2. Serabut syaraf sensorik yang akan meneruskan.
Untuk gerak refleks maka dibutuhkan struktur sbb :
a. Organ sensorik yang menerima impuls, misalnya kulit.

112
b. Serabut saraf sensorik, yang menghantarkan impuls-impuls tersebut menuju
sel-sel dalam ganglion radix posterior dan selanjutnya serabut itu akan
meneruskan impuls menuju substansi kelabu pada kornu posterior medula
spinalis.
c. Sumsum tulang belakang, dimana serabut saraf penghantar menghantarkan
impuls menuju kornu anterior melalui medula spinalis.
d. Sel saraf motorik, dalam kornu anterior medula spinalis yang menerima dan
mengalihkan impuls tersebut melalui serabut saraf motorik.
e. Organ motorik, yang melaksanakan gerakan karena dirangsang oleh impuls
saraf motorik.
Gerak Refleks merupakan bagian dari mekanisme pertahanan pada tubuh dan
terjadi jauh lebih cepat sari gerak sadar , misalnya menutup mata pada saat
terkena debu, dll.
Saraf-saraf spinalis. 31 pasang saraf sumsum tulang belakang muncul dari
segmen-segmen medula spinalis melalui dua akar, akar anteior dan akar posterior.
Jalur saraf motorik. Impuls berjalan dari kortex serebri menuju sumsum tulang
belakang, melalui jalur-jalur menurun yang disebut traktus serebo spinalis/
traktus piramidalis.
Neuro motorik bawah, yang bermula sebagai badan sel dalam kornu
anterior sumsum tulang belakang, keluar lantas masuk akar anterior saraf spinalis,
lalu didistribusikan ke periferi, dan berakhir dalam organ motorik, misalnya otot.
Kerusakan pada neuron motorik. Dari segi klinis, perlu dibedakan
antara kerusakan pada neuron motorik atas, seperti jalur motorik pada daerah otak
dan gangguan pada neuron motorik bagian bawah
Hemiplegia adalah contoh kerusakan pada neuron motorik atas, dimana otot-otot
sebetulnya bukan lumpuh, tetapi lemah dan kehilangan kontrol.
· Poliomielitis adalah contoh kerusakan neuron motorik bawah , dimana otot
yang terserang menjadi lumpuh dan lemah, juga mengecil dan kehilangan refleks
normal. Bila penderita anak-anak maka anggota geraknya tidak dapat
berkembang.
· Bell’s palsy adalah contoh lain kasus kerusakan neuron motorik bawah.
Jalur Saraf sensorik. Impuls saraf sensorik bergerak melintasi traktus menaik
yang terdiri dari 3 neuron.

113
Perasaan ( Sensibilitas ). Saraf sensorik tepi akan menghantarkan
beberapa impuls ” aferen ” untuk ditafsirkan oleh daerah sensorik dalam kortex
serebri sebagai sentuhan rasa sakit, gatal, panas dan dingin yang berasal dari
struktur tepi.
Sinapsis saraf. Axon sebuah saraf adalah serabut penghantar, sementara
dendrit (ada lebih dari satu ) adalah serabut yang menerima impuls saraf dan
mengalihkannya menuju sel saraf.
Sistem syaraf tepi
Secara langsung maupun tidak langsung, sistem syaraf tersebut tergantung
pada sistem syaraf pusat. Terdiri dari :
a. Syaraf cranial
Terdapat 12 pasang serabut syaraf cranial, bersifat sensorik atau motorik, juga
campuran antara lain :
1. N olfaktorius (sensorik), syaraf pembau
2. N opticus (sensorik), syaraf penglihat
3. N oculomotoris (motoris), mensyarafi otot mata externa dan penghantar
syaraf parasimpatis untuk melayani o. siliaris dan o. Oris
4. N choclearis (motoris) ke arah sebuah otot mata, m obliquus externa
5. N trigeminus (sensoris) mensyarafi kulit wajah, o.kunyah
6. N abduscens (motoris) mensyarafi satu otot mata yaitu rectum lacriminalis
7. N fascialis (motoris) mensyarafi otot - otot mimik wajah dan kulit kepala.
8. N acusticus (sensoris) untuk pendengaran
9. N glossopharingeus (motorik dan sensorik) mensyarafi lidah dan tekak dan
kelenjar parotis
10. N vagus (sensoris dan motoris) mensyarafi semua organ tubuh
11. N accesoris (motoris) terbelah menjadi dua, yang pertama menyertai n vagus,
yang lainnya sebagai n motoris menuju ke otot sternocleiodosmatoideus dan
m. Trapezius
12. N hypoglosus (motoris) mensyarafi otot - otot lida

114
UNIT VIII
GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN

Sistem endokrin, dalam kaitannya dengan sistem saraf, mengontrol dan


memadukan fungsi tubuh. Kedua sistem ini bersama-sama bekerja untuk
mempertahankan homeostasis tubuh.
Sistem endokrin memiliki fungsi untuk mempertahankan hemoestatis,
membatu mensekresikan hormon-hormon yang bekerja dalam sistem persyarafan,
pengaturan pertumbuhan dan perkembangan dan kontrol perkembangan seksual
dan reproduksi. Pada sistem endokrin ini terdapat beberapa kelenjar diantaranya
hipofisis anterior posterior, kelenjar thyroid, empat kelenjar parathyroid, dua
kelenjar edrenal, pulau langerhans, dua ovarium, dua testis, kelenjar pineal,
kelenjar timus. Mekanisme kelenjar endokrin pertama akan mengeluarkan
hormone bila ada stimulus atau rangsangan. Hormone yang akan dikeluarkan
kemudian diangkut oleh darah menuju kelenjar-kelenjar yang sesuai sehingga
bagian tubuh yang sesuai tersebut akan merespon.
Dalam tubuh manusia terdapat kelenjar, enzim dan beberapa bagian penting
yang mempengaruhi kestabilan tubuh. Salah satu kelenjar yang memiliki
pengaruh dalam tubuh adalah kelenjar endokrin. Kelenjar ini merupakan kelenjar
yang tersusun atas susunan sel mikro yang sangat sederhana yan terdiri atas
jaringan ikat halus yang mengandung pembuluh kapiler.
Kelenjar endokrin adalah sebuah organ yang memproduksi zat aktif
(hormone), yang dilepaskan melaluai darah. Zat aktif ini akan mengatur kerja
sebuah organ atau bahkan beberapa organ sekaligus. Sifat kerja hormone adalah
bekerja sebagai control umpan balik, bekerja pada spesifik target, dan memiliki
mekanisme kerja tertentu.

115
Sistem endokrin adalah suatu sistem dalam tubuh manusia yang bertugas
untuk melakukan sekresi (memproduksi) hormon yang berfungsi untuk mengatur
seluruh kegiatan organ-organ dalam tubuh manusia sesuai dengan yang
dibutuhkan organ tersebut. Hasil sekresi berupa hormon ini langsung masuk ke
dalam pembuluh darah manusia tanpa harus melalui saluran (duktus).
Sistem endokrin terbagi menjadi beberapa kelenjar endokrin yang jika
dalam satu kesatuan disebut denngan sistem endokrin. Jadi, sistem endokrin
merupakan gabungan dari beberapa kelenjar endokrin. Kelenjar endokrin itu
sendiri ada yang mengahasilkan satu macam hormon tunggal, dan juga
menghasilkan beberapa hormone ganda.

KONDISI PATOLGIS ENDOKRIN YANG BERHUBUNGAN DENGAN


HIPOSEKRESI

Hiposekresi primer terjadi ketika sebuah kelenjar endokrin mengeluarkan


hormone terlalu sedikitkarena kelainan di kelenjar. Hiposekresi sekunder terjadi
ketika kelenjar endokrin normal tetapi mengeluarkan hormone terlalu sedikit
karena defisiensi hormone tropiknya. Berikut ini adalah contoh diantara berbagai
faktor berbedayang dapat menyebabkan hiposekresi primer;
1. Genetic (ketiadaan bawaan suatu enzim yang mengatalisis sintesis hormone
sepertiketidakmampuan mensintesis kortisol karena ketiadaan enzimspesifik di
korteks adrenal
2. Makanan (kekurangan iodium, yang diperlukan untuk sintesis hormone tiroid.
3. Kimia atau toksin (residu insektisida tertentu dapat merusak korteks adrenal
4. Imunologik (antibody autoimun dapat merusak jaringan tiroid tubuh sendiri)
5. Proses penyakit lain (kanker atau tuberculosis dapat secara kebetulan merusak
kelenjar endokrin.
6. Iatrogenic (disebabkan olehdokter"misalnya pengangkatan kanker kelenjar
tiroid secara bedah)
7. Idiopatik( berarti kausa tidak diketahui)

116
KONDISI PATOLGIS ENDOKRIN YANG BERHUBUNGAN DENGAN
HIPERSEKRESI

Seperti hiposekresi, hipersekresi oleh kelenjar endokrin tertentu dibagi menjadi


primer dan sekunder masing-masing bergantung pada apakah defek terletak di
kelnjar tersebut atau kah ada rangsangan berlebihan dari luar.
Hipersekresi dapat disebabkan oleh
1. Tumor yang mengabaikanmasukansinyal regulatorik normal dan terus
mengeluarkan hormone secara berlebihan
2. Faktor imunologik misalnya rangsangan berlebihan kelenjar tiroid oleh
antibody abnormal yangmemiliki kerja mirip TSH, hormone tropic tiroid.
Peningkatan berlebihan kadar suatu hormone juga dapat disebabkan oleh
penyalahgunaan suatu bahan, misalnya pemakaian illegal hormonesteroid tertentu
oleh sebagian atlet untuk meningkatkan massa otot dengan mendorong sintesis
proteindi sel otot.

ASUHAN PADA PASIEN GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN

PENGKAJIAN
1. Riwayat penyakit ; manisfestasi klinis tumor hipofise berpariasi tergantung
pada hormon mana yang disekresi berlebihan. Tanyakan manisfestasi
klinis dari peningkatanprolaktin, GH dan ACTH mulai dirasakan.
2. Kaji usia, jenis kelamin dan riwayat penyakit yang sama dalam keluarga.
3. Keluhan utama, mencakup :

117
Perubahan tingkat energi, kelelahan dan latargi.
 Nyeri pada punggung dan perasaan tidak nyaman.
 Dispaneuria dan pada peria disertai dengan imptensia.
 Nyeri kepala, kaji P,Q,R,S,T.
 Gangguan penglihatan seperti menurunnya ketajaman penglihatan,
penglihatanganda.
 Kesulitan dalam hubungan seksual
 Perubahan siklus menstruasi (pada klien wanita) mencakup
keteraturan,kesulitan hamil.
 Libido seksual menurun.
 Impotensia.
4. Pemeriksaan fisik mencakup :
 Pemeriksaan ketajaman penglihatan akibat kompresi saraf optikus,
akandijumpai penurunan fisik.
 Periksa adakah pembesaran yang abnormal pada payudara
 Inspeksi adakah tanda-tanda infeksi terutama di daerah ginetali
 Perkusi dada dengar adakah suara abnormal dari pembesaran
jantung.
5. Pemeriksaan diagnostik
 Kadar prolaktin serum; ACTH, GH
 Foto tengkorak
 CT SCan Otak
 Tes supresi dengan Dexamethason

DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Perubahan citra tubuh yang b/d perubahan penampilan fisik.
2. Disfungsi seksual yang b/d penurunan libido; infertilasi.
3. Nyeri ( kepala ) b/d penekanan jaringan oleh tumor.
4. Takut b/d ancaman kematian akibat tumor otak.
5. Ansietas b/d ancaman terhadap perubahan setatus kesehatan
6. Koping individu tidak efektiv b/d hilangnya kontrol terhadap tubuh.
7. Intoleransi aktivitas b/d kelemahan, latargi.
8. Perubahan sensoris-perseptual (penglihatan) b/d gangguan transmisi
impuls akibattumor.
9. Resiko gangguan integritas kulit ( kekeringan) b/d menurunnya kadar
hormonal.
10. Resti Infeksi b/d tidak ada atau sedikitnya cairan vagina

118
RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
DX 1 : Perubahan citra tubuh yang b/d perubahan penampilan fisik.
Tujuan : Agar Klien memiliki kembali citra tubuh yang positiv.
Intervensi keperawatana.
a. Non pembedahan
 Menyakinkan klien bahwa sebagian gejala dapat berkurang
denganpengobatan ( ginekomastia, galaktorea).
 Mendorong klien untuk mengungkapkan perasaannya.b.
b. Pemberian obat-obatan
 Mengkolaborasi dengan petugas lainya seperti pemberian :
Bromokriptin (parlodel).

DX 2 : Disfungsi seksual yang b/d penurunan libido; infertilasi.


Tujuan : agar klien dapat melakukan hubungan lagi dan mencapai tingkat
kepuasan pribadi dari fungsi seksual.
Intervensi keperawatan
 Mengidentifikasi masalah spesifik mengenai pengalaman klien
terhadapfungsi seksualnya.
 Mendorong agar klien ingin mendiskusikan masalah tersebut
denganpasangannya.
 Mengolaborasi pemberian obat-obatan bromokriptin.
 Bila masalah ini timbul setelah hipofisektomi, mengkolaborasi
pemberian gonadotropin.

DX 3 : Nyeri ( kepala ) b/d penekanan jaringan oleh tumor.


Tujuan : Agar nyeri di kepala pasien berkurang dan skala nyerinya dapat di
ukur.
Intervensi Keperawatan :
 Mengkaji skala nyeri
 Mencatat karakteristik nyeri, lokasi, intensitas, lama, dan
penyebarannya
DX 4 : Takut b/d ancaman kematian akibat tumor otak
Tujuan : Agar pasien tidak merasa ketakutan lagi tentang penyakitnya.

119
Intervensi keperawatan :
 Memberikan informasi kepada klien tentang penyakitnya.
 Memberikan motivasi agar klien tetap tegar dalam menghadapi
cobaanpenyakit yang di deritanya.

DX 5 : Ansietas b/d ancaman terhadap perubahan setatus kesehatan.


Tujuan : dalam waktu 1x24 jam kecemasan klien berkurang.
Intervensi keperawatan :
 Membantu klien mengekspresikan perasaan marah,kehilangan, dan
takut.
 Mengkaji tanda verbal dan nonverbal kecemasan, damping klien, dan
lakukan tindakan bila menunjukkan perilaku merusak.
 Mulai melakukan tindakan untuk mengurangi kecemasan.Memberi
lingkungan yang tenang dan suasana penuhistirahat.

DX 6 : Koping individu tidak efektiv b/d hilangnya kontrol terhadap tubuh.


Tujuan : Agar klien dapat menyerap informasi yang diberikan tentang
penyakitnya.
Intervensi keperawatan :
 Membantu klien agar klien bisa tenang dalam menyerap informasi
yangdi berikan.

DX 7 : Intoleransi aktivitas b/d kelemahan, latargi.


Tujuan : dalam waktu 3x24 jam aktivitas klien mengalami peningkatan.
Intervensi keperawatan :
 Meningkatkan istirahat klien, batasi aktivitas, dan berikanaktivitas
senggang yang tidak berat.
 Menjelaskan pola peningkatan bertahap dari tingkataktivitas. Contoh :
bangun dari kursi, bila tak ada nyeri,ambulasi, dan istirahat selama 1
jam setelah makan

120
DX 8 : Perubahan sensoris-perseptual (penglihatan) b/d gangguan transmisi
impulsakibat tumor.
Tujuan : Agar dalam 24 jam ketajaman penglihatan klien dapat di
minimalisir.
Intervensi Keperawatan :
 Mengkaji visus klien.
 Menginspeksi adakah kelainan di mata pasien.
 Mengkolaborasikan obat-obatan dengan petugas kesehatan lain.

DX 9 : Resiko gangguan integritas kulit ( kekeringan) b/d menurunnya kadar


hormonal.
Tujuan : meberikan rasa nyaman pada tubuh pasien
Intervensi keperawatan :
Kaji skala keelastisan kulit, kelembapan kulit

DX 10 : Resti Infeksi b/d pasca pembedahan


Tujuan : tidak terjadinya infeksi pada klien
Intervensi keperawatan :
 Memberikan edukasi kepada keluarga pasien cara pembersihan
danperawatan pasca beda
 Membersihkan tempat tidur klien
 Membersihkan tempak insisi
 Tanyakan pada klien ada keluhan atau tidak

121
UNIT IX
GANGGUAN SISTEM MUSKULUSKELTAL

Sistem muskuloskeletal merupakan penunjang bentuk tubuh dan mengurus


pergerakan. Komponen utama dari sistem muskuloskeletal adalah tulang dan
jaringan ikat yang menyusun kurang lebih 25 % berat badan dan otot menyusun
kurang lebih 50%. Sistem ini terdiri dari tulang, sendi, otot rangka, tendon,
ligament, dan jaringan-jaringan khusus yang menghubungkan struktur-struktur ini.
KOMPONEN SISTEM MUSCULOSKELETAL
A. Tulang
Tulang adalah jaringan yang paling keras diantara jaringan ikat lainnya yang
terdiri atas hampir 50 % air dan bagian padat, selebihnya terdiri dari bahan
mineral terutama calsium kurang lebih 67 % dan bahan seluler 33%.
Berdasarkan bentuknya tulang dapat diklasifikasikan sebagai
berikut :
1. Tulang Panjang / Tulang Pipa
Tulang ini sering terdapat dalam anggota gerak. Fungsinya sebagai alat ungkit dari
tubuh dan memungkinkan untuk bergerak.
2. Tulang Pendek
Tulang ini sering didapat pada tulang-tulang karpalia di tangan dan tarsalia di
kaki. Fungsinya pendukung seperti tampak pada pergelangan tangan.

122
3. Tulang Pipih
Tulang ini sering terdapat di tengkorak, panggul / koxa, sternum, dan iga-iga, serta
scapula (tulang belikat). Fungsinya sebagai pelindung organ vital dan
menyediakan permukaan luas untuk kaitan otot-otot, merupakan tempat penting
untuk hematopoesis.
4. Tulang Tak Beraturan
Berbentuk unik sesuai dengan fungsinya. Struktur tulang tidak teratur, terdiri
dari tulang kanselous di antara tulang kortikal. Contoh : tulang vertebra, dan
tulang wajah.

5. Tulang Sesamoid
Merupakan tulang kecil disekitar tulang yang berdekatan dengan persendian dan
didukung oleh tendon dan jaringan fasial. Contoh : tulang patella (Kap lutut).
Bentuk dan kontruksi tulang ditentukan fungsi dan gaya yang bekerja padanya.
1. Kerangka aksial
Kerangka aksial terdiri dari 80 tulang, terkelompok pada 3 daerah yaitu
a. Kranium dan Tulang Muka ( TENGKORAK )
Kranium terdiri atas 8 tulang yaitu tulang-tulang parietal (2), temporal (2),frontal,
oksipital, stenoid, dan etmoid.
Tulang muka terdiri atas 14 tulang yaitu tulang maksila (2), zigomatikus (2), nasal
(2), lakrimal (2), palatinum (2),concha inferior (2),mandibula dan vomer.
b. Kolumna Vertebralis
Kolumna vertebralis terdiri atas 26 tulang berbentuk tidak teratur, terbentang
antara tengkorak dan pelvis. Juga merupakan tempat melekatnya iga dan otot
punggung. Kolumna vertebralis dibagi dalam 7 vertebra sevikalis, 12 vertebra
torakalis, 5 vertebra lumbalis, 5 vertebra sacrum dan 4 vertebra koksigius.
c. Thoraks tulang
Thorak tulang terdiri tulang dan tulang rawan. Thoraks berupa sebuah rongga
berbentuk kerucut terdiri dari 12 vertebra torakalis dan 12 pasang iga yang
melingkar dari tulang belakang sampai ke sternum.
2. Kerangka Apendikular

123
Kerangka apindikuler terdiri atas :
a. Bagian bahu (Singulum membri superioris)
Singulum membri superior terdiri atas klavikula dan scapula.
Klavikula mempunyai ujung medial yang menempel pada menubrium dekat
suprasternal notch dan ujung lateral yang menempel pada akronion.
b. Bagian panggul (Singulum membri inferior )
Terdiri dari ileum, iskium, pubis yang bersatu disebut tulang koksae. Tulang
koksae bersama sacrum dan koksigeus membentuk pelvis tulang. Ekstremitas
bawah terdiri dari femur, patella, tibia, fibula, tarsus, metatarsus.

B. Cartilago (tulang rawan)


Tulang rawan terdiri dari serat-serat yang dilekatkan pada gelatin kuat,
tetapi fleksible dan tidak bervasculer. Nutrisi melaui proses difusi gel perekat
sampai ke kartilago yang berada pada perichondium (serabut yang membentuk
kartilago melalui cairan sinovial), jumlah serabut collagen yang ada di cartilage
menentukan bentuk fibrous, hyaline, elastisitas, fibrous (fibrocartilago) memili
paling banyak serabut dan memiliki kekuatan meregang.

C. Ligamen (simplay)
Ligamen adalah suatu susunan serabut yang terdiri dari jaringan ikat keadaannya
kenyal dan fleksibel. Ligament mempertemukan kedua ujung tulang dan
mempertahankan stabilitas. Contoh ligamen medial, lateral, collateral dari lutut
yang mempertahankan diolateral dari sendi lutut serta ligament cruciate anterior
dan posterior di dalam kapsul lutut yang mempertahankan posisi anteriorposterior
yang stabil. Contoh ligament ovarium yang melalui ujung tuba ke peritoneum.

D. Tendon
Tendon adalah ikatan jaringan fibrous yang padat yang merupakan ujung dari otot
yang menempel pada tulang. Tendon merupakan ujung dari otot dan menempel
kepada tulang. Tendon merupakan ekstensi dari serabut fibrous yang
bersambungan dengan aperiosteum. Selaput tendon berbentuk selubung dari
jaringan ikat yang menyelubungi tendon tertentu terutama pada pergelangan

124
tangan dan tumit. Selubung ini bersambungn dengan membrane sinovial yang
menjamin pelumasan sehinggga mudah bergerak.
E. Fascia
Fascia adalah suatu permukan jaringan penyambung longgar yang didapatkan
langsung di bawah kulit, sebagai fascia superficial atau sebagai pembungkus
tebal, jaringan penyambung fibrous yang membungkus otot, saraf dan pembuluh
darah. Yang demikian disebut fascia dalam.
F. Bursae
Bursae adalah kantong kecil dari jaringna ikat di suatu tempat dimana digunakan
di atas bagian yang bergerak. Misalnya antara tulang dan kulit, tulang dan tendon,
otot-otot. Bursae dibatasi membrane sinovial dan mengandung caiaran sinovial.
Bursae merupakan bantalan diantara bagian-bagian yang bergerak seperti
olekranon bursae terletak antara prosesus olekranon dan kulit.
G. Persendian
Sendi adalah tempat pertemuan dua atau lebih tulang. Tulang-tulang ini dipadukan
dengan berbagai cara misalnya dengan kapsul sendi, pita fibrosa, ligamen,
tendon, fasia atau otot. Dalam membentuk rangka tubuh, tulang yang satu
berhubungan dengan tulang yang lain melalui jaringan penyambung yang disebut
persendian. Pada persendian terdapat cairan pelumas (cairan sinofial). Otot yang
melekat pada tulang oleh jaringan ikat disebut tendon. Sedangkan, jaringan yang
menghubungkan tulang dengan tulang disebut ligamen.
Secara structural sendi dibagi menjadi: sendi fibrosa, kartilaginosa, sinovial. Dan
berdasarkan fungsionalnya sendi dibagi menjadi: sendi sinartrosis, amfiartrosis,
diarthroses.
3. Sendi Sinovial/ diarthroses
Sendi tubuh yang dapat digerakkan. Sendi ini memiliki rongga sendi dan
permukaan sendi dilapisi tulang rawan hialin.

Sendi diartrosis terdiri dari:


1. Sendi peluru

125
Sendi peluru adalah persendian yang memungkinkan gerakan yang lebih bebas.
Sendi ini terjadi apabila ujung tulang yang satu berbentuk bonggol, seperti peluru
masuk ke ujung tulang lain yang berbentuk cekungan.
2. Sendi engsel
Memungkinkan gerakan melipat hanya satu arah, Persendian yang menyebabkan
gerakan satu arah karena berporos satu disebut sendi engsel. Contoh sendi engsel
ialah hubungan tulang pada siku, lutut, dan jari-jari.
3. Sendi pelana
Sendi pelana adalah persendian yang membentuk sendi, seperti pelana, dan
berporos dua. Contohnya, terdapat pada ibu jari dan pergelangan tangan
Memungkinkan gerakan 2 bidang yang saling tegak lurus. misal persendian dasar
ibu jari yang merupakan sendi pelana 2 sumbu.
4. Sendi pivot
Memungkinkan rotasi untuk melakukan aktivitas untuk memutar pegangan pintu,
misal persendian antara radius dan ulna.
5. Sendi peluncur
Memungkinkan gerakan terbatas kesemua arah. Contoh adalah sendi-sendi tulang
karpalia di pergelangan tangan

KONDISI PATOLOGIS YANG BERHUBUNGAN DENGAN INFLAMASI


Peradangan atau inflamasi adalah suatu respon protektif yang ditujukan
untuk menghilangkan penyebab awal jejas sel serta membuang sel dan jaringan
nekrotik yang diakibatkan oleh kerusakan asal (Mitchel & Cotran, 2003).
Inflamasi melaksanakan tugas pertahanannya dengan mengencerkan,
menghancurkan atau menetralkan agen berbahaya (misalnya mikroba atau toksin).
Inflamasi kemudian menggerakkan berbagai kejadian yang akhirnya
menyembuhkan dan menyusun kembali tempat terjadinya jejas. Dengan demikian,
inflamasi juga terkait serta dengan proses perbaikan, yang mengganti jaringan
yang rusak dengan regenerasi sel parenkim, dan atau dengan pengisian setiap
defek yang tersisa dengan jaringan parut fibrosa (Kumala et al., 1998; Mitchel &

126
Cotran, 2003). Inflamasi adalah respon fisiologis tubuh terhadap suatu injuri dan
gangguan oleh faktor eksternal.
Inflamasi terbagi menjadi dua pola dasar.
1. Inflamasi akut adalah radang yang berlangsung relatif singkat, dari
beberapa menit sampai beberapa hari, dan ditandai dengan perubahan
vaskular, eksudasi cairan dan protein plasma serta akumulasi neutrofil
yang menonjol. Inflamasi akut dapat berkembang menjadi suatu
inflamasi kronis.
2. Inflamasi kronis jika agen penyebab injuri masih tetap ada. Inflamasi
kronis adalah respon proliferatif dimana terjadi proliferasi fibroblas,
endothelium vaskuler, dan infiltrasi sel mononuklear (limfosit, sel
plasma dan makrofag) Penyebab Inflamasi Inflamasi dapat disebabkan
oleh mekanik (tusukan), Kimiawi (histamin, menyebabkan alergi, asam
lambung berlebih bisa menyebabkan iritasi), Termal (suhu), dan
Mikroba (infeksi penyakit).
Tanda-tanda Inflamasi
Pada bentuk akutnya ditandai oleh tanda klasik: nyeri (dolor), panas (kolor),
kemerahan (rubor), bengkak (tumor), dan hilangnya fungsi (fungsiolesa). Secara
histologis, menyangkut rangkaian kejadian yang rumit, mencakup dilatasi arteriol,
kapiler, dan venula, disertai peningkatan permeabilitas dan aliran darah; eksudasi
cairan, termasuk protein plasma; dan migrasi leukositik ke dalam focus
peradangan. (Kumala et al., 1998; Spector, 1993).
Tanda-tanda cardinal inflamsi :
1. Rubor
2. Kalor
3. Dolor (nyeri)
4. Tumor
5. Functio Laesa

KONDISI PATOLOGIS YANG BERHUBUNGHAN DENGAN


DEGENERASI

127
Degenerasi adalah perubahan-perubahan morfologik akibat trauma yang
nonfatal atau Degenerasi sel (kemunduran sel) adalah kelainan sel yang terjadi
akibat cedera ringan. Cedera ringan yang mengenai struktur dalam sel seperti
mitokondria dansitoplasma akan mengganggu proses metabolisme sel Kerusakan
reversibel artinya bisa diperbaiki apabila penyebabnya segera dihilangkan.Apabila
tidak dihilangkan, atau bertambah berat, maka kerusakan menjadi reversibel, dan
sel akan mati
a. MACAM MACAM DEGENERASI
1) Degenerasi Albumin (cloudi swelling = bengkak keruh)
Merupakan Degenerasi yang paling ringan bersifat riversibel.Perubahan
kemunduran akibat jejas yang tidak keras.Ditandai adanya timbunan albumin
dalam sitoplasma serta tampak keruh dan membengkak.Sering ditemukan pada sel
tubulus ginjal, sel hati dan sel otot jantung.Penyebab infeksi, demam, keracunan,
suhu yang terlalu rendah/tinggi, anoxia, gizi buruk, &dan gangguan sirkulasi
2) Degenerasi Hidrofik (Degenerasi Vakuolar)
Degenerasi hidrofik merupakan jejas sel yang reversible denganpenimbunan
intraselular yang lebih parah jika dengan degenerasialbumin. Etiologinya sama
dengan pembengkakan sel hanya intensitas rangsangan
patologik lebih berat dan jangka waktu terpapar rangsangan patologik lebih
lama.Secara miokroskopik organ yang mengalami degenerasi hidrofik menjadi
lebihbesar dan lebih berat daripada normaldan juga nampak lebih pucat.
Nampak juga vakuola-vakuola kecil sampai besar dalam sitoplasma.
3) Degenerasi Lemak
Sering terjad pada parenkim, otot jantung, hati (paling sering), yang mempunyai
metabolik rata-rata tinggi. karna ketidakmampuan jaringan non-lemak
memetabolik sejumlah lemak sehingga tertimbun dalam sitoplasma yang
mengakibatkan sitoplasma membesar ketepi.
Jika degenerasi lemak ini terjadi dihati maka hati akan tertimbun lemak dapat
berkembang menjdi cirrosis hepatis dan hati mengecil (carsinoma
hep/hepatoma)
4) Degenerasi Mukoid (musin & lendir)
Degenerasi Mukoid adalah Suatu perubahan yang seringterjadi pada tumor epitel
yg mensekresi musin.Epitel yangdegenerasi melarut dalam musin.Kadang-kadang

128
jaringan ikat nampak mensekresi musin yang mengisi ruang antaranya yang
disebut myxomatous.
Contoh : FAM (Fibroma Adeno Mamae)
5) Infiltrasi (degenerasi) glikogen
Glikogen normal terdapat dalam semua sel dan terutama sel otot dan hati. Pada
keadaan-keadaan tertentu glikogen mengumpul dalam jumlah banyak dibawah
mikroskop terlihat sebagai vakuol-vakuol dalam sitoplasma maupun inti sel. Sel
tidak menunjukkan gangguan fungsi, dianggap bahwa kelainan ini disebabkan
oleh ketidak seimbangan metabolik antara glikogenisis dan glikogenosis. Infiltrasi
glikogen ditemukan terutama pada disbetes mellitus dan golongan penyakit yang
disebut “glicogen stroge diseases” ( penyakit von cierke).
6) Degenerasi Hialin
Degenerasi Hialin adalah timbunan hialin (jaringan ikat), sering pada otot uterus
yang mengalami tumor jinak (mioma).Merupakan degenerasi paling buruk yang
bersifat irrevesibel.Tidak menunjukkan timbunah bahan tertentu, yang
memberikan gambaran masa yg mengkilap, homogen (bermacam-macam/tidak
jelas)
Degenerasi hialin ini banyak ditemukan dalam bentuk massa kolagen yang padat
pada tumor jinak otot, contoh : Mioma Uteri
7) Degenerasi Amnoid
Degenerasi Amnoid adalah Timbunan berupa bahan-bahan lilin terdiri dari protein
abnormal di jaringan ekstra sel, terutama : sekitar jaringan penyokong pembuluh
darah, sekitar membran basalis. bersifat amiloid tidak gampang rusak, tidak
gampang bergerak timbunan tersebut mengeras. Degenerasi amnoid ini dibagi
menjadi dua tipe:
 primer (tdk diketahia sebabnya)
 sekunder (mengikuti penyakit kronik spt TBC, sifilis, rheumatik.

129
ASUHAN KEPREWATAN PADA PASIEN GANGGUAN
MUSKULUSKELTAL
A. Pengkajian
1) Fraktur
a. Riwayat Keperawatan dan Pengkajian Fisik:
Gejala-gejala fraktur tergantung pada lokasi, berat dan jumlah kerusakan pada
struktur lain. Berdasarkan klasifikasi Doenges dkk. (2000) riwayat keperawatan
yang perlu dikaji adalah:
1. Aktivitas/istirahat
Gejala:Keterbatasan/kehilangan fungsi pada bagian yang terkena (mungkin segera
akibat langsung dari fraktur atau akibat sekunder pembengkakan jaringan dan
nyeri.
2. Sirkulasi:
Tanda:
1)Peningkatan tekanan darah mungkin terjadi akibat respon terhadap
nyeri/ansietas, sebaliknya dapat terjadi penurunan tekanan darah bila terjadi
perdarahan
2) Takikardia
3) Penurunan/tak ada denyut nadi pada bagian distal area cedera, pengisian kapiler
lambat, pucat pada area fraktur.
4) Hematoma area fraktur.
3. Neurosensori:
Gejala: Hilang gerakan/sensasi, Kesemutan (parestesia)
Tanda:
1) Deformitas lokal, angulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi,spasme
otot, kelemahan/kehilangan fungsi.
2) Keterbatasan/kehilangan fungsi pada bagian yang terkena (mungkin segera
akibat langsung dari fraktur atau akibat sekunder pembengkakan jaringan dan
nyeri.

130
3) Agitasi (mungkin berhubungan dengan nyeri/ansietas atau trauma lain.

4. Nyeri/Kenyamanan:Gejala:
Nyeri hebat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area fraktur,
berkurang pada imobilisasi.
Spasme/kram otot setelah imobilisasi.
5. Keamanan:
Tanda:
1) Laserasi kulit, perdarahan
2) Pembengkakan lokal (dapat meningkat bertahap atau tiba-tiba)
6. Penyuluhan/Pembelajaran:
1) Imobilisasi
2) Bantuan aktivitas perawatan diri
3) Prosedur terapi medis dan keperawatan
2) Dislokasi
a. Data subjektif
1) Riwayat kondisi saat ini
a) Laporan tentang penyebab terjadinya dislokasi
b) Gejala sejak dislokasi: nyeri, ganguan neurovaskuler
c) Pengobatan awal
(1) Teknik immobilisasi
(2) Percobaan untuk mereduksi
(3) Penggunaan es dan elastik verban
(4) Pengobatan yang digunakan
2) Riwayat medis
a) Pembedahan dan injury sebelumnya
b) Dislokasi sebelumnya
b. Objektif
1) Pemeriksaan fisik
a) Inspeksi
(1) Deformitas yang tampak pada sendi yang terkena
(2) Kehilangan mobilitas

131
b) Palpasi
(1) tenderness
(2) deformitas
(3) nadi
(4) ROM
(5) Kekuatan otot
(6) Pengkajian neurologis
2) Prosedur diagnostik
a) Radiograf
3) Sprain
a. Keluhan utama
b. Riwayat kesehatan
a) Riwayat penyakit sekarang
Dikarenakan nyeri merupakan pengalaman interpersonal, perawat harus
menanyakannya secara langsung kepada pasien dengan teknik P, Q, R, S, T.
Provoking (penyebab) : Apa yang menimbulkan nyeri (aktivitas, spontan, stress
setelah makan dll)?
Quality (kualitas) : Apakah tumpul, tajam, tertekan, dalam, permukaan dll?
Apakah pernah merasakan nyeri seperti itu
sebelumnya?
Region (daerah) : Dimana letak nyeri?
Severity (intensitas) : Jelaskan skala nyeri dan frekuensi, apakah di sertai
dengan gejala seperti (mual, muntah, pusing
diaphoresis, pucat, nafas pendek, sesak, tanda
vitaLyang abnormal dll)?
Timing (waktu) : Kapan mulai nyeri ? Bagaimana lamanya ? Tiba-tiba
atau bertahap?
Apakah mulai setelah anda makan ? Frekuensi
b) Riwayat penyakit dahulu
Apakah klien sebelumnya pernah mengalami sakit seperti ini atau mengalami
trauma pada muskuloskeletal lainnya?
c) Riwayat penyakit keluarga
Apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ini?
c. Data biopsikospiritual
(1) Data biologis
(a) Gerak dan aktivitas

132
Kaji kemampuan aktifitas dan mobilitas kehidupan klien sehari-hari
(b) Kebersihan diri
Kaji apakah ada kesulitan dalam memelihara dirinya
(2) Data psikologis
(a) Rasa aman
Kaji kemampuan pasien dalam melakukan keamanan dan pencegahan pada saat
melaksanakan akitivitas hidup sehari-hari, termasuk faktor lingkungan, faktor
sensori, serta faktor psikososial.
(b) Rasa nyaman
Kaji apakah pasien mengalami mual dan nyeri (PQRST).
(3) Data sosial
(a) Sosial
Melalui komunikasi antar perawat, pasien, dan keluarga dapat dikaji mengenai
pola komunikasi dan interaksi sosial pasien dengan cara mengidentifikasi
kemampuan pasien dalam berkomunikasi.
(b) Prestasi
Kaji tentang latar belakang pendidikan pasien
(c) Bermain dan rekreasi
Kaji kemampuan aktifitas rekreasi dan relaksasi (jenis kegiatan dan frekuensinya)
(d) Belajar
Kaji apakah pasien sudah mengerti tentang penyakitnya dan tindakan pengobatan
yang akan dilakukan. Kaji bagaimana cara klien mempelajari sesuatu yang baru
(4) Data spiritual
d. Pemeriksaan fisik
Inspeksi :
1. Kelemahan
2. Edema
3. Ketidakstabilan fungsi ligamen
Palpasi :
1. Mati rasa
4) Strain
a) Identitas pasien
b) Keluhan utama: nyeri, kelemahan, mati rasa, edema, perdarahan,
perubahan mobilitas, atau ketidakmampuan menggunakan sendi, otot, dan tendon.
c) Riwayat kesehatan
(1) Riwayat penyakit sekarang
(a) Kapan keluhan dirasakan, apakah sesudah beraktifitas kerja atau setelah
berolahraga.
(b) Daerah mana yang mengalami trauma.
(c) Bagaimana karakteristik nyeri yang dirasakan.
(2) Riwayat penyakit dahulu

133
Apakah klien sebelumnya pernah mengalami sakit seperti ini atau mengalami
trauma pada sistem musculoskeletal lainnya.
(3) Riwayat penyakit keluarga
Apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ini.
d) Pemeriksaan fisik
(1) Inspeksi : kelemahan, edema, perubahan warna kulit/ perdarahan,
ketidakmampuan menggunakan sendi.
(2) Palpasi : mati rasa
(3) Auskultasi
(4) Perkusi
e) Pemeriksaan penunjang : rontgen
5) Sindrom kompartemen
a. Data subjektif
1) Riwayat kondisi saat ini
a) Injury pada extremitas: fraktur, kompresi yang lama, injury vaskuler, luka
bakar, hypothermia,
b) Pembedahan terbaru
c) Pengguanaan balutan antishock
d) Taus hidrasi: hidrasi turun cenderung syndrom kompartemen
2) Riwayat medis
a) Hemophilia
b) Nefrotik syndrom
c) Disfungsi saraf
b. Data objektif
1) Pemeriksaan fisik
a) Nyeri
b) Parestesia
c) Paralisis
d) Pucat
c. Prosedur diagnostik
1) Pengukuran tekanan kompartemen: tekanan samp[ai 10 mmhg (N) , 30-40
mmhg cenderung menimbulkan gejala klinik
2) Laboratorium: urin untuk myoglobinuria, enzim darah: kreatine kinase, laktate
dehidrogenase, SGOT

134
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot, ligamen atau tendon
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri / ketidakmampuan
3. Defisit perawatan diri berhubungan dengan ketidakmampuan dalam
melaksanakan akitivitas
4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi, salah interpretasi
informasi, tidak mengenal sumber informasi.
C. Intervensi
1. Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot, ligamen atau tendon
a. Kaji secara komphrehensif tentang nyeri, meliputi:
lokasi,karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,intensitas/beratnya
nyeri, dan faktorfaktor pencetus.
b. Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologi (seperti: relaksasi,
guided imagery, terapi musik, dan distraksi)
c. Modifikasi tindakan mengontrol nyeri berdasarkan respon pasien
d. Anjurkan klien untuk meningkatkan tidur/istirahat
e. Anjurkan klien untuk melaporkan kepada tenaga kesehatan jika
tindakan tidak berhasil atau terjadi keluhan lain.
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri / ketidakmampuan
a. Monitoring vital sign sebelum/sesudah latihan dan lihat respon
pasien saat latihan
b. Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi sesuai
dengan kebutuhan
c. Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat berjalan dan cegah
terhadap cedera
d. Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain tentang teknik ambulasi

135
UNIT X
GANGGUAN SISTEM INTEGRUMEN

Pengertian Sistem Integumen


Sistem Integumen pada manusia terdiri dari kulit, kuku, rambut, kelenjar
keringat, kelenjar minyak dan kelenjar susu. Sistem integumen mampu
memperbaiki sendiri (self-repairing) & mekanisme pertahanan tubuh pertama
(pembatas antara lingkungan luar tubuh dengan dalam tubuh).
Kulit merupakan organ tubuh yang paling luas yang berkontribusi terhadap
total berat tubuh sebanyak 7 %. Keberadaan kulit memegang peranan penting
dalam mencegah terjadinya kehilangan cairan yang berlebihan, dan mencegah
masuknya agen-agen yang ada di lingkungan seperti bakteri, kimia dan radiasi
ultraviolet. Kulit juga akan menahan bila terjadi kekuatan-kekuatan mekanik
seperti gesekan (friction), getaran (vibration) dan mendeteksi perubahan-
perubahan fisik di lingkungan luar, sehingga memungkinkan seseorang untuk
menghindari stimuli-stimuli yang tidak nyaman.
Anatomi Sistem Integumen pada Manusia
Kulit tersusun atas tiga lapisan, yaitu :
Epidermis
Epidermis berasal dari ektoderm, terdiri dari beberapa lapis (multilayer).
Epidermis sering kita sebut sebagai kuit luar.Epidermis merupakan lapisan teratas
pada kulit manusia dan memiliki tebal yang berbeda-beda: 400-600 μm untuk

136
kulit tebal (kulit pada telapak tangan dan kaki) dan 75-150 μm untuk kulit tipis
(kulit selain telapak tangan dan kaki, memiliki rambut). Selain sel-sel epitel,
epidermis juga tersusun atas lapisan:
1) Melanosit, yaitu sel yang menghasilkan melanin melalui proses
melanogenesis.Melanosit (sel pigmen) terdapat di bagian dasar epidermis.
Melanosit menyintesis dan mengeluarkan melanin sebagai respons terhadap
rangsangan hormon hipofisis anterior, hormon perangsang melanosit (melanocyte
stimulating hormone, MSH
2) Sel Langerhans, yaitu sel yang merupakan makrofag turunan sumsum tulang,
yang merangsang sel Limfosit T, mengikat, mengolah, dan merepresentasikan
antigen kepada sel Limfosit T. Dengan demikian, sel Langerhans berperan penting
dalam imunologi kulit.
3) Sel Merkel, yaitu sel yang berfungsi sebagai mekanoreseptor sensoris dan
berhubungan fungsi dengan sistem neuroendokrin difus.
4) Keratinosit, lapisan eksternal kulit tersusun atas keratinosit (zat tanduk) dan
lapisan ini akan berganti setiap 3-4 minggu sekali. Keratinosit yang secara
bersusun dari lapisan paling luar hingga paling dalam sebagai berikut:
a) Stratum Korneum, terdiri atas 15-20 lapis sel gepeng, tanpa inti dengan
sitoplasma yang dipenuhi keratin.
b) Stratum Lucidum, tidak jelas terlihat dan bila terlihat berupa lapisan tipis
yang homogen, terang jernih, inti dan batas sel tak terlihat.
c) Stratum Granulosum, terdiri atas 2-4lapis sel poligonal gepeng yang
sitoplasmanya berisikan granul keratohialin.
d) Stratum Spinosum,tersusun dari beberapa lapis sel di atas stratum basale. Sel
pada lapisan ini berbentuk polihedris dengan inti bulat/lonjong.
e) Stratum Basal/Germinativum, merupakan lapisan paling bawah pada
epidermis, tersusun dari selapis sel-sel pigmen basal, berbentuk silindris dan
dalam sitoplasmanya terdapat melanin.

Dermis
Dermis atau cutan (cutaneus), yaitu lapisan kulit di bawah epidermis.
Penyusun utama dari dermis adalah kolagen. Membentuk bagian terbesar kulit
dengan memberikan kekuatan dan struktur pada kulit, memiliki ketebalan yang
bervariasi bergantung pada daerah tubuh dan mencapai maksimum 4 mm di

137
daerah punggung. Dermis terdiri atas dua lapisan dengan batas yang tidak nyata,
yaitu stratum papilare dan stratum reticular.
1) Stratum papilare, yang merupakan bagian utama dari papila dermis, terdiri
atas jaringan ikat longgar. Pada stratum ini didapati fibroblast, sel mast, makrofag,
dan leukosit yang keluar dari pembuluh (ekstravasasi).
2) Stratum retikulare, yang lebih tebal dari stratum papilare dan tersusun atas
jaringan ikat padat tak teratur. Terdiri atas serabut-serabut penunjang (kolagen,
elastin, retikulin), matiks (cairan kental asam hialuronat dan kondroitin sulfat serta
fibroblas). Komponen dari lapisan ini berisi banyak struktur khusus yang
melaksanakan fungsi kulit terdiri dari :
a) Kelenjar sebaceous / sebasea (kelenjar lemak)
Menghasilkan sebum, zat semacam lilin, asam lemak atau trigliserida
bertujuan untuk melumasi permukaan kulit dikeluarkan melalui folikel rambut
yang mengandung banyak lipid.
b) Eccrine sweat glands atau kelenjar keringat
Walaupun stratum korneum kedap air, namun sekitar 400 mL air dapat
keluar dengan cara menguap melalui kelenjar keringat tiap hari.
c) Pembuluh darah
Dilapisan dermis sangat kaya dengan pembuluh darah yang memberi
nutrisi penting untuk kulit, baik vitamin, oksigen maupun zat-zat penting lainnya
untuk metabolisme sel kulit, selain itu pembuluh darah juga bertugas mengatur
suhu tubuhmelalui mekanisme proses pelebaran atau dilatasi pembuluh darah.
d) Serat elastin dan kolagen
Semua bagian pada kulit harus diikat menjadi satu, dan pekerjaan ini
dilakukan oleh sejenis protein yang ulet yang dinamakan kolagen. Kolagen
merupakan komponen jaringan ikat yang utama dan dapat ditemukan pada
berbagai jenis jaringanserta bagian tubuh yang harus diikat menjadi satu.
e) Syaraf nyeri dan reseptor sentuh
Kulit juga seperti organ lain terdapat cabang-cabang saraf spinal dan
permukaan yang terdiri dari saraf-saraf motorik dan saraf sensorik.
3) Subkutan atau Hipodermis
Pada bagian subdermis ini terdiri atas jaringan ikat longgar berisi sel-sel
lemak di dalamnya.Pada lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh
darah dan getah bening. Untuk sel lemak pada subdermis, sel lemak dipisahkan
oleh trabekula yang fibrosa. Lapisan terdalam yang banyak mengandung sel

138
liposit yang menghasilkan banyak lemak. Disebut juga panikulus adiposa yang
berfungsi sebagai cadangan makanan. Berfungsi juga sebagai bantalan antara kulit
dan setruktur internal seperti otot dan tulang. Sebagai mobilitas kulit, perubahan
kontur tubuh dan penyekatan panas.Sebagai bantalan terhadap trauma. Tempat
penumpukan energi.

Skin Appendages atau /Struktur asesoris kulit


Skin Appendages/adnexa kulit merupakan struktur tambahan kulit. Derivat
kulit berasal dari epidermis, terdiri dari kelenjar sudorifera, kelompok sebasea,
rambut dan folikelrambut serta kuku. Nama lainnya appendages kulit / adneksa
kulit / struktur tambahan kulit.
1) Rambut dan folikel rambut
Rambut terdiri dari batang yang trletak diatas permukaan kulit dan akar
rambut yang terletak di dalam kulit. Folikel rambut merupakan jaringan yang
meliputi akar rambut. Rambut terdiri dari medula yang terdiri dari keratin lunak
dan kortex serta kutikula yang terdiri dari keratin keras.
a. Medula merupakan bagian tengah rambut, terdiri dari sel-sel yang mengalami
keratinisasi. Sel-selnya terpisah satu sama lain, dan antara sel-sel kadang-
kadangterdapat udara / cairan. Bagian ini tak terdapat pada rambut tipis /
halus.
b. Kortex merupakan bagian terbesar dari rambut, terdiri dari sel-sel berbentuk
runcing,yang mengalami keratinisasi dan banyak mengandung pigmen.
c. Kutikula merupakan membran tipis, terdiri dari sel-sel pipih/gepeng yang
mengalamikeratinisasi, transparan. Secara mikroskopis tersusun seperti
genting, terdiri dari 1-3lapis sel-sel yang sebagian mengalami kretinisme.

2) Kuku
Kuku berpoliferasi membentuk matriks kuku, epidermis yang tepat di
bawahnyamenjadi dasar kuku yang berbentuk U bila dilihat dari atas dan diapit
oleh lipatan kulityang merupakan dinding kuku. Lempeng kuku terdiri dari sisik
epidermis yang menyatuerat dan tidak mengelupas. Badan kuku berwarna bening
sehingga kelihatan kemerahankarena ada pembuluh kapiler darah di dalam dasr
kuku.Sel-sel stratum korneum meluas dari dinding kuku ke permukaan lempeng
kukusebgai epikondrium atau kutikula.

139
Warna Kulit
Warna kulit sangat beragam, dari yang berwarna putih mulus, kuning, coklat,
kemerahan atau hitam. Setiap warna kulit mempunyai keunikan tersendiri yang
jika dirawat dengan baik dapat menampilkan karakter yang menarik. Warna kulit
terutama ditentukan oleh :
1. Oxyhemoglobin yang berwarna merah
2. Hemoglobin tereduksi yang berwarna merah kebiruan
3. Melanin yang berwarna coklat
4. Keratohyalin yang memberikan penampakan opaque pada kulit, serta
5. Lapisanstratum corneum yang memiliki warna putih kekuningan atau keabu-
abuan.
Dari semua bahan-bahan pembangun warna kulit, yang paling menentukan
warnakulit adalah pigmen melanin. Banyaknya pigmen melanin di dalam kulit
ditentukan oleh faktor-faktor ras, individu, dan lingkungan. Melanin dibuat dari
tirosin sejenis asam aminodan dengan oksidasi, tirosin diubah menjadi butir-butir
melanin yang berwarna coklat, serta untuk proses ini perlu adanya e n z i m
Tirosinase dan oksigen.
Fisiologi Sistem Integumen pada Manusia
Kulit memiliki banyak fungsi, yang berguna dalam menjaga
homeostasis tubuh. Fungsi-fungsi tersebut dapat dibedakan menjadi fungsi
proteksi, absorpsi, ekskresi, persepsi, pengaturan suhu tubuh (termoregulasi), dan
pembentukan vitamin D.
Fungsi proteksi
Kulit menyediakan proteksi terhadap tubuh dalam berbagai cara sebagai yaitu
berikut:
a. Keratin melindungi kulit dari mikroba, abrasi (gesekan), panas, dan zat
kimia.Keratin merupakan struktur yang keras, kaku, dan tersusun rapi dan erat
seperti batu bata di permukaan kulit.
b. Lipid yang dilepaskan mencegah evaporasi air dari permukaan kulit dan
dehidrasi. selain itu juga mencegah masuknya air dari lingkungan luar tubuh
melalui kulit.
c. Sebum yang berminyak dari kelenjar sebasea mencegah kulit dan rambut
darikekeringan serta mengandung zat bakterisid yang berfungsi membunuh
bakteri di permukaan kulit. Adanya sebum ini, bersamaan dengan ekskresi

140
keringat, akanmenghasilkan mantel asam dengan kadar pH 5-6.5 yang mampu
menghambat pertumbuhan mikroba.
d. Pigmen melanin melindungi dari efek dari sinar UV yang berbahaya. Pada
stratum basal, sel-sel melanosit melepaskan pigmen melanin ke sel-sel di
sekitarnya. Pigmenini bertugas melindungi materi genetik dari sinar matahari,
sehingga materi genetik dapat tersimpan dengan baik. Apabila terjadi
gangguan pada proteksi oleh melanin,maka dapat timbul keganasan.
e. Selain itu ada sel-sel yang berperan sebagai sel imun yang protektif. Yang
pertamaadalah sel Langerhans, yang merepresentasikan antigen terhadap
mikroba. Kemudianada sel fagosit yang bertugas memfagositosis mikroba
yang masuk melewati keratindan sel Langerhans.
Fungsi absorpsi
Kulit tidak bisa menyerap air, tapi bisa menyerap material larut-lipid
sepertivitamin A, D, E, dan K, obat-obatan tertentu, oksigen dan karbon dioksida.
Permeabilitaskulit terhadap oksigen, karbondioksida dan uap air memungkinkan
kulit ikut mengambil bagian pada fungsi respirasi. Selain itu beberapa material
toksik dapat diserap sepertiaseton,dan merkuri. Beberapa obat juga dirancang
untuk larut lemak, sepertikortison, sehingga mampu berpenetrasi ke kulit dan
melepaskan antihistamin di tempat peradangan. Kemampuan absorpsi kulit
dipengaruhi oleh tebal tipisnya kulit, hidrasi, kelembaban, metabolisme dan jenis
vehikulum. Penyerapan dapat berlangsung melaluicelah antarsel atau melalui
muara saluran kelenjar; tetapi lebih banyak yang melalui sel-sel epidermis
daripada yang melalui muara kelenjar.

Fungsi Ekskresi
Kulit juga berfungsi dalam ekskresi dengan perantaraan dua kelenjar
eksokrinnya, yaitukelenjar sebasea dan kelenjar keringat.
Fungsi persepsi
Kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan subkutis.
Terhadaprangsangan panas diperankan oleh badan-badan Ruffini di dermis dan
subkutis.Terhadap dingin diperankan oleh badan-badan Krause yang terletak di
dermis, badantaktil Meissner terletak di papila dermis berperan terhadap rabaan,
demikian pula badanMerkel Ranvier yang terletak di epidermis. Sedangkan

141
terhadap tekanan diperankanoleh badan Paccini di epidermis. Saraf-saraf sensorik
tersebut lebih banyak jumlahnyadi daerah yang erotik.
Fungsi pengaturan suhu tubuh (termoregulasi)
Kulit berkontribusi terhadap pengaturan suhu tubuh (termoregulasi) melalui
dua cara: pengeluaran keringat dan menyesuaikan aliran darah di pembuluh
kapiler. Pada saatsuhu tinggi, tubuh akan mengeluarkan keringat dalam jumlah
banyak serta memperlebar pembuluh darah (vasodilatasi) sehingga panas akan
terbawa keluar dari tubuh.Sebaliknya, pada saat suhu rendah, tubuh akan
mengeluarkan lebih sedikit keringat danmempersempit pembuluh darah
(vasokonstriksi) sehingga mengurangi pengeluaran panas oleh tubuh.
Fungsi pembentukan vitamin D
Sintesis vitamin D dilakukan dengan mengaktivasi prekursor 7 dihidroksi
kolesteroldengan bantuan sinar ultraviolet. Enzim di hati dan ginjal lalu
memodifikasi prekursor dan menghasilkan calcitriol, bentuk vitamin D yang aktif.
Calcitriol adalah hormonyang berperan dalam mengabsorpsi kalsium makanan
dari traktus gastrointestinal kedalam pembuluh darah. Walaupun tubuh mampu
memproduksi vitamin D sendiri,namun belum memenuhi kebutuhan tubuh secara
keseluruhan sehingga pemberianvitamin D sistemik masih tetap diperlukan. Pada
manusia kulit dapat pulamengekspresikan emosi karena adanya pembuluh darah,
kelenjar keringat, dan otot-ototdi bawah kulit.

Gangguan Pada Sistem Integumen Manusia


Macam-macam Gangguan system integumen pada manusia
1. Kanker Kulit
Penyebab Kanker kulit adalah pertumbuhan sel kanker yang tidak
terkontrol didalam jaringan kulit. jika tidak diobati, sel sel aknker ini akan
menyebar ke organ lain seperti kelenjar getah bening, tulang, jaringan lunak, dan
lain lain. kanker kulit adalah jenis kanker yang paling dominan didunia. Di
Amerika kanker kulit diderita oleh 1 dari 5 orang dengan prevalensi sekitar 20%
menurut Yayasan Kanker Kulit.
2. Penyakit Lupus
Penyebab Lupus adalah penyakit autoimmune atau kekebalan tubuh
yang terganggu yang diderita lebih dari 1.5 juta rakyat Amerika. Normalnya

142
sistem kekebalan tubuh akan menjaga tubuh dari gangguan penyakit, virus,
bakteri dan bentuk lain yang berbahaya. Dalam hal penyakit lupus, sistem
kekebalan tubuh salah mengidentifikasi bahaya dan sebaliknya menyerang sel
tubuh yang sehat dan merusak jaringan lunak seperti kulit dan organ lainnya.
Penyakit lupus dapat menimbulkan masalah lanjutan pada ginjal, sistem saraf,
jaringan darah dan kulit
3. Rubeola atau Penyakit Campak
Penyebab rubeola adalah infeksi yang disebabkan oleh virus yang
berkembang dalam sel di daerah tenggorokan dan paru paru. Rubeola sangatlah
menular, dan cepat menyebab melalui media udara ketika penderita rubeola batuk
atau bersin. Orang yang menderita Rubeola akan merasakan demam, batuk,
hidung berair, dan ruam ruam pada kulit sebagai puncak dari penyakit Rubeola.
Jika tidak dirawat dapat menyebabkan komplikasi seperti radang infeksi telinga,
pneunomia dan encephalitis (pembengkakan otak).
4. Jerawat
Penyebab penyakit jerawat adalah terhalangnya pori pori pada tubuh oleh
minyak, kulit mati, dan atau bakteri. Setiap pori-pori di kulit kita terdapat folikel,
folikel ini terbuat dari rambut dan kelenjar minyak. Kelenjar minyak
mengeluarkan sebum, yang berjalan melewati rambut/bulu, keluar melalui pori
pori dan berakhir di kulit. Sebum membuat kulit lembab dan lembut, jika anda
menderita penyakit Jerawat, mungkin saja terjadi gangguan pada proses ini. Hal
hal yang palingsering menyebabkan jeawat adalah
· Terlalu banyak sebum yang dihasilkan kelenjar minyak kulit
· sel kulit mati yang bertumpuk di pori pori
· bakteri telah tumbuh berkembang di pori pori
5. Hemangioma
Hemangioma adalah pertumbuhan daging atau kulit tetapi bukan kanker yang
tumbuh karena pertumbuhan jaringan darah abnormal. HEmangioma biasanya
ditemukan dalam lapisan dari organ dalam - biasanya hati-. Karena Hemangioma
tidak disebabkan faktor luar, biasanya orang menderita atau Hemangioma
berkembang sebelum orang lahir, ketika mereka masih didalam kandungan.
Hemangioma didalam hati biasanya tidak menyebabkan kelainan. Biasanya juga

143
tidak terdeteksi sebelum anda memeriksakan diri dan biasanya pemeriksaan yang
tidak terkait sama sekali dengan Hemangioma.
6. Cold Sore (Herpes Simplex Virus)
Cold sores adalah keadaan kulit melepuh berentuk bulat berisi cairan yang
biasanya tumbuh disekitar mulut atau sekitar wajah. Terkadang lepuhan juga
muncul di jari, hidung atau didalam mulut, tetapi itu jarang terjadi. Biasanya Cold
Sore disebabkan oleh virus Herpes, dan tidak ada pengobatan untuk penyakit ini
selain mengobati atau membasmi herpes tersebut. Terkadang penyakit ini akan
kambuh tanpa tanda-tanda, dan berhati-hatilah karena cairan didalam cold sore
tersebut sangat mudah menular.
7. Psoriasis
penyakit psoriasis adalah kondisi gangguan kulit kronis yang ditandai
dengan bercak merah terkadang menyerupai sisik pada kulit. Psoriasis dapat
terlihat berbeda tergantung dimana dan jenis apa yang menyerang Anda. Jika anda
memiliki gejala seperti Psoriasis, lihatlah gambar dibawah ini untuk lebih
mengerti apakah itu Psoriasis Scalp, Psoriasis Guttate atau Psoriasis Plaque atau
apakah itu Eczema (Eksim)? karena memang gejala dan penampakanna mirip
dengan eksim. Jika anda mengerti jenis Psoriasis mana yang menyerang anda
maka anda akan lebih mudah untuk mengobatinya.
8. Rosacea
Rosacea adalah gangguan kulit kronis yang menyerang lebih dari 16
juta warga Amerika. Penyebab Rosacea masih tidak diketahui dan juga tidak ada
obatnya. Namun ilmuwan belakangan ini mampu mengembangkan jenis
perawatan yang dapat menekan gejala - gejala yang ditimbulkan oleh penyakit
Rosacea.
Terdapat 4 jenis Rosacea, setiap jenisnya membawa gejala sendiri.
Kemungkinan dalam 1 Individu dapat diserang oleh lebih dari 1 jenis Rosacea.
Ciri Khas Rosacea adalah lingkaran kecil berwarna merah berisi nanah yang
tumbuh pada kulit. Biasanya Rosacea hanya tumbuh pada bagian hidung, pipi dan
kening. Rosacea dapat menghilang dan timbul dengan sendirinya, biasanya

144
memiliki siklus. Jadi ketika anda menderita penyakit ini, bisa saja gejala2xnya
akan hilang namun akan muncul kembali di masa yang akan datang.
9. Seborrheic Eczema (Eksim Seborrheic)
Eksim Seborrheic adalah suatu kondisi kulit. Juga dikenal dengan
sebutan Dermatitis Seborrheic. Ketika bayi menderita penyakit ini disebut juga
cradle cap. Terdapat 2 penyebab penyakit Eksim Seborrheic, yaitu pertama adalah
produksi minyak sebum pada kulit yang berlebihan, dan kedua adalah jamur yang
disebut Malassezia. Biasana ditemukan didalam kelenjar minyak kulit dan
dipercaya sebagai penyebab iritasi. Walaupun tidak terdapat obat untuk penyakit
ini, tetapi kita dapat mengenali dan mempelajari penyebab dan pemicu penyakit
Eksim ini dan mengembangkan cara untuk menghindarinya, seperti menjaga
kesehatan tubuh khususnya kulit secara teratur dan benar.
10. Hives / Urticaria (Gatal Alergi)
Hives, Urticaria, gatal karena alergi adalah perasaan gatal disertai
timbulnya benjolan-benjolan kecil pada kulit. Biasanya berwarna merah dan sakit
ketika disentuh. Pada kebanyakan kasus, urticaria disebabkan oleh reaksi terhadap
pengobatan dan atau reaksi alergi terhadap benda yang menyebabkan iritasi.

KONDISI PATOLOGIS YANG BERHUBUNGAN DENGAN TRAUMA

Transmisi energi pada trauma dapat menyebabkan kerusakan tulang,


pembuluh darah dan organ termasuk fraktur, laserasi, kontusi, dan gangguan pada
semua sistem organ,sehingga tubuh melakukan kompensasi akibat ada trauma bila
kompensasi tubuh tersebut berlanjut tanpa dilakukan penanganan akan
mengakibatkan kematian seseorang.
1. Trauma mekanik
a. Trauma tumpul,akibat luka :
· Luka memar → diskontinuitas pembuluh darah dan jaringan di bawah kulit
tanpa rusaknya jaringan kulit.
· Teraba menonjol → pengumpulan darah dijaringan pembuluh darah rusak.
· Bentuk luka → menyerupai benda yang mengenai.

145
· Luka lecet → terjadi pada epidermis – gesekan dengan benda yang
permukaannya kasar.
· Luka lecet tekan : arah kekerasan tegak lurus pada permukaan tubuh, epidermis
yang tertekan melesak kedalam.
· Luka lecet geser → arah kekerasan miring membentuk sudut, epidermis
terdorong dan terkumpul pada tempat akhir gerak benda tersebut.
· Luka lecet regang → diskontinuitas epidermis akibat peregangan yang letaknya
sesuai dengan garis kulit.
· Luka robek → terjadi pada epidermis jaringan dibawahnya akibat kekerasan
yang mengenainya melebihi elastisitas kulit jaringan.
b. Trauma tajam, akibat luka :
· Luka iris → dalam luka lebih kecil dari pada panjang irisan luka.
· Luka tusuk → dalam luka lebih besar atau lebih dalam dari pada panjang
luka.
· Luka bacok → dalam luka kurang lebih sama dengan panjang luka.
c. Senjata api
· Kulit disekitar luka terbakar atau hitam karena asap.
· Rambut disekitar luka hangus.
· Pakaian yang menutupi luka hangus terbakar.
· Warna hitam dan kelim tato lebih luar disekitar luka.
2. Trauma fisika
a. Suhu panas (luka bakar)
· Eritem dengan ciri – ciri epidermis intak, kemereahan, sembuh tanpa
meninggalkan sikatriks.
· Vesikel, bulla dan bleps dengan albumin atau NaCl tinggi.
· Necrosis coagulativa dengan ciri- ciri warna coklat gelap hitam dan sembuh
dengan meninggalkan sikatriks (litteken).
· Karbonisasi (sudah menjadi arang).
b. Trauma dingin (hipotermia dan frostbiteHipotermia)
· Kulit pucat akibat vasokonstriksi kemerahan akibat vasodilatasi karena
paralisis vasomotor center.
· Kulit berubah menjadi merah kehitaman, membengkak (skin blister), gatal
dan nyeri. Kemudian timbul gangren superfisial yang irreversibel.
3. Trauma kimia
a. Asam kuat → mengkoagulasikan protein → luka korosif yang kering, kertas
seperti kertas permanen.

146
b. Basa kuat → membentuk reaksi penyabunan → luka basah, licin →
kerusakan sampai kedalam.

KONDISI PATOLOGIS YANG BERHUBUNGAN DENGAN INFLAMASI

Inflamasi adalah respons terhadap cedera dan infeksi. Ketika proses


inflamasi berlangsung terjadi reaksi vaskuler dimana cairan, elemen – elemen
darah, leukosit, dan mediator kimia berkumpul pada tempat cedera jaringan atau
infeksi. Proses inflamasi merupakan suatu mekanisme perlindungan dimana tubuh
berusaha untuk menetralisir dan membasmi agen – agen yang berbahaya pada
tempat cedera dan untuk mempersiapkan keadaan untuk perbaikan jaringan.
Respons inflamasi adalah respons fisiologis terhadap kerusakan jaringan. Tujuan
respons inflamasi adalah melindungi, mengisolasi, menonaktifkan dan
mengeluarkan agens penyebab serta jaringan yang rusak sehingga dapat terjadi
pemulihan.
Berbagai penyebab inflamasi terdiri dari:
• Mikroorganisme Agen fisik, seperti suhu yang ekstrim, cedera mekanis, sinar
ultraviolet, dan radiasi ion Agens kimia (misalnya asam basa) Antigen yang
menstimulasi respons imunologis Inflamasi terbagi menjadi dua pola dasar yaitu:
• Inflamasi akut adalah radang yang berlangsung relatif singkat, dari beberapa

147
menit sampai beberapa hari, dan ditandai dengan eksudasi cairan dan protein
plasma serta akumulasi leukosit neutrofilik yang menonjol.
Gambaran sistemik pada radang akut berupa leukositosis.
Reaksi inflamasi akut diuraikan dalam serangkaian tahap yang tumpang tindih
antara peningkatan aliran darah, peningkatan pembentukan cairan jaringan dan
migrasi leukosit. Ringkasan peristiwa tersebutterdiri dari:
a. Vasokontriksi terjadi dengan segera, tetapi berlangsung singkat
b. Pelepasan zat kimia inflamasi atau mediator (misanya histamine, dan lain
– lain) oleh jaringan rusak, sel mast, basofil, sitokin dan aktivasi komplemen.
Pelepasan ini menyebabkan vasodilatasi dan hiperemia lokal karena peningkatan
aliran darah ke area tersebut.
c. Pelepsan zat kimia inflamasi juga meningkatkan permeabilitas kapiler
terhadap eksudasi cairan dan protein yang bocor dari darah ke jaringan. Eksudat
membawa pasokan oksigen, bahan bakar dan leukosit ekstra yang membantu
melarutkan setiap toksin mikroba. Eksudat adalah timbunan cairan ekstravaskuler
yang memiliki konsentrasi protein yang tinggi, debris seluler dan memiliki berat
jenis lebih dari 1.020.
d. Leukosit ekstra – awalnya neutrofil, lalu monosit (yang menjadi
makrofag), dan limfosit (yang melibatkan patogen) berpindah ke area inflamasi
karena zat kimia inflamasi dan zat kimia yang dilepaskan oleh mikroorganisme
dalam suatu proses yang disebut kemotaksis positif. Kemotaksis adalah emigrasi
leukosit di dalam jaringan menuju tempat jejas sepanjang gradient kimiawi. Hal
ini dapat terjadi dengan stimuli exogenus agent yaitu produk dari bakteri, dan
endogenous agent yaitu berbagai mediator kimia. Sementara itu aliran darah yang
lebih lambat memungkinkan leukosit berpindah (ke sisi kapiler)
e. Leukosit melekat ke endotel kapiler dan bergerak ke dinding kapiler
menuju area yang rusak melalui proses yang disebut diapedesis.
f. Setelah neutrofil dan kemudian makrofag mencapai area yang telah rusak,
keduanya mulai menyingkirkan mikroorganisme dan jaringan yang rusak dengan
cara fagositosis pus jika terbentuk adalah campuran dari leukosit yang mati, debris

148
jaringan, mikroorganisme dan eksudat. Fagositosis ditingkatkan dengan
keberadaan immunoglobulin (antibodi) dan komplemen
g. Tahap respons inflamasi terakhir adalah pembersihan debris oleh
makrofag, sehingga proses pemulihan dapat berlanjut
• Inflamasi kronik adalah radang yang berlangsung lebih lama (berhari-hari
sampai bertahun-tahun) dan ditandai terutama adanya limfosit. Inflamasi
Granulomatous merupakan suatu pola inflamasi kronik khusus. Radang
granulomatosa berupa: Tuberculosis, Lepra, Sarcoidosis, Gumma Syphillis.
Keradangan akibat kuman tuberculosa memberikan gambaran spesifik berupa sel-
sel epiteloid (Brooker, 2008).
Tanda – tanda inflamasi
Lima ciri khas dari inflamasi adalah kemerahan, panas, pembengkakan, nyeri dan
hilangnya fungsi. Dua tahap inflamasi adalah tahap vaskuler yang terjadi 10 – 15
menit setelah terjadinya cedera dan tahap lambat. Tahap vaskuler berkaitan
dengan vasodilatasi dan bertambahnya permeabilitas kapiler dimana substansi
darah dan cairan meninggalkan plasma dan menuju tempat cedera. Tahap lambat
terjadi ketika leukosit menginfiltrasi jaringan inflamasi.
Berbagai mediator kimia dilepaskan selama proses inflamasi.
Prostaglandin yang telah berhasil diisolasi dari eksudat pada tempat inflamasi
adalah salah satu diantaranya. Prostaglandin (mediator kimia) mempunyai banyak
efeknya, termasuk diantaranya adalah vasodilatasi, relaksasi otot polos,
meningkatnya permeabilitas kapiler,dan sensitisasi sel – sel syaraf terhadap nyeri
(Kee, 2006).
Efek sistemik inflamasi :
– Demam, malaise, anoreksi, mudah beraglutinasi)
– Laju endap darah yang meningkat (kadar fibrinogen meningkat
– Leukositosis
– Manifestasi lain (misalnya peningkatan nadi, penurunan keringat, menggigil,
anorexia, malaise, somnolence)
– Sepsis

149
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN GANGGUAN SISTEM
INTEGRUMEN

A. Pengkajian
1. Identitas Pasien.
2. Keluhan Utama : (Biasanya pasien mengeluh gatal, rambut rontok)
3. Riwayat Kesehatan.
a. Riwayat Penyakit Sekarang :
Tanyakan sejak kapan pasien merasakan keluhan seperti yang ada
pada keluhan utama dan tindakan apa saja yang dilakukan pasien
untuk menanggulanginya.
b. Riwayat Penyakit Dahulu :
Apakah pasien dulu pernah menderita penyakit seperti ini atau
penyakit kulit lainnya.
c. Riwayat Penyakit Keluarga :

150
Apakah ada keluarga yang pernah menderita penyakit seperti ini atau
penyakit kulit lainnya.
d. Riwayat Psikososial :
Apakah pasien merasakan kecemasan yang berlebihan. Apakah
sedang mengalami stress yang berkepanjangan.
e. Riwayat Pemakaian Obat :
Apakah pasien pernah menggunakan obat-obatan yang dipakai pada
kulit, atau pernahkah pasien tidak tahan (alergi) terhadap sesuatu
obat.
f. Pemeriksaan fisik
KU : lemah
TTV : suhu naik atau turun.
- Kepala :
Bila kulit kepala sudah terkena dapat terjadi alopesia.
- Mulut :
Dapat juga mengenai membrane mukosa terutama yang
disebabkan oleh obat.
- Abdomen :
Adanya limfadenopati dan hepatomegali.
- Ekstremitas :
Perubahan kuku dan kuku dapat lepas.
- Kulit :
Kulit periorbital mengalami inflamasi dan edema sehingga
terjadi ekstropion pada keadaan kronis dapat terjadi
gangguan pigmentasi. Adanya eritema, pengelupasan
kulit , sisik halus dan skuama.

B. Diagnosa
1. Potensial terjadinya infeksi berhubungan dengan adanya luka akibat
gangguan integritas
2. Resiko kerusakan kulit berhubungan dengan terpapar alergen

151
3. Perubahan rasa nyaman berhubungan dengan pruritus
C. Intervensi
1. Dx : Potensial terjadinya infeksi berhubungan dengan adanya luka
akibat gangguan integritas
Tujuan : Tidak terjadi infeksi
Kriteria Hasil : a. Hasil pengukuran tanda vital dalam batas normal.
Tidak ditemukan tanda-tanda infeksi (kalor,dolor,
rubor, tumor, infusiolesa)
Intervensi Rasional
a. Lakukan teknik aseptic dan a. Dengan teknik septik dan aseptik dapat
antiseptic dalam melakukan mengirangi dan mencegah kontaminasi
tindakan pada pasien. kuman.
b. Ukur tanda vital tiap 4-6 jam b. Suhu yang meningkat adalah imdikasi
c. Observasi adanya tanda-tanda terjadinya proses infeksi
infeksi c. Deteksi dini terhadap tanda-tanda infeksi
d. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk d. Untuk menghindari alergen dari makanan
pemberian diet e. Memandirikan keluarga
e. Libatkan peran serta keluarga f. Menghindari alergen yang dapat
dalam memberikan bantuan pada meningkatkan urtikaria.
klien.
f. Jaga lingkungan klien agar tetap
bersih
2. Dx : Resiko kerusakan kulit berhubungan dengan terpapar alergen
Tujuan : Tidak terjadi kerusakan pada kulit
Kriteria Hasil : Klien akan mempertahankan integritas kulit, ditandai dengan
menghindari alergen.

Intervensi Rasional
a. Ajari klien menghindari atau a. Menghindari alergen akan
menurunkan paparan terhadap alergen menurunkan respon alergi.
yang telah diketahui. b. Menghindari dari bahan makanan
b. Pantau kegiatan klien yang dapat yang mengandung alergen.

152
menyebabkan terpapar langsung dengan c. Binatang sebaiknya hindari
alergen. Seperti : stimulan fisik. dan memelihara binatang atau batasi
kimia keberadaan binatang di sekitar area
c. Baca label makanan kaleng agar rumah.
terhindar dari bahan makan yang d. AC membantu menurunkan
mengandung alergen. paparan terhadap beberapa alergen
d. Hindari binatang peliharaan. yang ada di lingkungan.
e. Gunakan penyejuk ruangan (AC) di
rumah atau di tempat kerja, bila
memungkinkan.
PERAWATAN KULIT?
f.

3.. Dx : Perubahan rasa nyaman berhubungan dengan pruritus


Tujuan : Rasa nyaman klien terpenuhi
Kriteria Hasil :
a. Klien menunjukkan berkurangnya pruritus, ditandai dengan
berkurangnyalecet akibat garukan.
b. klien tidur nyenyak tanpa terganggu rasa gatal
c. klien mengungkapkan adanya peningkatan rasa nyaman

Intervensi Rasional
a. Jelaskan gejala gatal berhubungan a. Dengan mengetahui proses fisiologis
dengan penyebabnya (misal dan psikologis dan prinsip gatal
keringnya kulit) dan prinsip terapinya serta penangannya akan
(misal hidrasi) dan siklus gatal-garuk- meningkatkan rasa kooperatif.
gatal-garuk. b. Pruritus sering disebabkan oleh
b. Cuci semua pakaian sebelum dampak iritan atau allergen dari
digunakan untuk menghilangkan bahan kimia atau komponen
formaldehid dan bahan kimia lain pelembut pakaian.
serta hindari menggunakan pelembut

153
pakaian buatan pabrik. c. Bahan yang tertinggal (deterjen) pada
c. Gunakan deterjen ringan dan bilas pencucian pakaian dapat
pakaian untuk memastikan sudah menyebabkan iritasi.
tidak ada sabun yang tertinggal. d. Mengurangi penyebab gatal karena
d. Jaga kebersihan kulit pasien terpapar alergen.
e. Kolaborasi dengan dokter untuk e. Mengurangi rasa gatal.
pemberian obat pengurang rasa gatal

D. Implementasi
Implementasi adalah serangkai kegiatan yang di lakukan oleh perawat untuk
membantu klien dari status masalah kesehatan yang di hadapi ke status
kesehatan yang lebih baik yang menggambarkan kreteria hasil yang di
harapkan ( gordon, 1994, dalam potter dan perry, 1997)
E. Evaluasi
1. Tidak terjadinya infeksi
2. Tidak terjadinya kerusakan kulit klien
3. Klien tidur nyenyak tanpa terganggu rasa gatal karena berkurangnya
pruritus dan ditandai dengan berkurangnya lecet akibat garukan.
4. Tercapainya pola tidur/istirahat yang memuaskan
5. Menerima keadaan diri
6. Memahami tentang perawatan kulit dan terapi pengobatan

154
DAFTAR PUSTAKA

Andasa, Khaddijah.2012..Sistem Endokrin. http://dentistrylearn.


blogspot.co.id/2012/05 /sistem-endokrin.html . Diakses pada 25 November
2017 .

Aulia.2017.Sistem Endokrin Pada Manusia.https://dosenbiologi.com/


manusia/sistem-endokrin-pada-manusia . Diakses pada 25 November
2017

Budisma.2015.Pengertian dan Fungsi Sistem Endokrin Pada Manusia.


http://budisma.net/2015/04/pengertian-dan-fungsi-sistem-endokrin.html .
Diakses pada 25 November 2017

Corwin, E.J. editor alih bahasa Indonesia. Nike B.S. Patofisiologi : Buku Saku.
EGC. Jakarta. 2009. Hal.599-615.

Emergency Informations System, Inc. Fractures. 2011 [updated 2011, cited April
2014]. [Figure] Fracture of the upper arm. Available from:
http://911emg.com/first-aid-upper-arm.html

Emergency Informations System, Inc. Fractures. 2011 [updated 2011, cited April
2014]. [Figure] Fracture of the forearm. Available from:
http://911emg.com/firstaid-forearm.html

155
Guyton, Arthur C., dan John E Hall.1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.
Jakarta: EGC.

http://nurfaisyah.web.id/patologi-sistem-pencernaan-kerongkongan-esofagus/2016

http://stikeskharismakarawang.blogspot.com/2012/10/makalah-sistem-saraf-
manusia.html

http://wwwselapunya-syella.blogspot.com/2011/06/pembekuan-darah.html

https://biologigonz.blogspot.com/2009/12/difusi-gas-respirasi_13.html

KDIGO. KDIGO Clinical Practice for Acute Kidney Injury. Kidney International
Supplements, 2012;2(4).

Markis K, Spanou L. Acute kidney injury: definition, pathophysiology and


clinical phenotypes (review article). Clin Biochem Rev, 2016;37(2):85-98
Macedo E, Metha RL. Prerenal failure: from old concepts to new
paradigms. Curr Opin Crit Care, 2009;15(6):467-473
Kumar V., Cotran, R.S., Robbins, S., Brahm U. P., ed. Alih bahasa. Hartanto H.,
Darmaniah N., Wulandari N. 2007. Buku ajar patologi robbins. Edisi 7.
EGC. Jakarta. Hal. 610-661.

Kumar, Abbas, Fausto, Mitchell. (2007).Robbins Basic Pathology. 8’th


ed.Elsevier.

Marilynn. J & Lee. J. 2011. Seri Panduan Praktis Keperawatan Klinis. Hal 124.
Jakarta : Erlangga

Murray Robert K., dkk. 2009. Biokimia Harper Edisi 27. Jakarta: EGC.

Nurarif .A.H. dan Kusuma. H. (2015). APLIKASI Asuhan Keperawatan


Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Jogjakarta:
MediAction

Price, E.C. editor alih bahasa Indonesia Handoyo S.Y, Anatomi dan fisiologi
untuk paramedis. PT. Gramedia. Jakarta. 2000. Hal. 176-210.

Price, Sylvia Anderson dan Lorraine M.Wilson. 2005. Patofisologi Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit Edisi6. Jakarta:EGC

Sadikin, Mohamad. 2001. Biokimia Darah. Jakarta: Widya Medika.

Setiadi.2007.Anatomi dan Fisiologi Manusia.Yogyakarta:Graha Ilmu.

156
Udha, Mohammad.2016.Rangkuman Sederhana Anatomi dan Fisiologi.
Yogyakarta:Gosyen Publishing.

Underwood. Ed. Alih bahasa Indonesia. Sarjadi. Patologi umum dan sistematik.
Edisi kedua. Volume 2. EGC. Jakarta.1994. Hal.421-640.

157

Anda mungkin juga menyukai