Trend teknologi
Faktor pentingny
Sejarah waduk saguling
Waduk Saguling adalah waduk buatan yang terletak di Kabupaten Bandung Barat pada ketinggian
643 m di atas permukaan laut.[1] Waduk ini merupakan salah satu dari tiga waduk yang
membendung aliran Sungai Citarum yang merupakan sungai terbesar di Jawa Barat. Dua waduk
lainnya adalah Waduk Jatiluhur dan Waduk Cirata.
Semula, Waduk Saguling direncanakan hanya untuk keperluan menghasilkan tenaga listrik. Pada
tahap pertama pembangkit tenaga listrik yang dipasang berkapasitas 700 MW, tetapi bila di
kemudian hari ada peningkatan kebutuhan listrik pembangkit dapat ditingkatkan hingga mencapai
1.400 MW. Badan yang bertanggungjawab dalam pembangunannya adalah Proyek Induk
Pembangkit Hidro (PIKITDRO) dari Perusahaan Listrik Negara (PLN), Depatemen Pertambangan
dan Energi (sekarang menjadiDepartemen Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia.
Selanjutnya, dengan mempertimbangkan permasalahan lingkungan di daerah itu, Saguling ditata-
ulang sebagai bendungan multiguna, termasuk untuk kegunaan pengembangan lain seperti
perikanan, agri-akuakultur, pariwisata, dan lain-lain. Sekarang, waduk ini juga digunakan untuk
kebutuhan lokal seperti mandi, mencuci, bahkan untuk membuang kotoran. Hal ini membuat Waduk
Saguling kondisinya lebih mengkhawatirkan ketimbang Waduk Cirata dan Waduk Jatiluhur yang
sudah dibangun lebih dahulu. Hal tersebut terjadi karena sebagai pintu pertama Sungai Citarum, di
Saguling inilah semua kotoran "disaring" untuk pertama kali sebelum kemudian disaring kembali
oleh Waduk Cirata dan terakhir oleh Waduk Jatiluhur.[2]
Daerah di sekitar Waduk Saguling berupa perbukitan, dengan banyak sumber air yang berkontribusi
pada waduk. Hal tersebut membuat bentuk Waduk Saguling sangat tidak beraturan dengan banyak
teluk. Daerah waduk ini asalnya adalah berupa daerah pertanian. Daerah perikanan dari waduk
berhadapan dengan tekanan kuat dari populasi penduduk. Hal tersebut terjadi karena 50% dari
populasi terdiri dari petani dengan tingkat pertumbuhan tinggi. Peningkatan populasi petani tersebut
mengakibatkan berkurangnya lahan yang dapat diolah sehingga memaksa mereka
mengembangkan lahan pertanian mereka dengan melakukan pembabatan hutan. Sebagai
konsekuensinya, muncul masalah banjir dan longsor di musim hujan. Institut Ekologi di Bandung
telah mempelajari hal ini sejak tahun 1978, terutama tentang kondisi dasar daerah ini dan
pemantauan serta pengelolaan lingkungan untuk meningkatkan standar hidup penduduk.
2.1 Waduk Saguling
Lokasi : Kabupaten
Bandung Barat
Luas Area : 53 Km2
Daya Tampung: 609 juta m3
Kedalaman : 92 m
Sumber Air : Sungai Citarum
Waduk Saguling merupakan salah satu waduk buatan yang membendung aliran Sungai
Citarum, selain Waduk Jatiluhur dan Cirata. Waduk Saguling terletak di Kabupaten Bandung
Barat, dan berada di posisi teratas, yang berarti merupakan pintu pertama bagi aliran Sungai
Citarum. Waduk Saguling terletak sekitar 30 km sebelah barat Kotamadya Bandung. Lokasi
Waduk Saguling daerahnya sangat ideal untuk dibangun Waduk PLTA karena memiliki
topografi yang berbukit sehingga dapat menghasilkan head yang tinggi dan memiliki curah hujan
yang tinggi. Waduk Saguling sendiri mendapat aliran dari Sungai Citarum yang mengalir
sepanjang sekitar 270 kilometer dengan cakupan seluas 6.540 kilometer persegi dengan Elevasi
Waduk Saguling adalah +643 m di atas permukaan air laut.
Struktur bangunan Waduk Saguling terbuat dari urukan batu dengan inti kedap air. Hal ini
dilakukan untuk efisiensi dana dengan memanfaatkan potensi batu dari Gunung Karang yang ada
di sekitar Saguling. Waduk Saguling pun dibuat dengan ketinggian muka air maksimum 643
meter sehingga bisa menampung 875 juta meter kubik air. Saguling dipasangi empat turbin
pembangkit listrik masing-masing berkapasitas 175,18 MW yang akan menghasilkan 700-720
kilowatts per jam. Seiring berjalannya waktu dimanfaatkan juga sebagai tempat budidaya ikan
dalam keramba jaring apung (KJA), pertanian dan pariwisata, bahkan juga dimanfaatkan untuk
tempat pembuangan limbah. Perubahan peruntukan Waduk tersebut berdampak pada
peningkatan kepadatan penduduk sekitar Waduk yang bermata pencaharian bertani secara
ekstensif dan pembudidaya di KJA. Adanya perubahan peruntukan tersebut berakibat pada
percepatan penurunan kualitas perairan Waduk Saguling (Wangsaatmaja, 2004).
Aliran air sungai yang menjadi sumber pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Saguling
hingga saat ini kualitasnya semakin menurun, bahkan kandungan gas ammonium dari air sungai
yang tercemar itu telah berdampak pada kerusakan komponen dan peralatan PLTA Saguling
karena terjadi korosifitas dan mempengaruhi usia dan peralatan. Pencemaran air sungai yang
dihasilkan dari industri ataupun pemukiman yang ada di Bandung Raya itu terindikasi dengan
bau gas yang menyengat di kawasan PLTA Saguling.
2.4 Fitoplankton
Fitoplankton merupakan kelompok yang memegang peranan sangat penting dalam
ekosistem air, karena kelompok ini memiliki kandungan klorofil sehingga mampu melakukan
fotosintesis. Proses fotosintesis pada ekosistem air yang dilakukan oleh fitoplankton (produsen),
merupakan sumber nutrisi utama bagi kelompok organisme air lainnya yang berpera sebagai
konsumen, dimulai dari zooplankton dan diikuti oleh kelompok organism lainnya yang
membentuk rantai makanan. Dalam ekosistem air hasil dari fotosintesis yang dilakukan oleh
fitoplankton bersama dengan tumbuhan air lainnya disebut sebagai produktivitas primer.
Fitoplankton terutama hidup pada laposan perairan yang mendapat cahaya matahari yang
dibutuhkan untuk proses fotosintesis (Barus, 2004, hlm: 26).
Peran utama fitoplankton dalam ekosistem air tawar adalah sebagai produsen primer.
Sebagai produsen, fitoplankton merupakan makanan bagi komponen ekosistem lainnya khusunya
ikan. Posisinya di dasar piramida makanan mempertahankan kesehatan lingkungan air. Bila ada
gangguan terhadap fitoplankton, maka seketika komunitas lain akan terpengaruh. Komposisi
fitoplankton bergantung pada kualitas air, karena itu jenis alga tertentu dapat digunakan sebagai
indikator eutrofikasi air. Keasaman air juga mempengaruhi kelimpahan fitoplankton (Monk et al,
2000, hlm: 174).
2.6.1. Suhu
Suhu merupakan controling factor (faktor pengendali) bagi proses respirasi dan
metabolisme biota akuatik yang berlanjut terhadap pertumbuhan dan proses fisiologi serta siklus
reproduksinya (Hutabarat dan Evans, 1986). Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim,
lintang, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta kedalaman dari badan air. Perubahan
suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, dan biologi di badan air. Peningkatan suhu
mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan volatilisasi. Selain itu,
peningkatan suhu air juga mengakibatkan penurunan kelarutan gas dalam air seperti O2, CO2, N2,
dan CH4.