Anda di halaman 1dari 2

Pertemuan kita begitu sederhana.

Aku tersesat di antara keramaian,

dan kau menyapaku dari kerumunan.

Dari saat kau melempar senyuman,

aku tahu duniaku akan dilanda kekacauan.

Sejak itu, yang ada hanya sunyi,

dan dirimu hadir sebagai satu-satunya bunyi.

Perkenalan kita begitu sederhana.

Jantungku berdegup kencang,

kau datang sebagai penenang.

Sejak itu hari-hariku selalu tentang menyusul langkahmu yang seringkali hanya tersisa sebagai jejak
yang rumit dilacak.

Maaf.

Hidup membentukku menjadi rumit.

Tapi tolong jangan pamit.

Karena dengan cara yang sederhana,

kau membuatku lebih baik setiap harinya.

Kita pun mencoba menjalani dengan segenap yakin,

apa yang kita anggap tidak mungkin.

Dan ketidakmungkinan itu sempat membuatku ingin mengaku kalah.

Tapi anehnya, kita selalu saja kembali di tempat yang sama, saling berhadapan,

dengan debar yang tidak juga mereda.

Itulah kenapa aku tidak mau mundur.

Hatiku keras kepala.

Kau keras kepala, aku pun juga.

Dan kita menjelma dua orang pejuang yang saling mendekap erat ketika hari terlalu berat; yang
mati-matian mempertahankan hubungan melewati segala perbedaan.
Perbedaan kita memang terlampau jauh.

Tapi, detak kita teramat dekat.

Kita memang tidak pernah bisa memilih kepada siapa hati dijatuhkan.

Tapi, kita selalu bisa memilih untuk tinggal atau meninggalkan.

Dahulu, aku memilih untuk hanya singgah.

Sekarang, aku memilih untuk menjadikanmu rumah.

Maka, setiap kali ingin menyerah, ingat lagi, sudah sejauh apa kita melangkah.

Semoga, sampai tua.

Semoga, selamanya.

Hari ini, hatiku sudah

mantap. Kau orangnya.

Anda mungkin juga menyukai