Anda di halaman 1dari 63

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Negara Indonesia merupakan negara berkembang, hal ini ditunjukan dengan banyaknya

pembangunan yang sedang dilakukan di Indonesia. Dewasa ini kita melihat bahwa

pertumbuhan industri, perkantoran, teknologi dan perdagangan di Indonesia semakin

meningkat. Salah satu tolok ukur peningkatannya adalah perekonomian Indonesia yang saat

ini semakin meningkat. Peningkatan perekonomian di Indonesia tidak lepas dari keterlibatan

tenaga kerja. Namun dalam pelaksanaannya seringkali terjadi kecelakaan yang menimpa

tenaga kerja. Hal ini tidak lepas dari buruknya penerapan Keselamatan dan Kesehatan

Kerja(K3).

Kondisi keselamatan dan kesehatan kerja (K3) perusahaan di Indonesia secara

umum diperkirakan termasuk rendah. Pada tahun 2005 Indonesia menempati posisi yang

buruk jauh di bawah Singapura, Malaysia, Filipina dan Thailand. Kondisi tersebut

mencerminkan kesiapan daya saing perusahaan Indonesia di dunia internasional masih

sangat rendah. Indonesia akan sulit menghadapi pasar global karena mengalami

ketidakefisienan pemanfaatan tenaga kerja (produktivitas kerja yang rendah). Padahal

kemajuan perusahaan sangat ditentukan peranan mutu tenaga kerjanya. Karena itu

disamping perhatian perusahaan, pemerintah juga perlu memfasilitasi dengan peraturan

atau aturan perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Nuansanya harus bersifat

manusiawi atau bermartabat.

Keselamatan kerja telah menjadi perhatian di kalangan pemerintah dan bisnis sejak

lama. Faktor keselamatan kerja menjadi penting karena sangat terkait dengan kinerja

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 1


karyawan dan pada gilirannya pada kinerja perusahaan. Semakin tersedianya fasilitas

keselamatan kerja semakin sedikit kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja.

Di era globalisasi dan pasar bebas WTO dan GATT yang akan berlaku tahun 2020

mendatang, kesehatan dan keselamatan kerja merupakan salah satu prasyarat yang

ditetapkan dalam hubungan ekonomi perdagangan barang dan jasa antar negara yang

harus dipenuhi oleh seluruh negara anggota, termasuk bangsa Indonesia. Untuk

mengantisipasi hal tersebut serta mewujudkan perlindungan masyarakat pekerja

Indonesia; telah ditetapkan Visi Indonesia Sehat 2010 yaitu gambaran masyarakat

Indonesia di masa depan, yang penduduknya hidup dalam lingkungan dan perilaku sehat,

memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki

derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah salah satu bentuk upaya

untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran lingkungan,

sehingga dapat mengurangi dan atau bebas dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat

kerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja.

Kecelakaan kerja tidak saja menimbulkan korban jiwa maupun kerugian materi bagi

pekerja dan pengusaha, tetapi juga dapat mengganggu proses produksi secara

menyeluruh, merusak lingkungan yang pada akhirnya akan berdampak pada masyarakat

luas.

Jenis kecelakaan kerja sendiri banyak sekali, antara lain kecelakaan kerja industri,

kecelakaan kerja listrik, kecelakaan kerja lingkungan hidup dan sebagainya. Untuk

mengantisipasi kecelakaan kerja tersebut kita harus menerapkan K3 yang terkait dengan

kecelakaan tersebut. Salah satunya adalah K3 listrik untuk menghindari kecelakaan kerja

listrik.

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 2


1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, penulis dapat merumuskan masalah sebagai

berikut:

1. Faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya kecelakaan kerja?

2. Bagaimana cara mencegah terjadinya kecelakaan kerja?

3. Faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya kecelakaan kerja listrik? Dan

bagaimana cara mencegahnya?

4. Perundangan apa saja yang terkait dengan K3 umum dan K3 listrik?

1.3 Batasan Masalah

Dalam makalah ini penulis hanya akan membahas sejarah, pengertian dan tujuan K3,

peraturan dan perundang-undangan yang terkait dengan K3 bidang kelistrikan, faktor

penyebab terjadinya kecelakaan kerja, cara mencegah terjadinya kecelakaan kerja, faktor

terjadinya kecelakaan kerja listrik dan cara mencegahnya.

1.4 Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui tentang K3 pada bidang

kelistrikan dan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sertifikasi : Keselamatan dan

Kesehatan Kerja(K3).

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 3


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah, pengertian dan tujuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)

2.1.1 Sejarah Keselamatan dan Kesehatan Kerja(K3)

1. Keselamatan Kerja

Keselamatan kerja sebenarnya jauh sebelum ulmu pengetahuan berkembang telah mulai

dikanal dan dibutuhkan oleh semua orang, terbukuti dengan adanya kebiasanaan dan sudah

menjadi budaya dibeberapa masyarakat.Bukti ini dapat ditemui sejak zaman dahulu hingga

sekarang masih ada sebahagian masyarakat yang mempercayainya, sebagai contoh dalam

pelaksanaan suatu kegiatan dalam mengharapkan keselamatan pada pembangunan atau

pembuatan suatu bangunan atau proyek, sebelum kegiatan tersebut dilakukan terlebih dahulu

diadakan seperti upara pemotongan hewan seperti kerbau, sapi, kambung . Hewan tersebut

dipotong dan kepalanya ditanam pada lokasi proyek tersebut, sedangkan daging dimassak dan

dimakan bersama sekelaigus upara do.a selamatan.

Budaya dipulau Jawa misalnya dapat dijumpai adanya pemotongan nasi tumpen,. melakukan

persembahan dilaut dan lain sebagainya ini tidak lain untuk maksud mengharapakan

keselamatan dalam melakukan kegiatan, pembangunan rumah tempat tinggal misalnya juga

ada suatu upacara seperti sebelum kuda-kuda rumah dipasang atau sebelum pemasangan atap

dilakukang pemotongan ayam warna hitam, menggantungkan berupa bibit kelapa, pisang,

tebu, memasang bendera, kain warna warni dan mungkin banyak lagi upacara-upacara yang

dilakukan masyarakat untuk keselamatan, baik keselamatan para pekerja yang melakukan

pembangunan tersebut maupun keselamatan pemilik bangunan tersebut.

Kira-kira 180 tahun yang lalu (1829) permulaan revolusi dalam tahnik perlindungan yang

dimulai dengan membuat produksi mekanis dalam ukuran besar dengan pabrik-pabrik

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 4


sebagai unit produksi. Dalam revolusi tehnik perlindungan tersebut merupakan pangkal

terjadinya kecelakaan dengan jumlah yang besar.

Munculnya revolusi industri di Inggris berjalan sebagai orang yang memperoleh kemenangan

tanpa adanya belas kasihan, sehingga menimbulkan akibat-akibat yang mengerikan serta

menyebar luasnya rasa takut. Hal ini menghendaki adanya pembaharuan-pembaharuan dan

penyempurnaan dalam tehnologi.

Kemudian gerakan pembaharuan dan penyempurnaan tehnologi itu dilakukan oleh orang-

orang yang merasa bertanggung jawab moral terhadap perbaikan untuk kepentingan

sesamanya dengan memperhatikan usaha pencegahan kecelakaan.

Tujuan dari perubahan-perubahan dan penyempurnaan ini adalah untuk meyakinkan

pemerintah agar melindungi pekerja-pekerja pabrik (termasuk pekerja anak-anak) yang sering

kali hidup dan bekerja dengan rasa takut terhadap bahaya. Dengan usaha perlindungan

tersebut dinilai akan dapat menurunkan tingkat kecelakaan.

Pada abad ke 18 ini, sebagai hasil penemuan-penemuan baru yang menarik perhatian antara

lain terciptanya mesin seperti mesin-mesin tenun pintal, menyebabkan industri tekstil

berkembang pesat. Timbullah permintaan akan mendapatkan tenaga kerja dengan upah yang

rendah dan sesuai dengan keperluan industri. Untuk itu pada umumnya dipekerjakan tenaga

kerja anak dibawah umur dari kalangan keluarga miskin, mereka bekerja secara sembunyi-

sembunyi dan tidak diberikan jaminan perlindungan. Mereka bekerja dengan tidak disediakan

seperti sarana, sanitasi yang tidak memenuhi syarat dan bahkan mereka bekerja antara 14 atau

15 jam sehari. Lebih-lebih lagi setelah adanya peningkata akan kebutuhan tenaga kerja

dibarengi dengan kecepatan perkembangan mekanisasi yang mengakibatkan pabrik dan

industri lebih berbahaya lagi.

Perkembanagan usaha Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Indonesia belum begitu

banyak dikenal oleh masyarakat. Memang disadari bahwa Indonesia sebagai salah satu

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 5


negara yang baru berkembang belum mempunyai kemampuan yang cukup untuk melakukan

kegiatan secara luas dibidang keselamatan dan kesehatan kerja seperti di beberapa negara

telah maju. Namun demikian kegiatan tersebut di Indonesia sebenarnya telah dimulai dari

sebelum perang dunia pertama pada saat itu Indonesia masih dibawah jajahan Belanda,

masalah keselamatan kerja telah dilaksanakan oleh Pemerintahan Hindia Belanda..

Pemerintah Indonesia saat ini sedang berusaha semaksimal mungkin untuk mengembangkan

program-program keselamatan dan kesehatan kerja (K3) sesuai dengan kemampuan yang

dimiliki.

Gagasan untuk usaha Keselamatan dan Kesehatan Kerja telah dimulai pada kira-kira tahun

1847, sejalan dengan dimulainya pemakaian mesin-mesin uap untuk keperluan industri di

Indonesia oleh Pemerintah Hindia Belanda. Usaha tersebut pada dasarnya bukanlah ditujukan

untk perlindungan tenaga kerja, tetapi hanya ditujukan terhadap pengawasan pemakaian

pesawat-pesawat uap yang pada waktu itu baru dikenal. Orang baru menyadari pada waktu

itu akibat-akibat aoa yang mungkin terjadi dengan pemakaian pesawat-pesawat uap tersebut.

Sesuai dengan pesatnya pertumbuhan pabrik-pabrik yang menggunakan ketel-ketel uap,

Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 28 Pebruari 1852 dengan Staatsblad Nomor 20

mengeluarkan peraturan tentang penjagaan keselamatan kerja pada pemakaian pesawat-

pesawat uap. Pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan ini diserahkan kepadainstansi yang

dibentuk dalam waktu yang bersamaan yaitu instansi ” Diens van het stoomwezen”

Dengan adanya Dinas Stoomwezen ini, maka untuk pertama sekali di Indonesia, Pemerintah

secara nyata mengadakan usaha perlindungan tenaga kerja darai bahaya kecelakaan kerja,

walaupun baru sebatas pada para operator atau pelayan pesawat-pesawat uap saja,

perlindungan itu belumlah dianggap penting. Hal ini sangat dimengerti karena pada waktu itu

perlindungan tenaga kerja hanya ditujukan terhadap tenaga kerja terdiri dari orang-orang

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 6


yang dijajah dan belum dianggap sebagai suatu kepentingan masyarakat oleh pihak

pemerintah yang menjajah.

Pada tahun 1888 karena pengawasan atas kereta api swasta sangat dibuthkan, maka Dinas

Stoomwezen itu digabungkan dengan Dinas Kereta Api Pemerintah yang pada waktu itu

dinamakan Staats Spoorwagen. Penggabungan ini ternyata tidak dapat berjalan baik, karena

para insinyur harus bekerja untuk dua instansi yaitu untuk Dinas Kereta Api dan Dinas

Stoomwezen, sehingga mereka tidak dapat menangani masalah yang timbul pada kedua

instansi tersebut secara bersamaan, sehingga hal ini banyak membuat kesukaran. Oleh sebab

itu pada tahun 1909 didirikan Dinas Stoomwezen sebagai dinas sendiri mempunyai

perwakilan di Belanda.

Untuk membantu kelancaran tugas pengawasan ketel-ketel uap, dirasakan perlu pada waktu

itu adanya suatu unit penyelidikan bahan-bahan dan didirikan pula satu unit Laboratorium

Penyelidikan Bahan yang merupakan bagian dari Dinas Stoomwezen, untuk keperluan

pendidikan kira-kira tahun 1912 Laboratorium tersebut diserahkan kepada Sekolah Tehnik

Tinggi di Bandung dan sekarang menjadi bagian dari Kementrian Perindustrian dengan nama

Balai Penelitian Bahan-bahan.

Pada akhir abad ke 19 pemakaian pesawat-pesawat berjalan sangat pesat dan disusul pula

pemakaian mesin-mesin diesel, listrik di pabrik-pabrik dan industri, akan menimbulkan pula

bahaya baru bagi pada tenaga kerja dan banyak terjadi kecelakaan kerja pada waktu itu. Pada

tahn 1901 Pemerintah mulai memikirkan perlunya memperluas usaha pencegahan kecelakaan

kerja.

Pada tahun 1905 sebagai kelanjutan usaha ini dengan Staatsblad Nomor 521 oleh Pemerintah

mengelarkan suatu Peraturan tentang Keselamatan Kerja dengan nama ” Veiligheids

Reglement ” sering disingkat V.R kemudian diperbaharui pada Tahun 1910 dengan Staatsblad

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 7


Nomor 406 yaitu Pengawasan terhadap Pelaksanaan peraturan ini diserahkan tanggung

jawabnya kepada Dinas Stoomwezen.

Sesudah Perang Dunia I proses mekanisasi dan elektrifikasi berjalan lebih pesat sekali.

Mesin-mesin Diesel dan listrik mulai memegang peranan, jumlah kecelakan yang terjadi

semakin meningkat, sehingga pengawasan terhadap pabrik-pabrik dan bengkel harus lebih

ditingkatkan lagi. Pada Tahun 1925 nama Dienst Van Het Stoomwezen diganti dengan nama

yaitu “ Dienst Van Het Veiligheids Toezicht” disingkat V.T ( Pengawasan Keselamatan

Kerja) untuk lebih mempunyai kewibawaan dalam pelaksanaan tugas pengawasan dan agar

lebih sesuai dengan tugas perlindungan tenaga kerja, maka Dinas V.T masuk kedalam bagian

Kantor Perburuhan dibawah Departemen Van Justitie (sekarang Kementerian Hukum dan

Hak Azasi Manusia).

Perkembangan perlindungan atas Keselamatan Kerja terus meningkat seiring dengan

perkembangan penggunaan Ketel-ketel uap dengan type dan jenis bermacam-macam dan

mempunyai tekanan yang semakin tinggi, sehingga pengawasan harus ditingkatkan lagi. Pada

Tahun 1930 Pemerintah mengeluarkan Stoomordonantie dan Stoomverordening dengan

Staatsblad Nomor 225 dan Staatsblad Nomor 339 sampai sekarang peraturan ini masih tetap

berlaku dan belum ada pengganti ataupun belum dicabut keberlakuannya.

Pada Tahun 1970 Peraturan Keselamatan Kerja yang lama yaitu Veilegheids Reglement 1910

diganti dengan peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Republik Indonesia dengan

Undang-Undang Keselamatan Kerja Nomor 1 Tahun 1970.

Undang-Undang Keselamatan Kerja ini sangat berbeda dengan VR 1910 yang bersifat

pengawasan represif polisionil, sedangkan UU Nomor 1 Tahun 1870 bersifat Pengawasan

Preventif, edukatif dan represif pro justisia, Undang-Undang ini berlaku terhadap semua

tempat kerja, bukan hanya pabrik dan perbengkelan saja, yaitu disemua tempat kerja yang

mempunyai sumber-sumber bahaya, baik di darat, di dalam tanah, di permukaan air, di dalam

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 8


air maupun di udara yang berada dalam wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia.

Didalam Undang-Undang Nomor 1 than 1970 telah mengamanatkan bahwa pengawasan

terhadap keselamatan kerja ini telah jelas diserahkan tanggung jawabnya kepada pemerintah

dan secara operasionalnya berada dibawah tanggung jawab pegawai pengawas keselamatan

kerja.

Sejak pemerintahan orde baru hingga saat ini pengawasan keselamatan kerja ini berada dalam

Direktorat Pembinaan Pengawasan Keselamatan dan Kesehatan Kerja & Hyperkes dibawah

Direktorat Jenderal Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan pada kementerian Tenaga

Kerja dan Transmigrasi. Unit kerja pengawasan keselamatan kerja ditingkat Provinsi,

Kabupaten dan Kota pada saat ini berada pada seksi pembinaan Keselamatan kerja setingkat

esselon IV.

2. HIPERKES

Berangkat dari buku yang berjudul ” De Morbis Articum Diatriba ” yang ditulis oleh

Barnardin Ramazzini (1633-1714) yaitu dapat jugalah disebut sebagai Bapak Kesehatan

Kerja dan Higene Persahaan. Didalam bukunya itu diuraikan tentang berbagai-bagai penyakit

dengan jenis pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja, dialah yang telah membuat semakin

jelasnya persoalan, bahwa pekerjaan dapat menimbulkan penyakit, yaitu penyakit akibat

kerja, dia jugalah yang menambahkan cara diagnosa Hippocrates dengan satu hal, meminta

sisakit untuk menceritakan apa pekerjaannya.

Di Indonesia sebenarnya sangat sulit menentukan sejak kapan dimulainya Hiperkes ini,

berkembangnya dan adanya Hiperkes ini bermula dengan adanya pekerjaan dalam hubungan

keja dan hubungan pengupahan atau penggajian.

Kapan dimulainya ada pekerjaan atas dasar pengupahan atau penggajian itu tidaklah dapat

diketahui mulainya. Namun dapatlah dianggap mulai adanya tentara pada zaman dahulu,

permulaan adanya pekerjaan dengan sistim adanya upah atau gaji yang diterima oleh tentara

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 9


itu dan peperangan dapat pulalah dianggap pekerjaan yang menimbulkan korban-korban atau

kecelakaan-kecelakaan akibat perang tersebut, Oleh sebab itu Hiperkes mulai berlembaga

pada waktu itu. Selain dari itu pekerjaan atas dasar paksaan atau kerja paksa dan hukuman

juga menjadi sebab berkembangnya Hiperkes.

Pekerja-pekerja yang melakukan pekerjaan didalam tambang pada waktu itu adalah para

tawanan perang dan pesakitan, yang akhirnya mereka meninggal oleh karena melakukan

pekerjaan itu sendiri.

Bapak ilmu kedokteran terkenal yaitu Hippocrates rupanya pada saat itu belum menaruh

perhatian, ini dapat dibuktikan dari buku-bukunya, sebab mendasarkan teorinya kepada

keseimbangan makanan dan latihan (exercise), tetapi latihan yang dimaksudkannya sama

sekali tidak ditujukan kepada pekerja, begitu pula Hippocrates tidak memperhatikan pula

penyakit kaum pekerja.

Kira-kira abad ke 16 baru adanya gambaran tentang penyakit-penyakit akibat kerja tambang

dan pekerja-pekerja lainnya menurut Agricola dan Paracelcus.

Agricola dengan bukunya ” De Re Metalica ” (1556) sedangkan Paracelcus menulis dalam

bukunya ” Von der Bergscht und Anderen Bergkrankheiten ” (1569), keduanya menulis dan

menggambarkan pekerjaan-pekerjaan dalam tambang, cara mengolah biji tambang dan

penyakit-penyakit yang diderita oleh para pekerja, bukan itu saja akan tetapi mereka telah

mempelopori dengan gagasan bagaimana pencegahan terhadap timbulnya kecelakaan dan

penyakit akibat kerja, dengan menganjurkan untuk membuat ventilasi, pemakaian tutup muka

dengan daun-daunan pada saat pekerja melakukan pengecatan sebagai alat pelindung diri

(APD), Paracelcus menguraikan dengan panjang lebar tentang bahan-bahan kimia, sehingga

dia dapat dianggap telah memulai toksikologi moderen. namun orang yang disebut sebagai

Bapak Hiperkes sebenarnya adalah Bernardine Ramazzini (1633-1714) dengan anjuranya

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 10


pula yang sangat penting, mustahil belaka mendiagnosa penyakit akibat kerja tanpa

mengetahui jenis pekerjaan sisakit.

Perkembangan Hiperkes di Indonesia sejak zaman penjajahan hanya ditujukan untuk

memberikan kesehatan sekedarnya saja kepada para pekerja-pekerja agar mereka cukup sehat

sehingga mampu untuk memproduksi bahan-bahan yang diperlukan oleh negara penjajah

seperti Belanda, cara pengorganisasinya pun sangat sederhana tanpa adanya aturan-aturan

yang jelas. Baru pabad 20 mulai dibuat aturan mengenai kebersihan, keselamatan, kesehatan

yang sangat sederhana sekali sesuai dengan keperluan pada saat itu. Pada zaman penjajahan

Jepang sama sekali Hiperkes tidak ada perkembangan dan begitu juga tidak ada dorongan

kearah itu.

Perkembangan Hiperkes sesungguhnya baru dimulai setelah Indonesia merdeka dengan

adanya Undang-Undang Kecelakaan Kerja Nomor 2 Tahun 1947 dan Undang-Undang Kerja

Nomor 12 Tahun 1948 yang dirobah menjadi undang-undang Kerja Nomor 1 Tahun 1951

telah memuat pokok-pokok yang berkaitan dengan kesehatan dan hygiene persahaan yang

dilaksanakan oleh Departemn Perburuhan waktu itu.

Dengan didirikannya Lembaga Kesehatan Buruh pada tahun 1957 yang hanya berfungsi

sebagai penasehat dan alat untuk meningkatkan mutu ilmiah kesehatan. Pada tahun 1965

lembaga ini dirubah menjadi Lembaga Keselamatan dan Kesehatan Buruh dengan fungsinya

adalah : 1) pusat pendidikan yang ditujukan kepada calon-calon dokter atau dokter yang akan

bekerja diperusahaan, pengawas-pengawas perburuhan, 2) untuk memberikan jasa dan

nasehat kepada buruh/pekerja, 3) pusat riset dan penelitian untuk meningkatkan mutu

keilmuan kesehatan dan keselamatan kerja, 4) pusat publikasi, baik majalah maupun buku-

buku pedoman tentang keselamatan dan kesehatan kerja dan 5) penghubung dan kerjasama

internasional dalam keselamatan dan kesehatan kerja.

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 11


Tahun 1966 pada saat Kabinet Ampera dibentuklah secara resmi Lembaga Higiene

Perusahaan dan Kesehatan Kerja dibawah Departemen Tenaga Kerja dan terakhir dirobah

menjadi Pusat Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja hingga saat ini untuk tingkat pusat,

sedangkan untuk tingkat daerah Provisi ada Balai Hiperkes.

2.1.2 Pengertian Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)

Menurut Mangkunegara (2002, p.163) Keselamatan dan kesehatan kerja adalah suatu

pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmaniah maupun

rohaniah tenaga kerja pada khususnya, dan manusia pada umumnya, hasil karya dan budaya

untuk menuju masyarakat adil dan makmur.

Menurut Suma’mur (2001, p.104), keselamatan kerja merupakan rangkaian usaha untuk

menciptakan suasana kerja yang aman dan tentram bagi para karyawan yang bekerja di

perusahaan yang bersangkutan.

Menurut Simanjuntak (1994), Keselamatan kerja adalah kondisi keselamatan yang bebas dari

resiko kecelakaan dan kerusakan dimana kita bekerja yang mencakup tentang kondisi

bangunan, kondisi mesin, peralatan keselamatan, dan kondisi pekerja .

Mathis dan Jackson (2002, p. 245), menyatakan bahwa Keselamatan adalah merujuk pada

perlindungan terhadap kesejahteraan fisik seseorang terhadap cedera yang terkait dengan

pekerjaan. Kesehatan adalah merujuk pada kondisi umum fisik, mental dan stabilitas emosi

secara umum.

Menurut Ridley, John (1983) yang dikutip oleh Boby Shiantosia (2000, p.6), mengartikan

Kesehatan dan Keselamatan Kerja adalah suatu kondisi dalam pekerjaan yang sehat dan aman

baik itu bagi pekerjaannya, perusahaan maupun bagi masyarakat dan lingkungan sekitar

pabrik atau tempat kerja tersebut.

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 12


Jackson (1999, p. 222), menjelaskan bahwa Kesehatan dan Keselamatan Kerja menunjukkan

kepada kondisi-kondisi fisiologis-fisikal dan psikologis tenaga kerja yang diakibatkan oleh

lingkungan kerja yang disediakan oleh perusahaan.

2.1.3 Tujuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)

Tujuan Penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja :

Secara umum, kecelakaan selalu diartikan sebagai kejadian yang tidak dapat diduga.

Kecelakaan kerja dapat terjadi karena kondisi yang tidak membawa keselamatan kerja, atau

perbuatan yang tidak selamat. Kecelakaan kerja dapat didefinisikan sebagai setiap perbuatan

atau kondisi tidak selamat yang dapat mengakibatkan kecelakaan. Berdasarkan definisi

kecelakaan kerja maka lahirlah keselamatan dan kesehatan kerja yang mengatakan bahwa

cara menanggulangi kecelakaan kerja adalah dengan meniadakan unsur penyebab kecelakaan

dan atau mengadakan pengawasan yang ketat. (Silalahi, 1995)

Keselamatan dan kesehatan kerja pada dasarnya mencari dan mengungkapkan kelemahan

yang memungkinkan terjadinya kecelakaan. Fungsi ini dapat dilakukan dengan dua cara,

yaitu mengungkapkan sebab-akibat suatu kecelakaan dan meneliti apakah pengendalian

secara cermat dilakukan atau tidak.

Menurut Mangkunegara (2002) bahwa tujuan dari keselamatan dan kesehatan kerja adalah

sebagai berikut:

a. Agar setiap pegawai mendapat jaminan keselamatan dan kesehatan kerja baik secara fisik,

sosial, dan psikologis.

b. Agar setiap perlengkapan dan peralatan kerja digunakan sebaik-baiknya selektif mungkin.

c. Agar semua hasil produksi dipelihara keamanannya.

d. Agar adanya jaminan atas pemeliharaan dan peningkatan kesehatan gizi pegawai.

e. Agar meningkatkan kegairahan, keserasian kerja, dan partisipasi kerja.

f. Agar terhindar dari gangguan kesehatan yang disebabkan oleh lingkungan atau kondisi

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 13


kerja.

g. Agar setiap pegawai merasa aman dan terlindungi dalam bekerja

2.2 Kecelakaan Kerja

2.2.1 Pengertian Kecelakaan Kerja

Dalam kerja bengkel, kita pastinya akan menjumpai alat-alat berat yang sistem kerjanya juga

mengikuti postur atau fungsi alat tersebut. Seringkali alat yang kita gunakan dalam kerja

praktek tersebut tidak berfungsi secara maksimal, atau adanya human error yang

menyebabkan terhambatnya kerja bengkel. Hal ini sering kali di sebut sebagai

kecelakaan kerja.

Kecelakaan ialah suatu kejadian yang tak terduga dan yang tidak diharapkan ,karena dalam

peristiwa tesebut tidak terdapat unsur kesengajaan, lebih- lebih dalam bentuk perencanaan.

Dalam Permenaker no. Per 03/Men/1994 mengenai Program JAMSOSTEK, pengertian

kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang terjadi berhubung dengan hubungan kerja,

termasuk penyakit yang timbul karena hubungan kerja demikian pula kecelakaan yang

terjadi dalam perjalanan berangkat dari rumah menuju tempat kerja daan pulang kerumah

melalui jalan biasa atau wajar dilalui. ( Bab I pasal 1 butir 7 ).

Kecelakaan menurut M. Sulaksmono (1997), adalah suatu kejadian yang tak terduga dan

yang tidak dikehendaki yang mengacaukan suatu proses aktivitas yang telah diatur.

Kecelakaan terjadi tanpa disangka – sangka dalam sekejap mata , dan setiap kejadian

tersebut terdapat empat faktor bergerak dalam satu kesatuan berantai yakni: lingkungan

,bahaya, peralatan, dan manusia.

Program kesehatan kerja menunjukkan pada kondisi yang bebas dari gangguan fisik, mental,

emosi atau rasa sakit yang disebabkan oleh lingkungan kerja. Resiko kesehatan

merupakan faktor-faktor dalam lingkungan kerja yang bekerja melebihi periode waktu

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 14


yang ditentukan, lingkungan yang dapat membuat stress emosi atau gangguan fisik

(Mangkunegara, 2000:161).

2.2.2 Penyebab Kecelakaan Kerja

Kecelakaan kerja bersifat tidak menguntungkan, tidak dapat diramal, tidak dapat

dihindari sehingga tidak dapat diantisipasi dan interaksinya tidak disengaja. Berdasarkan

penyebabnya, terjadinya kecelakaan kerja dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu langsung

dan tidak langsung. Adapun sebab kecelakaan tidak langsung terdiri dari faktor

lingkungan(zat kimia yang tidak aman, kondisi fisik dan mekanik) dan faktor manusia (lebih

dari 80%).

Pada umumnya kecelakaan terjadi karena kurangnya pengetahuan dan pelatihan, kurangnya

pengawasan, kompleksitas dan keanekaragaman ukuran organisasi, yang kesemuanya

mempengaruhi kinerja keselamatan di tempat kerja. Para pekerja akan tertekan dalam

bekerja apabila waktu yang disediakan untuk merencanakan, melaksanakan dan

menyelesaikan pekerjaan terbatas. Manusia dan beban kerja serta faktor-faktor dalam

lingkungan kerja merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, yang disebut roda

keseimbangan dinamis.

Terjadinya kecelakaan kerja di bengkel listrik yang diakibatkan oleh faktor manusia,

diakibatkan antara lain dari faktor heriditas (keturunan), misalnya keras kepala,

pengetahuan lingkungan jelek. Di samping itu, kecelakaan dapat diakibatkan oleh

kesalahan manusia itu sendiri. Misalnya kurangnya pendidikan, angkuh, cacat fisik atau

mental. Karena sifat di atas ,timbul kecendrungan kesalahan dalam kerja yang akhirnya

mengakibatkan kecelakaan.

Perbuatan salah karena kondisi bahaya (tak aman), bisa diakibatkan oleh beberapa hal,

misalnya secara fisik mekanik meninggalkan alat

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 15


pengaman, pencahayaan tidak memadai, mesin sudah tua, dan mesin tak ada pelindungnya.

Ditinjau dari faktor fisik manusia, misalnya dari ketidak seimbangan fisik /kemampuan fisik

tenaga kerja,, misalnya : tidak sesuai berat badan , kekuatan dan jangkauan, Posisi tubuh

yang menyebabkan lebih lemah, kepekaan tubuh, kepekaan panca indra terhadap bunyi,

cacat fisik, cacat sementara.

Di samping itu kecelakaan bisa terjadi diakibatkan oleh ketidak seimbangan kemampuan

psikologis pekerja. Misalnya adanya rasa takut / phobia, karena gangguan emosional, sakit

jiwa, tingkat kecakapan, tidak mampu memahami, gerakannya lamban, keterampilan kurang.

Kecelakaan juga bisa terjadi diakibatkan oleh kurangnya pengetahuan tentang tidakan K3,

misalnya : kurang pengalaaman, kurang orientasi, kurang latihan memahami tombol –

tombol (petunjuk lain), kurang latihan memahami data, salah pengertian terhadap suatu

perintah.

Kecelakaan yang diakibatkan oleh kurangnya skill atau keterampilan kerja, misalnya :

kurang mengadakan latihan praktik, penampilan kurang, kurang kreatif, salah pengertian.

Kemudia hal lian yang sering terjadi akibat ada gangguan mental, misalnya emosi

berlebihan, beban mental berlebihan, pendiam dan tertutup, problem dengan suatu yang

tidak dipahami, frustasi dan sakit mental. Akibat stres fisik, antara lain : badan sakit

(tidak sehat badan), beban tugas berlebihan, kurang istirahat, kelelahan sensori, kekurangan

oksigen, gerakan terganggu, gula darah menurun.

2.2.3 Akibat / dampak kecelakaan kerja

Dalam kecelakaan kerja, dampak terbesar dialami oleh korban atau pelaku praktek kerja.

Kerugian paling fatal bagi korban adalah jika kecelakaan itu sampai mengakibatkan ia

sampai cacat tetap atau bahkan meninggal dunia. Akibat atau dampak lain dari terjadinya

kecelakaan adalah dapat merugikan secara finansial, baik langsung maupun tak langsung.

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 16


Misalnya saja merugikan terhadap investasi atau modal kerja, peralatan, bahan baku, dan

lingkungan kerja setempat.

2.2.3 Pencegahan Kecelakaan Kerja

Untuk mencegah kecelakaan kerja sangatlah penting diperhatikannya “Keselamatan

Kerja”. Keselamatan kerja adalah keselamatan yang berhubungan dengan peralatan, tempat

kerja, lingkungan kerja,serta tata cara dalam melakukan pekerjaan yang bertujuan untuk

menjamin keadaan, keutuhan dan kesempurnaan,baik jasmaniah maupun rohaniah

manusia,yang tertuju pada kesejahteraan masyarakat pada umumnya dan pekerja pada

khususnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa keselamatan kerja pada hakekatnya adalah usaha

manusia dalam melindungi hidupnya dan yang berhubungan dengan itu,dengan melakukan

tindakan preventif dan pengamanan terhadap terjadinya kecelakaan kerja ketika kita sedang

bekerja.

Kita harus melaksanakan keselamatan kerja ,karena dimana saja,kapan saja, dan siapa

saja manusia normal,tidak menginginkan terjadinya kecelakaan terhadap dirinya yang dapat

berakibat fatal.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, pada dasarnya usaha untuk memberikan perlindungan

keselamatan kerja pada pekerja atau karyawan dapat dilakukan dengan dua cara:

(Soeprihanto,1996:48) yaitu: Pertama, melalui usaha preventif atau mencegah. Preventif

atau mencegah berarti mengendalikan atau menghambat sumber-sumber bahaya yang

terdapat di tempat kerja sehingga dapat mengurangi atau tidak menimbulkan bahaya bagi

para karyawan. Adapun langkah-langkah pencegahan itu dapat dibedakan, yaitu :

• Subsitusi (mengganti alat/sarana yang kurang/tidak berbahaya)

• Isolasi (memberi isolasi/alat pemisah terhadap sumber bahaya)

• Pengendalian secara teknis terhadap sumber-sumber bahaya.

• Pemakaian alat pelindung perorangan (eye protection, safety hat and

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 17


• cap, gas respirator, dust respirator, dan lain-lain).

• Petunjuk dan peringatan ditempat kerja.

• Latihan dan pendidikan keselamatan dan kesehatan kerja.

Kedua, usaha represif atau kuratif. Artinya, kegiatan untuk mengatasi kejadian atau

kecelakaan yang disebabkan oleh sumber-sumber bahaya yang terdapat ditempat kerja. Pada

saat terjadi kecelakaan atau kejadian lainnya sangat dirasakan arti pentingnya persiapan

baik fisik maupun mental para karyawan sebagai suatu kesatuan atau team kerja sama

dalam rangka mengatasi dan menghadapinya. Selain itu terutama persiapan alat atau

sarana lainnya yang secara langsung didukung oleh pimpinan bengkel.

2.2.4 Macam dan Jenis Kecelakaan Kerja

Hal yang harus diwaspadai adanya kecelakaan di bengkel listrik antara lain akibat adanya

kebakaran . Jika terjadi kebakaran, api berkobar, segera periksa kejadian yang memberi

kesempatan yang terbaik dari jalan keluarnya yang cepat, mengurangi bahaya hidup,dan

menjaga kerusakan seminimum mungkin. Jika terjadi kebakaran,ingatlah beberapa langkah

penyelamatan : (1) umumkan tanda bahaya kebakaran segera, (2) beritahukan pasukan

pemadam kebakaran, (3) padamkan api dengan peralatan yang tersedia, (4) ungsikan

peralatan jika perlu, (5) beritahukan setiap orang untuk mendapatkan penjelasan cara

mengatasinya bisa dengan menggunakan air, api, pemadam kebakaran berisi CO2.

Kecelakaan lain yang mungkin terjadi di bengkel listrik oleh adanya gangguan arus listrik.

Arus listrik selalu dapat dialirkan kesegala arah melalui benda – benda yang konduktif,

misalnya logam dan zat cair.Aliran tersebut tidak dapat kita lihat seperti halnya air yang

mengalir sehingga hal ini sangat berbahaya dan bisa mematikan.

Setiap peralatan yang menggunakan aliran listrik sangat perlu dilengkapi dengan

perlengkapan yang berguna jika terjadi kebocoran arus listrik tidak mengalir ke orang

melainkan langsung ke bumi.

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 18


Tempat yang beraliran listrik harus kering dan tidak menghantarkan listrik, tangan yang

basah dan berkeringat dapat dengan mudah terkena aliran listrik bila menggunakan jenis

peralatan yang bocor.

• Berilah tanda bahaya pada aliran listrik yang berbahaya, misal di beri pagar atau tanda

peringatan

• Gunakan bahan- bahan yang tidak menghantarkan aliran listrik seperti sarung karet,

sepatu karet, landasan atau peralatan

• Keringkan tangan sebelum menggunakan peralatan yang beraliran listrik

2.2.5 Tindakan Penyelamatan

Matikan tombol utama atau pisahkan si penderita dengan bantuan sebatang kayu panjang

yang kering, jika si penderita pingsan

lakukan tindakan penyelamatan berikutnya. Seandainya pernafasan berhenti,maka

bersihkan sesuatu yang merintangi mulut.

2.2.6 Pertolongan Pertama pada Kecelakaan (P3K)

Letak ruang Pertolongan Pertama (P3K) harus pada tempat yang strategis, di dekat bengkel

atau laboratorium.Ruang ini harus diberi tanda yang jelas dan setiap pengawas, instruktur,

dan pekerja harus mengetahui jalan tercepat menuju ketempat tersebut.

Kotak P3K harus berisi segala peralatan yang penting seperti : kain

pembalut dan obat – obatan, supaya tindakan pertolongan pertama berjalan efektif.

Persediaan obat harus selalu diperbaharui secara teratur dan di cek tanggal berlakunya obat

apakah masih aktif dan efektif. Obat yang kadaluwarsa segera diganti yang baru. Kain

penbalut harus mudah dibuka dan siap pakai. Plester dalam berbagai bentk dan ukuran dapat

dipakai dengan cepat untuk mengatasi luka ringan.

Ada tiga hal yang terpenting bila hendak menolong seorang yang mengalami kecelakaan

berat, yakni berikut ini: (1) Jalan pernapasan, periksalah apakah jalan pernapasan

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 19


tersumbat lidah atau benda- benda asing lainnya. (2) Pernapasan,periksalah apakah orang itu

bernafas, bila tidak usahakanlah diberikan pertolongan napas buatan. (3) Peredaran darah,

periksalah apakah terdapat denyut jantung pada penderita, bila tidak, berilah pertolongan

peredaran darah buatan, selama melakukan hal ini periksalah apakah ada pendarahan.

• Untuk mencegah gangguan daya kerja, ada beberapa usaha yang dapat

dilakukan agar para buruh tetap produktif dan mendapatkan jaminan perlindungan

keselamatan kerja, yaitu:

• Pemeriksaan kesehatan sebelum bekerja (calon pekerja) untuk mengetahui apakah

calon pekerja tersebut serasi dengan pekerjaan barunya, baik secara fisik maupun mental.

• Pemeriksaan kesehatan berkala/ulangan, yaitu untuk mengevaluasi apakah faktor-faktor

penyebab itu telah menimbulkan gangguan pada pekerja

• Pendidikan tentang kesehatan dan keselamatan kerja diberikan kepada para buruh secara

kontinu agar mereka tetap waspada dalam menjalankan pekerjaannya.

• Pemberian informasi tentang peraturan-peraturan yang berlaku di

tempat kerja sebelum mereka memulai tugasnya, tujuannya agar mereka mentaatinya.

• Penggunaan pakaian pelindung

• Isolasi terhadap operasi atau proses yang membahayakan, misalnya proses pencampuran

bahan kimia berbahaya, dan pengoperasian mesin yang sangat bising.

• Pengaturan ventilasi setempat/lokal, agar bahan-bahan/gas sisa dapat dihisap dan dialirkan

keluar.

• Substitusi bahan yang lebih berbahaya dengan bahan yang kurang

berbahaya atau tidak berbahaya sama sekali.

• Pengadaan ventilasi umum untuk mengalirkan udara ke dalam ruang kerja sesuai dengan

kebutuhan.

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 20


2.2.7 Beberapa Kasus Kecelakaan dan Penanggulangannya

Berikut diberikan beberapa kasus kecelakaan yang sering terjadi, dan diberikan

pertolongan pertama. Misalnya Pertolongan karena terkena benda tajam sehingga

mengakibatkan luka. Luka adalah terputusnya hubungan jaringan oleh sesuatu sebab.

Penyebab luka biasanya adanya persentuhan dengan benda tumpul (lecet, memar, robek).

Persentuhan denganbenda tajam (tusuk iris, bacok), atau luka baker yang disebabkan oleh

api, uap panas, cairan panas, zat kimia, sinar, arus listrik.

Adapun cara menolong akibat luka, bahwa agar supaya luka dapat sembuh dengan

sempurna maka harus dijaga jangan sampai luka itu menjadi kotor dan anggota badan yang

terluka jangan digerakkan. Pertolongan pada luka bakar, dilakukan : Jika kulit hanya merah

dan belum melepuh maka bagian badan yang kena itu dituangi air yang dingin. Kulit yang

keriput tidak boleh digunting. Kalau ada luka ,maka ini harus dibalut longgar- longgar saja.

Selimuti dia dengan selimut tebal dan beri minum sebanyak – banyaknya.

Kecelakaan lain yang sangat mungkin terjadi misalnya karena keracunan akibat gas beracun

yang bocor di suatu tempat (bengkel). Misalnya keracunan asap batu bara (CO-

karbonmonoksida) dan keracunan gas asap batu bara Gas. Hal ini berakibat dapat

menghalangi daya arah untuk menyerap oksigen. Gejala- gejala yang dapat dilihat

akibat keracunan gas, antara lain sakit kepala, kelemahan otot, kejang muka merah dan

akhirnya jatuh pingsan.

Adapun cara memberikan pertolongannya sebagai berikut: angkut si Penderita dari

lingkungan yang beracun itudan rebahkan ia didekat jendela yang terbuka supaya mendapat

udara yang segar, jika ia pingsan dan kelihatan tidak bernafas lagiharus dilakukan

pernafasan buatan Keracunan obat bius dan obat tidur. Panggil dokter secepatnya, harus di

ikhtiarkan supaya si sakit memuntahkan racun itu dengan memasukkan jari kedalam

kerongkongannya (tenggorokan) si sakit diberi obat norit dan minum susu sebanyak

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 21


banyaknya. Berikan juga minum kopi panas atau brendi. Jika si sakit telah pingsan jangan

dicoba memakssa ia muntah tunggu saja sampai dokter datang.

2.3 Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik

2.3.1 Dasar-Dasar Instalasi Listrik

Standarisasi dan Persyaratan

Tujuan standarisasi ialah mencapai keseragaman antara lain mengenai

1. Ukuran , bentuk dan mutu barang.

2. Cara menggambar dan cara kerja

Dengan makin rumitnya konstruksi dan makin meningkatnya jumlah dan jenis barang yang

dihasilkan, standarisasi menjadi suatu keharusan.

- Standarisasi juga mengurangi pekerjaan tangan maupun pekerjaan otak. Dengan tercapainya

standarisasi, mesin-mesin dn alat-alat dapat dipergunakan secara lebih baik dan lebih efisien,

sehingga dapat menurunkan harga pokok dan meningkatkan mutu.

- Standarisasi membatasi jumlah jenis bahan dan barang, sehingga mengurangi kemungkinan

terjadinya kesalahan.

Peraturan umum untuk instalasi cahaya dan tenaga.

1. Semua alat hubung dan perlangkapan pembagi pesawat listrik, motor listrik, hantaran dari

alat-alat harus memenuhi peraturan dan pemeriksaan yang berlaku untuk itu.

2. Hal tersebut di atas tidak berlaku untuk tegangan yang lebih dari pada yang ditetapkan.

3. Tegangan untuk instalasi penerangan arus bolak-balik tidak boleh lebih tinggi dari 300 volt

terhadap tanah.

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 22


4. Instalasi harus terdiri dari paling sedikit dua golongan. Terkecuali jika instalasi tersebut

tidak lebih dari 6 titik hubung. Tiap golongan tidak lebih dari 12 titik hubung, untuk

pemasangan yang baru tidak lebih dari 10 titik. Ketentuan di atas tidak berlaku untuk

penerangan reklame, pesta dan yang bersifat istimewa seperti pada toko.

5. Setiap golongan penerangan, pembagian arusnya harus sama rata pada bagian fasenya.

Instalasi Rumah Tinggal

Untuk pemasangan suatu instalasi listrik lebih dahulu harus dibuat gambar-gambar

rencananya berdasarkan denah bangunan, dimana instalasinya akan dipasang jika

spesifikasinya dan syarat-syarat pekerjaan yang diterima dari pihak bangunan / pemesan.

Harus diperhatikan spesifikasi dan syarat pekerjaan ini menguraikan syarat yang harus

dipenuhi pihak pemborong, antara lain mengenai pelaksanaannya material yang digunakan,

waktu penyerahannya dan sebagainya.

Gambar-gambarnya harus jelas, mudah dibaca dan dimengerti. Gambar denah bangunannya

biasanya disederhanakan. Dinding-dindingnya digambar dengan garis tunggal agar tipis,

saluran-saluran listriknya karena lebih penting maka digambar lebih tebal. Supaya gambarnya

rapi harus dipilih tebal garis yang tepat.

Menurut ayat 401B3, gambar-gambar yang diperlukan yaitu :

Gambar situasi, untuk menyatakan letak bangunan dimana sintalasinya akan dipasang, serta

rencana penyambungan dengan jaringan PLN.

A) Gambar Instalasinya meliputi :

- Rencana penempatan semua peralatan listrik yang akan dipasang dan sarana peralatan,

misalnya titik lampu, sakelar, kontak-kontak, perlengkapan hubung bagi.

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 23


- Rencana penyambungan peralatan listrik dengan alat pelayanannya misalnya antara lampu

dengan sakelarnya, motor dan pengasutnya dan sebagainya.

- Hubungan antara peralatan listrik dan sarana pelayanannya dengan perlengkapan hubung

bagi yang bersangkutan.

- Data teknis penting dari setiap peralatan listrik yang akan dipasang

perencanaan letak saklar,lampu dan stop kontak

B) Diagram instalasi garis tunggal meliputi :

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 24


- Diagram perlengkapan hubung bagi dengan keterangan mengenai ukuran/daya nominal

setiap komponen.

- Keterangan mengenai beban yang terpasang dan pembaginya.

- Ukuran dan jenis hantaran yang akan digunakan.

- System pentanahannya.

diagram garis tunggal

C) Gambar perincian atau keterangan yang diperlukan misalnya :

- Perkiraan ukuran fisik perlengkapan hubung bagi.

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 25


- Cara pemasangan alat-alat listriknya

- Cara pemasangan kabelnya.

- Cara kerja instalasi kontrolnya kalau ada.

Pengawasan dan tanggung jawab.

Pengawasan pemasangan instalasi listrik dan tanggung jawab pelaksana dan pelaksanaan

pekerjaan diatur dalam pasal 910 antara lain ditentukan sebagai berikut.

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 26


1. Setiap pemasangan listrik harus mendapat ijin dari instansi yang berwenang, umumnya

dari cabang PLN setempat.

2. Penaggung jawab pekerjaan instalasi harus seorang yang ahli berilmu pengetahuan dalam

pekerjaan instalasi listrik danmemiliki ijin dari instansi yang berwenang.

3. Pekerjaan pemasangan instalasi listrik harus diawasi oleh seorang pengawas yang ahli dan

berpengetahuan tentang listrik, menguasai pengaturan perlistrikan, berpengalaman dlaam

pemasangan instalasi listrik dan bertanggung jawab atas keselamatan para pekerjanya.

4. Pekerjaan pemasangan instalasi listrik harus dilaksanakan oleh orang-orang yang

berpengalaman tentang listrik.

5. Pemasangan instalasi listrik yang selesai dikerjakan harus dilaporkan secara tertulis kepada

bagan pemeriksa (umumnya PLN setempat) untuk diperiksa dan diuji.

6. Setelah dinyatakan baik secara tertulis oleh bagan pemeriksa dan sebelum diserahkan

kepada pemilik, instalasinya harus dicoba dengan tegangan dan arus kerja penuh selama

waktu yang cukup lama, semua peralatan yang dipasang harus dicoba.

7. Perencana suatu instalasi listrik bertanggung jawab atas rencana yang telah dibuatnya.

8. Pelaksana pekerjaan instalasi listrik bertanggung jawab atas pekerjaannya selama batas

waktu tertentu. Jika terjadi suatu kecelakaan karena kesalahan pemasangan ia bertanggung

jawab atas kecelakaan tersebut.

Pemeriksaan dan pengujian instalasi listrik meliputi :

1. Tanda-tanda.

2. Peralatan listrik yang dipasang.

3. Cara pemasangannya.

4. Polaritasnya.

5. Pentanahannya.

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 27


6. Tahanan isolasi.

7. Continuenitas rangkaian.

Alat-alat dan bahan yang umum dalam pembuatan instalasi listrik rumah tinggal.

- Penghantar / kabel.

- Pipa PVC untuk pengkabelan yang di tanam di dalam tembok dengan ukuran standart.

- Kotak cabang(T-Dos / Cross-Dos).

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 28


- L-bo untuk tikungan pada pipa.

- Rol isolator bila digunakan.

- Klem pipa.

- Sekrup ukuran yang sama dengan klem pipa.

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 29


- Saklar (sakelar tunggal, sakelar ganda, sakelar seri, sakelar tukar/sakelar hotel dsb) apa yang

diperlukan.

- Stop kontak.

- Lampu (tergantung lampu apa yang perlu digunakan).

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 30


- Kotak Hubung Bagi (digunakan jika instalasi lebih dari 12 titik).

- Sekring / MCB.

- Obeng + dan obeng -.

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 31


- Tang kombinasi, tang potong, tang cucut dsb.

- Palu.

Yang terpenting dalam pekerjaan instalatir adalah TESTPEN

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 32


2.3.2 Tujuan Instalasi Listrik

Tujuan khusus K3 bidang listrik antara lain adalah:

a. Menjamin kehandalan instalasi listrik sesuai penggunaannya

Dalam peraturan instalasi listrik dikenal 3 prisip dasar instalasi listrik yaitu handal,

aman, dan ekonomis. Handal artinya sistem instalasi dirancang dengan baik, sehingga

jarang terdapat gangguan; atau saat ada gangguan dari luar, sistem dapat

mengatasinya dengan baik. Aman artinya tidak membahayakan bagi manusia,

instalasi itu sendiri, dan lingkungan sekitar. Dengan menerapkan keamanan dan

keselamatan kerja tanpa mengabaikan nilai ekonomis suatu

instalasi listrik, maka ketiga prinsip tadi akan terpenuhi.

b. Mencegah timbulnya bahaya akibat listrik:

· Bahaya sentuhan langsung yaitu bahaya sentuhan pada bagian konduktif yang secara normal

bertegangan.

· Bahaya sentuhan tidak langsung yaitu bahaya akibat sentuhan pada bagian konduktif yang

secara normal tidak bertegangan, menjadi bertegangan karena kegagalan isolasi.

· Bahaya kebakaran biasanya terjadi akibat adanya percikan api dari hubung singkat. Namun

dalam beberapa kasus, kebakaran juga timbul akibat efek thermal dari sebuah penghantar

dengan tingkat resistansi tinggi yang dialiri arus dalam waktu yang cukup lama.

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 33


2.4 Peraturan Perundang-undangan Terkait Keselamatan dan Kesehatan Kerja(K3)

2.4.1 Peraturan Perundang-undangan Terkait K3 Secara Umum

Berikut adalah beberapa Peraturan Perundang-undangan Terkait K3 Secara umum:

UU No. 1 Tahun 1970

Tentang: Keselamatan Kerja

Pasal 3.

(1) Dengan peraturan perundangan ditetapkan syarat-syarat keselamatan kerja untuk :

a. mencegah dan mengurangi kecelakaan;

b. mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran;

c. mencegah dan mengurangi bahaya peledakan;

d. memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada waktu

kebakaran atau kejadian-kejadian lain yang berbahaya;

e. memberi pertolongan pada kecelakaan;

f. memberi alat-alat perlindungan diri pada para pekerja;

g. mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebarluasnya suhu,

kelembaban, debu, kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar

atau radiasi, suara dan getaran;

h. mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik physik

maupun psychis, peracunan, infeksi dan penularan;

i. memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai;

j. menyelenggarakan suhu dan lembab udara yang baik;

k. menyelenggarakan penyegaran udara yang cukup;

l. memelihara kebersihan, kesehatan dan ketertiban;

m. memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat kerja, lingkungan,

cara dan proses kerjanya;

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 34


n. mengamankan dan memperlancar pengangkutan orang, binatang,

tanaman atau barang;

o. mengamankan dan memelihara segala jenis bangunan;

p. mengamankan dan memperlancar pekerjaan bongkar-muat, perlakuan

dan penyimpanan barang;

q. mencegah terkena aliran listrik yang berbahaya;

r. menyesuaikan dan menyempurnakan pengamanan pada pekerjaan

yang bahaya kecelakaannya menjadi bertambah tinggi.

(2) Dengan peraturan perundangan dapat dirubah perincian seperti tersebut

dalam ayat (1) sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknik dan

teknologi serta pendapatan-pendapatan baru di kemudian hari.

Pasal 9.

(3) Pengurus diwajibkan menyelenggarakan pembinaan bagi semua tenaga kerja

yang berada di bawah pimpinannya, dalam pencegahankecelakaan dan

pemberantasan kebakaran serta peningkatan keselamatan dan kesehatan kerja, pula

dalam pemberian pertolongan pertama pada kecelakaan.

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 35


Permennakertrans No.Per.03/Men/1982

Tentang: Pelayanan Kesehatan Tenaga Kerja

Pasal 2

Tugas pokok pelayanan Kesehatan Kerja meliputi:

a. Pemeriksaan kesehatan sebelum kerja, pemeriksaan berkala dan pemeriksaan

khusus.

b. Pembinaan dan pengawasan atas penyesuaian pekerjaan terhadap tenaga kerja.

c. Pembinaan dan pengawasan terhadap lingkungan kerja.

d. Pembinaan dan pengawasan perlengkapan sanitair.

e. Pembinaan dan pengawasan perlengkapan untuk kesehatan tenaga kerja.

f. Pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit umum dan penyakit akibat

kerja. g. Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan.

h. Pendidikan Kesehatan untuk tenaga kerja dan latihan untuk petugas

Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan.

i. Memberikan nasehat mengenai perencanaan dan pembuatan tempat kerja,

pemilihan alat pelindung diri yang diperlukan dan gizi serta penyelenggaraan

makanan di tempat kerja.

j. Membantu usaha rehabilitasi akibat kecelakaan atau penyakit akibat kerja.

k. Pembinaan dan pengawasan terhadap tenaga kerja yang mempunyai kelainan

tertentu dalam kesehatannya.

l. Memberikan laporan berkala tentang Pelayanan Kesehatan Kerja kepada pengurus.

Undang-undang No. 3 Tahun 1969

Pasal 19 : Setiap badan , lembaga atau dinas pemberi jasa, atau bagiannya yang tunduk

kepada konvensi ini, dengan memperhatikan besarnya dan kemungkinan bahaya harus :

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 36


Menyediakan Apotik atau pos P3K sendiri atau Memelihara apotik atau pos P3K bersama-

sama dengan badan, lembaga atau kantor pemberi jasa atau bagiannya.Mempunyai satu atau

lebih lemari, kotak atau perlengkapan P3K

Permennakertrans No.Per.15/Men/1982

Tentang: Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan di Tempat Kerja

Pasal 2

(1) Pengusaha wajib menyediakan petugas P3K dan fasilitas P3K di tempat kerja.

(2) Pengurus wajib melaksanakan P3K di tempat kerja.

Pasal 3

(1) Petugas P3K di tempat kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) harus

memiliki lisensi dan buku kegiatan P3K dari Kepala Instansi yang bertanggungjawab di

bidang ketenagakerjaan setempat.

(2) Untuk mendapatkan lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat-

syarat sebagai berikut :

a. Bekerja pada perusahaan yang bersangkutan;

b. Sehat jasmani dan rohani;

c. Bersedia ditunjuk menjadi petugas P3K;

d. memiliki pengetahuan dan ketrampilan dasar di bidang P3K di tempat kerja yang

dibuktikan dengan sertifikat pelatihan.

(3) Pemberian lisensi dan buku kegiatan P3K sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak

dikenakan biaya.

(4) Pedoman tentang pelatihan dan pemberian lisensi diatur lebih lanjut dengan Keputusan

Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan.

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 37


Pasal 4

Petugas P3K dalam melaksanakan tugasnya dapat meninggalkan pekerjaan utamanya untuk

memberikan pertolongan bagi pekerja/buruh dan/atau orang lain yang mengalami sakit atau

cidera di tempat kerja.

Pasal 5

(1) Petugas P3K di tempat kerja sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 3 ayat (1), ditentukan berdasarkan jumlah pekerja/buruh dan potensi bahaya di tempat

kerja, dengan rasio sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini.

(2) Pengurus wajib mengatur tersedianya Petugas P3K pada :

a. Tempat kerja dengan unit kerja berjarak 500 meter lebih sesuai jumlah

pekerja/buruh dan potensi bahaya di tempat kerja;

b. Tempat kerja di setiap lantai yang berbeda di gedung bertingkat sesuai jumlah

pekerja/buruh dan potensi bahaya di tempat kerja;

c. Tempat kerja dengan jadwal kerja shift sesuai jumlah pekerja/buruh dan potensi

bahaya di tempat kerja.

Pasal 8

(1) Fasilitas P3K sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) meliputi :

a. Ruang P3K;

b. Kotak P3K dan isi;

c. Alat evakuasi dan alat transportasi; dan

d. Fasilitas tambahan berupa alat pelindung diri dan/atau

peralatan khusus di tempat kerja yang memiliki potensi

bahaya yang bersifat khusus.

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 38


(2) Alat pelindung diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan peralatan

yang disesuaikan dengan potensi bahaya yang ada di tempat kerja yang digunakan dalam

keadaan darurat.

(3) Peralatan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d berupa alat untuk

pembasahan tubuh cepat (shower) dan pembilasan/pencucian mata.

Pasal 9

(1) Pengusaha wajib menyediakan ruang P3K sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)

huruf a dalam hal :

a. Mempekerjakan pekerja/buruh 100 orang atau lebih;

b. Mempekerjakan pekerja/buruh kurang dari 100 orang

dengan potensi bahaya tinggi.

(2) Persyaratan ruang P3K sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi :

a. Lokasi ruang P3K :

1. Dekat dengan toilet/kamar mandi;

2. Dekat jalan keluar;

3. Mudah dijangkau dari area kerja; dan

4. Dekat dengan tempat parkir kendaraan.

b. Mempunyai luas minimal cukup unruk menampung satu

tempat tidur pasien dan masih terdapat ruang gerak bagi

seorang petugas P3K serta penempatan fasilitas P3K

lainnya;

c. Bersih dan terang, ventilasi baik, memiliki pintu dan jalan

yang cukup lebar untuk memindahkan korban;

d. Diberi tanda dengan papan nama yang jelas dan mudah

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 39


dilihat;

e. Sekurang-kurangnya dilengkapi dengan :

1. Wastafel dengan air mengalir;

2. Kertas tissue/lap;

3. Usungan/tandu;

4. Bidai/spalk;

5. Kotak P3K dan isi;

6. Tempat tidur dengan bantal dan selimut;

7. Tempat untuk menyimpan alat-alat, seperti : tandu

dan/atau kursi roda;

8. Sabun dan sikat;

9. Pakaian bersih untuk penolong;

10. Tempat sampah;

11. Kursi tunggu bila diperlukan.

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 40


2.4.2 Peraturan Perundang-undangan Terkait K3 Listrik

Berikut adalah Peraturan perundang-undangan terkait K3 Listrik:

- PERMENAKERTRANS No Kep 75/Men/2002 Tentang Pemberlakuan PUIL 2000

- PERMENAKER No. PER 02/MEN/1989 Tentang Instalasi Penyalur Petir

Dari dua peraturan di atas, penulis hanya akan membahas PERMENAKER No. PER

02/MEN/1989 Tentang Instalasi Penyalur Petir.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :

a.Direktur ialah Pejabat sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang No. 1 Tahun

1970 tentang Keselamatan Kerja;

b.Pegawai Pengawas ialah Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan yang ditunjuk oleh Menteri

Tenaga Kerja;

c. Ahti Keselamatan Kerja ialah Tenaga Tehnis berkeahlian khusus dari luar Departemen

Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja untuk mengawasi ditaatinya Undang-

undang No. l Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja;

d.Pengurus ialah orang atau badan hukum yang bertanggung jawab penuh terhadap tempat

kerja atau bagiannya,yang berdiri sendiri;

e.Pengusaha ialah orang atau badan hukum seperti yang dimaksud pasal 1 ayat (3) Undang-

undang No. I Tahun 1970;

f. Tempat kerja ialah tempat sebagaimana dimaksud pasal 1 ayat (1) Undang undang No. 1

Tahun 1970;

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 41


g.Pemasang instalasi penyalur petir yang selanjutnya disebut Instalasi ialah badan hukum

yang melaksanakan pemasangan instalasi penyalur petir;

h.Instalasi penyalur petir ialah seluruh susunan sarana penyalur petir terdiri atas penerima

(Air Terminal/Rod), Penghantar penurunan (Down Conductor), Elektroda Bumi (Earth

Electrode) termasuk perlengkapan lainnya yang merupakan satu kesatuan berfungsi untuk

menangkap muatan petir dan menyalurkannya kebumi;

i.Penerima ialah peralatan dan atau penghantar dari logam yang menonjol lurus keatas dan

atau mendatar guna menerima petir;

j.Penghantar penurunan ialah penghantar yang menghubungkan penerima dengan elektroda

bumi;

k.Elektroda bumi ialah bagian dari instalasi penyalur petir yang ditanam dan kontak langsung

dengan bumi;

l.Elektroda kelompok ialah beberapa elektroda bumi yang dihubungkan satu dengan lain

sehingga merupakan satu kesatuan yang hanya disambung dengan satu penghantar

penurunan;

m.Daerah perlindungan ialah daerah dengan radius tertentu yang termasuk dalam

perlindungan instalasi penyalur petir;

n.Sambungan ialah suatu kontruksi guna menghubungkan secara listrik antara penerima

dengan penghantar penurunan, penghantar penurunan dengan penghantar penurunan dan

penghantar penurunan dengan elektroda bumi, yang dapat berupa las, klem atan kopeling;

o.Sambungan ukur ialah sambungan yang terdapat pada penghantar penurunan dengan sistem

pembumian yang dapat dilepas untuk memudahkan pengukuran tahanan pembumian;

p.Tahanan pembumian ialah tahanan bumi yang harus dilalui oleh arus listrik yang berasal

dari petir pada waktu peralihan, dan yang mengalir dari elektroda bumi kebumi dan pada

penyebarannya didalam bumi;

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 42


q.Massa logam ialah massa logam dalam maupun massa logam luar yang merupakaa satu

kesatuan yang berada didalam atau pada bangunan, misalnya perancah-perancah baja, lift,

tangki penimbun, mesin, gas dan pemanasan dari logam dan penghantar penghantar listrik.

Pasal 2

(1) Instalasi penyalur petir harus direncanakan, dibuat, dipasang dan dipelihara sesuai dengan

ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dan atau standart yang diakui;

(2) Instalasi penyalur petir secara umum harus memenuhi persyaratan sebagai berikut

a.kemampuan perlindungan secara tehnis;

b.ketahanan mekanis;

c.ketahanan terhadap korosi;

(3) Bahan dan konstruksi instalasi penyalur petir harus kuat dan memenuhi syarat,

(4) Bagian-bagian instalasi penyalur petir harus memiliki tanda hasil pengujian dam atau

sertifikat yang diakui.

Pasal 3

Sambungan-sambungan harus merupakan suatu sambungan elektris, tidak ada kemungkinan

terbuka dan dapat menahan kekuatan tarik sama dengaa sepuluh kali berat penghantar yang

menggantung pada sambungan itu.

Pasal 4

(1) Penyambungan dilakukan dengan cara:

a. dilas.

b.diklem (plat k1em, bus kontak klem) dengan panjang sekurang-kurangnya 5 cm;

c.disolder dengan panjang sekurang-kurangnya 10 cm dan khusus untuk peng-hantar

penurunan dari pita harus dikeling.

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 43


(2) Sambungan harus dibuat sedemikian rupa sehingga tidak berkarat;

(3) Sambungan-sambungan harus ditempatkan sedemikian rupa sehingga dapat diperiksa

dengan mudah.

Pasal 5

Semua penghantar penurunan petir harus dilengkapi dengan sambungan pada tempat yang

mudah dicapai.

Pasal 6

(1) Pemasangan instalasi penyalur petir harus dilakukan oleh Instalatir yang telah mendapat

pengesahan dari Menteri atau Pejabat yang ditunjuknya;

(2) Tata cara untuk mendapat pengesahan sebagaimana dimaksud ayat (1), diatur lebih lanjut

dengan Keputusan Menteri.

Pasal 7

Dalam hal pengaruh elektrolisa dan korosi tidak dapat dicegah maka semua bagian instalasi

harus dibalut dengan timah atau cara lain yang sama atau memperbaharui bagiau-bagiannya

dalam waktu tertentu.

BAB II

RUANG LINGKUP

Pasal 8

Yang diatur oleh Peraturan Menteri ini adalah Instalasi Penyalur Petir non radioaktip di

tempat kerja.

Pasal 9

(1)Tempat kerja sebagaimana dimaksud pasal 8 yang perlu dipasang instalasi penyalur petir

antara lain:

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 44


a. Bangunan yang terpencil atau tinggi dan lebih tinggi dari pada hangunan sekitarnya seperti:

menara-menara, cerobong, silo, antena pemancar, monumen dan lain-lain;

b.Bangunan dimana disimpan, diolah atau digunakan bahan yang mudah meledak atau

terbakar seperti pabrik-pabrik amunisi, gudang penyimpanan bahan peledak dan lain-lain;

c. Bangunan untuk kepentingan umum seperti: tempat ibadah, rumah sakit, sekolah, gedung

pertunjukan, hotel, pasar, stasiun, candi dan lain-lain;

d.Bangunan untuk menyimpan barang barang yang sukar diganti seperti: museum,

perpustakaan, tempat penyimpanan arsip dan lain-lain;

e. Daerah-daerah terbuka seperti: daerah perkebunan, Padang Golf, Stadion Olah Raga dan

tempat-tempat lainnya.

(2)Penetapan pemasangan instalasi pcnyalur petir pada tempat kerja sebagaimana dimaksud

ayat (1) dengan memperhitungkan angka index seperti tercantum dalam lampiran 1 Peraturan

Menteri ini.

BAB III

PENERIMA (AIR TERMINAL)

Pasal 10

(1) Penerima harus dipasang ditempat atau bagian yang diperkirakan dapat tersambar petir

dimana jika bangunan yang terdiri dari bagian-bagian seperti bangunan yang mempunyai

menara, antena, papan reklame atau suatu blok bangunan harus dipandang sebagai suatu

kesatuan;

(2) Pemasangan penerima pada atap yang mendatar harus benar-benar menjamin bahwa

seluruh luas atap yang bersangkutan termasuk dalam daerah perlindungan;

(3) Penerima yang dipasang diatas atap yang datar sekurang-kurangnya lebih tinggi 15 cm

dari pada sekitarnya;

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 45


(4) Jumlah dan jarak antara masing-masing penerima harus diatur sedemikian rupa sehingga

dapat menjamin bangunan itu termasuk dalam daerah perlindungan.

Pasal 11

Sebagai penerima dapat digunakan:

a.logam bulat panjang yang terbuat dari tembaga;

b.hiasan-hiasan pada atap, tiang-tiang, cerobong-cerobong dari logam yang disambung baik

dengan instalasi penyatur petir;

c. atap-atap dari logam yang disambung secara elektris dengan baik.

Pasal 12

Semua bagian bangunan yang terbuat dari bukan logam yang dipasang menjulang ke atas

dengan tinggi lebih dari 1 (satu) meter dari atap harus dipasang penerima tersendiri.

Pasal 13

Pilar beton bertulang yang dirancangkan sebagai penghantar penurunann untuk suatu instalasi

penyalur petir, pilar beton tersebut harus dipasang menonjol di atas atap dengan mengingat

ketentuan-ketentuan penerima, syarat-syarat sambungan dan elektroda bumi.

Pasal 14

(1) Untuk menentukan daerah perlindungan bagi penerima dengan jenis Franklin dan sangkar

Faraday yang berhentuk runcing adalah suatu kerucut yang mempunyai sudut puncak 112°

(seratus dua belas);

(3) Untuk menentukan daerah perlindungan bagi penerima yang berbentuk penghantar

mendatar adalah dua bidang yang saling memotong pada kawat itu dalam sudut 112° (seratus

dua belas);

(3) Untuk menentukan daerah perlindungan bagi penerima jenis lain adalah sesuai dengan

ketentuan tehnis dari masing-masing penerima;

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 46


BAB IV

PENGHANTAR PENURUNAN

Pasal 15

(1) Penghantar penurunan harus dipasang sepanjang bubungan (nok) dan atau sudut-sudut

bangunan ke tanah sehingga penghantar penurunan merupakan suatu sangkar dari bangunan

yang akan dilindungi.

(2) Penghantar penurunan harus dipasang secara sempuma dan harus diperhitungkan

pemuaian dan penyusutannya akibat perubahan suhu;

(3)Jarak antara alat-alat pemegang penghantar penurunan satu dengan yang lainnya tidak

boleh lebih dari 1,5 meter;

(4) Penghantar penurunan harus dipasang lurus kebawah dan jika terpaksa dapat mendatar

atau melampaui penghalang;

(5) Penghantar penurunan harus dipasang dengan jarak tidak kurang 15 cm dari atap yang

dapat terbakar kecuali atap dari logam, genteng atau batu;

(6) Dilarang memasang penghantar penurunan di bawah atap dalam bangunan.

Pasal 16

Semua bubungan (nok) harus dilengkapi dengan penghantar penurunan, dan untuk atap yang

datar harus dilengkapi dengan penghantar penurunan pada sekeliling pinggirnya, kecuali

persyaratan daerah perlindungan terpenuhi.

Pasal 17

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 47


(1) Untuk mengamankan bangunan terhadap loncatan petir dari pohon yang letaknya dekat

bangunan dan yang diperkirakan dapat tersambar petir, bagian bangunan yang terdekat

dengan pohon tesebut harus dipasang penghantar penurunan;

(2) Penghantar penurunan harus selalu dipasang pada bagian-bagian yang menonjol yang

diperkirakan dapat tersambar petir;

(3) Penghantar penurunan harus dipasang sedemikian rupa, sehingga pemeriksaan dapat

dilakukan dengan mudah dan tidak mudah rusak.

Pasal 18

(1) Penghantar penurunan harus dilindungi terhadap kerusakan-kerusakan mekanik, pengaruh

cuaca, kimia (elektrolisa) dan sebagainya.

(2) Jika untuk melindungi penghantar penurunan itu dipergunakan pipa logam, pipa tersebut

pada kedua ujungnya harus disambungkan secara sempurna baik elektris maupun mekanis

kepada penghantar untuk mengurangi tahanan induksi.

Pasal 19

(1) Instalasi penyalur petir dari suatu bangunan paling sedikit harus mempunyai 2 (dua) buah

penghantar penurunan;

(2) Instalasi penyalur petir yang mempunyai lebih dari satu penerima, dari penerima tersebut

harus ada paling sedikit 2 (dua) buah penghantar penurunan;

(3) Jarak antara kaki penerima dan titik pencabangan penghantar penurunan paling besar 5

(lima) meter.

Pasal 20

Bahan penghantar penurunan yang dipasang khusus harus digunakan kawat tembaga atau

bahan yang sederajat dengan ketentuan :

a.penampang sekurang-kurangnya 50 mm’.;

b.setiap bentuk penampang dapat dipakai dengan tebal serendah-rendahnya 2 mm.

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 48


Pasal 21

(1) Sebagai penghantar penurunan petir dapat digunakan bagian-bagian dari atap, pilar-pilar,

dinding-dinding, atau tulang-tulang baja yang mempunyai massa logam yang baik;

(2) Khusus tulang-tulang baja dari kolom beton harus memenuhi syarat, kecuali;

a. Sudah direncanakan sebagai penghantar penurunan dengan memperhatikan syarat-syarat

sambungan yang baik dan syarat-syarat lainnya;

b.Ujung-ujung tulang baja mencapai garis permukaan air dibawah tanah sepanjang waktu.

(3) Kolom beton yang bertulang baja yang dipakai sebagai penghantar penurunan harus

digunakan kolom beton bagian luar.

Pasal 22

Penghantar penurunan dapat digunakan pipa penyalur air hujan dari logam yang dipasang

tegak dengan jumlah paling banyak separuh dari jumlah penghantar penurunan yang

diisyaratkan dengan sekurang-kurangnya dua buah merupakan penghantar penurunan khusus.

Pasal 23

(1)Jarak minimum antara penghantar penurunan yang satu dengan yang lain diukur sebagai

berikut;

a.pada bangunan yang tingginya kurang dari 25 meter maximum 20 meter;

b.pada bangunan yang tingginya antara 25 – 50 meter maka jaraknya {30 – (0,4 x

tinggi bangunan) }

c.pada bangunan yang tingginya lebih dari 50 meter maximum 10 meter.

(2) Pengukuran jarak dimaksud ayat (I) dilakukan dengan menyusuri keliling bangunan.

Pasal 24

Untuk bangunan-bangunan yang terdiri dari bagian-bagian yang tidak sama tingginya, tiap-

tiap bagian harus ditinjau secara tersendiri sesuai pasa1 23 kecuali bagian banguna yang

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 49


tingginya kurang dari seperempat tinggi bangunan yang tertinggi, tingginya kurang dari 5

meter dan mempunyai luas dasar kurang dari 50 meter persegi.

Pasal 25

(1) Pada bangunan yang tingginya kurang dari 25 meter dan mempunyai bagian-bagian yang

menonjol kesamping harus dipasang beberapa penghantar penurunan dan tidak menurut

ketentuan pasal 23;

(2) Pada bangunan yang tingginya lebih dari 25 meter, semua bagian-bagian yang menonjol

ke atas harus dilengkapi dengan penghantar penurunan kecuali untuk menara-menara.

Pasal 26

Ruang antara bangunan-bangunan yang menonjol kesamping yang merupakan ruangan yang

sempit tidak perlu dipasang penghantar penurunan jika penghantar penurunan yang dipasang

pada pinggir atap tidak terputus.

Pasal 27

(1)Untuk pemasangan instalasi penyalur petir jenis Franklin dan sangkar Faraday, jenis-jenis

bahan untuk penghantar dan pembumian dipilih sesuai dengan daftar pada lampiran II

Peraturan Menteri ini;

(2)Untuk pemasangan instalasi penyalur petir jenis Elektrostatic dan atau jenis lainnya, jenis-

jenis bahan untuk penghantar dan pembumian dapat menggunakan bahan sesuai dengan

daftar pada lampiran II Peraturan Menteri ini dan atau jenis lainnya sesuai dengan standard

yang diakui;

(3)Penentuan bahan dan ukurannya dari ayat (l) dan ayat (2) pasal ini, ditentukan berdasarkan

beberapa faktor yaitu ketahanan mekanis, ketahanan terhadap pengaruh kimia terutama

korosi dan ketahanan terhadap pengaruh lingkungan lain dalam batas standard yang diakui;

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 50


(4) Semua penghantar dan pengebumian yang digunakan harus dibuat dari bahan yang

memenuhi syarat, sesuai dengan standard yang diakui.

BAB V

PEMBUMIAN

Pasal 28

(1) Elektroda bumi harus dibuat dan dipasang sedemikian rupa sehingga tahanan pembumian

sekecil mungkin;

(2) Sebagai elektroda bumi dapat digunakan:

a.tulang-tulang baja dari lantai-lantai kamar dibawah bumi dan tiang pancang yang sesuai

dengan keperluan pembumian;

b.pipa-pipa logam yang dipasang dalam bumi secara tegak;

c. pipa-pipa atau penghantar lingkar yang dipasang dalam bumi secara mendatar,

d.pelat logam yang ditanam;

e.bahan logam lainnya dan atau bahan-bahan yang cara pemakaian menurut ketentuan pabrik

pembuatnya.

(3) Elektroda bumi tersebut dalam ayat (2) harus dipasang sampai mencapai air dalam bumi.

Pasal 29

(1) Elektroda bumi dapat dibuat dari:

a.Pipa baja yang disepuh dengan Zn (Zincum) dan garis tengah sekurang-kurangnya 25 mm

dan tebal sekurang-kurangnya 3,25 mm;

b.Batang baja yang disepuh dengan Zn dan garis tengah sekurang-kurangnya 19 mm;

c.Pita baja yang disepuh dengan Zn yang tebalnya sekurang-kurangnya 3 mm dan lebar

sekurang-kurangnya 25 mm;

(2) Untuk daerah-daerah yang sifat korosipnya lebih besar, elektroda bumi harus dibuat dari:

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 51


a.Pipa baja yang disepuh dengan Zn dan garis tengah dalam sekurang-kurangnya 50 mm dan

tebal sekurang-kurangnya 3,5 mm;

b.Pipa dari tembaga atau bahan yang sederajat atau pipa yang disepuh dengan tembaga atau

bahan yang sederajat dengan garis tengah daIam sekurang-kurangnya 16 mm dan tebal

sekurang-kurangnya 3 mm;

c.Batang baja yang disepuh dengan Zn dengan garis tengah sekurang-kurangnya 25 mm;

d.Batang tembaga atau bahan yang sederajat atau batang baja yang disalur dengan tembaga

atau yang sederajat dengan garis tengah sekurang-kurangnya 16 mm;

e.Pita baja yang disepuh dengan Zn dan tebal sekurang-kurangnya 4 mm dan lebar sekurang-

kurangnya 25 mm.

Pasal 30

(1)Masing-masing penghantar penurunan dari suatu instalasi penyalur petir yang mempunyai

beberapa penghantar penurunan harus disambungkan dengan elektroda kelompok;

(2) Panjang suatu elektroda bumi yang dipasang tegak dalam bumi tidak boleh kurang

dari 4 meter, kecuali jika sebahagian dari elektroda bumi itu sekurang-kurangnya

2 meter dibawah batas minimum permukaan air dalam bumi;

(3)Tulang-tulang besi dari lantai beton dan gudang dibawah bumi dan tiang pancang dapat

digunakan sebagai elektroda bumi yang memenuhi syarat apabila sebahagian dari tulang-

tulang besi ini berada sekurang-kurangnya l (satu) meter dibawah permukaan air dalam bumi;

(4)Elektroda bumi mendatar atau penghantar lingkar harus ditanam sekurang-kurangnya 50

cm didalam tanah.

Pasal 31

Elektroda bumi dan elektroda kelompok harus dapat diukur tahanan pembumiannya secara

tersendiri maupun kelompok dan pengukuran dilakukan pada musim kemarau.

Pasal 32

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 52


Jika keadaan alam sedemikian rupa sehingga tahanan pembumian tidak dapat tercapai secara

tehnis, dapat dilakukan cara sebagai berikut:

a.masing-masing penghantar penurunan harus disambung dengan penghantar lingkar yang

ditanam lengkap dengan beberapa elektroda tegak atau mendatar sehingga jumlah tahanan

pembumian bersama memenuhi syarat;

b.membuat suatu bahan lain (bahan kimia dan sebagainya) yang ditanam bersama dengan

elektroda sehingga tahanan pembumian memenuhi syarat.

Pasal 33

Elektroda bumi yang digunakan untuk pembumian instalasi listrik tidak boleh digunakan

untuk pembumian instalasi penyalur petir.

Pasal 34

(1) Elektroda bumi mendatar atau penghantar lingkar dapat dibuat dari pita baja yang disepuh

Zn dengan tebal sekurang-kurangnya 3 mm dan lebar sekurang-kurangnya 25 mm atau dari

bahan yang sederajat;

(2) Untuk daerah yang sifat korosipnya lehih besar, elektroda burni mendatar atau penghantar

lingkar harus dibuat dari:

a.Pita baja yang disepuh Zn dengan ukuran lebar sekurang-kurangnya 25 mm dan tebal

sekurang-kurangnya 4 mm atau dari bahan yang sederajat;

b. Tembaga atau bahan yang sederajat, bahan yang disepuh dengan tembaga atau bahan yang

sederajat, dengan luas penampang sekurang-kurangnya 50 mm dan bila bahan itu berbentuk

pita harus mempunyai tebal sekurang-kurangnya 2 mm;

c.Elektroda pelat yang terbuat dari tembaga atau hahan yang sederajat dengan luas satu sisi

permukaan sekurang-kurangnya 0,5 m dan tebal sekurang-kurangnya 1 mm. jika berbentuk

silinder maka luas dinding silinder tersebut harus sekurang-kurangnya 1 m2.

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 53


BAB VI

MENARA

Pasal 35

(1) Instalasi Penyalur Petir pada bangunan yang menyerupai menara seperti menara air, silo,

masjid, gereja, dan lain-lain harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a.Bahaya meloncatnya petir;

b.Hantaran listrik;

c.Penempatan penghantar;

d.Daya tahan terhadap gaya mekanik;

e.Sambungan-sambungan antara massa logam dari suatu bangunan.

(2) Instalasi penyalur petir dari menara tidak boleh dianggap dapat melindungi bangunan

bangunan yang berada disekitarnya.

Pasal 36

(l) Jumlah dan penempatan dari penghantar penurunan pada bagian luar dari menara harus

diselenggarakan menurut pasal 23 ayat (1);

(2) Didalam menara dapat pula dipasang suatu penghantar penurunan untuk memudahkan

penyambungan-penyambungan dari bagian-bagian logam menara itu.

Pasal 37

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 54


Menara yang seluruhnya terbuat dari logam dan dipasang pada pondasi yang tidak dapat

menghantar, harus dibumikan sekurang-kurangnya pada dua tempat dan pada jarak yang

sama diukur menyusuri keliling menara tersebut.

Pasal 38

Sambungan-sambungan pada instalasi penyalur petir untuk menara harus betul-betul

diperhatikan terhadap sifat korosip dan elektrolisa dan harus secara dilas karena kesukaran

pemeriksaan dan pemeliharaannya.

BAB VII

BANGUNAN YANG MEMPUNYAI ANTENA

Pasal 39

(1)Antena harus dihubungkan dengan instalasi penyalur petir dengan menggunakan penyalur

tegangan lebih, kecuali jika antena tersebut berada dalam daerah yang dilindungi dan

penempatan antena itu tidak akan menimbulkan loncatan bunga api;

(2)Jika antena sudah dibumikan secara tersendiri, maka tidak perlu dipasang penyalur

tegangan lebih;

(3)Jika antena dipasang pada bangunan yang tidak mempunyai instalasi penyalur petir, antena

harus dihubungkan kebumi melalui penyalur tegangan lebih.

Pasa1 40

(1) Pemasangan penghantar antara antena dan instalasi penyalur petir atau dengan bumi harus

dilaksanakan sedemikian rupa sehingga bunga api yang timbul karena aliran besar tidak dapat

menimbulkan kerusakan;

(2) Besar penampang dari penghantar antara antena dengan penyalur tegangan lebih,

penghantar antara tegangan lebih dengan instalasi penyalur petir atau dengan elektroda bumi

harus sekurang-kurangnya 2,5 mm”;

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 55


(3) Pemasangan penghantar antara antena dengan instalasi penyalur petir atau dengan

elektroda bumi harus dipasang selurus mungkin dan penghantar tersebut dianggap sebagai

penghantar penurunan petir.

Pasa1 41

(1) Pada bangunan yang mempunyai instalasi penyalur petir, pemasangan penyalur tegangan

lebih antara antena dengan instalasi penyalur petir harus pada tempat yang tertinggi;

(2) Jika suatu antena dipasang pada tiang logam, tiang tersebut harus dihubungkan dengan

instalasi penyalur petir;

Pasa1 42

(1) Pada bangunan yang tidak mempunyai instalasi penyalur petir, pemasangan penyalur

tegangan lebih antara antena dengan elektroda bumi harus dipasang diluar bangunan;

(2) Jika antena dipasang secara tersekat pada suatu tiang besi, tiang besi ini harus

dihubungkan dengan bumi.

BAB VIII

CEROBONG YANG LEBIH TINGGI DARI 10 M

Pasal 43

(1) Pemasangan instalasi penyalur petir pada cerobong asap pabrik dan lain-lain yang

mempunyai ketinggian lebih dari 10 meter harus diperhatikan keadaan seperti dibawah ini :

a.Timbulnya karat akibat adanya gas atau asap terutama untuk bagian atas dari instalasi;

b.Banyaknya penghantar penurunan petir;

c.Kekuatan gaya mekanik.

(2) Akibat kesukaran yang timbul pada pemeriksaan dan pemeliharaan, pelaksanaan

pemasangan dari instalasi penyalur petir pada cerobong asap pabrik dan lain-lainnya harus

diperhitungkan juga terhadap korosi dan elektrolisa yang mungkin terjadi.

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 56


Pasa1 44

Instaiasi penyalur petir yang terpasang dicerobong tidak boleh dianggap dapat bangunan yang

berada disekitarnya.

Pasa1 45

(1)Penerima petir harus dipasang menjulang sekurang-kurangnya 50 cm diatas pinggir

cerobong;

(2) Alat penangkap bunga api dan cincin penutup pinggir bagian puncak cerobong dapat

digunakan sebagai penerima petir;

(3)Penerima harus disambung satu dengan lainnya dengan penghantar lingkar yang dipasang

pada pinggir atas dari cerobong atau sekeliling pinggir bagian luar, dengan jarak tidak lebih

dari 50 cm dibawah puncak cerobong;

(4) Jarak antara penerima satu dengan lainnya diukur sepanjang keliling cerobong paling

besar 5 meter. Penerima itu harus dipasang dengan jarak sama satu dengan lainnya pada

sekelilingnya;

(5)Batang besi, pipa besi dan cincin besi yang digunakan sebagai penerima harus dilapisi

dengan timah atau bahan yang sederajat untuk mencegah korosi.

Pasal 46

(1) Pada tempat-tempat yang terkena bahaya termakan asap, uap atau gas sedapat mungkin

dihindarkan adanya sambungan;

(2) Sambungan-sambungan yang terpaksa dilakukan pada tempat-tempat ini, harus dilindungi

secara baik terhadap bahaya korosi;

(3)Sambungan antara penerima yang dipasang secara khusus dan penghantar penurunan harus

dilakukan sekurang-kurangnya 2 meter dibawah pinggir puncak dari cerobong.

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 57


Pasal 47

(1)Instalasi penyalur petir dari cerobong sekurang-kurangnya harus mempunyai 2 (dua)

penghantar penurunan petir yang dipasang dengan jarak yang sama satu dengan yang lain;

(2)Tiap-tiap penghantar penurunan harus disambungkan langsung dengan penerima.

Pasal 48

(1)Cerobong dari logam yang berdiri tersendiri dan ditempatkan pada suatu pondasi yang

tidak dapat menghantar harus dihubungkan dengan tanah;

(2)Sabuk penguat dari cerobong yang terbuat dari logam harus di sambung secara kuat

dengan penghantar penurunan.

Pasal 49

(1)Kawat penopang atau penarik untuk cerobong harus ditanamkan ditempat pengikat pada

alat penahan ditanah dengan menggunakan elektroda bumi sepanjang 2meter;

(2)Kawat penopang atau penarik yang dipasang pada bangunan yang dilindungi harus

disambungkan dengan instalasi penyalur petir bangunan itu.

BAB IX

PEMERIKSAAN DAN PENGUJIAN

Pasal 50

(I)Setiap instalasi penyalur petir dan bagian-bagiannya harus dipelihara agar selalu bekerja

dengan tepat, aman dan memenuhi syarat;

(2)Instalasi penyalur petir harus diperiksa dan diuji:

a.Sebelum penyerahan instalasi penyalur petir dari instalatir kepada pemakai;

b.Setelah ada perubahan atau perbaikan suatu bangunan dan atau instalasi penyalur petir;

c.Secara berkala setiap dua tahun sekali;

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 58


d.Setelah ada kerusakan akibat sambaran petir;

Pasal 51

(1)Pemeriksaan dan pengujian instalasi penyalur petir dilakukan oleh pegawai pengawas, ahli

keselamatan kerja dan atau jasa inspeksi yang ditunjuk;

(2)Pengurus atau pemilik instalasi penyalur petir berkewajiban membantu pelaksanaan

pemeriksaan dan pengujian yang dilakukan oleh pegawai pengawas, ahli keselamatan kerja

dan atau jasa inspeksi yang ditunjuk termasuk penyedian alat-alat bantu.

Pasa1 52

Dalam pemeriksaan berkala harus diperhatikan tentang hal-hal sebagai berikut:

a.elektroda bumi, terutama pada jenis tanah yang dapat menimbulkan karat;

b.kerusakan-kerusakan dan karat dari penerima, penghantar dan sebagainya;

c. sambungan-sarnbungan;

d.tahanan pembumian dari masing-masing elektroda maupun elektroda kelompok.

Pasa1 53

(1) Setiap diadakan pemeriksaan dan pengukuran tahanan pembumian harus dicatat dalam

buku khusus tentang hari dan tanggal hasil pemeriksaan;

(2) Kerusakan-kerusakan yang didapati harus segara diperbaiki.

Pasa1 54

(1) Tahanan pembumian dari seluruh sistem pembumian tidak boleh lebih dari 5 ohm

(2) Pengukuran tahanan pembumian dari elektroda bumi harus dilakukan sedemikian rupa

sehingga kesalahan-kesalahan yang timbul disebabkan kesalahan polarisasi bisa dihindarkan;

Pemeriksaan pada bagian-bagian dari instalasi yang tidak dapat dilihat atau diperiksa, dapat

dilakukan dengan menggunakan pengukuran secara listrik.

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 59


BAB X

PENGESAHAN

Pasal 55

(1) Setiap perencanaan instalasi penyalur petir harus dilengkapi dengan gambar rencana

instalasi;

(2) Gambar rencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menunjukan: gambar bagian

tampak atas dan tampak samping yang mencakup gambar detail dari bagian-bagaian instalasi

beserta keterangan terinci termasuk jenis air terminal, jenis dari atap bangunan, bagian-

bagian lain peralatan yang ada diatas atap dan bagian-bagian logam pada atau diatas atap.

Pasal 56

(1) Gambar rencana instalasi sebagaimana dimaksud pada pasal 55 harus mendapa

pengesahan dari Menteri atau pejabat yang ditunjuknya;

(2) Tata cara untuk mendapat pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih

lanjut dengan Keputusan Menteri.

Pasal 57

(1) Setiap instalasi penyalur petir harus mendapat sertifikat dari Menteri atau pejabat yang

ditunjuknya;

(2) Setiap penerima khusus seperti elektrostatic dan lainnya harus mendapat sertifikat dari

Menteri atau pejabat yang ditunjuknya;

(3) Tata cara untuk mendapat sertifikat sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) diatur

lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.

Pasal 58

Dalam hal terdapat perubahan instalasi penyalur petir, maka pengurus atau pemilik harus

mengajukan permohonan perubahan instalasi kepada Menteri cq. Kepala Kantor Wilayah

yang ditunjuknya dengan melampiri gambar rencana perubahan.

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 60


Pasal 59

Pengurus atau pemilik wajib mentaati dan melaksanakan semua ketentuan dalam Peraturan

Menteri ini.

BAB XI

KETENTUAN PIDANA

Pasa1 60

pengurus atau pemilik yang melanggar ketentuan pasal 2, pasal 6 ayat (1), pasal 55 ayat (1),

pasal 56 ayat (1), pasal 57 ayat (1) dan (2), pasal 58 dan pasat 59 diancam dengan hukuman

kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000,-(seratus

ribu rupiah) sebagaimana dimaksud pasal 15 ayat (2) dan (3) Undang-undang No. 1 Tahun

1970 tentang Keselamatan Kerja.

BAB XII

ATURAN PERALIHAN

Pasal 61

Instalasi penyalur petir yang sudah digunakan sebelum Peraturan Menteri ini ditetapkan,

Pengurus atau Pemilik wajib menyesuaikan dengan Peraturan ini dalam waktu 1 (satu) tahun

sejak berlakunya Peraturan Menteri ini.

BAB XIII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 62

Peraturan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 61


BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

 Tujuan dari keselamatan dan kesehatan kerja adalah sebagai berikut:

a. Agar setiap pegawai mendapat jaminan keselamatan dan kesehatan kerja baik

secara fisik, sosial, dan psikologis.

b. Agar setiap perlengkapan dan peralatan kerja digunakan sebaik-baiknya selektif

mungkin.

c. Agar semua hasil produksi dipelihara keamanannya.

d. Agar adanya jaminan atas pemeliharaan dan peningkatan kesehatan gizi pegawai.

e. Agar meningkatkan kegairahan, keserasian kerja, dan partisipasi kerja.

f. Agar terhindar dari gangguan kesehatan yang disebabkan oleh lingkungan atau

kondisi kerja.

g. Agar setiap pegawai merasa aman dan terlindungi dalam bekerja

 kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang terjadi berhubung dengan hubungan kerja,

termasuk penyakit yang timbul karena hubungan kerja demikian pula kecelakaan

yang terjadi dalam perjalanan berangkat dari rumah menuju tempat kerja daan pulang

kerumah melalui jalan biasa atau wajar dilalui.

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 62


3.2 Saran

Penerapan K3 akan berjalan dengan baik apabila pemilik usaha dan pekerja

menerapkan dasar-dasar K3 dan prinsip-prinsip K3, namun dalam kenyataannya

seringkali kita temui pemilik usaha dan pekerja yang tidak menerapkan dasar-dasar

K3 dan prinsip-prisip K3. Oleh karena itu diperlukan peran pemerintah untuk

menindak tegas perihal tersebut.

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 63

Anda mungkin juga menyukai