Anda di halaman 1dari 18

Perang Napoleon

Perang Napoleon (1803–1815) adalah serangkaian konflik besar yang mengadu Kekaisaran Prancis dan
sekutunya, yang dipimpin oleh Napoleon I, melawan kekuatan yang berfluktuasi susunan Kekuatan Eropa
dibentuk menjadi berbagai koalisi. Ini menghasilkan periode dominasi Prancis atas sebagian besar benua
Eropa. Perang berasal dari perselisihan yang belum terselesaikan terkait dengan Revolusi Prancis dan
konflik yang dihasilkan. Perang sering dikategorikan ke dalam lima konflik, masing-masing disebut setelah
koalisi yang melawan Napoleon: Koalisi Ketiga (1805), Keempat (1806– 07), Kelima (1809), Keenam
(1813–14), dan Ketujuh (1815).

Napoleon, setelah naik ke Konsul Pertama Prancis pada tahun 1799, telah mewarisi republik dalam
kekacauan; dia kemudian menciptakan negara dengan keuangan yang stabil, birokrasi yang kuat, dan
tentara yang terlatih. Pada tahun 1805, Austria dan Rusia membentuk Koalisi Ketiga dan mengobarkan
perang melawan Prancis. Sebagai tanggapan, Napoleon mengalahkan tentara sekutu Rusia-Austria di
Austerlitz pada bulan Desember 1805, yang dianggap sebagai kemenangan terbesarnya. Di laut, Inggris
mengalahkan angkatan laut gabungan Prancis-Spanyol dalam Pertempuran Trafalgar pada 21 Oktober
1805. Kemenangan ini mengamankan laut Inggris dan mencegah invasi Inggris sendiri. Prihatin tentang
peningkatan kekuatan Prancis, Prussia memimpin pembentukan Koalisi Keempat dengan Rusia, Saxony,
dan Swedia, dan dimulainya kembali perang pada Oktober 1806 Napoleon dengan cepat mengalahkan
Prusia di Jena dan Rusia di Friedland, membawa perdamaian yang tidak menyenangkan ke benua itu.
Namun, perdamaian gagal, ketika perang pecah pada tahun 1809, dengan Koalisi Kelima yang tidak
dipersiapkan dengan baik, dipimpin oleh Austria. Pada awalnya, Austria memenangkan kemenangan yang
menakjubkan di Aspern-Essling, tetapi dengan cepat dikalahkan di Wagram.

Berharap untuk mengisolasi dan melemahkan Inggris secara ekonomi melalui Sistem Kontinental,
Napoleon meluncurkan invasi Portugal, satu-satunya sekutu Inggris yang tersisa di benua Eropa. Setelah
menduduki Lisbon pada November 1807, dan dengan sebagian besar pasukan Prancis hadir di Spanyol,
Napoleon memanfaatkan kesempatan untuk berbalik melawan mantan sekutunya, menggulingkan keluarga
kerajaan Spanyol yang berkuasa dan menyatakan saudaranya Raja Spanyol pada tahun 1808 sebagai José I.
Spanyol dan Portugis memberontak dengan dukungan Inggris dan mengusir Prancis dari Iberia pada tahun
1814 setelah pertempuran enam tahun.

Bersamaan dengan itu, Rusia, yang tidak mau menanggung konsekuensi ekonomi dari pengurangan
perdagangan, secara rutin melanggar Sistem Kontinental, mendorong Napoleon untuk meluncurkan invasi
besar-besaran ke Rusia pada tahun 1812. Kampanye yang dihasilkan berakhir dengan bencana dan hampir
penghancuran Grande Armée Napoleon.

Didorong oleh kekalahan, Austria, Prusia, Swedia, dan Rusia membentuk Koalisi Keenam dan memulai
kampanye baru melawan Prancis, mengalahkan Napoleon secara meyakinkan di Leipzig pada Oktober
1813 setelah beberapa pertempuran yang tidak meyakinkan. Sekutu kemudian menyerbu Prancis dari
timur, sementara Perang Semenanjung meluas ke Prancis barat daya. Pasukan koalisi merebut Paris pada
akhir Maret 1814 dan memaksa Napoleon untuk turun tahta pada bulan April. Dia diasingkan ke pulau
Elba, dan Bourbon dipulihkan ke kekuasaan. Tapi Napoleon melarikan diri pada Februari 1815, dan
menguasai kembali Prancis selama sekitar seratus hari. Setelah membentuk Koalisi Ketujuh, Sekutu
mengalahkannya secara permanen di Waterloo pada bulan Juni 1815 dan mengasingkannya ke Saint
Helena, di mana dia meninggal enam tahun kemudian.[2]

Kongres Wina menggambar ulang perbatasan Eropa dan membawa periode yang relatif damai. Perang
memiliki konsekuensi mendalam pada sejarah global, termasuk penyebaran nasionalisme dan liberalisme,
kebangkitan Inggris sebagai kekuatan angkatan laut dan ekonomi terkemuka dunia, munculnya gerakan
kemerdekaan di Amerika Latin dan penurunan berikutnya dari Kekaisaran Spanyol dan Kekaisaran
Portugis, reorganisasi mendasar wilayah Jerman dan Italia menjadi negara bagian yang lebih besar, dan
pengenalan metode baru yang radikal melakukan peperangan, serta hukum sipil. Akhir Perang Napoleon
akan memulai periode perdamaian relatif di benua Eropa, yang berlangsung hingga Perang Krimea.

Latar belakang, 1789–1802


Revolusi Prancis mengancam kerajaan-kerajaan lain di benua Eropa, dan menjadi persoalan yang lebih
serius dengan ditangkapnya raja Louis XVI pada tahun 1792 dan pelaksanaan hukuman mati terhadapnya
pada bulan Januari tahun 1793. Usaha pertama untuk menghancurkan Republik Prancis ini dimulai pada
tahun 1792 ketika Austria, Kerajaan Sardinia, Kerajaan Napoli, Prusia, Spanyol, dan Kerajaan Britania
Raya membentuk koalisi pertama. Dengan ditetapkan undang-undang Prancis yang baru, termasuk wajib
militer secara serentak (levée en masse), pembaharuan sistem militer, dan perang secara total, memberikan
kontribusi bagi kemenangan Prancis atas koalisi pertama. Perang berakhir ketika Austria dituntut oleh
Napoleon menerima syarat-syarat dalam perjanjian Campo Formio. Kerajaan Britania Raya menjadi satu-
satunya kerajaan yang tersisa dari koalisi pertama yang memerangi Prancis sampai dengan tahun 1797.

Koalisi kedua dibentuk pada tahun 1798, yang terdiri atas beberapa kerajaan: Austria, Britania Raya,
Kerajaan Napoli, Kesultanan Utsmaniyah, Negara Gereja, Portugal, dan Rusia. Napoleon Bonaparte, sang
arsitek utama kemenangan Prancis pada tahun lalu atas koalisi pertama, melancarkan aksi militer ke Mesir
(beberapa ilmuwan diikutsertakan dalam ekspedisi ini termasuk Jean Baptiste Joseph Fourier dan Jean-
Francois Champollion).

Napoleon kembali ke Prancis pada tanggal 23 Agustus 1799. Kemudian ia mengambil alih pemerintahan
pada tanggal 9 November 1799 dalam sebuah kudeta yang kemudian disebut Kudeta 18 Brumaire.
Napoleon menata ulang sistem militer Prancis dan membuat pasukan cadangan untuk mendukung aksi
militer di sekitar Rhine dan Italia. Di semua pertempuran, Prancis lebih unggul. Di Italia, Napoleon
memenangkan perang dengan Austria dalam Marengo pada tahun 1800. Tetapi pertempuran yang
menentukan terjadi di Rhein, dalam Pertempuran Hohenlinden pada tahun 1800. Dengan kalahnya Austria,
kekuatan koalisi kedua hancur. Akan tetapi Britania Raya tetap kuat dan memberi pengaruh yang besar
kepada negara-negara lainnya agar dapat mengalahkan Prancis. Napoleon menyadari bahwa tanpa
kekalahan Inggris atau perjanjian damai dengannya, maka ia tidak akan pernah mencapai perdamaian
secara penuh di benua Eropa.

Perang Inggris dan Prancis, 1803–1814


Tidak seperti anggota koalisi lainnya, Inggris tetap berperang secara kecil-kecilan dengan Prancis. Dengan
perlindungan dari armada lautnya yang sangat kuat, seperti yang diucapkan Admiral Jervis "Saya tidak
menjamin bahwa Prancis tidak akan datang menyerang kita, tetapi saya menjamin bahwa mereka tidak
akan datang lewat laut", Inggris dapat tetap mensuplai dan mengadakan perlawanan di darat secara global
selama lebih dari satu dekade. Bala tentara Inggris juga menyokong pemberontak di Spanyol melawan
Prancis dalam perang Peninsular pada tahun 1808-1814. Dilindungi oleh kondisi alam yang
menguntungkan, serta dibantu dengan pergerakan gerilyawan yang sangat aktif, pasukan Anglo-Portugis
ini sukses mengganggu pasukan Prancis selama beberapa tahun. Puncaknya pada tahun 1815, tentara
Inggris memainkan peran penting dalam mengalahkan pasukan Napoleon pada pertempuran Waterloo.

Dimahkotainya Napoleon
(dilukis oleh Jacques-Louis David)

Sebenarnya perjanjian damai (Perjanjian Amiens) antara Inggris dan Prancis telah disepakati pada tanggal
25 Maret 1802. Tetapi kedua belah pihak tidak pernah mematuhinya. Aksi militer kedua belah pihak selalu
merusak perjanjian ini seperti misalnya Prancis ikut andil dalam kericuhan sipil di Swiss (Stecklikrieg) dan
menduduki beberapa kota di Italia, sementara Inggris menduduki Malta. Napoleon juga berusaha
mengembalikan hukum kolonial di laut. Pada awal ekspedisi ini kelihatan sukses, akan tetapi dengan cepat
berubah menjadi bencana. Komandan Prancis, juga saudara ipar Napoleon dan hampir sebagian besar
tentaranya meninggal akibat wabah penyakit kuning, dan juga karena serangan musuh.

Napoleon menjadi Kaisar Prancis pada tanggal 18 Mei 1804 dan menobatkan dirinya sendiri sebagai
penguasa Notre-Dame pada tanggal 2 Desember.

Koalisi ketiga, 1805


Napoleon berencana menyerang Inggris,[3][4][5] dan mengumpulkan 180.000 tentara di Boulogne. Namun,
untuk invasinya, ia membutuhkan keunggulan laut - atau paling tidak dapat memukul mundur Britania dari
Selat Inggris. Rencana untuk menarik perhatian Britania dengan mengganggu jajahan mereka di India
Barat gagal ketika armada Prancis-Spanyol di bawah Laksamana Villeneuve mundur setelah pertempuran
Cape Finisterre pada 22 Juli 1805. Angkatan Laut Kerajaan Inggris kemudian memblokade Villeneuve di
Cádiz sampai ia pergi menuju Naples pada 19 Oktober; skuadron Britania mengejar dan mengalahkan
armadanya dalam Pertempuran Trafalgar pada tanggal 21 Oktober (komandan Britania, Lord Nelson, tewas
dalam pertempuran). Napoleon tidak akan pernah mendapatkan kesempatan untuk menantang Britania di
laut. Napoleon membatalkan semua rencananya untuk menyerang Kepulauan Britania, dan membalikan
perhatiannya ke musuhnya di Benua Eropa sekali lagi. Tentara Prancis meninggalkan Boulogne dan
bergerak menuju Austria.

Situasi strategis keadaan Eropa tahun 1805


sebelum Perang Koalisi Ketiga

Pada bulan April 1805, Inggris dan Rusia menandatangani kesepakatan dengan tujuan mengusir Prancis
dari Belanda dan Swiss. Austria ikut serta dalam aliansi ini setelah pencaplokan wilayah Genoa dan
penobatan Napoleon sebagai Raja Italia pada tanggal 17 Maret 1805.

Austria memulai peperangan dengan menginvasi Bavaria dengan bala tentaranya yang berjumlah 70 ribu
prajurit, di bawah pimpinan Karl Mack von Leiberich. Dengan segera tentara Prancis keluar dari Boulogne
pada akhir Juli 1805 untuk menghadapinya. Keduanya bertemu di Ulm (25 September – 20 Oktober).
Napoleon mengepung tentara Mack, kemudian memaksanya menyerah tanpa kerugian yang signifikan.

Dengan dikalahkannya tentara uatama Austria di utara pegunungan Alpen (tentara lainnya di bawah
pimpinan Adipati Agung Charles melawan tentara Prancis di Italia pimpinan marsekal André Masséna),
Napoleon menduduki Wina. Jauh di belakang garis suplainya, ia berhadapan dengan bala tentara Austria-
Rusia yang lebih besar di bawah komandan Mikhail Kutuzov, dimana Kaisar Alexander dari Rusia turut
serta. Pada tanggal 2 Desember, Napoleon mengalahkan tentara pasukan Austro–Rusia di Moravia dalam
Pertempuran Austerlitz (biasanya dianggap sebagai kemenangan terbesarnya). Napoleon menyebabkan
25.000 korban jiwa pada pasukan musuh yang unggul secara numerik, sementara mempertahankan kurang
dari 7.000 korban dari pasukannya sendiri.

Austria kemudian menandatangani kesepakatan Pressburg pada tanggal 26 Desember 1805 dan keluar dari
koalisi. Perjanjian ini memaksa Austria menyerahkan wilayah Venesia kepada kerajaan Italia-yang
didominasi Prancis dan Tyrol kepada Bavaria.

Dengan mundurnya Austria dari perang ini, tentara Napoleon mencatat kemenangan terus-menerus di
daratan, akan tetapi kekuatan penuh tentara Rusia belumlah ikut serta saat itu. Napoleon sekarang telah
mengkonsolidasikan cengkeramannya di Prancis, telah menguasai Belgia, Belanda, Swiss, dan sebagian
besar Jerman Barat dan Italia utara. Pengagumnya mengatakan bahwa Napoleon ingin berhenti sekarang,
tetapi terpaksa melanjutkan untuk mendapatkan keamanan yang lebih besar dari negara-negara yang
menolak untuk menerima penaklukannya. Sejarawan Charles Esdaile menolak penjelasan itu dan
sebaliknya mengatakan bahwa ini adalah saat yang tepat untuk menghentikan ekspansi, karena negara-
negara besar siap menerima Napoleon apa adanya:

Pada tahun 1806 baik Rusia maupun Inggris sangat ingin berdamai, dan mereka mungkin telah menyetujui
persyaratan yang akan membuat imperium Napoleon hampir sepenuhnya utuh. Adapun Austria dan Prusia,
mereka hanya ingin dibiarkan sendiri. Untuk mendapatkan perdamaian kompromi, maka, akan relatif
mudah. Tapi Napoleon siap untuk tidak membuat konsesi.[6]

Koalisi keempat, 1806–1807

Napoleon di Berlin (Lukisan karya Meynier).


Setelah mengalahkan tentara Prusia dalam pertempuran Jena-Auerstedt,
tentara Prancis memasuki Berlin pada tanggal 17 Oktober 1806

Koalisi keempat terbentuk beberapa bulan setelah runtuhnya koalisi ketiga dan terdiri dari Prusia, Rusia,
Saxon, Swedia, dan Inggris. Pada bulan Juli 1806, Napoleon membentuk Konfederasi Rhein dari banyak
negara kecil Jerman yang membentuk Rhineland dan sebagian besar bagian barat Jerman lainnya. Dia
menggabungkan banyak negara bagian yang lebih kecil menjadi elektorat, kadipaten, dan kerajaan yang
lebih besar untuk membuat pemerintahan Jerman non-Prusia menjadi lebih lancar. Napoleon mengangkat
para penguasa dari dua negara bagian Konfederasi terbesar, Saxony dan Bavaria, dengan status raja.

Akibat terpecahnya kerajaan-kerajaan Jerman, dan atas desakan Napoleon, Kaisar Franz II dari Austria
menyatakan bubarnya Kekaisaran Romawi Suci yang dipimpinnya pada tanggal 6 Agustus 1806. Sejak itu
berakhirlah suatu imperium longgar bangsa-bangsa Jerman yang berlangsung hampir selama 850 tahun.

Pada Agustus 1806, raja Prusia, Friedrich Wilhelm III, memutuskan untuk berperang secara independen
dari kekuatan besar lainnya. Tentara Rusia, sekutu Prusia, khususnya, terlalu jauh untuk membantu. Pada
bulan September, Napoleon menggerakkan seluruh pasukannya yang berada di timur Rhein ke Prusia.
Napoleon mengalahkan tentara Prusia di Jena pada tanggal 14 Oktober 1806, dan Marsekal Davout
mengalahkan pasukan lainnya di Auerstädt pada hari yang sama. Sekitar 160,0000 tentara Prancis
(bertambah jumlahnya seiring dengan berjalannya kampanye) menyerang Prusia, bergerak dengan sangat
cepat sehingga mereka menghancurkan seluruh tentara Prusia sebagai kekuatan militer yang efektif. Dari
250.000 pasukan, Prusia menderita 25.000 korban, kehilangan 150.000 lagi sebagai tahanan, 4.000 artileri,
dan lebih dari 100.000 senapan. Di Jena, Napoleon hanya melawan satu detasemen pasukan Prusia.
Pertempuran di Auerstädt melibatkan satu korps Prancis yang mengalahkan sebagian besar tentara Prusia.

Napoleon memasuki Berlin pada tanggal 27 Oktober 1806. Dia mengunjungi makam Friedrich yang Agung
dan menginstruksikan seluruh marsekalnya untuk melepas topi mereka untuk memberi penghormatan
seraya berucap

Dalam perang melawan Prusia ini, Napoleon hanya membutuhkan waktu 19 hari saja dari awal
serangannya ke Prusia hingga menghentikannya dari perang dengan merebut Berlin dan penghancuran
tentara utamanya di Jena dan Auerstädt. Sachsen meninggalkan Prusia, dan bersama dengan negara-negara
kecil dari Jerman utara, bersekutu dengan Prancis.

Selama konflik ini tercatat Malta mengirimkan bantuan kepada Rusia dan Prusia dengan harapan mereka
mendapat aliansi politis melawan Napoleon dan Prancis, akan tetapi hal ini tidak berhasil karena bajak laut
di sekitar Pantai Barbari menghadang dan merampas bantuan tersebut.

Babak selanjutnya dari peperangan era Napoleon ini, adalah dipaksanya Rusia keluar dari Polandia oleh
Prancis dan didirikan negara baru bernama Kadipaten Warsawa. Kemudian Napoleon beralih ke utara
untuk berhadapan dengan sisa-sisa tentara Rusia, dan berusaha untuk menduduki ibu kota sementara
Prusia, Koenigsberg. Dengan taktik berpindah di Pertempuran Eylau (7 Februari – 8 Februari 1807),
Prancis berhasil memaksa Rusia mundur ke utara lebih jauh lagi. Napoleon kemudian mengepung mereka
di Pertempuran Friedland (14 Juni 1807). Akibat kekalahan ini, Tsar Alexander terpaksa mengadakan
perdamaian dengan Napoleon di Tilsit (7 Juli 1807). Pada bulan September, Marsekal Brune secara
menyeluruh berhasil menduduki Pomerania. Meskipun demikian, dia tetap mengizinkan pasukan Swedia
yang kalah untuk mundur bersama peralatan perang mereka.

Koalisi kelima, 1809

Menyerahnya Madrid (Gros), 1808.


Napoleon menduduki ibu kota Spanyol, Madrid.

Koalisi kelima terdiri dari Britania Raya dan Austria yang dibentuk untuk melawan Prancis di daratan.
Sementara di laut, sekali lagi Inggris berperang sendirian melawan sekutu-sekutu Napoleon. Tercatat sejak
koalisi kelima terbentuk, angkatan laut kerajaan Inggris mencapai kesuksesan di daerah koloni Prancis dan
memperoleh kemenangan yang besar melawan Denmark di Pertempuran Kopenhagen (2 September 1807).
Di daratan, koalisi kelima berusaha memperluas wilayah tetapi dengan pergerakan militer terbatas. Seperti
yang terjadi pada ekspedisi Walcheren pada tahun 1809, yang melibatkan angkatan darat Inggris dibantu
oleh angkatan lautnya untuk membebaskan tentara Austria yang berada dalam tekanan tentara Prancis.
Ekpedisi ini berakhir menjadi bencana setelah tentara yang dikomandani oleh John Pitt (pangeran kedua
dari Chatham) gagal mencapai target yaitu pangkalan angkatan laut Prancis di Antwerpen.

Dalam tahun-tahun selama koalisi kelima ini, pergerakan militer Inggris di daratan, terkecuali di jazirah
Iberia (Al-Andalus), masih terbatas pada taktik serang dan lari dibantu oleh angkatan laut yang
mendominasi laut setelah sukses menghancurkan hampir seluruh kemampuan angkatan laut Prancis dan
sekutunya dan juga memblokade laut di sekitar pangkalan-pangkalan milik Prancis yang masih
dipertahankan dengan kuat.

Serangan kilat ini mirip dengan metode serangan yang dilancarkan oleh para gerilyawan. Umumnya
angkatan laut membantu angkatan darat untuk menghancurkan kapal-kapal Prancis, mengganggu
pengiriman, komunikasi, dan garnisun-garnisun militer di sekitar pantai. Dan sering juga angkatan laut
datang menolong dengan menurunkan tentara mereka untuk membantu operasi militer yang dilancarkan
bermil-mil jauhnya dari pantai.

Kapal-kapal milik angkatan laut Inggris bahkan membantu dengan gempuran artileri dari moncong-
moncong meriam mereka jika tentara Prancis yang bertempur tersesat hingga dekat dengan garis pantai.
Tetapi bagaimanapun juga, kualitas dan kemampuan dari angkatan darat-lah yang sangat berpengaruh dari
sukses tidaknya suatu operasi militer. Sebagai contoh, ketika taktik ini dilancarkan di Spanyol, kadang kala
angkatan laut gagal mencapai target karena kurangnya kualitas dan kemampuan tentaranya.

Wilayah Kekaisaran Prancis di Eropa tahun 1811, saat mendekati puncak kejayaannya.
Warna hijau terang atau gelap merupakan wilayah Prancis dan teritorialnya sedangkan warna biru,
merah muda dan kuning mengindikasikan negara-negara bentukan Prancis

Peperangan ini juga merembet ke perang ekonomi antara sistem kontinental yang diterapkan oleh Prancis
menghadapi blokade laut oleh Inggris di setiap wilayah kekuasaan Prancis. Kedua belah pihak selalu
membuat konflik baru agar sistem mereka bisa dilaksanakan. Inggris berperang dengan Amerika antara
tahun 1812-1815, sementara Prancis ikut serta dalam perang di Semenanjung Eropa selama tahun 1808-
1814. Konflik di Iberia dimulai ketika Portugal melanjutkan perdagangan dengan Inggris meskipun ada
larangan dari pihak Prancis. Ketika Spanyol mengalami kegagalan untuk mempertahankan aliansinya
dengan Prancis, dengan segera tentara Prancis menyerang dan menduduki ibu kota Madrid.

Austria yang sebelumnya menjadi sekutu Prancis, mengambil kesempatan untuk mengembalikan wilayah
mereka di Jerman yang pernah dikuasainya sebelum mengalami kekalahan dalam perang di Austerlitz.
Mereka memperoleh beberapa kemenangan atas tentara marsekal Davout yang memang terlalu sedikit
dalam menjaga seluruh front timur. Napoleon hanya menempatkan sekitar 170.000 tentaranya untuk
menjaga seluruh front timur ini. (bandingkan dengan tahun 1790-an, ada sekitar 800.000 tentara yang
menjaga front timur ini bahkan lebih pendek jaraknya saat itu).

Napoleon sangat gembira dengan keberhasilan pasukannya merebut Spanyol dan menduduki Madrid
dengan mudah, dan memaksa mundur sejumlah besar tentara Inggris dari Andalusia (Pertempuran
Corunna, 16 Januari 1809). Akan tetapi serangan yang dilancarkan Austria mencegah Napoleon
menyelesaikan pengusiran tentara Inggris dari Andalusia karena dia harus pergi ke Austria untuk
memimpin pasukan dan tidak pernah kembali ke arena pertempuran di jazirah ini. Karena
ketidakhadirannya beserta marshal terbaiknya (Davout tetap memimpin di timur selama peperangan),
situasi di Spanyol makin memburuk, terutama ketika Jenderal Inggris Sir Arthur Wellesley yang terkenal
itu tiba untuk memimpin pasukan.

Tentara Austria menyerbu ke kadipaten Warsawa tetapi mengalami kekalahan pada Pertempuran Radzyn
pada tanggal 19 April 1809. Tentara Polandia menduduki Galicia barat menambah daftar kesuksesan
mereka.

Kemudian Napoleon memimpin sendiri tentaranya untuk melakukan serangan balik ke Austria. Setelah
melalui beberapa pertempuran kecil, Austria akhirnya dipaksa mundur dari Bayern, sementara Napoleon
terus bergerak memasuki Austria. Akibat keinginannya untuk segera menyeberangi sungai Danube
mengakibatkan pertempuran besar yang terkenal dengan nama Pertempuran Aspern-Essling (22 Mei 1809)
— Kekalahan telak pertama yang diderita Napoleon dari pasukan Austria yang dipimpin oleh Jenderal
Archduke Karl. Baru pada awal bulan Juli (5 Juli – 6 Juli), Napoleon berhasil merebut Vienna dengan
mengalahkan tentara Austria pada Pertempuran Wagram. (Pada saat berlangsung pertempuran ini,
Napoleon mencopot Marsekal Bernadotte dari jabatannya dan mempermalukan dia di hadapan marsekal
senior lainnya. Segera setelah kejadian ini, Bernadotte menerima tawaran dari Swedia untuk mengisi posisi
sebagai pangeran. Selanjutnya dia secara aktif berpartisipasi dalam peperangan ini melawan Napoleon.)

Perang koalisi kelima ini berakhir dengan kesepakatan Schönbrunn (14 Oktober 1809). Selanjutnya di
timur hanya pemberontak Tyrol-lah yang dipimpin oleh Andreas Hofer yang tetap melanjutkan perlawanan
terhadap tentara Prancis-Bayern sampai akhirnya mereka dikalahkan pada bulan November 1809,
sementara itu perang di semenanjung Eropa Barat tetap berlanjut.

Kekaisaran Prancis mencapai puncak kejayaannya pada tahun 1810 dengan wilayah kekuasaan yang begitu
luas. Sementara itu Inggris dan Portugal tetap menjaga area di sekitar Lisbon (di belakang garis depan di
Torres Vedras) dan untuk mengepung Cadiz. Napoleon menikah dengan Marie-Louise, Putri dari Austria,
dengan maksud untuk mempererat aliansi dengan Austria dan memperoleh keturunan untuk menjadi putra
mahkota baru. Hal ini tidak didapatkannya dari istri pertama, Josephine. Sebagai kaisar Prancis, Napoleon
mengontrol negara-negara konfederasi Swiss, konfederasi Rhine, kadipaten Warsawa dan kerajaan Italia.
Wilayah-wilayah di bawah kekaisaraan Prancis termasuk:
 Kerajaan Spanyol (di bawah pimpinan Joseph Bonaparte, saudara laki-laki Napoleon)
 Kerajaan Westphalia (Jerome Bonaparte, saudara laki-laki Napoleon)
 Kerajaan Napoli (Joachim Murat, suami dari Caroline, saudara perempuan Napoleon)
 Kerajaan Lucca dan Piombino (saudara perempuan Napoleon Elisa Bonaparte dan suaminya Felice
Bacciocchi)
 Bekas musuh Napoleon sebelumnya, Prusia dan Austria.

Invasi ke Rusia, 1812


Seperti yang disebutkan di atas, hasil dari pakta Tilsit tahun 1807 mengakibatkan perang Anglo-Rusia
1807–1812. Tsar Alexander I menyatakan perang kepada Inggris setelah Inggris menyerang Denmark pada
bulan September tahun 1807. Banyak pelaut Inggris yang ikut membantu armada laut Swedia selama
perang Finlandia dan memperoleh kemenangan atas Rusia di teluk Finlandia pada bulan Juli tahun 1808
dan bulan Agustus tahun 1809, tetapi kemenangan tentara Rusia di daratan memaksa Swedia
menandatangani perjanjian damai dengan Rusia pada tahun 1809 dan dengan Prancis pada tahun 1810 juga
harus bergabung untuk memblokade Inggris.

Meski begitu hubungan Prancis dan Rusia menjadi semakin buruk setelah tahun 1810, sementara perang
Rusia dan Inggris telah berakhir. Pada bulan April tahun 1812, Rusia, Inggris dan Swedia menandatangani
perjanjian rahasia untuk bergabung melawan Napoleon.

Napoleon menginvasi Rusia pada tahun 1812 dengan maksud memaksa kaisar Alexander I tetap mengikuti
sistem kontinental yang diterapkannya dan memperkecil kemungkinan ancaman Rusia yang akan
menginvasi Polandia. Dengan membawa pasukan dalam jumlah besar yaitu sekitar 650.000 orang (270.000
orang Prancis, sisanya tentara dari berbagai wilayah lain) pada tanggal 23 Juni 1812 mereka menyeberangi
sungai Niemen. Rusia menyatakan ini sebagai perang patriotik membela negara sementara Napoleon
menyatakannya sebagai perang Polandia Kedua. Hal ini tidak seperti harapan rakyat Polandia (ada sekitar
100.000 tentara Polandia yang bergabung dalam invasi ini) yakni Napoleon ternyata tidak ingin
bernegosiasi dengan Rusia.

Rusia menerapkan strategi membumihanguskan kota sambil mundur teratur.[7][8] Pertempuran hanya terjadi
di Borodino pada tanggal 7 September 1812. Pada tanggal 14 September 1812, pasukan Napoleon berhasil
masuk kota Moskwa yang sebenarnya sudah ditinggalkan penduduknya dan dibumihanguskan atas perintah
gubernur-nya: Pangeran Fyodor Vasilievich Rostopchin.[9][10]

Pada Pertempuran Maloyaroslavets, Prancis mencoba mencapai kota Kaluga, di mana mereka bisa
mendapatkan persediaan makanan dan pakan ternak. Tentara Rusia yang telah pulih memblokir jalan, dan
Napoleon terpaksa mundur dengan cara yang sama seperti saat dia datang ke Moskow, melalui daerah yang
rusak parah di sepanjang jalan Smolensk. Pada minggu-minggu berikutnya, Grande Armée mendapat
pukulan telak akibat dimulainya Musim Dingin Rusia, kurangnya perbekalan, dan perang gerilya yang
terus-menerus dilakukan oleh para petani Rusia dan pasukan irregular.

Akhirnya dimulailah penarikan pasukan secara besar-besaran dari Kota Moskwa akibat cuaca yang sangat
dingin dan juga makin hebatnya serangan Rusia yang memang memanfaatkan cuaca dingin sebagai senjata.
Korban mencapai sekitar 380.000 jiwa (kebanyakan akibat kelaparan dan kedinginan) dan 100.000
ditawan.[11] Korban jiwa pada pihak Rusia sekitar 210.000 jiwa.[12] Pada bulan November, sisa dari pasukan
besar ini menyeberangi sungai Berezina dan hanya sekitar 27.000 tentara yang masih dalam kondisi fit.
Napoleon kemudian meninggalkan tentaranya dan kembali ke Prancis untuk menyiapkan pertahanan di
Polandia dari serangan tentara Rusia.

Koalisi keenam, 1812-1814


Melihat adanya kemungkinan untuk mengalahkan Napoleon yang sudah lemah akibat kekalahan besar di
Rusia, dengan segera Prusia, Swedia, Austria, dan beberapa negara kecil di Jerman ikut dalam peperangan
lagi. Napoleon bersumpah dia akan membentuk tentara baru sebesar tentara yang dia kirimkan ke Rusia,
dan memang dengan secara cepat dia membentuk tentaranya di timur dari 30.000 menjadi 130.000 dan
pada akhirnya mencapai 400.000 orang. Pertempuran pun segera terjadi di Lützen (2 Mei 1813) dan
Bautzen (20-21 Mei 1813) yang mengakibatkan kerugian besar di pihak koalisi yaitu sekitar 40 ribu jiwa.
Tercatat lebih dari 250.000 tentara yang terlibat dalam dua pertempuran ini.

Sementara itu pada peperangan di semenanjung Eropa tepatnya di kota Vitoria ( 21 Juni 1813), pasukan
Arthur Wellesley meraih kemenangan atas pasukan Joseph Bonaparte sehingga hancurlah kekuatan Prancis
di Spanyol dan memaksa mereka mundur melewati pegunungan Pyrene.

Kedua belah pihak menyatakan gencatan senjata yang mulai efektif tanggal 4 Juni sampai dengan 13
Agustus 1813. Selama masa damai ini kedua belah pihak berusaha pulih dari kerugian yang dideritanya
sejak bulan April yang telah menelan korban jiwa hampir seperempat juta. Pihak koalisi juga berhasil
memengaruhi Austria agar berperang melawan Prancis. Akhirnya dua inti dari pasukan Austria yang
berjumlah 300.000 orang ikut serta dalam koalisi sehingga menambah kekuatan mereka di Jerman. Total
jumlah pasukan koalisi saat itu mencapai 800.000 tentara di garis depan Jerman, dengan cadangan
mencapai 350.000 tentara.

Napoleon berhasil membawa pasukan kekaisaran di wilayah itu menjadi sekitar 650.000 — meskipun
hanya 250.000 yang berada di bawah komando langsungnya, sementara 120,000 tentara lainnya berada di
bawah komando Marsekal Nicolas Charles Oudinot dan 30.000 di bawah komando Marsekal Davout.

Negara-negara yang bergabung dalam konfederasi Rhine, terutama Saxon dan Bayern adalah penyumbang
tentara terbesar untuk Napoleon. Di selatan, Kerajaan Napoli dan Kerajaan Italia turut menambah kekuatan
dengan menyediakan sekitar 100.000 tentara. Sementara di Spanyol masih ada sekitar 150-200 ribuan
tentara Prancis meskipun saat itu mereka sudah dipaksa mundur oleh Inggris dari wilayah tersebut. Jadi ada
sekitar 900.000 tentara Prancis yang tersebar di semua medan pertempuran berhadapan dengan sekitar 1
juta tentara koalisi (belum termasuk tentara cadangan di Jerman).

Setelah masa gencatan senjata selesai, tampaknya Napoleon akan meraih kembali masa kejayaannya
setelah meraih kemenangan besar atas tentara koalisi di Dresden pada bulan Agustus tahun 1813. Akan
tetapi di medan pertempuran lain semua marsekalnya mengalami kekalahan sehingga kemenangan ini
menjadi tidak ada artinya lagi. Pada Pertempuran Leipzig di Saxon (16-19 Oktober 1813) yang juga
dikenal dengan nama pertempuran banyak bangsa, sekitar 190.000 tentara Prancis berhadapan dengan
300.000 tentara koalisi, yang pada akhirnya memaksa mereka mundur sampai ke kampung halamannya
sendiri, Prancis. Kemudian Napoleon masih memimpin beberapa pertempuran lagi termasuk pertempuran
Arcis-sur-Aube di Prancis sendiri, akan tetapi karena banyaknya jumlah tentara koalisi yang terlibat
pertempuran membuat mereka kewalahan.
Tentara Rusia memasuki kota Paris tahun 1814

Akhirnya pasukan koalisi memasuki Paris pada tanggal 30 Maret 1814. Tercatat Napoleon masih
memimpin pasukannya dan mendapat kemenangan berkali-kali atas pasukan koalisi yang maju terus
menuju Paris. Akan tetapi dia hanya memimpin sekitar 70.000 tentara melawan 500.000 tentara koalisi,
suatu jumlah yang tidak sebanding. Pada tanggal 9 Maret 1814 diadakan perjanjian Chaumont yang
menyetujui agar koalisi tetap dipertahankan sampai pasukan Napoleon dapat dikalahkan seluruhnya.

Napoleon memutuskan tetap bertempur, meskipun dia sudah di ambang kekalahan. Selama masa ini
tercatat dia mengeluarkan 900.000 surat keputusan wajib militer tetapi hanya beberapa saja yang berhasil
dilaksanakan. Akhirnya Napoleon kalah dan turun takhta pada tanggal 6 April 1814, tetapi pasukannya di
Italia, Spanyol dan Belanda masih terus melakukan perlawan selama musim semi tahun 1814.

Pihak koalisi memutuskan untuk mengasingkan Napoleon ke pulau Elba, dan mengembalikan Prancis
menjadi kerajaan serta mengangkat Louis XVIII sebagai raja. Mereka juga mengadakan perjanjian di
Fontainebleau (11 April 1814) serta kongres di Wina untuk menata ulang peta wilayah di Eropa.

Perang Denmark-Inggris, 1807-1814


Selama peperangan era Napoleon, sebenarnya Denmark - Norwegia menyatakan sebagai negara netral dan
hanya mengadakan perdagangan dengan Prancis. Akan tetapi pihak Inggris yang terus-menerus
menyerang, menangkap dan menghancurkan sebagian besar armada laut Denmark pada pertempuran
Kopenhagen pertama (2 April 1801) dan hal ini diulangi lagi pada pertempuran Kopenhagen kedua
(Agustus-September 1807) mengakibatkan Denmark melakukan perang gerilya terhadap armada Inggris di
laut Denmark-Norwegia dengan menggunakan kapal-kapal kecil yang dilengkapi meriam. Perang ini
akhirnya berhenti setelah Inggris meraih kemenangan pada pertempuran Lyngor pada tahun 1812, yang
mengakibatkan kerusakan pada kapal Denmark yang terakhir, yaitu kapal perang Najaden.

Koalisi ketujuh, 1815


Koalisi ketujuh yang terdiri atas Britania Raya, Rusia, Prusia, Swedia, Austria, dan Belanda serta sejumlah
negara kecil di Jerman terbentuk pada tahun 1815 setelah larinya Napoleon dari pulau Elba (tercatat sekitar
seratus hari dia kembali memimpin Prancis). Napoleon mendarat di Cannes pada tanggal 1 Maret 1815.
Dalam perjalanannya ke Paris, ia mengumpulkan tentara yang masih setia kepadanya, dan akhirnya
menggulingkan raja Louis XVIII. Pihak koalisi segera mengumpulkan pasukan kembali untuk berhadapan
dengannya. Napoleon berhasil mengumpulkan 280.000 orang, yang ia pecah menjadi beberapa kesatuan.
Untuk menambah kekuatan, Napoleon memanggil kembali seperempat juta veteran perang serta membuat
keputusan untuk mengadakan kembali wajib militer agar dapat menambah jumlah pasukan menjadi 2,5 juta
tentara yang pada kenyataannya tidak berhasil dilakukan. Hal ini dilakukan untuk menghadapi pasukan
koalisi yang berjumlah sekitar 700.000 tentara.

Peta Pertempuran Waterloo

Dengan membawa 124.000 pasukannya yang berada di utara, Napoleon melakukan serangan kejutan ke
posisi pasukan koalisi yang berada di Belgia. Serangan ini dia lakukan dengan harapan mendorong Inggris
mundur ke laut dan memaksa Prusia keluar dari peperangan. Serangan kejutan ini mencapai sukses,
memaksa Prusia bertempur di Ligny pada tanggal 16 Juni 1815 dan berhasil mengalahkan mereka sehingga
mundur dalam keadaan kacau-balau. Pada hari yang sama tetapi di lain tempat, pasukan sayap kiri
pimpinan Marsekal Michel Ney sukses menahan bala bantuan yang akan datang dari tentara Wellington
dalam Pertempuran Quatre Bras. Tetapi Ney gagal membersihkan persimpangan jalan Quatre Bras ini
sehingga tentara Wellington dapat memperkuat kembali posisinya.

Dengan mundurnya Prusia, pasukan Welington yang tadinya ingin membantu menjadi mundur juga.
Mereka kembali ke posisi semula di tebing Gunung Santa Jean, beberapa mil di selatan desa Waterloo.
Napoleon membawa cadangan pasukannya yang ada di utara, dan bergabung dengan pasukan Ney untuk
mengejar Wellington. Tetapi hal ini dia lakukan sebelum menginstruksikan kepada marsekal Grouchy
untuk memimpin pasukan sayap kanan menahan tentara Prusia yang sudah bersatu kembali.

Grouchy gagal melaksanakan perintah ini, meskipun sebenarnya pasukan von Thielmann berhasil
mengalahkan barisan belakang pasukan Prusia di Pertempuran Wavre pada tanggal 18-19 Juni, sisa
pasukan Prusia tetap menuju Waterloo. Napoleon menunda Pertempuran Waterloo beberapa jam di pagi
hari pada tanggal 18 Juni, karena belum mengeringnya tanah akibat hujan pada malam sebelumnya.
Ternyata sampai petang hari, pasukan Prancis belum mampu menaklukkan pasukan Wellington. Ketika
pasukan Prusia akhirnya datang dan menyerang sayap kanan Prancis dalam jumlah besar, gagallah strategi
Napoleon untuk tetap memecah kekuatan koalisi.

Marsekal Grouchy menebus kesalahannya di atas dengan sukses mengorganisasikan pasukan yang mundur
dari kota Paris, sementara marsekal Davout dengan 117.000 tentaranya berhadapan dengan 116.000 tentara
Blucher-Wellington. Secara militer sangat dimungkinkan Prancis mengalahkan gabungan kedua tentara ini
akan tetapi situasi politik membuktikan bahwa kekaisaran sudah mulai jatuh. Jadi, meskipun akhirnya
Davout sukses mengalahkan kedua gabungan pasukan ini, sekitar 400.000 tentara Rusia dan Austria tetap
maju terus dari arah timur tidak terpengaruh akan kekalahan ini.

Ketika tiba di Paris pada hari ketiga sesudah kekalahan di Waterloo, Napoleon sebenarnya masih berharap
timbulnya perlawanan rakyat untuk membela negara terhadap datangnya pasukan asing yang ingin
menguasai Prancis. Akan tetapi hal ini tidak menjadi kenyataan karena secara umum rakyat Prancis
menolak. Para politisi memaksa Napoleon untuk turun takhta lagi pada tanggal 22 Juni 1815. Meskipun
akhirnya kaisar turun takhta, pertempuran sporadis masih terus berlanjut di sepanjang perbatasan timur dan
di luar kota Paris sampai disepakatinya gencatan senjata tanggal 4 Juli. Baru pada tanggal 15 Juli,
Napoleon menyerahkan dirinya ke skuadron Inggris di Rochefort yang selanjutnya membuangnya kembali
ke pulau Saint Helena, tempat dia akhirnya meninggal dunia pada tanggal 5 Mei 1821.

Sementara itu di Italia, Joachim Murat yang masih menjadi Raja Napoli setelah menyerahnya Napoleon,
sekali lagi menunjukkan loyalitas yang tinggi kepada saudara iparnya itu dengan melancarkan perang
Neapolitan (bulan Maret sampai Mei 1815). Dia berharap mendapat dukungan para nasionalis yang saat itu
sedang dilanda ketakutan atas berkembangnya pengaruh Habsburg. Tetapi dukungan yang diharapkannya
tidaklah datang, dan akhirnya datanglah pasukan Austria sehingga pecah pertempuran Tolentino pada
tanggal 2-3 Mei 1815 yang memaksanya untuk melarikan diri. Dinasti Bourbon akhirnya kembali
menduduki takhta Napoli pada tanggal 20 Mei 1815. Murat dieksekusi di depan regu tembak pada tanggal
13 Oktober 1815.

Pengaruh politik

Napoleon sebagai raja Italia (lukisan karya Appiani)

Peperangan era Napoleon membawa perubahan besar di Eropa. Meskipun hampir semua wilayah di Eropa
Barat di bawah kekuasaan Napoleon (prestasi yang hanya bisa dibandingkan dengan kekaisaran Romawi
tempo dulu), peperangan antara Prancis dengan kekuatan lain di benua Eropa selama lebih dari dua dekade
akhirnya sampai pada titik penghabisan. Setelah peperangan era Napoleon berakhir, dominasi Prancis di
Eropa praktis lenyap, dan kembali lagi seperti pada masa Louis XIV.

Inggris akhirnya muncul sebagai negara superpower di dunia dan tidak dapat dibantah lagi bahwa angkatan
laut Inggris menjadi yang terkuat di dunia, demikian juga mereka menjadi negara maju di bidang ekonomi
dan industri.

Hampir di semua negara Eropa, cita-cita dari Revolusi Prancis (seperti demokrasi, hak dan persamaan
dalam bidang hukum, dll.) mulai diadopsi. Hal ini mengakibatkan sulitnya para raja di Eropa
mengembalikan hukum lama mereka dan terpaksa tetap memegang hukum-hukum yang diterapkan oleh
Napoleon. Bahkan hingga hari ini beberapa dari hukum tersebut masih dipakai, misalnya di banyak negara
Eropa hukum sipilnya jelas-jelas mengadopsi kode Napoleon.

Faham nasionalisme yang relatif baru saat itu dengan cepat berkembang di Eropa dan nantinya banyak
memengaruhi jalannya sejarah di sana, mulai dari berdirinya negara baru atau berakhirnya suatu negara.
Peta politik di Eropa berubah drastis setelah era Napoleon, tidak lagi berbasis aristrokat atau monarki
mutlak tetapi berdasarkan kerakyatan. Era Napoleon telah menyebarkan benih bagi berdirinya negara
Jerman modern dan Italia modern dengan bergabungnya negara-negara bagian dan juga kerajaan-kerajaan
kecil.

Ide lain yang diadopsi dari Napoleon (walaupun dia sendiri gagal mewujudkannya) adalah harapannya
untuk mewujudkan Eropa yang bersatu (ide ini digulirkan lagi setelah berakhirnya Perang Dunia II. Ide ini
kini sudah diwujudkan dengan adanya mata uang tunggal Uni Eropa, Euro.

Warisan militer

Napoléon menyeberangi Alpen (karya Jacques-Louis David).


Pada tahun 1800, Bonaparte memimpin Pasukan Prancis melintasi
pegunungan Alpen, dan mengalahkan Austria pada Pertempuran Marengo

Peperangan era Napoleon juga memberikan perubahan yang sangat besar di dunia militer. Sebelum era
Napoleon, negara-negara di Eropa biasanya memiliki tentara dalam jumlah sedikit dan itu pun banyak diisi
oleh tentara bayaran - kadang kala mereka bertempur melawan negara asalnya sendiri. Inovasi militer yang
timbul dalam era Napoleon yaitu mulai dikenalnya kekuatan rakyat yaitu jika seluruh rakyat ikut
berperang.

Napoleon mempraktikkan inovasinya seperti yang dipertunjukkan pada pertempuran Austerlitz tahun 1805.
Dengan taktik yang brilian untuk menghadapi musuh yang berjumlah lebih besar, ia memerintahkan
pasukannya untuk senantiasa berpindah posisi secara cepat dari satu tempat ke tempat lainnya.

Tentara Prancis juga memperbaiki aturan main untuk divisi artileri mereka, menjadi kesatuan terpisah dan
dapat bergerak cepat. Hal ini mengubah tradisi sebelumnya, yaitu tradisi artileri hanya digunakan sebagai
alat untuk mendukung suatu pasukan. Napoleon juga membuat standardisasi ukuran bola-bola meriam agar
mudah dibawa dan bisa dipakai di semua jenis artileri.

Prancis memiliki populasi terbesar kedua di dunia saat itu, yaitu sekitar 28 juta jiwa (dibandingkan dengan
Inggris 12 juta jiwa dan Rusia sekitar 30 sampai 40 juta jiwa), Napoleon dapat mengambil keuntungan dari
diberlakukannya wajib militer. Banyak pengamat militer saat ini yang salah persepsi dengan menyatakan
bahwa ide wajib militer ini sudah berkembang sejak revolusi Prancis bukan dari Napoleon. Memang tidak
semua inovasi militer dari era Napoleon. Lazare Carnot yang memberi sumbangan besar dalam menata
ulang tentara Prancis dari tahun 1793 sampai dengan tahun 1794.

Besarnya jumlah pasukan yang terlibat telah mengubah dunia militer saat itu. Sebelum era Napoleon, pada
saat perang 7 tahun (1756-1763), hanya sedikit yang terlibat, paling banyak 200 ribu orang saja.
Bandingkan dengan Prancis pada tahun 1790-an, telah memperbanyak jumlah personel-nya menjadi 1,5
juta jiwa. Dan total sekitar 2,8 juta personel yang bertempur di daratan dan 150 ribu di laut, sehingga
jumlah keseluruhan tentara yang terlibat menjadi hampir 3 juta personel.

Inggris memiliki 747.670 tentara antara tahun 1792 sampai dengan 1815. Ditambah lagi dengan
seperempat juta personel di laut. Pada bulan September 1812, Rusia memiliki sekitar 904 ribu tentara yang
terdaftar, dan antara tahun 1799 sampai dengan 1815 memiliki total 2,1 juta personel, kemungkinan sekitar
400 ribu bergabung antara tahun 1792 sampai dengan 1799. Sedangkan di laut, Rusia memiliki 200 ribu
tentara sejak tahun 1792 hingga 1815.

Austria memiliki 576 ribu tentara dan hanya sedikit atau tidak memiliki kekuatan di lautan. Mereka
memberikan perlawanan terus-menerus kepada Prancis sehingga kemungkinan besar tentara yang terlibat
bisa mencapai 1 juta sampai berakhirnya perang. Prusia hanya mempunyai 320 ribu tentara saja selama
perang ini, sedangkan Spanyol sekitar 300 ribu ditambah beberapa unit pasukan yang bergerilya.

Amerika Serikat mengirim 286.730 personel, sedangkan konfederasi Maratha, Kesultanan Utsmaniyah,
Italia, Napoli dan Kadipaten Warsawa menyumbang lebih dari 100 ribu personel. Bahkan setelah perang
berakhir, banyak negara-negara kecil yang memiliki pasukan berkekuatan besar juga.

Tetapi data jumlah tentara yang disebutkan tadi berasal dari sumber militer resmi dan sering pada
kenyataannya jumlahnya jauh lebih sedikit dikarenakan banyaknya tentara yang desersi, penipuan oleh
komandan lapangan yang menyetor daftar prajurit yang dilebih-lebihkan untuk mengambil keuntungan dari
gaji yang diberikan pemerintah kepada unitnya, kematian, dan di beberapa negara bahkan terang-terangan
berbohong untuk memenuhi jumlah tentara yang ditargetkan.

Bangkitnya Revolusi Industri sendiri pada tahap awal banyak dipengaruhi oleh besarnya jumlah pasukan
militer. Karena hal ini menjadikan banyak pabrik yang harus memproduksi senjata dan peralatan militer
lainnya dalam jumlah besar. Inggris merupakan produsen peralatan perang yang terbesar selama konflik
ini, mereka mengirimkan sebagian besar senjata ini kepada sekutu-sekutunya (dan hanya memakainya
sedikit). Sebaliknya Prancis yang juga menjadi produsen peralatan perang nomor dua terbesar,
memproduksinya untuk memperlengkapi pasukannya sendiri dan juga sekutu-sekutunya.

Warisan untuk dunia militer lainnya adalah digunakannya semaphore oleh Prancis untuk saling
berkomunikasi antara Menteri Perang, Lazare Carnot, dengan pasukan di perbatasan selama tahun 1790-an.
Dan Prancis tetap mempergunakan sistem ini sampai peperangan era Napoleon berakhir. Dan perlu
ditambahkan pula bahwa pada konflik inilah pertama kali Prancis menggunakan balon udara untuk
memantau posisi musuh pada pertempuran Fleurus, 26 Juni 1794, juga digunakannya roket serta meriam
yang telah disempurnakan.

Peperangan era Napoleon dalam Budaya populer


Perang Napoleon adalah peristiwa yang menentukan pada awal abad ke-19, dan mengilhami banyak karya
fiksi, sejak saat itu hingga saat ini.

Buku

 Leo Tolstoy novel epik Perang dan Damai menceritakan perang Napoleon antara tahun 1805 dan 1812
(terutama invasi tahun 1812 yang membawa bencana ke Rusia dan kemunduran berikutnya) dari perspektif
Rusia.
 Stendhal's novel The Charterhouse of Parma dibuka dengan menceritakan kembali Pertempuran
Waterloo di permukaan tanah dan mundurnya pasukan Prancis yang kacau balau.
 Les Misérables oleh Victor Hugo berlatar belakang Perang Napoleon dan dekade-dekade berikutnya,
dan dalam bentuknya yang lengkap berisi penceritaan epik tentang Pertempuran Waterloo.
 Adieu adalah sebuah novel karya Honoré de Balzac di mana dapat ditemukan deskripsi singkat tentang
mundurnya Prancis dari Rusia, khususnya pertempuran Berezina ,di mana pasangan fiksi dari cerita
dipisahkan secara tragis. Bertahun-tahun kemudian setelah dipenjara, sang suami kembali menemukan
istrinya masih dalam keadaan syok dan amnesia. Dia memiliki pertempuran dan pemisahan mereka
dihidupkan kembali, berharap memori akan menyembuhkan keadaannya.
 William Makepeace Thackeray's novel Vanity Fair berlangsung selama Perang Napoleon 1815 – salah
satu protagonisnya meninggal di Battle of Waterloo . Thackeray menyatakan dalam Bab XXX "Kami tidak
mengklaim peringkat di antara novelis militer. Tempat kami adalah dengan non-kombatan. Ketika geladak
dibersihkan untuk aksi, kami pergi ke bawah dan menunggu dengan sabar." Dan memang dia tidak
menyajikan deskripsi tentang pemimpin militer, strategi, atau pertempuran; dia menggambarkan non-
pejuang yang cemas menunggu di Brussel untuk mendapatkan berita.
 Sylvia's Lovers oleh Elizabeth Gaskell berlatar belakang rumah Inggris selama Perang Napoleon dan
menggambarkan Impresion para pelaut dengan menjelajahi geng pers.
 The Duel, sebuah cerita pendek oleh Joseph Conrad, menceritakan kisah berdasarkan peristiwa nyata
dari dua perwira Hussar Prancis yang membawa dendam panjang dan bertarung dalam duel setiap kali
mereka bertemu selama Perang Napoleon. Cerita pendek ini diadaptasi oleh sutradara Ridley Scott ke
dalam film pemenang penghargaan Karya Pertama Terbaik Festival Film Cannes 1977 The Duellists.
 "Mr Midshipman Easy" (1836), novel semi-otobiografi oleh Kapten Frederick Marryat, yang menjabat
sebagai perwira Angkatan Laut Kerajaan (1806–1830) termasuk selama Perang Napoleon, dan yang
menulis banyak novel, dan yang merupakan pelopor kisah laut perang Napoleon tentang pengalaman
perwira angkatan laut Inggris.
 Le Colonel Chabert oleh Honoré de Balzac. Setelah terluka parah selama pertempuran Eylau (1807),
Chabert, seorang kolonel terkenal dari cuirassiers, salah dicatat sebagai tewas dan dikubur tidak sadarkan
diri dengan korban Prancis. Setelah keluar dari kuburnya dan dirawat kembali oleh petani setempat, butuh
beberapa tahun baginya untuk pulih. Ketika dia kembali ke Paris Restorasi Bourbon, dia menemukan
bahwa "jandanya", mantan pelacur yang dijadikan kaya dan terhormat oleh Chabert, telah menikah dengan
Pangeran Ferraud yang kaya. Dia juga telah melikuidasi semua barang milik Chabert dan berpura-pura
tidak mengenali suami pertamanya. Mencari untuk mendapatkan kembali nama dan uangnya yang salah
diberikan sebagai warisan, ia menyewa Derville, seorang pengacara, untuk memenangkan kembali uang
dan kehormatannya.
 Sebuah puisi Borodino oleh Mikhail Lermontov menggambarkan Pertempuran Borodino dari sudut
pandang paman penyair, seorang perwira Rusia.
 The Count of Monte Cristo oleh Alexandre Dumas, père dimulai pada akhir Perang Napoleon. Karakter
utama, Edmond Dantès, menderita penjara setelah tuduhan palsu tentang kecenderungan Bonapartis.
*Novelis Jane Austen menjalani sebagian besar hidupnya selama Revolusi Prancis dan Perang Napoleon,
dan dua saudara laki-lakinya bertugas di Angkatan Laut Kerajaan. Austen hampir tidak pernah merujuk
pada tanggal atau peristiwa sejarah tertentu dalam novel-novelnya, tetapi Inggris masa perang membentuk
bagian dari latar belakang umum untuk beberapa di antaranya: dalam Pride and Prejudice (1813, tetapi
mungkin ditulis selama tahun 1790-an), Pride and Prejudice lokal milisi (sukarelawan sipil) telah dipanggil
untuk pertahanan rumah dan petugasnya memainkan peran penting dalam plot; di Mansfield Park (1814),
saudara laki-laki Fanny Price, William, adalah midshipman (petugas dalam pelatihan) di Royal Navy; dan
dalam Persuasion (1818), Frederic Wentworth dan beberapa karakter lainnya adalah perwira angkatan laut
yang baru saja kembali dari dinas.
 Charlotte Brontë's novel Shirley (1849), berlatar Perang Napoleon, mengeksplorasi beberapa dampak
ekonomi dari perang di pedesaan Yorkshire. *Sir Arthur Conan Doyle Brigadier Gerard melayani sebagai
tentara Prancis selama Perang Napoleon *Fyodor Dostoevsky buku The Idiot memiliki karakter, Jenderal
Ivolgin, yang menyaksikan dan menceritakan hubungannya dengan Napoleon selama Kampanye Rusia.
 Roger Brook adalah agen rahasia fiksi dan gagah berani Era Perang Napoleon, kemudian diidentifikasi
sebagai Chevalier de Breuc, dalam serangkaian dua belas novel oleh Dennis Wheatley
 Buku Hornblower oleh C.S. Forester mengikuti karir angkatan laut Horatio Hornblower selama Perang
Napoleon. Film tahun 1951 "Captain Horatio Hornblower" yang dibintangi oleh Gregory Peck dan Virginia
Mayo dan disutradarai oleh Raoul Walsh adalah sebuah film adaptasi berdasarkan seri novel Forester. Juga
oleh C.S. Forester dua novel Perang Semenanjung di Spanyol dan Portugal: "Death to the French" (1932,
diterbitkan di Amerika Serikat dengan judul "Rifleman Dodd"), dan "The Gun" (1933), kemudian dibuat
menjadi film tahun 1957, "The Pride and the Passion", dengan Cary Grant, Frank Sinatra, Sophia Loren ,
disutradarai oleh Stanley Kramer.
 R.F. Delderfield, dua novel tentang Perang Napoleon; "Seven Men of Gascony" (1949) tentang tujuh
prajurit infanteri Prancis yang bertugas dalam serangkaian kampanye Napoleon, dan Too Few For Drums
(1964) tentang tentara Inggris yang terputus di belakang garis Prancis di Portugal pada tahun 1810 , selama
Perang Semenanjung. *The Aubrey–Maturin series novel adalah urutan 20 novel sejarahs oleh Patrick
O'Brian yang menggambarkan kebangkitan Jack Aubrey dari Letnan ke Laksamana Muda selama Perang
Napoleon. Film Master and Commander: The Far Side of the World yang dibintangi Russell Crowe dan
disutradarai oleh Peter Weir didasarkan pada seri buku ini.
 Seri Sharpe oleh Bernard Cornwell dibintangi oleh karakter Richard Sharpe, seorang prajurit di
Angkatan Darat Inggris, yang bertempur selama Perang Napoleon.
 Seri buku Bloody Jack karya Louis A. Meyer berlatar pada Koalisi Kedua Perang Napoleon, dan
menceritakan kembali banyak pertempuran terkenal pada zaman itu. Pahlawan wanita, Jacky, bertemu
Bonaparte.
 Perang Napoleon memberikan latar belakang untuk The Emperor, The Victory, The Regency dan The
Campaigners, Volume 11, 12, 13 dan 14 masing-masing dari The Morland Dinasti, serangkaian novel
sejarah oleh penulis Cynthia Harrod-Eagles.
 Novel Richard Bolitho karya Alexander Kent menggambarkan periode sejarah ini dari perspektif
angkatan laut.
 G.S. Beard, penulis dua novel (2010) tentang John Fury, perwira angkatan laut Inggris selama Perang
Napoleon.
 Napoleon's Blackguards, sebuah novel karya Stephen McGarry, berlatar di Spanyol selama Perang
Napoleon tentang kerja keras unit elit Napoleon's Irish Legion. *Robert Challoner, penulis tiga novel dalam
seri tentang Charles Oakshott, perwira angkatan laut Inggris dalam Perang Napoleon.
 David Donachie's John Pearce series tentang pelaut terdesak yang menjadi perwira angkatan laut Inggris
selama perang Revolusi Prancis dan Perang Napoleon.
 Julian Stockwin's Thomas Kydd series menggambarkan perjalanan satu orang dari orang terdesak ke
Laksamana di masa Perang Prancis dan Napoleon
 Simon Scarrow – seri Napoleon. Bangkitnya Napoleon dan Wellington dari awal yang sederhana
menjadi pemimpin sejarah yang paling luar biasa dan terkemuka. Empat buku dalam seri.
 Serial Lord Ramage oleh Dudley Pope berlangsung selama Perang Napoleon.
 Jeanette Winterson's 1987 novel The Passion (novel)
 Georgette Heyer's 1937 novel An Infamous Army menceritakan nasib sebuah keluarga menjelang dan
selama, Battle of Waterloo. Novel Heyer terkenal karena penelitiannya yang cermat tentang kemajuan
pertempuran, menggabungkan penulisan roman periode yang terkenal dengan penelitiannya yang terperinci
tentang sejarah kabupaten.
 The Battle (Prancis: La Bataille) adalah novel sejarah oleh penulis Prancis Patrick Rimbaud yang
pertama kali diterbitkan pada tahun 1997 dan sekali lagi dalam bahasa Inggris pada tahun 2000. Buku
tersebut menggambarkan 1809 Pertempuran Aspern-Essling antara Kekaisaran Prancis di bawah Napoleon
dan Kekaisaran Austria. Novel tersebut dianugerahi Prix Goncourt dan Grand Prix du roman de l'Académie
française untuk tahun 1997. * Dalam novel Jasper Kent Twelve, 1812 Russian Invasion berfungsi sebagai
cerita dasar untuk buku tersebut. Dalam buku-buku selanjutnya dari The Danilov Quintet, perang ini terus-
menerus disebutkan.
 The Fighting Sail series oleh Alaric Bond menggambarkan kehidupan dan aksi di atas kapal Angkatan
Laut Kerajaan selama Perang Revolusi dan Perang Napoleon. Dari dek bawah hingga dek seperempat,
pengaturan detail Bond sangat realistis. Narasi diceritakan tidak hanya dari sudut pandang perwira yang
ditugaskan tetapi mencakup beragam perspektif, termasuk perwira yang dijamin, pelaut biasa dan cakap,
marinir, supernumerary, dan wanita di atas kapal yang menyajikan gambaran yang lebih luas dan lebih
lengkap tentang Angkatan Laut Georgia.

Anda mungkin juga menyukai