Anda di halaman 1dari 27

Napoleon Bonaparte

Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian


Napoleon beralih ke artikel ini. Untuk kegunaan lainnya, lihat Napoleon (disambiguasi)

Napoleon

Kaisar Prancis

Berkuasa 18 Mei 1804 – 11 April 1814


20 Maret 1815 – 22 Juni 1815

Penobatan 2 Desember 1804

Pendahulu Dirinya sebagai Konsul Perdana

Penerus Louis XVIII (de jure pada 1814)

Raja Italia

Berkuasa 17 Maret 1805 – 11 April 1814

Penobatan 26 Mei 1805

Pendahulu Dirinya sebagai Presiden Republik


Italia

Penerus None (kerajaan runtuh, raja Italia


selanjutnya adalah Victor Emmanuel
II)

Lahir 15 Agustus 1769


Ajaccio, Corsica, Prancis
Wafat 5 Mei 1821 (umur 51)
Longwood, Saint Helena

Pemakaman Les Invalides, Paris, Prancis

Wangsa Rumah Bonaparte

Nama lengkap
Napoleon Bonaparte

Ayah Carlo Buonaparte

Ibu Letizia Ramolino

Pasangan Joséphine de Beauharnais


Marie Louise dari Austria

Anak Napoleon II

Agama Katolik Roma[1]

Tanda
tangan

Kaisar Napoleon Bonaparte (Napoléon Bonaparte; bahasa Prancis: [napɔleɔ̃ bɔnapaʁt], bahasa
Italia: [napoleoŋe bɔŋaparte], nama lahir "Napoleone di Buonaparte" (bahasa Italia: [napoleoŋe dj
buɔŋaparte]); 15 Agustus 1769 – 5 Mei 1821) adalah seorang pemimpin militer dan politik Prancis
yang menjadi terkenal saat Perang Revolusioner. Sebagai Napoleon I, dia adalah Kaisar Prancis
dari tahun 1804 sampai tahun 1814, dan kembali pada tahun 1815. Napoleon berasal dari sebuah
keluarga bangsawan lokal dengan nama Napoleone di Buonaparte (dalam bahasa Korsika
Nabolione atau Nabulione).
Napoleon memiliki pengaruh yang besar terhadap persoalan-persoalan Eropa selama lebih dari
satu dasawarsa ketika memimpin Prancis melawan koalisi dalam Perang-Perang Napoleonis. Ia
memenangkan kebanyakan dari perang-perang ini dan hampir semua pertempuran-
pertempurannya, dengan cepat memperoleh kendali Eropa kontinental sebelum kekalahan
terakhirnya pada tahun 1815. Karena merupakan salah seorang panglima terhebat dalam sejarah,
kampanye-kampanyenya dipelajari di sekolah-sekolah militer di seluruh dunia dan ia tetap salah
satu tokoh politik yang paling terkenal dan memicu perdebatan dalam sejarah Barat.[2][3] Dalam
persoalan-persoalan sipil, Napoleon mempunyai sebuah pengaruh yang besar dan lama dengan
membawa pembaruan liberal ke negara-negara yang ia taklukkan, terutama ke Negara-Negara
Rendah, Swiss, Italia, dan sebagian besar Jerman. Ia melaksanakan kebijakan-kebijakan liberal
pokok di Prancis dan di seluruh Eropa Barat. Prestasi hukumnya yang kekal adalah Kitab Undang-
undang Napoleon, yang telah digunakan dalam berbagai bentuk oleh seperempat sistem hukum
dunia, dari Jepang sampai Quebec.[4][5]

Daftar isi

 1Asal usul dan pendidikan


 2Karier militer
 3Masa kejayaan
 4Pernikahan
 5Warisan
o 5.1Peperangan
o 5.2Kritik
 6Lihat pula
 7Catatan penjelas
 8Referensi
 9Bacaan lanjutan
 10Pranala luar

Asal usul dan pendidikan[sunting | sunting sumber]

Ayah Napoleon, Carlo Bounaparte adalah perwakilan Korsika di Kerajaan Louis XVI.
Napoleon Bonaparte adalah anak kedua dari tujuh bersaudara. Ia lahir di Casa Bounaparte, di
kota Ajaccio, Korsika, pada tanggal 15 Agustus 1769, satu tahun setelah kepulauan tersebut
diserahterimakan Republik Genova kepada Prancis.[6] Ia lahir dengan nama Napoleone di
Bounaparte, namun pada usia 20 tahun ia mengubah namanya menjadi Napoléon Bonaparte.[7][note
1]
Keluarga Bounaparte adalah keluarga bangsawan yang berasal dari Italia, yang pindah ke Korsika
pada abad ke-16/[9] Ayahnya, Nobile Carlo Bounaparte, seorang pengacara, pernah menjadi
perwakilan korsika saat Louis XVI berkuasa pada tahun 1777. Ibunya bernama Maria Letizia
Ramolino. Ia memiliki seorang kakak, Joseph; dan 5 adik,
yaitu Lucien, Elisa, Louis, Pauline, Caroline, dan Jérôme. Napoleon di baptis
sebagai katolik beberapa hari sebelum ulang tahunnya yang kedua, tepatnya tanggal 21 Juli 1771
di Katerdal Ajaccio.[10]
Kebangsawanan, kekayaan, serta koneksi keluarganya yang luas memberikan Napoleon
kesempatan yang luas untuk belajar hingga ke jenjang yang tinggi.[11] Pada bulan Januari 1779,
Napoleon didaftarkan pada sebuah sekolah agama di Autun, Prancis, untuk belajar bahasa Prancis,
dan pada bulan Mei ia mendaftar di sebuah akademi militer di Brienne-le-Château. Di sekolah, ia
berbicara dengan logat Korsika yang kental sehingga ia sering dicemooh teman-temannya;
memaksanya untuk belajar.[12] Napoleon pintar matematika, dan cukup memahami pelajaran
sejarah dan geografi.[13] Setelah menyelesaikan pendidikannya di Brienne pada 1784, Napoleon
mendaftar di sekolah elit École Militaire di Paris. Di sana ia dilatih menjadi seorang
perwira artileri. Ketika bersekolah di sana, ayahnya meninggal. Ia pun dipaksa menyelesaikan
sekolah yang normalnya memakan waktu dua tahun itu menjadi satu tahun. Ia diuji oleh ilmuwan
terkenal Pierre-Simon Laplace, yang di kemudian hari ditunjuk oleh Napoleon untuk menjadi
anggota senat.[14]

Karier militer[sunting | sunting sumber]

Lukisan terkenal Napoleon Melintasi Alpen, karya Jacques-Louis David.


Ia menjadi siswa di Akademi Militer Brienne tahun 1779 pada usia 10 tahun, kecerdasannya
membuat Napoleon lulus akademi di usia 15 tahun. Karier militernya menanjak pesat setelah dia
berhasil menumpas kerusuhan yang dimotori kaum pendukung royalis dengan cara yang sangat
mengejutkan: menembakkan meriam di kota Paris dari atas menara. Peristiwa itu terjadi
tahun 1795 saat Napoleon berusia 26 tahun. Berbagai perang yang dimenangkannya diantaranya
melawan Austria dan Prusia.

Masa kejayaan[sunting | sunting sumber]


Pada masa kejayaannya, Napoleon Bonaparte menguasai hampir seluruh dataran Eropa baik
dengan diplomasi maupun peperangan. Diantaranya adalah Belanda dengan diangkatnya
adiknya Louis Napoleon, Spanyol dengan diangkatnya Joseph Napoleon, Swedia dengan
diangkatnya Jenderal Bernadotte sebagai raja yang kemudian melakukan pengkhianatan, sebagian
besar wilayah Italia yang direbut dari Austria dan Polandia dengan diangkatnya Joseph
Poniatowski sebagai wali negara Polandia.

Pernikahan[sunting | sunting sumber]


Napoleon menikahi seorang janda bernama Joséphine de Beauharnais, kehidupan perkawinan
Napoleon penuh dengan ketidakpercayaan dan perselingkuhan diantaranya perselingkuhan
Napoleon dengan gadis Polandia Maria Walewska sampai akhirnya Joséphine menjadi istri yang
setia. Karena usianya yang lebih tua, Joséphine tidak memberikan keturunan pada Napoleon yang
kemudian diceraikannya. Kemudian menikah lagi dengan Putri Kaisar Austria Marie Louise putri
dari Kaisar Francois I yang mengikat persekutuan Austria dan Prancis yang dilakukan Kaisar
Austria atas nasihat perdana menteri Matternich untuk menyelamatkan negaranya. Pernikahan itu
berakhir dengan kekalahan Napoleon yang pertama dengan jatuhnya kota Paris akibat
diserang Rusia, Austria dan Prusia serta dibuangnya Napoleon ke pulau Elba. Marie Louise
sendiri dibawa pulang oleh ayahnya ke Wina.

Warisan[sunting | sunting sumber]

Lukisan berjudul Bonaparte Before the Sphinx yang dilukis oleh Jean-Léon Gérôme, Hearst Castle
pada tahun 1868.
Peperangan[sunting | sunting sumber]
Dalam organisasi militer, Napoleon mengenalkan istilah korps, yang terdiri atas kumpulan divisi.
Pembentukan korps ini juga didukung oleh besarnya pendaftaran tentara yang mengakibatkan
jumlah tentara menjadi membengkak, sehingga diperlukan suatu kesatuan tentara yang lebih besar
dari divisi.
Napoleon juga dikenal dengan penggunaan artileri secara besar-besaran untuk menghancurkan
tentara musuh, ketimbang menggunakan tentara infantri secara langsung. Dalam pemilihan artileri,
Napoleon memilih artileri yang memiliki mobilitas tinggi agar bisa mendukung taktik manuver
yang sering digunakannya dalam pertempuran. Salah satu artileri yang sering digunakan
adalah meriam Sistem Tahun XI yang sebenarnya lebih merupakan inovasi dari meriam Sistem
Gribeauval.
Kritik[sunting | sunting sumber]
Tidak semua peperangan berhasil dimenangkan oleh Napoleon. Kegagalan dalam menginvasi
daratan Mesir yang akibatnya berhadapan dengan kekuatan Inggris, Mamluk dan Utsmani. Meski
di daratan gurun, Napoleon sukses mengalahkan tentara
gabungan Utsmani dan Mamluk dalam Pertempuran Piramida, tetapi beberapa hari kemudian
armada Prancis dikalahkan oleh armada Inggris di bawah pimpinan Laksamana Horatio
Nelson di Teluk Aboukir. Armada Horatio Nelson untuk kedua kalinya berhasil mengalahkan
armada Prancis. Kali ini pada pertempuran laut di Trafalgar antara armada Prancis-Spanyol yang
dipimpin oleh Admiral Villeneuve dengan armada Britania Raya yang dipimpin oleh Laksamana
Nelson meskipun Nelson gugur dalam pertempuran ini (terkena tembakan sniper Prancis).
Kegagalan dalam menginvasi Rusia karena ketangguhan dan kecerdikan strategi Jenderal Mikhail
Kutuzov dan Tsar Aleksandr I dalam menghadapi pasukan Prancis dengan memanfaatkan musim
dingin Rusia yang dikenal mematikan serta pengkhianatan Raja Swedia, Jendral Bernadotte.
Strategi Rusia dalam hal ini adalah membakar kota Moskwa ketika Napoleon berhasil
menaklukkan kota itu setelah melewati pertempuran melelahkan di Borodino dan mengharapkan
sumber logistik baru. Kekalahan di Rusia diulangi lagi oleh Adolf Hitler dari Jerman pada Perang
Dunia II.
Kekalahan yang mengakhiri kariernya sebagai Kaisar Prancis setelah melarikan diri dari
Pulau Elba dan memerintah kembali di Prancis selama 100 hari adalah kekalahan
di Waterloo ketika berhadapan dengan kekuatan Inggris yang dipimpin Duke of Wellington,
Belanda oleh Pangeran van Oranje dan Prusia yang dipimpin oleh General Blücher serta
persenjataan baru hasil temuan Jenderal Shrapnel dari Inggris, yang mengakibatkan dia dibuang
ke Pulau Saint Helena sampai wafatnya.
Peperangan era Napoleon
(Dialihkan dari Perang Napoleon)
Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian
Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya
dapat dipastikan. Mohon bantu kami untuk mengembangkan
artikel ini dengan cara menambahkan rujukan ke sumber tepercaya.
Pernyataan tak bersumber bisa saja dipertentangkan dan dihapus.
Cari sumber: "Peperangan era Napoleon" – berita · surat
kabar · buku · cendekiawan · JSTOR (Maret 2018) (Pelajari cara
dan kapan saatnya untuk menghapus pesan templat ini)

Peperangan era Napoleon


Atas: Pertempuran Austerlitz
Bawah: Pertempuran Waterloo

Tanggal 1803–1815
Lokasi Eropa, Samudra Atlantik, Laut
Mediterania, Laut Utara, Rio de la
Plata, Guyana Prancis, Hindia
Barat, Samudra Hindia, Amerika
Utara, Kaukasus Selatan
Hasil Kemenangan koalisi, Kongres Wina

 Berakhirnya Kekaisaran Prancis


Pertama, Restorasi Bourbon
 Pembentukan Konser
Eropa dan Pax Britannica
 Berbagai perubahan wilayah dan
dinasti

Pihak terlibat

Britania Raya Prancis


[a][b]
Austria (1804–
1805, 1809, 1813–1815)  Kadipaten
[g]
Warsawa
[r]
 Hongaria (1809)  Italia
Kekaisaran  Holandia[h]
[c]
Rusia (1804–1807,  Etruria[i]
1812–1815)  Kepangeranan
Prusia[b] (1806– Lucca dan Piombino
1807, 1812–1815)  Napoli[j]
Spanyol[d] (1808–  Konfederasi
1815) Swiss
Portugal (1804–  Konfederasi
1807, 1809–1815) [k][n]
Rhine:
[e]
Sicily  Spanyol
Negara Gereja Bonaparte(1808–
Kesultanan 1813)[d]
Utsmaniyah [m](sampai
Spanyol(1803–
1803) [d]
1808)
Sardinia
Denmark–
Swedia[f] (1804– [l]
Norwegia
1809, 1812–1815)
Kekaisaran
Belanda(1815)
Utsmaniyah (1806–
Braunschweig
1812)[m]
Toscana
Austria (1809–
Swiss
1813)[a][b]
Royalis Prancis
Kekaisaran
Hanover
Rusia (1807–1812)[c]
Nassau
Prusia (1807–
Bavaria
1812)[b]
Württemberg
Swedia (1809–
Tirol
1812)[f]
Montenegro (1806–
1814) Persia (1804–1807,
1812–1813)[q]
Persia (1807–
[q]
Amerika
1812) [1]
Serikat sesama pihak
terlibat (Perang 1812)

Tokoh dan pemimpin


George III Napoleon I
George, Pangeran Louis Alexandre
Wales, Pangeran Regen Berthier
Britania Raya Joachim Murat
William Pitt Louis-Nicolas
Adipati Wellington Davout
Horatio Jean Lannes †
Nelson (DOW) André Masséna
John Moore (DOW) Michel Ney
Francis I Jean-de-Dieu Soult
Adipati Agung Armand Augustin
Charles Louis de Caulaincourt
Prince von Jean Baptiste Jules
Schwarzenberg Bernadotte
Adipati Agung John Pierre-Charles
Alexander I Villeneuve
Mikhail Kutuzov Jean-Baptiste
Michael Andreas Bessières †
Barclay de Tolly Bon Adrien Jeannot
Count Bennigsen de Moncey
Pyotr Bagration † Jean-Baptiste
Frederick William Jourdan
III Édouard Adolphe
Gebhard von Casimir Joseph Mortier
Blücher Jean-Andoche Junot
Adipati Brunswick † Claude Victor
Pangeran Jacques MacDonald
Hohenlohe Nicolas Charles
Charles IV Oudinot
Ferdinand VII Auguste Frédéric
Miguel de Álava Louis Viesse de Marmont
Maria I Louis Gabriel Suchet
John, Pangeran Laurent de Gouvion
Brazil, Pangeran Regen Saint-Cyr
Portugal Emmanuel de
William Grouchy
Beresford Joseph I[p]
Miguel Pereira Louis I
Forjaz Pangeran
William, Pangeran Poniatowski †
Orange Pangeran Eugène
Victor Emmanuel I Felice Baciocchi
Ferdinand III Louis I
Pius VII Joachim Murat
Ferdinand IV [[Berkas:|22x20px|border
Louis XVIII |alt=|link=]] Jerome I
Gustav IV Adolf [[Berkas:|22x20px|border
Charles XIII |alt=|link=]] Maximilian I
Charles John, [[Berkas:|22x20px|border
Pangeran Regen |alt=|link=]] Frederick
[o]
Swedia Augustus I
Frederick William, [[Berkas:|22x20px|border
Adipati Brunswick- |alt=|link=]] Frederick I
Wolfenbuttel† [[Berkas:|22x20px|border
Maximilian I Joseph |alt=|link=]] Karl Philipp
Karl Philipp von von Wrede
Wrede Charles XIII
Charles Alten Charles John,
Frederick I Pangeran Regen
Frederick William, Swedia[o]
Pangeran Nassau- Frederick VI
Weilburg Pangeran Christian
Andreas Hofer August dari
Alois von Reding Augustenburg
Petar I Petrović- Fath Ali Shah Qajar
Njegoš Abbas Mirza
Abbas Mirza James Madison
Selim III
Mahmud II
Muhammad Ali
Pasha

Korban

3.350.000 sampai 6.500.000 – lihat daftar lengkap

KembangkanCatatan

Kembangkan
 l
 b
 s
Peperangan era Napoleon

Peperangan era Napoleon adalah serangkaian peperangan yang terjadi selama Napoleon
Bonaparte memerintah Prancis (1799–1815).
Perang ini terjadi (khususnya) di benua Eropa, tetapi juga di beberapa tempat di benua lainnya dan
merupakan kelanjutan dari perang yang dipicu oleh Revolusi Prancis pada tahun 1789.
Perang ini menyebabkan perubahan besar pada sistem militer di Eropa terutama artileri dan
organisasi militer, dan juga pada masa inilah pertama kalinya diadakan wajib militer secara resmi
sehingga jumlah tentara berlipat ganda.
Kekuatan Prancis dengan cepat berkembang, menaklukkan sebagian besar Eropa dan juga cepat
ambruknya setelah mengalami kekalahan telak dari Rusia pada tahun 1812. Setelah kekalahan ini
Napoleon menyerah total, sehingga dinasti Bourbon kembali berkuasa di Prancis. Sementara itu
wilayah kekaisaran Spanyol satu persatu daerah jajahannya mulai lepas akibat invasi Prancis, yang
mengakibatkan lemahnya Spanyol sehingga memicu timbulnya revolusi di Amerika Latin.
Tidak ada kesepakatan para sejarawan untuk memastikan kapan Perang Revolusi Prancis berakhir
dan peperangan era Napoleon dimulai. Beberapa tanggal yang diajukan antara lain:

 Tanggal 9 November 1799, ketika Napoleon merebut kekuasaan di Prancis


 Tanggal 18 Mei 1803, ketika Inggris dan Prancis melanggar gencatan senjata yang mereka
sepakati sebelumnya
 Tanggal 2 Desember 1804, ketika Napoleon mengangkat dirinya sendiri sebagai kaisar.
Peperangan era Napoleon berakhir ketika ia mengalami kekalahan dalam Pertempuran
Waterloo (18 Juni 1815) dan disepakatinya pakta Paris yang kedua. Beberapa sumber sejarah
(terutama di Inggris) menamakan peperangan dari tahun 1792 sampai 1815 ini dengan
nama Perang Prancis Raya, atau sebagai babak penutup dari Perang 200 Tahun antara Inggris
dan Prancis[2][3][4] yang dimulai sejak tahun 1689 sampai dengan tahun 1815.
Daftar isi

 1Latar belakang, 1789–1802


 2Perang Inggris dan Prancis, 1803–1814
 3Koalisi ketiga, 1805
 4Koalisi keempat, 1806–1807
 5Koalisi kelima, 1809
 6Invasi ke Rusia, 1812
 7Koalisi keenam, 1812-1814
 8Perang Denmark-Inggris, 1807-1814
 9Koalisi ketujuh, 1815
 10Pengaruh politik
 11Warisan militer
 12Peperangan era Napoleon dalam cerita fiksi
 13Lihat pula
 14Catatan kaki
 15Daftar pustaka
 16Pranala luar

Latar belakang, 1789–1802[sunting | sunting sumber]


Revolusi Prancis mengancam kerajaan-kerajaan lain di benua Eropa, dan menjadi persoalan yang
lebih serius dengan ditangkapnya raja Louis XVI pada tahun 1792 dan pelaksanaan hukuman mati
terhadapnya di bulan Januari tahun 1793. Usaha pertama untuk menghancurkan Republik Prancis
ini dimulai pada tahun 1792 ketika Austria, Kerajaan Sardinia, Kerajaan Napoli, Prusia, Spanyol,
dan Kerajaan Britania Raya membentuk koalisi pertama. Dengan ditetapkan undang-undang
Prancis yang baru, termasuk wajib militer secara serentak (levée en masse), pembaharuan sistem
militer, dan perang secara total, memberikan kontribusi bagi kemenangan Prancis atas koalisi
pertama. Perang berakhir ketika Austria dituntut oleh Napoleon menerima syarat-syarat dalam
perjanjian Campo Formio. Kerajaan Britania Raya menjadi satu-satunya kerajaan yang tersisa dari
koalisi pertama yang memerangi Prancis sampai dengan tahun 1797.
Koalisi kedua dibentuk pada tahun 1798, yang terdiri atas beberapa kerajaan: Austria, Britania
Raya, Kerajaan Napoli, Kesultanan Utsmaniyah, Negara Gereja, Portugal, dan Rusia. Napoleon
Bonaparte, sang arsitek utama kemenangan Prancis pada tahun lalu atas koalisi pertama,
melancarkan aksi militer ke Mesir (beberapa ilmuwan diikutsertakan dalam ekspedisi ini
termasuk Jean Baptiste Joseph Fourier dan Jean-Francois Champollion).
Napoleon kembali ke Prancis pada tanggal 23 Agustus 1799. Kemudian ia mengambil alih
pemerintahan pada tanggal 9 November 1799 dalam sebuah kudeta bernama 18 Brumaire.
Napoleon menata ulang sistem militer dan membuat pasukan cadangan untuk mendukung aksi
militer di sekitar Rhine dan Italia. Di semua pertempuran, Prancis lebih unggul. Di Italia,
Napoleon memenangkan pertempuran dengan Austria dalam Marengo pada tahun 1800. Tetapi
pertempuran yang menentukan terjadi di Rhein, wilayah Hohenlinden pada tahun 1800. Dengan
kalahnya Austria ini, kekuatan koalisi kedua hancur. Akan tetapi Britania Raya tetap kuat dan
memberi pengaruh yang besar kepada negara-negara lainnya agar dapat
mengalahkan Prancis. Napoleon menyadari hal ini, tanpa kekalahan Inggris atau perjanjian damai
dengannya maka ia tidak akan pernah mencapai perdamaian secara penuh di benua Eropa.

Perang Inggris dan Prancis, 1803–1814[sunting | sunting sumber]


Tidak seperti anggota koalisi lainnya, Inggris tetap berperang secara kecil-kecilan dengan Prancis.
Dengan perlindungan dari armada lautnya yang sangat kuat (seperti yang diucapkan Admiral
Jervis "Saya tidak menjamin bahwa Prancis tidak akan datang menyerang kita, tetapi saya
menjamin bahwa mereka tidak akan datang lewat laut"), Inggris dapat tetap mensuplai dan
mengadakan perlawanan didarat secara global selama lebih dari satu dekade. Bala tentara Inggris
juga menyokong pemberontak di Spanyol melawan Prancis dalam perang Peninsular pada
tahun 1808-1814. Dilindungi oleh kondisi alam yang menguntungkan, serta dibantu dengan
pergerakan gerilyawan yang sangat aktif, pasukan Anglo-Portugis ini sukses mengganggu pasukan
Prancis selama beberapa tahun. Puncaknya pada tahun 1815, tentara Inggris memainkan peran
penting dalam mengalahkan pasukan Napoleon pada pertempuran Waterloo.

Dimahkotainya Napoleon (dilukis oleh Jacques-Louis David)


Sebenarnya perjanjian damai (Persetujuan Amiens) antara Inggris dan Prancis telah disepakati
pada tanggal 25 Maret 1802. Tetapi kedua belah pihak tidak pernah mematuhinya. Aksi militer
kedua belah pihak selalu merusak perjanjian ini seperti misalnya Prancis ikut andil dalam
kericuhan sipil di Swiss (Stecklikrieg) dan menduduki beberapa kota di Italia, sementara Inggris
menduduki Malta. Napoleon juga berusaha mengembalikan hukum kolonial di laut. Pada awal
ekspedisi ini kelihatan sukses, akan tetapi dengan cepat berubah menjadi bencana. Komandan
Prancis, juga saudara ipar Napoleon dan hampir sebagian besar tentaranya meninggal akibat wabah
penyakit kuning, dan juga karena serangan musuh.
Napoleon menjadi Kaisar Prancis pada tanggal 18 Mei 1804 dan menobatkan dirinya sendiri
sebagai penguasa Notre-Dame pada tanggal 2 Desember.

Koalisi ketiga, 1805[sunting | sunting sumber]


Napoleon berencana menyerang Inggris[5][6][7], dan menyusun 180.000 tentara di Boulogne.
Namun, untuk invasinya, ia membutuhkan keunggulan laut - atau paling tidak dapat memukul
mundur Britania dari Selat Inggris. Rencana untuk menarik perhatian Britania dengan
mengganggu jajahan mereka di India Barat gagal ketika armada Prancis-Spanyol di bawah
Laksamana Villeneuve mundur setelah pertempuran Cape Finisterre pada 22 Juli 1805. Angkatan
Laut Kerajaan memblokade Villeneuve di Cádiz sampai ia pergi menuju Naples pada 19 Oktober;
skuadron Britania menangkap dan menaklukkan armadanya dalam Pertempuran
Trafalgar tanggal 21 Oktober (komandan Britania, Lord Nelson, tewas dalam pertempuran).
Napoleon tidak akan pernah mendapatkan kesempatan untuk menantang Britania di laut. Napoleon
membatalkan semua rencananya untuk menyerang Kepulauan Britania, dan membalikan
perhatiannya ke musuhnya di Benua Eropa sekali lagi. Tentara Prancis meninggalkan Boulogne
dan bergerak menuju Austria.

Situasi strategis keadaan Eropa tahun 1805 sebelum Perang Koalisi Ketiga
Pada bulan April 1805, Inggris dan Rusia menandatangani kesepakatan dengan tujuan mengusir
Prancis dari Belanda dan Swiss. Austria ikut serta dalam aliansi ini setelah pencaplokan
wilayah Genoa dan penobatan Napoleon sebagai Raja Italia pada tanggal 17 Maret 1805.
Austria memulai peperangan dengan menginvasi Bayern dengan bala tentaranya yang berjumlah
70 ribu jiwa di bawah pimpinan Karl Mack von Leiberich. Dengan segera tentara Prancis keluar
dari Boulogne pada akhir Juli 1805 untuk menghadapinya. Keduanya bertemu di Ulm (25
September – 20 Oktober). Napoleon mengepung tentara Mack memaksanya menyerah. Dengan
dikalahkannya tentara Austria di utara pegunungan Alpen (tentara lainnya di bawah pimpinan
Adipati Agung Charles berputar balik sehingga bertemu tentara Prancis lainnya pimpinan marsekal
André Masséna di Italia), Napoleon menduduki Wina. Jauh di belakang garis suplainya, ia
berhadapan dengan bala tentara Austria-Rusia yang lebih besar di bawah komandan Mikhail
Kutuzov, juga kaisar Alexander dari Rusia turut serta. Pada tanggal 2 Desember, Napoleon
menyerbu gabungan tentara dua negara ini yang berada di Moravia, Austerlitz (inilah kemenangan
terbesar Napoleon). Napoleon hanya kehilangan 7 ribu tentaranya, sementara kerugian tentara
gabungan sekitar 25 ribu jiwa.
Austria menandatangani kesepakatan Pressburg pada tanggal 26 Desember 1805 dan keluar dari
koalisi. Perjanjian ini meminta Austria menyerahkan Venesia kepada Kekaisaran Prancis yang
meliputi Italia dan Tyrol sampai dengan Bayern.
Dengan mundurnya Austria dari perang ini, tentara Napoleon mencatat kemenangan terus-menerus
di daratan, akan tetapi kekuatan penuh tentara Rusia belumlah ikut serta saat itu.

Koalisi keempat, 1806–1807[sunting | sunting sumber]


Napoleon di Berlin (Lukisan karya Meynier). Setelah mengalahkan tentara Prusia dalam
pertempuran Jena-Auerstedt, tentara Prancis memasuki Berlin pada tanggal 17 Oktober 1806
Koalisi keempat terbentuk beberapa bulan setelah runtuhnya koalisi ketiga dan terdiri dari Prusia,
Rusia, Saxon, Swedia, dan Inggris. Pada bulan Juli 1806, Napoleon membentuk Konfederasi
Rhein untuk menyatukan negara-negara kecil di Jerman.
Akibat terpecahnya kerajaan-kerajaan Jerman, dan atas desakan Napoleon, Kaisar Franz II dari
Austria menyatakan bubarnya Kekaisaran Romawi Suci yang dipimpinnya pada tanggal 6
Agustus 1806. Sejak itu berakhirlah suatu imperium longgar bangsa-bangsa Jerman yang
berlangsung hampir selama 850 tahun.
Karena tidak bisa menerima hal ini, Friedrich Wilhelm III dari Prusia, yang merupakan anggota
imperium, pada bulan yang sama membuat keputusan yang berani dengan menyatakan perang
secara terpisah melawan Prancis dan negara-negara koalisi. Di bulan September, Napoleon
menggerakkan seluruh pasukannya yang berada di timur Rhein. Napoleon sendirilah yang
mengalahkan tentara Prusia di Jena pada tanggal 14 Oktober 1806, dan Marsekal
Davout mengalahkan lainnya di Auerstädt pada hari yang sama. Sekitar 160 ribu tentara Prancis
(jumlah yang bertambah terus seiring dengan kemenangan-kemenangan yang diraih Napoleon)
menyerang Prusia dengan strategi yang jitu disertai pergerakan yang cepat, sehingga berhasil
menghancurkan kekuatan militer yang lebih besar dan kuat yaitu sekitar seperempat juta tentara
Prusia; dengan korban jiwa 25 ribu orang, menahan sekitar 150 ribu orang, menyita 4 ribu artileri,
serta lebih dari 100 ribu musket di Berlin.
Sebenarnya Napoleon hanya melawan satu detasemen tentara Prusia saja di Jena. Di Auerstädt-lah
pertempuran besar terjadi, melibatkan satu korps tentara Prancis mengalahkan tentara Prusia yang
berjumlah sangat besar. Napoleon memasuki Berlin pada tanggal 27 Oktober 1806. Dia
mengunjungi makam Friedrich yang Agung dan menginstruksikan seluruh marsekalnya untuk
melepas topi mereka untuk memberi penghormatan seraya berucap

“ Jika Friedrich yang Agung masih hidup, tentulah kita tidak akan sanggup
berada di sini sekarang ”

Dalam perang melawan Prusia ini, Napoleon hanya membutuhkan waktu 19 hari saja untuk
menyerang tentara Prusia di Jena dan Auerstädt, mengalahkannya, dan akhirnya menduduki Berlin.
Hal ini sangat fantastis dan brilian, karena sebaliknya Prusia yang sudah bertempur selama 3 tahun
sejak keiikutsertaan dalam koalisi pertama hanya sedikit saja memperoleh keberhasilan.
Selama konflik ini tercatat Malta mengirimkan bantuan kepada Rusia dan Prusia dengan harapan
mereka mendapat aliansi politis melawan Napoleon dan Prancis, akan tetapi hal ini tidak berhasil
karena bajak laut di sekitar Pantai Barbari menghadang dan merampas bantuan tersebut.
Babak selanjutnya dari peperangan era Napoleon ini, adalah dipaksanya Rusia keluar dari Polandia
oleh Prancis dan didirikan negara baru bernama Kadipaten Warsawa. Kemudian Napoleon beralih
ke utara untuk berhadapan dengan sisa-sisa tentara Rusia, dan berusaha untuk menduduki ibu kota
sementara Prusia, Koenigsberg. Dengan taktik berpindah di Pertempuran Eylau (7 Februari – 8
Februari 1807), Prancis berhasil memaksa Rusia mundur ke utara lebih jauh lagi. Lalu Napoleon
mengepung mereka di Friedland (14 Juni 1807). Akibat kekalahan ini, Tsar Alexander terpaksa
mengadakan perdamaian dengan Napoleon di Tilsit (7 Juli 1807). Pada bulan
September, Marsekal Brune secara menyeluruh berhasil menduduki Pomerania. Meskipun
demikian, dia tetap mengizinkan pasukan Swedia yang kalah untuk mundur bersama peralatan
perang mereka.

Koalisi kelima, 1809[sunting | sunting sumber]

Menyerahnya Madrid (Gros), 1808. Napoleon menduduki ibu kota Spanyol, Madrid.
Koalisi kelima terdiri dari Britania Raya dan Austria yang dibentuk untuk melawan Prancis di
daratan. Sementara di laut, sekali lagi Inggris berperang sendirian melawan sekutu-
sekutu Napoleon. Tercatat sejak koalisi kelima terbentuk, angkatan laut kerajaan Inggris mencapai
kesuksesan di daerah koloni Prancis dan memperoleh kemenangan yang besar
melawan Denmark di Pertempuran Kopenhagen (2 September 1807).
Di daratan, koalisi kelima berusaha memperluas wilayah tetapi dengan pergerakan militer terbatas.
Seperti yang terjadi pada ekspedisi Walcheren pada tahun 1809, yang melibatkan angkatan darat
Inggris dibantu oleh angkatan lautnya untuk membebaskan tentara Austria yang berada dalam
tekanan tentara Prancis. Ekpedisi ini berakhir menjadi bencana setelah tentara yang dikomandani
oleh John Pitt (pangeran kedua dari Chatham) gagal mencapai target yaitu pangkalan angkatan
laut Prancis di Antwerpen.
Dalam tahun-tahun selama koalisi kelima ini, pergerakan militer Inggris di daratan, terkecuali di
jazirah Iberia (Al-Andalus), masih terbatas pada taktik serang dan lari dibantu oleh angkatan laut
yang mendominasi laut setelah sukses menghancurkan hampir seluruh kemampuan angkatan laut
Prancis dan sekutunya dan juga memblokade laut di sekitar pangkalan-pangkalan
milik Prancis yang masih dipertahankan dengan kuat.
Serangan kilat ini mirip dengan metode serangan yang dilancarkan oleh para gerilyawan.
Umumnya angkatan laut membantu angkatan darat untuk menghancurkan kapal-kapal Prancis,
mengganggu pengiriman, komunikasi, dan garnisun-garnisun militer di sekitar pantai. Dan sering
juga angkatan laut datang menolong dengan menurunkan tentara mereka untuk membantu operasi
militer yang dilancarkan bermil-mil jauhnya dari pantai.
Kapal-kapal milik angkatan laut Inggris bahkan membantu dengan gempuran artileri dari
moncong-moncong meriam mereka jika tentara Prancis yang bertempur tersesat hingga dekat
dengan garis pantai. Tetapi bagaimanapun juga, kualitas dan kemampuan dari angkatan darat-lah
yang sangat berpengaruh dari sukses tidaknya suatu operasi militer. Sebagai contoh, ketika taktik
ini dilancarkan di Spanyol, kadangkala angkatan laut gagal mencapai target karena kurangnya
kualitas dan kemampuan tentaranya.

Wilayah Kekaisaran Prancis di Eropa tahun 1811, saat mendekati puncak kejayaannya. Warna
hijau terang atau gelap merupakan wilayah Prancis dan teritorialnya sedangkan warna biru, merah
muda dan kuning mengindikasikan negara-negara bentukan Prancis
Peperangan ini juga merembet ke perang ekonomi antara sistem kontinental yang diterapkan oleh
Prancis menghadapi blokade laut oleh Inggris di setiap wilayah kekuasaan Prancis. Kedua belah
pihak selalu membuat konflik baru agar sistem mereka bisa dilaksanakan. Inggris berperang
dengan Amerika antara tahun 1812-1815, sementara Prancis ikut serta dalam perang di
Semenanjung Eropa selama tahun 1808-1814. Konflik di Andalusia dimulai
ketika Portugal melanjutkan perdagangan dengan Inggris meskipun ada larangan dari pihak
Prancis. Ketika Spanyol mengalami kegagalan untuk mempertahankan aliansinya dengan Prancis,
dengan segera tentara Prancis menyerang dan menduduki ibu kota Madrid.
Austria yang sebelumnya menjadi sekutu Prancis, mengambil kesempatan untuk mengembalikan
wilayah mereka di Jerman yang pernah dikuasainya sebelum mengalami kekalahan dalam perang
di Austerlitz. Mereka memperoleh beberapa kemenangan atas tentara marsekal Davout yang
memang terlalu sedikit dalam menjaga seluruh front timur. Napoleon hanya menempatkan sekitar
170.000 tentaranya untuk menjaga seluruh front timur ini. (bandingkan dengan tahun 1790-an, ada
sekitar 800.000 tentara yang menjaga front timur ini bahkan lebih pendek jaraknya saat itu).
Napoleon sangat gembira dengan keberhasilan pasukannya merebut Spanyol dan
menduduki Madrid dengan mudah, dan memaksa mundur sejumlah besar tentara Inggris dari
Andalusia (Pertempuran Corunna, 16 Januari 1809). Akan tetapi serangan yang dilancarkan
Austria mencegah Napoleon menyelesaikan pengusiran tentara Inggris dari Andalusia karena dia
harus pergi ke Austria untuk memimpin pasukan dan tidak pernah kembali ke arena pertempuran
di jazirah ini. Karena ketidakhadirannya beserta marshal terbaiknya (Davout tetap memimpin di
timur selama peperangan), situasi di Spanyol makin memburuk, terutama ketika Jenderal
Inggris Sir Arthur Wellesley yang terkenal itu tiba untuk memimpin pasukan.
Tentara Austria menyerbu ke kadipaten Warsawa tetapi mengalami kekalahan pada Pertempuran
Radzyn pada tanggal 19 April 1809. Tentara Polandia menduduki Galicia barat menambah daftar
kesuksesan mereka.
Kemudian Napoleon memimpin sendiri tentaranya untuk melakukan serangan balik ke Austria.
Setelah melalui beberapa pertempuran kecil, Austria akhirnya dipaksa mundur dari Bayern,
sementara Napoleon terus bergerak memasuki Austria. Akibat keinginannya untuk segera
menyeberangi sungai Danube mengakibatkan pertempuran besar yang terkenal dengan
nama Pertempuran Aspern-Essling (22 Mei 1809) — Kekalahan telak pertama yang diderita
Napoleon dari pasukan Austria yang dipimpin oleh Jenderal Archduke Karl. Baru pada awal bulan
Juli (5 Juli – 6 Juli), Napoleon berhasil merebut Vienna dengan mengalahkan tentara Austria
pada Pertempuran Wagram. (Pada saat berlangsung pertempuran ini, Napoleon
mencopot Marsekal Bernadotte dari jabatannya dan mempermalukan dia di hadapan marsekal
senior lainnya. Segera setelah kejadian ini, Bernadotte menerima tawaran dari Swedia untuk
mengisi posisi sebagai pangeran. Selanjutnya dia secara aktif berpartisipasi dalam peperangan ini
melawan Napoleon.)
Perang koalisi kelima ini berakhir dengan kesepakatan Schönbrunn (14 Oktober 1809).
Selanjutnya di timur hanya pemberontak Tyrol-lah yang dipimpin oleh Andreas Hofer yang tetap
melanjutkan perlawanan terhadap tentara Prancis-Bayern sampai akhirnya mereka dikalahkan
pada bulan November 1809, sementara itu perang di semenanjung Eropa Barat tetap berlanjut.
Kekaisaran Prancis mencapai puncak kejayaannya pada tahun 1810 dengan wilayah kekuasaan
yang begitu luas. Sementara itu Inggris dan Portugal tetap menjaga area di sekitar Lisbon (di
belakang garis depan di Torres Vedras) dan untuk mengepung Cadiz. Napoleon menikah
dengan Marie-Louise, Putri dari Austria, dengan maksud untuk mempererat aliansi dengan Austria
dan memperoleh keturunan untuk menjadi putra mahkota baru. Hal ini tidak didapatkannya dari
istri pertama, Josephine. Sebagai kaisar Prancis, Napoleon mengontrol negara-negara
konfederasi Swiss, konfederasi Rhine, kadipaten Warsawa dan kerajaan Italia. Wilayah-wilayah
di bawah kekaisaraan Prancis termasuk:

 Kerajaan Spanyol (di bawah pimpinan Joseph Bonaparte, saudara laki-laki Napoleon)
 Kerajaan Westphalia (Jerome Bonaparte, saudara laki-laki Napoleon)
 Kerajaan Napoli (Joachim Murat, suami dari Caroline, saudara perempuan Napoleon)
 Kerajaan Lucca dan Piombino (saudara perempuan Napoleon Elisa Bonaparte dan
suaminya Felice Bacciocchi)
 Bekas musuh Napoleon sebelumnya, Prusia dan Austria.

Invasi ke Rusia, 1812[sunting | sunting sumber]


Seperti yang disebutkan di atas, hasil dari pakta Tilsit tahun 1807 mengakibatkan perang Anglo-
Rusia 1807–1812. Tsar Alexander I menyatakan perang kepada Inggris setelah Inggris
menyerang Denmark pada bulan September tahun 1807. Banyak pelaut Inggris yang ikut
membantu armada laut Swedia selama perang Finlandia dan memperoleh kemenangan
atas Rusia di teluk Finlandia pada bulan Juli tahun 1808 dan bulan Agustus tahun 1809, tetapi
kemenangan tentara Rusia di daratan memaksa Swedia menandatangani perjanjian damai dengan
Rusia pada tahun 1809 dan dengan Prancis pada tahun 1810 juga harus bergabung untuk
memblokade Inggris.
Akan tetapi hubungan Prancis dan Rusia menjadi semakin buruk setelah tahun 1810, sementara
perang Rusia dan Inggris telah berakhir. Pada bulan April tahun 1812, Rusia, Inggris dan Swedia
menandatangani perjanjian rahasia untuk bergabung melawan Napoleon.
Napoleon menginvasi Rusia pada tahun 1812 dengan maksud memaksa kaisar Alexander I tetap
mengikuti sistem kontinental yang diterapkannya dan memperkecil kemungkinan ancaman Rusia
yang akan menginvasi Polandia. Dengan membawa pasukan dalam jumlah besar yaitu sekitar
650.000 orang (270.000 orang Prancis, sisanya tentara dari berbagai wilayah lain) pada tanggal 23
Juni 1812 mereka menyeberangi sungai Niemen. Rusia menyatakan ini sebagai perang patriotik
membela negara sementara Napoleon menyatakannya sebagai perang Polandia Kedua. Hal ini
tidak seperti harapan rakyat Polandia (ada sekitar 100.000 tentara Polandia yang bergabung dalam
invasi ini) yakni Napoleon ternyata tidak ingin bernegosiasi dengan Rusia.
Rusia menerapkan strategi membumihanguskan kota sambil mundur teratur.[8][9] Pertempuran
hanya terjadi di Borodino pada tanggal 7 September 1812. Pada tanggal 14 September 1812,
pasukan Napoleon berhasil masuk kota Moskwa yang sebenarnya sudah ditinggalkan
penduduknya dan dibumihanguskan atas perintah gubernur-nya: Pangeran Fyodor Vasilievich
Rostopchin.[10][11]
Akhirnya dimulailah penarikan pasukan secara besar-besaran dari Kota Moskwa akibat cuaca
yang sangat dingin dan juga makin hebatnya serangan Rusia yang memang memanfaatkan cuaca
dingin sebagai senjata. Korban mencapai sekitar 380.000 jiwa (kebanyakan akibat kelaparan dan
kedinginan) dan 100.000 ditawan.[12] Korban jiwa pada pihak Rusia sekitar 210.000 jiwa.[13] Pada
bulan November, sisa dari pasukan besar ini menyeberangi sungai Berezina dan hanya sekitar
27.000 tentara yang masih dalam kondisi fit. Napoleon kemudian meninggalkan tentaranya dan
kembali ke Prancis untuk menyiapkan pertahanan di Polandia dari serangan tentara Rusia.

Koalisi keenam, 1812-1814[sunting | sunting sumber]


Melihat adanya kemungkinan untuk mengalahkan Napoleon yang sudah lemah akibat kekalahan
besar di Rusia, dengan segera Prusia, Swedia, Austria, dan beberapa negara kecil di Jerman ikut
dalam peperangan lagi. Napoleon bersumpah dia akan membentuk tentara baru sebesar tentara
yang dia kirimkan ke Rusia, dan memang dengan secara cepat dia membentuk tentaranya di timur
dari 30.000 menjadi 130.000 dan pada akhirnya mencapai 400.000 orang. Pertempuran pun segera
terjadi di Lützen (2 Mei 1813) dan Bautzen (20-21 Mei 1813) yang mengakibatkan kerugian besar
di pihak koalisi yaitu sekitar 40 ribu jiwa. Tercatat lebih dari 250.000 tentara yang terlibat dalam
dua pertempuran ini.
Sementara itu pada peperangan di semenanjung Eropa tepatnya di kota Vitoria ( 21 Juni 1813),
pasukan Arthur Wellesley meraih kemenangan atas pasukan Joseph Bonaparte sehingga hancurlah
kekuatan Prancis di Spanyol dan memaksa mereka mundur melewati pegunungan Pyrene.
Kedua belah pihak menyatakan gencatan senjata yang mulai efektif tanggal 4 Juni sampai
dengan 13 Agustus 1813. Selama masa damai ini kedua belah pihak berusaha pulih dari kerugian
yang dideritanya sejak bulan April yang telah menelan korban jiwa hampir seperempat juta. Pihak
koalisi juga berhasil memengaruhi Austria agar berperang melawan Prancis. Akhirnya dua inti
dari pasukan Austria yang berjumlah 300.000 orang ikut serta dalam koalisi sehingga menambah
kekuatan mereka di Jerman. Total jumlah pasukan koalisi saat itu mencapai 800.000 tentara di
garis depan Jerman, dengan cadangan mencapai 350.000 tentara.
Kesuksesan Napoleon dalam dua pertempuran melawan koalisi keenam di atas ternyata membawa
pengaruh besar pada kekuatan angkatan perangnya sehingga menjadi sekitar 650.000 tentara —
meskipun sebenarnya hanya 250.000 tentara yang langsung di bawah komandonya, sementara
lainnya 120 ribu tentara di bawah komando marsekal Nicolas Charles Oudinot dan 30.000 di
bawah komando marsekal Davout.
Negara-negara yang bergabung dalam konfederasi Rhine, terutama Saxon dan Bayern adalah
penyumbang tentara terbesar untuk Napoleon. Di selatan, Kerajaan Napoli dan Kerajaan Italia
turut menambah kekuatan dengan menyediakan sekitar 100.000 tentara. Sementara di Spanyol
masih ada sekitar 150-200 ribuan tentara Prancis meskipun saat itu mereka sudah dipaksa mundur
oleh Inggris dari wilayah tersebut. Jadi ada sekitar 900.000 tentara Prancis yang tersebar di semua
medan pertempuran berhadapan dengan sekitar 1 juta tentara koalisi (belum termasuk tentara
cadangan di Jerman).
Setelah masa gencatan senjata selesai, tampaknya Napoleon akan meraih kembali masa
kejayaannya setelah meraih kemenangan besar atas tentara koalisi di Dresden pada
bulan Agustus tahun 1813. Akan tetapi di medan pertempuran lain semua marsekalnya mengalami
kekalahan sehingga kemenangan ini menjadi tidak ada artinya lagi. Pada Pertempuran Leipzig di
Saxon (16-19 Oktober 1813) yang juga dikenal dengan nama pertempuran banyak bangsa, sekitar
190.000 tentara Prancis berhadapan dengan 300.000 tentara koalisi, yang pada akhirnya memaksa
mereka mundur sampai ke kampung halamannya sendiri, Prancis. Kemudian Napoleon masih
memimpin beberapa pertempuran lagi termasuk pertempuran Arcis-sur-Aube di Prancis sendiri,
akan tetapi karena banyaknya jumlah tentara koalisi yang terlibat pertempuran membuat mereka
kewalahan.
Tentara Rusia memasuki kota Paris tahun 1814
Akhirnya pasukan koalisi memasuki Paris pada tanggal 30 Maret 1814. Tercatat Napoleon masih
memimpin pasukannya dan mendapat kemenangan berkali-kali atas pasukan koalisi yang maju
terus menuju Paris. Akan tetapi dia hanya memimpin sekitar 70.000 tentara melawan 500.000
tentara koalisi, suatu jumlah yang tidak sebanding. Pada tanggal 9 Maret 1814 diadakan perjanjian
Chaumont yang menyetujui agar koalisi tetap dipertahankan sampai pasukan Napoleon dapat
dikalahkan seluruhnya.
Napoleon memutuskan tetap bertempur, meskipun dia sudah di ambang kekalahan. Selama masa
ini tercatat dia mengeluarkan 900.000 surat keputusan wajib militer tetapi hanya beberapa saja
yang berhasil dilaksanakan. Akhirnya Napoleon kalah dan turun takhta pada tanggal 6 April 1814,
tetapi pasukannya di Italia, Spanyol dan Belanda masih terus melakukan perlawan selama musim
semi tahun 1814.
Pihak koalisi memutuskan untuk mengasingkan Napoleon ke pulau Elba, dan mengembalikan
Prancis menjadi kerajaan serta mengangkat Louis XVIII sebagai raja. Mereka juga mengadakan
perjanjian di Fontainebleau (11 April 1814) serta kongres di Wina untuk menata ulang peta
wilayah di Eropa.

Perang Denmark-Inggris, 1807-1814[sunting | sunting sumber]


Selama peperangan era Napoleon, sebenarnya Denmark - Norwegia menyatakan sebagai negara
netral dan hanya mengadakan perdagangan dengan Prancis. Akan tetapi pihak Inggris yang terus-
menerus menyerang, menangkap dan menghancurkan sebagian besar armada laut Denmark
pada pertempuran Kopenhagen pertama (2 April 1801) dan hal ini diulangi lagi pada pertempuran
Kopenhagen kedua (Agustus-September 1807) mengakibatkan Denmark melakukan perang
gerilya terhadap armada Inggris di laut Denmark-Norwegia dengan menggunakan kapal-kapal
kecil yang dilengkapi meriam. Perang ini akhirnya berhenti setelah Inggris meraih kemenangan
pada pertempuran Lyngor pada tahun 1812, yang mengakibatkan kerusakan pada kapal Denmark
yang terakhir, yaitu kapal perang Najaden.

Koalisi ketujuh, 1815[sunting | sunting sumber]


Koalisi ketujuh yang terdiri atas Britania Raya, Rusia, Prusia, Swedia, Austria, dan Belanda serta
sejumlah negara kecil di Jerman terbentuk pada tahun 1815 setelah larinya Napoleon dari
pulau Elba (tercatat sekitar seratus hari dia kembali memimpin Prancis). Napoleon mendarat
di Cannes pada tanggal 1 Maret 1815. Dalam perjalanannya ke Paris, ia mengumpulkan tentara
yang masih setia kepadanya, dan akhirnya menggulingkan raja Louis XVIII. Pihak koalisi segera
mengumpulkan pasukan kembali untuk berhadapan dengannya. Napoleon berhasil mengumpulkan
280.000 orang, yang ia pecah menjadi beberapa kesatuan. Untuk menambah kekuatan, Napoleon
memanggil kembali seperempat juta veteran perang serta membuat keputusan untuk mengadakan
kembali wajib militer agar dapat menambah jumlah pasukan menjadi 2,5 juta tentara yang pada
kenyataannya tidak berhasil dilakukan. Hal ini dilakukan untuk menghadapi pasukan koalisi yang
berjumlah sekitar 700.000 tentara.

Peta Pertempuran Waterloo


Dengan membawa 124.000 pasukannya yang berada di utara, Napoleon melakukan serangan
kejutan ke posisi pasukan koalisi yang berada di Belgia. Serangan ini dia lakukan dengan harapan
mendorong Inggris mundur ke laut dan memaksa Prusia keluar dari peperangan. Serangan kejutan
ini mencapai sukses, memaksa Prusia bertempur di Ligny pada tanggal 16 Juni 1815 dan berhasil
mengalahkan mereka sehingga mundur dalam keadaan kacau-balau. Pada hari yang sama tetapi di
lain tempat, pasukan sayap kiri pimpinan marsekal Michel Ney sukses menahan bala bantuan yang
akan datang dari tentara Wellington dalam Pertempuran Quatre Bras. Tetapi Ney gagal
membersihkan persimpangan jalan Quatre Bras ini sehingga tentara Wellington dapat memperkuat
kembali posisinya.
Dengan mundurnya Prusia, pasukan Welington yang tadinya ingin membantu menjadi mundur
juga. Mereka kembali ke posisi semula di tebing Gunung Santa Jean, beberapa mil di selatan
desa Waterloo. Napoleon membawa cadangan pasukannya yang ada di utara, dan bergabung
dengan pasukan Ney untuk mengejar Wellington. Tetapi hal ini dia lakukan sebelum
menginstruksikan kepada marsekal Grouchy untuk memimpin pasukan sayap kanan menahan
tentara Prusia yang sudah bersatu kembali.
Grouchy gagal melaksanakan perintah ini, meskipun sebenarnya pasukan von Thielmann berhasil
mengalahkan barisan belakang pasukan Prusia di Pertempuran Wavre pada tanggal 18-19 Juni,
sisa pasukan Prusia tetap menuju Waterloo. Napoleon menunda Pertempuran Waterloo beberapa
jam di pagi hari pada tanggal 18 Juni karena belum mengeringnya tanah akibat hujan pada malam
sebelumnya. Ternyata sampai petang hari, pasukan Prancis belum mampu menaklukkan pasukan
Wellington. Ketika pasukan Prusia akhirnya datang dan menyerang sayap kanan Prancis dalam
jumlah besar, gagallah strategi Napoleon untuk tetap memecah kekuatan koalisi.
Marsekal Grouchy menebus kesalahannya di atas dengan sukses mengorganisasikan pasukan yang
mundur dari kota Paris, sementara marsekal Davout dengan 117.000 tentaranya berhadapan
dengan 116.000 tentara Blucher-Wellington. Secara militer sangat dimungkinkan Prancis
mengalahkan gabungan kedua tentara ini akan tetapi situasi politik membuktikan bahwa
kekaisaran sudah mulai jatuh. Jadi, meskipun akhirnya Davout sukses mengalahkan kedua
gabungan pasukan ini, sekitar 400.000 tentara Rusia dan Austria tetap maju terus dari arah timur
tidak terpengaruh akan kekalahan ini.
Ketika tiba di Paris pada hari ketiga sesudah kekalahan di Waterloo, Napoleon sebenarnya masih
berharap timbulnya perlawanan rakyat untuk membela negara terhadap datangnya pasukan asing
yang ingin menguasai Prancis. Akan tetapi hal ini tidak menjadi kenyataan karena secara umum
rakyat Prancis menolak. Para politisi memaksa Napoleon untuk turun takhta lagi pada tanggal 22
Juni 1815. Meskipun akhirnya kaisar turun takhta, pertempuran sporadis masih terus berlanjut di
sepanjang perbatasan timur dan di luar kota Paris sampai disepakatinya gencatan senjata tanggal 4
Juli. Baru pada tanggal 15 Juli, Napoleon menyerahkan dirinya ke skuadron Inggris di Rochefort
yang selanjutnya membuangnya kembali ke pulau Saint Helena, tempat dia akhirnya meninggal
dunia pada tanggal 5 Mei 1821.
Sementara itu di Italia, Joachim Murat yang masih menjadi Raja Napoli setelah menyerahnya
Napoleon, sekali lagi menunjukkan loyalitas yang tinggi kepada saudara iparnya itu dengan
melancarkan perang Neapolitan (bulan Maret sampai Mei 1815). Dia berharap mendapat
dukungan para nasionalis yang saat itu sedang dilanda ketakutan atas berkembangnya pengaruh
Habsburg. Tetapi dukungan yang diharapkannya tidaklah datang, dan akhirnya datanglah pasukan
Austria sehingga pecah pertempuran Tolentino pada tanggal 2-3 Mei 1815 yang memaksanya
untuk melarikan diri. Dinasti Bourbon akhirnya kembali menduduki takhta Napoli pada
tanggal 20 Mei 1815. Murat dieksekusi di depan regu tembak pada tanggal 13 Oktober 1815.

Pengaruh politik[sunting | sunting sumber]


Napoleon sebagai raja Italia (lukisan karya Appiani)
Peperangan era Napoleon membawa perubahan besar di Eropa. Meskipun hampir semua wilayah
di Eropa Barat di bawah kekuasaan Napoleon (prestasi yang hanya bisa dibandingkan
dengan kekaisaran Romawi tempo dulu), peperangan antara Prancis dengan kekuatan lain di
benua Eropa selama lebih dari dua dekade akhirnya sampai pada titik penghabisan. Setelah
peperangan era Napoleon berakhir, dominasi Prancis di Eropa praktis lenyap, dan kembali lagi
seperti pada masa Louis XIV.
Inggris akhirnya muncul sebagai negara superpower di dunia dan tidak dapat dibantah lagi bahwa
angkatan laut Inggris menjadi yang terkuat di dunia, demikian juga mereka menjadi negara maju
di bidang ekonomi dan industri.
Hampir di semua negara Eropa, cita-cita dari Revolusi Prancis (seperti demokrasi, hak dan
persamaan dalam bidang hukum, dll.) mulai diadopsi. Hal ini mengakibatkan sulitnya para raja di
Eropa mengembalikan hukum lama mereka dan terpaksa tetap memegang hukum-hukum yang
diterapkan oleh Napoleon. Bahkan hingga hari ini beberapa dari hukum tersebut masih dipakai,
misalnya di banyak negara Eropa hukum sipilnya jelas-jelas mengadopsi kode Napoleon.
Faham nasionalisme yang relatif baru saat itu dengan cepat berkembang di Eropa dan nantinya
banyak memengaruhi jalannya sejarah di sana, mulai dari berdirinya negara baru atau berakhirnya
suatu negara. Peta politik di Eropa berubah drastis setelah era Napoleon, tidak lagi berbasis
aristrokat atau monarki mutlak tetapi berdasarkan kerakyatan. Era Napoleon telah menyebarkan
benih bagi berdirinya negara Jerman modern dan Italia modern dengan bergabungnya negara-
negara bagian dan juga kerajaan-kerajaan kecil.
Ide lain yang diadopsi dari Napoleon (walaupun dia sendiri gagal mewujudkannya) adalah
harapannya untuk mewujudkan Eropa yang bersatu (ide ini digulirkan lagi setelah
berakhirnya Perang Dunia II. Ide ini kini sudah diwujudkan dengan adanya mata uang tunggal Uni
Eropa, Euro.

Warisan militer[sunting | sunting sumber]


Napoléon menyeberangi Alpen (karya Jacques-Louis David). Pada tahun 1800, Bonaparte
memimpin Pasukan Prancis melintasi pegunungan Alpen, dan mengalahkan Austria
pada Pertempuran Marengo
Peperangan era Napoleon juga memberikan perubahan yang sangat besar di dunia militer. Sebelum
era Napoleon, negara-negara di Eropa biasanya memiliki tentara dalam jumlah sedikit dan itu pun
banyak diisi oleh tentara bayaran - kadangkala mereka bertempur melawan negara asalnya
sendiri. Inovasi militer yang timbul dalam era Napoleon yaitu mulai dikenalnya kekuatan rakyat
yaitu jika seluruh rakyat ikut berperang.
Napoleon mempraktikkan inovasinya seperti yang dipertunjukkan pada pertempuran
Austerlitz tahun 1805. Dengan taktik yang brilian untuk menghadapi musuh yang berjumlah lebih
besar, ia memerintahkan pasukannya untuk senantiasa berpindah posisi secara cepat dari satu
tempat ke tempat lainnya.
Tentara Prancis juga memperbaiki aturan main untuk divisi artileri mereka, menjadi kesatuan
terpisah dan dapat bergerak cepat. Hal ini mengubah tradisi sebelumnya, yaitu tradisi artileri hanya
digunakan sebagai alat untuk mendukung suatu pasukan. Napoleon juga membuat standardisasi
ukuran bola-bola meriam agar mudah dibawa dan bisa dipakai di semua jenis artileri.
Dengan populasi jiwa terbesar keempat di dunia saat itu, yaitu sekitar 27 juta jiwa (seperti juga
Inggris yang berjumlah 12 juta jiwa dan Rusia sekitar 30 sampai 40 juta jiwa), Napoleon dapat
mengambil keuntungan dari diberlakukannya wajib militer. Banyak pengamat militer saat ini yang
salah persepsi dengan menyatakan bahwa ide wajib militer ini sudah berkembang sejak revolusi
Prancis bukan dari Napoleon. Memang tidak semua inovasi militer dari era Napoleon.
Adalah Lazare Carnot yang memberi sumbangan besar dalam menata ulang tentara Prancis dari
tahun 1793 sampai dengan tahun 1794.
Besarnya jumlah pasukan yang terlibat telah mengubah dunia militer saat itu. Sebelum era
Napoleon, pada saat perang 7 tahun (1756-1763), hanya sedikit yang terlibat, paling banyak 200
ribu orang saja. Bandingkan dengan Prancis pada tahun 1790-an, telah memperbanyak jumlah
personel-nya menjadi 1,5 juta jiwa. Dan total sekitar 2,8 juta personel yang bertempur di daratan
dan 150 ribu di laut, sehingga jumlah keseluruhan tentara yang terlibat menjadi hampir 3 juta
personel.
Inggris memiliki 747.670 tentara antara tahun 1792 sampai dengan 1815. Ditambah lagi dengan
seperempat juta personel di laut. Pada bulan September 1812, Rusia memiliki sekitar 904 ribu
tentara yang terdaftar, dan antara tahun 1799 sampai dengan 1815 memiliki total 2,1 juta personel,
kemungkinan sekitar 400 ribu bergabung antara tahun 1792 sampai dengan 1799. Sedangkan di
laut, Rusia memiliki 200 ribu tentara sejak tahun 1792 hingga 1815.
Austria memiliki 576 ribu tentara dan hanya sedikit atau tidak memiliki kekuatan di lautan. Mereka
memberikan perlawanan terus-menerus kepada Prancis sehingga kemungkinan besar tentara yang
terlibat bisa mencapai 1 juta sampai berakhirnya perang. Prusia hanya mempunyai 320 ribu tentara
saja selama perang ini, sedangkan Spanyol sekitar 300 ribu ditambah beberapa unit pasukan yang
bergerilya.
Amerika Serikat mengirim 286.730 personel, sedangkan konfederasi Maratha, Kesultanan
Utsmaniyah, Italia, Napoli dan Kadipaten Warsawa menyumbang lebih dari 100 ribu personel.
Bahkan setelah perang berakhir, banyak negara-negara kecil yang memiliki pasukan berkekuatan
besar juga.
Tetapi data jumlah tentara yang disebutkan tadi berasal dari sumber militer resmi dan sering pada
kenyataannya jumlahnya jauh lebih sedikit dikarenakan banyaknya tentara yang desersi, penipuan
oleh komandan lapangan yang menyetor daftar prajurit yang dilebih-lebihkan untuk mengambil
keuntungan dari gaji yang diberikan pemerintah kepada unitnya, kematian, dan di beberapa negara
bahkan terang-terangan berbohong untuk memenuhi jumlah tentara yang ditargetkan.
Bangkitnya Revolusi Industri sendiri pada tahap awal banyak dipengaruhi oleh besarnya jumlah
pasukan militer. Karena hal ini menjadikan banyak pabrik yang harus memproduksi senjata dan
peralatan militer lainnya dalam jumlah besar. Inggris merupakan produsen peralatan perang yang
terbesar selama konflik ini, mereka mengirimkan sebagian besar senjata ini kepada sekutu-
sekutunya (dan hanya memakainya sedikit). Sebaliknya Prancis yang juga menjadi produsen
peralatan perang nomor dua terbesar, memproduksinya untuk memperlengkapi pasukannya sendiri
dan juga sekutu-sekutunya.
Warisan untuk dunia militer lainnya adalah digunakannya semaphore oleh Prancis untuk saling
berkomunikasi antara Menteri Perang, Carnot, dengan pasukan di perbatasan selama tahun 1790-
an. Dan Prancis tetap mempergunakan sistem ini sampai peperangan era Napoleon berakhir. Dan
perlu ditambahkan pula bahwa pada konflik inilah pertama kali Prancis menggunakan balon udara
untuk memantau posisi musuh pada pertempuran Fleurus, 26 Juni 1794, juga digunakannya roket
serta meriam yang telah disempurnakan.

Peperangan era Napoleon dalam cerita fiksi[sunting | sunting sumber]

 Novel karya Leo Tolstoy, War and Peace menceritakan malapetaka yang diderita pasukan
Napoleon akibat invasi ke Rusia
 Novel karya Stendhal, The Charterhouse of Parma diawali dengan
menceritakan pertempuran Waterloo dan kemudian dilanjutkan cerita tentang mundurnya
tentara Prancis dalam keadaan kacau balau
 Serial Horatio Hornblower sebagian besar berlatar belakang selama peperangan era Napoleon
 Serial Aubrey-Maturin karya Patrick O' Brian berlatar belakang selama peperangan era
Napoleon
 Sebagia n besar serial Richard Sharpe karya Bernard Cornwell berlatar belakang peperangan
era Napoleon
 Novel karya William Makepeace Thackeray, Vanity Fair berlatar belakang peperangan era
Napoleon - salah seorang tokoh baik-nya tewas dalam pertempuran Waterloo
 Serial Temeraire karya Naomi Novik berlatar belakang peperangan era Napoleon dengan
hewan fiktif naga diikutsertakan dalam pertempuran.
 Serial Lord Ramage karya Dudley Pope berlatar belakang peperangan era Napoleon
 Komik Eroica oleh Riyoko Ikeda menggunakan latar Perang Napoleon untuk membangun
cerita kehidupan pribadi Napoleon.

Anda mungkin juga menyukai