Anda di halaman 1dari 7

PERCAKAPAN ANTARA IBN ATHA‘ILLAH DENGAN IBN TAYMIYAH

Abu Fadl Ibn Atha‘illah Al-Sakandari (wafat 709), salah seorang imam sufi terkemuka yang juga
dikenal sebagai seorang muhaddits, muballigh sekaligus ahli fiqih Maliki, adalah penulis kitab
“Al-Hikam” yang terkenal dan banyak kitab lainnya. Beliau adalah murid Abu Al-Abbas Al-
Mursi dan merupakan generasi penerus kedua dari pendiri thariqah Syadziliyah, Imam Abu Al-
Hasan Al-Syadzili.

Ibn Atha‘illah adalah salah seorang yang membantah Ibn Taymiyah atas serangannya yang
berlebihan terhadap kaum sufi yang tidak sepaham dengannya. Ibn Atha‘illah tak pernah
menyebut Ibn Taymiyah dalam setiap karyanya, namun jelaslah bahwa yang disinggungnya
adalah Ibn Taymiyah saat ia mengatakan dalam kitab “Lathaif” sebagai “cendekiawan ilmu
lahiriah.” Berikut ini merupakan terjemahan Inggris pertama atas dialog bersejarah antara kedua
tokoh tersebut.

:::::::::::::::::

Dari “Usul Al-Wusul” karya Muhammad Zaki Ibrahim Ibn Katsir, Ibn Al-Athir, dan penulis
biografi serta kamus biografi, kami memperoleh naskah dialog bersejarah yang autentik. Naskah
tersebut memberikan ilham tentang etika berdebat di antara kaum terpelajar. Di samping itu,
kitab itu juga merekam kontroversi antara pribadi yang berpengaruh dalam tashawwuf, yaitu
Syaikh Ahmad Ibn Atha‘illah Al-Sakandari, dan tokoh yang tak kalah pentingnya dalam gerakan
“Salafi” selama era Mamluk di Mesir yang berada di bawah pemerintahan Sulthan Muhammad
Ibn Qalawun (Al-Malik Al-Nasir), yaitu Syaikh Ahmad Ibn Abd Al Halim Ibn Taymiyah.

Kesaksian Ibn Taymiyah kepada Ibn Atha‘illah

Syaikh Ibn Taymiyah ditahan di Alexandria. Ketika sultan memberikan ampunan, ia kembali ke
Kairo. Menjelang malam, ia menuju masjid Al Ahzar untuk shalat maghrib yang diimami Syaikh
Ibn Atha‘illah. Selepas shalat, Ibn Atha‘illah terkejut mendapati Ibn Taymiyah sedang berdoa di
belakangnya. Dengan senyuman, sang syaikh sufi menyambut ramah kedatangan Ibn Taymiyah
di Kairo seraya berkata “Assalamualaikum,” selanjutnya ia memulai pembicaraan dengan tamu
cendekianya ini.

:::::::::::::::::

Ibn Atha‘illah: “Biasanya aku shalat di masjid Imam Husain dan shalat Isya di sini. Tapi lihatlah
bagaimana ketentuan Allah berlaku. Allah menakdirkan akulah orang pertama yang harus
menyambut Anda setelah kepulangan Anda ke Kairo. Ungkapkanlah kepadaku wahai faqih,
apakah Anda menyalahkanku atas apa yang telah terjadi?”

Ibn Taymiyah: “Aku tahu, Anda tidak bermaksud buruk terhadapku, tapi perbedaan pandangan
di antara kita tetap ada. Sejak hari ini, dalam kasus apa pun, aku tidak mempersalahkan dan
membebaskan dari kesalahan, siapa pun yang berbuat buruk terhadapku”

Ibn Atha‘illah: “Apa yang Anda ketahui tentang aku, Syaikh Ibn Taymiyah?”
Ibn Taymiyah: “Aku tahu Anda adalah seorang yang shalih, berpengetahuan luas, dan senantiasa
berbicara benar dan tulus. Aku bersumpah tidak ada orang selain Anda, baik di Mesir maupun
Syria, yang lebih mencintai Allah ataupun mampu meniadakan diri di (hadapan) Allah atau lebih
patuh atas perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya.

Tapi bagaimanapun juga kita memiliki perbedaan pandangan. Apa yang Anda ketahui tentang
aku? Apakah Anda atau aku yang sesat dengan menolak kebenaran (praktik) meminta bantuan
seseorang untuk memohon pertolongan Allah (istighatsah)?”

Ibn Atha‘illah: “Tentu saja, rekanku, Anda tahu bahwa istighatsah atau memohon pertolongan
sama dengan tawasul atau mengambil wasilah (perantara) dan meminta syafa‘at; dan bahwa
Rasulullah saw adalah seorang yang kita harapkan bantuannya karena beliaulah perantara kita
dan yang syafa‘atnya kita harapkan.”

Ibn Taymiyah: “Mengenai hal ini aku berpegang pada sunnah rasul yang ditetapkan dalam
syari‘at. Dalam hadits yang berbunyi ‘Aku telah dianugerahkan kekuatan syafa‘at.’ Dalam ayat
Al-Quran juga disebutkan: ‘Mudah-mudahan Allah akan menaikkan kamu (wahai Nabi) ke
tempat yang terpuji’ (QS Al-Isra’ [17]: 79). Yang dimaksud dengan tempat terpuji adalah
syafa‘at. Lebih jauh lagi, saat ibunda khalifah Ali ra wafat, Rasulullah berdoa pada Allah di
kuburnya: ‘Ya Allah Yang Maha Hidup dan Tak pernah mati, Yang Menghidupkan dan
Mematikan, ampuni dosa-dosa ibundaku, Fatimah binti Asad, lapangkan kubur yang akan
dimasukinya dengan syafa‘atku, utusan-Mu, dan para nabi sebelumku. Karena Engkaulah Yang
Maha Pengasih dan Maha Pengampun.’

Inilah syafa‘at yang dimiliki Rasulullah saw. Sementara mencari pertolongan dari selain Allah,
merupakan suatu bentuk kemusyrikan; Rasulullah saw sendiri melarang sepupunya, Abdullah
bin Abbas, memohon pertolongan dari selain Allah.

Ibn Atha‘illah: “Semoga Allah mengaruniakanmu keberhasilan, wahai faqih! Maksud dari saran
Rasulullah saw kepada sepupunya Ibn Abbas adalah agar ia mendekatkan diri kepada Allah tidak
melalui kekerabatannya dengan rasul melainkan dengan ilmu pengetahuan. Sedangkan mengenai
pemahaman Anda tentang istighasah sebagai mencari bantuan kepada selain Allah, yang
termasuk perbuatan musyrik, aku ingin bertanya kepada Anda, ‘Adakah muslim yang beriman
pada Allah dan Rasul-Nya yang berpendapat ada selain Allah yang memiliki kekuasaaan atas
segala kejadian dan mampu menjalankan apa yang telah ditetapkan-Nya berkenaan dengan
dirinya sendiri?’

‘Adakah mu‘min sejati yang meyakini ada yang dapat memberikan pahala atas kebaikan dan
menghukum atas perbuatan buruk, selain dari Allah?’

Di samping itu, seharusnya kita sadar bahwa ada berbagai ekspresi yang tak bisa dimaknai
sebatas harfiah belaka. Ini bukan saja dikhawatirkan akan membawa kepada kemusyrikan, tapi
juga untuk mencegah sarana kemusyrikan. Sebab, siapa pun yang meminta pertolongan Rasul
berarti mengharapkan anugerah syafa‘at yang dimiliknya dari Allah, sebagaimana jika Anda
mengatakan ‘Makanan ini memuaskan seleraku.’ Apakah dengan demikian makanan itu sendiri
yang memuaskan selera Anda? Ataukah disebabkan Allah yang memberikan kepuasan melalui
makanan?

Sedangkan pernyataan Anda bahwa Allah melarang muslim untuk mendatangi seseorang selain
Diri-Nya guna mendapat pertolongan, pernahkah Anda melihat seorang muslim memohon
pertolongan kepada selain Allah? Ayat Al-Quran yang Anda rujuk itu berkenaan dengan kaum
musyrikin dan mereka yang memohon pada dewa dan berpaling dari Allah. Sedangkan satu-
satunya jalan bagi kaum muslim yang meminta pertolongan Rasul adalah dalam rangka
bertawasul atau mengambil perantara atas keutamaan (hak) Rasul yang diterimanya dari Allah
(bihaqqihi inda Allah) dan tashaffu atau memohon bantuan dengan syafa‘at yang telah Allah
anugerahkan kepada rasulNya.

Sementara itu, jika Anda berpendapat bahwa istighasah atau memohon pertolongan itu dilarang
oleh syariat karena mengarah pada kemusyrikan, maka kita seharusnya mengharamkan anggur
karena dapat dijadikan minuman keras, dan mengebiri laki-laki yang tidak menikah untuk
mencegah zina.

(Kedua syaikh tertawa atas komentar terakhir ini).

Lalu Ibn Atha‘illah melanjutkan: “Aku kenal betul dengan segala inklusifitas dan gambaran
mengenai sekolah fiqih yang didirikan oleh syaikh Anda, Imam Ahmad, dan aku tahu betapa
luasnya teori fiqih serta mendalamnya ‘prinsip-prinsip agar terhindar dari godaan syaithan’ yang
Anda miliki, sebagaimana juga tanggung jawab moral yang Anda pikul selaku seorang ahli fiqih.

Namun aku juga menyadari bahwa Anda dituntut untuk menelisik di balik kata-kata guna
menemukan makna yang seringkali terselubung di balik kondisi harfiahnya. Bagi sufi, makna itu
laksana jiwa, sementara kata-kata adalah jasadnya. Anda harus menembus ke dalam jasad fisik
ini untuk meraih hakikat yang mendalam. Kini Anda telah memperoleh dasar bagi pernyataan
Anda terhadap karya Ibn ‘Arabi, yaitu kitab ‘Fushush Al-Hikam.’ Naskah tersebut telah dikotori
oleh musuhnya, bukan saja dengan kata-kata yang tak pernah diucapkannya, juga oleh berbagai
pernyataan yang tidak dimaksudkannya.

Ketika Syaikh Al-Islam Al-Izz ibn Abd Salam memahami apa yang sebenarnya diucapkan dan
dianalisis oleh Ibn ‘Arabi, menangkap dan mengerti makna sebenarnya di balik ungkapan
simbolisnya, ia segera memohon ampun kepada Allah SWT atas pendapat dia sebelumnya dan
menokohkan Muhyiddin Ibn ‘Arabi sebagai Imam Islam.

Sedangkan mengenai pernyataan Al-Syadzili yang memojokkan Ibn ‘Arabi, perlu Anda ketahui,
ucapan tersebut tidak keluar dari mulutnya, melainkan dari salah seorang murid Syadziliyah.
Lebih jauh lagi, pernyataan itu dikeluarkan saat para murid membicarakan sebagian pengikut
Syadziliyah. Dengan demikian, pernyataan itu diambil dalam konteks yang tak pernah
dimaksudkan oleh sang pembicaranya sendiri. ‘Apa pendapat Anda mengenai khalifah Sayyidina
Ali bin Abi Thalib?’

Ibn Taymiyah: “Dalam salah satu haditsnya, Rasul saw bersabda, ‘Aku adalah kota ilmu dan Ali-
lah pintunya.’ Sayyidina Ali merupakan seorang mujahid yang tak pernah keluar dari
pertempuran kecuali dengan membawa kemenangan. Siapa lagi ulama atau fuqaha sesudahnya
yang mampu berjuang demi Allah menggunakan lidah, pena dan pedang sekaligus? Dialah
sahabat rasul yang paling sempurna--semoga Allah membalas kebaikannya. Ucapannya bagaikan
cahaya lampu yang menerangi sepanjang hidupku setelah Al-Quran dan sunnah. Duhai!
Seseorang yang meski sedikit perbekalannya namun panjang perjuangannya.

Ibn Atha‘illah: “Sekarang, apakah Imam Ali ra meminta agar orang-orang berpihak padanya
dalam suatu faksi? Sementara faksi ini mengklaim bahwa malaikat Jibril melakukan kesalahan
dengan menyampaikan wahyu kepada Muhammad saw, bukannya kepada Ali! Atau pernahkah
ia meminta mereka untuk menyatakan bahwa Allah menitis ke dalam tubuhnya dan sang imam
menjadi tuhan? Ataukah ia tidak menentang dan memberantas mereka dengan memberikan fatwa
bahwa mereka harus dibunuh di mana pun mereka ditemukan?

Ibn Tayniyah: “Berdasarkan fatwa ini, aku memerangi mereka di pegunungan Syria selama lebih
dari 10 tahun.”

Ibn Atha‘illah: “Dan Imam Ahmad--semoga Allah meridhainya--mempertanyakan perbuatan


sebagian pengikutnya yang berpatroli, memecahkan tong-tong anggur (di toko-toko penganut
Kristen atau di mana pun mereka temukan), menumpahkan isinya di lantai, memukuli gadis para
penyanyi, dan menyerang masyarakat di jalan.

Meskipun sang Imam tak memberikan fatwa bahwa mereka harus mengecam dan menghardik
orang-orang tersebut. Konsekuensinya, para pengikutnya ini dicambuk, dilempar ke penjara dan
diarak di punggung keledai dengan menghadap ekornya. Apakah Imam Ahmad bertanggung
jawab atas perbuatan buruk yang kini kembali dilakukan pengikut Hanbali, dengan dalih
melarang benda atau hal-hal yang diharamkan?

Dengan demikian, Syaikh Muhyidin Ibn ‘Arabi tidak bersalah atas pelanggaran yang dilakukan
para pengikutnya yang melepaskan diri dari ketentuan hukum dan moral yang telah ditetapkan
agama serta melakukan pebuatan yang dilarang agama. Apakah Anda tidak memahami hal ini?”

Ibn Taymiyah: “Tapi bagaimana pendirian mereka di hadapan Allah? Di antara kalian, para sufi,
ada yang menegaskan bahwa ketika Rasulullah saw memberitakan kabar gembira pada kaum
miskin bahwa mereka akan memasuki surga sebelum kaum kaya, selanjutnya kaum miskin
tersebut tenggelam dalam luapan kegembiraan dan mulai merobek-robek jubah mereka. Saat itu,
malaikat jibril turun dari surga dan mewahyukan kepada Rasul bahwa Allah akan memilih di
antara jubah-jubah yang robek itu. Selanjutnya malaikat jibril mengangkat satu dari jubah dan
menggantungkannya di singgasana Allah. Berdasarkan ini, kaum sufi mengenakan jubah kasar
dan menyebut dirinya fuqara atau kaum ‘papa.’

Ibn Atha‘illah: “Tidak semua sufi mengenakan jubah dan pakaian kasar. Lihatlah apa yang
kukenakan; apakah Anda tidak setuju dengan penampilanku?”

Ibn Taymiyah: “Tetapi Anda adalah ulama syariat dan mengajar di Al Ahzar.”
Ibn Atha‘illah: “Al Ghazali adalah seorang imam syariat maupun tashawwuf. Ia mengamalkan
fiqih, sunnah, dan syariat dengan semangat seorang sufi. Dan dengan cara ini, ia mampu
menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama. Kita tahu bahwasanya dalam tashawwuf, noda
tidaklah memiliki tempat dalam agama dan bahwa kesucian merupakan ciri dari kebenaran. Sufi
yang tulus dan sejati harus menyuburkan hatinya dengan kebenaran yang ditanamkan ahli
sunnah.

Dua abad yang lalu muncul fenomena sufi gadungan yang Anda sendiri telah mengecam dan
menolaknya. Di mana sebagian orang mengurangi kewajiban beribadah dan peraturan
keagamaan, melonggarkan berpuasa dan melecehkan pengamalan shalat wajib lima kali sehari.
Ditunggangi kemalasan dan ketidakpedulian, mereka telah mengklaim telah bebas dari belenggu
kewajiban beribadah. Begitu brutalnya tindakan mereka hingga Imam Qusyairi sendiri
mengeluarkan kecaman dalam bukunya Ar-Risalah (Risalatul Qusyairiyah).

Di sini, ia juga menerangkan secara rinci jalan yang benar menuju Allah, yakni berpegang teguh
pada Al-Quran dan Sunnah. Imam tashawwuf juga berkeinginan mengantarkan manusia pada
kebenaran sejati, yang tidak hanya diperoleh melalui bukti rasional yang dapat diterima akal
manusia yang dapat membedakan yang benar dan salah, melainkan juga melalui penyucian hati
dan pelenyapan ego yang dapat dicapai dengan mengamalkan laku spiritual.

Kelompok di atas selanjutnya tersingkir lantaran sebagai hamba Allah sejati maka seseorang
tidak akan menyibukkan dirinya kecuali demi kecintaannya pada Allah dan Rasul-Nya. Inilah
posisi mulia yang menyebabkan seorang menjadi hamba yang shalih, sehat dan sentosa. Inilah
jalan guna membersihkan manusia dari hal-hal yang dapat menodai manusia, semacam cinta
harta, dan ambisi akan kedudukan tertentu.

Meskipun demikian, kita harus berusaha di jalan Allah agar memperoleh ketentraman beribadah.
Ketahuilah sahabatku yang cendekia, menerjemahkan naskah secara harfiah terkadang
menyebabkan kekeliruan. Penafsiran harfiahlah yang mendasari penilaian Anda terhadap Ibn
‘Arabi, salah seorang imam kami yang terkenal akan keshalihannya. Anda tentunya mengerti
bahwa Ibn ‘Arabi menulis dengan gaya simbolis; sedangkan para sufi adalah orang-orang ahli
dalam menggunakan bahasa simbolis yang mengandung makna lebih dalam dan gaya hiperbola
yang menunjukkan tingginya kepekaan spiritual serta kata-kata yang menghantarkan rahasia
mengenai fenomena yang tak tampak.

Ibn Taymiyah: “Argumentasi tersebut justru ditujukan untuk Anda. Karena saat Imam al-
Qusyairi melihat pengikutnya melenceng dari jalan Allah, ia segera mengambil langkah untuk
membenahi mereka. Sementara apa yang dilakukan para syaikh sufi sekarang? Aku meminta
para sufi untuk mengikuti jalur sunnah dari para leluhur kami (salafi) yang saleh dan terkemuka:
para sahabat yang zuhud, generasi sebelum mereka dan generasi sesudahnya yang mengikuti
langkah mereka.

Siapapun yang menempuh jalan ini, aku berikan penghargaan setinggi-tingginya dan
menempatkan sebagai imam agama. Namun, bagi mereka yang melakukan pembaruan yang
tidak berdasar dan menyisipkan gagasan kemusyrikan seperti filosof Yunani dan pengikut
Buddha, atau yang beranggapan bahwa manusia menempati Allah (hulul) atau menyatu dengan-
Nya (ittihad), atau teori yang menyatakan bahwa seluruh penampakan adalah wahdatul wujud,
ataupun hal-hal lain yang diperintahkan syaikh Anda, semuanya itu jelas perilaku ateis dan
kafir.”

Ibn Atha‘illah: “Ibn ‘Arabi adalah salah seorang ulama terhebat yang mengenyam pendidikan di
Dawud Al-Zahiri seperti Ibn Hazm Al-Andalusi, seseorang yang pahamnya selaras dengan
metodologi Anda tentang hukum Islam, wahai penganut Hanbali! Tetapi meskipun Ibn ‘Arabi itu
seorang Zahiri (menerjemahkan hukum Islam secara lahiriah), metode yang dia terapkan untuk
memahami hakikat adalah dengan menelisik apa yang tersembunyi, mencari makna spiritual
(thariq al-bathin), guna mensucikan batin (thathhir al-bathin).

Meskipun demikian, tidak seluruh pengikutnya mengartikan sama apa-apa yang tersembunyi.
Agar Anda tidak keliru atau lupa, ulangilah bacaan Anda mengenai Ibn ‘Arabi dengan
pemahaman baru akan simbol-simbol dan gagasannya. Anda akan menemukannya sangat mirip
dengan Al-Qusyairi. Dia telah menempuh jalan tashawwuf di bawah payung Al-Quran dan
sunnah, sama seperti Hujjatul Islam Al-Ghazali, yang mengusung perdebatan ihwal perbedaan
mendasar mengenai iman dan isu-isu ibadah namun menilai usaha ini kurang menguntungkan
dan berfaedah.

Dia mengajak orang untuk memahami bahwa mencintai Allah adalah cara yang patut ditempuh
seorang hamba Allah berdasarkan keyakinan. Apakah Anda setuju, wahai faqih? Atau Anda
lebih suka melihat perselisihan di antara para ulama? Imam Malik ra telah mengingatkan
mengenai perselisihan semacam ini dan memberikan nasihat: ‘Setiap kali seseorang berdebat
mengenai iman, maka kepercayaannya akan berkurang.’

Sejalan dengan ucapan itu, Al-Ghazali berpendapat: ‘Cara tercepat untuk mendekatkan diri
kepada Allah adalah melalui hati, bukan jasad.’ Bukan berarti hati dalam bentuk fisik yang dapat
melihat, mendengar atau merasakan secara gamblang. Melainkan, dengan menyimpan dalam
benak, rahasia terdalam dari Allah Yang Maha Agung dan Besar, yang tidak dapat dilihat atau
diraba.

Sesungguhnya ahli sunnahlah yang menobatkan syaikh sufi, Imam Al-Ghazali, sebagai Hujjatul
Islam, dan tak seorang pun yang menyangkal pandangannya bahkan seorang cendekia secara
berlebihan berpendapat bahwa Ihya Ulumuddin nyaris setara dengan Al-Quran. Dalam
pandangan Ibn ‘Arabi dan Ibn Al-Farid, taklif atau kepatuhan beragama laksana ibadah yang
mihrab atau sajadahnya menandai aspek batin, bukan semata-mata ritual lahiriah saja.

Karena apalah arti duduk berdirinya Anda dalam shalat sementara hati Anda dikuasai oleh selain
Allah. Allah memuji hamba-Nya dalam Al-Quran, ‘(Yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam
sholatnya’; dan Ia Ta‘ala mengutuk dalam firman-Nya, “(Yaitu) orang-orang yang lalai dalam
shalatnya.” Inilah yang dimaksudkan oleh Ibn ‘Arabi saat mengatakan, ‘Ibadah bagaikan mihrab
bagi hati, yakni aspek batin, bukan lahirnya.’

Seorang muslim takkan bisa mencapai keyakinan mengenai isi Al-Quran, baik dengan ilmu atau
pembuktian itu sendiri, hingga dia membersihkan hatinya dari segala yang dapat mengalihkan
dan berusaha untuk khusyuk. Dengan demikian, maka Allah akan mencurahkan ilmu ke dalam
hatinya, dan dari sana akan muncul semangatnya. Sufi sejati tak mencukupi dirinya dengan
meminta sedekah.

Seseorang yang tulus adalah dia yang menyuburkan diri di (hadapan) Allah dengan mematuhi-
Nya. Barangkali yang menyebabkan para ahli fiqih mengecam Ibn ‘Arabi adalah karena kritik
beliau terhadap keasyikan mereka dalam berargumentasi dan berdebat seputar masalah iman,
hukum kasus-kasus yang terjadi (aktual) dan kasus-kasus yang baru dihipotesiskan (dibayangkan
padahal belum terjadi).

Ibn ‘Arabi mengkritik demikian karena ia melihat betapa seringnya hal tersebut dapat
mengalihkan mereka dari kejernihan hati. Ia menjuluki mereka sebagai ‘ahli fiqih basa-basi
wanita.’ Semoga Allah mengeluarkanmu karena telah menjadi salah satu dari mereka! Pernahkan
Anda membaca pernyataan Ibn ‘Arabi bahwa ‘Siapa saja yang membangun keyakinannya
semata-mata berdasarkan bukti-bukti yang tampak dan argumen deduktif, maka ia membangun
keyakinan dengan dasar yang tak bisa diandalkan. Karena ia akan selalu dipengaruhi oleh
sangahan-sangahan balik yang konstan. Keyakinan bukan berasal dari alasan logis melainkan
tercurah dari lubuk hati.’ Adakah pernyataan yang seindah ini?”

Ibn Taymiyah : “Anda telah berbicara dengan baik, andaikan saja gurumu seperti yang Anda
katakan, maka dia sangat jauh dari kafir. Tapi menurutku, apa yang telah dia ucapkan tidak
mendukung pandangan yang telah Anda kemukakan.”

:::::::::::::::::

(Diterjemahkan dari “On Tasawuf Ibn Atha’illah Al-Sakandari: The Debate with Ibn Taymiyah”
dalam buku karya Syaikh Muhammad Hisyam Kabbani “The Repudiation of ‘Salafi’
Innovations” (Kazi, 1996) hlm. 367-379.)

Anda mungkin juga menyukai