Status Sosial?
Pendahuluan
Dipimpin oleh seorang khalifah sejak tahun 632 M, terjadi ekspansi besar-
besaran untuk memperluas jangkauan pengaruh Islam. Dalam perkembangannya,
terdapat banyak khalifah yang menjadi korban pembunuhan ketika sedang
melakukan ibadah di dalam masjid, pada tahun 661 M ketika Mu’awiya dari
keluarga Ummayah menjadi khalifah, ia mengganti sistem pergantian kekhalifahan
yang biasanya melalui pemilihan menjadi hereditas atau berdasarkan keturunan
(Gascoigne, from 2001, ongoing) sehingga terbentuklah Dinasti Ummayah. Secara
otomatis, Mu’awiya menerapkan sistem monarki pada pemerintahan Islam. Fondasi
pemerintahan berbentuk kekaisaran yang dibuat pada tahun 661 inilah yang
menyebabkan munculnya bangunan-bangunan esensial untuk melindungi para
1
penguasa dalam menjalankan pemerintahan (Leacroft & Leacroft, 1976, pp. 22-23).
Bangunan-bangunan tersebut kemudian muncul dalam wujud istana dengan masjid
di dekatnya ataupun di dalam istana yang digunakan para penguasa untuk salat.
Masjid-masjid ini memiliki fitur khusus berupa maksura yang diduga berfungsi
untuk melindungi para penguasa dari upaya pembunuhan ketika berada di dalam
masjid (Leacroft & Leacroft, 1976, p. 5).
2
Deskripsi dan Analisis
3
khusyuk. Maksura sebagai ruang privasi bagi penguasa ketika melakukan salat
menunjukkan eksklusivitas status yang disandang, sehingga pengguna maksura
tersebut tidak harus berinteraksi dengan orang-orang biasa. Dugaan yang ketiga
yaitu maksura sebagai bentuk perlindungan untuk para penguasa dari upaya
pembunuhan. Oleh karena khalifah-khalifah sebelumnya yang meninggal karena
dibunuh ketika melakukan salat, maka sebuah pelindung dibutuhkan untuk
mengamankan para penguasa (khalifah, pejabat, dan imam). Ketika salat, para
penguasa tersebut tidak mungkin dilindungi para pengawalnya karena orang-orang
yang melindungi mereka pun harus melakukan salat sehingga pada saat melakukan
salat bersama orang lain di masjid, para penguasa menjadi rentan terhadap
penyerangan. Khalifah Umar, Ali, dan Uthman terbunuh ketika sedang berada di
dalam masjid bersama dengan orang-orang biasa. Maka dari itu, dibangunlah
maksura sebagai pemisah dan perlindungan. Dugaan yang ketiga ini merupakan
yang secara umum diyakini sebagai alasan dibangunnya maksura di dalam masjid.
Apakah alasan yang sama juga berlaku di Jawa?
4
penyerangan terhadap orang-orang di dalamnya. Terdapat ornamentasi berupa
ukiran kaligrafi Kufi di bagian dinding atas maksura yang berisi ayat-ayat dari al-
Quran dan peristiwa-peristiwa bersejarah (Bloom & Blair, 2009, p. 461). Berbeda
dari maksura pada umumnya, di The Great Mosque of Cordoba yang dibangun
sekitar abad 10, maksura di masjid ini memiliki keunikan tersendiri. Masjid ini
awalnya merupakan sebuah katedral, ketika kekaisaran Ummayah menaklukkan
daerah Spanyol, katedral tersebut kemudian dibagi menjadi dua, sebagian tetap
sebagai katedral dan sebagiannya menjadi milik kaum Muslim. Pada tahun 784 M,
Abd al-Rahman membeli bagian milik Kristen dan akhirnya mengubah keseluruhan
bangunan itu menjadi bangunan Muslim. Keunikan dari maqsura pada masjid di
Cordoba ini yaitu tidak seperti maksura pada umumnya yang terbatas pada sebuah
kotak kecil berdinding kayu untuk beberapa orang saja, tetapi maksura di masjid ini
sangat luas dengan pembatas utama berupa lengkungan megah dengan ukiran yang
dengan jelas menyatakan area tersebut dikhususkan untuk kalangan yang berkuasa
(Khoury, 1996, p. 83). Saat ini maqsura ini telah diberi tambahan berupa pagar besi
untuk memisahkan area salat yang dipakai secara umum.
5
Majapahit yang merupakan seorang Muslim dan sudah mampu menuliskan huruf
Arab. Penggunaan tahun saka, bukannya tahun hijriya seperti yang biasanya
dilakukan orang Islam merupakan bukti kuat bahwa seseorang yang dimakamkan
di situ merupakan orang dari Nusantara. Adanya penaklukkan daerah Gujarat, India
oleh Muizz ad-Din pada tahun 1196 memperkuat pengaruh Islam ke daerah Asia
Tenggara, terutama Indonesia (Van der Kroef, 1953, p. 302). Para pedagang dari
Gujarat yang kebanyakan beragama Islam kemudian menyebarkan agama Islam
ketika sedang berlabuh di Indonesia. Selain para pedagang Gujarat, pedagang dari
Arab juga meramaikan pelabuhan-pelabuhan di Nusantara. Melalui orang-orang
asing yang berlabuh di Nusantara inilah, Islam mulai masuk ke dalam masyarakat.
Proses berdirinya kerajaan Islam di Jawa memakan waktu yang sangat lama,
sehingga proses berdirinya masjid pun juga tidak secepat yang dibayangkan.
Berawal dari Kerajaan Majapahit yang kekuasaannya melemah, para wali songo
yang menyebarkan agama Islam di Jawa menjadikan daerah Demak sebagai pusat
penyebaran Islam. Demak awalnya merupakan salah satu daerah Majapahit, tetapi
akhirnya melepaskan diri pada abad 15 dan oleh Raden Patah didirikan kerajaan
Islam pertama di Jawa, yaitu Kerajaan Demak (Permana, 2014). Sebagai kerajaan
Islam yang tertua di Jawa, Kerajaan Demak memiliki masjid paling awal di Jawa
yang menjadi contoh di daerah-daerah lainnya di Jawa. Di Masjid Agung Demak,
sebagai masjid tertua di Jawa, sudah terdapat fitur maksura di dalamnya, meskipun
tidak semua masjid kuna di Indonesia memiliki maksura, tetapi merupakan fakta
yang cukup menarik bahwa masjid tertua di Jawa sudah memiliki maksura. Hal ini
bisa menjadi petunjuk bahwa mungkin terjadi ketidakstabilan politik, ancaman
pembunuhan yang tinggi terhadap raja, atau bahkan adanya keperluan untuk
menunjukkan eksklusivitas seorang raja. Berikut ini merupakan deksripsi singkat
mengenai beberapa masjid kuna di Indonesia yang memiliki maksura.
6
1. Masjid Agung Demak, Demak, Jawa Tengah
Maksura pada Masjid Agung Demak awalnya terdapat di sebelah
kiri mihrab, tetapi diketahui bahwa sekarang maksura tersebut sudah tidak
terdapat di dalam masjid, melainkan sudah dipindahkan ke Museum Masjid
Agung Demak. Ukuran maksura di masjid ini termasuk kecil, yaitu 128 cm
x 182 cm x 319 cm, kurang lebih cukup untuk menampung 3 orang
sekaligus. Maksura yang awalnya diletakkan di samping mihrab ini
dipasang di atas susunan batu bata setinggi 30 cm, posisinya dibuat lebih
tinggi agar dapat menunjukkan eksklusivitas maksura tersebut.
Bahan maksura ini didominasi oleh kayu, dengan beberapa bagian
ditutupi kaca buram berwarna agar orang yang berada di dalamnya masih
dapat melihat keadaan luar. Maksura ini benar-benar tertutup, bahkan
bagian atasnya ditutupi kubah kecil, sehingga maksura ini benar-benar
mampu memberikan perlindungan yang efektif. Seperti maksura di
Kairouan, di bagian dinding atas terdapat ornamentasi berupa hiasan
kaligrafi berbahasa Arab yang artinya maksura tersebut merupakan tempat
salat bagi Raden Tumenggung. Ada kemungkinan besar bahwa maksura ini
merupakan fitur tambahan pada Masjid Agung Demak setelah terjadi
pergantian kekuasaan.
2. Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Cirebon, Jawa Barat
Masjid Agung Sang Cipta Rasa di Cirebon merupakan bagian dari
kompleks Keraton Pakungwati (sekarang Keraton Kasepuhan). Masjid ini
dibangun pada abad 15 atas usulan Sunan Gunung Jati. Keunikan dari
maksura di masjid ini ialah terdapat dua maksura. Hal ini dikarenakan
adanya Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman, sehingga dua maksura
tersebut digunakan untuk Sultan Kasepuhan di sisi kiri mimbar dan untuk
Sultan Kanoman di sisi satunya.
Maksura ini sangat sederhana, berbahan kayu yang saling dipalang
sehingga membentuk motif kotak-kotak dengan rongga yang cukup besar.
Dari segi keamanan, maksura ini tidak terlalu memberikan keamanan
7
karena masih terdapat peluang untuk menusuk sultan apabila cukup dekat
dengan maksura. Dari segi privasi pun maksura ini terlalu terbuka untuk
menciptakan privasi bagi sultan. Kemungkinan besar alasan maksura ini
tidak terlalu tertutup karena keinginan sultan yang ingin lebih dekat dengan
rakyatnya ketika melakukan salat. Eksklusivitas pada maksura ini juga tidak
menonjol karena ornamentasinya sangat minim dan dapat diduga bahwa
keberadaan maksura ini hanya sebagai formalitas untuk sultan.
3. Masjid Agung Yogyakarta (Masjid Gedhe), Daerah Istimewa Yogyakarta
Masjid yang dibangun pada abad 18 ini merupakan bagian dari
kompleks Keraton Ngayogyakarta. Masjid ini memiliki maksura dengan
ukuran yang cukup besar sehingga muat untuk digunakan beberapa orang
secara sekaligus. Dengan ukuran 2,22 m x 2,71 m x 2,25 m, masjid ini cukup
lebar dan panjang. Seperti di Masjid Agung Demak, maksura diletakkan di
atas batu sehingga terdapat perbedaan ketinggian. Maksura ini
menggunakan batu marmer yang sama dengan lantainya. Ketinggian batu
marmer pada dasar maksura ini kurang lebih 30 cm.
Maksura ini juga menggunakan bahan kayu yang diletakkan secara
berpalang sehingga membentuk pola kotak-kotak. Namun, tidak seperti di
Masjid Agung Sang Cipta Rasa, rongganya lebih kecil sehingga dapat
dipastikan bahwa maksura ini lebih aman. Keunikannya adalah ornamentasi
berupa hiasan ceplok bunga yang terdapat di setiap pertemuan palang kayu.
Maksura ini dicat warna hitam dan emas hanya pada ketiga sisi dinding dan
atap, tidak diketahui mengapa sisi dinding satunya tidak dicat.
4. Masjid Pakualaman, Daerah Istimewa Yogyakarta
Masjid Pakualaman merupakan bagian dari kompleks kediaman
keluarga Pakualaman yang merupakan kerabat Kraton Ngayogyakarta.
Istana Pakualaman merupakan istana yang lebih sederhana dibandingkan
dengan Kraton Ngayogyakarta, hal ini juga tampak pada masjidnya. Pada
tahun 1831 M, Sri Paku Alam II membangun pura beserta masjid di sisi
timur, bangunan masjid ini didesain sendiri oleh Sri Paku Alam II dan
8
pembangunannya dibantu oleh Patih Raden Riya Natareja dan Mas
Penghulu Mustahal Nasrahin (Hasim, 2011, p. 218).
Apabila maksura di Masjid Gedhe berwarna hitam dan emas dengan
hiasan bunga ceplok, maka di masjid ini maksuranya berwarna putih gading
dengan hiasan yang lebih minim berupa sulur-suluran di bagian atas pintu
masuk. Maksura di masjid ini termasuk kecil, hanya untuk satu orang saja.
Terdapat perbedaan ketinggian yang ditopang dengan kaki kayu di setiap
sudutnya, hal ini menunjukkan bahwa maksura ini sifatnya lebih mudah
untuk dipindahkan atau portable.
Salah satu hal yang dapat dilihat dari perbandingan antara masjid di Timur
Tengah dan Jawa adalah desain maksura akan menyesuaikan kegentingan kondisi.
9
Apabila dibandingkan antara maksura di The Great Mosque of Kairouan yang
dibangun pada abad 11, pada masa itu maksura dibangun untuk melindungi Al-
Muizz ibn Badis dari Ifriqiya yang memperebutkan daerah Kairouan. Demi alasan
perlindungan, dapat dilihat bahwa kerangka maksura menyisakan rongga yang
sangat kecil di bagian atas dan tidak memungkinkan penyerang masuk dan
melakukan upaya pembunuhan. Dinding maksura juga dibuat sangat tinggi
sehingga orang-orang yang melakukan salat di situ tidak dapat melihat para
pengguna maksura. Pada Masjid Agung Demak, maksura juga dibuat sehingga
orang-orang di luar tidak dapat melihat orang di dalamnya. Maksura-maksura pada
Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Masjid Gedhe, dan Masjid Pakualaman, tidak
mengutamakan keamanan karena dari strukturnya sendiri memiliki rongga yang
besar dan rentan bahaya. Bagi penulis, maksura pada ketiga masjid tersebut
menonjolkan fungsinya sebagai lambang status sosial yang disandang para
penguasa. Mereka yang memiliki kekuasaan lebih terhadap orang-orang biasa yang
melakukan saat di masjid tersebut, tidak akan tampak kekuasaannya apabila tidak
ada suatu pembeda. Pembeda tersebut kemudian diwujudkan dalam maksura.
Secara otomatis, maksura menjadi pernyataan kekuasaan yang dimiliki seseorang.
Semakin indah dan megah maksuranya, itulah wujud pencitraan yang ingin
ditampilan para penguasa. Mengenai fungsi privasi, hal ini juga dapat
dielaborasikan dengan fungsinya sebagai penanda status sosial penguasa. Setiap
orang yang menjadi pemimpin orang-orang Muslim tentunya merupakan orang
yang diteladani dari segi agama, ibadah bagi mereka merupakan bentuk
kebaktiannya kepada Allah dan untuk memohon perlindungan bagi rakyat dan
kotanya. Oleh karena itu, apabila mereka membutuhkan ruang yang lebih privat,
tentu hal tersebut sangat logis.
10
justru selalu terdapat pada maksura, bukannya terpisah sebagai fungsi yang
sendirian, tetapi fungsi yang mana yang lebih ditonjolkan. Fungsi yang akan
ditonjolkan tersebut akan berbeda-beda tergantung kondisi yang sedang terjadi.
Seperti The Great Mosque of Cordoba, maksura pada masjid tersebut tidak
menekankan fungsi perlindungan, tetapi justru menekankan aspek aestetik untuk
menonjolkan fungsinya sebagai simbol status sosial. Maksura-maksura di Jawa
juga mengalami hal yang sama. Situasi dan kondisi akan mengubah fungsi yang
ditonjolkan dari maksura. Seperti maqsura pada Masjid Pakualaman dan Masjid
Agung Sang Cipta Rasa yang sederhana, bukan menonjolkan fungsinya sebagai
status sosial ataupun sebagai perlindungan, melainkan fungsinya sebagai ruang
privasi para pemimpin saat melakukan ibadahnya. Maqsura pada Masjid Gedhe
merupakan contoh maqsura yang menonjolkan aspek aestetiknya dan statusnya
yang khusus untuk sultan. Maqsura pada Masjid Agung Demak menekankan
fungsinya sebagai perlindungan terhadap para raden.
11
Kesimpulan
12
Lampiran Gambar
13
Gambar 3: tampak depan
maksura The Great
Mosque of Cordoba
Sumber:
https://classconnection.s3.
amazonaws.com/904/flash
cards/814904/jpg/13-
121323661320294.jpg
14
Gambar 5: tampak depan maksura pada Masjid Gedhe, Yogyakarta
Sumber: dokumentasi pribadi
15
Gambar 7: maksura Masjid Agung Sang Cipta Rasa
Sumber: http://disporbudpar.cirebonkota.go.id/an-component/media/upload-
galeri/Masjid_Agung_Sang_Cipta_Rasa_6.jpg
16
Daftar Pustaka
Bloom, J., & Blair, S. (2009). Grove Encyclopedia of Islamic Art & Architecture: Three
Volume Set . New York: Oxford University Press, Inc.
Gascoigne, B. (from 2001, ongoing). "History of The Caliphs". Retrieved from History
World:
http://www.historyworld.net/wrldhis/PlainTextHistories.asp?groupid=135&Histo
ryID=aa18>rack=pthc
Hasim, M. (2011). Makna Arsitektur Masjid Pakualaman dalam Tinjauan Kosmologi
Jawa. Analisa Volume XVIII No. 02, 211-227.
Hillenbrand, R. (1994). Islamic Architecture. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Insoll, T. (1999). Social Archaeology. In I. Hoddler, The Archaeology of Islam (p. 32).
Oxford: Blackwell Publisher Ltd.
Kebudayaan, D. P. (1999). Masjid Kuna Indonesia. Jakarta: Proyek Pembinaan
Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Pusat.
Khoury, N. N. (1996). The Meaning of The Great Mosque of Cordoba in The 10th
Century. Muqarnas Vol. 13, 80-98.
Kuban, D. (1974). The Mosque and Its Early Development. Leiden: E.J. Brill.
Leacroft, H., & Leacroft, R. (1976). The Buildings of Early Islam. London: Hodder and
Stoughton; Addison-Wesley Publishing Company.
Nees, L. (2016). Perspective on Early Islamic Art in Jerusalem. Leiden: BRILL.
Permana, R. (2014). Universitas Dian Nuswantoro. Retrieved from Universitas Dian
Nuswantoro: http://dinus.ac.id/repository/docs/ajar/SEJARAH-MASUKNYA-
ISLAM-KE-INDONESIA.pdf
Van der Kroef, J. M. (1953). The Arabs in Indonesia. Middle East Journal Vol. 7 No. 3,
300-323.
17