Anda di halaman 1dari 88

Pengertian Saklar Listrik dan Cara

Kerjanya
Dickson Kho Komponen Elektronika

Pengertian Saklar Listrik dan Cara Kerjanya – Saklar atau lebih tepatnya adalah Saklar
listrik adalah suatu komponen atau perangkat yang digunakan untuk memutuskan atau
menghubungkan aliran listrik. Saklar yang dalam bahasa Inggris disebut dengan Switch ini
merupakan salah satu komponen atau alat listrik yang paling sering digunakan. Hampir
semua peralatan Elektronika dan Listrik memerlukan Saklar untuk menghidupkan atau
mematikan alat listrik yang digunakan.

Berikut ini beberapa contoh penggunaan saklar di peralatan-peralatan listrik maupun


elektronik :

 Tombol ON/OFF dan Volume Up Down di Ponsel


 Tombol ON/OFF di TV, Tombol-tombol di Remote TV
 Saklar dinding untuk menghidupkan dan mematikan lampu listrik
 Tombol ON/OFF di Laptop atau Komputer
 Tombol-tombol Keyboard pada Laptop atau Komputer
 Tombol ON/OFF dan Tombol pilihan kecepatan di Kipas Angin
 Dan masih banyak lagi.

Cara Kerja Saklar Listrik


Pada dasarnya, sebuah Saklar sederhana terdiri dari dua bilah konduktor (biasanya adalah
logam) yang terhubung ke rangkaian eksternal, Saat kedua bilah konduktor tersebut
terhubung maka akan terjadi hubungan arus listrik dalam rangkaian. Sebaliknya, saat kedua
konduktor tersebut dipisahkan maka hubungan arus listrik akan ikut terputus.
Saklar yang paling sering ditemukan adalah Saklar yang dioperasikan oleh tangan manusia
dengan satu atau lebih pasang kontak listrik. Setiap pasangan kontak umumnya terdiri dari 2
keadaan atau disebut dengan “State”. Kedua keadaan tersebut diantaranya adalah Keadaan
“Close” atau “Tutup” dan Keadaan “Open” atau “Buka”. Close artinya terjadi sambungan
aliran listrik sedangkan Open adalah terjadinya pemutusan aliran listrik.

Berdasarkan dua keadaan tersebut, Saklar pada umumnya menggunakan istilah Normally
Open (NO) untuk Saklar yang berada pada keadaan Terbuka (Open) pada kondisi awal.
Ketika ditekan, Saklar yang Normally Open (NO) tersebut akan berubah menjadi keadaan
Tertutup (Close) atau “ON”. Sedangkan Normally Close (NC) adalah saklar yang berada
pada keadaan Tertutup (Close) pada kondisi awal dan akan beralih ke keadaan Terbuka
(Open) ketika ditekan.

Pole dan Throw Saklar


Saklar Listrik dapat digolongkan berdasarkan jumlah Kontak dan Kondisi yang dimilikinya.
Jumlah Kontak dan kondisi yang dimiliki tersebut biasanya disebut dengan istilah “Pole” dan
“Throw”.

Pole adalah banyaknya Kontak yang dimiliki oleh sebuah saklar sedangkan Throw adalah
banyaknya kondisi yang dimiliki oleh sebuah Saklar.

Berikut ini adalah beberapa contoh jenis Saklar Listrik yang digolongkan berdasarkan Pole
dan Throw :

 SPST : Single Pole Single Throw, yaitu Saklar ON/OFF yang paling sederhana
dengan hanya memiliki 2 Terminal. Contohnya Saklar Listrik ON/OFF pada lampu.
 SPDT : Single Pole Double Throw, yaitu Saklar yang memiliki 3 Terminal. Saklar
jenis ini dapat digunakan sebagai Saklar Pemilih. Contohnya Saklar pemilih
Tegangan Input Adaptor yaitu 110V atau 220V.
 DPST : Double Pole Single Throw, yaitu saklar yang memiliki 4 Terminal. DPST
dapat diartikan sebagai 2 Saklar SPST yang dikendalikan dalam satu mekanisme.
 DPDT : Double Pole Double Throw, yaitu saklar yang memiliki 6 Terminal. DPDT
dapat diartikan sebagai 2 Saklar SPDT yang dikendalikan dalam satu mekanisme.
 SP6T : Single Pole Six Throw, yaitu saklar yang memilki 7 Terminal yang pada
umumnya berfungsi sebagai Saklar pemilih. Jenis Saklar ini banyak ditemui dalam
Rangkaian Adaptor yang dapat memilih berbagai Tegangan Output, misalnya pilihan
output 1,5V, 3V, 4,5V, 6V, 9V dan 12V.

Berikut ini adalah Simbol Saklar berdasarkan jumlah Pole dan Throw-nya.
Selain jenis-jenis Pole dan Throw diatas, adanya juga 1P3T, 2P6T, TPST dan masih banyak
lagi tergantung keperluan dan penerapannya.

Cara Menggunakan Multimeter /


Multitester
Dickson Kho Pengujian Komponen
Cara Menggunakan Multimeter – Multimeter adalah alat yang berfungsi untuk mengukur
Voltage (Tegangan), Ampere (Arus Listrik), dan Ohm (Hambatan/resistansi) dalam satu unit.
Multimeter sering disebut juga dengan istilah Multitester atau AVOMeter (singkatan dari
Ampere Volt Ohm Meter). Terdapat 2 jenis Multimeter dalam menampilkan hasil
pengukurannya yaitu Analog Multimeter (AMM) dan Digital Multimeter (DMM).

Sehubungan dengan tuntutan akan keakurasian nilai pengukuran dan kemudahan


pemakaiannya serta didukung dengan harga yang semakin terjangkau, Digital Multimeter
(DMM) menjadi lebih populer dan lebih banyak dipergunakan oleh para Teknisi Elektronika
ataupun penghobi Elektronika.

Dengan perkembangan teknologi, kini sebuah Multimeter atau Multitester tidak hanya dapat
mengukur Ampere, Voltage dan Ohm atau disingkat dengan AVO, tetapi dapat juga
mengukur Kapasitansi, Frekuensi dan Induksi dalam satu unit (terutama pada Multimeter
Digital). Beberapa kemampuan pengukuran Multimeter yang banyak terdapat di pasaran
antara lain :

 Voltage (Tegangan) AC dan DC satuan pengukuran Volt


 Current (Arus Listrik) satuan pengukuran Ampere
 Resistance (Hambatan) satuan pengukuran Ohm
 Capacitance (Kapasitansi) satuan pengukuran Farad
 Frequency (Frekuensi) satuan pengukuran Hertz
 Inductance (Induktansi) satuan pengukuran Henry
 Pengukuran atau Pengujian Dioda
 Pengukuran atau Pengujian Transistor

Bagian-bagian penting Multimeter


Multimeter atau multitester pada umumnya terdiri dari 3 bagian penting, diantanya adalah :

1. Display
2. Saklar Selektor
3. Probe
Gambar dibawah ini adalah bentuk Multimeter Analog dan Multimeter Digital beserta
bagian-bagian pentingnya.

Cara Menggunakan Multimeter untuk Mengukur


Tegangan, Arus listrik dan Resistansi
Berikut ini cara menggunakan Multimeter untuk mengukur beberapa fungsi dasar Multimeter
seperti Volt Meter (mengukur tegangan), Ampere Meter (mengukur Arus listrik) dan Ohm
Meter (mengukur Resistansi atau Hambatan)

1. Cara Mengukur Tegangan DC (DC Voltage)


1. Atur Posisi Saklar Selektor ke DCV
2. Pilihlah skala sesuai dengan perkiraan tegangan yang akan diukur. Jika ingin
mengukur 6 Volt, putar saklar selector ke 12 Volt (khusus Analog Multimeter)
**Jika tidak mengetahui tingginya tegangan yang diukur, maka disarankan untuk
memilih skala tegangan yang lebih tinggi untuk menghindari terjadi kerusakan pada
multimeter.
3. Hubungkan probe ke terminal tegangan yang akan diukur. Probe Merah pada terminal
Positif (+) dan Probe Hitam ke terminal Negatif (-). Hati-hati agar jangan sampai
terbalik.
4. Baca hasil pengukuran di Display Multimeter.
2. Cara Mengukur Tegangan AC (AC Voltage)
1. Atur Posisi Saklar Selektor ke ACV
2. Pilih skala sesuai dengan perkiraan tegangan yang akan diukur. Jika ingin mengukur
220 Volt, putar saklar selector ke 300 Volt (khusus Analog Multimeter)
**Jika tidak mengetahui tingginya tegangan yang diukur, maka disarankan untuk
memilih skala tegangan yang tertinggi untuk menghindari terjadi kerusakan pada
multimeter.
3. Hubungkan probe ke terminal tegangan yang akan diukur. Untuk Tegangan AC, tidak
ada polaritas Negatif (-) dan Positif (+)
4. Baca hasil pengukuran di Display Multimeter.
3. Cara Mengukur Arus Listrik (Ampere)
1. Atur Posisi Saklar Selektor ke DCA
2. Pilih skala sesuai dengan perkiraan arus yang akan diukur. Jika Arus yang akan
diukur adalah 100mA maka putarlah saklar selector ke 300mA (0.3A). Jika Arus yang
diukur melebihi skala yang dipilih, maka sekering (fuse) dalam Multimeter akan
putus. Kita harus menggantinya sebelum kita dapat memakainya lagi.
3. Putuskan Jalur catu daya (power supply) yang terhubung ke beban,
4. Kemudian hubungkan probe Multimeter ke terminal Jalur yang kita putuskan tersebut.
Probe Merah ke Output Tegangan Positif (+) dan Probe Hitam ke Input Tegangan (+)
Beban ataupun Rangkaian yang akan kita ukur. Untuk lebih jelas, silakan lihat gambar
berikut ini.
5. Baca hasil pengukuran di Display Multimeter
4. Cara Mengukur Resistor (Ohm)
1. Atur Posisi Saklar Selektor ke Ohm (Ω)
2. Pilih skala sesuai dengan perkiraan Ohm yang akan diukur. Biasanya diawali ke tanda
“X” yang artinya adalah “Kali”. (khusus Multimeter Analog)
3. Hubungkan probe ke komponen Resistor, tidak ada polaritas, jadi boleh terbalik.
4. Baca hasil pengukuran di Display Multimeter. (Khusus untuk Analog Multimeter,
diperlukan pengalian dengan setting di langkah ke-2)
Pengertian dan Bunyi Hukum Coulomb
Dickson Kho Teori Elektronika

Pengertian dan Bunyi Hukum Coulomb – Ilmu Listrik dan Ilmu Elektronika merupakan
ilmu yang mempelajari tentang fenomena fisika yang berhubungan dengan aliran muatan
listrik. Yang dimaksud dengan Muatan listrik adalah muatan dasar yang dimiliki oleh suatu
benda, yang membuatnya mengalami gaya pada benda lain yang juga memiliki muatan listrik
dan berada pada jarak yang berdekatan. Satuan Muatan Listrik adalah Coulomb yang
biasanya dilambangkan dengan huruf C. Sedangkan Muatan Listrik sering disimbolkan
dengan Q dalam Rumus-rumus Elektronika.

Istilah Coulomb ini berasal dari penemunya yang bernama Charles Augustin de Coulomb,
yaitu seorang ahli fisika Perancis yang berhasil menemukan teori bahwa Muatan listrik pada
dasarnya terdiri dari dua jenis yaitu muatan positif (+) dan muatan negatif (-). Di antara dua
muatan ini akan terjadi interaksi tarik menarik pada muatan yang berbeda jenis sedangkan
akan terjadi interaksi tolak menolak pada muatan yang sama jenis. Teori tersebut kemudian
dikenal dengan Hukum Coulomb (Coulomb Law). Hukum Coulumb ini pertama kali
dipublikasikan oleh Charles Augustin de Coulumb pada tahun 1784.

Bunyi Hukum Coulomb


Berdasarkan penemuan Charles Augustin de Coulomb yang disebutkan diatas, maka bunyi
dari Hukum Coulomb adalah sebagai berikut :

“Gaya pada Muatan akan saling tarik-menarik apabila kedua muatan tidak sejenis,
dan akan saling tolak-menolak apabila kedua muatan sejenis”.

Jadi pada dasarnya, Hukum Coulomb adalah Hukum yang menjelaskan hubungan antara gaya
yang timbul antara dua titik muatan, yang terpisahkan pada jarak tertentu dengan nilai muatan
dan jarak pisah keduanya.
Hukum Coulomb dan Arus Listrik
Arus Listrik adalah Muatan Listrik yang mengalir dengan satuan pengukurannya adalah
Ampere (A). Besarnya arus listrik atau Kuat arus listrik adalah sebanding dengan dengan
banyaknya muatan listrik yang mengalir. Kuat Arus listrik merupakan kecepatan aliran
muatan listrik sehingga Kuat Arus Listrik dapat diartikan sebagai jumlah muatan listrik yang
melalui penampang suatu penghantar setiap satuan waktu.

Secara matematis, Hubungan Muatan Listrik, Kuat Arus Listrik dan Kecepatan aliran arus
listrik dapat ditulis menjadi rumus seperti berikut ini :

I=Q/t

Atau

Q=I.t

Dimana :

I = Kuat Arus Listrik, dalam satuan Ampere (A)


Q = Muatan Listrik, dalam satuan Coulomb (C)
t = Waktu atau Kecepatan aliran arus listrik, dalam satuan detik atau second (s)

Dari Rumus atau Persamaan diatas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa pada dasarnya 1
Coulumb adalah sama dengan 1 Ampere Second (As).

1C = 1 As

Contoh Kasus :

Sebuah Baterai Rechargeable (Baterai isi ulang) diisi dengan arus listrik sebesar 0,5A selama
8 Jam, berapakah muatan listrik setelah waktu pengisian tersebut?

Penyelesaian :

I = 0,5A
t = 8 jam atau 28.800 detik
Q=?

Q=I.t
Q = 0,5 . 28.800
Q = 14.400 Coulomb

Jadi Muatan listriknya adalah sebesar 14.400 Coulomb.

Pengertian Transformator (Trafo) dan


Prinsip Kerjanya
Dickson Kho Komponen Elektronika

Pengertian Transformator (Trafo) dan Prinsip kerjanya – Hampir setiap rumah di Kota
maupun Desa dialiri listrik yang berarus 220V di Indonesia. Dengan adanya arus 220V ini,
kita dapat menikmati serunya drama Televisi, terangnya Cahaya Lampu Pijar maupun Lampu
Neon, mengisi ulang handphone dan juga menggunakan peralatan dapur lainnya seperti
Kulkas, Rice Cooker, Mesin Cuci dan Microwave Oven. Arus listrik 220V ini merupakan
jenis arus bolak-balik (AC atau Alternating Current) yang berasal dari Perusahaan Listrik
yaitu PLN. Tegangan listrik yang dihasilkan oleh PLN pada umumnya dapat mencapai
puluhan hingga ratusan kilo Volt dan kemudian diturunkan menjadi 220V seperti yang kita
gunakan sekarang dengan menggunakan sebuah alat yang dinamakan Transformator.
Transformator disebut juga dengan Transformer.

Pengertian Transformator (Trafo)


Transformator atau sering disingkat dengan istilah Trafo adalah suatu alat listrik yang dapat
mengubah taraf suatu tegangan AC ke taraf yang lain. Maksud dari pengubahan taraf tersebut
diantaranya seperti menurunkan Tegangan AC dari 220VAC ke 12 VAC ataupun menaikkan
Tegangan dari 110VAC ke 220 VAC. Transformator atau Trafo ini bekerja berdasarkan
prinsip Induksi Elektromagnet dan hanya dapat bekerja pada tegangan yang berarus bolak
balik (AC).Transformator (Trafo) memegang peranan yang sangat penting dalam
pendistribusian tenaga listrik. Transformator menaikan listrik yang berasal dari pembangkit
listrik PLN hingga ratusan kilo Volt untuk di distribusikan, dan kemudian Transformator
lainnya menurunkan tegangan listrik tersebut ke tegangan yang diperlukan oleh setiap rumah
tangga maupun perkantoran yang pada umumnya menggunakan Tegangan AC 220Volt.

Bentuk dan Simbol Transformator (Trafo)


Berikut ini adalah gambar bentuk dan simbol Transformator :
Prinsip Kerja Transformator (Trafo)
Sebuah Transformator yang sederhana pada dasarnya terdiri dari 2 lilitan atau kumparan
kawat yang terisolasi yaitu kumparan primer dan kumparan sekunder. Pada kebanyakan
Transformator, kumparan kawat terisolasi ini dililitkan pada sebuah besi yang dinamakan
dengan Inti Besi (Core). Ketika kumparan primer dialiri arus AC (bolak-balik) maka akan
menimbulkan medan magnet atau fluks magnetik disekitarnya. Kekuatan Medan magnet
(densitas Fluks Magnet) tersebut dipengaruhi oleh besarnya arus listrik yang dialirinya.
Semakin besar arus listriknya semakin besar pula medan magnetnya. Fluktuasi medan magnet
yang terjadi di sekitar kumparan pertama (primer) akan menginduksi GGL (Gaya Gerak
Listrik) dalam kumparan kedua (sekunder) dan akan terjadi pelimpahan daya dari kumparan
primer ke kumparan sekunder. Dengan demikian, terjadilah pengubahan taraf tegangan listrik
baik dari tegangan rendah menjadi tegangan yang lebih tinggi maupun dari tegangan tinggi
menjadi tegangan yang rendah.

Sedangkan Inti besi pada Transformator atau Trafo pada umumnya adalah kumpulan
lempengan-lempengan besi tipis yang terisolasi dan ditempel berlapis-lapis dengan
kegunaanya untuk mempermudah jalannya Fluks Magnet yang ditimbulkan oleh arus listrik
kumparan serta untuk mengurangi suhu panas yang ditimbulkan.

Beberapa bentuk lempengan besi yang membentuk Inti Transformator tersebut diantaranya
seperti :

 E – I Lamination
 E – E Lamination
 L – L Lamination
 U – I Lamination
Dibawah ini adalah Fluks pada Transformator :

Rasio lilitan pada kumparan sekunder terhadap kumparan primer menentukan rasio tegangan
pada kedua kumparan tersebut. Sebagai contoh, 1 lilitan pada kumparan primer dan 10 lilitan
pada kumparan sekunder akan menghasilkan tegangan 10 kali lipat dari tegangan input pada
kumparan primer. Jenis Transformator ini biasanya disebut dengan Transformator Step Up.
Sebaliknya, jika terdapat 10 lilitan pada kumparan primer dan 1 lilitan pada kumparan
sekunder, maka tegangan yang dihasilkan oleh Kumparan Sekunder adalah 1/10 dari
tegangan input pada Kumparan Primer. Transformator jenis ini disebut dengan Transformator
Step Down.

Pengertian dan Fungsi Induktor beserta


Jenis-jenisnya
Dickson Kho Komponen Elektronika
Pengertian dan Fungsi Induktor beserta jenis-jenisnya – Selain Resistor dan Kapasitor,
Induktor juga merupakan komponen Elektronika Pasif yang sering ditemukan dalam
Rangkaian Elektronika, terutama pada rangkaian yang berkaitan dengan Frekuensi Radio.
Induktor atau dikenal juga dengan Coil adalah Komponen Elektronika Pasif yang terdiri dari
susunan lilitan Kawat yang membentuk sebuah Kumparan. Pada dasarnya, Induktor dapat
menimbulkan Medan Magnet jika dialiri oleh Arus Listrik. Medan Magnet yang ditimbulkan
tersebut dapat menyimpan energi dalam waktu yang relatif singkat. Dasar dari sebuah
Induktor adalah berdasarkan Hukum Induksi Faraday.

Kemampuan Induktor atau Coil dalam menyimpan Energi Magnet disebut dengan Induktansi
yang satuan unitnya adalah Henry (H). Satuan Henry pada umumnya terlalu besar untuk
Komponen Induktor yang terdapat di Rangkaian Elektronika. Oleh Karena itu, Satuan-satuan
yang merupakan turunan dari Henry digunakan untuk menyatakan kemampuan induktansi
sebuah Induktor atau Coil. Satuan-satuan turunan dari Henry tersebut diantaranya adalah
milihenry (mH) dan microhenry (µH). Simbol yang digunakan untuk melambangkan
Induktor dalam Rangkaian Elektronika adalah huruf “L”.

Simbol Induktor
Berikut ini adalah Simbol-simbol Induktor :
Nilai Induktansi sebuah Induktor (Coil) tergantung pada 4 faktor, diantaranya adalah :

 Jumlah Lilitan, semakin banyak lilitannya semakin tinggi Induktasinya


 Diameter Induktor, Semakin besar diameternya semakin tinggi pula induktansinya
 Permeabilitas Inti, yaitu bahan Inti yang digunakan seperti Udara, Besi ataupun
Ferit.
 Ukuran Panjang Induktor, semakin pendek inductor (Koil) tersebut semakin tinggi
induktansinya.

Jenis-jenis Induktor (Coil)


Berdasarkan bentuk dan bahan inti-nya, Induktor dapat dibagi menjadi beberapa jenis,
diantaranya adalah :

 Air Core Inductor – Menggunakan Udara sebagai Intinya


 Iron Core Inductor – Menggunakan bahan Besi sebagai Intinya
 Ferrite Core Inductor – Menggunakan bahan Ferit sebagai Intinya
 Torroidal Core Inductor – Menggunakan Inti yang berbentuk O Ring (bentuk
Donat)
 Laminated Core Induction – Menggunakan Inti yang terdiri dari beberapa lapis
lempengan logam yang ditempelkan secara paralel. Masing-masing lempengan logam
diberikan Isolator.
 Variable Inductor – Induktor yang nilai induktansinya dapat diatur sesuai dengan
keinginan. Inti dari Variable Inductor pada umumnya terbuat dari bahan Ferit yang
dapat diputar-putar.

Fungsi Induktor (Coil) dan Aplikasinya


Fungsi-fungsi Induktor atau Coil diantaranya adalah dapat menyimpan arus listrik dalam
medan magnet, menapis (Filter) Frekuensi tertentu, menahan arus bolak-balik (AC),
meneruskan arus searah (DC) dan pembangkit getaran serta melipatgandakan tegangan.

Berdasarkan Fungsi diatas, Induktor atau Coil ini pada umumnya diaplikasikan :
 Sebagai Filter dalam Rangkaian yang berkaitan dengan Frekuensi
 Transformator (Transformer)
 Motor Listrik
 Solenoid
 Relay
 Speaker
 Microphone

Induktor sering disebut juga dengan Coil (Koil), Choke ataupun Reaktor.

Rangkaian Seri dan Paralel Induktor serta


Cara Menghitungnya
Dickson Kho Teori Elektronika

Rangkaian Seri dan Paralel Induktor serta Cara Menghitungnya – Seperti halnya
Komponen Pasif lainnya (Kapasitor dan Resistor), Induktor atau Coil juga dapat dirangkai
secara seri dan paralel untuk mendapatkan nilai Induktansi yang diinginkan. Induktor adalah
komponen pasif elektronika yang terdiri lilitan kawat dan mampu menyimpan energi pada
medan magnet yang ditimbulkan oleh arus listrik yang melewatinya. Kemampuan
penyimpanan energi pada medan magnet ini disebut dengan Induktansi dengan satuan
unitnya Henry yang dilambangkan dengan huruf “H”.

Perlu diketahui bahwa tidak semua nilai Induktansi diproduksi secara massal oleh produsen.
Oleh karena itu, untuk mendapatkan nilai induktansi yang diinginkan kita dapat merangkai
dua atau lebih induktor secara seri maupun paralel.

Rangkaian Seri Induktor


Rangkaian Seri Induktor adalah sebuah rangkaian yang terdiri dari 2 atau lebih induktor yang
disusun sejajar atau berbentuk seri. Rangkaian Seri Induktor ini menghasilkan nilai
Induktansi yang merupakan penjumlahan dari semua Induktor yang dirangkai secara seri ini.

Rumus Rangkaian Seri Induktor


Rumus Rangkaian Seri Induktor adalah sebagai berikut :

Ltotal = L1 + L2 + L3 + ….. + Ln

Dimana :
Ltotal = Total Nilai Induktor
L1 = Induktor ke-1
L2 = Induktor ke-2
L3 = Induktor ke-3
Ln = Induktor ke-n

Contoh Kasus Rangkaian Seri Induktor

Berdasarkan gambar contoh rangkaian Seri Induktor diatas, diketahui bahwa nilai Induktor :

L1 = 100nH
L2 = 470nH
L3 = 30nH
Ltotal= ?

Penyelesaiannya

Ltotal = L1 + L2 + L3
Ltotal = 100nH + 470nH + 30nH
Ltotal = 600nH

Rangkaian Paralel Induktor


Rangkaian Paralel Induktor adalah sebuah rangkaian yang terdiri 2 atau lebih Induktor yang
dirangkai secara berderet atau berbentuk Paralel.

Rumus Rangkaian Paralel Induktor


Rumus Rangkaian Paralel Induktor adalah sebagai berikut :

1/Ltotal = 1/L1 + 1/L2 + 1/L3 + ….. + 1/Ln

Dimana :
Ltotal = Total Nilai Induktor
L1 = Induktor ke-1
L2 = Induktor ke-2
L3 = Induktor ke-3
Ln = Induktor ke-n

Contoh Kasus Perhitungan Rangkaian Paralel

Berdasarkan gambar contoh rangkaian Paralel Induktor diatas, diketahui bahwa nilai
Induktor :

L1 = 100nH
L2 = 300nH
L3 = 30nH
Ltotal= ?

Penyelesaiannya

1/Ltotal = 1/L1 + 1/L2 + 1/L3


1/Ltotal = 1/100nH + 1/300nH + 1/30nH
1/Ltotal = 3/300 + 1/300 + 10/300
1/Ltotal = 14/300
1/Ltotal = 14 x L = 1 x 300 (hasil kali silang)
1/Ltotal = 300/14
1/Ltotal = 21,428nH

Pengertian Relay dan Fungsinya


Dickson Kho Komponen Elektronika

Pengertian Relay dan Fungsinya – Relay adalah Saklar (Switch) yang dioperasikan secara
listrik dan merupakan komponen Electromechanical (Elektromekanikal) yang terdiri dari 2
bagian utama yakni Elektromagnet (Coil) dan Mekanikal (seperangkat Kontak
Saklar/Switch). Relay menggunakan Prinsip Elektromagnetik untuk menggerakkan Kontak
Saklar sehingga dengan arus listrik yang kecil (low power) dapat menghantarkan listrik yang
bertegangan lebih tinggi. Sebagai contoh, dengan Relay yang menggunakan Elektromagnet
5V dan 50 mA mampu menggerakan Armature Relay (yang berfungsi sebagai saklarnya)
untuk menghantarkan listrik 220V 2A.

Gambar Bentuk dan Simbol Relay


Dibawah ini adalah gambar bentuk Relay dan Simbol Relay yang sering ditemukan di
Rangkaian Elektronika.

Prinsip Kerja Relay


Pada dasarnya, Relay terdiri dari 4 komponen dasar yaitu :

1. Electromagnet (Coil)
2. Armature
3. Switch Contact Point (Saklar)
4. Spring
Berikut ini merupakan gambar dari bagian-bagian Relay :

Kontak Poin (Contact Point) Relay terdiri dari 2 jenis yaitu :

 Normally Close (NC) yaitu kondisi awal sebelum diaktifkan akan selalu berada di
posisi CLOSE (tertutup)
 Normally Open (NO) yaitu kondisi awal sebelum diaktifkan akan selalu berada di
posisi OPEN (terbuka)

Berdasarkan gambar diatas, sebuah Besi (Iron Core) yang dililit oleh sebuah kumparan Coil
yang berfungsi untuk mengendalikan Besi tersebut. Apabila Kumparan Coil diberikan arus
listrik, maka akan timbul gaya Elektromagnet yang kemudian menarik Armature untuk
berpindah dari Posisi sebelumnya (NC) ke posisi baru (NO) sehingga menjadi Saklar yang
dapat menghantarkan arus listrik di posisi barunya (NO). Posisi dimana Armature tersebut
berada sebelumnya (NC) akan menjadi OPEN atau tidak terhubung. Pada saat tidak dialiri
arus listrik, Armature akan kembali lagi ke posisi Awal (NC). Coil yang digunakan oleh
Relay untuk menarik Contact Poin ke Posisi Close pada umumnya hanya membutuhkan arus
listrik yang relatif kecil.

Arti Pole dan Throw pada Relay


Karena Relay merupakan salah satu jenis dari Saklar, maka istilah Pole dan Throw yang
dipakai dalam Saklar juga berlaku pada Relay. Berikut ini adalah penjelasan singkat
mengenai Istilah Pole and Throw :

 Pole : Banyaknya Kontak (Contact) yang dimiliki oleh sebuah relay


 Throw : Banyaknya kondisi yang dimiliki oleh sebuah Kontak (Contact)
Berdasarkan penggolongan jumlah Pole dan Throw-nya sebuah relay, maka relay dapat
digolongkan menjadi :

 Single Pole Single Throw (SPST) : Relay golongan ini memiliki 4 Terminal, 2
Terminal untuk Saklar dan 2 Terminalnya lagi untuk Coil.
 Single Pole Double Throw (SPDT) : Relay golongan ini memiliki 5 Terminal, 3
Terminal untuk Saklar dan 2 Terminalnya lagi untuk Coil.
 Double Pole Single Throw (DPST) : Relay golongan ini memiliki 6 Terminal,
diantaranya 4 Terminal yang terdiri dari 2 Pasang Terminal Saklar sedangkan 2
Terminal lainnya untuk Coil. Relay DPST dapat dijadikan 2 Saklar yang dikendalikan
oleh 1 Coil.
 Double Pole Double Throw (DPDT) : Relay golongan ini memiliki Terminal
sebanyak 8 Terminal, diantaranya 6 Terminal yang merupakan 2 pasang Relay SPDT
yang dikendalikan oleh 1 (single) Coil. Sedangkan 2 Terminal lainnya untuk Coil.

Selain Golongan Relay diatas, terdapat juga Relay-relay yang Pole dan Throw-nya melebihi
dari 2 (dua). Misalnya 3PDT (Triple Pole Double Throw) ataupun 4PDT (Four Pole Double
Throw) dan lain sebagainya.

Untuk lebih jelas mengenai Penggolongan Relay berdasarkan Jumlah Pole dan Throw,
silakan lihat gambar dibawah ini :
Fungsi-fungsi dan Aplikasi Relay
Beberapa fungsi Relay yang telah umum diaplikasikan kedalam peralatan Elektronika
diantaranya adalah :

1. Relay digunakan untuk menjalankan Fungsi Logika (Logic Function)


2. Relay digunakan untuk memberikan Fungsi penundaan waktu (Time Delay Function)
3. Relay digunakan untuk mengendalikan Sirkuit Tegangan tinggi dengan bantuan dari
Signal Tegangan rendah.
4. Ada juga Relay yang berfungsi untuk melindungi Motor ataupun komponen lainnya
dari kelebihan Tegangan ataupun hubung singkat (Short).

Cara Mengukur Relay dengan


Menggunakan Multimeter
Dickson Kho Pengujian Komponen

Cara Mengukur Relay dengan Menggunakan Multimeter – Pada artikel sebelumnya telah
menjelaskan Prinsip kerja Relay beserta fungsi-fungsinya. Pada artikel ini kita akan
membahas tentang cara untuk mengukur atau menguji Relay dengan menggunakan
Multimeter. Pada dasarnya, Relay merupakan Komponen Elektromechanical yang terdiri dari
sebuah Coil (Lilitan), seperangkat Kontak yang membentuk Saklar (Switch) dan juga Kaki-
kaki Terminal penghubung. Dengan kata lain, Relay adalah saklar yang dioperasikan secara
Elektronik. Baca juga : Pengertian Relay dan Fungsinya.

Terdapat 2 kondisi Kontak pada Relay yaitu Kondisi NO (Normally Open) dan NC
(Normally Close). Kontak yang selalu berada pada posisi OPEN (Terbuka) saat Relay tidak
diaktifkan disebut dengan NO (Normally Open). Sedangkan Kontak yang selalu berada pada
posisi CLOSE (Tertutup) saat Relay tidak diaktifkan disebut dengan NC (Normally Close).

Cara Mengukur Relay dengan Multimeter


Kita dapat menggunakan Multimeter Analog maupun Multimeter Digital untuk mengukur
atau menguji apakan Relay yang ingin kita uji tersebut dalam kondisi baik ataupun tidak.
Kondisi yang diukur diantaranya adalah Nilai Resistansi Coil Relay dan juga kondisi Kontak
Poin (Contact Point) saat diaktifkan maupun saat tidak diaktifkan. Untuk lebih akurat, kita
memerlukan Power Supply untuk mengaktifkan Relay yang bersangkutan (contohnya Baterai
9V).

Berikut ini adalah cara untuk Mengukur Relay dengan menggunakan Multimeter Digital :

Pengukuran pada Kondisi Relay tidak diaktifkan :

1. Aturlah posisi Saklar Multimeter pada posisi Ohm (Ω)


2. Hubungkan salah satu Probe Multimeter pada Terminal “COM” dan Probe lainnya di
Terminal NC (Normally Close), pastikan nilai yang ditunjukan pada Display
Multimeter adalah “0” Ohm. Kondisi tersebut menandakan antara Terminal “COM”
dan Terminal NC terhubung dengan baik (Short).
3. Pindahkan Probe Multimeter yang berada di Terminal NC ke Terminal NO (Normally
Open), pastikan nilai yang ditunjukan pada Display Multimeter adalah “Tak
terhingga”. Kondisi tersebut menandakan antara Terminal “COM” dan Terminal NO
tidak memiliki hubungan atau dalam kondisi Open dengan baik.

4. Hubungkan Probe Multimeter ke Terminal Coil (2 Point) untuk mengukur nilai


Resistansi Coil apakah sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan oleh pembuat Relay
tersebut (spesifikasi Manufakturer).

Pengukuran pada Kondisi Relay diaktifkan :

1. Sekarang aktifkanlah Relay dengan menghubungkan arus listrik sesuai dengan


tegangan Relay-nya. Misalnya dengan menggunakan baterai 9V untuk meng-aktif-
kannya.
2. Akan terdengar suara “klik” saat Relay tersebut aktif setelah dialiri arus listrik. Suara
“Klik” menandakan Kontak Poin telah berpindah dari posisi NC ke posisi NO.
3. Pastikan Posisi Saklar Multimeter masih berada di posisi Ohm (Ω)
4. Hubungkan salah satu Probe Multimeter pada Terminal “COM” dan Probe lainnya di
NC (Normally Close), pastikan nilai yang ditunjukan pada Display adalah “Tak
terhingga”. Kondisi tersebut menandakan antara Terminal “COM” dan Terminal NC
tidak memiliki hubungan sama sekali pada saat Relay diaktifkan atau dalam kondisi
Open dengan baik.
5. Pindah Probe Multimeter yang berada di Terminal NC ke NO (Normally Open),
pastikan nilai yang ditunjukan pada Display Multimeter adalah “0” Ohm. Kondisi
tersebut menandakan antara Terminal “COM” dan Terminal NO terhubung dengan
baik pada saat Relay diaktifkan.

Pengertian Piezoelectric Buzzer dan Cara


Kerjanya
Dickson Kho Komponen Elektronika

Pengertian Piezoelectric Buzzer dan Cara Kerjanya – Buzzer Listrik adalah sebuah
komponen elektronika yang dapat mengubah sinyal listrik menjadi getaran suara. Pada
umumnya, Buzzer yang merupakan sebuah perangkat audio ini sering digunakan pada
rangkaian anti-maling, Alarm pada Jam Tangan, Bel Rumah, peringatan mundur pada Truk
dan perangkat peringatan bahaya lainnya. Jenis Buzzer yang sering ditemukan dan digunakan
adalah Buzzer yang berjenis Piezoelectric, hal ini dikarenakan Buzzer Piezoelectric memiliki
berbagai kelebihan seperti lebih murah, relatif lebih ringan dan lebih mudah dalam
menggabungkannya ke Rangkaian Elektronika lainnya. Buzzer yang termasuk dalam
keluarga Transduser ini juga sering disebut dengan Beeper.

Efek Piezoelectric (Piezoelectric Effect) pertama kali ditemukan oleh dua orang fisikawan
Perancis yang bernama Pierre Curie dan Jacques Curie pada tahun 1880. Penemuan tersebut
kemudian dikembangkan oleh sebuah perusahaan Jepang menjadi Piezo Electric Buzzer dan
mulai populer digunakan sejak 1970-an.

Cara Kerja Piezoelectric Buzzer


Seperti namanya, Piezoelectric Buzzer adalah jenis Buzzer yang menggunakan efek
Piezoelectric untuk menghasilkan suara atau bunyinya. Tegangan listrik yang diberikan ke
bahan Piezoelectric akan menyebabkan gerakan mekanis, gerakan tersebut kemudian diubah
menjadi suara atau bunyi yang dapat didengar oleh telinga manusia dengan menggunakan
diafragma dan resonator.

Berikut ini adalah gambar bentuk dan struktur dasar dari sebuah Piezoelectric Buzzer.

Jika dibandingkan dengan Speaker, Piezo Buzzer relatif lebih mudah untuk digerakan.
Sebagai contoh, Piezo Buzzer dapat digerakan hanya dengan menggunakan output langsung
dari sebuah IC TTL, hal ini sangat berbeda dengan Speaker yang harus menggunakan
penguat khusus untuk menggerakan Speaker agar mendapatkan intensitas suara yang dapat
didengar oleh manusia.

Piezo Buzzer dapat bekerja dengan baik dalam menghasilkan frekuensi di kisaran 1 – 5 kHz
hingga 100 kHz untuk aplikasi Ultrasound. Tegangan Operasional Piezoelectric Buzzer yang
umum biasanya berkisar diantara 3Volt hingga 12 Volt.
Cara Mengukur Thermistor PTC dan NTC
dengan Multimeter
Dickson Kho Pengujian Komponen

Cara Mengukur Thermistor PTC dan NTC dengan Multimeter – Thermistor (NTC/PTC)
merupakan jenis resistor yang nilai resistansinya dapat dipengaruhi oleh suhu atau temperatur
di sekitarnya. Untuk menguji atau mengukur apakah sebuah Thermistor NTC maupun PTC
dapat berfungsi dengan baik atau tidak, kita dapat menggunakan Multimeter Digital ataupun
Multimeter Analog dengan bantuan alat pemanas seperti solder listrik (soldering iron),
Pengering rambut (Hair dryer) atau jenis-jenis pemanas (Heater) lainnya. Selain dapat
mengukur atau menguji Thermistor, kita juga dapat membedakan jenis Thermistor yang yang
kita ukur/uji tersebut apakah merupakan jenis Thermistor PTC (Positive Temperature
Coefficient) atau jenis Thermistor NTC (Negative Temperature Coefficient).

Berikut ini adalah cara untuk mengukur Thermistor NTC dan PTC dengan menggunakan
Multimeter :

Cara Mengukur Thermistor PTC


(Positive Temperature Coefficient)
1. Atur Posisi Saklar Multimeter pada posisi Ohm (Ω)
2. Hubungkan Probe pada Kaki Thermistor (Thermistor tidak memiliki Polaritas)
3. Dekatkan Mata Solder (Soldering Tip) yang panas ke Thermistor (pastikan jangan
menyentuh Thermistor, karena akan merusak bungkusan Thermistor).
4. Perhatikan Display Multimeter, nilai Resistansinya akan naik sebanding dengan suhu
tinggi disekitarnya.
* Kita juga dapat menggunakan Hair Dryer atau pemanas lainnya untuk menaikkan suhu
disekitar Thermistor.

Cara Mengukur Thermistor NTC


(Negative Temperature Coefficient)
1. Atur Posisi Saklar Multimeter pada posisi Ohm (Ω)
2. Hubungkan Probe pada Kaki Thermistor (Thermistor tidak memiliki Polaritas)
3. Dekatkan Mata Solder (Soldering Tip) yang panas ke Thermistor (pastikan jangan
menyentuh Thermistor, karena akan merusak bungkusan Thermistor).
4. Perhatikan Display pada Multimeter, nilai Resistansi akan turun sebanding dengan suhu
tinggi disekitarnya.
* Kita juga dapat menggunakan Hair Dryer atau pemanas lainnya untuk menaikkan suhu
disekitar Thermistor.

Thermistor dinyatakan Rusak atau tidak dapat berfungsi sebagai mestinya apabila saat
pengukurannya terjadi kondisi seperti dibawah ini :

 Nilai pada Multimeter selalu berada di posisi “0” saat diukur, hal ini artinya Thermistor
tersebut “Short” atau terjadi “hubungan singkat”. Nilai pada Multimeter selalu berada
di posisi “Tak terhingga / infinity” saat diukur, hal ini artinya Thermistor tersebut
“Open” atau “Putus”.
 Nilai pada Multimeter tidak stabil atau menunjukan pada nilai tertentu tetapi tidak turun
ataupun naik maka Thermistor tersebut juga dalam kondisi Rusak.

Jika kita ingin mengetahui apakah jenis Thermistor yang diukur tersebut adalah jenis
Thermistor PTC atau NTC, maka kita dapat mengetahuinya dengan cara membaca nilai
resistansi Thermistor yang bersangkutan pada saat diukur. Jika nilai resistansinya naik pada
suhu panas, maka Thermistor yang diukur tersebut adalah Thermistor jenis PTC. Sedangkan
jika nilai resitansinya menurun ketika suhu disekitarnya tinggi (panas) maka jenis Thermistor
tersebut adalah NTC.

Untuk lebih tepat dan jelas mengetahui karakteristik dari Thermistor kita dapat membaca data
sheet yang disediakan oleh Produsennya dengan men-download data sheet tersebut dari situs
produsennya. Baca juga : Pengertian Thermistor (PTC/NTC) dan Karakteristiknya.
Jenis-jenis Komponen Elektronika beserta
Fungsi dan Simbolnya
Dickson Kho Komponen Elektronika

Jenis-jenis Komponen Elektronika beserta Fungsi dan Simbolnya – Peralatan Elektronika


adalah sebuah peralatan yang terbentuk dari beberapa Jenis Komponen Elektronika dan
masing-masing Komponen Elektronika tersebut memiliki fungsi-fungsinya tersendiri di dalam
sebuah Rangkaian Elektronika. Seiring dengan perkembangan Teknologi, komponen-
komponen Elektronika makin bervariasi dan jenisnya pun bertambah banyak. Tetapi
komponen-komponen dasar pembentuk sebuah peralatan Elektronika seperti Resistor,
Kapasitor, Transistor, Dioda, Induktor dan IC masih tetap digunakan hingga saat ini.

Jenis-jenis Komponen Elektronika


Berikut ini merupakan Fungsi dan Jenis-jenis Komponen Elektronika dasar yang sering
digunakan dalam Peralatan Elektronika beserta simbolnya.

A. Resistor

Resistor atau disebut juga dengan Hambatan adalah Komponen Elektronika Pasif yang
berfungsi untuk menghambat dan mengatur arus listrik dalam suatu rangkaian Elektronika.
Satuan Nilai Resistor atau Hambatan adalah Ohm (Ω). Nilai Resistor biasanya diwakili dengan
Kode angka ataupun Gelang Warna yang terdapat di badan Resistor. Hambatan Resistor sering
disebut juga dengan Resistansi atau Resistance.

Jenis-jenis Resistor diantaranya adalah :


1. Resistor yang Nilainya Tetap
2. Resistor yang Nilainya dapat diatur, Resistor Jenis ini sering disebut juga dengan
Variable Resistor ataupun Potensiometer.
3. Resistor yang Nilainya dapat berubah sesuai dengan intensitas cahaya, Resistor jenis
ini disebut dengan LDR atau Light Dependent Resistor
4. Resistor yang Nilainya dapat berubah sesuai dengan perubahan suhu, Resistor jenis ini
disebut dengan PTC (Positive Temperature Coefficient) dan NTC (Negative
Temperature Coefficient)

Gambar dan Simbol Resistor :

B. Kapasitor (Capacitor)

Kapasitor atau disebut juga dengan Kondensator adalah Komponen Elektronika Pasif yang
dapat menyimpan energi atau muatan listrik dalam sementara waktu. Fungsi-fungsi Kapasitor
(Kondensator) diantaranya adalah dapat memilih gelombang radio pada rangkaian Tuner,
sebagai perata arus pada rectifier dan juga sebagai Filter di dalam Rangkaian Power Supply
(Catu Daya). Satuan nilai untuk Kapasitor (Kondensator) adalah Farad (F)
Jenis-jenis Kapasitor diantaranya adalah :

1. Kapasitor yang nilainya Tetap dan tidak ber-polaritas. Jika didasarkan pada bahan
pembuatannya maka Kapasitor yang nilainya tetap terdiri dari Kapasitor Kertas,
Kapasitor Mika, Kapasitor Polyster dan Kapasitor Keramik.
2. Kapasitor yang nilainya Tetap tetapi memiliki Polaritas Positif dan Negatif, Kapasitor
tersebut adalah Kapasitor Elektrolit atau Electrolyte Condensator (ELCO) dan
Kapasitor Tantalum
3. Kapasitor yang nilainya dapat diatur, Kapasitor jenis ini sering disebut dengan Variable
Capasitor.

Gambar dan Simbol Kapasitor :

C. Induktor (Inductor)

Induktor atau disebut juga dengan Coil (Kumparan) adalah Komponen Elektronika Pasif yang
berfungsi sebagai Pengatur Frekuensi, Filter dan juga sebagai alat kopel (Penyambung).
Induktor atau Coil banyak ditemukan pada Peralatan atau Rangkaian Elektronika yang
berkaitan dengan Frekuensi seperti Tuner untuk pesawat Radio. Satuan Induktansi untuk
Induktor adalah Henry (H).
Jenis-jenis Induktor diantaranya adalah :

1. Induktor yang nilainya tetap


2. Induktor yang nilainya dapat diatur atau sering disebut dengan Coil Variable.

Gambar dan Simbol Induktor :


D. Dioda (Diode)

Diode adalah Komponen Elektronika Aktif yang berfungsi untuk menghantarkan arus listrik
ke satu arah dan menghambat arus listrik dari arah sebaliknya. Diode terdiri dari 2 Elektroda
yaitu Anoda dan Katoda.
Berdasarkan Fungsi Dioda terdiri dari :

1. Dioda Biasa atau Dioda Penyearah yang umumnya terbuat dari Silikon dan berfungsi
sebagai penyearah arus bolak balik (AC) ke arus searah (DC).
2. Dioda Zener (Zener Diode) yang berfungsi sebagai pengamanan rangkaian setelah
tegangan yang ditentukan oleh Dioda Zener yang bersangkutan. Tegangan tersebut
sering disebut dengan Tegangan Zener.
3. LED (Light Emitting Diode) atau Diode Emisi Cahaya yaitu Dioda yang dapat
memancarkan cahaya monokromatik.
4. Dioda Foto (Photo Diode) yaitu Dioda yang peka dengan cahaya sehingga sering
digunakan sebagai Sensor.
5. Dioda Schottky (SCR atau Silicon Control Rectifier) adalah Dioda yang berfungsi
sebagai pengendali .
6. Dioda Laser (Laser Diode) yaitu Dioda yang dapat memancar cahaya Laser. Dioda
Laser sering disingkat dengan LD.

Gambar dan Simbol Dioda:


E. Transistor

Transistor merupakan Komponen Elektronika Aktif yang memiliki banyak fungsi dan
merupakan Komponen yang memegang peranan yang sangat penting dalam dunia Elektronik
modern ini. Beberapa fungsi Transistor diantaranya adalah sebagai Penguat arus, sebagai
Switch (Pemutus dan penghubung), Stabilitasi Tegangan, Modulasi Sinyal, Penyearah dan lain
sebagainya. Transistor terdiri dari 3 Terminal (kaki) yaitu Base/Basis (B), Emitor (E) dan
Collector/Kolektor (K). Berdasarkan strukturnya, Transistor terdiri dari 2 Tipe Struktur yaitu
PNP dan NPN. UJT (Uni Junction Transistor), FET (Field Effect Transistor) dan MOSFET
(Metal Oxide Semiconductor FET) juga merupakan keluarga dari Transistor.

Gambar dan Simbol Transistor :


F. IC (Integrated Circuit)

IC (Integrated Circuit) adalah Komponen Elektronika Aktif yang terdiri dari gabungan ratusan
bahkan jutaan Transistor, Resistor dan komponen lainnya yang diintegrasi menjadi sebuah
Rangkaian Elektronika dalam sebuah kemasan kecil. Bentuk IC (Integrated Circuit) juga
bermacam-macam, mulai dari yang berkaki 3 (tiga) hingga ratusan kaki (terminal). Fungsi IC
juga beraneka ragam, mulai dari penguat, Switching, pengontrol hingga media penyimpanan.
Pada umumnya, IC adalah Komponen Elektronika dipergunakan sebagai Otak dalam sebuah
Peralatan Elektronika. IC merupakan komponen Semi konduktor yang sangat sensitif terhadap
ESD (Electro Static Discharge).
Sebagai Contoh, IC yang berfungsi sebagai Otak pada sebuah Komputer yang disebut sebagai
Microprocessor terdiri dari 16 juta Transistor dan jumlah tersebut belum lagi termasuk
komponen-komponen Elektronika lainnya.

Gambar dan Simbol IC (Integrated Circuit) :

G. Saklar (Switch)

Saklar adalah Komponen yang digunakan untuk menghubungkan dan memutuskan aliran
listrik. Dalam Rangkaian Elektronika, Saklar sering digunakan sebagai ON/OFF dalam
peralatan Elektronika.
Gambar dan Simbol Saklar (Switch) :

Pengertian Resistor dan Jenis-jenisnya


Dickson Kho Komponen Elektronika

Pengertian Resistor dan Jenis-jenisnya – Resistor merupakan salah satu komponen yang
paling sering ditemukan dalam Rangkaian Elektronika. Hampir setiap peralatan Elektronika
menggunakannya. Pada dasarnya Resistor adalah komponen Elektronika Pasif yang memiliki
nilai resistansi atau hambatan tertentu yang berfungsi untuk membatasi dan mengatur arus
listrik dalam suatu rangkaian Elektronika. Resistor atau dalam bahasa Indonesia sering disebut
dengan Hambatan atau Tahanan dan biasanya disingkat dengan Huruf “R”. Satuan Hambatan
atau Resistansi Resistor adalah OHM (Ω). Sebutan “OHM” ini diambil dari nama penemunya
yaitu Georg Simon Ohm yang juga merupakan seorang Fisikawan Jerman.

Untuk membatasi dan mengatur arus listrik dalam suatu rangkaian Elektronika, Resistor
bekerja berdasarkan Hukum Ohm. Untuk lebih jelas mengenai Hukum Ohm, silakan baca :
Pengertian, rumus dan bunyi Hukum Ohm.

Jenis-jenis Resistor
Pada umumnya Resistor dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis, diantaranya adalah
Fixed Resistor, Variable Resistor, Thermistor dan LDR.

A. Fixed Resistor

Fixed Resistor adalah jenis Resistor yang memiliki nilai resistansinya tetap. Nilai Resistansi
atau Hambatan Resistor ini biasanya ditandai dengan kode warna ataupun kode Angka. Anda
dapat membaca artikel : Cara Menghitung Nilai Resistor berdasarkan Kode Angka dan Kode
Warna.

Bentuk dan Simbol Fixed Resistor :

Yang tergolong dalam Kategori Fixed Resistor berdasarkan Komposisi bahan pembuatnya
diantaranya adalah :

Carbon Composition Resistor (Resistor Komposisi Karbon)

Resistor jenis Carbon Composistion ini terbuat dari komposisi karbon halus yang dicampur
dengan bahan isolasi bubuk sebagai pengikatnya (binder) agar mendapatkan nilai resistansi
yang diinginkan. Semakin banyak bahan karbonnya semakin rendah pula nilai resistansi atau
nilai hambatannya.
Nilai Resistansi yang sering ditemukan di pasaran untuk Resistor jenis Carbon Composistion
Resistor ini biasanya berkisar dari 1Ω sampai 200MΩ dengan daya 1/10W sampai 2W.

Carbon Film Resistor (Resistor Film Karbon)

Resistor Jenis Carbon Film ini terdiri dari filem tipis karbon yang diendapkan Subtrat isolator
yang dipotong berbentuk spiral. Nilai resistansinya tergantung pada proporsi karbon dan
isolator. Semakin banyak bahan karbonnya semakin rendah pula nilai resistansinya.
Keuntungan Carbon Film Resistor ini adalah dapat menghasilkan resistor dengan toleransi
yang lebih rendah dan juga rendahnya kepekaan terhadap suhu jika dibandingkan dnegan
Carbon Composition Resistor.

Nilai Resistansi Carbon Film Resistor yang tersedia di pasaran biasanya berkisar diantara 1Ω
sampai 10MΩ dengan daya 1/6W hingga 5W. Karena rendahnya kepekaan terhadap suhu,
Carbon Film Resistor dapat bekerja di suhu yang berkisar dari -55°C hingga 155°C.

Metal Film Resistor (Resistor Film Logam)

Metal Film Resistor adalah jenis Resistor yang dilapisi dengan Film logam yang tipis ke Subtrat
Keramik dan dipotong berbentuk spiral. Nilai Resistansinya dipengaruhi oleh panjang,
lebar dan ketebalan spiral logam.

Secara keseluruhan, Resistor jenis Metal Film ini merupakan yang terbaik diantara jenis-jenis
Resistor yang ada (Carbon Composition Resistor dan Carbon Film Resistor).

B. Variable Resistor

Variable Resistor adalah jenis Resistor yang nilai resistansinya dapat berubah dan diatur sesuai
dengan keinginan. Pada umumnya Variable Resistor terbagi menjadi Potensiometer, Rheostat
dan Trimpot.

Bentuk dan Simbol Variable

Resistor :
Potensiometer

Potensiometer merupakan jenis Variable Resistor yang nilai resistansinya dapat berubah-ubah
dengan cara memutar porosnya melalui sebuah Tuas yang terdapat pada Potensiometer. Nilai
Resistansi Potensiometer biasanya tertulis di badan Potensiometer dalam bentuk kode angka.

Rheostat

Rheostat merupakan jenis Variable Resistor yang dapat beroperasi pada Tegangan dan Arus
yang tinggi. Rheostat terbuat dari lilitan kawat resistif dan pengaturan Nilai Resistansi
dilakukan dengan penyapu yang bergerak pada bagian atas Toroid.

Preset Resistor (Trimpot)

Preset Resistor atau sering juga disebut dengan Trimpot (Trimmer Potensiometer) adalah jenis
Variable Resistor yang berfungsi seperti Potensiometer tetapi memiliki ukuran yang lebih kecil
dan tidak memiliki Tuas. Untuk mengatur nilai resistansinya, dibutuhkan alat bantu seperti
Obeng kecil untuk dapat memutar porosnya.

C. Thermistor (Thermal Resistor)

Thermistor adalah Jenis Resistor yang nilai resistansinya dapat dipengaruhi oleh suhu
(Temperature). Thermistor merupakan Singkatan dari “Thermal Resistor”. Terdapat dua jenis
Thermistor yaitu Thermistor NTC (Negative Temperature Coefficient) dan Thermistor PTC
(Positive Temperature Coefficient).

Bentuk dan Simbol Thermistor :

D. LDR (Light Dependent Resistor)


LDR atau Light Dependent Resistor adalah jenis Resistor yang nilai Resistansinya dipengaruhi
oleh intensitas Cahaya yang diterimanya. Untuk lebih jelas mengenai LDR, Silakan baca :
Pengertian LDR dan Cara Mengukurnya.

Bentuk dan Simbol LDR

Pengertian, Rumus dan Bunyi Hukum


Ohm
Dickson Kho Teori Elektronika

Pengertian, Rumus dan Bunyi Hukum Ohm –


Dalam Ilmu Elektronika, Hukum dasar Elektronika yang wajib dipelajari dan dimengerti oleh
setiap Engineer Elektronika ataupun penghobi Elektronika adalah Hukum Ohm, yaitu Hukum
dasar yang menyatakan hubungan antara Arus Listrik (I), Tegangan (V) dan Hambatan (R).
Hukum Ohm dalam bahasa Inggris disebut dengan “Ohm’s Laws”. Hukum Ohm pertama kali
diperkenalkan oleh seorang fisikawan Jerman yang bernama Georg Simon Ohm (1789-1854)
pada tahun 1825. Georg Simon Ohm mempublikasikan Hukum Ohm tersebut pada Paper
yang berjudul “The Galvanic Circuit Investigated Mathematically” pada tahun 1827.

Bunyi Hukum Ohm


Pada dasarnya, bunyi dari Hukum Ohm adalah :

“Besar arus listrik (I) yang mengalir melalui sebuah penghantar atau Konduktor akan
berbanding lurus dengan beda potensial / tegangan (V) yang diterapkan kepadanya dan
berbanding terbalik dengan hambatannya (R)”.

Secara Matematis, Hukum Ohm dapat dirumuskan menjadi persamaan seperti dibawah ini :

V=IxR

I=V/R

R=V/I

Dimana :
V = Voltage (Beda Potensial atau Tegangan yang satuan unitnya adalah Volt (V))
I = Current (Arus Listrik yang satuan unitnya adalah Ampere (A))
R = Resistance (Hambatan atau Resistansi yang satuan unitnya adalah Ohm (Ω))

Dalam aplikasinya, Kita dapat menggunakan Teori Hukum Ohm dalam Rangkaian
Elektronika untuk memperkecilkan Arus listrik, Memperkecil Tegangan dan juga dapat
memperoleh Nilai Hambatan (Resistansi) yang kita inginkan.

Hal yang perlu diingat dalam perhitungan rumus Hukum Ohm, satuan unit yang dipakai
adalah Volt, Ampere dan Ohm. Jika kita menggunakan unit lainnya seperti milivolt, kilovolt,
miliampere, megaohm ataupun kiloohm, maka kita perlu melakukan konversi ke unit Volt,
Ampere dan Ohm terlebih dahulu untuk mempermudahkan perhitungan dan juga untuk
mendapatkan hasil yang benar.

Contoh Kasus dalam Praktikum Hukum Ohm


Untuk lebih jelas mengenai Hukum Ohm, kita dapat melakukan Praktikum dengan sebuah
Rangkaian Elektronika Sederhana seperti dibawah ini :
Kita memerlukan sebuah DC Generator (Power Supply), Voltmeter, Amperemeter, dan
sebuah Potensiometer sesuai dengan nilai yang dibutuhkan.

Dari Rangkaian Elektronika yang sederhana diatas kita dapat membandingkan Teori Hukum
Ohm dengan hasil yang didapatkan dari Praktikum dalam hal menghitung Arus Listrik (I),
Tegangan (V) dan Resistansi/Hambatan (R).

Menghitung Arus Listrik (I)

Rumus yang dapat kita gunakan untuk menghitung Arus Listrik adalah I = V / R

Contoh Kasus 1 :

Setting DC Generator atau Power Supply untuk menghasilkan Output Tegangan 10V,
kemudian atur Nilai Potensiometer ke 10 Ohm. Berapakah nilai Arus Listrik (I) ?
Masukan nilai Tegangan yaitu 10V dan Nilai Resistansi dari Potensiometer yaitu 10 Ohm ke
dalam Rumus Hukum Ohm seperti dibawah ini :
I=V/R
I = 10 / 10
I = 1 Ampere
Maka hasilnya adalah 1 Ampere.

Contoh Kasus 2 :

Setting DC Generator atau Power Supply untuk menghasilkan Output Tegangan 10V,
kemudian atur nilai Potensiometer ke 1 kiloOhm. Berapakah nilai Arus Listrik (I)?
Konversi dulu nilai resistansi 1 kiloOhm ke satuan unit Ohm. 1 kiloOhm = 1000 Ohm.
Masukan nilai Tegangan 10V dan nilai Resistansi dari Potensiometer 1000 Ohm ke dalam
Rumus Hukum Ohm seperti dibawah ini :
I=V/R
I = 10 / 1000
I = 0.01 Ampere atau 10 miliAmpere
Maka hasilnya adalah 10mA

Menghitung Tegangan (V)

Rumus yang akan kita gunakan untuk menghitung Tegangan atau Beda Potensial adalah V =
I x R.

Contoh Kasus :

Atur nilai resistansi atau hambatan (R) Potensiometer ke 500 Ohm, kemudian atur DC
Generator (Power supply) hingga mendapatkan Arus Listrik (I) 10mA. Berapakah
Tegangannya (V) ?
Konversikan dulu unit Arus Listrik (I) yang masih satu miliAmpere menjadi satuan unit
Ampere yaitu : 10mA = 0.01 Ampere. Masukan nilai Resistansi Potensiometer 500 Ohm dan
nilai Arus Listrik 0.01 Ampere ke Rumus Hukum Ohm seperti dibawah ini :
V=IxR
V = 0.01 x 500
V = 5 Volt
Maka nilainya adalah 5Volt.

Menghitung Resistansi / Hambatan (R)

Rumus yang akan kita gunakan untuk menghitung Nilai Resistansi adalah R = V / I

Contoh Kasus :

Jika di nilai Tegangan di Voltmeter (V) adalah 12V dan nilai Arus Listrik (I) di Amperemeter
adalah 0.5A. Berapakah nilai Resistansi pada Potensiometer ?
Masukan nilai Tegangan 12V dan Arus Listrik 0.5A kedalam Rumus Ohm seperti dibawah
ini :
R=V/I
R = 12 /0.5
R = 24 Ohm
Maka nilai Resistansinya adalah 24 Ohm

Pengertian dan Bunyi Hukum Kirchhoff


Dickson Kho Teori Elektronika
Pengertian dan Bunyi Hukum Kirchhoff – Hukum Kirchhoff merupakan salah satu hukum
dalam ilmu Elektronika yang berfungsi untuk menganalisis arus dan tegangan dalam
rangkaian. Hukum Kirchoff pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli fisika Jerman yang
bernama Gustav Robert Kirchhoff (1824-1887) pada tahun 1845. Hukum Kirchhoff terdiri
dari 2 bagian yaitu Hukum Kirchhoff 1 dan Hukum Kirchhoft 2.

Pengertian dan Bunyi Hukum Kirchhoff 1


Hukum Kirchhoff 1 merupakan Hukum Kirchhoff yang berkaitan dengan dengan arah arus
dalam menghadapi titik percabangan. Hukum Kirchhoff 1 ini sering disebut juga dengan
Hukum Arus Kirchhoff atau Kirchhoff’s Current Law (KCL).

Bunyi Hukum Kirchhoff 1 adalah sebagai berikut :

“Arus Total yang masuk melalui suatu titik percabangan dalam suatu rangkaian listrik sama
dengan arus total yang keluar dari titik percabangan tersebut.”

Untuk lebih jelas mengenai Bunyi Hukum Kicrhhoff 1, silakan lihat rumus dan rangkaian

sederhana dibawah ini :

Berdasarkan Rangkaian diatas, dapat dirumuskan bahwa :

I1 + I2 + I3 = I4 + I5 + I6
Contoh Soal Hukum Kirchhoff 1

Dari rangkaian diatas, diketahui bahwa

I1 = 5A
I2 = 1A
I3 = 2A

Berapakah I4 (arus yang mengalir pada AB) ?

Penyelesaian :

Dari gambar rangkaian yang diberikan diatas, belum diketahui apakah arus I4 adalah arus
masuk atau keluar. Oleh karena itu, kita perlu membuat asumsi awal, misalnya kita
mengasumsikan arus pada I4 adalah arus keluar.

Jadi arus yang masuk adalah :

I2 + I3 = 1 + 2 = 3A

Arus yang keluar adalah :


I1 + I4 = 5 + I4
3 = 5 + I4
I4 = 3 – 5
I4 = -2

Karena nilai yang didapatkan adalah nilai negatif, ini berbeda dengan asumsi kita
sebelumnya, berarti arus I4 yang sebenarnya adalah arus masuk.

Pengertian dan Bunyi Hukum Kirchhoff 2


Hukum Kirchhoff 2 merupakan Hukum Kirchhoff yang digunakan untuk
menganalisis tegangan (beda potensial) komponen-komponen elektronika pada suatu
rangkaian tertutup. Hukum Kirchhoff 2 ini juga dikenal dengan sebutan Hukum Tegangan
Kirchhoff atau Kirchhoff’s Voltage Law (KVL).

Bunyi Hukum Kirchhoff 2 adalah sebagai berikut :

“Total Tegangan (beda potensial) pada suatu rangkaian tertutup adalah nol”
Untuk lebih jelas mengenai Bunyi Hukum Kirchhoff 2 ,
silakan lihat rumus dan rangkaian sederhana dibawah ini :

Berdasarkan Rangkaian diatas, dapat dirumuskan bahwa :

Vab + Vbc + Vcd + Vda = 0

Contoh Soal Hukum Kirchhoff

Perhatikan rangkaian diatas, nilai-nilai Resistor yang terdapat di rangkaian adalah sebagai
berikut :

R1 = 10Ω
R2 = 20Ω
R3 = 40Ω
V1 = 10V
V2 = 20V

Berakah arus yang melewati resistor R3 ?

Penyelesaian :
Di dalam rangkaian tersebut, terdapat 3 percabangan, 2 titik, dan 2 loop bebas (independent).

Gunakan Hukum Kirchhoff I (Hukum Arus Kirchhoff) untuk persamaan pada titik A dan titik
B

Titik A : I1 + I2 = I3
Titik B : I3 = I1 + I2

Gunakan Hukum Kirchhoff II (Hukum Tegangan Kirchhoff) untuk Loop 1, Loop 2 dan Loop
3.

Loop 1 : 10 = R1 x I1 + R3 x I3 = 10I1 + 40I3


Loop 2 : 20 = R2 x I2 + R3 x I3 = 20I2 + 40I3
Loop 3 : 10 – 20 = 10I1 – 20I2

Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa I3 adalah hasil dari penjumlahan I1 dan I2, maka
persamaannya dapat kita buat seperti dibawah ini :

Persamaan 1 : 10 = 10I1 + 40(I1 + I2) = 50I1 + 40I2


Persamaan 2 : 20 = 20I2 + 40(I1 + I2) = 40I1 + 60I2

Jadi saat ini kita memiliki 2 persamaan, dari persamaan tersebut kita mendapatkan nilai I1 dan
I2 sebagai berikut :

I1 = -0.143 Ampere
I2 = +0.429 Ampere

Seperti yang diketahui bahwa I3 = I1 + I2


Maka arus listrik yang mengalir pada R3 adalah -0.143 + 0.429 = 0.286 Ampere
Sedangkan Tegangan yang melewati R3 adalah 0.286 x 40 = 11.44 Volt

Tanda Negatif (-) pada arus I1 menandakan arah alir arus listrik yang diasumsikan dalam
rangkaian diatas adalah salah. Jadi arah alir arus listrik seharusnya menuju ke V1, sehingga
V2 (20V) melakukan pengisian arus (charging) terhadap V1.

Rangkaian Seri dan Paralel Resistor serta


Cara Menghitung Nilainya
Dickson Kho Teori Elektronika
Rangkaian Seri dan Paralel Resistor serta Cara Menghitung Nilainya – Resistor adalah
Komponen Elektronika yang paling sering ditemui dalam rangkaian Elektronika. Fungsi dari
Komponen Resistor adalah sebagai penghambat listrik dan juga dipergunakan sebagai
pengatur arus listrik dalam rangkaian Elektronika. Satuan pengukuran Resistor (Hambatan)
adalah OHM (Ω). Dalam Rangkaian Elektronika, Resistor atau Hambatan ini sering disingkat
dengan huruf “R” (huruf R besar).

Nilai Resistor yang diproduksi oleh Produsen Resistor (Perusahaan Produksi Resistor) sangat
terbatas dan mengikuti Standard Value Resistor (Nilai Standar Resistor). Jadi di pasaran kita
hanya menemui sekitar 168 jenis nilai resistor. Berikut ini adalah tabel Standard Value
Resitor (Nilai Standar Resitor) yang terdapat di pasaran.

Tabel Nilai Standar Resistor


Jadi bagaimana kalau nilai Resistor yang kita inginkan tidak terdapat di pasaran? Contohnya
400 Kilo Ohm, 250 Ohm, ataupun 6 Kilo Ohm. Nilai-nilai Resistor yang disebutkan ini tidak
terdapat dalam daftar Standard Value Resistor sehingga kita tidak mungkin akan menemukan
nilai-nilai Resistor tersebut di Pasaran. Untuk mengatasi hal ini kita perlu menggunakan
Rangkaian Seri ataupun Rangkaian Paralel Resistor untuk mendapatkan Nilai Resistor yang
kita inginkan.

Rangkaian Seri Resistor


Rangkaian Seri Resistor adalah sebuah rangkaian yang terdiri dari 2 buah atau lebih Resistor
yang disusun secara sejajar atau berbentuk Seri. Dengan Rangkaian Seri ini kita bisa
mendapatkan nilai Resistor Pengganti yang kita inginkan.

Rumus dari Rangkaian Seri Resistor adalah :

Rtotal = R1 + R2 + R3 + ….. + Rn

Dimana :
Rtotal = Total Nilai Resistor
R1 = Resistor ke-1
R2 = Resistor ke-2
R3 = Resistor ke-3
Rn = Resistor ke-n

Berikut ini adalah gambar bentuk Rangkaian Seri :

Contoh Kasus untuk menghitung Rangkaian Seri Resistor

Seorang Engineer ingin membuat sebuah peralatan Elektronik, Salah satu nilai resistor yang
diperlukannya adalah 4 Mega Ohm, tetapi Engineer tidak dapat menemukan Resistor dengan
nilai 4 Mega Ohm di pasaran sehingga dia harus menggunakan rangkaian seri Resistor untuk
mendapatkan penggantinya.

Penyelesaian :

Ada beberapa kombinasi Nilai Resistor yang dapat dipergunakannya, antara lain :

1 buah Resistor dengan nilai 3,9 Mega Ohm


1 buah Resistor dengan nilai 100 Kilo Ohm
Rtotal = R1 + R2
3,900,000 + 100,000 = 4,000,000 atau sama dengan 4 Mega Ohm.

Atau

4 buah Resistor dengan nilai 1 Mega Ohm


Rtotal = R1 + R2 + R3 + R4
1 MOhm + 1 MOhm + 1 MOhm + 1 MOhm = 4 Mega Ohm

Rangkaian Paralel Resistor


Rangkaian Paralel Resistor adalah sebuah rangkaian yang terdiri dari 2 buah atau lebih
Resistor yang disusun secara berderet atau berbentuk Paralel. Sama seperti dengan Rangkaian
Seri, Rangkaian Paralel juga dapat digunakan untuk mendapatkan nilai hambatan pengganti.
Perhitungan Rangkaian Paralel sedikit lebih rumit dari Rangkaian Seri.

Rumus dari Rangkaian Seri Resistor adalah :

1/Rtotal = 1/R1 + 1/R2 + 1/R3 + ….. + 1/Rn

Dimana :
Rtotal = Total Nilai Resistor
R1 = Resistor ke-1
R2 = Resistor ke-2
R3 = Resistor ke-3
Rn = Resistor ke-n

Berikut ini adalah gambar bentuk Rangkaian Paralel :

Contoh Kasus untuk Menghitung Rangkaian Paralel Resistor

Terdapat 3 Resistor dengan nilai-nilai Resistornya adalah sebagai berikut :


R1 = 100 Ohm
R2 = 200 Ohm
R3 = 47 Ohm

Berapakah nilai hambatan yang didapatkan jika memakai Rangkaian Paralel Resistor?

Penyelesaiannya :
1/Rtotal = 1/R1 + 1/R2 + 1/R3
1/Rtotal = 1/100 + 1/200 + 1/47
1/Rtotal = 94/9400 + 47/9400 + 200/9400
1/Rtotal = 341 x Rtotal = 1 x 9400 (→ Hasil kali silang)
Rtotal = 9400/341
Rtotal = 27,56

Jadi Nilai Hambatan Resistor pengganti untuk ketiga Resistor tersebut adalah 27,56 Ohm.

Hal yang perlu diingat bahwa Nilai Hambatan Resistor (Ohm) akan bertambah jika
menggunakan Rangkaian Seri Resistor sedangkan Nilai Hambatan Resistor (Ohm) akan
berkurang jika menggunakan Rangkaian Paralel Resistor.

Pada Kondisi tertentu, kita juga dapat menggunakan Rangkaian Gabungan antara Rangkaian
Seri dan Rangkaian Paralel Resistor.

Untuk mengetahui cara membaca kode warna dan kode angka Resistor, silakan membaca
artikel “Cara menghitung Nilai Resistor“

Rumus dan Rangkaian Pembagi Tegangan


(Voltage Divider)
Dickson Kho Teori Elektronika

Rumus dan Rangkaian Pembagi Tegangan (Voltage Divider) – Voltage Divider atau
Pembagi Tegangan adalah suatu rangkaian sederhana yang mengubah tegangan besar
menjadi tegangan yang lebih kecil. Fungsi dari Pembagi Tegangan ini di Rangkaian
Elektronika adalah untuk membagi Tegangan Input menjadi satu atau beberapa Tegangan
Output yang diperlukan oleh Komponen lainnya didalam Rangkaian. Hanya dengan
menggunakan dua buah Resistor atau lebih dan Tegangan Input, kita telah mampu membuat
sebuah rangkaian pembagi tegangan yang sederhana.

Pengetahuan Pembagi Tegangan atau Voltage Divider ini sangat penting dan merupakan
rangkaian dasar yang harus dimengerti oleh setiap Engineer ataupun para penghobi
Elektronika.

Terdapat dua bagian penting dalam merancang Pembagi Tegangan yaitu Rangkaian dan
Persamaan Pembagi Tegangan.

Rangkaian Pembagi Tegangan (Voltage Divider)


Pada dasarnya, Rangkaian Pembagi Tegangan terdiri dari dua buah resistor yang dirangkai
secara Seri. Berikut ini adalah rangkaian sederhana sebuah pembagi tegangan atau Voltage
Divider.
Rumus/Persamaan Pembagi Tegangan (Voltage Divider)
Aturan Pembagi Tegangan sangat sederhana, yaitu Tegangan Input dibagi secara
proporsional sesuai dengan nilai resistansi dua resistor yang dirangkai Seri.

Vout = Vin x (R1 / (R1+R2))

Contoh Kasus Perhitungan Rangkaian Pembagi Tegangan

Berikut ini adalah beberapa contoh kasus perhitungan pada Rangkaian Pembagi Tegangan
sehingga kita mendapat tegangan yang diinginkan saat merancang sebuah rangkaian
elektronika.

Contoh Kasus 1

Sebagai contoh, kita memberikan tegangan input sebesar 9V pada rangkaian pembagi
tegangan tersebut dengan nilai R1 adalah 1000 Ohm dan R2 adalah 220 Ohm berapakah
Tegangan Output pada R1 yang kita dapatkan ?

Diketahui :

Vin = 9V
R1 = 1000 Ohm
R2 = 220 Ohm
Vout = ?

Penyelesaian :

Vout = Vin x (R1 / (R1+R2))


Vout = 9 x (1000/(1000+220))
Vout = 9 x (1000/1220)
Vout = 9 x 0.82
Vout = 7,38 Volt
Jadi Tegangan Output dari rangkaian Pembagi tersebut adalah 7,38 Volt.

Contoh Kasus 2

Pada saat kita merancang suatu rangkaian Elektronika, kita ingin mendapat tegangan 2,5V
dari tegangan Input 9V dengan menggunakan rangkaian dasar Pembagi Tegangan. Berapakah
nilai R1 dan R2 yang kita perlukan untuk mendapatkan tegangan yang kita inginkan?

Pengertian dan Fungsi Potensiometer


Dickson Kho Komponen Elektronika

Pengertian dan Fungsi Potensiometer, – Dalam Peralatan Elektronik, sering ditemukan


Potensiometer yang berfungsi sebagai pengatur Volume di peralatan Audio / Video seperti
Radio, Walkie Talkie, Tape Mobil, DVD Player dan Amplifier. Potensiometer juga sering
digunakan dalam Rangkaian Pengatur terang gelapnya Lampu (Light Dimmer Circuit) dan
Pengatur Tegangan pada Power Supply (DC Generator). Jadi apa sebenarnya Potensiometer
itu?

Potensiometer (POT) adalah salah satu jenis Resistor yang Nilai Resistansinya dapat diatur
sesuai dengan kebutuhan Rangkaian Elektronika ataupun kebutuhan pemakainya.
Potensiometer merupakan Keluarga Resistor yang tergolong dalam Kategori Variable
Resistor. Secara struktur, Potensiometer terdiri dari 3 kaki Terminal dengan sebuah shaft atau
tuas yang berfungsi sebagai pengaturnya. Gambar dibawah ini menunjukan Struktur Internal
Potensiometer beserta bentuk dan Simbolnya.

Struktur Potensiometer beserta Bentuk dan Simbolnya


Pada dasarnya bagian-bagian penting dalam Komponen Potensiometer adalah :

1. Penyapu atau disebut juga dengan Wiper


2. Element Resistif
3. Terminal

Jenis-jenis Potensiometer
Berdasarkan bentuknya, Potensiometer dapat dibagi menjadi 3 macam, yaitu :

1. Potensiometer Slider, yaitu Potensiometer yang nilai resistansinya dapat diatur


dengan cara menggeserkan Wiper-nya dari kiri ke kanan atau dari bawah ke atas
sesuai dengan pemasangannya. Biasanya menggunakan Ibu Jari untuk menggeser
wiper-nya.
2. Potensiometer Rotary, yaitu Potensiometer yang nilai resistansinya dapat diatur
dengan cara memutarkan Wiper-nya sepanjang lintasan yang melingkar. Biasanya
menggunakan Ibu Jari untuk memutar wiper tersebut. Oleh karena itu, Potensiometer
Rotary sering disebut juga dengan Thumbwheel Potentiometer.
3. Potensiometer Trimmer, yaitu Potensiometer yang bentuknya kecil dan harus
menggunakan alat khusus seperti Obeng (screwdriver) untuk memutarnya.
Potensiometer Trimmer ini biasanya dipasangkan di PCB dan jarang dilakukan
pengaturannya.

Prinsip Kerja (Cara Kerja) Potensiometer


Sebuah Potensiometer (POT) terdiri dari sebuah elemen resistif yang membentuk jalur (track)
dengan terminal di kedua ujungnya. Sedangkan terminal lainnya (biasanya berada di tengah)
adalah Penyapu (Wiper) yang dipergunakan untuk menentukan pergerakan pada jalur elemen
resistif (Resistive). Pergerakan Penyapu (Wiper) pada Jalur Elemen Resistif inilah yang
mengatur naik-turunnya Nilai Resistansi sebuah Potensiometer.

Elemen Resistif pada Potensiometer umumnya terbuat dari bahan campuran Metal (logam)
dan Keramik ataupun Bahan Karbon (Carbon).

Berdasarkan Track (jalur) elemen resistif-nya, Potensiometer dapat digolongkan menjadi 2


jenis yaitu Potensiometer Linear (Linear Potentiometer) dan Potensiometer Logaritmik
(Logarithmic Potentiometer).

Fungsi-fungsi Potensiometer
Dengan kemampuan yang dapat mengubah resistansi atau hambatan, Potensiometer sering
digunakan dalam rangkaian atau peralatan Elektronika dengan fungsi-fungsi sebagai berikut :

1. Sebagai pengatur Volume pada berbagai peralatan Audio/Video seperti Amplifier,


Tape Mobil, DVD Player.
2. Sebagai Pengatur Tegangan pada Rangkaian Power Supply
3. Sebagai Pembagi Tegangan
4. Aplikasi Switch TRIAC
5. Digunakan sebagai Joystick pada Tranduser
6. Sebagai Pengendali Level Sinyal
Cara Mengukur Potensiometer dengan
Multimeter
Dickson Kho Pengujian Komponen

Cara mengukur Potensiometer dengan Multimeter – Kita dapat mengukur nilai Resistansi
dari sebuah Potensiometer dengan menggunakan alat ukur yang dinamakan Multimeter, baik
Multimeter yang menunjukan nilai Digital maupun Multimeter Analog. Seperti yang kita
ketahui bahwa Multimeter adalah alat ukur yang terdiri dari gabungan pengukuran Arus
Listrik (Ampere), Tegangan Listrik (Volt) dan Resistansi/Hambatan (Ohm). Untuk mengukur
Potensiometer yang merupakan komponen keluarga Resistor, Potensiometer tentunya diukur
dengan fungsi Ohm (Resistansi) yang terdapat pada Multimeter. Dalam pengukuran, kita
dapat mengetahui Nilai Maksimum Resistansi sebuah Potensiometer dan juga perubahan
Nilai Resistansi Potensiometer saat kita memutar Shaft atau Tuas pengaturnya.

Cara Mengukur Potensiometer


Berikut ini adalah cara untuk mengukur nilai Resistansi Potensiometer dengan menggunakan
Multimeter Digital :

Untuk mengetahui Nilai Resistansi Maksimum Potensiometer

1. Aturlah posisi Saklar Multimeter pada posisi Ohm (Ω)


2. Hubungkan Probe Multimeter pada kaki Terminal yang pertama (1) dan Terminal
ketiga (3).
3. Perhatikan nilai Resistansi Potensiometer pada Display Multimeter, nilai yang tampil
adalah nilai maksimum dari Potensiometer yang sedang kita ukur ini.

Perlu diketahui, Nilai Maksimum tersebut merupakan Nilai Nominal Potensiometer dan akan
hampir sama dengan nilai yang tertera pada badan Potensiometer itu sendiri. Nilai Resistansi
Potensiometer pada Terminal 1 dan Terminal 3 akan selalu konstan. Artinya, Pemutaran
Shaft (Tuas) pengatur tidak akan berpengaruh terhadap nilai pengukurannya.

Untuk mengukur Perubahan Nilai Resistansi Potensiometer

1. Aturlah posisi Saklar Multimeter pada posisi Ohm (Ω)


2. Hubungkan Probe Multimeter pada kaki Terminal yang pertama (1) dan Terminal
kedua (2).
3. Putarlah Shaft atau Tuas pada Potensiometer searah jarum jam,
4. Perhatikan Nilai Resistansi pada Display Multimeter, Nilai Resistansi and naik seiring
dengan pergerakan Shaft (Tuas) Potensiometer tersebut. Sebaliknya, Jika Shaft
(Tuas) Potensiometer diputar berlawanan arah jarum jam, Nilai Resistansi akan
menurun seiring dengan pergerakan Shaft (Tuas) Potensiometer tersebut.
5. Pindahkan Probe Multimeter dari kaki Terminal pertama (1) ke Terminal ketiga (3).
Jadi, sekarang kaki Terminal Potensiometer yang diukur adalah Terminal 2 dan
Terminal 3.
6. Putarlah Shaft (Tuas) Potensiometer searah jarum jam,
7. Perhatikan Nilai Resistansi Potensiometer pada Display Multimeter, Nilai Resistansi
akan menurun seiring dengan pergerakan Shaft (Tuas) Potensiometer tersebut.
Sebaliknya, Jika Shaft (tuas) Potensiometer diputar berlawanan arah jarum jam, Nilai
Resistansi akan naik seiring dengan pergerakan Shaft (Tuas) Potensiometer tersebut.

Catatan :
Potensiometer tidak mengenal Polaritas Positif dan Negatif sehingga Posisi peletakan Probe
Merah dan Probe Hitam Multimeter tidak menjadi masalah dalam pengukuran.

Untuk mengetahui Pengertian, Prinsip Kerja dan Fungsi Potensiometer, silakan baca artikel :
Pengertian dan Fungsi Potensiometer

Simbol dan Fungsi Kapasitor beserta Jenis-


jenisnya
Dickson Kho Komponen Elektronika
Simbol dan Fungsi Kapasitor beserta jenis-jenisnya – Kapasitor (Capacitor) atau disebut
juga dengan Kondensator (Condensator) adalah Komponen Elektronika Pasif yang dapat
menyimpan muatan listrik dalam waktu sementara dengan satuan kapasitansinya adalah
Farad. Satuan Kapasitor tersebut diambil dari nama penemunya yaitu Michael Faraday (1791
~ 1867) yang berasal dari Inggris. Namun Farad adalah satuan yang sangat besar, oleh karena
itu pada umumnya Kapasitor yang digunakan dalam peralatan Elektronika adalah satuan
Farad yang dikecilkan menjadi pikoFarad, NanoFarad dan MicroFarad.

Konversi Satuan Farad adalah sebagai berikut :

1 Farad = 1.000.000µF (mikro Farad)


1µF = 1.000nF (nano Farad)
1µF = 1.000.000pF (piko Farad)
1nF = 1.000pF (piko Farad)

Kapasitor merupakan Komponen Elektronika yang terdiri dari 2 pelat konduktor yang pada
umumnya adalah terbuat dari logam dan sebuah Isolator diantaranya sebagai pemisah. Dalam
Rangkaian Elektronika, Kapasitor disingkat dengan huruf “C”.

Jenis-Jenis Kapasitor
Berdasarkan bahan Isolator dan nilainya, Kapasitor dapat dibagi menjadi 2 Jenis yaitu
Kapasitor Nilai Tetap dan Kapasitor Variabel. Berikut ini adalah penjelasan singkatnya untuk
masing-masing jenis Kapasitor :

A. KAPASITOR NILAI TETAP (FIXED CAPACITOR)

Kapasitor Nilai Tetap atau Fixed Capacitor adalah Kapasitor yang nilainya konstan atau tidak
berubah-ubah. Berikut ini adalah Jenis-jenis Kapasitor yang nilainya Tetap :
1. Kapasitor Keramik (Ceramic Capasitor)

Kapasitor Keramik adalah Kapasitor yang Isolatornya terbuat dari Keramik dan berbentuk
bulat tipis ataupun persegi empat. Kapasitor Keramik tidak memiliki arah atau polaritas, jadi
dapat dipasang bolak-balik dalam rangkaian Elektronika. Pada umumnya, Nilai Kapasitor
Keramik berkisar antara 1pf sampai 0.01µF.

Kapasitor yang berbentuk Chip (Chip Capasitor) umumnya terbuat dari bahan Keramik yang
dikemas sangat kecil untuk memenuhi kebutuhan peralatan Elektronik yang dirancang makin
kecil dan dapat dipasang oleh Mesin Produksi SMT (Surface Mount Technology) yang
berkecepatan tinggi.

2. Kapasitor Polyester (Polyester Capacitor)

Kapasitor Polyester adalah kapasitor yang isolatornya terbuat dari Polyester dengan bentuk
persegi empat. Kapasitor Polyester dapat dipasang terbalik dalam rangkaian Elektronika
(tidak memiliki polaritas arah)

3. Kapasitor Kertas (Paper Capacitor)


Kapasitor Kertas adalah kapasitor yang isolatornya terbuat dari Kertas dan pada umumnya
nilai kapasitor kertas berkisar diantara 300pf sampai 4µF. Kapasitor Kertas tidak memiliki
polaritas arah atau dapat dipasang bolak balik dalam Rangkaian Elektronika.

4. Kapasitor Mika (Mica Capacitor)

Kapasitor Mika adalah kapasitor yang bahan Isolatornya terbuat dari bahan Mika. Nilai
Kapasitor Mika pada umumnya berkisar antara 50pF sampai 0.02µF. Kapasitor Mika juga
dapat dipasang bolak balik karena tidak memiliki polaritas arah.

5. Kapasitor Elektrolit (Electrolyte Capacitor)

Kapasitor Elektrolit adalah kapasitor yang bahan Isolatornya terbuat dari Elektrolit
(Electrolyte) dan berbentuk Tabung / Silinder. Kapasitor Elektrolit atau disingkat dengan
ELCO ini sering dipakai pada Rangkaian Elektronika yang memerlukan Kapasintasi
(Capacitance) yang tinggi. Kapasitor Elektrolit yang memiliki Polaritas arah Positif (-) dan
Negatif (-) ini menggunakan bahan Aluminium sebagai pembungkus dan sekaligus sebagai
terminal Negatif-nya. Pada umumnya nilai Kapasitor Elektrolit berkisar dari 0.47µF hingga
ribuan microfarad (µF). Biasanya di badan Kapasitor Elektrolit (ELCO) akan tertera Nilai
Kapasitansi, Tegangan (Voltage), dan Terminal Negatif-nya. Hal yang perlu diperhatikan,
Kapasitor Elektrolit dapat meledak jika polaritas (arah) pemasangannya terbalik dan
melampui batas kamampuan tegangannya.

6. Kapasitor Tantalum

Kapasitor Tantalum juga memiliki Polaritas arah Positif (+) dan Negatif (-) seperti halnya
Kapasitor Elektrolit dan bahan Isolatornya juga berasal dari Elektrolit. Disebut dengan
Kapasitor Tantalum karena Kapasitor jenis ini memakai bahan Logam Tantalum sebagai
Terminal Anodanya (+). Kapasitor Tantalum dapat beroperasi pada suhu yang lebih tinggi
dibanding dengan tipe Kapasitor Elektrolit lainnya dan juga memiliki kapasintansi yang besar
tetapi dapat dikemas dalam ukuran yang lebih kecil dan mungil. Oleh karena itu, Kapasitor
Tantalum merupakan jenis Kapasitor yang berharga mahal. Pada umumnya dipakai pada
peralatan Elektronika yang berukuran kecil seperti di Handphone dan Laptop.

B. KAPASITOR VARIABEL (VARIABLE CAPACITOR)

Kapasitor Variabel adalah Kapasitor yang nilai Kapasitansinya dapat diatur atau berubah-
ubah. Secara fisik, Kapasitor Variabel ini terdiri dari 2 jenis yaitu :
1. VARCO (Variable Condensator)

VARCO (Variable Condensator) yang terbuat dari Logam dengan ukuran yang lebih besar
dan pada umumnya digunakan untuk memilih Gelombang Frekuensi pada Rangkaian Radio
(digabungkan dengan Spul Antena dan Spul Osilator). Nilai Kapasitansi VARCO berkisar
antara 100pF sampai 500pF

2. Trimmer

Trimmer adalah jenis Kapasitor Variabel yang memiliki bentuk lebih kecil sehingga
memerlukan alat seperti Obeng untuk dapat memutar Poros pengaturnya. Trimmer terdiri dari
2 pelat logam yang dipisahkan oleh selembar Mika dan juga terdapat sebuah Screw yang
mengatur jarak kedua pelat logam tersebut sehingga nilai kapasitansinya menjadi berubah.
Trimmer dalam Rangkaian Elektronika berfungsi untuk menepatkan pemilihan gelombang
Frekuensi (Fine Tune). Nilai Kapasitansi Trimmer hanya maksimal sampai 100pF.

Fungsi Kapasitor dalam Rangkaian Elektronika


Pada Peralatan Elektronika, Kapasitor merupakan salah satu jenis Komponen Elektronika
yang paling sering digunakan. Hal ini dikarenakan Kapasitor memiliki banyak fungsi
sehingga hampir setiap Rangkaian Elektronika memerlukannya.

Dibawah ini adalah beberapa fungsi daripada Kapasitor dalam Rangkaian Elektronika :

 Sebagai Penyimpan arus atau tegangan listrik


 Sebagai Konduktor yang dapat melewatkan arus AC (Alternating Current)
 Sebagai Isolator yang menghambat arus DC (Direct Current)
 Sebagai Filter dalam Rangkaian Power Supply (Catu Daya)
 Sebagai Kopling
 Sebagai Pembangkit Frekuensi dalam Rangkaian Osilator
 Sebagai Penggeser Fasa
 Sebagai Pemilih Gelombang Frekuensi (Kapasitor Variabel yang digabungkan dengan
Spul Antena dan Osilator)

Untuk mengetahui Cara Membaca nilai Kapasitor dan juga cara mengukur / menguji
Kapasitor, silakan membacanya di artikel : Cara Membaca dan menghitung Nilai Kode
Kapasitor dan Cara Mengukur Kapasitor (Kondensator).

Cara Membaca dan Menghitung Nilai


Kapasitor berdasarkan Kode Angka
Dickson Kho Teori Elektronika

Cara Membaca dan Menghitung Nilai Kapasitor berdasarkan Kode Angka – Kapasitor
atau disebut juga dengan Kondensator adalah merupakan salah satu Komponen Elektronika
Pasif yang paling banyak digunakan dalam rangkaian peralatan elektronika. Fungsi Kapasitor
yang dapat menyimpan muatan listrik dalam waktu sementara membuatnya menjadi
Komponen Elektronika yang penting. Artikel sebelumnya telah membahas tentang Jenis-jenis
Kapasitor beserta Fungsi dan Simbolnya, maka untuk kesempatan ini akan membahas tentang
Cara Membaca dan Menghitung Nilai Kapasitor berdasarkan Kode Angka dan Huruf-nya.

Satuan Kapasitansi Kapasitor adalah Farad, tetapi Farad merupakan satuan yang besar untuk
sebuah Kapasitor yang umum dipakai oleh Peralatan Elektronik. Oleh Karena itu, Satuan-
satuan yang merupakan turunan dari Farad menjadi pilihan utama produsen dalam
memproduksi sebuah Kapasitor agar dapat digunakan oleh peralatan Elektronika. Satuan-
satuan tersebut diantaranya adalah : Micro Farad (µF), Nano Farad (nF) dan Piko Farad (pF ).

Berikut ini adalah ukuran turunan Farad yang umum digunakan dalam menentukan Nilai
Kapasitansi sebuah Kapasitor :

1 Farad = 1.000.000µF (mikro Farad)


1µF = 1.000nF (nano Farad)
1µF = 1.000.000pF (piko Farad)
1nF = 1.000pF (piko Farad)

Cara Membaca Nilai Kapasitor Elektrolit (ELCO)


Untuk Kapasitor Elektrolit atau ELCO, nilai Kapasitansinya telah tertera di label badannya
dengan jelas. Jadi sangat mudah untuk menentukan nilainya. Contoh 100µF 16V, 470µF
10V, 1000µF 6.3V ataupun 3300µF 16V. Untuk lebih Jelas silakan lihat gambar dibawah
ini :

Nilai Kapasitor pada gambar diatas adalah 3300µF (baca : 3300 Micro Farad)
Hal yang perlu diingat adalah Kapasitor Elektrolit (ELCO) merupakan jenis Kapasitor yang
memiliki Polaritas (+) dan (-) sehingga perlu hati-hati dalam pemasangannya. Seperti Gambar
diatas, di badan Kapasitor juga terdapat tanda yang menunjukkan Polaritas arah Negatif (-)
dari sebuah Kapasitor Elektrolit. Disamping itu, daya tahan Panas Kapasitor juga tertulis
dengan jelas di label badannya. Contohnya 85°C dan 105°C.

Cara Membaca Nilai Kapasitor Keramik, Kapasitor


Kertas dan Kapasitor non-Polaritas lainnya
Untuk Kapasitor Keramik, Kapasitor Kertas, Kapasitor Mika, Kapasitor Polyester atau
Kapasitor Non-Polaritas lainnya, pada umumnya dituliskan Kode Nilai dibadannya. Seperti
104J, 202M, 473K dan lain sebagainya. Maka kita perlu menghitungnya ke dalam nilai
Kapasitansi Kapasitor yang sebenarnya.
Contoh untuk membaca Nilai Kode untuk Kapasitor Keramik diatas dengan Tulisan Kode
473Z. Cara menghitung Nilai Kapasitor berdasarkan kode tersebut adalah sebagai berikut :

Kode : 473Z
Nilai Kapasitor = 47 x 103
Nilai Kapasitor = 47 x 1000
Nilai Kapasitor = 47.000pF atau 47nF atau 0,047µF

Huruf dibelakang angka menandakan Toleransi dari Nilai Kapasitor tersebut, Berikut adalah
daftar Nilai Toleransinya :

B = 0.10pF
C = 0.25pF
D = 0.5pF
E = 0.5%
F = 1%
G= 2%
H = 3%
J = 5%
K = 10%
M = 20%
Z = + 80% dan -20%

473Z = 47,000pF +80% dan -20% atau berkisar antara 37.600 pF ~ 84.600 pF.
Jika di badan badan Kapasitor hanya bertuliskan 2 angka, Contohnya 47J maka
perhitungannya adalah sebagai berikut :

Kode : 47J

Nilai Kapasitor = 47 x 100


Nilai Kapasitor = 47 x 1
Nilai Kapasitor = 47pF
Jadi Nilai Kapasitor yang berkode 47J adalah 47 pF ±5% yaitu berkisar antara 44,65pF ~
49,35pF

Jika di badan Kapasitor tertera 222K maka nilai Kapasitor tersebut adalah :

Kode : 222K

Nilai Kapasitor = 22 x 102


Nilai Kapasitor = 22 x 100
Nilai Kapasitor = 2200pF

Toleransinya adalah 5% :
Nilai Kapasitor =2200 – 5% = 1980pF
Nilai Kapasitor = 2200 + 5% = 2310pF

Jadi Nilai Kapasitor dengan Kode 222K adalah berkisar antara 1.980 pF ~ 2.310 pF.

Untuk Kapasitor Chip (Chip Capacitor) yang terbuat dari Keramik, nilai Kapasitansinya tidak
dicetak di badan Kapasitor Chip-nya, maka diperlukan Label Kotaknya untuk mengetahui
nilainya atau diukur dengan Capacitance Meter (LCR Meter atau Multimeter yang dapat
mengukur Kapasitor).

Baca juga : Cara Mengukur dan Menguji Kapasitor (Kondensator).

Rangkaian Seri dan Paralel Kapasitor serta


Cara Menghitung Nilainya
Dickson Kho Teori Elektronika

Rangkaian Seri dan Paralel Kapasitor serta Cara Menghitung Nilainya – Kapasitor
(Kondensator) adalah Komponen Elektronika yang berfungsi untuk menyimpan Muatan
Listrik dalam waktu yang relatif dengan satuannya adalah Farad. Variasi Nilai Farad yang
sangat besar mulai dari beberapa piko Farad (pF) sampai dengan ribuan Micro Farad
(μF) sehingga produsen komponen Kapasitor tidak mungkin dapat menyediakan semua
variasi nilai Kapasitor yang diinginkan oleh perancang Rangkaian Elektronika.

Pada kondisi tertentu, Engineer Produksi ataupun penghobi Elektronika mungkin juga akan
mengalami permasalahan tidak menemukan Nilai Kapasitor yang dikehendakinya di Pasaran.
Oleh karena itu, diperlukan Rangkaian Seri ataupun Rangkaian Paralel Kapasitor untuk
mendapatkan nilai Kapasitansi Kapasitor yang paling cocok untuk Rangkaian
Elektronikanya. Yang dimaksud dengan Kapasitansi dalam Elektronika adalah ukuran
kemampuan suatu komponen atau dalam hal ini adalah Kapasitor dalam menyimpan muatan
listrik.

Berikut ini adalah nilai Kapasitansi Standar untuk Kapasitor Tetap yang umum dan dapat
ditemukan di Pasaran :

Menurut Tabel diatas, hanya sekitar 133 nilai Standar Kapasitor Tetap yang umum dan dapat
ditemukan di Pasaran. Jadi bagaimana kalau nilai kapasitansi yang paling cocok untuk
rangkaian Elektronika kita tidak ditemukan di Pasaran atau bukan nilai Standar Kapasitor
Tetap? Jawabannya adalah dengan menggunakan Rangkaian Seri ataupun Rangkaian Paralel
Kapasitor.

Rangkaian Paralel Kapasitor (Kondensator)


Rangkaian Paralel Kapasitor adalah Rangkaian yang terdiri dari 2 buah atau lebih Kapasitor
yang disusun secara berderet atau berbentuk Paralel. Dengan menggunakan Rangkaian
Paralel Kapasitor ini, kita dapat menemukan nilai Kapasitansi pengganti yang diinginkan.

Rumus dari Rangkaian Paralel Kapasitor (Kondensator) adalah :

Ctotal = C1 + C2 + C3 + C4 + …. + Cn

Dimana :

Ctotal = Total Nilai Kapasitansi Kapasitor


C1 = Kapasitor ke-1
C2 = Kapasitor ke-2
C3 = Kapasitor ke-3
C4 = Kapasitor ke-4
Cn = Kapasitor ke-n

Berikut ini adalah gambar bentuk Rangkaian Paralel Kapasitor

Contoh Kasus untuk menghitung Rangkaian Paralel Kapasitor

Seorang Perancang Rangkaian Elektronika ingin merancang sebuah Peralatan Elektronika,


salah satu nilai Kapasitansi yang diperlukannya adalah 2500pF, tetapi nilai tersebut tidak
dapat ditemukannya di Pasaran Komponen Elektronika. Oleh karena itu, Perancang
Elektronika tersebut menggunakan Rangkaian Paralel untuk mendapatkan nilai kapasitansi
yang diinginkannya.

Penyelesaian :

Beberapa kombinasi yang dapat dipergunakannya antara lain :

1 buah Kapasitor dengan nilai 1000pF


1 buah Kapasitor dengan nilai 1500pF

Ctotal = C1 + C2
Ctotal = 1000pF + 1500pF
Ctotal = 2500pF

Atau

1 buah Kapasitor dengan nilai 1000pF


2 buah Kapasitor dengan nilai 750pF
Ctotal = C1 + C2 + C3
Ctotal = 1000pF + 750pF + 750pF
Ctotal = 2500pF

Rangkaian Seri Kapasitor (Kondensator)


Rangkaian Seri Kapasitor adalah Rangkaian yang terdiri dari 2 buah dan lebih Kapasitor yang
disusun sejajar atau berbentuk Seri. Seperti halnya dengan Rangkaian Paralel, Rangkaian Seri
Kapasitor ini juga dapat digunakan untuk mendapat nilai Kapasitansi Kapasitor pengganti
yang diinginkan. Hanya saja, perhitungan Rangkaian Seri untuk Kapasitor ini lebih rumit dan
sulit dibandingkan dengan Rangkaian Paralel Kapasitor.

Rumus dari Rangkaian Paralel Kapasitor (Kondensator) adalah :

1/Ctotal = 1/C1 + 1/C2 + 1/C3 + 1/C4 + …. + 1/Cn

Dimana :

Ctotal = Total Nilai Kapasitansi Kapasitor


C1 = Kapasitor ke-1
C2 = Kapasitor ke-2
C3 = Kapasitor ke-3
C4 = Kapasitor ke-4
Cn = Kapasitor ke-n
Berikut ini adalah gambar bentuk Rangkaian Seri
Kapasitor

Contoh Kasus untuk menghitung Rangkaian Seri Kapasitor

Seorang Engineer ingin membuat Jig Tester dengan salah satu nilai Kapasitansi Kapasitor
yang paling cocok untuk rangkaiannya adalah 500pF, tetapi nilai 500pF tidak terdapat di
Pasaran. Maka Engineer tersebut menggunakan 2 buah Kapasitor yang bernilai 1000pF yang
kemudian dirangkainya menjadi sebuah Rangkaian Seri Kapasitor untuk mendapatkan nilai
yang diinginkannya.

Penyelesaian :

2 buah Kapasitor dengan nilai 1000pF

1/Ctotal = 1/C1 + 1/C2


1/Ctotal = 1/1000 + 1/1000
1/Ctotal = 2/1000
2 x Ctotal = 1 x 1000
Ctotal = 1000/2
Ctotal = 500pF

Catatan :

 Nilai Kapasitansi Kapasitor akan bertambah dengan menggunakan Rangkaian Paralel


Kapasitor, sedangkan nilai Kapasitansinya akan berkurang jika menggunakan
Rangkaian Seri Kapasitor. Hal ini sangat berbeda dengan Rangkaian Seri dan Paralel
untuk Resitor (Hambatan). Baca : Rangkaian Seri dan Paralel Resistor serta cara
menghitung nilainya.
 Pada kondisi tertentu, Rangkaian Gabungan antara Paralel dan Seri dapat digunakan
untuk menemukan nilai Kapasitansi yang diperlukan.
 Kita juga dapat menggunakan Multimeter untuk mengukur dan memastikan Nilai
Kapasitansi dari Rangkaian Seri ataupun Paralel Kapasitor sesuai dengan Nilai
Kapasitansi yang kita inginkan. Baca juga : Cara Mengukur Nilai Kapasitor dengan
Multimeter

Cara Menghitung Konstanta Waktu


Rangkaian RC (Resistor Capasitor)
Dickson Kho Teori Elektronika

Cara Menghitung Konstanta Waktu Rangkaian RC (Resistor Capasitor) – Hampir


setiap rangkaian Elektronika maupun Listrik mengalami masalah “Penundaan Waktu (Time
Delay)” antara INPUT dan OUTPUT. Penundaan Waktu tersebut biasanya dikenal dengan
istilah “Konstanta Waktu Rangkaian”. Dalam bahasa Inggris Konstanta Waktu disebut
dengan “Time Constant”. Konstanta Waktu Rangkaian ini pada umumnya dipengaruhi oleh
Komponen Reaktif seperti Kapasitor yang terhubung didalamnya. Satuan pengukuran
Konstanta Waktu pada rangkaian Elektronika ataupun listrik adalah “Tau” atau simbol “τ”.

Banyak juga Rangkaian Elektronika yang menggunakan Konstanta Waktu ini untuk
memberikan penundaan waktu ataupun perenggangan waktu pada sinyal tertentu. Salah satu
Rangkaian Konstanta Waktu yang paling sering ditemui adalah Konstanta Waktu yang
menggunakan Kapasitor dan Resistor atau sering disebut dengan Rangkaian RC (Resistor
Capacitor). Seperti yang telah kita ketahui bahwa Kapasitor adalah Komponen yang
menyimpan muatan listrik sehingga memerlukan Waktu dalam penyimpanan dan
pembuangan muatan listrik.

Pada prinsipnya, Suatu Rangkaian RC yang diberikan Tegangan DC membutuhkan waktu


untuk mengisi muatan listrik pada Kapasitor hingga penuh. Demikian juga saat Tegangan DC
tersebut dilepas, Kapasitor yang bersangkutan juga membutuhkan waktu tertentu untuk
mengosongkan isi muatan listriknya. Dengan prinsip yang sederhana ini, proses penundaan
waktu (delay time) dapat dilakukan oleh sebuah Rangkaian RC.

Rangkaian RC
Bila nilai Resistansi ( R ) kecil, maka arus akan lebih mudah mengalir sehingga proses
pengisian muatan listrik pada Kapasitor pun akan semakin cepat. Sebaliknya, semakin besar
nilai Resistansinya, semakin lambat waktu pengisiannya.

Cara Menghitung Konstanta Waktu Rangkaian RC


(Resistor Capasitor)
Berdasarkan Prinsip yang disebutkan diatas, maka secara Matematis Konstanta Waktu sebuah
Rangkaian RC dapat dirumuskan sebagai berikut :

τ=RxC

dimana :

τ = Konstanta Waktu dalam satuan detik (s)


R = Resistansi / Hambatan dalam Ohm (Ω)
C = Kapasitansi dalam Farad (F)

Contoh Kasus :

Dari Rangkaian RC diatas, diketahui nilai Resistansi R adalah 2.000 Ohm dan nilai
Kapasitansi C adalah 1µF. Berapakah Waktu Konstantanya ?

Diketahui :

R = 2000 Ohm
C = 1µF
τ=?

Jawaban :
τ=RxC
τ = 2000 x 0,000001
τ = 0,002 detik

Jadi Konstanta Waktu pada Rangkaian RC tersebut adalaah 0,002 detik atau 2 milidetik.

Catatan : Satuan Kapasitansi dalam perhitungan ini harus menggunakan satuan Farad,
namun di contoh kasus ini adalah micro Farad (µF) sehingga kita harus konversikan micro
Farad ke Farad terlebih dahulu.

Konversi MicroFarad (µF) ke Farad

0,1µF = 0,0000001F
1µF = 0,000001F
10µF = 0,00001F

Cara Mengukur Kapasitor dengan


Multimeter
Dickson Kho Pengujian Komponen

Cara Mengukur Kapasitor dengan Multimeter – Kapasitor adalah Komponen Elektronika


yang dapat menyimpan muatan listrik dalam waktu sementara. Untuk mengukur nilai dari
sebuah Kapasitor (Kondensator), kita memerlukan sebuah alat ukur yang dinamakan dengan
Capacitance Meter (Kapasitansi Meter). Capacitance Meter adalah alat ukur yang khusus
hanya mengukur nilai Kapasitansi sebuah Kapasitor. Selain Capacitance Meter, terdapat juga
alat ukur gabungan yang dapat mengukur beberapa macam komponen elektronika,
diantaranya adalah LCR Meter dan Multimeter.

LCR Meter adalah alat ukur yang dapat mengukur nilai L (Induktansi / Inductance, untuk
mengukur Induktor atau Coil), C (Kapasitansi / Capacitance, untuk mengukur Kapasitor atau
Kondensator) dan R (Resistansi / Resistance, untuk mengukur Hambatan atau Resistor)
sedangkan Multimeter adalah alat ukur gabungan yang mendapat mengukur Arus, Tegangan,
Hambatan (Resistansi) dan juga menguji beberapa macam Komponen Elektronika seperti
Dioda, Kapasitor, Transistor dan Resistor.

Saat ini, telah banyak jenis Multimeter Digital yang telah mempunyai fungsi untuk mengukur
nilai Kapasitor sehingga kita tidak perlu membeli alat khusus untuk mengukur nilai
Kapasitansi Kapasitor dan tentunya Multimeter sebagai alat ukur gabungan memiliki batas
tertentu dalam Mengukur Kapasitansi sebuah Kapasitor. Kapasitor yang mempunyai
Kapasitansi yang besar terutama pada Kapasitor Elektrolit (ELCO) tidak semuanya dapat
diukur nilainya oleh sebuah Multimeter Digital. Seperti contoh pada salah satu Multimeter
dengan merek SANWA yang bertipe CD800a, batas pengukuran Kapasitansi Kapasitor hanya
berkisar antara 50nF sampai 100µF.

Untuk menguji apakah Komponen Kapasitor dapat berfungsi dengan baik, kita juga dapat
menggunakan Multimeter Analog dengan Skala Resistansi (Ohm). Multimeter Analog tidak
dapat mengetahui dengan pasti nilai Kapasitansi dari sebuah Kapasitor, tetapi cukup
bermanfaat untuk mengetahui apakah Kapasitor tersebut dalam Kondisi baik ataupun rusak
(seperti Bocor ataupun Short (hubungan pendek)).

Menguji Kapasitor dengan Multimeter Analog


Berikut ini adalah Cara menguji Kapasitor Elektrolit (ELCO) dengan Multimeter Analog :

1. Atur posisi skala Selektor ke Ohm (Ω) dengan skala x1K


2. Hubungkan Probe Merah (Positif ) ke kaki Kapasitor Positif
3. Hubungkan Probe Hitam (Negatif) ke kaki Kapasitor Negatif
4. Periksa Jarum yang ada pada Display Multimeter Analog,
Kapasitor yang baik : Jarum bergerak naik dan kemudian kembali lagi.
Kapasitor yang rusak : Jarum bergerak naik tetapi tidak kembali lagi.
Kapasitor yang rusak : Jarum tidak naik sama sekali.
Mengukur Kapasitor dengan Multimeter Digital
(Yang memiliki Fungsi Kapasitansi Meter)
Cara mengukur Kapasitor dengan Multimeter Digital yang memiliki fungsi Kapasitansi Meter
cukup mudah, berikut ini caranya :

1. Atur posisi skala Selektor ke tanda atau Simbol Kapasitor


2. Hubungkan Probe ke terminal kapasitor.
3. Baca Nilai Kapasitansi Kapasitor tersebut.
Hal yang perlu diingat, cara diatas hanya dapat digunakan pada Multimeter Digital yang
memiliki kemampuan mengukur Kapasitansi.

Untuk lebih akurat, tentunya kita memerlukan alat ukur khusus untuk mengukur Nilai
Kapasitansi sebuah Kapasitor seperti LCR meter dan Capacitance Meter. Cara
pengukurannya pun hampir sama dengan cara menggunakan Multimeter Digital, hanya saja
kita perlu menentukan nilai Kapasitansi yang paling dekat dengan Kapasitor yang akan kita
ukur dengan cara mengatur Sakelar Selektor LCR meter dan Kapasitansi Meter. Dibawah ini
adalah gambar bentuk Capacitance Meter, LCR Meter dan Multimeter.
Pengertian LDR (Light Dependent
Resistor) dan Cara Mengukurnya
Dickson Kho Komponen Elektronika, Pengujian Komponen
Pengertian LDR (Light Dependent Resistor) dan Cara Mengukurnya – Light Dependent
Resistor atau disingkat dengan LDR adalah jenis Resistor yang nilai hambatan atau nilai
resistansinya tergantung pada intensitas cahaya yang diterimanya. Nilai Hambatan LDR akan
menurun pada saat cahaya terang dan nilai Hambatannya akan menjadi tinggi jika dalam
kondisi gelap. Dengan kata lain, fungsi LDR (Light Dependent Resistor) adalah untuk
menghantarkan arus listrik jika menerima sejumlah intensitas cahaya (Kondisi Terang) dan
menghambat arus listrik dalam kondisi gelap.

Naik turunnya nilai Hambatan akan sebanding dengan jumlah cahaya yang diterimanya. Pada
umumnya, Nilai Hambatan LDR akan mencapai 200 Kilo Ohm (kΩ) pada kondisi gelap dan
menurun menjadi 500 Ohm (Ω) pada Kondisi Cahaya Terang.

LDR (Light Dependent Resistor) yang merupakan Komponen Elektronika peka cahaya ini
sering digunakan atau diaplikasikan dalam Rangkaian Elektronika sebagai sensor pada Lampu
Penerang Jalan, Lampu Kamar Tidur, Rangkaian Anti Maling, Shutter Kamera, Alarm dan lain
sebagainya.

Bentuk dan Simbol LDR

Cara Mengukur LDR (Light Dependent Resistor) dengan


Multimeter
Alat Ukur yang digunakan untuk mengukur nilai hambatan LDR adalah Multimeter dengan
fungsi pengukuran Ohm (Ω). Agar Pengukuran LDR akurat, kita perlu membuat 2 kondisi
pencahayaan yaitu pengukuran pada saat kondisi gelap dan kondisi terang. Dengan demikian
kita dapat mengetahui apakah Komponen LDR tersebut masih dapat berfungsi dengan baik
atau tidak.

Mengukur LDR pada Kondisi Terang

1. Atur posisi skala selektor Multimeter pada posisi Ohm


2. Hubungkan Probe Merah dan Probe Hitam Multimeter pada kedua kaki LDR (tidak ada
polaritas)
3. Berikan cahaya terang pada LDR
4. Baca nilai resistansi pada Display Multimeter. Nilai Resistansi LDR pada kondisi
terang akan berkisar sekitar 500 Ohm.

Mengukur LDR pada Kondisi Gelap

1. Atur posisi skala selektor Multimeter pada posisi Ohm


2. Hubungkan Probe Merah dan Probe Hitam Multimeter pada kedua kaki LDR (tidak ada
polaritas)
3. Tutup bagian permukaan LDR atau pastikan LDR tidak mendapatkan cahaya
4. Baca nilai resistansi pada Display Multimeter. Nilai Resistansi LDR di kondisi gelap
akan berkisar sekitar 200 KOhm.
Catatan :

 Hasil Pengukuran akan berubah tergantung pada tingkat intesitas cahaya yang diterima
oleh LDR itu sendiri.
 Satuan terang cahaya atau Iluminasi (Illumination) adalah lux

Sebutan lain untuk LDR (Light Dependent Resistor) adalah Photo Resistor, Photo Conduction
ataupun Photocell.

Cara Menghitung Nilai Resistor untuk LED


(Light Emitting Diode)
Dickson Kho Teori Elektronika
Menghitung Nilai Resistor untuk LED – LED (Light Emitting Diode) adalah jenis
Dioda yang dapat memancarkan cahaya saat dialiri arus listrik. Salah satu kegunaan LED yang
paling sering ditemukan adalah sebagai Lampu Indikator, terutama pada indikator ON / OFF
sebuah perangkat Elektronika. Hal ini dikarenakan kelebihan LED yang mengkonsumsi arus
listrik lebih kecil dibandingkan dengan jenis-jenis lampu lainnya.

LED memiliki arus maju (Forward Current) maksimum yang cukup rendah sehingga dalam
merangkai LED, kita harus menempatkan sebuah Resistor yang berfungsi sebagai pembatas
arus agar arus yang melewati LED tidak melebihi batas maksimum arus maju LED itu sendiri.
Jika tidak, LED akan mudah terbakar dan rusak.

Rata-rata arus maju (Forward Current) maksimum sebuah LED adalah sekitar 25mA sampai
30mA tergantung jenis dan warnanya. Berikut ini adalah tabel arus maju maksimum dan
tegangan maju untuk masing-masing jenis dan warna LED pada umumnya (LED bulat dengan
diameter 5mm).

Jenis LED Warna IF Max VF (typ.) VF Max VR Max


Standard Merah 30mA 1.7V 2.1V 5V
Standard Merah Terang 30mA 2.0V 2.5V 5V
Standard Kuning 30mA 2.1V 2.5V 5V
Standard Hijau 25mA 2.2V 2.5V 5V
High Intensity Biru 30mA 4.5V 5.5V 5V
Super Bright Merah 30mA 1.85V 2.5V 5V
Low Current Merah 30mA 1.7V 2.0V 5V

Keterangan :
IF Max : Arus Maju (Forward Current) Maksimal
VL : Tegangan LED
VF Max : Tegangan Maju (Forward Voltage) maksimum
VR Max : Tegangan Terbalik (Reverse Voltage) maksimum
Rangkaian dan Cara Menghitung Nilai Resistor untuk
LED
Setelah kita mengetahui Tegangan dan Arus Maju untuk LED seperti pada tabel diatas, maka
kita dapat menghitung nilai Resistor yang diperlukan untuk rangkaian LED agar LED yang
bersangkutan tidak terbakar atau rusak karena kelebihan arus dan tegangan.

Rumus yang dipakai adalah sebagai berikut :

R = (VS – VL) / I

Dimana :
R = Nilai Resistor yang diperlukan (dalam Ohm (Ω))
VS = Tegangan Input (dalam Volt (V))
VL = Tegangan LED (dalam Volt (V))
I = Arus Maju LED (dalam Ampere (A))

Hal yang perlu diingat dalam perhitungan, Arus Maju LED (I) tidak boleh melebihi Arus Maju
Maksimal (IF Max) yang telah ditentukan seperti tertera di dalam tabel atas.

Resistor yang berfungsi sebagai pembatas arus ini dipasang secara seri dengan LED seperti
gambar rangkaian di bawah ini :

Contoh Kasus Menghitung Nilai Resistor untuk LED


Berikut ini beberapa contoh kasus perhitungan nilai resistor yang diperlukan untuk Rangkaian
Indikator LED.

Contoh Kasus 1

Jika tegangan Input adalah 12V dan LED yang digunakan adalah LED Hijau (VL = 2.2V), Arus
Maju (I) adalah 20mA (diganti menjadi Ampere menjadi 0.02A). Berapakah Nilai Resistor
yang diperlukan?

Penyelesaian :

Diketahui :
VS = 12V
VL = 2.2V
I = 0.02A
R =?

Jawaban :

R = (VS – VL) / I
R = (12V – 2.2V) / 0.02A
R = 490Ω

Cara Menghitung Nilai Resistor


Dickson Kho Komponen Elektronika

Cara Membaca Nilai Resistor –


Resistor merupakan komponen penting dan sering dijumpai dalam sirkuit Elektronik. Boleh
dikatakan hampir setiap sirkuit Elektronik pasti ada Resistor. Tetapi banyak diantara kita yang
bekerja di perusahaan perakitan Elektronik maupun yang menggunakan peralatan Elektronik
tersebut tidak mengetahui cara membaca kode warna ataupun kode angka yang ada ditubuh
Resistor itu sendiri.

Berdasarkan bentuknya dan proses pemasangannya pada PCB, Resistor terdiri 2 bentuk yaitu
bentuk Komponen Axial/Radial dan Komponen Chip. Untuk bentuk Komponen Axial/Radial,
nilai resistor diwakili oleh kode warna sehingga kita harus mengetahui cara membaca dan
mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam warna tersebut sedangkan untuk komponen chip,
nilainya diwakili oleh Kode tertentu sehingga lebih mudah dalam membacanya.
Kita juga bisa mengetahui nilai suatu Resistor dengan cara menggunakan alat pengukur Ohm
Meter atau MultiMeter. Satuan nilai Resistor adalah Ohm (Ω).

Cara menghitung nilai Resistor berdasarkan Kode Warna


Seperti yang dikatakan sebelumnya, nilai Resistor yang berbentuk Axial adalah diwakili oleh
Warna-warna yang terdapat di tubuh (body) Resistor itu sendiri dalam bentuk Gelang.
Umumnya terdapat 4 Gelang di tubuh Resistor, tetapi ada juga yang 5 Gelang.

Gelang warna Emas dan Perak biasanya terletak agak jauh dari gelang warna lainnya sebagai
tanda gelang terakhir. Gelang Terakhirnya ini juga merupakan nilai toleransi pada nilai Resistor
yang bersangkutan.

Tabel dibawah ini adalah warna-warna yang terdapat di Tubuh Resistor :

Perhitungan untuk Resistor dengan 4 Gelang warna :


Masukkan angka langsung dari kode warna Gelang ke-1 (pertama)
Masukkan angka langsung dari kode warna Gelang ke-2
Masukkan Jumlah nol dari kode warna Gelang ke-3 atau pangkatkan angka tersebut dengan
10 (10n)
Merupakan Toleransi dari nilai Resistor tersebut

Contoh :

Gelang ke 1 : Coklat = 1
Gelang ke 2 : Hitam = 0
Gelang ke 3 : Hijau = 5 nol dibelakang angka gelang ke-2; atau kalikan 105
Gelang ke 4 : Perak = Toleransi 10%
Maka nilai Resistor tersebut adalah 10 * 105 = 1.000.000 Ohm atau 1 MOhm dengan
toleransi 10%.

Perhitungan untuk Resistor dengan 5 Gelang warna :


Masukkan angka langsung dari kode warna Gelang ke-1 (pertama)
Masukkan angka langsung dari kode warna Gelang ke-2
Masukkan angka langsung dari kode warna Gelang ke-3
Masukkan Jumlah nol dari kode warna Gelang ke-4 atau pangkatkan angka tersebut dengan
10 (10n)
Merupakan Toleransi dari nilai Resistor tersebut

Contoh :

Gelang ke 1 : Coklat = 1
Gelang ke 2 : Hitam = 0
Gelang ke 3 : Hijau = 5
Gelang ke 4 : Hijau = 5 nol dibelakang angka gelang ke-2; atau kalikan 105
Gelang ke 5 : Perak = Toleransi 10%
Maka nilai Resistor tersebut adalah 105 * 105 = 10.500.000 Ohm atau 10,5 MOhm dengan
toleransi 10%.

Contoh-contoh perhitungan lainnya :

Merah, Merah, Merah, Emas → 22 * 10² = 2.200 Ohm atau 2,2 Kilo Ohm dengan 5%
toleransi
Kuning, Ungu, Orange, Perak → 47 * 10³ = 47.000 Ohm atau 47 Kilo Ohm dengan 10%
toleransi

Cara menghitung Toleransi :


2.200 Ohm dengan Toleransi 5% =
2200 – 5% = 2.090
2200 + 5% = 2.310
ini artinya nilai Resistor tersebut akan berkisar antara 2.090 Ohm ~ 2.310 Ohm

Untuk mempermudah menghafalkan warna di Resistor, kami memakai singkatan seperti


berikut :

HI CO ME O KU JAU BI UNG A PU
(HItam, COklat, MErah, Orange, KUning. HiJAU, BIru, UNGu, Abu-abu, PUtih)

Cara menghitung nilai Resistor berdasarkan Kode Angka :


Membaca nilai Resistor yang berbentuk komponen Chip lebih mudah dari Komponen Axial,
karena tidak menggunakan kode warna sebagai pengganti nilainya. Kode yang digunakan oleh
Resistor yang berbentuk Komponen Chip menggunakan Kode Angka langsung jadi sangat
mudah dibaca atau disebut dengan Body Code Resistor (Kode Tubuh Resistor)

Contoh :

Kode Angka yang tertulis di badan Komponen Chip Resistor adalah 4 7 3;

Cara pembacaannya adalah :

Masukkan Angka ke-1 langsung = 4


Masukkan Angka ke-2 langsung = 7
Masukkan Jumlah nol dari Angka ke 3 = 000 (3 nol) atau kalikan dengan 10³
Maka nilainya adalah 47.000 Ohm atau 47 kilo Ohm (47 kOhm)

Contoh-contoh perhitungan lainnya :


222 → 22 * 10² = 2.200 Ohm atau 2,2 Kilo Ohm

103 → 10 * 10³ = 10.000 Ohm atau 10 Kilo Ohm

334 → 33 * 104 = 330.000 Ohm atau 330 Kilo Ohm

Ada juga yang memakai kode angka seperti dibawah ini :


(Tulisan R menandakan letaknya koma decimal)
4R7 = 4,7 Ohm
0R22 = 0,22 Ohm

Keterangan :

Ohm = Ω
Kilo Ohm = KΩ
Mega Ohm = MΩ
1.000 Ohm = 1 kilo Ohm (1 KΩ )
1.000.000 Ohm = 1 Mega Ohm (1 MΩ)
1.000 kilo Ohm = 1 Mega Ohm (1 MΩ)

Anda mungkin juga menyukai