Anda di halaman 1dari 17

Maksura di Tanah Jawa: Perlindungan, Privasi, atau Lambang

Status Sosial?

Caroline Safira Darmawan


Email: caroline.s@mail.ugm.ac.id
2017

Pendahuluan

Masjid sebagai tempat beribadah umat Muslim telah mengalami


perkembangan dari masa ke masa. Berawal dari masjid sederhana berupa halaman
seperti yang didefinisikan oleh Robert Hillenbrand, bahwa masjid merupakan
tempat ibadah umat Muslim yang orientasinya sesuai arah kiblat yaitu ke arah
Ka’bah di Mekkah (Hillenbrand, 1994, p. 31), hingga masjid yang mulai
berkembang dalam wujud bangunan yang megah untuk mendukung kegiatan
umatnya. Perkembangan agama Islam pada masa Nabi Muhammad tidak lepas dari
perkembangan politik yang sedang terjadi. Setelah Nabi Muhammad SAW wafat,
kepemimpinan Islam diserahkan kepada kerabat dan sahabat-sahabat Nabi
Muhammad SAW yang kemudian disebut sebagai khalifah.

Dipimpin oleh seorang khalifah sejak tahun 632 M, terjadi ekspansi besar-
besaran untuk memperluas jangkauan pengaruh Islam. Dalam perkembangannya,
terdapat banyak khalifah yang menjadi korban pembunuhan ketika sedang
melakukan ibadah di dalam masjid, pada tahun 661 M ketika Mu’awiya dari
keluarga Ummayah menjadi khalifah, ia mengganti sistem pergantian kekhalifahan
yang biasanya melalui pemilihan menjadi hereditas atau berdasarkan keturunan
(Gascoigne, from 2001, ongoing) sehingga terbentuklah Dinasti Ummayah. Secara
otomatis, Mu’awiya menerapkan sistem monarki pada pemerintahan Islam. Fondasi
pemerintahan berbentuk kekaisaran yang dibuat pada tahun 661 inilah yang
menyebabkan munculnya bangunan-bangunan esensial untuk melindungi para

1
penguasa dalam menjalankan pemerintahan (Leacroft & Leacroft, 1976, pp. 22-23).
Bangunan-bangunan tersebut kemudian muncul dalam wujud istana dengan masjid
di dekatnya ataupun di dalam istana yang digunakan para penguasa untuk salat.
Masjid-masjid ini memiliki fitur khusus berupa maksura yang diduga berfungsi
untuk melindungi para penguasa dari upaya pembunuhan ketika berada di dalam
masjid (Leacroft & Leacroft, 1976, p. 5).

Maksura menurut Timothy Insoll merupakan sebuah ruangan yang


ditinggikan dengan penutup berupa dinding yang tidak sepenuhnya tertutup yang
digunakan oleh penguasa ataupun imam (Insoll, 1999, p. 32). Fungsi dan tujuan
dari maksura sendiri tidak dapat diketahui secara pasti karena tidak terdapat
dokumen yang menjelaskan fitur maksura. Mulai muncul di daerah Timur Tengah,
maksura juga muncul di masjid-masjid kuna di Jawa. Pada tulisan ini akan
dijelaskan beberapa maksura pada masjid-masjid kuna di Jawa, yaitu:

1. Masjid Agung Demak, Demak, Jawa Tengah


2. Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Cirebon, Jawa Barat
3. Masjid Agung Yogyakarta (Masjid Gedhe), Daerah Istimewa Yogyakarta
4. Masjid Pakualaman, Daerah Istimewa Yogyakarta

Perkembangan maksura yang berjalan bersama dengan berkembangnya sistem


pemerintahan menghasilkan sebuah pertanyaan mengenai fungsi dari maksura,
sebagai penanda status penggunanya atau suntuk melindungi penggunanya dari
ancaman?

Oleh karena masalah yang belum terpecahkan inilah, penulis bertujuan


untuk memperlihatkan perbandingan bukti arkeologis antara maksura-maksura di
Timur Tengah dengan yang berkembang di Jawa. Melalui perbandingan bukti
arkeologis yang ada, akan ditunjukkan analisis mengenai fungsi yang sebenarnya
dari maksura yang berada di Jawa.

2
Deskripsi dan Analisis

Terdapat berbagai perbedaan pendapat mengenai maqsura yang pertama


kali muncul, tetapi pada buku The Mosque and Its Early Development oleh Dogan
Kuban disebutkan bahwa maksura yang pertama dibangun untuk Mu’awiya atau
yang biasa dikenal sebagai Marwan Ibn al-Hakam (Kuban, 1974, p. 5), hal ini
didukung oleh Lawrence Nees pada bukunya yang berjudul Perspective on Early
Islamic Art in Jerusalem yang mengutip Muqaddimah bahwa maksura yang
pertama dibangun untuk Marwan Ibn al-Hakam setelah seorang Yemenite menusuk
khalifah tersebut (Nees, 2016, p. 93). Namun, pernyataan yang berbeda terdapat
pada Grove Encyclopedia of Islamic Art & Architecture: Three Volume Set yang
ditulis oleh Jonathan Bloom dan Sheila Blair. Bloom dan Blair menyatakan bahwa
yang pertama kali memunculkan maksura ialah khalifah Uthman (Bloom & Blair,
2009, p. 461). Ia menyadari bahwa setelah terjadi upaya pembunuhan terhadap
dirinya, ia meminta dibangunnya sebuah struktur dari batu bata yang disusun
dengan bagian depan terbuka sehingga para umat dapat melihatnya ketika
memimpin salat. Struktur ini kemudian diganti dengan struktur yang lebih
permanen dari bahan batu. Setelah itu, ketika dinasti Ummayah berlangsung,
gubernur-gubernur di provinsi masing-masing membangun masjid dengan maksura
di dalamnya untuk melindungi khalifah, imam, ataupun penguasa lainnya. Maksura
kemudian menjadi pemisah antara para penguasa dengan orang-orang biasa yang
beribadah di masjid tersebut.

Dalam buku Robert Hillenbrand yang berjudul Islamic Architecture, ia


menyebutkan bahwa terdapat tiga dugaan mengenai fungsi dari maksura
(Hillenbrand, 1994, pp. 48-50). Yang pertama bahwa maksura merupakan adaptasi
dari budaya material Byzantine yang memisahkan status sosial seseorang melalui
khatisma, yaitu sebuah tempat duduk atau kotak yang digunakan oleh pendeta di
Gereja Orthodox. Yang kedua ialah alasan privasi, bahwa dengan adanya maksura,
penguasa yang berdoa di dalamnya dapat melakukan ibadahnya dengan lebih

3
khusyuk. Maksura sebagai ruang privasi bagi penguasa ketika melakukan salat
menunjukkan eksklusivitas status yang disandang, sehingga pengguna maksura
tersebut tidak harus berinteraksi dengan orang-orang biasa. Dugaan yang ketiga
yaitu maksura sebagai bentuk perlindungan untuk para penguasa dari upaya
pembunuhan. Oleh karena khalifah-khalifah sebelumnya yang meninggal karena
dibunuh ketika melakukan salat, maka sebuah pelindung dibutuhkan untuk
mengamankan para penguasa (khalifah, pejabat, dan imam). Ketika salat, para
penguasa tersebut tidak mungkin dilindungi para pengawalnya karena orang-orang
yang melindungi mereka pun harus melakukan salat sehingga pada saat melakukan
salat bersama orang lain di masjid, para penguasa menjadi rentan terhadap
penyerangan. Khalifah Umar, Ali, dan Uthman terbunuh ketika sedang berada di
dalam masjid bersama dengan orang-orang biasa. Maka dari itu, dibangunlah
maksura sebagai pemisah dan perlindungan. Dugaan yang ketiga ini merupakan
yang secara umum diyakini sebagai alasan dibangunnya maksura di dalam masjid.
Apakah alasan yang sama juga berlaku di Jawa?

Mengenai wujud dari maksura, pada dasarnya maksura yang berkembang di


Timur Tengah biasanya berbentuk kotak dengan bahan kayu, logam, dan batu yang
dibangun saling bersilangan atau mengikat sehingga terdapat celah agar
penggunanya bisa melihat imam dan dapat mengikuti salat secara bersamaan
(Hillenbrand, 1994, p. 49). Ketika kepemimpinan Islam dipegang oleh khalifah-
khalifah dari keluarga Ummayah, masjid-masjid yang dibangun oleh para gubernur
di Basra, Kusfa, Damaskus, dan Fustat (Kairo lama) memiliki maksura di
dalamnya. Salah satu maksura yang masih ada hingga saat ini adalah maksura yang
terdapat di Tunisia, yaitu The Great Mosque of Kairouan. Di masjid yang dibangun
pada abad 11 ini, maksuranya berupa ruangan berbentuk kotak dengan dinding kayu
setinggi orang dewasa. Dinding kayu ini memiliki celah-celah kecil yang
memungkinkan pengguna di dalamnya melihat apa yang sedang terjadi di luar.
Celah-celah ini dibuat dari bahan logam, kemungkinan besi, dan dipaku ke dinding
kayu tersebut, dibuat pola yang sempit sehingga dapat mengurangi kemungkinan

4
penyerangan terhadap orang-orang di dalamnya. Terdapat ornamentasi berupa
ukiran kaligrafi Kufi di bagian dinding atas maksura yang berisi ayat-ayat dari al-
Quran dan peristiwa-peristiwa bersejarah (Bloom & Blair, 2009, p. 461). Berbeda
dari maksura pada umumnya, di The Great Mosque of Cordoba yang dibangun
sekitar abad 10, maksura di masjid ini memiliki keunikan tersendiri. Masjid ini
awalnya merupakan sebuah katedral, ketika kekaisaran Ummayah menaklukkan
daerah Spanyol, katedral tersebut kemudian dibagi menjadi dua, sebagian tetap
sebagai katedral dan sebagiannya menjadi milik kaum Muslim. Pada tahun 784 M,
Abd al-Rahman membeli bagian milik Kristen dan akhirnya mengubah keseluruhan
bangunan itu menjadi bangunan Muslim. Keunikan dari maqsura pada masjid di
Cordoba ini yaitu tidak seperti maksura pada umumnya yang terbatas pada sebuah
kotak kecil berdinding kayu untuk beberapa orang saja, tetapi maksura di masjid ini
sangat luas dengan pembatas utama berupa lengkungan megah dengan ukiran yang
dengan jelas menyatakan area tersebut dikhususkan untuk kalangan yang berkuasa
(Khoury, 1996, p. 83). Saat ini maqsura ini telah diberi tambahan berupa pagar besi
untuk memisahkan area salat yang dipakai secara umum.

Mengenal maksura-maksura di Timur Tengah yang telah berkembang sejak


abad 7, bagaimana dengan kemunculan maksura di Jawa? Proses masuknya Islam
ke Nusantara diduga sudah berlangsung sejak abad 7 ketika pedagang dari Arab,
India, dan Cina berlabuh di Sriwijaya. Bukti tertua kedatangan orang-orang Muslim
berupa cap lobu tua dengan pertanggalan berkisar antara abad 9-10. Di Pulau Jawa,
bukti masuknya Islam ke dalam masyarakat sudah ada sejak masa Majapahit akhir.
Hal ini dibuktikan dengan adanya makam dengan nisan yang menggunakan tulisan
Arab dan lambang surya Majapahit dilengkapi dengan tahun saka, pertanggalan
sekitar abad 14. Adanya lambang surya majapahit menunjukkan bahwa seseorang
tersebut merupakan bagian dari keluarga kerajaan atau seseorang yang telah
berkontribusi banyak di Kerajaan Majapahit. Tulisan Arab pada nisan itu
menunjukkan bahwa sudah ada orang-orang Muslim yang familiar dengan tulisan
Arab dan mampu menuliskannya, atau mungkin ada orang dari luar wilayah

5
Majapahit yang merupakan seorang Muslim dan sudah mampu menuliskan huruf
Arab. Penggunaan tahun saka, bukannya tahun hijriya seperti yang biasanya
dilakukan orang Islam merupakan bukti kuat bahwa seseorang yang dimakamkan
di situ merupakan orang dari Nusantara. Adanya penaklukkan daerah Gujarat, India
oleh Muizz ad-Din pada tahun 1196 memperkuat pengaruh Islam ke daerah Asia
Tenggara, terutama Indonesia (Van der Kroef, 1953, p. 302). Para pedagang dari
Gujarat yang kebanyakan beragama Islam kemudian menyebarkan agama Islam
ketika sedang berlabuh di Indonesia. Selain para pedagang Gujarat, pedagang dari
Arab juga meramaikan pelabuhan-pelabuhan di Nusantara. Melalui orang-orang
asing yang berlabuh di Nusantara inilah, Islam mulai masuk ke dalam masyarakat.

Proses berdirinya kerajaan Islam di Jawa memakan waktu yang sangat lama,
sehingga proses berdirinya masjid pun juga tidak secepat yang dibayangkan.
Berawal dari Kerajaan Majapahit yang kekuasaannya melemah, para wali songo
yang menyebarkan agama Islam di Jawa menjadikan daerah Demak sebagai pusat
penyebaran Islam. Demak awalnya merupakan salah satu daerah Majapahit, tetapi
akhirnya melepaskan diri pada abad 15 dan oleh Raden Patah didirikan kerajaan
Islam pertama di Jawa, yaitu Kerajaan Demak (Permana, 2014). Sebagai kerajaan
Islam yang tertua di Jawa, Kerajaan Demak memiliki masjid paling awal di Jawa
yang menjadi contoh di daerah-daerah lainnya di Jawa. Di Masjid Agung Demak,
sebagai masjid tertua di Jawa, sudah terdapat fitur maksura di dalamnya, meskipun
tidak semua masjid kuna di Indonesia memiliki maksura, tetapi merupakan fakta
yang cukup menarik bahwa masjid tertua di Jawa sudah memiliki maksura. Hal ini
bisa menjadi petunjuk bahwa mungkin terjadi ketidakstabilan politik, ancaman
pembunuhan yang tinggi terhadap raja, atau bahkan adanya keperluan untuk
menunjukkan eksklusivitas seorang raja. Berikut ini merupakan deksripsi singkat
mengenai beberapa masjid kuna di Indonesia yang memiliki maksura.

6
1. Masjid Agung Demak, Demak, Jawa Tengah
Maksura pada Masjid Agung Demak awalnya terdapat di sebelah
kiri mihrab, tetapi diketahui bahwa sekarang maksura tersebut sudah tidak
terdapat di dalam masjid, melainkan sudah dipindahkan ke Museum Masjid
Agung Demak. Ukuran maksura di masjid ini termasuk kecil, yaitu 128 cm
x 182 cm x 319 cm, kurang lebih cukup untuk menampung 3 orang
sekaligus. Maksura yang awalnya diletakkan di samping mihrab ini
dipasang di atas susunan batu bata setinggi 30 cm, posisinya dibuat lebih
tinggi agar dapat menunjukkan eksklusivitas maksura tersebut.
Bahan maksura ini didominasi oleh kayu, dengan beberapa bagian
ditutupi kaca buram berwarna agar orang yang berada di dalamnya masih
dapat melihat keadaan luar. Maksura ini benar-benar tertutup, bahkan
bagian atasnya ditutupi kubah kecil, sehingga maksura ini benar-benar
mampu memberikan perlindungan yang efektif. Seperti maksura di
Kairouan, di bagian dinding atas terdapat ornamentasi berupa hiasan
kaligrafi berbahasa Arab yang artinya maksura tersebut merupakan tempat
salat bagi Raden Tumenggung. Ada kemungkinan besar bahwa maksura ini
merupakan fitur tambahan pada Masjid Agung Demak setelah terjadi
pergantian kekuasaan.
2. Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Cirebon, Jawa Barat
Masjid Agung Sang Cipta Rasa di Cirebon merupakan bagian dari
kompleks Keraton Pakungwati (sekarang Keraton Kasepuhan). Masjid ini
dibangun pada abad 15 atas usulan Sunan Gunung Jati. Keunikan dari
maksura di masjid ini ialah terdapat dua maksura. Hal ini dikarenakan
adanya Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman, sehingga dua maksura
tersebut digunakan untuk Sultan Kasepuhan di sisi kiri mimbar dan untuk
Sultan Kanoman di sisi satunya.
Maksura ini sangat sederhana, berbahan kayu yang saling dipalang
sehingga membentuk motif kotak-kotak dengan rongga yang cukup besar.
Dari segi keamanan, maksura ini tidak terlalu memberikan keamanan

7
karena masih terdapat peluang untuk menusuk sultan apabila cukup dekat
dengan maksura. Dari segi privasi pun maksura ini terlalu terbuka untuk
menciptakan privasi bagi sultan. Kemungkinan besar alasan maksura ini
tidak terlalu tertutup karena keinginan sultan yang ingin lebih dekat dengan
rakyatnya ketika melakukan salat. Eksklusivitas pada maksura ini juga tidak
menonjol karena ornamentasinya sangat minim dan dapat diduga bahwa
keberadaan maksura ini hanya sebagai formalitas untuk sultan.
3. Masjid Agung Yogyakarta (Masjid Gedhe), Daerah Istimewa Yogyakarta
Masjid yang dibangun pada abad 18 ini merupakan bagian dari
kompleks Keraton Ngayogyakarta. Masjid ini memiliki maksura dengan
ukuran yang cukup besar sehingga muat untuk digunakan beberapa orang
secara sekaligus. Dengan ukuran 2,22 m x 2,71 m x 2,25 m, masjid ini cukup
lebar dan panjang. Seperti di Masjid Agung Demak, maksura diletakkan di
atas batu sehingga terdapat perbedaan ketinggian. Maksura ini
menggunakan batu marmer yang sama dengan lantainya. Ketinggian batu
marmer pada dasar maksura ini kurang lebih 30 cm.
Maksura ini juga menggunakan bahan kayu yang diletakkan secara
berpalang sehingga membentuk pola kotak-kotak. Namun, tidak seperti di
Masjid Agung Sang Cipta Rasa, rongganya lebih kecil sehingga dapat
dipastikan bahwa maksura ini lebih aman. Keunikannya adalah ornamentasi
berupa hiasan ceplok bunga yang terdapat di setiap pertemuan palang kayu.
Maksura ini dicat warna hitam dan emas hanya pada ketiga sisi dinding dan
atap, tidak diketahui mengapa sisi dinding satunya tidak dicat.
4. Masjid Pakualaman, Daerah Istimewa Yogyakarta
Masjid Pakualaman merupakan bagian dari kompleks kediaman
keluarga Pakualaman yang merupakan kerabat Kraton Ngayogyakarta.
Istana Pakualaman merupakan istana yang lebih sederhana dibandingkan
dengan Kraton Ngayogyakarta, hal ini juga tampak pada masjidnya. Pada
tahun 1831 M, Sri Paku Alam II membangun pura beserta masjid di sisi
timur, bangunan masjid ini didesain sendiri oleh Sri Paku Alam II dan

8
pembangunannya dibantu oleh Patih Raden Riya Natareja dan Mas
Penghulu Mustahal Nasrahin (Hasim, 2011, p. 218).
Apabila maksura di Masjid Gedhe berwarna hitam dan emas dengan
hiasan bunga ceplok, maka di masjid ini maksuranya berwarna putih gading
dengan hiasan yang lebih minim berupa sulur-suluran di bagian atas pintu
masuk. Maksura di masjid ini termasuk kecil, hanya untuk satu orang saja.
Terdapat perbedaan ketinggian yang ditopang dengan kaki kayu di setiap
sudutnya, hal ini menunjukkan bahwa maksura ini sifatnya lebih mudah
untuk dipindahkan atau portable.

Melalui penjelasan singkat pada keempat masjid tersebut, dapat diketahui


bahwa umumnya maksura-maksura yang berkembang di Jawa tidak memiliki area
yang begitu luas, dan masih menggunakan bahan kayu sebagai bahan utamanya.
Bangunan maksuranya pun kebanyakan masih berupa kerangka kayu berpalang
dengan atap datar. Apabila dibuat perbandingan mengenai maksura yang
berkembang di Timur Tengah dengan yang berkembang di Jawa, tidak ditemukan
perbedaan yang signifikan kecuali mengenai luasan area maksura. Namun,
perbedaan luasan area maksura sangat logis karena luasan masjid di Timur Tengah
dan Jawa pun berbeda jauh. Masjid di Timur Tengah sangat luas dan pada sistem
pemerintahan mereka, terdapat banyak orang yang harus dilindungi seperti para
imam, gubernur, dan khalifah yang sedang memimpin, sehingga area maksura pun
harus cukup untuk menampung dan melindungi mereka ketika melakukan ibadah
salat. Pembangunan masjid tentunya sudah memperhitungkan jumlah umat yang
akan menggunakannya sehingga dapat menampung seluruhnya untuk melakukan
salat bersama. Populasi di Jawa tidak cukup banyak untuk membuat masjid seluas
dan sebesar di Timur Tengah, sehingga luas masjid beserta maksuranya pun lebih
sempit daripada masjid-masjid di Timur Tengah.

Salah satu hal yang dapat dilihat dari perbandingan antara masjid di Timur
Tengah dan Jawa adalah desain maksura akan menyesuaikan kegentingan kondisi.

9
Apabila dibandingkan antara maksura di The Great Mosque of Kairouan yang
dibangun pada abad 11, pada masa itu maksura dibangun untuk melindungi Al-
Muizz ibn Badis dari Ifriqiya yang memperebutkan daerah Kairouan. Demi alasan
perlindungan, dapat dilihat bahwa kerangka maksura menyisakan rongga yang
sangat kecil di bagian atas dan tidak memungkinkan penyerang masuk dan
melakukan upaya pembunuhan. Dinding maksura juga dibuat sangat tinggi
sehingga orang-orang yang melakukan salat di situ tidak dapat melihat para
pengguna maksura. Pada Masjid Agung Demak, maksura juga dibuat sehingga
orang-orang di luar tidak dapat melihat orang di dalamnya. Maksura-maksura pada
Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Masjid Gedhe, dan Masjid Pakualaman, tidak
mengutamakan keamanan karena dari strukturnya sendiri memiliki rongga yang
besar dan rentan bahaya. Bagi penulis, maksura pada ketiga masjid tersebut
menonjolkan fungsinya sebagai lambang status sosial yang disandang para
penguasa. Mereka yang memiliki kekuasaan lebih terhadap orang-orang biasa yang
melakukan saat di masjid tersebut, tidak akan tampak kekuasaannya apabila tidak
ada suatu pembeda. Pembeda tersebut kemudian diwujudkan dalam maksura.
Secara otomatis, maksura menjadi pernyataan kekuasaan yang dimiliki seseorang.
Semakin indah dan megah maksuranya, itulah wujud pencitraan yang ingin
ditampilan para penguasa. Mengenai fungsi privasi, hal ini juga dapat
dielaborasikan dengan fungsinya sebagai penanda status sosial penguasa. Setiap
orang yang menjadi pemimpin orang-orang Muslim tentunya merupakan orang
yang diteladani dari segi agama, ibadah bagi mereka merupakan bentuk
kebaktiannya kepada Allah dan untuk memohon perlindungan bagi rakyat dan
kotanya. Oleh karena itu, apabila mereka membutuhkan ruang yang lebih privat,
tentu hal tersebut sangat logis.

Fungsi maksura yang ditonjolkan dapat berubah-ubah tergantung situasi


yang terjadi dan sifat dari penguasa itu sendiri. Sedikit menyesuaikan pendapat
Hillenbrand, bahwa kemunculan maksura berawal dari fungsinya sebagai simbol
status sosial, privasi, atau perlindungan bagi para penguasa, ketiga fungsi tersebut

10
justru selalu terdapat pada maksura, bukannya terpisah sebagai fungsi yang
sendirian, tetapi fungsi yang mana yang lebih ditonjolkan. Fungsi yang akan
ditonjolkan tersebut akan berbeda-beda tergantung kondisi yang sedang terjadi.
Seperti The Great Mosque of Cordoba, maksura pada masjid tersebut tidak
menekankan fungsi perlindungan, tetapi justru menekankan aspek aestetik untuk
menonjolkan fungsinya sebagai simbol status sosial. Maksura-maksura di Jawa
juga mengalami hal yang sama. Situasi dan kondisi akan mengubah fungsi yang
ditonjolkan dari maksura. Seperti maqsura pada Masjid Pakualaman dan Masjid
Agung Sang Cipta Rasa yang sederhana, bukan menonjolkan fungsinya sebagai
status sosial ataupun sebagai perlindungan, melainkan fungsinya sebagai ruang
privasi para pemimpin saat melakukan ibadahnya. Maqsura pada Masjid Gedhe
merupakan contoh maqsura yang menonjolkan aspek aestetiknya dan statusnya
yang khusus untuk sultan. Maqsura pada Masjid Agung Demak menekankan
fungsinya sebagai perlindungan terhadap para raden.

Melalui keempat masjid ini, dapat diketahui bahwa maksura yang


berkembang di Jawa tidak terbatas pada fungsinya sebagai perlindungan, privasi,
ataupun lambang status sosial. Maksura menjadi apapun yang dibutuhkan para
penguasa dalam memenuhi kegiatan ibadahnya.

11
Kesimpulan

Berdasarkan hasil deskripsi dan analisis yang telah dijelaskan penulis,


ditarik kesimpulan bahwa maksura pada masjid-masjid di Jawa tidak memiliki
perbedaan yang signifikan dengan yang berkembang di Timur Tengah. Beberapa
perbedaan di antara keduanya terjadi karena adanya perbedaan populasi dan
urgensi.

Menjawab masalah yang terdapat di pendahuluan mengenai fungsi maksura


di Jawa yang sebenarnya, pendapat ahli yang paling sesuai ialah pendapat
Hillenbrand. Akan tetapi, di dalam bukunya, ia menyatakan pendapatnya sebagai
tiga dugaan yang berbeda, yaitu sebagai lambang status sosial, privasi, atau hanya
sebagai perlindungan saja. Dalam kasus ini, melalui analisis penulis dapat
disimpulkan bahwa ketiga dugaan Hillenbrand mengenai fungsi maksura justru
selalu terdapat pada maksura. Ketiga fungsi tersebut tidak dapat lepas satu sama
lain dan merupakan suatu integritas dalam mewujudkan citra yang diinginkan dan
dibutuhkan penguasa ketika melakukan salat. Suatu kondisi dan keinginan serta
kebutuhan dari masing-masing penguasa akan berbeda sehingga menghasilkan
maksura yang memiliki fungsi utamanya berbeda satu sama lain. Oleh karena itu,
dapat disimpulkan bahwa fungsi dari maksura-maksura yang berkembang di Jawa
yaitu sebagai lambang status sosial, ruang privasi, dan perlindungan bagi para
penguasa ketika melakukan salat.

12
Lampiran Gambar

Gambar 1: Bagian dalam maksura pada The Great Mosque Kairouan


Sumber: https://ka-perseus-
images.s3.amazonaws.com/a67231e0f82fa28cbeebd081c5e97ea4e9b2a1c4.jpg

Gambar 2: Ornamentasi kaligrafi Kufi pada bagian atas dinding


maksura The Great Mosque Kairouan
Sumber:
https://c1.staticflickr.com/9/8285/7772032912_2e68492a6f_b.jpg

13
Gambar 3: tampak depan
maksura The Great
Mosque of Cordoba
Sumber:
https://classconnection.s3.
amazonaws.com/904/flash
cards/814904/jpg/13-
121323661320294.jpg

Gambar 4: Maksura pada


Masjid Agung Demak
Sumber:
https://www.thearoengbinangpr
oject.com/wp-
content/uploads/2015/09/demak
-3.jpg

14
Gambar 5: tampak depan maksura pada Masjid Gedhe, Yogyakarta
Sumber: dokumentasi pribadi

Gambar 6: maksura pada


Masjid Pakualaman
Sumber: dokumentasi pribadi

15
Gambar 7: maksura Masjid Agung Sang Cipta Rasa
Sumber: http://disporbudpar.cirebonkota.go.id/an-component/media/upload-
galeri/Masjid_Agung_Sang_Cipta_Rasa_6.jpg

16
Daftar Pustaka

Bloom, J., & Blair, S. (2009). Grove Encyclopedia of Islamic Art & Architecture: Three
Volume Set . New York: Oxford University Press, Inc.
Gascoigne, B. (from 2001, ongoing). "History of The Caliphs". Retrieved from History
World:
http://www.historyworld.net/wrldhis/PlainTextHistories.asp?groupid=135&Histo
ryID=aa18&gtrack=pthc
Hasim, M. (2011). Makna Arsitektur Masjid Pakualaman dalam Tinjauan Kosmologi
Jawa. Analisa Volume XVIII No. 02, 211-227.
Hillenbrand, R. (1994). Islamic Architecture. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Insoll, T. (1999). Social Archaeology. In I. Hoddler, The Archaeology of Islam (p. 32).
Oxford: Blackwell Publisher Ltd.
Kebudayaan, D. P. (1999). Masjid Kuna Indonesia. Jakarta: Proyek Pembinaan
Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Pusat.
Khoury, N. N. (1996). The Meaning of The Great Mosque of Cordoba in The 10th
Century. Muqarnas Vol. 13, 80-98.
Kuban, D. (1974). The Mosque and Its Early Development. Leiden: E.J. Brill.
Leacroft, H., & Leacroft, R. (1976). The Buildings of Early Islam. London: Hodder and
Stoughton; Addison-Wesley Publishing Company.
Nees, L. (2016). Perspective on Early Islamic Art in Jerusalem. Leiden: BRILL.
Permana, R. (2014). Universitas Dian Nuswantoro. Retrieved from Universitas Dian
Nuswantoro: http://dinus.ac.id/repository/docs/ajar/SEJARAH-MASUKNYA-
ISLAM-KE-INDONESIA.pdf
Van der Kroef, J. M. (1953). The Arabs in Indonesia. Middle East Journal Vol. 7 No. 3,
300-323.

17

Anda mungkin juga menyukai