Anda di halaman 1dari 99

BUKU AJAR KEPERAWATAN

HIV/AIDS

Penulis:
Ns. Ani Syafriati, M.Kep
Ns. Lisda Maria, M.Kep.,Sp.Kep.Mat
BUKU AJAR KEPERAWATAN
HIV/AIDS
2021 I 00291
Penulis
Ns. Ani Syafriati, M.Kep
Ns. Lisda Maria, M.Kep.,Sp.Kep.Mat

Editor
Dr. Abdul Rahman H, M.T.,CHCP
ISBN: 978-623-6356-50-0
Desain Sampul
Lukas Liani, S.Psi
Layout
Asep Nugraha, S.Hum

Cetakan Pertama, September 2021


vii + 92 hlm ; 14.8 x 21 cm
Penerbit
Yayasan Pendidikan dan Sosial
Indonesia Maju (YPSIM) Banten
Kavling Muntil Blok A. 12, Ciracas
Kota Serang Provinsi Banten
E-mail: Ypsimbanten@gmail.com
Website : www.ypsimbanten.com
WhatsApp: 0815 9516 818
ANGGOTA IKAPI No. 039/BANTEN/2020
(IKATAN PENERBIT INDONESIA)

Hak Cipta Dilindungi oleh Undang-undang Dilarang mengutip atau


memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun
juga tanpa izin tertulis dari Penulis dan Penerbit
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat


Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya,
penyusun dapat menyelesaikan buku ajar keperawatan
HIV/AIDS dengan baik, sehingga dapat dipergunakan
sebagai pedoman bagi mahasiswa ilmu keperawatan
dan dosen keperawatan, serta seluruh perawat untuk
memberikan pelayanan keperawatan untuk klien
dengan HIV/AIDS secara profesional yang berkualitas
bagi pelayanan kesehatan di rumah sakit maupun di
masyarakat.
Buku ajar keperawatan HIV/AIDS ini membahas
tentang epidemiologi kejadian HIV/AIDS, asuhan
keperawatan HIV/AIDS, manajemen kasus,
pencegahan, tata laksana konseling, trend dan isu baik
pada remaja, ibu hamil dengan HIV/AIDS dan
penyalahgunaan NAPZA. Penyusunan buku ajar
keperawatan ini juga didapatkan dari berbagai macam
sumber penelitian terbaru untuk menjadi pembaharuan
ilmu dalam penyusunan buku ini.
Dalam kesempatan ini, kami ingin mengucapkan
terima kasih kepada penulis yang telah mengaplikasikan
ilmu pengetahuannya di bidang ilmu keperawatan dalam
bentuk buku. Kami berharap buku ini dapat membantu
mahasiswa dalam melengkapi referensi mata ajar ilmu
keperawatan HIV/AIDS serta menjadi motivasi dan
petunjuk bagi sejawat dosen dan perawat pada
umumnya yang bekerja di rumah sakit untuk
memberikan asuhan keperawatan secara profesional
dan bagi dosen pada khususnya untuk ikut serta dalam

iii BUKU AJAR KEPERAWATAN HIV/AIDS


mengaplikasikan ilmu pengetahuannya dalam bentuk
karya yang nyata.

Palembang, Juni 2021

PenyusunTIM

Ns. Ani Syafriati, M.Kep & Ns. Lisda Maria, M.Kep.,Sp.Kep.Mat iv


Daftar isi

Kata pengantar iii


BAB 1 Lingkup kesehatan klien dengan HIV/AIDS 1
A. Epidemiologi global dan lokal kecenderungan
HIV/ AIDS 1
B. Aspek psiko, sosio, kultural dan spiritual klien
HIV/ AIDS 3
C. Pemeriksaan fisik dan diagnostik pada klien dengan
HIV/AIDS 8
D. Patofisiologi dan penatalaksanaan HIV/AIDS 9
E. Stigma pada ODHA 21
F. Perilaku beresiko 25
G. Asuhan keperawatan penatalaksanaan pasien
dengan ARV 29
H. Kewaspadaan universal precaution 33
I. VCT (Voluntary Counselling and Testing) dan dasar-
dasar konseling bagi pasien dengan HIV/AIDS 36
J. Asuhan keperawatan pada ibu hamil dengan HIV/
AIDS 40
K. Asuhan keperawatan pada anak dan remaja dengan
HIV/AIDS 46
L. Asuhan keperawatan pada klien
dengan penyalahgunaan NAPZA 49
BAB 2 Pencegahan primer, sekunder dan tersier pada
HIV AIDS dan penyalahgunaan NAPZA 54
A. Pencegahan primer 54
B. Pencegahan sekunder 55
C. Pencegahan tersier 56
BAB 3 Trend dan isu 58
A. Trend dan isu HIV/AIDS 58
B. Trend dan isu family centered pada ODHA 63
C. Trend dan isu penyalahgunaan NAPZA 66
BAB 4 Manajemen Kasus 68
A. Manajemen kasus pada klien dengan HIV/
AIDS 68

v BUKU AJAR KEPERAWATAN HIV/AIDS


B. Manajemen kasus pada klien dengan
penyalahgunaan NAPZA 72
BAB 5 Prinsip komunikasi konseling pada klien
HIV/AIDS dan penyalahgunaan NAPZA 75
A. Definisi konseling 75
B. Konseling HIV/AIDS 81
C. Konseling Penyalahgunaan NAPZA 83
SOAL PENGKAYAAN 86
DAFTAR PUSTAKA 89
BIOGRAFI 93

Ns. Ani Syafriati, M.Kep & Ns. Lisda Maria, M.Kep.,Sp.Kep.Mat vi


BAB 1
Lingkup kesehatan klien dengan HIV/AIDS

A. Epidemiologi global dan lokal kecenderungan


HIV/ AIDS
HIV merupakan suatu virus yang dapat
penyebabkan penyakit Acquired Immuno Deficiency
Syndrome (AIDS). Virus ini menyerang sel darah
putih sehingga dapat merusak sistem kekebalan
tubuh manusia. HIV dan AIDS berasal dari benua
Afrika merupakan suatu penyakit menular yang
penyebarannya cepat di seluruh dunia. Sampai saat
ini belum ditemukan obat maupun vaksin yang
mampu menanggulangi serta mengobati penyakit
ini. Kerusakan organ secara progresif pada sistem
kekebalan tubuh menyebabkan orang dengan
HIV/AIDS (ODHA) sangat rentan terkena
bermacam penyakit.
Kejadian kasus HIV/AIDS yang terus
meningkat masih menjadi perhatian dunia baik
secara global maupun regional. Persebaran HIV
secara merata di berbagai negara dimulai dari
benua Afrika yang menduduki peringkat pertama
dengan jumlah 25,7 juta jiwa disusul dengan negara
di Asia Tenggara dengan jumlah 3,5 juta jiwa.
Epidemi kasus HIV-AIDS merupakan permasalahan
global yang selalu mengalami peningkatan setiap
tahun, sebanyak 2,5 juta orang terinfeksi dan 1,7
juta orang meninggal akibat HIV-AIDS. Hal ini
disebabkan jumlah laki-laki yang melakukan

1 BUKU AJAR KEPERAWATAN HIV/AIDS

1
hubungan seksual tidak aman juga meningkat,
sehingga menularkan kepada pasangan
seksualnya. Lebih dari 90% kasus anak terinfeksi
HIV, ditularkan melalui proses penularan dari ibu ke
anak selama kehamilan, persalinan dan menyusui.
Hasil statistik kasus HIV/AIDS dilaporkan
oleh Ditjen Pengendalian Penyakit (PP) dan
Penyehatan Lingkungan (PL) Kementerian
Kesehatan (Kemenkes) RI tahun 2016, jumlah
kasus kumulatif HIV/AIDS di 34 provinsi Indonesi
adalah total pengidap HIV sebanyak 41.250 kasus,
total penderita AIDS sebanyak 7.491 kasus dengan
kasus kematian mencapai 806 kasus. Indonesia
merupakan salah satu negara di Asia Tenggara dan
pada tahun 2017 menduduki peringkat pertama
yang diestimasikan sebagai penyumbang ODHA
(Orang Dengan HIV/AIDS) terbanyak di Asia
Tenggara yaitu sebesar 630.000 jiwa yang
kemudian disusul oleh negara Thailand sebesar
440.000 jiwa (WHO, 2018). Jumlah kasus HIV yang
dilaporkan dari tahun 2005 sampai dengan tahun
2017 mengalami kenaikan tiap tahunnya. Jumlah
kumulatif infeksi HIV yang dilaporkan sampai
dengan Desember 2017 sebanyak 280.623 jiwa.
Masalah HIV/AIDS di Indonesia adalah
salah satu masalah kesehatan nasional yang
memerlukan penanganan bersama yang cepat,
komprehensif dan holistik. Sejak 10 tahun terakhir,
jumlah kasus AIDS di Indonesia mengalami
lonjakan yang bermakna. Hal ini menuntut
perhatian semua pihak, terutama para tenaga

Ns. Ani Syafriati, M.Kep & Ns. Lisda Maria, M.Kep.,Sp.Kep.Mat 2


kesehatan yang memberikan layanan kesehatan
bagi pasien HIV/ AIDS.Salah satu bentuk layanan
tersebut adalah konseling dan tes HIV yang
bertujuan tidak hanya untuk menegakkan diagnosis
namun juga memberikan konseling untuk
mendapatkan terapi dan menangani berbagai
masalah yang dihadapi oleh pasien. Layanan
testing dan konseling HIV saat ini masih dilakukan
dalam bentuk Konseling dan Testing HIV Sukarela
(Voluntary HIV Counselling and Testing/VCT), yang
dilakukan di sarana kesehatan (Rumah Sakit,
Puskesmas dan Klinik) maupun di LSM peduli
AIDS.

B. Aspek psiko, sosio, kultural dan spiritual klien


HIV/ AIDS
1. Aspek Psiko
ODHA menghadapi rasa sakit yang
semakin parah secara fisik dan mental, orang
yang tertular HIV/AIDS akan berhadapan dengan
stigma penyakit. Pendekatan psikologis pada
ODHA sangat penting agar ODHA tidak jatuh
dalam kondisi stress, cemas, depresi yang pada
gilirannya akan menurunkan imunitasnya
(kekebalan tubuh) yang amat penting dalam
kehidupannya, dengan kehidupan yang
bermakna akan menampilkan pribadi yang
bersemangat, tidak merasa bosan, tidak merasa
hampa dan mempunyai tujuan hidup yang
diketahui baik jangka pendek atau jangka
panjang sehingga kegiatan yang dilakukan

3 BUKU AJAR KEPERAWATAN HIV/AIDS


terarah dan juga dengan adanya tujuan hidup
maka seseorang akan lebih mampu
mempertahankan hidupnya pada berbagai
kondisi.
2. Aspek Sosio
Selain akan dihadapkan pada berbagai
perlakuan negatif dari masyarakat sekitarnya,
ODHA juga dilanda berbagai masalah dalam
dirinya. Perlakuan negatif dari masyarakat
berupa ketakutan masyarakat (public fear),
pengasingan (isolation), penipuan (victimization),
dan pemboikotan dari pergaulan umum
(ostracism). Akibatnya, mereka mengalami
perasaan-perasaan tidak berdaya
(Powerlessness), ketergantungan secara
mendalam (profound immobilization), dan
kehilangan kendali (loss of control). Pandangan
masyarakat bahwa HIV/AIDS merupakan
penyakit yang melanda masyarakat pinggiran
semakin memperparah hidup dan kehidupan
orang dengan HIV/AIDS.
3. Aspek Kultural
ODHA (Orang dengan HIV dan AIDS)
seringkali mengadapi permasalahan yang
kompleks. Selain merasakan sakit di dalam
tubuhnya yang semakin hari semakin menurun,
terdapat juga berbagai stigma tentang penyakit
yang dideritanya dari lingkungan. Jika label
negatif pada diri ODHA berkembang semakin 3
kuat maka dalam waktu yang bersamaan akan

Ns. Ani Syafriati, M.Kep & Ns. Lisda Maria, M.Kep.,Sp.Kep.Mat 4


menimbulkan diskriminasi pada ODHA.
Lingkungan akan memberikan berbagai bentuk
diskriminasi pada ODHA seperti penolakan
melakukan perawatan untuk ODHA, pembedaan
tempat makan, dikucilkan, mengisolasi dan
pemutusan hubungan kerja. Munculnya stigma
sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya pengetahuan, keyakinan,
komunikasi dalam masyarakat, moral,
pendidikan dan pekerjaan. Rendahnya
pengetahuan tentang HIV-AIDS akan
mempengaruhi sikap seseorang terhadap
penderita HIV-AIDS. Keyakinan turut
mempengaruhi adanya stigma terhadap HIV-
AIDS. Akibat dari muncul dan berkembangnya
mitos terhadap HIV-AIDS akan menimbulkan
sikap diskriminasi dan stigmatisasi masyarakat
terhadap ODHA.
Akibat stigma dan diskriminasi
menyebabkan banyak ODHA mengalami
depresi, stres, dan harga diri rendah sehingga
berpengaruh terhadap kualitas hidup. Akibat lain
dari diskriminasi ini banyak ODHA yang tidak
berani utuk keluar rumah untuk berinteraksi
dengan lingkungannya, bahkan ada kasus
ODHA yang pergi meninggalkan kampung
halamannya untuk pindah ke daerah lain,
dimana daerah tersebut belum mengetahui
status mereka. Hal ini menyebabkan petugas
kesehatan sulit dalam pemantauan baik dalam
pengobatan maupun penularan ke orang lain.

5 BUKU AJAR KEPERAWATAN HIV/AIDS


Keyakinan juga akan mempengaruhi
bagaimana orang bersikap terhadap ODHA.
Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa
diskriminasi terhadap ODHA akan semakin tinggi
pada kelompok masyarakat dengan keyakinan
tinggi. Keyakinan disini juga dibentuk oleh kultur
budaya masyarakat dan agama yang dianut
sehingga muncul suatu sikap. Namun terdapat
beberapa keyakinan yang keliru mengenai HIV-
AIDS, seperti HIV- AIDS bisa menular melalui
kontak sosial seperti bersalaman, makan
bersama dengan ODHA, menghirup udara
disekitar ODHA, dan lain-lain. Pemahaman yang
keliru ini menyebabkan timbulnya stigmatisasi
terhadap ODHA.
4. Aspek Spiritual
Spiritualitas adalah pandangan dan
perilaku seseorang yang mengekspresikan rasa
terhubung dengan yang transenden atau
sesuatu yang lebih besar dari dirinya. Dengan
demikian, aspek spiritual dalam diri manusia
akan menentukan bagaimana ia memandang
sesuatu dalam hidup dan menentukan langkah
apa yang akan diambil untuk menghadapi
kehidupan. Spiritualitas sebagai pengalaman
integratif dari kehidupan seseorang yang
merupakan puncak dari nilai-nilai dan makna
hidup. ODHA menjalani hidupnya dengan
permasalahan-permasalahan yang ia hadapi,
baik masalah kesehatan fisik, masalah psikologis

Ns. Ani Syafriati, M.Kep & Ns. Lisda Maria, M.Kep.,Sp.Kep.Mat 6


dan juga masalah yang berkaitan dengan
lingkungan sosialnya yang membuat mereka
harus hidup dalam penderitaan.
Meskipun demikian, banyak juga individu
melalui pendekatan spiritual yang berhasil dalam
mengatasi kesulitan dan perasaan-perasaan
tidak menyenangkan akibat penderitaannya.
Melalui aspek spiritual mereka mampu
mengubah kondisi penghayatan dirinya dari
penghayatan tidak bermakna menjadi bermakna.
Kehendak untuk hidup secara bermakna 5
merupakan motivasi utama pada diri manusia.
Hasrat inilah yang memotivasi orang untuk
bekerja, berkarya dan melakukan kegiatan-
kegiatan penting yang lain dengan tujuan agar
hidupnya menjadi berharga dan dihayati secara
bermakna.
Bagi mereka yang beriman, Tuhan dan
agama merupakan sumber nilai dan makna
hidup yang sempurna yang seharusnya
mendasari makna-makna hidup pribadi yang
unik, dan spesifik. Salah satunya nilai bersikap
yaitu menerima dengan penuh ketabahan,
kesabaran, dan keberanian segala bentuk
penderitaan yang tidak mungkin dielakkan lagi,
seperti sakit yang tidak dapat disembuhkan,
kematian, dan menjelang kematian, setelah
segala usaha telah dilakukan secara maksimal.
Sikap menerima dengan penuh ketabahan dan
ikhlas atas hal-hal tragis yang tidak dapat
dielakkan lagi dapat mengubah pandangan

7 BUKU AJAR KEPERAWATAN HIV/AIDS


hidup yang semula diwarnai penderitaan menjadi
pandangan yang mampu melihat makna dan
hikmah dari penderitaan itu.

C. Pemeriksaan fisik dan diagnostik pada klien


dengan HIV/AIDS
Tes HIV harus mengikuti prinsip berupa 5
komponen dasar yang telah disepakati secara global
yaitu 5C (informed consent, confidentiality,
counseling, correct test results, connections to care,
treatment and prevention services). Prinsip 5C harus
diterapkan pada semua model layanan testing dan
konseling (TK) HIV. Diagnosis HIV dapat ditegakkan
dengan menggunakan 2 metode pemeriksaan, yaitu
pemeriksaan serologis dan virologis.
1) Metode pemeriksaan serologis
Antibodi dan antigen dapat dideteksi melalui
pemeriksaan serologis. Adapun metode
pemeriksaan serologis yang sering digunakan
adalah Rapid Immunochromatography test (tes
cepat) dan EIA (enzyme immunoassay). Secara
umum tujuan pemeriksaan tes cepat dan EIA
adalah sama, yaitu mendeteksi antibodi saja
(generasi pertama) atau antigen dan antibodi
(generasi ketiga dan keempat). Metode western
blot sudah tidak digunakan sebagai standar
konfirmasi diagnosis HIV lagi di Indonesia.

2) Metode pemeriksaan virologis


Pemeriksaan virologis dilakukan dengan
pemeriksaan DNA HIV dan RNA HIV. Saat ini

Ns. Ani Syafriati, M.Kep & Ns. Lisda Maria, M.Kep.,Sp.Kep.Mat 8


pemeriksaan DNA HIV secara kualitatif di
Indonesia lebih banyak digunakan untuk diagnosis
HIV pada bayi. Pada daerah yang tidak memiliki
sarana pemeriksaan DNA HIV, untuk menegakkan
diagnosis dapat menggunakan pemeriksaan RNA
HIV yang bersifat kuantitatif atau merujuk ke
tempat yang mempunyai sarana pemeriksaan
DNA HIV dengan menggunakan tetes darah
kering (dried blood spot/DBS). Pemeriksaan
virologis digunakan untuk mendiagnosis HIV pada
bayi berusia dibawah 18 bulan, infeksi HIV primer,
kasus terminal dengan hasil pemeriksaan antibodi
negatif namun gejala klinis sangat mendukung ke
arah AIDS, konfirmasi hasil inkonklusif atau
konfirmasi untuk dua hasil laboratorium yang
berbeda. Hasil pemeriksaan HIV dikatakan positif
apabila tiga hasil pemeriksaan serologis dengan
tiga metode atau reagen berbeda menunjukan
hasil reaktif, pemeriksaan virologis kuantitatif atau
kualitatif terdeteksi HIV.

D. Patofisiologi dan penatalaksanaan HIV/AIDS


1. Patofisiologi
HIV-1 adalah anggota subfamili lentivirus
dari retrovirus manusia. Penyakit yang disebabkan
lentivirus ditandai dengan onset mendadak dan
keterlibatan progresif sistem saraf pusat (SSP),
dan mengakibatkan gangguan sistem kekebalan.
HIV-1 adalah salah satu dari 5 virus pada famili
lentivirus. Virus lainnya adalah HIV-2 dan human
T-lymphotropic virus (HTLV) tipe I, II dan IV.

9 BUKU AJAR KEPERAWATAN HIV/AIDS

7
Retrovirus termasuk kedalam famili Retroviridae
dan memiliki ribonucleic acid (RNA) bergantung
deoxyribonucleic acid (DNA) polymerase
(transkriptase terbalik). HIV menginfeksi sel T
pembantu (T4 limfosit), makrofag, dan sel B. HIV
tidak secara langsung memengaruhi SSP atau
saraf perifer, astrosit, atau oligodendrosit. Infeksi
HIV pada SSP secara tidak langsung disebabkan
oleh neurotoksin yang diproduksi oleh makrofag
terinfeksi atau zat kimia yang dihasilkan oleh
disregulasi (ketidakteraturan) sitokin dan kemokin.
Sel T pembantu lebih mudah terinfeksi daripada
sel-sel lain. Deplesi sel T pembantu terjadi dalam
tahap berikut :
1) Setelah masuk ke pejamu, HIV melekat pada
membran sel target dengan cara melekat pada
molekul reseptornya, CD4.
2) Virus tidak terlapisi, dan RNA masuk ke sel.
3) Enzim yang diketahui transkriptase terbalik
dikeluarkan, dan RNA virus ditranskripsi ke
dalam DNA.
4) DNA yang baru terbentuk ini bergerak ke dalam
inti dan DNA sel.
5) Provirus dibuat ketika DNA virus
mengintegrasikan dirinya sendiri ke dalam DNA
seluler atau genom sel.
6) Setelah provirus pada tempatnya, materi
genetiknya bukan lagi murni DNA pejamu tetapi
sebagian DNA virus.
7) Sel dapat berfungsi abnormal.

Ns. Ani Syafriati, M.Kep & Ns. Lisda Maria, M.Kep.,Sp.Kep.Mat 10


8) Sel pejamu mati, dan tunas/anak virus
terbentuk. Virus baru sekarang menginfeksi sel
lain.

Kerusakan progresif pada sistem kekebalan


tubuh menyebabkan pengidap HIV (ODHA) amat
rentan dan mudah terjangkit berbagai macam-
macam penyakit/infeksi oportunistik. Masa
Jendela/window period adalah masa dimana
seseorang yang sudah terinfeksi HIV, namun pada
pemeriksaan antibodi di dalam darahnya masih
belum ditemukan/negatif. Masa jendela ini
biasanya berlangsung 3 bulan sejak infeksi awal.
Limfosit adalah bagian dari sel lekosit yang
memiliki fungsi spesifik untuk fagositosis, memori.
Limfosit terbagi 2 golongan utama yaitu limfosit T
dan B. Limfosit T adalah jenis limfosit yang
mengalami proses pematangan di timus (T) dan
memiliki fungsi dalam memori, sitotoksik terhadap
antigen/mikroorganisme asing. CD 4 (CD: cluster
of differentiation) adalah reseptor pada permukaan
sel limfosit T yang menjadi tempat melekatnya
virus HIV. Jumlah CD4+ limfosit T dalam plasma
adalah petunjuk progresivitas penyakit pada
infeksi HIV. Viral Load/ adalah beban virus yang
setara dengan jumlah virus dalam darah yang
dapat diukur dengan alat tertentu (antara lain
PCR). Antigen p24 adalah antigen yang terdapat
pada virus HIV yang dapat dideteksi 2-3 minggu
setelah terinfeksi.

11 BUKU AJAR KEPERAWATAN HIV/AIDS


Infeksi oportunistik dapat menyertai
penderita HIV dikarenakan keadaaan imun pasien
menurun. Infeksi oportunistik adalah infeksi yang
disebabkan organisme yang biasanya tetap
terkendali karena kerja dari sistem kekebalan
tubuh seluler yang mana pada ODHA sistem
kekebalan tubuhnya dirusak oleh HIV. Gastro
enteritis adalah penyebab diare pada ODHA yang
berhubungan dengan infeksi. Gejalanya adalah
diare, demam, mual, muntah, malaise, nyeri, dan
kejang abdominal. Penyebabnya akibat rotavirus,
adenovirus serotipe 40 dan 41, calicivirus,
Norwalk-like virus, small round virus (SRV),
astrovirus, coronavirus, dan torovirus. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa ODHA mungkin
mengalami gejala hepatitis A dalam jangka waktu
lebih lama, sehingga butuh waktu lebih lama untuk
pulih total. Masalah lain yang harus
dipertimbangkan ODHA dengan terapi ARV
adalah dapat berdampak buruk untuk hati.
Beberapa di antaranya dapat memperburuk gejala
hepatitis A. Maka penggunaan semua ARV
dihentikan dahulu sampai hepatitis A pulih atau
tingkat enzim hati kembali normal.
Virus hepatitis B (HBV) dapat menular sama
seperti HIV melalui hubungan seks dan Napza
dengan suntik. Virus hepatitis B terdapat dalam
darah, air mani, dan cairan vagina. Sama seperti
hepatitis A, hepatitis B juga dapat dicegah dengan
melakukan vaksinasi. Pada orang dengan
koinfeksi HBV/HIV, ART harus dimulai segera

Ns. Ani Syafriati, M.Kep & Ns. Lisda Maria, M.Kep.,Sp.Kep.Mat 12

9
tanpa memandang jumlah CD4 dan tanpa
memandang tahapan penyakit hati. melakukan
vaksinasi. Pada orang dengan koinfeksi HBV/HIV,
ART harus dimulai segera tanpa memandang
jumlah CD4 dan tanpa memandang tahapan
penyakit hati.
Herpes simpleks terdapat dua tipe virus,
yaitu HV-1 dan HSV-2 yang memiliki sifat hampir
sama. Infeksi virus herpes mampu menginfeksi sel
epitel mukosa atau sel limfosit. Kemudian
menjalar dari sel perifer menuju sel saraf dan
dapat bertahan selama bertahun-tahun sebelum
teraktivasi kembali. Lesi kulit yang kemerahan
berkembang menjadi macula yang mengeras dan
membentuk papula. Cairan pada lesi penuh
dengan virus yang infeksius. Pada ODHA, sel
imunitasnya tidak dapat menghambat infeksi
herpes sehingga herpes bersifat laten yang
mudah kambuh.
Diare Cryptosporidia disebabkan oleh infeksi
parasit Cryptosporidium yang efeknya lebih besar
pada pasien HIV. Gejalanya adalah diare terus
menerus yang sangat mengganggu dan juga
dapat menyebabkan kematian. Orang yang sangat
beririko terinfeksi oleh parasit ini adalah
homoseksual, orang yang dekat dengan orang
terinfeksi, penjaga hewan, dan anak kecil. Pada
orang sehat infeksinya akan sembuh dengan
sendirinya, tapi dapat bertahan lebih dari satu
bulan pada orang yang menderita imunitas
rendah.

13 BUKU AJAR KEPERAWATAN HIV/AIDS


Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi
kronis yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis yang biasanya
menyerang paru namun dapat juga menyerang
organ lain pada tubuh seperti tulang, ginjal,
jantung, otak, dan lain sebagainya. Bakteri masuk
melalui saluran pernafasan yang kemudian
menyebar ke organ tubuh bagian lain.
Tuberkulosis merupakan penyebab kematian pada
pasien HIV sekitar 40-50%. Kematian akibat tidak
terdiagnosis adanya tuberkulosis ekstra paru
sehingga tidak adanya pengobatan yang diberikan
pada pasien. Sekitar 60% ODHA yang terinfeksi
tuberkulosis akan sakit tuberkulosis aktif. Pasien
HIV dengan tuberkulosis disebut koinfeksi TB-HIV.
ODHA berisiko 10 kali lebih besar mengalami
infeksi tuberkulois dibanding orang normal.
Kandidiasis disebabkan oleh spesies jamur
Candida albicans yang secara normal ditemukan
di mulut, tenggorokan, usus, kulit, dan sering
dijumpai di vagina pada perempuan. Infeksi terjadi
akibat adanya pertumbuhan organisme yang
berlebihan. Gejala yang timbul adalah edema,
eritema, iritasi pada vulva dan vagina, serta pada
pemeriksaan dalam akan ditemukan plak-plak
putih yang pekat seperti keju. Pada laki-laki, gejala
yang timbul adalah rasa gatal, panas, dan iritasi
pada glans dan prepusium, serta nampak bercak-
bercak putih menyerupai keju pada glans.
Banyaknya pasien HIV dengan kandidiasis
berhubungan dengan banyaknya nilai CD4≤200

Ns. Ani Syafriati, M.Kep & Ns. Lisda Maria, M.Kep.,Sp.Kep.Mat 14


sel/µl. Semakin rendah nilai CD4 pasien HIV maka
semakin mudah terserang penyakit infeksi
oportunistik.

2. Penatalaksanaan
a. Pengkajian
Untuk membantu klien meningkatkan
perilaku pemeliharaan kesehatan, perawat
seharusnya tidak membatasi pengkajian
terhadap status klinis klien saat ini. Sebagai
gantinya, fokus pada masalah-masalah
potensial klien yang mungkin dihadapi selama
sakit. Misalnya, jika klien tidak memiliki
asuransi kesehatan atau uang untuk membayar
kunjungan tindak lanjut, perawat seharusnya
berkonsultasi dengan pekerja sosial. Terdapat
sumber alternatif bagi jasa pelayanan
kesehatan, seperti program pendampingan
obat HIV/AIDS. Jika klien tinggal sendiri dan
tanpa seorang berniat membantu, klien
mungkin harus ditempatkan di dalam institusi
ketika sakit berkembang. Sebagai koordinator
asuhan, berikan informasi yang siap sedia
untuk mengidentifikasi masalah dan rencana ke 11
depan.
Sebelum melakukan pengajaran, evaluasi
tingkat pengetahuan klien mengenai infeksi
HIV. Beberapa klien mengetahui sedikit,
sementara yang lain mungkin berpengetahuan
luas. Jangan membuat asumsi, usahakan untuk
mengkaji secara nyata apakah klien tahu

15 BUKU AJAR KEPERAWATAN HIV/AIDS


mengenai penularan dan perilaku
meningkatkan kesehatan.
Beban psikologis penyakit HIV dapat
diatasi, titik krisis ketika perawat dapat
mengantisipasi kecemasan, ketakutan, atau
depresi meliputi :
 Waktu awal diagnosis positif HIV
 Waktu awal diagnosis AIDS
 Perubahan pengobatan
 Perkembangan gejala baru
 Masalah berulang dan kambuh
 Sakit terminal

Konflik psikologis yang umumnya klien


alami meliputi ketakutan menularkan HIV
kepada orang lain, kekhawatiran menetap
mengenai perkembangan infeksi, rasa bersalah
tentang gaya hidup sebelumnya, dan
perubahan di dalam hubungan pribadi. Stresor
sosial meliputi penyingkapan status HIV
seseorang, stigma berkaitan terhadap status,
ketidakamanan tentang pekerjaan dan
asuransi, serta kesepian dan isolasi sosial.
b. Masalah keperawatan
Hampir semua pasien HIV akan
berkembang dengan penyakit penyerta lainnya
dan AIDS. Kecepatan perkembangan penyakit
tersebut terhgantung dari jenis virus dan
karakteristik masingmasing pasien. HIV
menginfeksi kedua jaringan syaraf baik pusat

Ns. Ani Syafriati, M.Kep & Ns. Lisda Maria, M.Kep.,Sp.Kep.Mat 16


maupun perifer sejak awal perkembangan
penyakitnya, dan sering menimbulkan masalah
neurologik dan psikiatrik yang bermacam-
macam. Seiring dengan perkembangan infeksi
HIV dan penurunan derajat imunitas seseorang
maka pasien cenderung untuk mendapatkan
infeksi oportunistik dan kondisi patologik
lainnya. Infeksi oportunistik dan kanker yang
berhubungan dengan AIDS menyerang tubuh
yang memiliki system imunitas yang rendah.
Infeksi oportunistik dan penyakit lain yang
sering terjadi adalah:
1. Tuberkulosis
2. Pneumonia (biasanya pneumonia
Pneumocystis carinii)
3. Infeksi jamur berulang di kulit, mulut dan
tenggorokan
4. Infeksi gastrointestinal (Cryptosporidiosis)
5. Diare kronis dengan penurunan berat
badan
6. Infeksi neurologik (Cryptococcal, atau
meningitis sub-akut)
7. Sarkoma Kaposi
8. Demam tanpa sebab yang jelas
9. Kelainan neurologik

Perawat perlu juga mempelajari


penggunaan obat-obat untuk pengobatan pada
penyakit yang berhubungan dengan HIV/AIDS
atau masalah kesehatan yang lainnya,
terutama masalah yang mungkin timbul oleh

17 BUKU AJAR KEPERAWATAN HIV/AIDS


karena status HIV pasiennya, seperti misalnya
TB, penyakit pernapasan yang lain, dan diare
kronis. Sebagai contoh, seorang ODHA yang
menerima pengobatan anti tuberkulosis tidak
boleh diberikan obat-obat tetrtentu karena
dapat menimbulkan reaksi berat. Beberapa
obat antiretroviral dapat menimbulkan interaksi
dengan obat lain. Perlu sekali untuk
memastikan bahwa obat yang diresepkan tidak
memiliki interaksi dengan obat lain yang
dimakan ODHA yang mungkin akan
memberikan efek buruk.

Tabel 1. Masalah Keperawatan


Diagnosa Intervensi Keperawatan
Keperawatan
Diare Mencegah dehidrasi, berikan banyak 13
minum dan berikan makanan yang mudah
dicerna dan perawatan kulit perianal
Hipertermi dan nyeri Berikan banyak minum, obat penurun
panas dan anti nyeri
Gangguan integritas Oleskan pelembab, lakukan masase untuk
kulit memperlancar sirkulasi darah, ramuan
tradisional dan perawatan kulit teratur
untuk mencegah terjadinya peradangan
Pola nafas tidak Ajarkan teknik relaksasi untuk mengurangi
efektif ansietas, berikan oksigen dan obat bila
perlu, posisi yang enak untuk
meringankan pernapasan
Resiko konfusi akut Lakukan pemeriksaan fisik dan nilai status
kognitif untuk memberikan asuhan
perawatan yang tepat, misalnya, bila
pasien tampak bingung, bicara dengan

Ns. Ani Syafriati, M.Kep & Ns. Lisda Maria, M.Kep.,Sp.Kep.Mat 18


cara lebih perlahan dan ulangi setiap
informasi/ instruksi yang diberikan
Defisit nutrisi Berikan makanan yang mudah dicerna,
anjurkan untuk diet tinggi lemak dan
protein

c. Perawatan HIV/AIDS
Perawatan HIV dan AIDS menyeluruh
berkesinambungan adalah suatu konsep
perawatan yang menyeluruh membentuk suatu
jejaring kerja di antara semua sumber daya yang
ada dalam rangka memberikan pelayanan dan
perawatan holistik, menyeluruh dan dukungan
yang luas bagi ODHA dan keluarganya.
Perawatan menyeluruh tersebut meliputi pula
perawatan di rumah sakit dan di rumah selama
perjalanan penyakit. Sebelum diputuskan untuk
memberikan perawatan menyeluruh
berkesinambungan perlu dipertimbangkan
beberapa hal antara lain sumber daya yang
memadai yaitu dukungan dana, bahan dan alat,
sumber daya manusia, baik dari pihak
pemerintah maupun dari masyarakat serta
jalinan kerjasama yang baik di antara mereka.
Konsep mata rantai perawatan HIV dan AIDS
menyeluruh berkesinambungan di bangun atas
dasar pelayanan perawatan HIV dan AIDS
dalam kerja sama tim dan harus meliputi
beberapa aspek sebagai berikut:
 Konseling dan Tes HIV Sukarela (Voluntary
Counseling and Testing/VCT) adalah titik awal

19 BUKU AJAR KEPERAWATAN HIV/AIDS


pelayanan dan perawatan yang
berkesinambungan dan merupakan tempat bagi
ODHA untuk datang bertanya, belajar, dan
menerima status HIV seseorang dengan privasi
yang terjaga, mampu menjangkau dan
menerapkan perawatan dan upaya pencegahan
yang efektif.
 Tatalaksana klinis infeksi oportunistik dengan
diagnosis dini yang memadai, pengobatan yang
rasional, pemulangan yang terencana, dan
kemampuan untuk melakukan rujukan ke
penyelenggara pelayanan yang lain.
 Asuhan keperawatan yang mampu memberikan
kenyamanan pada pasien dan higienis, mampu
mengendalikan infeksi dengan baik, memberikan
perawatan paliatif dan menangani kasus
terminal, melatih dan mendidik keluarga tentang
perawatan di rumah dan pencegahan penularan
serta melakukan promosi pemakaian kondom.
 Perawatan di Rumah dan di Masyarakat
termasuk di antaranya melatih relawan dan
anggota keluarga tentang tatacara perawatan,
pengobatan gejala yang sering muncul, serta
perawatan paliatif.
 Promosi gizi yang baik, dukungan psikologis dan
emosional, dukungan spiritual dan konseling.
 Membentuk kelompok dukungan masyarakat
untuk memberikan dukungan emosional pada
ODHA dan para pendampingnya. Dalam
kelompok ini dapat dijajagi kesempatan untuk 15

Ns. Ani Syafriati, M.Kep & Ns. Lisda Maria, M.Kep.,Sp.Kep.Mat 20


meningkatkan dan menciptakan sumber
pendapatan.
 Mengurangi dan menyingkirkan stigma,
membangun sikap positif masyarakat terhadap
ODHA dan keluarganya, termasuk para petugas
kesehatan baik di jajaran pemerintah maupun
swasta dan di tempat kerja.
 Dukungan sosial atau rujukan kepada pelayanan
sosial untuk mengatasi permasalahan tempat
tinggal, pekerjaan, bantuan hokum, serta
memantau dan mencegah terjadinya
diskriminasi.
 Pendidikan dan pelatihan tentang tatalaksana
dan pencegahan HIV dan AIDS bagi para
pendamping ODHA (petugas kesehatan,
keluarga, tetangga dan relawan)
 Membangun kerja sama antar penyelenggara
layanan (klinik, kelompok sosial dan kelompok
dukungan/LSM) agar layanan terjangkau melalui
sistem rujukan yang saling mendukung

E. Stigma pada ODHA


Masalah yang terkait HIV/AIDS terutama pada
ODHA yaitu adanya stigma dan diskriminasi di
masyarakat. Salah satu bentuk stigma dan
diskriminasi yang dilakukan pada lingkungan
komunitas diantaranya pengucilan, tidak mau
berjabat tangan atau melakukan kontak dengan
ODHA. Stigma terhadap ODHA tergambar juga
dalam sikap sinis, perasaan takut yang berlebihan,
dan pengalaman negatif terhadap ODHA. Banyak

21 BUKU AJAR KEPERAWATAN HIV/AIDS


yang beranggapan bahwa orang yang terinfeksi
HIV/AIDS layak mendapatkan hukuman akibat
perbuatannya sendiri dan ODHA merupakan orang
yang bertanggung jawab terhadap penularan
HIV/AIDS.
Bagi orang dengan HIV/AIDS (ODHA),
dampaknya tidak hanya berdampak pada
perubahan kesehatan fisiologis, tetapi juga
berdampak psikologis. Masyarakat masih
menganggap HIV / AIDS sebagai penyakit
memalukan karena dosa atau kelakuan buruk.
Dengan demikian, stigma terhadap pasien
menyebabkan tekanan psikologis terutama pada
penderita, keluarga mereka dan kerabat dekat.
Beberapa kondisi psikososial akan berubah secara
dramatis ketika seseorang menyatakan atau
diketahui menderita HIV / AIDS. Sebagian besar
perubahan psikososial yang dapat diidentifikasi
seperti hidup dalam stres, depresi, perubahan
sosial dan perilaku. Realitas penolakan terhadap
orang dengan HIV / AIDS akan berpotensi
mengarah pada progresifitas infeksi HIV, karena
orang dengan penyakit ini akan menyembunyikan
diagnosis dan kondisi mereka. Stigma masyarakat
yang negatif sering mengatakan bahwa ODHA
adalah sebagai akibat dari karma atau hukuman
dari Tuhan.
Selain pandangan negatif, ODHA menderita
berbagai bentuk diskriminasi seperti pemisahan
utilitas di antara anggota keluarga, dikecualikan dari
masyarakat dan lingkungan kerja. Konsekuensi dari

Ns. Ani Syafriati, M.Kep & Ns. Lisda Maria, M.Kep.,Sp.Kep.Mat 22

17
pelabelan negatif dan diskriminasi, dampak
psikologis akan dialami oleh ODHA. Beban
psikososial juga terjadi pada orang dengan HIV /
AIDS. Sebagian besar ODHA mendapatkan label
negatif dan diskriminasi dari lingkungan mereka.
Perlakuan negatif yang mereka terima seperti:
ditelantarkan oleh pasangan mereka, terisolasi dari
keluarga, kehilangan hak-hak mereka dalam
keluarga dan dikeluarkan dari lingkungan sosial. Ini
adalah efek psikologis pada orang-orang ini akan
membawa mereka ke kesedihan, marah dan
bahkan depresi. Pada akhirnya, orang-orang ini
akan menjadi antisosial dan akan menyebabkan
gangguan kesehatan mental karena kurangnya
interaksi sosial. Meski begitu, dengan hadirnya
stigma dan diskriminasi di antara orang dengan HIV
/ AIDS, beberapa di antaranya mampu bertahan
dan beradaptasi. Hidup dengan stigma dan
diskriminasi sosial telah membuat ODHA
menghadapi situasi tertentu sehingga mereka tidak
hanya perlu mengatasi status kesehatan mereka,
tetapi juga, mereka perlu mengembangkan
mekanisme koping untuk mengatasi tekanan
psikososial. Jika situasi yang dialami oleh ODHA
tidak memiliki dukungan atau solusi akan
menyebabkan masalah lain tidak hanya gangguan
kesehatan mental tetapi juga masalah sosial. Solusi
yang diusulkan diperlukan untuk mengatasi situasi
tersebut.
Masyarakat beranggapan bahwa ODHA
merupakan aib bagi keluarga penderita sehingga

23 BUKU AJAR KEPERAWATAN HIV/AIDS


menyebabkan ruang gerak ODHA menjadi semakin
kecil dan bahkan tidak diberi peluang untuk
mengekspresikan diri dan kemampuannya.
Diskriminasi dan stigma akhirnya menyebabkan
sulitnya kepatuhan berobat dan mengganggu
perbaikan kualitas hidup ODHA. Selain itu, dampak
adanya stigma yaitu berdampak terhadap program
penanggulangan HIV/AIDS yaitu orang yang
mempunyai risiko terkena HIV/AIDS menjadi
enggan melakukan VCT. Keterlibatan masyarakat
yang kurang dalam setiap upaya pencegahan dan
penanggulangan HIV/AIDS mengakibatkan
munculnya stigma dan diskriminasi. Stigma dan
diskriminasi dapat terjadi karena kurang
mendapatkan informasi yang tepat mengenai
HIV/AIDS, khususnya dalam mekanisme penularan
HIV/AIDS. Perilaku diskriminatif pada ODHA tidak
hanya melanggar hak asasi manusia, melainkan
juga tidak membantu upaya pencegahan dan
penanggulangan HIV/AIDS.
Stigma dan diskriminasi terhadap ODHA
dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan dan persepsi.
Bukan hanya pengetahuan yang kurang, namun
pengalaman atau sikap negatif terhadap penularan
HIV dianggap sebagai faktor yang dapat
mempengaruhi munculnya stigma dan diskriminasi.
Pendapat tentang penyakit AIDS merupakan
penyakit kutukan akibat perilaku amoral juga sangat
memengaruhi orang bersikap dan berperilaku
terhadap ODHA.

Ns. Ani Syafriati, M.Kep & Ns. Lisda Maria, M.Kep.,Sp.Kep.Mat 24


F. Perilaku beresiko
Center for Disease Control (CDC) melaporkan
sebuah informasi bagaimana HIV ditularkan,
melalui hubungan seksual 69%, jarum suntik untuk
obat lewat intravena 24%, transfusi darah yang
terkontaminasi atau darah pengobatan dalam
pengobatan kasus tertentu 3%, penularan sebelum
kelahiran 1%, dan model penularan yang belum
diketahui 3%. Besarnya peluang HIV ditularkan
melalui hubungan seksual membuat hubungan
berganti-ganti pasangan menjadi faktor yang perlu
diwaspadai.
1. Wanita pekerja seksual
Wanita pekerja seksual dan pelanggannya
merupakan orang yang sangat berisiko dalam
menularkan penyakit HIV/AIDS karena
melakukan perilaku seksual yang tidak aman.
Wanita pekerja seksual pada umumnya tidak
memiliki posisi yang kuat dalam pemakian
kondom dengan pelanggannya. Pendidikan,
pengetahuan, sikap dan ketersediaan sarana
menjadi faktor yang mempengaruhi perilaku
seseorang yang diperkuat dengan dukungan
sosial dari lingkungan. Dalam berhubungan
seksual tidak semua pelanggan wanita pekerja
seksual mau menggunakan kondom meskipun
telah dilakukan negosiasi oleh wanita pekerja
seksual, sehingga tidak jarang pula wanita
pekerja seksual tetap melayani pelanggan
tersebut dengan alasan takut bayaran kurang.
Dukungan mucikari juga tidak berhubungan

25 BUKU AJAR KEPERAWATAN HIV/AIDS


dengan perilaku pencegahan, sebagian besar
wanita pekerja seksual hanya mendapatkan
dukungan dalam hal anjuran penggunaan
kondom dan tidak dalam upaya pencegahan
lainnya.
2. Pengguna Napza Suntik
Pengguna napza suntik merupakan salah
satu populasi berisiko tinggi yang rawan
terinfeksi HIV. Pengguna napza suntik tidak
hanya menyumbang kasus HIV melalui perilaku
menyuntik yang tidak aman, tetapi juga melalui
perilaku seksual berisiko. Perilaku berisiko HIV
pada pengguna napza suntik terdiri dari perilaku
penggunaan peralatan suntik secara bersama- 19
sama (sharing) tanpa tidak disertai dengan
bleaching dan perilaku seks berisiko yaitu
berganti-ganti pasangan dan tidak menggunakan
kondom pada saat berhubungan seks.
3. Seks Pranikah
Seks pranikah bagi masyarakat Indonesia
masih dipandang sebagai perbuatan yang tidak
bisa diterima baik secara sosial maupun budaya.
Meskipun saat ini kaum muda cenderung lebih
toleran terhadap hal ini. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa banyak kaum muda yang
melakukan hubungan seks pranikah. Sikap
terhadap seksualitas adalah keyakinan, evaluasi
dan kecenderungan untuk bertindak responden
terhadap berbagai hal yang terkait dengan
seksualitas. Pengaruh dari teman sebaya dapat
menjadi positif maupun negatif, dan sikap yang

Ns. Ani Syafriati, M.Kep & Ns. Lisda Maria, M.Kep.,Sp.Kep.Mat 26


negatif cenderung akan merusak dan
mengabaikan nilai-nilai dan kontrol orang tua.
4. Secara Kontak Seksual
Kontak seksual merupakan salah satu cara
utama transmisi HIV di berbagai belahan dunia.
Virus ini dapat ditemukan dalam cairan semen,
cairan vagina, cairan serviks. Virus akan
terkonsentrasi dalam cairan semen, terutama
bila terjadi peningkatan jumlah limfosit dalam
cairan, seperti pada keadaan peradangan
genitalia misalnya uretritis, epididimitis, dan
kelainan lain yang berkaitan dengan penyakit
menular seksual. Virus juga dapat ditemukan
pada usapan serviks dan cairan vagina.
Transmisi infeksi HIV melalui hubungan seksual
lewat anus lebih mudah karena hanya terdapat
membran mukosa rektum yang tipis dan mudah
robek, anus sering terjadi lesi. Pada kontak seks
pravaginal, kemungkinan transmisi HIV dari laki-
laki ke perempuan diperkirakan sekitar 20 kali
lebih besar daripada perempuan ke laki-laki. Hal
ini disebakan oleh paparan HIV secara
berkepanjangan pada mukosa vagina, serviks,
serta endometrium dengan semen yang
terinfeksi.
5. Transmisi Melalui Darah atau Produk Darah
HIV dapat ditransmisikan melalui darah dan
produk darah. Dapat juga pada individu yang
menerima transfusi darah atau produk darah
yang mengabaikan tes penapisan HIV. Namun
pada saat ini hal tersebut jarang terjadi dengan

27 BUKU AJAR KEPERAWATAN HIV/AIDS


semakin meningkatnya perhatian dan semakin
baiknya tes penapisan terhadap darah yang
akan ditransfusikan. Diperkirakan bahwa 90-
100% orang yang mendapat transfusi darah
yang tercemar HIV akan mengalami infeksi.
Transfusi darah lengkap (whole blood), sel darah
merah (packed red blood cell), trombosit,
leukosit, dan plasma semuanya berotensi
menularkan HIV.
6. Transmisi pada Petugas Kesehatan dan Petugas
Laboratorium
Meskipun resiko penularan kecil, tetapi
resiko tetap ada bagi kelompok pekerjaan
beresiko terpapar HIV seperti petugas
kesehatan, petugas laboratorium, dan orang
yang bekerja dengan spesimen atau bahan yang
terinfeksi HIV, terutama bila menggunakan
benda tajam.
7. Faktor resiko epidemiologis infeksi HIV adalah
sebagai berikut :
a. Perilaku beresiko tinggi
1) Hubungan seksual dengan
pasangan beresiko tinggi tanpa
menggunakan kondom.
2) Penggunaan narkotika intravena, terutama
bila pemakaian jarum secara bersamaan
tanpa sterilisasi yang memadai.
3) Hubungan seksual yang tidak aman:
multipartner, pasangan seks individu yang
diketahui terinfeksi HIV, kontak seks per
anal, perilaku seks menyimpang atau

Ns. Ani Syafriati, M.Kep & Ns. Lisda Maria, M.Kep.,Sp.Kep.Mat 28


Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender
(LGBT).
b. Mempunyai riwayat infeksi menular seksual
c. Riwayat menerima transfusi darah berulang
tanpa tes penapisan.
d. Riwayat perlukaan kulit, tato, tindik, atau
sirkumsisi dengan alat yang tidak disterilisasi. 21
G. Asuhan keperawatan penatalaksanaan pasien
dengan ARV
Penggunaan obat Antiretroviral (ARV)
kombinasi pada tahun 1996 mendorong revolusi
dalam pengobatan orang dengan HIV dan AIDS
(ODHA) seluruh dunia. Meskipun belum mampu
menyembuhkan HIV secara menyeluruh, namun
secara dramatis terapi ARV menurunkan angka
kematian dan kesakitan, meningkatkan kualitas hidup
ODHA, dan meningkatkan harapan masyarakat,
sehingga pada saat ini HIV dan AIDS telah diterima
sebagai penyakit yang dapat dikendalikan dan tidak
lagi dianggap sebagai penyakit yang menakutkan.
Sejak digunakan terapi antiretroviral kombinasi, atau
disebut dengan highly active anti retroviral therapy
(HAART), harapan hidup pasien HIV terus
meningkat. Namun demikian, penggunaan obat yang
lama dan aktivasi imun kronik membuat kelompok ini
rentan terhadap efek samping obat dan komplikasi
lainnya.
Hal ini menyebabkan adanya risiko
ketidakpatuhan yang akhirnya dapat menyebabkan
kegagalan terapi. Kemampuan virus HIV untuk

29 BUKU AJAR KEPERAWATAN HIV/AIDS


bermutasi dan bereproduksi sendiri ketika
berhadapan dengan obat antiretroviral atau disebut
dengan HIV drug resistance (HIVDR) juga menjadi
masalah yang dikhawatirkan secara global karena
dapat menyebabkan kegagalan pengobatan dan
penyebaran lebih lanjut terhadap HIV yang resistan
terhadap obat. HIVDR dapat mengurangi keefektifan
pemilihan teraupetik sehingga mempengaruhi
kemampuan penekanan virus.
Infeksi HIV merupakan penyakit kronis yang
dapat dikendalikan dengan pemberian obat ARV
seumur hidup. Oleh karena itu diperlukan layanan
yang mudah dijangkau untuk mejaga
ketersinambungan perawatan dan pengobatan
pasien. Layanan ini pada awalnya hanya tersedia di
rumah sakit rujukan ARV saja. Ketersediaan layanan
perlu diperluas hingga ke tingkat puskesmas atau
puskesmas pembantu, bahkan polindes/poskesdes
terutama untuk daerah dengan beban HIV yang
besar seperti Papua dan Papua Barat serta daerah
dengan geografi sulit dan memiliki sumber daya
terbatas (daerah tertinggal, perbatasan dan
kepulauan/ DTPK). Mengingat infeksi HIV merupakan
kondisi kronis dengan di antaranya terjadi kondisi
akut maka pelayanannya membutuhkan perawatan
akut, kronis dan paliatif yang meliputi fase seseorang
belum terpapar hingga masuk fase terminal.
Diperlukan paket pengobatan dan perawatan kronis
secara komprehensif termasuk pengobatan ARV dan
layanan untuk mengurangi penularan HIV,

Ns. Ani Syafriati, M.Kep & Ns. Lisda Maria, M.Kep.,Sp.Kep.Mat 30


pencegahan penyakit dan meningkatkan kualitas
hidup ODHA.
Dosis pertama profilaksis pasca-pajanan harus
selalu ditawarkan secepat mungkin setelah pajanan
dalam waktu tidak lebih dari 3 kali 24 jam, dan jika
perlu, tanpa menunggu konseling dan tes HIV atau
hasil tes dari sumber pajanan. Strategi ini sering
digunakan jika yang memberikan perawatan awal
adalah bukan ahlinya, tetapi selanjutnya dirujuk
kepada dokter ahli dalam waktu singkat. Langkah
selanjutnya setelah dosis awal diberikan, adalah agar
akses terhadap keseluruhan pasokan obat profilaksis
pasca-pajanan selama 28 hari dipermudah.
Setiap tatalaksana pajanan berisiko harus
selalu dilakukan tindak lanjut, terlebih pada yang
mendapatkan profilaksis pasca-pajanan seperti
halnya pemberian terapi ARV pada umumnya.
Tindakan yang diperlukan meliputi:
a. Evaluasi laboratorium, termasuk tes HIV pada
saat terpajan dan 6 minggu, 3 bulan, dan 6 bulan
setelahnya; tes HbsAg bagi yang terpajan
dengan risiko Hepatitis B
b. Pencatatan
c. Follow-up dan dukungan, termasuk tindak lanjut
klinis atas gejala infeksi HIV, Hepatitis B, efek
samping obat profilaksis pasca-pajanan,
konseling berkelanjutan untuk kepatuhan terapi
ARV, dan sebagainya.
23
Tabel 2. Paduan Obat ARV (Kemenkes RI, 2016)
Orang Yang Paduan ARV

31 BUKU AJAR KEPERAWATAN HIV/AIDS


Terpajan
Remaja dan Pilihan TDF + 3TC (FTC) + LPV/r
dewasa Alternatif TDF + 3TC (FTC) + EFV atau
AZT + 3TC + LPV/r
Anak (< 10 Pilihan AZT + 3TC + LPV/r
tahun) Alternatif TDF + 3TC (FTC) + LPV/r
Dapat menggunakan EFV/NVP untuk
NNRTI

Tabel 3. Dosis obat ARV untuk profilaksis pasca-pajanan


HIV bagi orang dewasa dan remaja (Kemenkes RI, 2016)
Nama obat ARV Dosis
Tenofovir (TDF) 300mg sekali sehari
Lamivudin (3TC) 150 dua kali sehari atau 300mg
sekali sehari
Emtricitabin (FTC) 200mg sekali sehari
Zidovudin (AZT) 300mg dua kali sehari
Lopinavir/ritonavir (LPV/r) 200mg/50mg dua kali sehari

Pengidap HIV memerlukan Antiretroviral (ARV)


untuk menurunkan jumlah HIV dalam tubuh agar
tidak berlanjut ke stadium AIDS. Terapi ARV
mencegah terjadinya infeksi oportunistik dengan
berbagai komplikasinya. Sehingga penting bagi
penderita HIV/AIDS mematuhi terapi ARV untuk
menekan perkembangan virus dan hidup normal
lebih lama.
Pemberian obat penyerta selain obat
antiretroviral dimaksudkan untuk mengatasi keluhan
lain selain penyakit utama. Pasien yang terinfeksi
HIV secara akut biasanya tanpa gejala atau
menunjukkan gejala terkait infeksi virus lainnya

Ns. Ani Syafriati, M.Kep & Ns. Lisda Maria, M.Kep.,Sp.Kep.Mat 32


seperti demam, myalgia, faringitis, atau ruam. Dalam
pedoman pengobatan antiretroviral, dikatakan bahwa
pemberian terapi penyerta dimaksudkan untuk terapi
pencegahan infeksi oportunistik, mengatasi efek
samping obat antiretroviral, maupun untuk mengatasi
infeksi oportunistik.
Menurut Permenkes No.87 Tahun 2014, obat
penyerta yang paling banyak digunakan oleh pasien
adalah kotrimoksasol yaitu 48% untuk kotrimoksasol
tablet dan 7% untuk kotrimoksasol suspensi.
Pemberian kotrimoksasol merupakan bagian dari
pelayanan HIV dimana digunakan sebagai
pengobatan pencegahan pada ODHA dewasa,
wanita hamil dan anak untuk Pneumocystis
pneumonia, toksoplasmosis dan infeksi bakteri.

H. Kewaspadaan universal precaution


Pada pengendalian HIV, upaya pencegahan
meliputi beberapa aspek yaitu penyebaran
informasi, promosi penggunaan kondom, skrining
darah pada darah donor, pengendalian IMS yang
adekuat, penemuan kasus HIV dan pemberian ARV
sedini mungkin, pencegahan penularan dari ibu ke
anak, pengurangan dampak buruk, sirkumsisi,
pencegahan dan pengendalian infeksi di Fasilitas
kesehatan dan profilaksis pasca pajanan untuk
kasus pemerkosaan dan kecelakaan kerja.
Pada fasilitas kesehatan seperti rumah sakit,
puskesmas, dan pelayanan kesehatan terpadu
lainnya, Health-care Associated Infections (HAIs)

33 BUKU AJAR KEPERAWATAN HIV/AIDS

25
merupakan komplikasi yang paling sering terjadi di
pelayanan kesehatan. HAIs selama ini dikenal
sebagai Infeksi Nosokomial atau disebut juga
sebagai Infeksi di rumah sakit ”Hospital-Acquired
Infections” merupakan persoalan serius karena
dapat menjadi penyebab langsung maupun tidak
langsung kematian pasien. Meskipun tak berakibat
kematian, pasien dirawat lebih lama sehingga
pasien harus membayar biaya rumah sakit yang
lebih banyak. HAIs adalah penyakit infeksi yang
pertama muncul (penyakit infeksi yang tidak berasal
dari pasien itu sendiri) dalam waktu antara 48 jam
dan empat hari setelah pasien masuk rumah sakit
atau tempat pelayanan kesehatan lainnya, atau
dalam waktu 30 hari setelah pasien keluar dari
rumah sakit. Dalam hal ini termasuk infeksi yang
didapat dari rumah sakit tetapi muncul setelah
pulang dan infeksi akibat kerja terhadap pekerja di
fasilitas pelayanan kesehatan.
Pasien, petugas kesehatan, pengunjung dan
penunggu pasien merupakan kelompok yang
berisiko mendapat HAIs. Infeksi ini dapat terjadi
melalui penularan dari pasien kepada petugas, dari
pasien ke pasien lain, dari pasien kepada
pengunjung atau keluarga maupun dari petugas
kepada pasien. Dengan demikian akan
menyebabkan peningkatan angka morbiditas,
mortalitas, peningkatan lama hari rawat dan
peningkatan biaya rumah sakit. Program
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) sangat
Penting untuk melindungi pasien, petugas juga

Ns. Ani Syafriati, M.Kep & Ns. Lisda Maria, M.Kep.,Sp.Kep.Mat 34


pengunjung dan keluarga dari resiko tertularnya
infeksi karena dirawat, bertugas juga berkunjung ke
suatu rumah sakit atau fasilitas pelayanan
kesehatan lainnya. Keberhasilan program PPI perlu
keterlibatan lintas profesional: Klinisi, Perawat,
Laboratorium, Kesehatan Lingkungan, Farmasi,
Gizi, Sanitasi dan Housekeeping, dan lain-lain
sehingga perlu wadah berupa Komite Pencegahan
dan Pengendalian Infeksi.
Menurut Program Pengendalian HIV AIDS
dan PIMS tahun 2016, untuk prinsipnya PPI pada
HIV sama dengan kegiatan PPI pada umumnya.
Infeksi pada pajanan okupasional di layanan
kesehatan dapat dicegah dengan mentaati praktek
pencegahan dan pengendalian infeksi yang standar
antara lain kebersihan tangan, Alat Pelindung Diri
(APD), etika batuk/kebersihan pernafasan,
penempatan pasien, pengelolaan alat kesehatan
bekas pakai, pengelolaan lingkungan, pengelolaan
linen, praktik penyuntikan yang aman, praktik
pencegahan infeksi untuk prosedur lumbal punksi,
perlindungan dan kesehatan karyawan dengan
melaksanakan tatalaksana pasca pajanan. Untuk
tatalaksan pasca pajanan HIV antara lain yaitu :
1. Cuci segera setelah terjadinya pajanan dan lakukan
tindakan darurat pada tempat pajanan
2. Telaah pajanan
- Cara pajanan
- Bahan pajanan
- Status infeksi sumber pajanan
- Kerentanan

35 BUKU AJAR KEPERAWATAN HIV/AIDS


3. Tentukan terapi profilaksis pasca-pajanan (PPP)
yang dibutuhkan
4. Pencatatan
5. Tes HIV atau anti HBs segera setelah terjadinya
pajanan
6. Tindak lanjut
- Evaluasi laboratorium
- Follow-up dan dukungan psikososial

I. VCT (Voluntary Counselling and Testing) dan


dasar-dasar konseling bagi pasien dengan
HIV/AIDS
Tingginya prevalensi masalah HIV/AIDS saat
ini bukan hanya masalah kesehatan dari penyakit
menular semata, tetapi sudah menjadi masalah
kesehatan masyarakat yang sangat luas. Oleh
karena itu penanganan tidak hanya dari segi medis
tetapi juga dari psikososial dengan berdasarkan
pendekatan kesehatan masyarakat melalui upaya
pencegahan primer, sekunder dan tertier. Salah satu
upaya tersebut adalah deteksi dini (screening) untuk
mengetahui status seseorang sudah terinfeksi HIV
atau belum melalui konseling dan testing HIV/AIDS
suka rela (VCT), bukan dipaksa atau diwajibkan.
Program VCT dapat dilakukan berdasarkan
kebutuhan klien dengan memberikan layanan dini.
berupa konseling dan KIE (komunikasi, informasi dan
27
edukasi) seperti pemahaman HIV, pencegahan
penularan dari ibu ke anak (Prevention of Mother To
Child Transmission-PMTCT) dan akses terapi infeksi

Ns. Ani Syafriati, M.Kep & Ns. Lisda Maria, M.Kep.,Sp.Kep.Mat 36


oportunistik, seperti tuberkulosis (TBC) dan infeksi
menular seksual).
Infeksi HIV membutuhkan edukasi dan
dukungan agar pasien dapat mandiri untuk
mengurusi kondisi kesehatan sendiri. Meskipun
petugas kesehatan di klinik dan masyarakat dapat
membantu, pasien tetap harus belajar mengatasi
penyakit mereka sendiri, mengungkapkan status
mereka kepada orang yang mereka percaya agar
mereka mendapatkan dukungan dan pertolongan
yang dibutuhkan, melakukan pencegahan dan hidup
positif, mengerti tentang profilaksis, obat ARV dan
obat-obat lainnya yang mereka minum. Hal ini
membutuhkan edukasi dan dukungan karena hasil
yang diperoleh penting untuk pasien. Konseling ini
dilakukan dengan keluarga, pasangan, kelompok,
maupun individu yang berkenaan dengan HIV/AIDS.
Salah satunya melakukan rehabilitasi sosial.
Upaya untuk meningkatkan keberfungsian
sosial ODHA perlu dilakukan dalam konteks
rehabilitasi sosial, yaitu segenap upaya yang
ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dan
mengurangi semaksimal mungkin pengaruh negatif
yang disebabkan oleh kondisi yang dialami klien
ODHA, sehingga dapat menjalankan fungsi sosial
dengan baik sehingga dapat kembali beraktivitas
secara penuh dalam kehidupan masyarakat. Usaha-
usaha yang dipandang perlu diselenggarakan dalam
rehabilitasi sosial bagi ODHA antara lain meliputi
bimbingan sosial, pemenuhan kebutuhan pokok,
pemberian keterampilan, pendidikan, konseling dan

37 BUKU AJAR KEPERAWATAN HIV/AIDS


terapi, pemberian bantutan/fasilitas, dan pembinaan
lanjut. Tujuan rehabilitasi sosial adalah memulihkan
kembali rasa harga diri, percaya diri, kesadaran serta
tanggung jawab terhadap masa depan diri, keluarga
maupun masyarakat atau lingkungan sosialnya.
Rehabilitasi sosial pada akhirnya akan memulihkan
kembali kemauan dan kemampuan klien ODH untuk
dapat melaksanakan fungsi sosial secara wajar.
Untuk mengetahui status HIV seseorang, maka
klien/pasien harus melalui tahapan konseling dan tes
HIV (KT HIV). Secara global diperkirakan setengah
ODHA tidak mengetahui status HIV-nya. Sebaliknya
mereka yang tahu sering terlambat diperiksa dan
karena kurangnya akses hubungan antara konseling
dan tes HIV dengan perawatan, menyebabkan
pengobatan sudah pada stadium AIDS.
Keterlambatan pengobatan mengurangi
kemungkinan mendapatkan hasil yang baik dan
penularan tetap tinggi.
Tujuan konseling dan tes HIV adalah harus
mampu mengidentifikasi ODHA sedini mungkin dan
segera memberi akses pada layanan perawatan,
pengobatan dan pencegahan. KT HIV merupakan
pintu masuk utama pada layanan pencegahan,
perawatan, dukungan dan pengobatan. Dalam
kebijakan dan strategi nasional telah dicanangkan
konsep akses universal untuk mengetahui status
HIV, akses terhadap layanan pencegahan,
perawatan, dukungan dan pengobatan HIV dengan
visi getting 3 zeroes.

Ns. Ani Syafriati, M.Kep & Ns. Lisda Maria, M.Kep.,Sp.Kep.Mat 38


Konseling dan tes HIV harus mengikuti prinsip
yang telah disepakati secara global yaitu 5
komponen dasar yang disebut 5C (informed consent;
confidentiality; counseling; correct test results;
connections to care, treatment and prevention
services). Prinsip 5C tersebut harus diterapkan pada
semua model layanan Konseling dan Tes HIV.
 Informed Consent, adalah persetujuan akan
suatu tindakan pemeriksaan laboratorium HIV
yang diberikan oleh pasien/klien atau
wali/pengampu setelah mendapatkan dan
memahami penjelasan yang diberikan secara
lengkap oleh petugas kesehatan tentang
tindakan medis yang akan dilakukan terhadap
pasien/klien tersebut.
 Confidentiality, adalah Semua isi informasi atau
konseling antara klien dan petugas pemeriksa
atau konselor dan hasil tes laboratoriumnya tidak
akan diungkapkan kepada pihak lain tanpa
persetujuan pasien/ klien. Konfidensialitas dapat
dibagikan kepada pemberi layanan kesehatan
yang akan menangani pasien untuk kepentingan
layanan kesehatan sesuai indikasi penyakit 29
pasien.
 Counselling, yaitu proses dialog antara konselor
dengan klien bertujuan untuk memberikan
informasi yang jelas dan dapat dimengerti klien
atau pasien. Konselor memberikan informasi,
waktu, perhatian dan keahliannya, untuk
membantu klien mempelajari keadaan dirinya,
mengenali dan melakukan pemecahan masalah

39 BUKU AJAR KEPERAWATAN HIV/AIDS


terhadap keterbatasan yang diberikan
lingkungan. Layanan konseling HIV harus
dilengkapi dengan informasi HIV dan AIDS,
konseling pra-Konseling dan Tes pasca-tes yang
berkualitas baik.
 Correct test results. Hasil tes harus akurat.
Layanan tes HIV harus mengikuti standar
pemeriksaan HIV nasional yang berlaku. Hasil
tes harus dikomunikasikan sesegera mungkin
kepada pasien/klien secara pribadi oleh tenaga
kesehatan yang memeriksa.
 Connections to, care, treatment andprevention
services. Pasien/klien harus dihubungkan atau
dirujuk ke layanan pencegahan, perawatan,
dukungan dan pengobatan HIV yang didukung
dengan sistem rujukan yang baik dan terpantau.

J. Asuhan keperawatan pada ibu hamil dengan HIV/


AIDS
1. Definisi
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah
virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh
manusia, sedangkan AIDS (Acquired
Immunodeficiency Syndrome) adalah sindrom
kekebalan tubuh oleh infeksi HIV. Anak-anak
terinfeksi dari ibu yang terinfeksi HIV sewaktu hamil,
persalinan, dan setelah melahirkan melalui
pemberian ASI. Angka penularan selama kehamilan
5-10%, sewaktu persalinan 10-20%, dan saat
pemberian ASI 10-20%. Virus dapat ditemukan
dalam ASI, sehingga ASI merupakan perantara

Ns. Ani Syafriati, M.Kep & Ns. Lisda Maria, M.Kep.,Sp.Kep.Mat 40


penularan HIV dari ibu ke bayi yang seharusnya
dapat dihindari.
2. Etiologi
Tiga jalur utama penularan HIV yaitu hubungan
seksual dengan pengidap HIV, kontak langsung
dengan cairan tubuh pengidap HIV, serta penularan
dari ibu pengidap HIV kepada janin yang
dikandungnya selama masa kehamilan dan pada
bayinya ketika menyusui. Sebagian besar cara
penularan HIV dari ibu ke bayi terjadi pada saat
persalinan. Ketika proses persalinan, tekanan pada
plasenta semakin meningkat yang bisa
menyebabkan terjadinya sedikit percampuran antara
darah ibu dengan darah bayi. Hal ini lebih sering
terjadi jika plasenta meradang atau terinfeksi. Pada
saat persalinan, bayi terpapar darah dan lendir ibu di
jalan lahir. Kulit bayi yang baru lahir masih sangat
lembut dan mudah terinfeksi jika kontak dengan HIV.
Bayi mungkin juga terinfeksi karena menelan darah
ataupun lendir ibu.
3. Patofisiologi
Transmisi secara vertikal dapat terjadi dari ibu
yang terinfeksi HIV kepada janinnya sewaktu hamil,
sewaktu persalinan, dan setelah melahirkan melalu
pemberian Air Susu Ibu (ASI). Angka penularan
selama kehamilan sekitar 5-10%, sewaktu persalinan
10-20%, dan saat pemberian ASI 10-20%. Namun
diperkirakan penularan ibu kepada janin atau bayi
terutama terjadi pada masa perinatal. Hal ini
didasarkan saat identifikasi infeksi oleh teknik kultur
atau Polymerase Chain Reactin (PCR) pada bayi

41 BUKU AJAR KEPERAWATAN HIV/AIDS


setelah lahir (negatif saat lahir dan positif beberapa
bulan kemudian). Virus dapat ditemukan dalam ASI,
sehingga ASI merupakan perantara penularan HIV
dari ibu kepada bayi pascanatal. Bila mungkin 31
pemberian ASI oleh ibu yang terinfeksi sebaiknya
dihindari.
4. Penatalaksanaan
Hal yang dibutuhkan ibu dalam melakukan
pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak antara
lain yaitu konseling dan dukungan kontrasepsi dan
pengaturan kehamilan, informasi dan edukasi
pemberian makanan bayi, pencegahan dan
pengobatan infeksi oportunistik untuk diri sendiri dan
bayi, penyuluhan kepada anggota keluarga tentang
cara penularan HIV dan pencegahannya.
Pemberdayaan keluarga melalui dukungan sosial
dalam pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak
kepada ibu HIV positif dilakukan oleh anggota
keluarga, pendamping pengidap HIV positif (ODHA),
teman sebaya, petugas kesehatan maupun pihak
yang menangani kasus HIV-AIDS. Bentuk dukungan
sosial yang diberikan kepada ibu HIV positif dalam
pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak berupa
emotional support, esteem support, instrumental
support, informational support, dan companionship
support. Dampak pemberdayaan keluarga melalui
dukungan sosial yang diberikan kepada ibu HIV
positif dalam pencegahan penularan HIV dari ibu ke
anak dapat dilihat dari aspek psikologis, kesehatan
dan lingkungan sosialnya.

Ns. Ani Syafriati, M.Kep & Ns. Lisda Maria, M.Kep.,Sp.Kep.Mat 42


Transmisi infeksi perinatal atau transmisi dari
ibu ke anak dapat terjadi selama kehamilan, atau
mendekati kelahiran, dan selama masa menyusui.
Risiko penularan dari ibu ke anak terjadi pada masa
kehamilan dan pada saat melahirkan sekita 25%,
sedangkan risiko penularan selama menyusui sekitar
15-20% dalam 6 bulan pertama kehidupan. Oleh
karena itu penting dilakukan pengobatan bagi wanita
hamil yang menderita HIV selama masa
kehamilannya. Setelah melahirkan, ibu sangat
dianjurkan untuk tidak menyusui anaknya apabila
tersedia alternatif yang lebih aman.
Pada ibu hamil yang terinfeksi HIV, berapapun
stadium klinisnya harus diberikan terapi ARV untuk
mencegah bayi ikut terinfeksi HIV dari ibu. Kemudian
adanya tingkat kesadaran pasien HIV yang
meningkat serta dari kesadaran faktor risiko HIV
yang meningkat sehingga memulai terapi ARV
sebagai pencegahan tingkatan stadium HIV menjadi
AIDS. Hal yang dibutuhkan ibu dalam melakukan
pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak adalah
pengobatan rutin ARV jangka panjang, pengobatan
gejala penyakit, pemeriksaan kondisi kesehatan dan
pemantauan terapi dan mendapatkan kesempatan
kunjungan rumah dari pendamping. ODHA
mendapatkan bantuan ketika melakukan keperluan
sehari-hari, seperti mencuci pakaian, menyiapkan
makanan, membereskan kamar, dan lain-lain.
Perawatan medis dan dukungan sosial penting bagi
ibu yang terinfeksi HIV, bertujuan untuk mengatasi

43 BUKU AJAR KEPERAWATAN HIV/AIDS


kekhawatiran tentang kesehatan dan masa depan
mereka sendiri, anak-anak dan keluarga mereka.
Adanya dukungan dari keluarga lebih
menjadikan ibu hamil HIV positif termotivasi
melakukan perilaku untuk pencegahan penularan
HIV/AIDS dari ibu ke bayi. Sebaliknya, ibu hamil HIV
positif tidak melakukan pencegahan HIV nya ketika
tidak mendapatkan dukungan dari keluarga termasuk
apabila keluarga dan pasangan atau suami tidak
mengetahui status HIV ibu. Dukungan dapat berupa
dukungan fisik, emosional, instrumental, informasi
dan dukungan spiritual. Dukungan keluarga memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap status kesehatan,
rasa percaya diri dalam pengambilan keputusan dan
isolasi sosial. ibu hamil HIV yang telah
memberitahukan status HIV kepada keluarga atau
pasangan lebih patuh minum obat ARV, sukses
mengikuti PPIA, dan lebih percaya diri untuk
mengakses layanan kesehatan. Hal ini disebabkan,
ibu hamil HIV positif merasakan adanya dukungan
dari keluarga dan tidak adanya stigma dalam
keluarga sehubungan dengan status HIV.
Pada aspek dukungan keluarga (suami) untuk
pencegahan HIV agar bayi saat melahirkan tidak
tertular HIV yaitu keluarga (suami) melakukan
persiapan untuk operasi Caesar yang dianggap lebih
aman dan mengurangi risiko penularan HIV dari ibu 33
ke bayi karena meminimalisir kontak darah dari ibu
ke bayi pada saat melahirkan. Selain dukungan
keluarga peran yang penting dalam pencegahan
penularan HIV dari ibu ke bayi adalah cara

Ns. Ani Syafriati, M.Kep & Ns. Lisda Maria, M.Kep.,Sp.Kep.Mat 44


persalinan dan memberi susu ke pada bayi jika
sudah lahir.
Cara persalinan yang disarankan untuk ibu HIV
positif adalah secara Caesar. Ibu HIV diperkenankan
melahirkan secara pervaginam apabila memenuhi
persyaratan yang telah diatur dalam pedoman PPIA,
salah satunya adalah jumlah virus dalam tubuh ibu
HIV tidak terdeteksi. Manfaat melahirkan secara
Caesar dibanding dengan persalinan pervaginal pada
ibu HIV positif didapatkan bahwa Caesar yang
dijadwalkan dapat mengurangi risko penularan dari
ibu ke bayi sampai dengan 80% dan apabila Caesar
efektif disertai dengan penggunaan pengobatan
antiretroviral, maka risiko dapat diturunkan sampai
dengan 87%.
Keluarga (suami) memberi dukungan agar bayi
pada saat menyusui tidak tertular HIV. Suami
mendukung isteri untuk pemberian ASI jika bayi
sudah lahir yaitu dengan memperhatikan risiko
penularan HIV dari ibu ke bayi pada saat pemberian
ASI. Apabila ada luka pada puting payudara ibu
maka ibu bisa menggunakan pompa ASI. Risiko
penularan HIV melalui pemberian ASI akan
bertambah jika terdapat adanya masalah pada
payudara ibu, seperti mastitis, abses, luka di puting
payudara. Seorang bayi dari ibu HIV positif bisa jadi
HIV negatif selama masa kehamilan dan proses
persalinan, tetapi mungkin akan terinfeksi HIV
melalui pemberian ASI. HIV terdapat dalam ASI
meskipun konsentrasinya jauh lebih kecil
dibandingkan dengan HIV di dalam darah. Antra 10-

45 BUKU AJAR KEPERAWATAN HIV/AIDS


20% bayi yang dilahirkan oleh ibu HIV positif akan
terinfeksi HIV melalui pemberian ASI. Beberapa
penelitian menunjukan bahwa terdapat faktor yang
mempengaruhi tingkat risiko penularan HIV melalui
pemberian ASI, yaitu usia bayi, luka di mulut bayi,
tingginya konsentrasi virus, status kekebalan ibu,
lamanya menyusui serta luka pada putting susu.

K. Asuhan keperawatan pada anak dan remaja


dengan HIV/AIDS
1. Definisi
Remaja merupakan salah satu periode dari
perkembangan manusia. Masa ini merupakan masa
perubahan atau peralihan dari masa anak-anak ke
masa dewasa yang meliputi: perubahan fisik,
perilaku, biologis dan emosi. Perilaku merupakan
respons atau reaksi sesorang terhadap stimulus
(rangsangan dari luar). Perubahan perilaku yang
tidak sesuai dapat menimbulkan tingginya angka
kejadian HIV/AIDS pada remaja. Sikap yang negatif
mepengaruhi tindakan pencegahan terhadap
HIV/AIDS pada remaja karena dipengaruhi oleh
kondisi individu masing-masing, cara pandang dan
latar belakang dari setiap remaja. Remaja yang
memiliki sifat negatif cenderung akan membentuk
perilaku yang negatif kecuali apabila ada faktor-
faktor lain yang memengaruhi sikap menjadi positif,
antara lain: terdapat orang lain yang dianggap
penting yang dapat memengaruhi sikapnya
(misalnya: orang tua), lingkungan, budaya dan lain-
lain.

Ns. Ani Syafriati, M.Kep & Ns. Lisda Maria, M.Kep.,Sp.Kep.Mat 46


2. Etiologi
Penyebab terjadinya HIV/AIDS pada masa
remaja adalah remaja yang menjadi pecandu
narkoba khususnya pengguna jarum suntik,
kurangnya pengetahuan tentang informasi 35
mengenai kesehatan reproduksi, seks bebas,
HIV/AIDS serta infeksi lainnya yang ditimbulkan
oleh hubungan seks. Kurangnya informasi yang
diperoleh remaja tentang kesehatan reproduksi
berdampak pada pengetahuan kesehatan
reproduksi mereka.
3. Patofisiologi
Infeksi HIV muncul dalam tiga tahap. Tahap
pertama adalah serokonversi (Periode waktu
tertentu di mana antibodi HIV sudah mulai
berkembang untuk melawan virus). Orang yang
terinfeksi virus HIV mengalami gejala seperti flu
akan muncul beberapa minggu setelah terinfeksi,
tenggorokan sakit, demam, ruam di tubuh biasanya
tidak gatal, penurunan berat badan, diare,
kelelahan, nyeri persendian dan nyeri otot. Tahap
kedua adalah masa ketika tidak ada gejala yang
muncul. Tahap yang ketiga adalah infeksi HIV
berubah menjadi AIDS. Setelah gejala awal
menghilang, biasanya HIV tidak menimbulkan
gejala lebih lanjut selama bertahun-tahun. Periode
ini disebut sebagai masa inkubasi, atau masa laten.
Virus yang ada terus menyebar dan merusak
sistem kekebalan tubuh. Pada tahapan ini,
penderita akan merasa sehat dan tidak ada
masalah. Penderita mungkin tidak menyadari sudah

47 BUKU AJAR KEPERAWATAN HIV/AIDS


mengidap HIV, tetapi sudah bisa menularkan infeksi
ini pada orang lain. Lama tahapan ini bisa berjalan
sekitar 10 tahun atau bahkan bisa lebih.
4. Manifestasi klinis
Secara psikologis remaja terkadang belum
memahami kondisinya yang terdiagnosis HIV/AIDS.
Peran perawat sebagai edukator pelayanan
kesehatan harus mampu memberikan penekanan
kepada siswa atau remaja tentang gejala awal dari
terjangkitnya virus HIV, yaitu selalu merasa lelah
sepanjang waktu, pembengkakan kelenjar, demam,
diare berkepanjangan, gampang memar atau
gampang perdarahan, sesak nafas, bintik-bintik
diseluruh tubuh, mudah terserang penyakit kulit dan
berat badan terus mengalami penurunan.
5. Penatalaksanaan
Pencegahan HIV/AIDS harus dilakukan
secara efektif agar memutuskan rantai penularan
HIV/AIDS. Pencegahan HIV/AIDS ini masih sangat
sulit dilakukan karena masih kurangnya
pengetahuan dan kepedulian masyarakat terhadap
perilaku hidup sehat dikalangan masyarakat. Upaya
yang dapat dilakukan dalam pencegahan HIV/AIDS
dengan cara memberikan pendidikan kesehatan
dan peningkatan pengetahuan yang benar
mengenai patofisiologi HIV dan cara penularannya
dilingkungan keluarga. Memberikan pemahaman
disekolah tentang perbuatan menyimpang yang
dapat meningkatkan resiko tertularnya HIV
misalnya pemahaman tentang perilaku sex oral,
sekalipun sex oral penularannya rendah dibanding

Ns. Ani Syafriati, M.Kep & Ns. Lisda Maria, M.Kep.,Sp.Kep.Mat 48


dengan sex dubur atau sex vagina tanpa kondom
tetapi hal tersebut juga harus dihindari. Dengan
penekanan tersebut diharapkan dapat
meningkatkan pengetahuan dan pemahaman
siswa/remaja dalam mengenali sejak dini gejala
HIV/AIDS. Sehingga remaja akan lebih berhati-hati
dan termotivasi terus untuk melakukan pencegahan
terhadap tersebut.

L. Asuhan keperawatan pada klien dengan


penyalahgunaan NAPZA
1. Definisi
Penyalahgunaan narkoba adalah pemakaian
narkoba yang dilakukan dengan sengaja yang
tujuannya bukan untuk pengobatan, melainkan
untuk mendapatkan kepuasan yang bertentangan
dengan aturan yang berlaku. narkoba adalah zat
psikoaktif narkotika, psikotropika dan bahan-bahan
berbahaya lainnya yang jika masuk ke dalam tubuh
baik secara oral (dimakan, diminum, atau ditelan),
diisap, dihirup, atau disuntikkan dapat mengubah
suasana hati, perasaan dan perilaku seseorang.
Pemakai narkoba dapat mengalami kerusakan
organ tubuh dan menjadi sakit sebagai akibat
langsung adanya narkoba di dalam darah, misalnya
kerusakan paruparu, ginjal, hati, otak, jantung,
usus, dan sebagainya. Selain itu, narkoba juga
dapat memberikan dampak negatif terhadap mental
dan moral. Pemakai narkoba akan berubah menjadi
pribadi yang pemalu, rendah diri dan sering merasa 37
sebagai pecundang, tidak berguna dan menjadi

49 BUKU AJAR KEPERAWATAN HIV/AIDS


sampah masyarakat, gangguan jiwa berat, depresi,
tindak kekerasan, dan pengrusakan serta
percobaan bunuh diri.
Depresi timbul sebagai akibat dari rasa
bersalah dan putus asa karena gagal berhenti dari
penyalahgunaan narkoba, ditambah kurangnya
dukungan dan tuduhan bersalah oleh lingkungan
keluarga dan masyarakat.
2. Etiologi
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan
pengguna napza suntik menjadi salah satu populasi
yang memiliki risiko tinggi untuk menularkan HIV.
Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada
Masyarakat (LPPM) Unika Atma Jaya tahun 2010
melaporkan bahwa pengguna napza suntik tidak
hanya menyumbang kasus HIV di Indonesia melalui
perilaku menyuntik yang tidak aman, yaitu perilaku
penggunaan alat suntik bekas pakai atau tidak
steril, selain itu juga melalui perilaku seksualnya
yang berisiko. Perilaku seks berisiko pengguna
napza suntik dilihat dari konsistensi penggunaan
kondom ketika melakukan hubungan seksual baik
dengan pasangan tetap maupun tidak tetap.
3. Patofisiologi
HIV dapat ditransmisikan melalui darah dan
produk darah. Terutama pada individu pengguna
narkotika intravena dengan pemakaian jarum suntik
secara bersama dalam satu kelompok tanpa
mengindahkan asas sterilisasi. HIV dan AIDS
menjadi dampak turunan penyalahgunaan narkoba.
Pemakaiain narkoba yang menggunakan suntikan

Ns. Ani Syafriati, M.Kep & Ns. Lisda Maria, M.Kep.,Sp.Kep.Mat 50


dengan ganti-ganti jarum suntik sangat berpotensi
penularan HIV dan AIDS. Selain melalui
mekanisme pemakaian jarum suntik bergantian,
pemakaian narkoba yang mengandung efek
stimulant telah mengganggu fungsi otak secara
normal. Manusia menjadi tidak terkendali lagi
perilakunya sehingga berpeluang besar untuk
mempraktekkan tindakan-tindakan beresiko
penularan HIV dan AIDS misalnya melakukan
hubungan seks beresiko (ganti-ganti pasangan
seksual tanpa pengaman).
4. Manifestasi klinis
Pengaruh fisik yang diakibatkan oleh
penyalahgunaan narkoba adalah:
1) Gangguan pada sistem saraf pusat, seperti:
kejang, halusinasi, gangguan kesadaran, dan
kerusakan saraf perifer;
2) Gangguan pada jantung dan pembuluh darah,
seperti: infeksi akut pada jantung dan gangguan
peredaran darah;
3) Gangguan pada paruparu, seperti: penekanan
fungsi saluran pernapasan, kesulitan bernapas,
pengerasan jaringan paru-paru, serta
pengumpulan benda asing yang terisap;
4) Gangguan pada hemopoetik, seperti: gangguan
pada pembentukan sel darah;
5) Gangguan pada saluran pencernaan, seperti:
diare, radang lambung, hepatitis, perlemakan
hati, pengerasan, dan atropi hati;
6) Gangguan pada sistem endokrin, seperti:
penurunan fungsi hormon reproduksi (estrogen,

51 BUKU AJAR KEPERAWATAN HIV/AIDS


progesteron, testosteron), penurunan kadar gula
darah yang menyebabkan gangguan sakit
kepala dan badan gemetar;
7) Gangguan pada saluran perkemihan, seperti:
infeksi, gangguan fungsi seksual, gangguan
fungsi reproduksi, dan kecacatan;
8) Gangguan pada otot dan tulang, seperti:
peradangan otot akut, penurunan fungsi otot
akibat alkohol, ataupun patah tulang;
9) Risiko terinfeksi penyakit menular seksual dan
HIV/ AIDS.

5. Penatalaksanaan
Rehabilitasi yang baik adalah rehabilitasi yang
menyediakan suatu pelayanan menyeluruh
berkelanjutan sehingga perubahan perilaku yang
diharapkan bagi para klien dapat diwujudkan
menjadi perilaku permanen. Sekalipun dalam arena
praksis belum dikenal istilah kesembuhan total 39
dalam konteks kecanduan narkoba. Memang
totalitas kesembuhan mungkin sulit diwujudkan,
namun dengan memproteksi pecandu pada insiden
penularan HIV dan AIDS berarti telah memberikan
peluang yang besar bagi pecandu untuk mengelola
kehidupannya menjadi lebih produktif. Beban ganda
pecandu yang sudah mengalami infeksi HIV dan
AIDS semakin mempersulit mereka untuk high
motivated dalam melakukan upaya perubahan
perilaku. Cukup banyak diantara mereka yang
mengalami frustrasi akibat serangan epidemic
ganda ini. Pengetahuan yang benar tentang insiden

Ns. Ani Syafriati, M.Kep & Ns. Lisda Maria, M.Kep.,Sp.Kep.Mat 52


HIV dan AIDS dalam konteks pendekatan medis
dan social pada pelayanan rehabilitasi
memungkinkan ditemukannya horizon baru
penerapan programprogram pemulihan.
Pendekatan rehabilitasi medis akan
mengupayakan program-program pengobatan dan
perawatan yang dapat mengurangi penderitaan si
korban seperti pengobatan infeksi opportunistik,
pengobatan paliatif, dan pengobatan ARV.
Pendekatan medis ini kemudian diperluas
perspektifnya secara sosiologis dengan
memanfaatkan pengetahuan-pengetahuan dasar
tentang variable social yang dimiliki oleh korban
narkoba misalnya keluarga, etnik, latar belakang
pendidikan, status social ekonomi, dan lingkungan
social ketetanggaan. Jika seorang petugas
kesehatan atau pekerja social yang memberikan
pelayanan rehabilitasi dengan memadukan model
medis dan model social ini akan mendapatkan hasil
yang memadai oleh karena adanya suatu
pendekatan yang saling melengkapi.

BAB 2
Pencegahan primer, sekunder dan tersier
pada HIV AIDS dan penyalahgunaan NAPZA

53 BUKU AJAR KEPERAWATAN HIV/AIDS


A. Pencegahan primer
Pencegahan Penyakit HIV/AIDS dapat dilakukan
dengan cara tidak mengkonsumsi narkoba penggunaan
jarum suntik yang tidak steril serta alat tindik anting, tato
secara bersama dengan orang lain, tidak melakukan
hubungan seksual yang telah terinfeksi dan memastikan
transfusi darah dari orang yang tidak terinfeksi.
Salah satu cara penularan HIV adalah dari ibu HIV
positif ke bayinya, dimana penularan ini dapat
berlangsung mulai dari kehamilan, persalinan maupun
menyusui. Faktor penyebab penularan yang terpenting
adalah jumlah virus dalam darah sehingga perlu
mendeteksi ibu hamil HIV positif dan memberikan
pengobatan ARV seawal mungkin sehingga
kemungkinan bayi tertular HIV menurun. Di daerah
epidemi HIV meluas dan terkonsentrasi, tes HIV wajib
ditawarkan kepada semua ibu hamil secara inklusif
pada pemeriksaan laboratorium rutin lainnya saat
pemeriksaan antenatal atau menjelang persalinan. Di
daerah epidemi HIV rendah, penawaran tes HIV
diprioritaskan pada ibu hamil dengan IMS dan TB.
Peraturan Menteri Kesehatan No. 21 Tahun 2013
tentang Pengendalian HIV dan AIDS menyebutkan
bahwa penyelenggaraan pengurangan dampak buruk
pada penggunaan napza suntik meliputi:
1. Program layanan alat suntik steril dengan konseling
perubahan perilaku serta dukungan psikososial.
2. Mendorong pengguna napza suntik khususnya
pecandu opiat menjalani program terapi rumatan.
3. Mendorong pengguna napza suntik untuk 41
melakukan pencegahan penularan seksual.

Ns. Ani Syafriati, M.Kep & Ns. Lisda Maria, M.Kep.,Sp.Kep.Mat 54


4. Layanan konseling dan tes HIV serta
pencegahan/imunisasi hepatitis.

B. Pencegahan sekunder
Infeksi HIV/AIDS menyebabkan menurunnya
sistem imun secara progresif sehingga muncul berbagai
infeksi oportunistik yang akhirnya dapat berakhir pada
kematian. Sementara itu, hingga saat ini belum
ditemukan obat maupun vaksin yang efektif. sehingga
pengobatan HIV/AIDS dapat dibagi dalam tiga kelompok
sebagai berikut :
1. Pengobatan suportif yaitu pengobatan untuk
meningkatkan keadaan umum penderita.
Pengobatan ini terdiri dari pemberian gizi yang baik,
obat simptomatik dan pemberian vitamin.
2. Pengobatan infeksi opurtunistik merupakan
pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit
infeksi dan kanker yang menyertai infeksi
HIV/AIDS. 28 Jenis-jenis mikroba yang
menimbulkan infeksi sekunder adalah protozoa
(Pneumocystis carinii, Toxoplasma, dan
Cryptotosporidium), jamur (Candidiasis), virus
(Herpes, cytomegalovirus/CMV, Papovirus) dan
bakteri (Mycobacterium TBC, Mycobacterium ovium
intra cellular, Streptococcus, dan lain-lain).
Penanganan terhadap infeksi opurtunistik ini
disesuaikan dengan jenis mikroorganisme
penyebabnya dan diberikan terus-menerus.
3. Pengobatan antiretroviral (ARV), ARV bekerja
langsung menghambat enzim reverse transcriptase
atau menghambat kinerja enzim protease.

55 BUKU AJAR KEPERAWATAN HIV/AIDS


Pengobatan ARV terbukti bermanfaat memperbaiki
kualitas hidup, menjadikan infeksi opurtunistik
Universitas Sumatera Utara menjadi jarang dan
lebih mudah diatasi sehingga menekan morbiditas
dan mortalitas dini, tetapi ARV belum dapat
menyembuhkan pasien HIV/AIDS ataupun
membunuh HIV.

C. Pencegahan tersier
Upaya penanggulangan AIDS sangat penting
mengingat masih banyaknya kasus HIV. Upaya yang
selama ini dilakukan masih berputar pada persoalan
pencegahan dan penanggulangan HIV yang dilakukan
secara medis terhadap kasus HIV dan AIDS yang terjadi
namun terdapat stigma dari masyarakat yang dapat
menghambat upaya mencegah dan menanggulangi
masalah HIV dan AIDS di Indonesia. ODHA sangat
perlu diberikan dukungan yaitu berupa dukungan
psikososial agar penderita dapat melakukan aktivitas
seperti sebelumnya dan semaksimal mungkin. Misalnya:
a. Memberikan waktu kepada ODHA untuk
membicarakan hal-hal tertentu dan
mengungkapkan perasaan tentang penyakitnya.
b. Meningkatkan kembali kepercayaan diri atau harga
dirinya dengan melihat keberhasilan hidupnya atau
mengenang masa lalu yang indah.
c. Mendengarkan dan menerima perasaan marah,
sedih, atau emosi dan reaksi lainnya.
d. Melibatkan dan mengajarkan pada keluarga untuk
mengambil hikmah, dapat mengendalikan diri dan
tidak menyalahkan diri atau orang lain.

Ns. Ani Syafriati, M.Kep & Ns. Lisda Maria, M.Kep.,Sp.Kep.Mat 56


e. Memberikan perawatan paliatif (paliative care)
untuk klien yang tidak dapat disembuhkan atau
sedang dalam tahap terminal yang mencakup,
pemberian kenyamanan (seperti relaksasi dan
distraksi, menjaga pasien tetap bersih dan kering,
memberi toleransi maksimal terhadap permintaan
pasien atau keluarga), pengelolaan nyeri (bisa
dilakukan dengan teknik relaksasi, pemijatan,
distraksi, meditasi, maupun pengobatan antinyeri),
persiapan menjelang kematian meliputi penjelasan
yang memadai tentang keadaan penderita, dan
bantuan mempersiapkan pemakaman. 43

BAB 3
Trend dan isu

A. Trend dan isu HIV/AIDS


Di Indonesia, persoalan HIV/AIDS sendiri telah
lama mendapat perhatian khusus oleh pemerintah
dengan berbagai program dan kerjasama yang
melibatkan berbagai pihak dengan perspektif beragam,

57 BUKU AJAR KEPERAWATAN HIV/AIDS


tidak semata perspektif medis. Hal tersebut dilakukan
mengingat tingginya kuantitas penduduk dan
kualitasnya akan HIV/AIDS yang masih rentan.
Indonesia dikenal sebagai sebuah negara dengan
prevalensi HIV dan AIDS yang paling cepat meningkat.
Sekalipun angka kematian karena HIV/AIDS menurun
2%, namun penambahan infeksi baru masih tingga
antara 20.000-25.000 penderita per tahun. Hal ini berarti
ancaman HIV dan AIDS masih serius dan memerlukan
perhatian serta tindakan berkesinambungan.
Adanya perilaku menyimpang masyarakat mulai
dari pekerja seks komersial, homoseksual, dan
pengguna jarum suntik yang saling bergantian sangat
mempengaruhi meningkatnya penyebaran HIV/AIDS di
Indonesia. Adanya pola transmisi yang berkembang
selain hanya transmisi seksual, juga menular melalui
transmisi plasental (dari ibu ke janinnya) menjadi
ancaman baru yang melahirkan korban yang tidak
berdosa. Pola pemberantasan HIV/AIDS di Indonesia
harus dilakukan secara nasional melalui kebijakan
khusus pemerintah dan diharapkan hal itu mampu
menyelamatkan SDM (sumber daya manusia) usia
produktif yang berpotensi bagi pembangunan dari
penyebaran HIV/AIDS di lingkungan masyarakat.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk
mengatasinya, dari sisi pemerintah diawali dengan
penguatan regulasi sejak lebih dari dua dekade yang
lalu, kemudian ditandai dengan pembentukan Komisi
Penanggulangan HIV/AIDS (KPA) di tiap provinsi sejak
tahun 2006. Selain itu, adanya dukungan dari lembaga
donor telah membuat kelompok civil society, baik LSM

Ns. Ani Syafriati, M.Kep & Ns. Lisda Maria, M.Kep.,Sp.Kep.Mat 58


lokal dan internasional, organisasi sosial dan
keagamaan menaruh perhatian pada isu ini dengan
berbagai kekayaan metode dan variasi. Kelompok-
kelompok ini juga, baik didukung oleh lembaga donor,
bekerja-sama dengan pemerintah maupun bergerak
secara mandiri, telah berpengaruh besar terhadap
upaya penanggulangannya. Berbagai riset, survey,
evaluasi dan pengembangan juga dilaksanakan untuk
menilai serta meningkatkan efektifitas serta variasi
usaha penanganan HIV/AIDS.
Hal tersebut telah menimbulkan suatu kesadaran
akan aksi-reaksi terhadap HIV/AIDS di Indonesia yang
pada dasarnya beragam dan mengikuti heterogenitas
komposisi serta pengetahuan penduduk. Ini menuntut
pendekatan penanggulangan tidak harus selalu dari
sudut padang medis, tetapi juga sosial dan budaya.
Karena menyadari pentingnya hal ini, dimana agama
dan tokohnya merupakan unsur penting yang
mempengaruhi masyarakat, maka sejak awal
pemerintah telah melibatkan Kementerian Agama untuk
mengintegrasikan isu HIV dan AIDS dalam kurikulum
sekolah. Hal ini dapat dimaknai sebagai adanya
adaptasi penerimaan (institusi) keagamaan terhadap
keberadaan orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) yang
seringkali merupakan kelompok marjinal dalam struktur
masyarakat. Dalam berbagai kasus, nilai-nilai dan
norma-norma keagamaan serta sosial budaya
berdampak penting dalam strategi penanganan
HIV/AIDS. Dengan demikian, sangat relevan untuk
secara kontinyu mengetahui perkembangan relasi
antara sudut pandang agama di mata masyarakat serta
45
59 BUKU AJAR KEPERAWATAN HIV/AIDS
organisasi keagamaan dalam menanggulangi HIV dan
AIDS di Indonesia.
Penanggulangan HIV dan AIDS dengan basis
promosi kesehatan tidak dapat berhenti pada usaha
menyebarkan informasi yang benar tentang virus dan
penyakit ini sendiri. Asumsi dasar promosi kesehatan
bahwa dengan pengetahuan yang cukup, seseorang
dengan mudah dan otomatis mengubah perilakunya
seringkali memperoleh halangan. Pendekatan promosi
kesehatan terpusat pada individu, seseorang
memanfaatkan pilihan rasionalnya berdasarkan
pengetahuan tentang kesehatan yang ia dapatkan.
Padahal, secara empirik dan didasarkan pada studi-
studi lanjutan, persepsi soal apa yang menguntungkan
bagi kesehatan dan yang merugikan (faktor risiko) tidak
terbentuk semata-mata oleh proses kognitif individu, tapi
dipengaruhi pula oleh faktor lain dari lingkungan sosial,
budaya, ekonomi dan politik di mana individu hidup.
Pada tahun 2016 pemerintah Indonesia telah
membuat strategi baru dalam Program Pengendalian
HIV-AIDS dan IMS, yaitu :
1. Meningkatkan penemuan kasus HIV secara dini
a. Daerah dengan epidemi meluas seperti Papua
dan Papua Barat, penawaran tes HIV perlu
dilakukan kepada semua pasien yang datang ke
layanan kesehatan baik rawat jalan atau rawat
inap serta semua populasi kunci setiap 6 bulan
sekali.
b. Daerah dengan epidemi terkonsentrasi maka
penawaran tes HIV rutin dilakukan pada ibu
hamil, pasien TB, pasien hepatitis, warga binaan

Ns. Ani Syafriati, M.Kep & Ns. Lisda Maria, M.Kep.,Sp.Kep.Mat 60


pemasyarakatan (WBP), pasien IMS, pasangan
tetap ataupun tidak tetap ODHA dan populasi
kunci seperti WPS, waria, LSL dan penasun. .
c. Kabupaten/kota dapat menetapkan situasi
epidemi di daerahnya dan melakukan intervensi
sesuai penetapan tersebut, melakukan
monitoring & evaluasi serta surveilans berkala.
d. Memperluas akses layanan KTHIV dengan cara
menjadikan tes HIV sebagai standar pelayanan
di seluruh fasilitas kesehatan (FASKES)
pemerintah sesuai status epidemi dari tiap
kabupaten/kota
e. Dalam hal tidak ada tenaga medis dan/atau
teknisi laboratorium yang terlatih, maka bidan
atau perawat terlatih dapat melakukan tes HIV
f. Memperluas dan melakukan layanan KTHIV
sampai ke tingkat puskemas
g. Bekerja sama dengan populasi kunci, komunitas
dan masyarakat umum untuk meningkatkan
kegiatan penjangkauan dan memberikan edukasi
tentang manfaat tes HIV dan terapi ARV.
h. Bekerja sama dengan komunitas untuk
meningkatkan upaya pencegahan melalui
layanan IMS dan PTRM.

2. Meningkatkan cakupan pemberian dan retensi


terapi ARV, serta perawatan kronis
a. Menggunakan rejimen pengobatan ARV
kombinasi dosis tetap (KDT-Fixed Dose
Combination-FDC), di dalam satu tablet
mengandung tiga obat. Satu tablet setiap hari

61 BUKU AJAR KEPERAWATAN HIV/AIDS


pada jam yang sama, hal ini mempermudah
pasien supaya patuh dan tidak lupa menelan
obat.
b. Inisiasi ARV pada fasyankes seperti
puskesmas
c. Memulai pengobatan ARV sesegera mungkin
berapapun jumlah CD4 dan apapun stadium
klinisnya pada:
- Kelompok populasi kunci, yaitu: pekerja
seks, lelaki seks lelaki, pengguna napza
suntik, dan waria, dengan atau tanpa IMS
lain
- Populasi khusus, seperti: wanita hamil
dengan HIV, pasien ko-infeksi TB-HIV,
pasien ko-infeksi Hepatitis-HIV (Hepatitis
B dan C), ODHA yang pasangannya HIV
negatif (pasangan sero-diskordan),
bayi/anak dengan HIV (usia<5tahun).
- Semua orang yang terinfeksi HIV di
daerah dengan epidemi meluas 47
d. Mempertahankan kepatuhan pengobatan
ARV dan pemakaian kondom konsisten
melalui kondom sebagai bagian dari paket
pengobatan.
e. Memberikan konseling kepatuhan minum obat
ARV
3. Memperluas akses pemeriksaan CD4 dan viral
load (VL) termasuk early infant diagnosis (EID),
hingga ke layanan sekunder terdekat untuk
meningkatkan jumlah ODHA yang masuk dan
tetap dalam perawatan dan pengobatan ARV

Ns. Ani Syafriati, M.Kep & Ns. Lisda Maria, M.Kep.,Sp.Kep.Mat 62


sesegera mungkin, melalui sistem rujukan pasien
ataupun rujukan spesimen pemeriksaan.
4. Peningkatan kualitas layanan fasyankes dengan
melakukan mentoring klinis yang dilakukan oleh
rumah sakit atau FKTP.
5. Mengadvokasi pemerintah lokal untuk mengurangi
beban biaya terkait layanan tes dan pengobatan
HIV-AIDS.

B. Trend dan isu family centered pada ODHA


Rasa takut dan khawatir masyarakat dan keluarga
akan menimbulkan hukuman sosial dan internal
terhadap penderita ODHA. Hukuman sosial berupa
stigmasi dan diskriminasi oleh masyarakat di berbagai
belahan dunia terhadap pengidap AIDS terdapat dalam
berbagai cara, antara lain tindakan-tindakan
pengasingan, penolakan, diskriminasi, dan
penghindaran atas orang yang diduga terinfeksi HIV
diwajibkannya uji coba HIV tanpa mendapat persetujuan
terlebih dahulu atau perlindungan kerahasiaannya dan
penerapan karantina terhadap orang-orang yang
terinfeksi HIV. Kekerasan atau ketakutan atas
kekerasan, telah mencegah banyak orang untuk
melakukan tes HIV, memeriksa bagaimana hasil tes
mereka, atau berusaha untuk memperoleh perawatan
sehingga mungkin mengubah suatu sakit kronis yang
dapat dikendalikan menjadi hukuman mati dan
menjadikan meluasnya penyebaran HIV.
Bagi individu yang positif terinfeksi HIV, menjalani
kehidupannya akan terasa sulit karena dari segi fisik
individu tersebut akan mengalami perubahan yang

63 BUKU AJAR KEPERAWATAN HIV/AIDS


berkaitan dengan perkembangan penyakitnya.
Pandangan dan sikap lingkungan keluarga terhadap
korban yang umumnya belum bisa menerima, takut,
mencap buruk, yang bisa berdampak pada
pengisolasian/ pengucilan, penyingkiran serta
diskriminasi, membuat penderita makin tertekan. Sekitar
50% laki-laki dan perempuan mengalami stigma dan
perlakuan diskriminasi terkait dengan status HIVnya di
35% negara di dunia. Akibat dari adanya stigma dan
diskriminasi, ODHA cenderung dikucilkan oleh keluarga,
teman-temannya dan lingkungan yang lebih luas. Pada
sisi lain mereka juga mengalami diskriminasi dalam
pelayanan kesehatan, pendidikan dan hak-hak lainnya.
Indeks stigma terhadap ODHA mengindikasikan bahwa
1 dari 8 ODHA tidak mendapat pelayanan kesehatan
karena stigma dan diskriminas Stigma merupakan
atribut, perilaku, atau reputasi sosial yang
mendiskreditkan dengan cara tertentu.
Stigma memiliki dua pemahaman sudut pandang,
yaitu stigma masyarakat dan stigma pada diri sendiri
(self stigma). Stigma masyarakat terjadi ketika
masyarakat umum setuju dengan stereotipe buruk
seseorang (misal, penyakit mental, pecandu, dan
sebagainya) dan self stigma adalah konsekuensi dari
orang yang distigmakan menerapkan stigma untuk diri
mereka sendiri. Lebih lanjut, stigma mempengaruhi
kehidupan ODHA dengan menimbulkan depresi dan
kecemasan, rasa sedih, rasa bersalah, dan perasaan
kurang bernilai. Selain itu stigma dapat menurunkan
kualitas hidup, membatasi akses dan penggunaan

Ns. Ani Syafriati, M.Kep & Ns. Lisda Maria, M.Kep.,Sp.Kep.Mat 64


layanan kesehatan, dan mengurangi kepatuhan
terhadap antiretroviral (ARV).
Penyakit HIV dan AIDS tidak saja menjadi
fenomena biologis ataupun medis, akan tetapi juga telah
menjadi fenomena sosial di masyarakat dan keluarga.
Stigma dan diskriminasi terhadap ODHA berdampak
pada terbukanya penyebaran penyakit AIDS. Hal ini 49
karena stigma dan diskriminasi akan mematahkan
semangat orang untuk berani melakukan tes dan
bahkan akan juga membuat orang merasa enggan
untuk mencari informasi dan cara perlindungan
terhadap penyakit AIDS. Stigma dan diskriminasi juga
akan memunculkan komunitas yang terisolir atau
terpinggirkan. Diskriminasi akan menyebabkan ODHA
merasa telah dilanggar hak- hak asasinya, khususnya
dalam hak kebebasan dari perlakuan diskriminasi.
Stigma ODHA akan berdampak pada ketidakmauan
orang untuk menunjukkan statusnya sebagai penderita
HIV dan AIDS.
Bentuk diskriminasi yang diterima oleh ODHA dari
lingkungan adalah penolakan keluarga (dijauhi
keluarga), pemisahan peralatan makan, dikucilkan, dan
penolakan dari lingkungan sekitar seperti warga
kampung dan lingkungan kerja ODHA. Diskriminasi ini
terjadi karena adanya ketakutan lingkungan akan
tertular penyakit HIV dan AIDS yang menyebabkan
ODHA menarik diri dari lingkungan. ODHA memiliki
pandangan negatif tentang diri sendiri dan merasa
tertolak lingkungan sekitar karena sakit yang dideritanya
sehingga ODHA memiliki pemikiran negatif, sikap putus
asa, depresi, perasaan tertekan dan keinginan

65 BUKU AJAR KEPERAWATAN HIV/AIDS


mengakhiri kehidupan. Label negatif dan diskriminasi
yang diterima membuat ODHA cenderung memiliki
konsep diri negatif (merasa tidak berharga, tidak
berguna, tidak berdaya, menurunnya motivasi untuk
menjalani kehidupan dan menarik diri dari lingkungan).
Pembiaran oleh keluarga yang diterima ODHA berupa
anggapan oleh keluarga bahwa ODHA bersangkutan
dianggap tidak ada dalam keluarga meskipun secara
fisik ia ada dalam lingkungan keluarga. Stigma dari
teman atau tetangga yang diterima ODHA berbentuk
diskriminasi dan intimidasi (bullying).

C. Trend dan isu penyalahgunaan NAPZA


Populasi pengguna napza suntik memiliki model
populasi tersembunyi (hidden population), mereka tidak
tampak di permukaan dan selalu berpindah-pindah,
sehingga jejaring mereka juga menyebar dan sulit
diidentifikasi. Mereka sering karena dianggap sebagai
pelaku tindak kriminal sehingga semakin menyulitkan
untuk dijangkau dan tersentuh layanan kesehatan,
khususnya dalam upaya pencegahan dan penanganan
HIV/AIDS, belum lagi adanya penolakan dari pihak
keluarga mereka sendiri termasuk dalam dukungan
terhadap layanan yang ditujukan terhadap pengguna
napza suntik.
Tahun 2005 Kementerian Hukum dan HAM
mencanangkan program penanggulangan HIV/AIDS
dan penyalahgunaan Napza di Lapas/Rutan yang
bertujuan untuk menyediakan layanan pencegahan,
pengobatan dan dukungan terkait tuberkulosis dan HIV
bagi para narapidana yang terdapat di dalam

Ns. Ani Syafriati, M.Kep & Ns. Lisda Maria, M.Kep.,Sp.Kep.Mat 66

51
lapas/rutan. Di Indonesia, sebagian besar program
untuk mengurangi penularan HIV dikalangan pengguna
napza suntik hanya berfokus pada perilaku menyuntik
yang tidak aman, namun ditemukan kasus bahwa
pengguna napza suntik tidak hanya mempunyai
pasangan tetap tetapi juga membeli seks, pasangan
seks pengguna napza suntik tidak selalu pengguna
napza suntik juga, pengguna napza suntik tidak selalu
terbuka tentang perilaku penggunaan Napza dengan
pasangan seksualnya dan pengguna napza suntik juga
menyuntik di kota lain bersama dengan pengguna
napza suntik lainnya. Kompleksitas jaringan seksual
pengguna napza suntik yang berpotensi menyeber ke
populasi umum dikenali dari beberapa bentuk hubungan
seksual yang tetap maupun sementara. Pasangan tetap
belum tentu pasangan atas dasar perkawinan tetapi
bisa juga pacar dan pasangan sementara tidak selalu
pasangan komersil tetapi juga hubungan seks dalam
periode yang lebih pendek serta bersifat tidak tetap.

BAB 4
Manajemen Kasus

A. Manajemen kasus pada klien dengan HIV/AIDS


Tenaga kesehatan mempunyai peran utama
dalam menjalankan manajemen kasus HIV/AIDS.
Manajemen kasus telah menjadi suatu strategi
intervensi yang tepat untuk pelayanan kepada individu
dan populasi yang mengalami resiko tinggi termasuk

67 BUKU AJAR KEPERAWATAN HIV/AIDS


mereka yang terkena virus HIV/AIDS. Manajeman kasus
HIV/AIDS dirancang untuk memberikan keberlanjutan
rawatan dengan memperbaiki kualitas hidup, menjamin
ketepatan perencanaan pengobatan medis secara
individu, mendorong kepatuhan minum obat,
menghubungan klien kepada pelayanan dan jaringan
sosial yang sesuai, memperlancar jangkauan kepada
pelayanan, dan menghubungkan berbagai pelayanan
yang diperlukan untuk memelihara keberfungsian sosial
dan fisik secara optimal. Perawat sebagai salah satu
tenaga kesehatan mempunyai peranan utama untuk
menghubungkan klien dengan pelayanan yang tersedia,
menjalankan advokasi dan pengembangan pelayanan,
memberikan pelayanan pengurangan resiko dan
pendidikan HIV/AIDS, memberikan informasi dan
rujukan, menjalankan rawatan lanjutan secara terus
menerus, serta memberikan pendidikan dan konseling.
British HIV Association (2013), mengemukakan 12
standar perawatan bagi Orang Dengan HIV yaitu :
1) Pemeriksaan dan diagnosis HIV
2) Aksesibilitas dan hak untuk mendapatkan
pengobatan dan perawatan HIV
3) Penyediaan pengobatan dan perawatan HIV bagi
pasien yang diobati di rumah sakit, tetapi tidak
tinggal di rumah sakit, dan akses terhadap
perawatan penyakit yang menyertai yang kompleks
4) Memberikan resep ARV secara aman: manajemen
obat secara efektif;
5) Perawatan dalam rumah sakit bagi orang yang
hidup dengan HIV
6) Perawatan psikologis

Ns. Ani Syafriati, M.Kep & Ns. Lisda Maria, M.Kep.,Sp.Kep.Mat 68


7) Kesehatan seksual, dan mengidentifikasi yang
berhubungan yang beresiko terinfeksi
8) Kesehatan reproduksi
9) Manajemen Diri bagi orang yang hidup dengan HIV
10) Melibatkan orang yang hidup dengan HIV dalam
perawatan mereka
11) Orang yang hidup dengan HIV harus dirawat oleh
orang yang memiliki kompetensi, dan diawasi oleh
ahli atau konsultan
12) Informasi bagi pengawasan kesehatan publik,
pemeriksaan dan penelitian.

Manajemen kasus yang dapat dilakukan


diantaranya melakukan pendekatan awal,
mengungkapkan dan pemahaman masalah
(pengkajian), rencana asuhan keperawatan,
implementasi, evaluasi, resosialisasi, terminasi dan
rujukan, serta pembinaan lanjut. Proses pengkajian,
intervensi dan terminasi dilaksanakan secara khusus
untuk menangani klien ODHA.
1. Pengkajian
a. Identitas ODHA meliputi orang tua, keluarga,
riwayat kehidupan, pendidikan, pekerjaan,
dan keadaan ekonomi.
b. Riwayat medis mencakup proses VCT, jumlah
CD4, kondisi berat badan, menu makanan
yang dikonsumsi, riwayat penyakit yang
diderita dan pengobatan yang dilakukan, dan
kondisi kesehatan saat ini.
c. Latar belakang masalah, berkenaan dengan
status positif HIV, latar belakang tertular HIV, 53

69 BUKU AJAR KEPERAWATAN HIV/AIDS


faktor penyebab atau perilaku berisiko tertular
HIV, upaya untuk mengatasi masalah,
hambatan yang dihadapi dan keberhasilan
apa yang telah dicapai dalam upaya
mengatasi masalah.
d. Dampak masalah bagi diri sendiri, keluarga,
tetangga, masyarakat dan cara mengatasi
masalah, Harapan yang ingin dicapai baik
terhadap masalah yang dihadapi maupun
terhadap pelayanan rehabilitasi sosial ODHA.
e. Dinamika keberfungsian Penerima Manfaat
meliputi aspek fisik, intelektual, spiritual,
emosional, psikologi, sosial dan aspek
vokasional; Kekuatan dan kelemahan yang
dimiliki; Sistem sumber yang dimiliki dalam
upaya pemecahan masalah.

2. Intervensi
Proses intervensi terhadap Orang Dengan HIV
meliputi kegiatan:
a. Bimbingan individu dan bimbingan kelompok
b. Bimbingan Sosial, yaitu berupa kegiatan rutin
setiap seminggu sekali yaitu morning meeting.
c. Penyiapan lingkungan sosial, yaitu para ODH
terlibat dalam kegiatan di lingkungan
masyarakat sekitar.
d. Bimbingan mental psikososial, yaitu
bimbingan agama dan mental psikologis oleh
konselor, pekerja sosial, psikolog, ustadz atau
pendeta

Ns. Ani Syafriati, M.Kep & Ns. Lisda Maria, M.Kep.,Sp.Kep.Mat 70


e. Bimbingan pelatihan ketrampilan, meliputi
keterampilan menjahit, sablon, pertanian,
komputer, olahan makanan dan sebagainya.
f. Bimbingan fisik kesehatan, meliputi
pemeriksaan Dokter seiap hari Sabtu,
olahraga setiap seminggu dua kali pada hari
selasa dan hari jumat
g. Bimbingan Pendidikan. Terutama nanti
dilaksanakan untuk Penerima Manfaat Anak
Dengan HIV/AIDS (ADHA).
h. Kegiatan family support, dilakukan melalui
kegiata home visit menjelang kepulangan
Penerima Manfaat ke keluarganya masing-
masing.
3. Terminasi
Terminasi dilakukan kepada klien ODHA dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Terminasi dilakukan setelah hasil evaluasi
menunjukkan bahwa penerima manfaat telah
mencapai hasil yang optimal terkait dengan
kegiatan pelayanan yang dijalankan dan sesuai
dengan rencana intervensi.
b. Rujukan akan dilakukan apabila ODHA masih
memerlukan pelayanan lainnya diluar
pelayanan yang tersedia di Lembaga, sehingga
ODHA akan dirujuk ke lembaga lain misalnya
ke rumah sakit, lembaga lanjutan dan
sebagainya.

71 BUKU AJAR KEPERAWATAN HIV/AIDS


B. Manajemen kasus pada klien dengan
penyalahgunaan NAPZA
Pengguna napza suntik tidak hanya menyumbang
kasus HIV/AIDS melalui penggunaan jarum secara
bergantian tetapi juga melalui perilaku seksualnya yang
tidak aman. Perilaku seksual berisiko pengguna napza
suntik berpotensi untuk menyebarkan HIV/AIDS ke
masyarakat umum sehingga perlu perhatian yang
khusus terhadap perilaku seksual pengguna napza
suntik. Pencegahan risiko penularan HIV melalui
seksual dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu : abstain
from sex (sama sekali tidak melakukan hubungan seks),
be faithful (melakukan hubungan seks hanya denagn
suami atau istri saja), dan consistenly condom (selalu
memakai kondom bila melakukan hubungan seks) baik
dengan pasangan tetap maupun tidak tetap. 55
Mengingat perilaku seksual berisiko yang dimiliki
oleh pengguna napza suntik, penggunaan kondom
secara konsisten pada kelompok ini sangatlah penting
untuk mencegah terjadinya epidemi HIV/AIDS pada
pasangan mereka baik pasangan tidak tetap seperti
wanita pekerja seksual ataupun pasangan tetapnya.
Dalam upaya memperluas akses layanan bagi ODHA,
Kementerian Kesehatan menerapkan sistim Layanan
Komprehensif Berkesinambungan (LKB). LKB
merupakan suatu model layanan terpadu yang
melibatkan semua unsur layanan baik dari sektor
kesehatan primer, sekunder hingga tersier dan layanan
dari sektor lain yang terkait dengan kebutuhan ODHA,
termasuk keterlibatan dari komunitas. LKB bertujuan
untuk mendekatkan dan memperkuat sistim layanan
Ns. Ani Syafriati, M.Kep & Ns. Lisda Maria, M.Kep.,Sp.Kep.Mat 72

56 57
kesehatan hingga menjamin ketersediaan layanan
komprehensif dan berkesinambungan. Adapun yang
dimaksud dengan layanan komprehensif adalah layanan
yang mencakup semua kebutuhan ODHA. Sedang
layanan berkesinambungan adalah layanan yang
terhubung dari satu titik layanan ke titik layanan lain
dengan sistem rujukan yang efektif sepanjang hayat.

Gambar 1. Pintu Masuk Layanan HIV (Kementerian


Kesehatan Republik Indonesia, 2016)

73 BUKU AJAR KEPERAWATAN HIV/AIDS


BAB 5
Prinsip komunikasi konseling pada klien
HIV/AIDS dan penyalahgunaan NAPZA

A. Definisi konseling
Komunikasi, menciptakan hubungan antara
tenaga kesehatan dengan pasien untuk mengenal
kebutuhan dan menentukan rencana tindakan.
Kemampuan komunikasi tidak terlepas dari tingkah
laku yang melibatkan aktifitas fisik, mental dan
dipengaruhi oleh latar belakang sosial,
pengalaman, usia, pendidikan dan tujuan.
Komunikasi merupakan bagian vital dalam
perawatan, terutama dalam pengelolaan sebuah
penyakit dan kondisi kesehatan tertentu (seperti
HIV dan AIDS) di mana klien memegang peranan
dalam mengelola kesehatan mereka. Komunikasi
yang efektif dan hubungan yang bagus dengan
klien merupakan hal penting dalam proses
dukungan dan perawatan ini. Jika komunikasi
antara klien dan manajer kasus berjalan cukup
efektif, hal ini akan mempengaruhi peningkatan
kualitas hidup klien maupun keluarganya. Konseling
merupakan proses membantu seseorang untuk

Ns. Ani Syafriati, M.Kep & Ns. Lisda Maria, M.Kep.,Sp.Kep.Mat 74


belajar menyelesaikan masalah interpersonal,
emosional dan memutuskan sesuatu.
1. Komunikasi Teurapetik dalam Ketenaga
kesehatan
a. Pengkajian
Menentukan kemampuan dalam proses
informasi; mengevaluasi data tentang status
mental pasien; mengevaluasi kemampuan
pasien dalam berkomunikasi;
mengobservasi kejadian yang terjadi;
mengidentifikasi perkembangan pasien;
menentukan sikap pasien; mengkaji tingkat
kecemasan pasien.
b. Rencana tujuan
Membantu pasien untuk memenuhi
kebutuhan sendiri; membantu pasien
menerima pengalaman; meningkatkan harga
diri pasien; memberi support; tenaga
kesehatan dan pasien sepakat untuk
berkomunikasi secara terbuka.
c. Implementasi
Memperkenalkan diri pada pasien; memulai
interaksi dengan pasien; membantu pasien
mendapatkan gambaran pengalamannya;
menganjurkan pasien untuk
mengungkapkan perasaan; menggunakan
komunikasi untuk meningkatkan harga diri
pasien.
d. Evaluasi
Pasien dapat mengembangkan kemampuan
dalam mengkaji dan memenuhi kebutuhan;

75 BUKU AJAR KEPERAWATAN HIV/AIDS


komunikasi menjadi lebih jelas, terbuka, dan
terfokus pada masalah; membantu
menciptakan lingkungan yang dapat
mengurangi kecemasan

2. Tahap interaksi dengan Klien


a. Pre interaksi adalah masa persiapan sebelum
mengevaluasi dan berkomunikasi dengan
pasien. Pada masa ini tenaga kesehatan
perlu membuat rencana interaksi dengan
pasien yaitu: melakukan evaluasi diri,
menetapkan tahapan hubungan/ interaksi,
merencanakan interaksi.
b. Perkenalan adalah kegiatan yang dilakukan
saat pertama kali bertemu. Hal yang perlu
dilakukan tenaga kesehatan adalah: memberi
salam; memperkenalkan diri; menanyakan
nama pasien; menyepakati pertemuan
(kontrak); melengkapi kontrak; menyepakati
masalah pasien; mengakhiri perkenalan.
c. Orientasi adalah fase ini dilakukan pada awal
setiap pertemuan kedua dan seterusnya.
Tujuannya memvalidasi keakuratan data,
rencana yang telah dibuat dengan keadaan
pasien dan mengevaluasi hasil tindakan yg
lalu. Hal yang harus diperhatikan: memberi 59
salam; memvalidasi keadaan psien;
mengingatkan kontrak.
d. Fase kerja merupakan inti hubungan tenaga
kesehatan-klien yang terkait erat dengan
pelaksanaan rencana tindakan ketenaga

Ns. Ani Syafriati, M.Kep & Ns. Lisda Maria, M.Kep.,Sp.Kep.Mat 76


kesehatanan yang dilaksanakan sesuai
dengan tujuan yang akan dicapai. Tujuan
tindakan ketenaga kesehatan:
 Meningkatkan pengertian dan
pengenalan pasien tentang diri,
perasaan, pikiran dan perilakunya (tujuan
kognitif).
 Mengembangkan, mempertahankan, dan
meningkatkan kemampuan pasien secara
mandiri menyelesaikan masalah yang
dihadapi (tujuan afektif dan psikologi).
 Melaksanakan terapi/ klinis ketenaga
kesehatanan.
 Melaksanakan pendidikan kesehatan.
 Melaksanakan kolaborasi.
 Melaksanakan observasi dan
pemantauan.
e. Fase terminasi merupakan akhir dari setiap
pertemuan tenaga kesehatan dengan pasien.
Klasifikasi terminasi:
 Terminasi sementara: akhir dari tiap
pertemuan tenaga kesehatan dengan
pasien; terdiri dari tahap evaluasi hasil,
tahap tindak lanjut dan tahap untuk
kontrak yang akan datang.
 Terminasi akhir: terjadi jika pasien akan
pulang dari rumah sakit atau tenaga
kesehatan selesai praktik. Isi percakapan
antara tenaga kesehatan dengan pasien
meliputi tahap evaluasi hasil, isi

77 BUKU AJAR KEPERAWATAN HIV/AIDS


percakapan tindak lanjut dan tahap
eksplorasi perasaan.
3. Teknik menjalin hubungan dengan klien
 Mendengar dengan penuh perhatian
Usaha tenaga kesehatan mengerti pasien
dengan cara mendengarkan masalah yang
disampaikan pasien. Sikap tenaga kesehatan:
pandangan ke pasien, tidak menyilangkan kaki
dan tangan, menghindari gerakan yang tidak
perlu, tubuh condong ke arah pasien.
 Menunjukkan penerimaan
Mendukung dan menerima informasi dengan
tingkah laku yang menunjukkan ketertarikan dan
tidak menilai. Sikap tenaga kesehatan:
mendengarkan tanpa memutuskan pembicaraan,
memberikan umpan balik verbal.
 Menanyakan pertanyaan yg berkaitan
Tujuan: mendapatkan informasi yang spesifik
mengenai masalah yang disampaikan pasien.
 Mengulang ucapan pasien dengan kata-kata
Pemberian feedback dilakukan setelah tenaga
kesehatan melakukan pengulangan kembali kata
kata pasien.
 Mengklarifikasi
Tujuan: untuk menyamakan pengertian.
 Memfokuskan
Untuk membatasi bahan pembicaraan sehingga
percakapan lebih spesifik dan dimengerti.
 Menyatakan hasil observasi

Ns. Ani Syafriati, M.Kep & Ns. Lisda Maria, M.Kep.,Sp.Kep.Mat 78


Tenaga kesehatan memberikan umpan balik
pada pasien dengan menyatakan hasil
pengamatannya sehingga pasien dapat
menguraikan apakah pesannya diterima atau
tidak.
 Menawarkan informasi
Memberi tambahan informasi merupakan
tindakan penyuluhan kesehatan untuk pasien.
 Diam
Memberikan kesempatan pada tenaga
kesehatan untuk mengorganisasikan pikiran dan
memproses informasi. 61
 Meringkas
Pengulangan ide utama yang telah
dikomunikasikan secara singkat. Manfaat:
membantu, mengingat topik yang telah dibahas
sebelum melanjutkan pembicaraan.
 Memberikan penghargaan
Teknik ini tidak digunakan untuk menyatakan hal
yang baik dan buruk.
 Menawarkan diri
Menyediakan diri Anda tanpa respon bersyarat
atau respon yang diharapkan; Memberi
kesempatan kepada pasien untuk memulai
pembicaraan; Memberi kesempatan kepada
pasien untuk berinisiatif dalam memilih topik
pembicaraan.
 Menganjurkan untuk meneruskan pembicaraan
Tujuan:

79 BUKU AJAR KEPERAWATAN HIV/AIDS


1. Memberi kesempatan pasien untuk
mengarahkan seluruh pembicaraan,
menafsirkan diskusi, tenaga kesehatan
mengikuti apa yg sedang dibicarakan
selanjutnya.
2. Menempatkan kejadian dan waktu secara
berurutan.
3. Menguraikan kejadian secara teratur akan
membantu tenaga kesehatan dan pasien
untuk melihat dalam suatu perspektif.
4. Menemukan pola kesukaran interpersonal
klien.
 Menganjurkan klien untuk menguraikan
persepsi
Tenaga kesehatan harus dapat melihat segala
sesuatu dari perpektif pasien.
 Perenungan Memberikan kesempatan untuk
mengemukakan dan menerima ide serta
perasaannya sebagai bagian dari dirinya sendiri.

B. Konseling HIV/AIDS
Konseling HIV dan AIDS merupakan
komunikasi bersifat konfidensial antara klien dan
Manajer Kasus/konselor bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan menghadapi stress dan
mengambil keputusan berkaitan dengan HIV dan
AIDS. Proses konseling termasuk evaluasi risiko
personal penularan HIV, fasilitasi pencegahan
perilaku, dan evaluasi penyesuaian diri ketika klien
menghadapi hasil tes positif. Konseling biasanya
dimulai dari tahap pencegahan HIV dan AIDS

Ns. Ani Syafriati, M.Kep & Ns. Lisda Maria, M.Kep.,Sp.Kep.Mat 80


hingga proses dukungan, perawatan dan
pengobatan ODHA.
1. Tujuan konseling :
a. Menyediakan dukungan psikologik, misal
dukungan yang berkaitan dengan
kesejahteraan emosi, psikologis, social,
spritual seseorang yang mengidap virus
HIV
b. Pencegahan penularan HIV dengan
menyediakan informasi tentang perilaku
beresiko (seperti seks aman atau
penggunaan jarum bersama) dan
membantu orang dalam mengembangkan
keterampilan pribadi yang diperlukan untuk
perubahan perilaku dan negosiasi praktek
lebih aman
c. Memastikan efektifitas rujukan kesehatan,
terapi dan perawatan melalui pemecahan
masalah kepatuhan berobat.
2. Manajer Kasus/Konselor mencapai tujuan ini
melalui:
a. Memungkinkan orang untuk mengenali dan
mengekpresikan perasaannya
b. Menggali opsi dan membantu klien
membangun rencana tindak lanjut tentang
isu yang dihadapi
c. Membangkitkan perubahan perilaku yang
sesuai
d. Menyediakan informasi terkini tentang
prevensi, terapi dan perawatan HIV/AIDS 63

81 BUKU AJAR KEPERAWATAN HIV/AIDS


e. Memberikan informasi tentang sumber dan
institusi yang dapat membantu kesulitan
social dan ekonomi, budaya yang timbul
berkaitan dengan HIV
f. Menolong menghubungi kontak institusi
yang dapat membantu.
g. Membantu klien memperoleh dukungan
dari jejaring social, keluarga dan teman-
teman mereka
h. Membantu klien menyesuaikan diri dengan
keadaan yang terjadi saat ia mengalami
sakit, berduka dan kehilangan suami, isteri,
pasangan, kawan, pekerjaan dll
i. Ambil peran advokasi- misalnya membantu
klien mengatasi diskriminasi
j. Mengingatkan klien akan hak hukumnya
k. Membantu klien akan hak hukumnya
l. Membantu klien mengendalikan hidup
mereka

C. Konseling Penyalahgunaan NAPZA


Konseling dan pemeriksaan terhadap
individu beresiko tinggi merupakan langkah utama
untuk pencegahan dan deteksi dini. Individu yang
terinfeksi tetapi tidak menyadari sangat potensial
mentransmisikan ke orang lain. WHO
merekomendasikan dibutuhkan waktu untuk
memberikan pengetahuan dan persiapan guna
meningkatkan kepatuhan sebelum dimulai terapi
ARV. Persiapannya termasuk melakukan penilaian
kemampuan individu untuk patuh pada terapi dan

Ns. Ani Syafriati, M.Kep & Ns. Lisda Maria, M.Kep.,Sp.Kep.Mat 82


skrining penyalahgunaan NAPZA atau gangguan
mental yang akan memberi dampak pada HIV.
Sekali terapi dimulai, harus dilakukan monitoring
terus menerus yang dinilai oleh dokter, jumlah obat
(kuantitatif berguna tetapi merupakan subyek
kesalahan dan manipulasi ) dan divalidasi dengan
daftar pertanyaan kepada pasien. Konseling perlu
untuk membantu pasien mencari jalan keluar dari
kesulitan yang mungkin timbul dari pemberian
terapi dan mempengaruhi kepatuhan.
Model keyakinan kesehatan mengatakan
setiap individu akan masuk dalam perilaku sehat
seperti kepatuhan minum obat bila mereka percaya
obat tersebut manjur untuk penyakitnya dan
memberikan konsekuensi serius pada mereka, dan
mereka percaya aksi obat akan mengurangi
keparahan penyakit. Model ini harus
mempertimbangkan aspek akan antisipasi
terjadinya kendala misalnya dana (harus
berulangkali datang untuk VCT dan mengambil obat
dan sebagainya) serta keuntungan yang diperoleh.
Faktor penting kepatuhan adalah keyakinan individu
akan kemampuannya untuk menjaga kepatuhan
berobat jangka panjang agar tujuan pengobatan
tercapai. Konselor harus dapat menilai faktor ini dan
mengembangkan strategi menanggapinya
misalnya, bila klien melaporkan kepada dokter
bahwa mereka merasa obatnya sangat toksik dan
membuat kesehatan mereka menjadi memburuk.
Klien dapat diajari membangun struktur
pemecahan masalah untuk mengatasi masalah

83 BUKU AJAR KEPERAWATAN HIV/AIDS


yang timbul dari kepatuhan berobat. Ini sangat
berguna ketika diskusi mencari solusi masalah yang
dihadapi dalam kepatuhan berobat, misalnya klien
memberitahu bahwa ia menghindari minum obat
ketika kerja, karena ia makan siang selalu bersama
kolega dan tak ingin siapapun tahu ia sakit.
Sementara obat harus diminum pada waktu makan.
Konselor dan klien berdiskusi dan mengevaluasi
berbagai alternatif yang muncul berkaitan dengan
permasalahan yang diajukan. Konselor mambantu
klien mengembangkan rencana kepatuhannya dan
mengajar klien keterampilan perilaku yang
dibutuhkan.

Ns. Ani Syafriati, M.Kep & Ns. Lisda Maria, M.Kep.,Sp.Kep.Mat 84


SOAL PENGKAYAAN
1. Seorang pasien laki-laki berusia 40 tahun dirawat
diruang isolasi Rumah Sakit Husada dengan HIV,
Saat dilakukan anamnesa pasien tidak didampingi 65
oleh istrinya dan anaknya. Pasien mengatakan
bahwa dia merasa gagal menjadi kepala keluarga,
pasien sudah diusir oleh istri dan warga tempat
tinggalnya, mereka menganggap bahwa penyakit
tersebut adalah kutukan dari Tuhan serta aib bagi
kampung mereka. Saat ini stigma negatif yang
dicap oleh warga membuat pasien merasa depresi
dan putus asa sehingga pasien mencoba untuk
bunuh diri, pengkajian aspek yang dilakukan oleh
perawat adalah ?
A. Aspek sosial
B. Aspek psikologis
C. Aspek kultural
D. Aspek biologis
E. Aspek spiritual

2. Seorang anak remaja berusia 16 tahun ditemukan


tidak sadarkan diri di dekat lampu merah, tubuh
anak tersebut dipenuhi dengan tato, tampilan anak
tersebut seperti anak “punk”. saat ini anak sudah
dibawa ke Rumah Sakit oleh relawan yang

85 BUKU AJAR KEPERAWATAN HIV/AIDS


menemukannya. Saat dianamnesa oleh perawat
ditemukan banyak bekas suntikan jarum di kedua
tangan, Berat badan diperkirakan 40 Kg, Tinggi
badan 165 Cm, banyak ditemukan stomatitis di
mulut. Langkah selanjutnya yang harus dilakukan
oleh perawat adalah …
A. Kolaborasi pemeriksaan serologi HIV
B. Kolaborasi Pemeriksaan CT Scan
C. Kolaborasi Pemeriksaan Rontgen
D. Kolaborasi pemeriksaan leukosit
E. Kolaborasi pemeriksaan USG Abdomen

3. Seorang pasien laki-laki berusia 25 tahun dirawat di


ruang Mawar dengan keluhan diare, demam,
mudah lelah, letih, lesu, dan berkeringat pada
malam hari. Tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 80
X/Menit, suhu 40 C, Pernafasaan 26X/ Menit, turgor
kulit buruk, masalah keperawatan yang utama pada
pasien tersebut adalah….
A. Ansietas
B. Resiko tinggi kekurangan volume cairan
C. Perubahan nutrisi
D. Resiko tinggi infeksi
E. Bersihan jalan nafas

4. Seorang perempuan berusia 37 tahun dirawat


dirumah sakit dengan keluhan mudah lela, pusing,
takikardia, mengeluh menglami kelemahan otot
ektermitas atas dan bawah. Pasien tampak lesu
diatas tempat tidur, pasien tampak tidak

Ns. Ani Syafriati, M.Kep & Ns. Lisda Maria, M.Kep.,Sp.Kep.Mat 86


bersemangat. Masalah keperawatan yang muncul
pada pasien adalah….
A. Intoleransi aktivitas
B. Ansietas
C. Hambatan mobilitas fisik
D. Resiko tinggi perdarahan
E. Resiko tinggi infeksi

5. Seorang laki-laki berusia 40 tahun datang ke


polikilinik untuk berkonsultasi dengan dokter jarena
keponakan yang belum genap satu bulan menderita
diare, demam tinggi dan stelah dibawa ke Rumah
Sakit, dokter mendiagnosis HIV. Dari kasus diatas
pengkajian keperawatan yang harus dilakukan oleh
perawat adalah …
A. Riwayat kesehatan sekarang
B. Riwayat kesehatan keluarga
C. Riwayat kesehatan terdahulu
D. Riwayat kelahiran
E. Pola asuh dan pola didik 67

87 BUKU AJAR KEPERAWATAN HIV/AIDS


DAFTAR PUSTAKA

Adam, A. (2016). Rehabilitasi Narkoba Dan AIDS;


Memadukan Pendekatan Model Medis dan Model
Sosial. Cetakan I. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Aisyah, S. dan Fitria, A. (2019). Hubungan Pengetahuan
Dan Sikap Remaja Tentang HIV/AIDS Dengan
Pencegahan HIV/AIDS Di SMA Negeri 1 Montasik
Kabupaten Aceh Besar. Jurnal Bidan Komunitas.
Vol. I1 No. 1 Hal. 1-10 I e-ISSN 2614-7874.
Asosiasi Institusi Pendidikan NERS Indonesia. (2015).
Kurikulum Inti Pendidikan NERS Indonesia.
Jakarta : AIPNI.
Anggraeni N.P.D.A, Cory’ah F.A.N, dan Sopiatun R.
(2015). Karakteristik Partisipan Skrining Human
Immunodeficiency Virus/Acquired
Immunodeficiency Syndrome (HIV/AIDS) Di Klinik
Test HIV AIDS Mandalika Rumah Sakit Umum
Daerah Praya. Jurnal Kesehatan Prima. 9, No.2,
Agustus 2015, Halaman : 1506-1515.
Anwar Y, Nugroho S.A, dan Tantri N.D. (2018).
Karakteristik Sosiodemografi, Klinis, Dan Pola
Terapi Antiretroviral Pasien HIV/AIDS Di RSPI
Prof. Dr. Sulianti Saroso Periode Januari - Juni
2016. Pharmaceutical Journal of Indonesia, Vol.15
No. 01 Juli 2018.

Ns. Ani Syafriati, M.Kep & Ns. Lisda Maria, M.Kep.,Sp.Kep.Mat 88


Baroroh I, Hidayati N, dan Kusumawardani D. (2014).
Pengetahuan Dan Sikap Wanita Rawan Sosial
Ekonomi (WRSE) Tentang Pencegahan
Penanggulangan HIV/AIDS Di Kota Pekalongan
Tahun 2014. Jurnal LITBANG Kota Pekalongan.
Black, J.M & Hawks, J.H. (2014). Keperawatan Medikal
Bedah. Manajemen Klinis untuk Hasil yang
Diharapkan. Edisi Bahasa Indonesia. Edisi 8,
Buku 3. Singapore: Elsevier.
Cahyani A.E, Widjanarko B, dan Laksono B. (2015).
Gambaran Perilaku Berisiko HIV pada Pengguna
Napza Suntik di Provinsi Jawa Tengah. Jurnal
Promosi Kesehatan Indonesia Vol. 10 / No. 1 /
Januari 2015.
Hakim, L. (2018). Dukungan Keluarga Terhadap Ibu
Hamil HIV Positif Dalam Pencegahan Penularan
HIV/AIDS Ke Bayi Di Sragen. Program Studi
Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Hakim, M.Z. (2019). Model Pelayanan Rehabilitasi
Sosial Orang Dengan HIV Di Indonesia. Jurnal 69
Ilmu Kesejahteraan Sosial HUMANITAS.
Kementerian Kesehatan RI. (2016). Program
Pengendalian HIV AIDS dan PIMS di Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama, Petunjuk Teknis.
Direktorat Jenderal Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit.
Kemenkes RI. (2017). Laporan Situasi Perkembangan
HIV-AIDS & PIMS di Indonesia Januari –
Desember Tahun 2017. Jakarta: Kemenkes RI.
Maslikhah, Baequny A, dan Hidayati R.A. (2018).
Gambaran Kesiapan Petugas Kesehatan Dalam
Penatalaksanaan Pemeriksaan HIV-AIDS Pada
Ibu Hamil Di Kabupaten Batang. Jurnal Litbang
Kota Pekalongan Vol. 14 Tahun 2018.

89 BUKU AJAR KEPERAWATAN HIV/AIDS


Mirzawati, N. (2019). Kebermaknaan Hidup Pada ODHA
(orang dengan HIV AIDS) Wanita Di Kota
Bukittinggi. Jurnal Riset Psikologi.
Mustalia, Suryoputro A, dan Widjanarko B. (2016).
Perilaku Seksual Remaja di Lingkungan Lokalisasi
Kabupaten Sidoarjo. Jurnal Promosi Kesehatan
Indonesia Vol. 11 / No. 1 / Januari 2016.
Nurma, Ichwansyah F, Anwar S, et.al. (2018). Penyebab
Diskriminasi Masyarakat Kecamatan Dewantara
Kabupaten Aceh Utara Terhadap Orang Dengan
HIV-AIDS. SEL Jurnal Penelitian Kesehatan Vol. 5
No.1, Juli 2018, 1-9.
Nuwa, M.S. (2019). Penanganan Terhadap Stigma
Masyarakat tentang Orang Dengan HIV/AIDS
(ODHA) di Komunitas. Jurnal Penelitian
Kesehatan Suara Forikes, Volume 10 Nomor 1,
Januari 2019.
Oktaviani, I. (2018). Perilaku Orang Dengan HIV/AIDS
(ODHA) Laki-Laki Suka Seks Dengan Laki-Laki
(LSL) Terhadap Pencegahan Tuberculosis Di
Kabupaten Jember. Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Jember.
Prastiwi, R.N.W. (2019). Hubungan Pengetahuan, Sikap
Dan Persepsi Anggota WPA Tentang HIV/AIDS
Dengan Stigma Pada ODHA Di Surakarta.
Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas
Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Putri, D.K, Malini H dan Basmanelly. (2019). Living with
HIV/AIDS: Stigma and Social Discrimination.
Jurnal The Messenger, Vol. 11, No. 1, January
2019, pp. 10-17.
Rochmawati L dan Sari G.K. (2019). Pemberdayaan
Keluarga Melalui Dukungan Sosial Dalam
Pencegahan Penularan HIV Dari Ibu Ke Anak

Ns. Ani Syafriati, M.Kep & Ns. Lisda Maria, M.Kep.,Sp.Kep.Mat 90


Kepada Ibu HIV Positif. Jurnal Kebidanan
Indonesia. Vol 10 No 1. Januari 2019 (74 – 85).
Sofah R, Harlina, dan Putri R.M. (2018).
Pengembangan Perilaku Asertif untuk
Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Melalui
Layanan Bimbingan Kelompok. Jurnal Fokus
Konseling, Volume 4, No. 1 (2018), 100-106.
Setyowati, S dan Hakim, N. (2019). Spirituality and
knowledge level of HIV/AIDS with sexual behavior
of pre-marriage fishermen’s in Yogyakarta.
Journal Health of Studies, Vol.3, No.1, Maret
2019, pp. 88-95.
Wati N, Cahyo K, dan Indraswari R. (2017). “Pengaruh
Peran Warga Peduli AIDS terhadap Perilaku
Diskriminatif pada ODHA”. Jurnal Kesehatan
Masyarakat Volume 5 Nomor 2: 2356-3346.
Wattie, A.M, dan Sumampouw, N.S.A. (2018). Gerakan
Organisasi Berbasis Keagamaan Melawan
HIV/AIDS Di Indonesia: Penilaian Pada Wilayah
Jawa Tengah Dan Bali. JURNAL AQLAM, Journal
of Islam and Plurality, Volume 3, Nomor 1, Juni
2018.
WHO. (2018). HIV/AIDS.
http://www.who.int/features/qa/71/en/. Diakses
pada 31 Mei 2019.
Yuliza W.T, Hardisman dan Nursal D.G.A. (2019).
Analisis Faktor yang Berhubungan dengan
Perilaku Pencegahan HIV/AIDS Pada Wanita
Pekerja Seksual di Kota Padang. Jurnal
Kesehatan Andalas. 2019; 8(2).

91 BUKU AJAR KEPERAWATAN HIV/AIDS


BIOGRAFI
71
Ns. Ani Syafriati, S.Kep.,M.Kep
Lahir di Palembang, 5 Agustus
1992. Merupakan lulusan S1
Keperawatan di STIK Siti
Khadijah Palembang tahun 2014,
lulusan Program Profesi Ners
Universitas Muhammadiyah
Surakarta tahun 2016, lulusan
Pascasarjana Magister
Keperawatan Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta tahun
2018 dan sedang melanjutkan Studi Spesialis
Keperawatan Medikal Bedah (KMB) di Universitas
Muhammadiyah Jakarta. Saat ini penulis bekerja
sebagai dosen tetap di Program Studi S1 Keperawatan
dan Profesi Ners di STIKES Mitra Adiguna Palembang.
Penulis aktif di organisasi PPNI dan ADI. Penulis dapat
dihubungi melalui email: syafriatiani92@gmail.com

Ns. Ani Syafriati, M.Kep & Ns. Lisda Maria, M.Kep.,Sp.Kep.Mat 92


BIOGRAFI

Ns. Lisda Maria,


M.Kep.,Sp.Kep.Mat
Lisda Maria adalah dosen tetap
STIKES Mitra Adiguna,
Palembang. Lahir di Prabumulih,
15 Januari 1982. Menyelesaikan
pendidikan sarjana keperawatan
di STIK Bina Husada
Palembang tahun 2005, dan
Profesi Ners tahun 2015 di
kampus yang sama. Pendidikan
Magister Keperawatan diselesaikan di Program
Pascasarjana Fakultas Keperawatan Universitas
Indonesia (UI) Depok pada tahun 2018, dan
menyelesaikan Spesialis Keperawatan Maternitas di
kampus yang sama tahun 2021. Selain mengajar, juga
aktif di organisasi ADI, PPNI dan IPEMI. Sebagai
Konsultan dan Narasumber di Media Medica yang aktif
di Publikasi Nasional dan Internasional. Penulis dapat
dihubungi melalui email: lisdamaria83@gmail.com.

93 BUKU AJAR KEPERAWATAN HIV/AIDS

73

Anda mungkin juga menyukai